VI. PENILAIAN STATUS VITAMIN B12
Status vitamin B12 dalam tubuh dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai indikator dan metode penilaian. Berikut ini akan diuraikan beberapa
indikator dan jenis penilaian status vitamin B12 serta kekuatan dan kelemahan setiap indikator..
1. Vitamin B12 dalam serum
Dari seluruh vitamin B12 dalam serum, 20 persen terikat pada protein transport transcobalamin TC II, sisanya 80 merupakan ikatan campuran
glyco-protein B12, dikenal sebagai TC I dan TC III, dan akhirnya diketahui sebagai haptocorrin Herbert V 1996; Gibson 2005; Carmel R 2006. Menurut
Sauberlich HE 1999 konsentrasi vitamin B12 serum dapat memberi informasi status gizi vitamin B12, karena cadangan vitamin B12 dalam tubuh yang rendah
berhubungan dengan level vitamin B12 serum yang rendah. Sedangkan menurut Herbert V 1996 pengukuran vitamin B12 dalam serum merupakan indikator
defisiensi vitamin B12 yang relatif terlambat karena pada keadaan normal 80 dari total vitamin B12 dalam serum terikat pada holohaptocorrin, dan hanya 20
yang yang terikat sebagai holotranscobalamin II dalam serum. Holohaptocorrin menggambarkan vitamin B12 dalam cadangan tubuh terutama di hati, yang
mengalami penurunan dengan lambat sesuai dengan terjadinya keseimbangan negatif vitamin B12.
Serum holotranscobalamin II adalah protein yang bersirkulasi dalam darah mengantar vitamin B12 ke sel-sel pembentukan DNA. Keseimbangan negatif
merupakan gambaran situasi dimana sejumlah vitamin B12 yang diabsorbsi setiap hari menurun sampai di bawah jumlah yang hilang setiap hari. Keseimbangan
negatif yang cepat menyebabkan deplesi, jika tidak diperbaiki akan berlanjut menjadi defisiensi. Serum holoTC II rendah merupakan indikator awal terjadinya
keseimbangan negatif, suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 untuk sintesis DNA. Pada saat keseimbangan negatif terjadi, konsentrasi serum vitamin B12
menurun sampai nilainya antara 150 sampai 100 pgmL; namun fungsi biokimia masih dalam keadaan normal Herbert V 1996.
Allen RH et al 1990 mengemukakan bahwa penilaian kobalamin serum adalah tes diagnostik yang penting untuk defisiensi vitamin B12 terutama untuk
Universitas Sumatera Utara
tujuan screening karena sebagian besar pasien yang mengalami defisiensi vitamin B12 secara klinis mempunyai level vitamin B12 serum yang rendah. Walaupun
pada akhirnya ada studi terbaru yang menunjukkan keadaan sebaliknya, dimana orang yang mempunyai serum vitamin B12 rendah tidak selalu mengalami
defisiensi vitamin B12. Methylmalonic acid MMA dan homosysteine dalam serum meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12. Namun akhirnya
diketahui juga bahwa homosysteine serum tidak spesifik karena tidak selalu meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12 sedangkan methylmalonic acid
serum selalu meningkat. Oleh karena itu methylmalonic acid lebih tepat digunakan sebagai indikator terjadinya defisiensi vitamin B12.
