Sebagai informasi dan masukan bagi pelaku usaha untuk dapat dijadikan landasan khususnya dalam menetapkan harga barang berdasarkan nilai mata
uang yang berlaku. 3.
Bagi pemerintah Sebagai bahan masukan dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya
peraturan perundang-undangan di bidang konsumen bagi pelaku usaha khususnya sektor usaha ritel.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian baru. Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara,
bahwa penelitian mengenai “Penetapan Harga Barang yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang yang berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Studi
di Carrefour dan Maju Bersama Medan”, belum pernah dilakukan. Walaupun telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan berkaitan dengan konsumen, namun
aspek yang dibahas berbeda. Penelitian ini dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan
akademis. Peneliti bertanggungjawab apabila dikemudian hari dapat dibuktikan adanya
unsur plagiat dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi
yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka
mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian,
upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera di cari
solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan
bebas yang akan datang
6
Di .
Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
1.
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat 1, pasal 21 ayat 1, Pasal 27, dan Pasal 33.
2.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3821.
3.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
6
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:Sinar Grafika, 2009, hlm 31.
Universitas Sumatera Utara
4.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa.
5.
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
6.
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235DJPDNVII2001 Tentang Penangan Pengaduan Konsumen yang ditujukan kepada seluruh dinas
Indag PropKabKota.
7.
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795DJPDNSE122005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
7
Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya tidak hanya sekadar bagaimana
memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut pada penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang
pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman
dimakandigunakan, mengikuti standar yang berlaku dengan harga yang sesuai reasonable. Pemerintah menyadari bahwa diperlukan Undang-Undang serta peraturan-
peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari .
7
Vania Putri Rahmanto, Tugas Aspek Hukum Dalam Ekonomi Perlindungan Konsumen, Universitas Gunadarma, Jakarta, 2011, hlm. 2,
http:vaniaputriajah.blogspot.com , diakses tanggal 10
Januari 2012
.
Universitas Sumatera Utara
pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta Undang-Undang tersebut dengan baik
8
Perlunya Undang-Undang perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen. Proses sampai hasil produksi barang
atau jasa dilakukan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun. Tujuan hukum perlindungan secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran
konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga akan mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab. Namun semua tujuan tersebut hanya
dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat diterapkan secara konsekuen .
9
Terkait dengan tipe penelitian empiris, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori efektifitas hukum. Efektivikasi hukum merupakan proses yang
bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif .
10
. Bila membicarakan efektifitas hukum
dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur danatau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum yang dimaksud
berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat; yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu
11
1. Kaidah hukum
:
8
Abdul Halim Barkatullah, op.cit, hlm. 17-18
9
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hlm.10
10
Tahegga Alfath, “Efektivitas Hukum dalam Masyarakat Prespektif Sosiologi Hukum”, http:taheggaalfath.blogspot.com
201109efektifitas-hukum-dalam-masyarakat.html, diakses tanggal 13 Februari 2012.
11
Dinatropika’s Blog, “Eksistensi Penegakan Hukum dan Masyarakat dalam Efektifitas Hukum di Indonesia”,
http:dinatropika.wordpress.com20100721eksistensi-penegakan-hukum-dan- masyarakat-dalam-efektivitas-hukum-di-indonesia
, diakses tanggal 13 Februari 2012.
Universitas Sumatera Utara
Dalam teori Ilmu hukum dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut:
a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada
kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis apabila kaidah tersebut efektif artinya
kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat teori kekuasaan. Atau kaidah itu berlaku
karena adanya pengakuan dari masyarakat. c.
Kaidah hukum berlaku secara filosofis yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
2. Penegak hukum
Dalam hal ini akan dilihat apakah para penegak hukum sudah betul–betul melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, sehingga dengan demikian hukum
akan berlaku secara efektif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya para penegak hukum tentu saja harus berpedoman pada peraturan tertulis, yang dapat berupa peraturan
perundang–undangan, peraturan pemerintah dalam aturan–aturan lainnya yang sifatnya mengatur, sehingga masyarakat mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus patuh
pada aturan–aturan yang dijalankan oleh para penegak hukum karena berdasarkan pada aturan hukum yang jelas. Namun dalam kasus–kasus tertentu, penegak hukum dapat
melaksanakan kebijakan–kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan peraturan– peraturan yang ada dengan pertimbangan–pertimbangan tertentu sehingga aturan yang
Universitas Sumatera Utara
berlaku di nilai bersifat fleksibel dan tidak terlalu bersifat mengikat dengan tidak menyimpang dari aturan–aturan yang telah ditetapkan.
3. Masyarakat
Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap kesadaran
hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat maju orang yang patuh pada hukum karena
memang jiwanya sadar bahwa mereka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengatur masyarakat secara baik, benar dan adil. Sebaliknya dalam
masyarakat tradisional kesadaran hukum masyarakat berpengaruh secara tidak langsung pada kepatuhan hukum. Dalam hal ini mereka patuh pada hukum bukan karena
keyakinannya secara langsung bahwa hukum itu baik atau karena mereka memang membutuhkan hukum melainkan mereka patuh pada hukum lebih karena dimintakan,
bahkan dipaksakan oleh para pemimpinnya formal atau informal atau karena perintah agama atau kepercayaannya. Jadi dalam hal pengaruh tidak langsung ini kesadaran
hukum dari masyarakat lebih untuk patuh kepada pemimpin, agama, kepercayaannya dan sebagainnya.
Menurut Syamsuddin Pasamai dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan
penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan
Universitas Sumatera Utara
sosiologis
12
. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu
13
1. Hukumnya sendiri. :
2. Penegak hukum. 3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat. 5. Kebudayaan.
Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum. Prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang tetapi
ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam
hubungan dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini
adalah
14
a. Let the buyer beware caveat emptor
:
Asas ini berasumsi pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Tentu saja dalam
perkembangannya konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan
12
Ibid
13
Ibid.
14
Shidarta, op.cit, hlm. 63
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidak terbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkan.
b. The due care theory
Doktrin ini menyatakan si pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk baik barang maupun jasa. Selama kehati-hatian dengan
produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha itu
melanggar prinsip kehati-hatian. c.
The prifyty of contact Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi
konsumen, tetapi hal baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang
diperjanjikan. Artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi contractual liability. Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha dan konsumen
berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang selalu didikte menurut kemauan si pelaku usaha.
d. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat
Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan
antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.
Namun dalam perkembangannya, di dalam masyarakat terjadi akibat faktor– faktor tertentu menyebabkan masyarakat kurang percaya terhadap hukum yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Salah satunya adalah karena faktor penegak hukum yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan untuk melakukan tindakan–tindakan yang dianggap oleh masyarakat
mengganggu bahkan tidak kurang masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh oknum– oknum penegak hukum. Ditambah lagi masih banyak masyarakat yang awam tentang
masalah hukum sehingga dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek penderita. Oleh karena itu di dalam teori ini akan menjelaskan bagaimana Undang-Undang
Perlindungan Konsumen diterapkan di dalam masyarakat. Sehingga dengan teori ini akan diketahui mengenai hambatan diterapkannya peraturan perundangan mengenai
konsumen berlaku.
2. Kerangka Konsep
Dalam berbagai literatur banyak mempunyai pandangan tentang penulisan di
dalam penelitian ini. Oleh karena itu agar terdapat persepsi yang sama dalam membaca
dan memahami penulisan di dalam penelitian ini, maka perlu untuk dijelaskan beberapa kerangka konseptual sebagaimana yang terdapat di bawah ini:
a. Perlindungan Konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
b. Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang adalah harga suatu
barang yang ditetapkan tidak berdasar kepada nilai mata uang yang sedang berlaku di negara Republik Indonesia.
c. Nilai mata uang yang berlaku adalah nilai nominal yang tercantum pada setiap
pecahan rupiah yang dikeluarkan oleh negara Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
d. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
e. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
f. Pasar modern adalah pasar yang bersifat modern dimana barang-barang diperjual
belikan dengan harga pas dan dengan layanan sendiri. Tempat berlangsungnya pasar ini adalah di mal, plaza, dan tempat-tempat modern lainnya.
g. Perilaku Konsumen adalah
proses dan
aktivitas ketika seseorang berhubungan dengan
pencarian ,
pemilihan ,
pembelian ,
penggunaan , serta peng
evaluasian produk
dan jasa
demi memenuhi kebutuhan
dan keinginan
.
Akan tetapi perilaku konsumen yang dimaksud disini adalah sikap atau perilaku konsumen terhadap harga barang yang
tidak sesuai dengan nilai mata uang yang berlaku yang ditetapkan oleh pelaku usaha. h.
Peranan Pemerintah adalah upaya yang dilakukan pemerintah terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen khususnya bagi konsumen agar
mendapatkan hak-haknya. i. Kerugian Konsumen yang dimaksud disini adalah pelanggaran terhadap hak-hak
konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian
Masalah perlindungan konsumen tidak bisa hanya dijelaskan berdasarkan sudut pandang normatif saja, melainkan harus juga memahami situasi dan kondisi sosial
masyarakat yang berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen itu sendiri. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum Empiris Sosiologis
15
Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis, yakni hasil penelitiannya akan menggunakan analisa normatif sehingga akan menggambarkan
mendeskripsikan fakta-fakta empiris dilapangan yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan konsumen.
. Penelitian hukum empiris sosiologis adalah penelitian yang diperoleh dari masyarakat
yang berkaitan dengan masalah “Penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang Yang Berlaku Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Studi di Carrefour dan Maju Bersama Medan”.
Jenis penelitian yang kedua digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam aturan
perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut berlaku di dalam masyarakat.
Penelitian ini juga sering disebut sebagai penelitian bekerjanya hukum law in action yang mendasarkan pada doktrin para realis Amerika seperti Holmes, yaitu bahwa
15
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum empiris sosiologis, yaitu yang mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum tidak tertulis dan penelitian terhadap efektivitas hukum.
Sorjono Soekanto dalam bukunya berjudul Pengantar Penelitian Hukum, menyebutkan : ada 2 dua jenis penelitian hukum yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris sosiologis.
Universitas Sumatera Utara
“law is not just been logic but experience” atau dari Roscou Pound tentang “law as a social engineering” dan bukan seperti pandangan positivis bahwa hukum adalah “... law
as it is written in books” yang melihat hukum hanya pada aturan sistem norma perundang-undangan
16
2. Lokasi Penelitian dan Sampel
.
a. Lokasi Penelitian
Carrefour sudah beroperasi tersebar di beberapa KotaKabupaten di Indonesia, salah satunya adalah di Kota Medan. Meskipun Maju Bersama hanya tersebar di
beberapa tempat di Kota Medan, namun merupakan alternatif belanja yang menawarkan tempat dan produk beragam pilihan yang dipilih konsumen untuk berbelanja dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian dalam penulisan ini akan dilakukan pada Carrefour Plaza Medan Fair Jalan Gatot Subroto dan Maju Bersama
Jalan KL. Yos Sudarso Glugur Medan.
b. Sampel
Penelitian dalam penulisan ini dilakukan pada bulan Maret 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah semua konsumen yang berbelanja di Carrefour Plaza Medan Fair
Gatot Subroto dan Maju Bersama Glugur Medan. Akan tetapi dalam melaksanakan penelitian, penulis kesulitan untuk mengadakan penelitian di tempat yang dimaksud
dikarenakan tidak mendapat izin dari pelaku usaha yang bersangkutan. Oleh karena itu penulis mengambil sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang konsumen, yaitu 25
16
Mukti Fajar, dkk, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010, hlm 47.
Universitas Sumatera Utara
orang konsumen Carrefour dan 25 orang konsumen Maju Bersama Medan. Dimana setiap konsumen mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel.
3. Sumber Data dan Bahan Hukum
Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil penelitian empiris yakni data yang diperoleh dari lapangan atau data yang diperoleh langsung di dalam
masyarakat. Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden dengan memberikan daftar pertanyaan kuesioner di lokasi penelitian. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari bahan pustaka atau literatur yang berkaitan dengan materi penelitian.
Data primer dalam penelitian hukum dapat dilihat sebagai data yang merupakan perilaku hukum warga masyarakat. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa
17
“Hukum merupakan bagian dari pergaulan hidup manusia, yang terwujud dalam perilaku manusia maupun di dalam perangkat kaidah-kaidah yang sebenarnya
juga merupakan abstraksi dari perilaku manusia. Dengan demikian, maka perilaku manusia dan ciri-cirinya yang mencakup perilaku verbal dan perilaku
nyata termasuk, seperti peninggalan fisik, bahan-bahan tertulis dan data hasil simulasi merupakan data yang penting dalam penelitian hukum”.
:
Penelitian ini juga menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari
perpustakaan dan dokumen pemerintah. Adapun sumber dan bahan hukum yang dimaksud diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, terdiri dari:
1 Undang-Undang No. 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen;
2 Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang;
3 Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
17
Ibid
Universitas Sumatera Utara
4 Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan
konsumen. b.
Bahan hukum sekunder, seperti hasil penelitian, artikel, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan hukum;
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, misalnya berupa kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum empiris atau lapangan yaitu wawancara, angket atau kuesioner dan observasi
18
Selain itu, bahan penelitian diperoleh dengan penelitian kepustakaan. Bahan- bahan dikumpulkan dan dicatat menjadi kutipan langsung, ikhtisar dan analisis yang
berhubungan dengan penelitian. Bahan dokumen diperoleh dengan cara
menginventarisasi dan mengoleksi semua peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan konsumen.
. Sedangkan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan angket atau kuesioner. Angket atau
kuesioner merupakan teknik yang digunakan dengan mengumpulkan data dengan cara menyebarkan atau membagi beberapa pertanyaan yang telah dibuat oleh peneliti yang
akan diberikan kepada responden atau narasumber. Angket ini bersifat tertutup, sehingga responden dapat dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di dalamnya
sudah ada pilihan jawaban.
18
Mukti Fajar, dkk,. loc.cit
Universitas Sumatera Utara
5. Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian hukum empiris selain pengolahan data sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-
undangan, dan artikel, kemudian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis, guna menjawab permasalahan
yang dirumuskan. Analisis data primer yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif. Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode kualitatif ini digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya
19
6. Metode Penarikan Kesimpulan
. Penelitian ini bukan hanya melihat data primer secara kualitatif saja, akan tetapi juga
menganalisis hal-hal yang lebih mendalam dari data kualitatif yang diperoleh.
Metode yang digunakan dalam penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif, yaitu teori yang digunakan dijadikan
sebagai patokan dalam melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen sehingga secara tidak langsung akan
menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah penetapan harga yang tidak berdasarkan nilai mata uang dan peranan pemerintah dalam melindungi konsumen
akan hak-haknya. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian. Maka deduktif-induktif adalah penarikan kesimpulan di dasarkan
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia UI-Press, 2007, hlm 21.
Universitas Sumatera Utara
pada teori yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PENETAPAN HARGA BARANG YANG TIDAK BERDASARKAN NILAI
MATA UANG YANG BERLAKU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Indonesia 1. Perlindungan Terhadap Konsumen Sebelum dan Setelah Diundangkannya
UU No. 8 Tahun 1999
Arus globalisasi dan perdagangan bebas serta kemajuan teknologi mempermudah transaksi barang danatau jasa produksi dari dalam maupun luar negeri. Keadaan seperti
ini di satu sisi bermanfaat bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan akan barang danatau jasa. Akan tetapi di sisi lain kedudukan konsumen dan pelaku usaha menjadi
tidak seimbang, karena konsumen berada pada posisi yang lemah. Dengan demikian, Undang-Undang konsumen sangat dibutuhkan dalam melindungi konsumen yang dapat
menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkualitas dalam menyediakan barang
danatau jasa.
Di Indonesia, masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
YLKI bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri.
Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin.
Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang
24
Universitas Sumatera Utara
rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu
20
Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen LP2K di Semarang yang berdiri
sejak Februari 1988 dan pada 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International CI. Di luar itu, dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang
berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia YLBKI di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai propinsi
di Tanah Air .
21
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI Medan merupakan perwakilan YLKI yang ada di berbagai propinsi di Indonesia. Demikian halnya kehadiran Lembaga
Advokasi dan Perlindungan Konsumen LAPK Medan merupakan lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap kepentingan konsumen.
.
Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen LAPK Medan didirikan tanggal 27 September 1999, merupakan refleksi dari semangat untuk membangun dan
menggalang gerakan perlindungan konsumen bersama masyarakat. LAPK didirikan oleh para aktivis NGO’s, dosen, pengacara dan mahasiswa, dengan tujuan memberikan
advokasi dan perlindungan konsumen, melakukan pembelaan, menampung pengaduan konsumen, pengkajian dan menggalang kerjasama jaringan antar lembaga, khususnya
yang punya komitmen terhadap perlindungan konsumen dalam arti luas
22
20
Abdul Halim Barkatullah, op.cit, hlm. 16
. Eksistensi
21
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta:Grasindo, 2006, hlm. 49.
22
LAPK Medan, Profil dan Latar Belakang Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen, Medan 21 Juli 2012.