Penentuan cut off point untuk defisiensi vitamin B12 masih beragam pendapat. Menurut Gibson 1990 konsentrasi serum vitamin B12 pada keadaan
normal untuk orang sehat berada pada kisaran 200 – 900 pgmL 148 – 682 pmolL. Nilai dibawah 100 pgmL 74 pmolL selalu menunjukkan keadaan
defisiensi vitamin B12 dan dihubungkan dengan anemia megaloblastik. Sedangkan FAOWHO tahun 1988, merekomendasikan penggunaan cut off point
di bawah 80 pgmL 59 pmolL untuk defisiensi vitamin B12. Menurut Gibson 2005 total vitamin B12 serum adalah tes biokimia yang dapat digunakan secara
rutin untuk screening defisiensi vitamin B12 karena konsentrasinya menggambarkan intik vitamin B12 dan sekaligus cadangan dalam tubuh, namun
sensitifitasnya rendah. Hal ini ditunjukkan dari penelitian terhadap usia lanjut yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 serum rendah sampai normal 111-295
pmolL atau 150-400 pgmL mempunyai fungsi biokimia yang tidak normal. Beberapa peneliti lain menggunakan cut off point 300 pgmL sebagai batas bawah
keadaan normal untuk vitamin B12 Herbert V 1996; Sauberlich HE 1999; Siekmann 2003; Eussen SJ et al 2006 dengan alasan bahwa pada batas tersebut
sering sudah mulai dapat ditemukan tanda-tanda klinis defisiensi vitamin B12. Penilaian konsentrasi vitamin B12 serum dapat dilakukan dengan
“microbiological assay” dan “radioisotope dilution methods” atau disebut “Radioassay”. Metode “radioisotope dilution methods” memberi hasil yang lebih
tinggi dari penilaian mikrobiologi. Metode radioisotop sangat sederhana, memerlukan waktu yang singkat, dan tidak dipengaruhi oleh antibiotik atau
Universitas Sumatera Utara
kemoterapetik kanker Gibson 2005. Metode lain yaitu AxSYM System yang merupakan penilaian mikropartikel enzim intrinsic factor untuk menentukan
jumlah vitamin B12 dalam serum atau plasma manusia Abbott Laboratories 2005.
2. Vitamin B12 dalam eritrosit Penilaian eritrosit untuk vitamin B12 mempunyai keterbatasan, beberapa
hasil diperoleh dengan nilai yang tidak dapat membedakan antara kondisi subyek normal dengan defisiensi. Selain itu konsentrasi vitamin B12 eritrosit juga
cenderung rendah pada saat terjadi defisiensi folat karena vitamin B12 berperan penting untuk pemanfaatan folat oleh se-sel darah merah. Dengan demikian
vitamin B12 dalam eritrosit kurang spesifik Gibson 2005. 3. Methylmalonic acid MMA
Methylmalonic acid MMA merupakan hasil dari methylmalonyl-CoA
yang terakumulasi bila terjadi defisiensi vitamin B12 yang membatasi aktifitas methylmalonyl-CoA mutase
. Konsentrasi MMA serum meningkat bila terjadi defisiensi vitamin B12, tetapi tidak terjadi pada defisiensi asam folat. Ekskresi
MMA melalui urin juga meningkat bila terjadi defisiensi vitamin B12 Sauberlich HE 1999. Sehingga konsentrasi methylmalonic acid dalam urin dan serum sering
digunakan untuk screening defisiensi vitamin B12. Peningkatan konsentrasi methylmalonic acid
dalam serum atau plasma merupakan indikator awal terjadinya defisiensi vitamin B12. Pengukuran serum MMA telah berhasil
mengidentifikasi subyek dengan defisiensi vitamin B12, bahkan dengan defisiensi subklinik. Pengukuran MMA lebih sensitif untuk mengukur defisiensi vitamin
B12 dibandingkan dengan pengukuran konsentrasi vitamin B12 serum. Menurut Bolann et al 2000 untuk diagnostik awal status vitamin B12
dapat dilakukan melalui penilaian kobalamin serum. Bila dengan diagnostik tersebut tidak dapat diperoleh hasil yang jelas, maka dilakukan pengujian kadar
MMA dan homocystein yang akan memberikan pembedaan tambahan, yang berarti MMA lebih spesifik untuk penilaian status vitamin B12.
Secara tradisional ada anggapan bahwa status vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan level vitamin B12 dalam serum atau plasma yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
Namun akhir-akhir ini pendapat tersebut telah dibantah oleh beberapa ahli yang mengatakan bahwa proporsi orang yang mempunyai level vitamin B12 normal
kenyataannya mengalami defisiensi vitamin B12. Selanjutnya dikatakan bahwa peningkatan homocysteine plasma dan MMA plasma lebih sensitif sebagai
indikator status vitamin B12 FAOWHO 2001. Hal ini didukung oleh Klee 2000 yang mengatakan bahwa homocysteine dan methylmalonicacid adalah
indikator metabolik yang paling baik untuk defisiensi vitamin B12 dan folat pada level jaringan. Namun, dikatakan juga bahwa belum ada “gold standard” untuk
mendiagnosis kondisi kelainan vitamin B12, dan masih ditemukan kontroversi dalam pemilihan diagnostik tersebut.