Universitas Sumatera Utara
lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI dan Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen LAPK Medan sangat membantu
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembina dan pengawas barang- barang yang beredar di pasaran, terlebih dalam melindungi konsumen yang hak-haknya
sering terabaikan oleh pelaku usaha. Berbagai kegiatan yang dilakukan antara lain mengadakan berbagai seminar, pengarahan-pengarahan, sosialisasi, dan advokasi
mengenai perlindungan konsumen. Dalam rentang waktu 37 tahun kehadiran YLKI, dapat dibagi menjadi dua
periode. Pertama, adalah era perlindungan konsumen tanpa Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK. Kedua, era perlindungan konsumen di bawah
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. UUPK di satu sisi menjadikan posisi konsumen secara legal formal menjadi lebih kuat,
karena hak-hak konsumen menjadi hak hukum yang diatur dan dilindungi Undang- Undang. Namun demikian, secara riil, keberadaan UUPK belum dirasakan manfaatnya
secara riil oleh konsumen
23
Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produk-produk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen lahir, peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut .
24
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata, Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang KUHD yang merupakan produk peninggalan penjajahan ;
23
Sudaryatmo, “Menyuarakan Sebuah Harapan”, http:www.ylki.or.idmenyuarakan-
sebuahharapan.html, diakses tanggal 10 Januari 2012.
24
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008, hlm 5.
Universitas Sumatera Utara
Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam menyelesaikan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian atas cacatnya barang yang
dibelinya. Meskipun KUH Per dan KUHD itu tidak mengenal istilah konsumen, tetapi di dalamnya dijumpai istilah “pembeli”, penyewa, “tertanggung”, atau
“penumpang”, yang membedakan apakah mereka sebagai konsumen akhir atau konsumen antara.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang. Penerbitan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang
apa pun yang diperdagangkan di Indonesia. c.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1961. Salah satu tujuan dari standar industri itu adalah meningkatkan mutu dan hasil industri.
d. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor : 81MKSK21974 tentang
Pengesahan Standar Cara-cara Analisis dan Syarat-syarat Mutu Bahan Baku dan Hasil Industri.
Berbagai peraturan yang sudah ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan konsumen. Di bidang hukum perdata ketentuan Burgerlijke
Wetboek BW hanya memberikan perlindungan kepada “pembeli” Pasal 1473-1512, atau pihak-pihak yang terkait dalam suatu perjanjian Pasal 1320-1328, padahal BW
tidak berlaku bagi warga negara Indonesia aslipribumi kecuali bila pribumi yang
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan menundukkan dirinya secara sukarela, atau pernah mengalami proses hukum gelijks telling. Beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana memang dapat dipakai untuk menindak produsen yang “nakal” Pasal 204; 205; 359; 360; dan 386, tetapi tidak memberikan kompensasi apa pun kepada konsumen
yang dirugikannya. Berbagai perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen perumusannya sedemikian luas, sehingga tidak dapat secara langsung
melindungi kepentingan konsumen. Demikian bagian terbesar dari ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, yaitu berbagai paraturan sektoral yang
biasanya berbentuk keputusan menteri, belum mampu dimanfaatkan secara langsung untuk melindungi kepentingan. Bahkan pengertian “konsumen” itu sendiri hampir tidak
dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Kedudukan konsumen Indonesia dalam sistem prekonomian nasional masih berada pada keadaan
memprihatinkan
25
Kemudian, dalam perkembangannya, pada tanggal 20 April 1999, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai perlindungan
konsumen dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini berlaku efektif pada tanggal 20
April 2000, yang merupakan awal pengakuan perlindungan konsumen dan secara .
25
Agus Brotosusilo, InstrumenAspek-aspek Perlindungan Terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia, Makalah disajikan pada lokakarya Hukum Perlindungan Konsumen bagi Dosen dan
Praktisi Hukum. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dikutip dari buku Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000, hlm.196.
Universitas Sumatera Utara
legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai penyediapembuat produk tertentu
26
Untuk hadirnya suatu Undang-Undang Perlindungan konsumen yang terdiri atas 15 bab dan 65 Pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak
gagasan awal tentang Undang-Undang ini dikumandangkan tahun 1975 sampai dengan tahun 2000. Tak dapat disangkal, sebagai hasil kerja buatan manusia, terdapat beberapa
hal yang kurang lengkap atau kurang sempurna dari Undang-Undang ini selanjutnya merupakan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional BPKN. Sekalipun
demikian, ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang kesemuanya adalah konsumen pemakai, pengguna danatau pemanfaat barang danatau jasa
konsumen. Apalagi pikiran globalisasi telah melanda dunia. Keterbukaan pasar saat ini dan kedudukan konsumen yang lebih lemah dibanding dengan pelaku usaha, maka
kebutuhan perlindungan konsumen tersebut merupakan suatu “conditio sine qua non” .
27
Kehadiran Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia.
Diakui, bahwa Undang-Undang tersebut bukanlah yang pertama dan yang terakhir, karena sebelumnya telah ada beberapa rumusan hukum yang melindungi konsumen
yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Undang-Undang ini mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen baik menyangkut hukum materil
maupun hukum formil mengenai penyelesaian sengketa konsumen .
28
26
Adrian Sutedi, loc.cit.
.
27
Ibid, hlm 8.
28
Abdul Halim Barkatullah, op.cit, hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum
sebagai berikut
29
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. :
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. d.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah
Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan
Kota Makassar. e.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 302MPPKEP102001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat. f.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 605MPPKEP82002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian
29
Sekedar Berbagi, “Hukum Perlindungan Konsumen”, http:sudutsepi.blogspot.com2012
01hukum-perlindungan-konsumen.html, diakses tanggal 5 Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
Meskipun Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah lahir, pelaksanaannya belum berjalan mulus, karena adanya pandangan pemerintah bahwa apabila
perlindungan konsumen diterapkan, maka banyak pengusaha yang tidak akan mampu melaksanakan kegiatan usahanya, sementara pengusaha menggantungkan hal itu pada
kebijakan yang dibuat pemerintah
30
Padahal pada dasarnya sebagai pengguna barang dan jasa yang dibelinya, peranan konsumen sangat menguntungkan bagi pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan usahanya. Konsumen merupakan pihak yang menentukan dalam perkembangan usaha para pelaku usaha. Akan tetapi pelaku usaha sepertinya tidak peduli dengan
kedudukan konsumen. .
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Perlindungan konsumen yang dijamin Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap
segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan di antara keduanya”. Kepastian
hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang danatau jasa kebutuhannya serta
30
Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 5
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut
31
.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan KonsumenUUPK tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan
perlindungan konsumen
32
Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen .
33
a. Perlindungan Preventif
, yaitu :
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu,
mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli atau menggunakan atau
memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.
b. Perlindungan Kuratif
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa tertentu oleh konsumen. Dalam hal ini perlu
31
Ibid
32
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hlm.1
33
Vania Putri Rahmanto, op.cit, hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang danatau jasa, meskipun pada umumnya
konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau
pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui Undang-Undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak
lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya.
Konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau
dilanggar oleh pelaku usaha
34
2. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen dan Kaitannya dengan KUH Perdata
.
Terlepas dari kekurangan yang ada, prinsip-prinsip pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia bukan berarti tidak ada sama sekali sebelum UUPK. Untuk itu,
ada tiga bidang hukum yang memberikan perlindungan secara umum bagi konsumen yaitu bidang hukum perdata, pidana, dan administrasi negara
35
34
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visimedia, 2008, hlm.4-5.
.
35
Shidarta, op.cit, hlm. 58
Universitas Sumatera Utara
Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-
pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen
36
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan fault liability atau liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan
perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, 1367, prinsip ini dipegang secara teguh
37
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu
.
38
1 adanya perbuatan
:
2 adanya unsur kesalahan
3 adanya kerugian yang diderita
4 adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang, tetapi juga
kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat
39
b. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung jawab
.
36
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hlm. 92
37
Shidarta, op.cit, hlm.73
38
Ibid
39
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab persumtion of liability principle, sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban
pembuktian ada pada si tergugat. Tampak pembuktian terbalik omkering van bewijslast diterima dalam prinsip
tersebut. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia Omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada
Pasal 17 dan 18. Namun, dalam praktiknya pihak Kejaksaan RI sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian
terbalik. UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 lihat ketentuan Pasal 28 UUPK
40
Sistem pembuktian terbalik dalam Pasal 19, 22, 23 dan 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dibawah ini :
.
Pasal 19 ; 1
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan
atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalianuangatau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
3 Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah
tanggal transaksi. 4
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
40
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit, hlm. 95
Universitas Sumatera Utara
Pasal 22 : “Pembuktian Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal
21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”.
Pasal 23 : “Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan
peradilan di tempat kedudukan konsumen”.
Pasal 28 : “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan
beban dan tanggungjawab pelaku usaha”.
Sebagaimana diketahui Pasal 19 yang dimaksud mengatur tanggung jawab ganti rugi, Pasal 22 tentang tanggung jawab pembuktian unsur kesalahan dalam perkara
pidana, dan Pasal 23 UUPK mengatur gugatan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau badan peradilan di tempat kedudukan konsumen, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 28 ini bahwa beban pembuktian unsur “kesalahan” dalam gugatan ganti kerugian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha yang dapat membuktikan
kerugian bukan merupakan kesalahannya terbebas dari tanggung jawab ganti kerugian
41
c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
.
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab persumption of nonliability principle hanya dikenal dalam
lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan
42
.
41
Ahmadi Miru, op.cit, hlm. 167
42
Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering di identikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut absolute liability. Kendati demikian ada pula para ahli
yang membedakan kedua terminologi di atas
43
Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-
pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa
kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas
antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada.
Maksudnya, pada absolute liability dapat saja si tergugat yang diminta pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut misalnya dalam
kasus bencana alam .
44
e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan
.
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan limitation of liability principle sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai kalusula eksonerasi
dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya,
43
Shidarta, op.cit, hlm. 77
44
Ibid, hlm. 78
Universitas Sumatera Utara
ditentukan bila film yang ingin dicucicetak itu hilang atau rusak termasuk akibat kesalahan petugas, maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh
kali harga satu rol film baru
45
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru seharusya pelaku usaha tidak boleh
secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang jelas .
46
3. Hak dan Kewajiban Konsumen
.
Istilah “konsumen” berasal dari bahasa Belanda “konsument”, bahasa Inggris “consumer” yang berarti “pemakai”
47
. Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, istilah lain dari konsumen adalah “pembeli” koper. Pengertian lain,
Menurut Hornby, konsumen consumer adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau
menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa
48
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah ”konsumen” terdapat pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-
Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
.
45
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit, hlm. 98
46
Shidarta, op.cit, hlm. 80
47
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000, hlm.200.
48
Sekedar berbagi, “Hukum Perlindungan Konsumen”, http:sudutsepi.blogspot.com2012
01hukum-perlindungan-konsumen.html, diakses tanggal 5 Maret 2012. loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Az. Nasution menegaskan batasan tentang konsumen
49
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan
untuk tujuan tertentu; , yaitu :
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang danatau jasa
untuk digunakan dengan tujuan membuat barang danjasa lain atau untuk diperdagangkan tujuan komersial;
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan
barang danatau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga danatau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali non
komersial.
Sebagaimana penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut yang maksud konsumen adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi
50
. Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam Undang-Undang perlindungan
konsumen tersebut. Selanjutnya, apabila di gunakan istilah konsumen dalam Undang- Undang, yang dimaksud adalah konsumen akhir
51
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, Semua orang merupakan konsumen atas barang danatau jasa secara pribadi, maupun kelompok. Sehingga konsumen harus
dilindungi terhadap hal-hal yang dapat merugikan konsumen, ditambah lagi posisi konsumen yang tidak seimbang dengan kedudukan pelaku usaha.
.
49
Az. Nasution, op.cit. hlm. 13
50
Dalam literatur ekonomi dikenal dua macam konsumen, yaitu konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen
antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi dari suatu produk lainnya.
51
Adrian Sutedi, op.cit, hlm 10.
Universitas Sumatera Utara
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan posisi konsumen melemah. Menurut hasil penelitian Badan dan Pembinaan Hukum Nasional BPHN, sebagaimana dikutip
N.H.T. Siahaan, ada lima faktor yang melemahkan konsumen
52
a. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya.
:
b. Belum terkondisikannya “masyarakat konsumen” karena memang sebagian
masyarakat ada yang belum mengetahui tentang apa saja hak-haknya dan kemana hak-haknya dapat disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau
kekurangan dari standar barang atau jasa sewajarnya.
c. Belum terkondisikannya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang
mempunyai kemauan untuk menuntut hak-haknya. d.
Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang berkepanjangan. e.
Posisi konsumen yang selalu lemah. Kedudukan konsumen terhadap produsen yang seharusnya seimbang menjadi
lemah karena rendahnya pengetahuan konsumen akan hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak itu perlu ditegaskan dalam suatu perundang-undangan sehingga semua pihak,
baik konsumen itu sendiri, produsen, maupun pemerintah mempunyai persepsi yang sama dalam mewujudkannya. Ini berkaitan dengan upaya hukum dalam
mempertahankan hak-hak konsumen. Artinya, hak-hak konsumen yang dilanggar dapat dipertahankan melalui jalan hukum, dengan cara prosedur yang diatur di dalam suatu
peraturan perundang-undangan
53
Secara umum dikenal ada 4 empat hak dasar konsumen, yaitu
.
54
a. hak untuk mendapatkan keamanan the right to safety;
;
b. hak untuk mendapatkan informasi the right to be informed;
c. hak untuk memilih the right to choose;
52
Happy Susanto, op.cit, hlm. 29-30.
53
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 42
54
Shidarta, op.cit, hlm. 19
Universitas Sumatera Utara
d. dan hak untuk didengar the right to be heard.
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam International Organization of
Consumer Union IOCU menambahkan lagi beberapa hak, dan hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat
55
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 disebutkan bahwa hak konsumen sebagai berikut :
.
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
danatau jasa; b.
hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang danatau jasa; d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut; f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian, apabila
barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Diantara hak-hak konsumen yang terdapat di dalam Pasal 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen di atas, yang menjadi perhatian disini adalah Pasal 4 huruf b yaitu “hak-hak konsumen hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan
55
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”.
Disamping hak-hak yang dimiliki konsumen tersebut di atas, juga terdapat kewajiban yang harus diperhatikan. Kewajiban konsumen di dalam Pasal 5 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen ; a.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna bagi konsumen agar selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan dagang. Dengan cara
seperti itu, setidaknya konsumen dapat terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang bakal menimpanya. Untuk itulah, perhatian terhadap kewajiban sama
pentingnya terhadap hak-haknya sebagai konsumen
56
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak menggunakan istilah produsen tetapi menggunakan istilah pelaku usaha. Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen; “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
56
Happy Susanto, op.cit, hlm 28.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertian tersebut, pelaku usaha bisa orang perseorangan atau badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pelaku
usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, Importir, pedagang, distributor, dan lain-lain
57
Untuk memberi kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan hukum perlindungan konsumen dan untuk memperjelas hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing
pihak yang saling berinteraksi, penjelasan dan penjabaran hak dan kewajiban pelaku usaha tak kalah pentingnya dibandingkan dengan hak dan kewajiban konsumen itu
sendiri .
58
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang danatau jasa yang diperdagangkan;
.
Hak pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 6, yaitu ;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik; c.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau jasa yang diperdagangkan; e.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain hak pelaku usaha yang telah disebutkan di atas, maka pelaku usaha juga
dibebankan beberapa kewajiban, Pasal 7 UUPK diantaranya adalah kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
57
Rachmadi Usman, op.cit, hlm. 207
58
Ibid, hlm 34
Universitas Sumatera Utara
d. menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku; e.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, danatau mencoba barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau garansi atas barang
yang dibuat danatau yang diperdagangkan; f.
memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang danatau jasa yang
diperdagangkan; g.
memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Hak dan kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha bagi pelaku usaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang
seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Artinya bahwa, dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen bagi pelaku usaha harus beritikad baik dalam
melakukan usahanya, sedangkan bagi konsumen harus juga beritikad baik dalam melakukan transaksi barang danatau jasa.
Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang danatau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena
bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancangdiproduksi oleh produsen pelaku usaha
59
5. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen .
Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat massal tersebut menciptakan hubungan secara individualpersonal sebagai hubungan hukum yang
59
Ahmadi Miru, op.cit, hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat bervariasi, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain
60
a. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu;
:
b. Penawaran dan syarat perjanjian;
c. Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya;
d. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.
Keadaan-keadaan seperti di atas, pada dasarnya akan sangat mempengaruhi dan menciptakan kondisi perjanjian yang juga sangat bervariasi. Dalam praktiknya,
hubungan hukum seringkali melemahkan posisi konsumen karena secara sepihak para produsendistributor sudah menyiapkan satu kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian
baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh produsen atau jaringan distributornya
61
Sebelum konsumen memakai atau mengonsumsi produk yang diperolehnya di pasar, tentu ada peristiwa-peristiwa yang terjadi. Persitiwa-peristiwa atau keadaan-
keadaan itu dapat digolongkan atau dikelompokkan ke dalam beberapa persitiwakeadaan
.