Methylmalonic acid MMA dapat diukur dengan metode gabungan “gas-
chromatography mass-spectrometry” dalam serum dan urin Carmel R 2004; Gibson 2005. Metode ini sangat sensitif dan reliabel untuk mengukur
methylmalonic acid dalam urin. Namun, tehnik mengukurannya agak sulit dan
waktunya lama karena memerlukan sampel urin selama 24 jam. Sedangkan sampel urin sesaat dapat digunakan untuk keperluan screening. Pada kondisi
normal 1,5 sampai 2 mg mehyilmalonic acid yang dikeluarkan melalui urin per 24 jam, sedangkan bila terjadi defisiensi vitamin B12 dapat mencapai 300 mg per 24
jam Gibson 2005. Konsentrasi MMA serum dikategorikan normal bila konsentrasi MMA serum 638 nmolL, kadar MMA serum
638 nmolL dikategorikan defisiensi vitamin B12 Sauberlich HE 1999.
4. Homocysteine Homocysteine
adalah bentuk antara dari metabolisme asam amino esensial yang mengandung sulfur yaitu methionine. Homocycteine akan dirubah kembali
menjadi methionine pada proses remetilasi yang tergantung pada folat dan kobalamine, atau transformasi menjadi cysteine melalui enzim yang tergantung
pada vitamin B6 yaitu cystathionine B synthase. Namun konsentrasi homocysteine plasma tidak dapat menunjukkan apakah subyek defisiensi vitamin
B12 atau folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan peningkatan total homocysteine plasma. Kelebihan intik protein dan methionine dapat
meningkatkan homocysteine dalam plasma dengan meningkatkan sintesis homocysteine
Sauberlich HE 1999. Dengan demikian kadar homocysteine
Universitas Sumatera Utara
plasma kurang spesifik sebagai indikator defisiensi vitamin B12. Konsentrasi total homocysteine
plasma dapat diukur dengan “fluorescent atau electrichemical detection”, prosedur “enzymatic” atau dengan metode “capillary gas
chromatography mass spectrometry” Gibson 2005.
5. Deoxyuridine suppression test DxdUST Penilaian ini digunakan untuk mendeteksi defisiensi vitamin B12 danatau
folat. Dalam penilaian ini, sum-sum tulang, lymposit darah periperal, atau sampel darah keseluruhan dari individu dipreinkubasi dalam tes tube dengan
nonradioaktif deoxyuridine dan kemudian dengan prekursor radioaktif DNA Herbert V 1996; Gibson 2005.
Penilaian dengan Deoxyuridine suppression test ini telah digunakan dalam beberapa penelitian. Namun prosedurnya agak sedikit lambat dan
membosankan untuk dilakukan, tidak praktis dan tidak reliable untuk digunakan secara luas Sauberlich HE 1999; Gibson 2005.
6. Schilling test Bila defisiensi vitamin B12 telah didiagnosa, hal yang penting diketahui
adalah apakah penyebabnya gangguan penyerapan. Hal ini dapat diperoleh dengan menentukan absorbsi pemberian dosis rendah secara oral 0,5 – 2
μg dalam keadaan puasa, dengan mengukur pengeluaran dari urin. Prosedur ini
disebut dengan “Schilling test”. Namun schilling test mempunyai beberapa kelemahan antara lain tes ini tidak mempunyai standar yang baik diantara
laboratorium; waktu yang diperlukan cukup lama sejak diberi dosis oral sampai dikeluarkan melalui urin, level isotop dosis, dan lamanya pengumpulan urin
Gibson 2005. Berdasarkan uraian diatas tentang beberapa indikator penilaian status
vitamin B12 berikut pada Tabel 4 diuraikan secara ringkas kekuatan dan kelemahan berbagai metode dan indikator penilaian status vitamin B12. Dari
beberapa jenis indikator dan metode penilaian status vitamin B12 yang dijelaskan masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, dengan demikian dalam
pemilihan indikator atau metode yang digunakan perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian serta mempertimbangkan situasi dan kondisi subyek dan lapangan
Universitas Sumatera Utara
penelitian serta ketersediaan sarana pendukung seperti laboratorium beserta peralatan dan metodenya.