62
Tahapan-tahapan transaksi itu dapat dibedakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pratransaksi, tahap transaksi yang sesungguhnya, dan tahap purnatransaksi
.
63
1. Tahap Pratransaksi ;
60
Celina Tri Siwi Kristiyanti, dikutip dari Sri Rezeki Hartono, makalah “Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen” dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:Sinar Grafika, 2009,
hlm.38
61
Ibid
62
Janus Sidabalok, op.cit, hlm. 69
63
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan tahapan pratransaksi adalah tahapan sebelum adanya perjanjiantransaksi konsumen, yaitu keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa yang
terjadi sebelum konsumen memutuskan untuk membeli dan memakai produk yang diedarkan.
2. Tahap Transaksi Setelah calon konsumen-pembeli memperoleh informasi yang cukup mengenai
kebutuhannya, kemudian ia mengambil keputusan apakah membeli atau tidak. Di sini konsumen-pembeli mempergunakan salah satu haknya, yaitu hak untuk memilih
menentukan pilihan. Apabila konsumen sudah menyatakan persetujuannya, pada saat itu lahirlah perjanjian, sebab penawaran produsen-penjual telah mendapat jawaban di
dalam penerimaan dari konsumen-pembeli. Bagi produsen, mestinya harga yang ditetapkan haruslah wajar. Artinya, melalui
perhitungan yang matang dan benar atas seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk ditambah dengan sejumlah keuntungan yang wajar yang
diharapkan akan diperoleh. Kedudukan sebagai satu-satunya produsen monopolist tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menetapkan harga setinggi mungkin. Dalam
kaitan ini, produsen tidak boleh melupakan prinsip lain yang terkandung dalam defenisi pemasaran, yaitu antara produk dan harga harus mempunyai nilai yang sama; konsumen
dan produsen sama-sama beruntung. Demikian pula harus dihindari perasaan terpaksa konsumen untuk membeli produk seharga yang sudah ditetapkan produsen.
Salah satu hak konsumen yang berkaitan tahap transaksi ini adalah dengan hak konsumen untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Artinya,
Universitas Sumatera Utara
konsumen berhak untuk tidak dirugikan, berhak mendapat produk dengan harga yang sesuai wajar. Hak ini seharusnya mendapat perhatian lebih dari pihak produsen pelaku
usaha, karena bagaimanapun konsumen dan produsen pelaku usaha saling membutuhkan.
3. Tahap Purnatransaksi Transaksi perjanjian, kontrak yang sudah dibuat antara produsen-penjual dan
konsumen-pembeli tentunya masih harus direalisasikan, yaitu diikuti dengan pemenuhan hak dan kewajiban di antara mereka sesuai dengan isi perjanjian yang dibuat itu.
Artinya, tahap pengikatan perjanjian sebenarnya hanyalah bagian awal yang masih harus diikuti dengan perbuatan pelaksanaan. Dengan kata lain, realisasi dari perjanjian itulah
yang sebenarnya dimaksudkan oleh para pihak. Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa melindungi
konsumen dari berbagai hal yang dapat merugikan konsumen merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan kedudukan konsumen yang tidak seimbang dengan
para pelaku usaha.
6. Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha
Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha, Pasal 8 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut ; 1 Pelaku usaha dilarang memproduksi danatau memperdagangkan barang
danatau jasa yang: a.
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Universitas Sumatera Utara
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya; d.
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang danatau
jasa tersebut e.
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang danatau jasa tersebut; f.
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang danatau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaanpemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h.
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, beratisi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi danatau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
2 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud. 3 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
4 Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang danatau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang danatau jasa;
b. kegunaan suatu barang danatau jasa;
Universitas Sumatera Utara
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang danatau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang danatau jasa.
Larangan mengenai kelayakan produk, baik itu berupa barang danatau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat barang danatau jasa yang
diperdagangkan tersebut. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang danatau jasa tertentu sebelum
barang danatau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Standar minimum tersebut kadang-kadang sudah ada yang menjadi “pengetahuan
umum”, namun sedikit banyaknya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk itu, informasi menjadi suatu hal yang penting bagi konsumen. Informasi yang demikian
tidak hanya datang dari pelaku usaha semata-mata, melainkan juga berbagai sumber lain yang dapat dipercaya, serta dipertanggungjawabkan sehingga akhirnya konsumen tidak
dirugikan, dengan membeli barang danatau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan
64
7. Penyelesaian Sengketa Konsumen
.
a.
Penyelesaian melalui Pengadilan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat 1, “Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum yang berlaku di Indonesia”.
64
Abdul Halim Barkatullah, op.cit, hlm. 41
Universitas Sumatera Utara
Ada 4 cara dalam mengajukan gugatan ke pengadilan berdasarkan Undang- Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu gugatan oleh seorang konsumen yang dirugikan atau
ahli waris yang bersangkutan individual, gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat, dan pemerintah. Pada prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa
konsumen diluar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para
pihak yang bersengketa
65
Menurut Pasal 48 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara berdasarkan Herziene Inlands Regeling HIR
yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, atau Rechtsterglemen Buitengewesten Rbg yang berlaku bagi daerah luar Jawa dan Madura. Keduanya tidak mempunyai
perbedaan yang mendasar prinsipil .
66
Meskipun demikian, konsumen yang dirugikan sepertinya enggan untuk bersengketa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa meskipun dengan tegas disebutkan di dalam Undang-Undang Perlindungan .
65
Rachmadi Usman, op.cit, hlm. 224
66
Janus Sidabalok, op.cit, hlm. 149
Universitas Sumatera Utara
Konsumen. Ini bisa saja karena proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang rumit, bertele-tele dan baiya perkara yang mahal. Hal ini tidak sejalan dengan proses
peradilan yang cepat, mudah, biaya ringan. b.
Penyelesaian melalui BPSK
Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat 12, “BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen”. Disamping bertugas menyelesaikan masalah sengketa konsumen, BPSK juga bertugas memberikan konsultasi perlindungan konsumen. Bentuk konsultasinya
sebagai berikut
67
1 Memberikan penjelasan kepada konsumen atau pelaku usaha tentang hak dan
kewajibannya masing-masing. ;
2 Memberikan penjelasan tentang bagaimana menuntut ganti rugi atas kerugian
yang diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha. 3
Memberikan penjelasan bagaimana memperoleh pembelaan dalam hal penyelesaian sengketa konsumen.
4 Memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk dan tata cara penyelesaian
sengketa konsumen. BPSK dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar
pegadilan. Kedudukan badan ini berada di daerah tingkat II. Susunan pengurus BPSK dibentuk oleh Gubernur masing-masing provinsi dan diresmikan oleh Menteri
Perdagangan
68
. Dasar hukum pembentukan BPSK adalah UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 49 ayat 1 UUPK jo Pasal 2 Kepmenperindag No. 350MPPKep122001 mengatur
bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK
69
67
Happy Susanto, op.cit. hlm.83
.
68
Ibid
69
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm.75
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan ini sama seperti penyelesaian sengketa dengan jalan mediasi, arbitrase, atau konsiliasi. Jadi, majelis
BPSK sedapat mungkin mengusahakan terciptanya kesepakatan diantara pihak-pihak yang bersengketa. Dengan demikian, penyelesaian sengketa melalui BPSK ini memuat
unsur perdamaian
70
. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimaksud, tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
71
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diatur dalam UU No. 8 tahun 1999 jo Kepmenperindag No. 350MPPKep122001 tentang pelaksanaan Tugas
dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang formal
.
72
1 Tahap Pengajuan Gugatan
.
73
Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK yang terdekat dengan tempat tinggal konsumen. Permohonan
dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan sendiri atau kuasanya atau ahli waris yang bersangkutan jika konsumen telah meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut
sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, atau konsumen belum dewasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku terhadap orang asingwarga negara asing
74
Permohonan diajukan secara tertulis, kepada sekretariat BPSK, maka sekretariat BPSK akan memberikan tanda terima kepada pemohon, dan jika permohonan diajukan
.
70
Janus Sidabalok, op.cit, hlm. 196
71
Rachmadi Usman, op.cit, hlm. 224
72
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hlm. 103
73
Ibid, hlm 104-125
74
Lihat Pasal 15 ayat 2 dan 3 Kepmenperindag No. 350MPPKep122001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
secara lisan, maka sekretariat BPSK akan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulir yang disediakan secara khusus, dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.
Apabila permohonan ternyata tidak lengkap tidak sesuai dengan Pasal 16 Kepmenperindag No. 350MPPKep122001 atau permohonan bukan merupakan
wewenang BPSK, maka ketua BPSK menolak permohonan tersebut. Jika permohonan memenuhi persyaratan dan diterima, maka ketua BPSK harus memanggil pelaku usaha
secara tertulis disertai kopi permohonan dari konsumen, selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak diterimanya permohonan.
Jika pada hari yang ditentukan pelaku usaha tidak hadir memenuhi panggilan, maka sebelum melampui 3 hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil
sekali lagi. Jika pelaku usaha tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 52 huruf i UUPK jo Pasal 3 huruf i Kepmenperindag No.
350MPPKep122001, BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut.
Jika pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketanya yang harus di setujui oleh pelaku usaha. Cara yang bisa dipilih dan disepakati para pihak
adalah : konsiliasi, mediasi atau arbitrase. Jika cara yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai dengan
ketentuan untuk ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika cara yang dipilih para pihak adalah arbitrase, maka prosedurnya adalah para pihak memilih arbiter dari anggota
BPSK yang berasal dari unsur pemeritah sebagai ketua majelis. Persidangan pertama dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7 terhitung sejak diterimanya
permohonan.
Universitas Sumatera Utara
2 Tahap Persidangan
a Persidangan dengan cara konsiliasi
Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis BPSK yang
bertindak pasif sebagai konsiliator. Jadi, dalam hal ini majelis BPSK menyerahkan dengan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada
para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya. b
Persidangan dengan cara mediasi Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para
pihak yang bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak,
baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen.
c Persidangan dengan cara arbitrase
Penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase, para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan
konsumen sebagai anggota majelis. Arbitor yang telah dipilih oleh para pihak kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal
dari unsur pemerintah sebagai ketua. 3
Tahap Putusan Putusan majelis BPSK dapat dibedakan atas 2 jenis putusan, yaitu ;
a Putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi
Universitas Sumatera Utara
Putusan dengan cara konsiliasi atau mediasi pada dasarnya hanya mengukuhkan isi perjanjian perdamaian, yang telah disetujui dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa. b
Putusan BPSK dengan cara arbitrase Putusan BPSK dengan cara arbitrase seperti halnya dengan putusan
perkara perdata, memuat duduknya perkara dan pertimbangan hukumnya
75
Kekuatan hukum putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat final dan mengikat, Pasal 54 ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen secara tegas ditetapkan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat final dan Mengikat. Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan RI No. 350MPPKep122001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 42 ayat 1 menyatakan bahwa
putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sehingga tidak adanya upaya hukum
banding atau keberatan dan harus dijalankan para pihak. .
Sebaliknya, dalam Pasal 56 ayat 2 UUPK, masih dibuka peluang untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri, dalam tenggang waktu 14 hari setelah
putusan BPSK diberitahukan
76
75
Arman Sinaga, “Makalah Peran dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Upaya Perlindungan Konsumen”, Tahun 2004, hal. 6. Dikutip dari buku Susanti Adi Nugroho, Proses
Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008, loc.cit.
.
76
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hlm. 123-124
Universitas Sumatera Utara
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut : Bagan 1
Penyelesaian sengketa konsumen menurut UUPK di Pengadilan maupun di luar pengadilan
Di Pengadilan -
Sekelompok Konsumen -
LSM Perlindungan Konsumen
- PemerintahInstansi
terkait Banding
Kasasi
gugat gugat
tidak Di Luar Pengadilan
Setelah perdamaian Tercapainya Kesepakatan ya
tidak berhasil, diajukan gugatan ke
Ada keberatan ? ya
tidak
Sumber : Mahkamah Agung, Position Paper hlm. 131
77
B. Penetapan Harga Oleh Pelaku Usaha 1. Pengertian Harga
Harga adalah “nilai suatu benda yang diukur dengan uang”. Jumlah uang yang senilai yang harus dibayarkan untuk sebuah benda”
78
77
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 249
. Penetapan harga dari suatu produk
Pengadilan Negeri
BPSK Sengketa
Perlindungan Konsumen
Pengadilan Tinggi
Mahkamah Agung
Arbitrase Mediasi
Konsiliasi Putusan
BPSK Putusan
BPSK Final
Mengikat Keberatan ke
Pengadilan Negeri
Universitas Sumatera Utara
merupakan hal yang sangat strategis untuk diperhatikan oleh suatu perusahaan. Jika menyinggung dengan harga dari suatu produk, maka biasanya akan sebanding dan
sejalan dengan kualitas produk itu sendiri. Secara umum, biasanya jika harga suatu barang tinggi, maka hal itu disebabkan karena kualitas yang dimiliki dari suatu produk
itu juga tinggi pula. Namun terkadang hal itu tidak berlaku jika konsumen jeli dalam memilih barang, karena terkadang harga dari suatu barang mahal disebabkan oleh merek
dari barang itu sendiri yang memang sudah diakui pasaran
79
Variabel penting kedua dalam manajemen pemasaran adalah kebijakan mengenai penentuan harga. Dari segi manajemen, persoalan ini memerlukan suatu strategi yang
tersendiri pula. Komponen-komponen pembentuk harga, antara lain cost dan benefit. Yang penting diperhatikan disini adalah bahwa harga harus wajar bagi semua pihak,
yaitu bagi produsen, konsumen, dan produsen pesaingnya .
80
Bagi produsen sendiri, mestinya harga yang ditetapkan haruslah wajar. Artinya, melalui perhitungan yang matang dan benar atas seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
menghasilkan produk ditambah dengan sejumlah keuntungan yang wajar yang diharapkan akan diperoleh. Kedudukan sebagai satu-satunya produsen monopolist
tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menetapkan harga setinggi mungkin. Dalam kaitan ini, produsen tidak boleh melupakan prinsip lain yang terkandung dalam definisi
pemasaran, yaitu antara produk dan harga harus mempunyai nilai yang sama; konsumen .
78
Indrawan W.S, Kamus Bahasa Indonesia, Jombang : Lintas Media, hlm. 193.
79
Setiawan, “ Penetapan Harga”, http:ariajach.blogspot.com201101penetapan-harga
. html, diakses tanggal 19 Maret 2012.
80
Janus Sidabalok, op.cit, hlm. 238
Universitas Sumatera Utara
dan produsen sama-sama beruntung. Demikian pula harus dihindari perasaan terpaksa konsumen untuk membeli produk seharga yang sudah ditetapkan produsen
81
Hak konsumen yang berkaitan dengan harga ini adalah hak konsumen untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Artinya, bahwa konsumen berhak untuk tidak dirugikan, berhak mendapatkan produk dengan harga yang wajar
sesuai dengan nilai tukar yang berlaku. Hak ini seharusnya mendapat perhatian yang serius dari pelaku usaha, sebab eksistensi konsumen sangat penting bagi pelaku usaha.
Konsumen dan pelaku usaha saling membutuhkan, saling menguntungkan layaknya hubungan simbiosis mutulisme yang harus dibina dan dilestarikan keberadaannya.
.
2. Beberapa Faktor Penentu Harga a. Pengaruh Konsumen dalam Penetapan Harga
Dua hal yang harus diperhatikan dalam penetapan harga oleh pemasar dalam penetapan harga adalah persepsi dan respons konsumen terhadap berbagai alternatif
harga. Persepsi konsumen akan berkaitan dengan cara konsumen dengan perilaku nyata yang dilakukan konsumen terhadap produk
82
81
Ibid
;
82
Gunadarma,”Bab VIII Strategi Harga”, http:elearning.gunadarma.ac.iddocmodul
manajemenpemasaranbab8_strategiharga.pdf, hlm. 82, diakses tanggal 10 April 2012.
Universitas Sumatera Utara
1 Persepsi Konsumen Terhadap Harga Persepsi konsumen terhadap harga jual produk yang ditetapkan akan terbentuk
karena beberapa hal sebagai berikut ; a Kesadaran konsumen terhadap harga price awareness
Pada umumnya kesadaran konsumen terhadap harga sangat rendah. Hal ini disebabkan konsumen pertama kali yang dilihat adalah wujud fisik atau gambaran
tentang produk. Namun, biasanya kesadaran harga itu akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya sensitivitas harga yang dilakukan.
Ekspektasi terhadap harga price a expectation Sebelum menentukan pilihan atas produk, konsumen biasanya mengembangkan
ekspektasi tentang tingkat harga normal dan rentang harga untuk suatu merek tertentu. Mereka menentukan standar harga untuk beberapa item produk yang
dianggapnya cukup fair. Mereka juga biasanya menetapkan berapa kira-kira rentang harga yang dianggap wajar untuk suatu produk.