Tabel 4 Kekuatan dan kelemahan beberapa indikatormetode penilaian status vitamin B12
No Indikator Metode
Kekuatan Kelemahan
1 Vitamin B12 serum
Transcobalamin II TC II
Metode : Radioassay Metode sederhana,
waktu singkat Hanya 20 vitamin
B12 yang terikat pada TC II, kurang
sensitif
2 Vitamin B12 dalam eritrosit
- Kurang spesifik,
sulit dibedakan dengan defisiensi
folat
3 Methylmalonic acid
MMA dalam serum atau urin
Metode: gas chromatography- mass spectrometry
Cukup Spesifik dan Sensitif, Metode
reliable Teknik pengukuran
sulit, waktu relatif lama, bila
menggunakan urin perlu sampel urin
selama 24 jam
4 Homocystein plasma
- Kurang
spesifik, sulit dibedakan
dengan defisiensi folat
5 Deoxyuridine suppression test
DxdUST - Prosedur
agak lambat,
membosankan, kurang praktis, dan
tidak reliable
6 Schilling test
Dapat mengukur
tingkat absorpsi Belum ada standar
yang baku, waktunya lama
VII. HEMOGLOBIN DAN VITAMIN B12
Hemoglobin adalah suatu molekul protein dalam sel-sel darah merah yang membawa oksigen dari paru-paru keseluruh jaringan tubuh, dan membawa
kembali karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Besi yang terkandung dalam hemoglobin akan memberi warna merah pada darah. Sebagaimana
umumnya protein, “blueprint” untuk hemoglobin dibuat dalam DNA bahan dasar
Universitas Sumatera Utara
pembentuk gen. Hemoglobin terbuat dari dua protein yang sama disebut “stick together”. Kedua protein ini harus ada agar hemoglobin dapat mengambil dan
melepas oksigen secara normal. Komponen protein tersebut adalah Alpha dan Betha. Pada saat seseorang belum lahir janin protein betha tidak ada, yang ada
protein gamma dan digantikan secara otomatis pada saat seseorang lahir http:sickle.bwh.harvard.eduhemoglobin.html.
Level hemoglobin ditunjukkan sebagai jumlah hemoglobin dalam gram per desiliter darah gdl. Batas normal hemoglobin tergantung pada umur dan
mulai remaja dibedakan menurut jenis kelamin. Bila kadar hemoglobin lebih rendah dari batas normal maka seseorang disebut anemia. Batasan normal yang
digunakan di Indonesia yang ditetapkan oleh Depkes RI 2003 adalah : Anak balita
: 11 gdl Anak usia sekolah
: 12 gdl Wanita dewasa
: 12 gdl Pria dewasa
: 13 gdl Ibu hamil
: 11 gdl Ibu menyusui 3 bln : 12 gdl
Dalam hubungannya dengan vitamin B12 dapat dijelaskan dari fungsi vitamin B12 pada pembentukan hemoglobin. Vitamin B12 berperan sebagai
koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi biologis penting. Ada dua bentuk koenzim tersebut yaitu methylcobalamin yang terdapat dalam plasma, dan 5-
deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati, sebagian besar jaringan
tubuh, dan makanan Gibson, 2005. Salah satu fungsi vitamin B12 sebagai kofaktor untuk L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim ini membutuhkan
adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-
CoA . Reaksi biokimia ini berperan penting dalam produksi energi dari lemak dan
protein. Succinyl-CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen. Sehingga bila terjadi
terjadi kekurangan vitamin B12 dalam tubuh akan berpengaruh pada pembentukan hemoglobin Carmel R 2006; Herbert V 1996; Wardlaw G et al 1992. Penelitian
Kartika V dkk 1998 di Bogor menunjukkan bahwa intervensi melaui pemberian
Universitas Sumatera Utara
tablet yang berisi campuran besi, folat dan vitamin B12 paling efektif menurunkan anemia defisiensi vitamin B12 dibanding tablet besi + vitamin B12 atau besi +
folat.
VIII. VITAMIN B12 DAN DAYA INGAT