Kaitan harga dan kualitas produk Hal lain yang cukup penting diperhatikan dalam penetapan setrategi harga adalah
menentukan apakah konsumen memandang tingkat harga memberikan indikasi tentang kualitas produk. Apabila hal itu benar, maka penurunan harga mungkin
akan meningkatkan penjualan dalam waktu singkat, tetapi mungkin juga berakibat konsumen memiliki pandangan bahwa perusahaan mempertaruhkan kualitas
dengan harga produk.
Respons Konsumen Terhadap Harga
Universitas Sumatera Utara
Apabila harga produk berdasar pada respons konsumen, ada beberapa hal yang harus diperhatikan tentang adanya berbagai tingkat permintaan konsumen terhadap
harga dan sensitivitas terhadap perubahan harga. a Permintaan Konsumen consumer demand
Perusahaan mempunyai dua alternatif setrategi untuk menghadapi pesaing, menurunkan harga atau meningkatkan anggaran promosi dengan tetap
mempertahankan harga jual yang telah ditentukan. Untuk alternatif pertama, perusahaan mencoba menurunkan harga menjadi dua tingkatan Rp. 1900,00
seribu sembilan ratus rupiah dan Rp. 1700,00 seribu tujuh ratus rupiah. Dengan menurunkan harga sebesar 5 lima persen atau menjadi Rp. 1900,00 seribu
sembilan ratus rupiah perusahaan memperoleh kenaikan dengan jumlah permintaan produk sebesar 3 tiga persen. Sedang dengan menurunkan harga
menjadi Rp. 1700,00 seribu tujuh ratus rupiah atau 15 lima belas persen perusahaan memperoleh kenaikan penjualan sebesar 30 tiga puluh persen.
Alternatif setrategi yang lain yaitu dengan menaikkan anggaran promosi penjualan. Hasil yang diperoleh dengan penggunaan strategi ini adalah,
meningkatnya tingkat permintaan. b
Elastisitas Harga atas Permintaan price elasicty of demand Elastisitas merupakan ukuran relatif yang dapat dipergunakan untuk menilai suatu
perubahan. Elastisitas harga atas permintaan adalah merupakan ukuran relatif untuk melihat persentase perubahan kuantitas permintaan produk yang disebabkan
adanya perubahan harga.
Universitas Sumatera Utara
b. Pengaruh Faktor Lain Dalam Penetapan Harga
Beberapa faktor lain yang berpengaruh dalam penetapan harga jual produk adalah
83
1 Pengaruh Distributor :
Walaupun pelaku usaha sangat berkepentingan dengan reaksi konsumen terhadap harga, namun tidak banyak pelaku usaha yang menjual produknya secara langsung ke
konsumen akhir. Dalam hal ini peran distributor akan sangat menentukan tingkat keberterimaan produk perusahaan. Kadangkala perusahaan memang tidak memberikan
ruang gerak yang cukup bagi para perantara untuk menimbun barang. Oleh karenanya, satu-satunya cara yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi distributor adalah
dengan menawarkan margin yang menarik bagi mereka. Akibatnya, dalam hal-hal tertentu perusahaan memang harus memberikan harga khusus sampai dengan tingkat
terendah yang mungkin dicapai. 2
Faktor Persaingan Dalam menghadapi pesaing, para pelaku usaha dapat menempuh dua atau tiga
alternatif strategi harga; lebih tinggi, lebih rendah, atau sama dengan harga produk yang ditetapkan pesaing. Keputusan terhadap pilihan strategi akan ditentukan oleh kejelian
dan kemampuan sumber daya yang dimiliki perusahaan. 3
Faktor Hukum
83
Ibid, hlm. 84
Universitas Sumatera Utara
Harga jual produk beberapa kelompok tertentu, khususnya komoditas pertanian, seringkali tidak dapat ditetapkan secara bebas oleh perusahaan. Harga jual beras
misalnya, pemerintah sudah menetapkan harga patokan yang berlaku. Dengan adanya ketentuan harga dasar gabah maka pelaku usaha tidak dapat menetapkan harga produk
secara individual. Karena dengan adanya kenaikan harga secara individual dapat
berakibat timbulnya reaksi masyarakat.
Untuk tujuan jangka pendek, banyak pelaku usaha yang menetapkan titik khusus yang diarahkan pada upaya menarik banyak pelanggan dalam waktu singkat. Taktik
semacam ini dimaksudkan untuk mendukung strategi harga yang telah ditetapkan sebelumnya. Beberapa taktik dalam penetapan harga yang umum dijumpai antara lain
adalah
84
:
1 Penetapan Harga Ganjil
Harga ganjil odd pricing dipergunakan oleh pelaku usaha yang beranggapan bahwa konsumen akan lebih tertarik untuk membeli apabila harga jual yang ditetapkan
adalah merupakan bilangan ganjil. Lebih dari itu cara semacam ini juga dapat dipergunakan untuk memberi kesan khusus atas harga jual yang ada. Jadi, misalnya
perusahaan menetapkan harga jual untuk deterjen Rp. 2995,00,- dua ribu sembilan ratus sembilan puluh lima rupiah per kilogram. Dengan angka semacam itu konsumen
akan cenderung menganggap harga jual sebesar Rp. 2900,00,- dua ribu sembilan ratus rupiah walaupun toh pembeli sebenarnya harus mengeluarkan uang sejumlah Rp.
3000,00,- tiga ribu rupiah. Dengan demikian, konsumen akan memperoleh gambaran
84
Ibid, hlm. 90-91
Universitas Sumatera Utara
yang lebih murah atas produk perusahaan. Taktik harga ganjil akan efektif diterapkan apabila konsumen memang sensitif terhadap harga. Untuk kelompok konsumen yang
tidak peka terhadap harga, penetapan harga ganjil justru akan memberi kesan bahwa harga yang dijual mempunyai kualitas rendah. Oleh karena itu, penetapan harga ganjil
seringkali juga dikenal dengan penetapan harga psikologis psycological pricing. Hak-hak konsumen yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dimaksudkan untuk melindungi hak konsumen dari kerugian akibat permainan harga yang tidak wajar
85
2 Potongan Harga atau Diskon
. Penetapan harga ganjil yang dilakukan oleh pelaku usaha pada dasarnya bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
karena harga yang digunakan harga ganjil tersebut tidak sesuai dengan nilai mata uang yang ada di masyarakat.
Banyak pelaku usaha yang menetapkan harga jual dengan memberikan potongan khusus atas produk. Tiga bentuk potongan harga yang dipergunakan adalah; Pertama,
potongan harga yang diberikan kepada para pedagang perantara atau distributor yang telah membantu memasarkan produk perusahaan.
Potongan semacam ini disebut juga functional discount. Kedua, potongan khusus yang diberikan kepada konsumen yang membeli dalam jumlah tertentu atau disebut
quantity discount. Bentuk ketiga diberikan apabila konsumen membeli dalam jumlah tertentu dan membayar kontan atau pada waktu spesifik yang telah ditentukan atau
disebut juga cash discount. Misalnya, 210. N 30. Artinya, apabila konsumen membeli
85
Ahmadi Miru, op.cit, hlm. 45
Universitas Sumatera Utara
produk dan membayar dalam jangka waktu 10 hari akan mendapat potongan sebesar 2 dua persen, sedangkan konsumen tersebut harus membayar dalam jangka waktu
maksimum 30 tiga puluh hari setelah pembelian. Persaingan melalui cara potongan harga ini sering kali merupakan suatu tipu
muslihat dari para penjual atau distributor. Dikatakan sebagai tipu muslihat karena potongan-potongan pada harga biasanya dilakukan dengan menaikkan harga sebelumnya
sehingga potongan harga sebagai suatu jasa rill sebetulnya tidak pernah ada dan kebijakan potongan harga tersebut hanyalah tipu muslihat agar produksinya laku terjual
dengan cara menipu
86
Perbuatan tidak jujur curang adalah suatu tindakan penipuan subjektif yang dapat dilakukan oleh setiap pelaku usaha dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses
produksi suatu barang atau bentuk lain. Misalnya pelaku usaha retail tidak memberikan informasi yang jujur dalam pemotongan harga. Pelaku usaha tersebut membuat iklan
super hemat dengan mengganti label harga barang-barang tertentu dengan label yang baru, misalnya pada label dua liter minyak goreng yang sebetulnya harganya Rp. 8.750,-
delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah ditulis Rp. 9.500,- sembilan ribu lima ratus rupiah seolah-olah harga lama, kemudian harga ini dicoret dan ditambahkan “harga
baru” Rp. 8.750,- delapan ribu tujuh ratus lima puluh rupiah untuk memberi kesan seolah-olah ada potongan harga Rp. 750,- tujuh ratus lima puluh rupiah dari harga
lama. Iklan semacam ini dibuat untuk mengecoh dan menarik konsumen untuk membeli minyak tersebut. Iklan tersebut dapat menarik perhatian konsumen karena adanya
.
86
Abdul Hakim G. Nusantara, dkk, Analisa dan Perbandingan Undang-undang Antimonopoli Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta : PT.
Gramedia, 1999, hlm. 85
Universitas Sumatera Utara
potongan harga sebesar Rp. 750,- tujuh ratus lima puluh rupiah. Namun, setelah dibayar di kasir, yang dihitung adalah harga lama. Kebanyakan konsumen tidak
mengecek bon pembeliannya, apakah harga potongan ada atau tidak
87
.
3 Penetapan Harga Promosi
Strategi promosi penjualan umumnya dilakukan perusahaan untuk memperoleh target penjualan dalam waktu singkat. Bentuk penetapan harga dilakukan dengan cara
misalnya menawarkan kupon undian untuk voucher. Penetapan harga promosi ini dilakukan untuk menarik konsumen untuk
berbelanja dalam jumlah besar, misalnya konsumen yang berbelanja minimal Rp. 150.000,- seratus lima puluh ribu rupiah mendapatkan voucher belanja Rp. 50.000,-
lima puluh ribu rupiah akan tetapi voucher ini berlaku pada jenis barang tertentu. Atau dengan menuliskan syarat ketentuan berlaku dengan tulisan huruf kecil, hal ini
memungkinkan konsumen untuk mendapatkan informasi yang menyesatkan yang merupakan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.
C. Analisis Penetapan Harga Barang Yang Tidak Berdasarkan Nilai Mata Uang 1. Pengertian Uang
Di dalam lalu lintas perekonomian baik nasional maupun internasional, lazimnya uang diartikan sebagai alat pembayaran yang sah. Pada kehidupan manusia sehari-hari,
uang merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan itu sendiri. Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran untuk pembelian
87
Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 35
Universitas Sumatera Utara
barang-barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran hutang-hutang. Uang juga sering dipandang sebagai kekayaan yang dimilikinya yang dapat digunakan untuk membayar
sejumlah tertentu hutang dengan kepastian dan tanpa penundaan
88
Jenis uang yang dikeluarkan Bank Indonesia, yaitu uang kertas dan uang logam. Uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau
bahan lainnya. Uang logam adalah uang dalam bentuk koin yang terbuat dari alumunium, alumunium bronze, kupronikel dan bahan lainnya. Harga uang adalah nilai
nominal atau pecahan uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Ciri uang adalah tanda-tanda tertentu pada setiap uang yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dengan
tujuan untuk mengamankan uang tersebut dari upaya pemalsuan. Tanda-tanda tersebut dapat berupa warna, gambar, ukuran, berat dan tanda-tanda lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia. Sebagai konsekuensi dari ketentuan Bank Indonesia memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan penukaran uang dalam pecahan yang
sama dan pecahan lainnya melakukan penukaran uang yang cacat atau dianggap tidak layak untuk diedarkan, menukarkan uang yang rusak sebagaian karena terbakar atau
sebab lain dengan nilai nominalnya yang bergantung pada tingkat kerusakannya. Selain .
88
Iswardono, “Uang dan Bank”, Cetakan Keenam, Edisi Keempat, Jogjakarta: BPFE, hlm. 4. Dikutip dari: Tim Peneliti Fakultas Hukum UGM Marsudi Triatmadja, S, Sularto, Daniar Rahmawati,
Edward O.S. Hiariej, dan Amirullah Setiahadi, Executive Summary dari Penelitian dengan judul “Kajian Terhadap Pengaturan Mata Uang Republik Indonesia”, Kerjasama antara Bank Indonesia dengan Fakultas
Hukum UGM 2005, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan 29 Volume 4 Nomor 1, April 2006,
http:www.bi.go.idNRrdonlyres8DCFCBCE-0709-40B73C0D1FE C3FE61B8034pengaturan.pdf ,
diakses tanggal 22 Mei 2012.
Universitas Sumatera Utara
itu, Bank Indonesia juga melakukan pemusnahan uang yang dianggap tidak layak untuk diedarkan kembali
89
2. Pengaturan Nilai Mata Uang Yang Berlaku di Indonesia
.
Apabila dilihat dari sejarah pengaturan mata uang di Indonesia setelah masa kemerdekaan, sejauh ini pernah terdapat 4 empat Undang-Undang yang khusus
mengatur mengenai mata uang yaitu
90
a. Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951 tentang Penghentian Berlakunya
”Indische Mutwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang;
:
b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1953 tentang Penetapan ”Undang-Undang
Darurat Tentang Penghentian Berlakunya ”Indische Mutwet 1912” dan Penetapan Baru Tentang Mata Uang” Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun
1951 Sebagai Undang-Undang;
c. Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1985 tentang Pengubahan ”Undang-
Undang Mata Uang Tahun 1953”;
d. Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1985 tentang Pengubahan ”Undang-Undang
Mata Uang Tahun 1953” Sebagai Undang-Undang.
89
D.Rizska, “Pengaturan Mata Uang Rupiah Sebagai Alat Pembayaran Yang Sah Di Wilayah Negara Republik Indonesia”,
http:repository.usu.ac.idbitstream123456789300833Chapter20II .pdf, diakses tanggal 22 Mei 2012
90
Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Airlangga Peter Mahmud Marzuki, Tjitohadi Sawar Yuwono, Yohanes Sogar Simamora, Executive Summary dari Penelitian dengan judul “Penelitian Hukum
Perlunya Undang-Undang Mata Uang” Kerjasama antara Bank Indonesia dengan Fakultas Hukum UNAIR 2005, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan 18 Volume 4, Nomor 1,
April 2006, http:www.bi.go.idNRrdonlyres8DCFCBCE-0709-40B7-843C0D1FEC3FE6 1B8033uu_mata_
uang.pdf , diakses tanggal 22 Mei 2012.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkembangan mutakhir fungsi uang dapat dibedakan dalam 2 kategori, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Menurut Glyn Davies fungsi umum uang adalah
sebagai aset likuid liquid asset, faktor dalam rangka pembentukan harga pasar framework of the market allocative system, faktor penyebab dalam perekonomian a
causative factor in the economy, dan faktor pengendali kegiatan ekonomi controller of the economy. Sedangkan fungsi khusus uang sebagai berikut:
a. Uang sebagai alat tukar medium of exchange;
b. Uang sebagai alat penyimpan nilai store of value;
c. Uang sebagai satuan hitung unit of account;
d. Uang sebagai ukuran pembayaran yang tertunda standard for deffered payment;
e. Uang sebagai alat pembayaran means of exchange;
f. Uang sebagai alat ukuran umum dalam menilai sesuatu common measure of
value. Pengaturan mata uang dalam hukum positif yang berlaku
saat ini Undang- Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi:
a. Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan
pembayaran; b.
Rupiah wajib digunakan dalam penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; danatau
c. Rupiah wajib digunakan dalam transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam acara Sosialisasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011, Desember 2011
“Melalui Undang-Undang Mata Uang, kita angkat harkat martabat Rupiah. Dari semula Rupiah yang hanya merupakan surat utang Bank Indonensia kepada
masyarakat, ditempatkan menjadi simbol kedaulatan negara yang sama kedudukannya seperti Garuda Pancasila dan Bendera Merah Putih,” ujar Menteri
Keuangan Agus D.W. Martowardojo dalam arahannya dihadapan berbagai asosiasi, pejabat lingkup Kemenkeu dan pejabat Bank Indonesia BI
di Jakarta.
91
Alat pembayaran boleh dibilang berkembang sangat pesat dan maju. Kalau menengok kebelakang yakni awal mula alat pembayaran itu dikenal, sistem barter antar
barang yang diperjualbelikan adalah kelaziman di era pra modern. Dalam perkembangannya, mulai dikenal satuan tertentu yang memiliki nilai pembayaran yang
lebih dikenal dengan uang. Hingga saat ini uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya alat pembayaran terus
berkembang dari alat pembayaran tunai cash based ke alat pembayaran non tunai non cash seperti alat pembayaran berbasis kertas paper based, misalnya, cek dan bilyet
giro. Selain itu dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai kartu card-based ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan
Kartu Prabayar .
92
Demikian pula halnya, harga sebenarnya dari suatu pembelian yang pembayarannya menggunakan kartu kredit dengan beban bunga 16 enam belas
persen karena periode pembayarannya dapat diperpanjang sangat jauh berbeda dengan .
91
Novri H.S Tanjung – Media Center Ditjen Perbendaharaan, Menkeu: “Kita Angkat Harkat Martabat Rupiah”,
http:www.perbendaharaan.go.idnewindex.php?pilih=newsaksi=lihatid=2751 pg
=2stg=1offset=5, diakses tanggal 22 Mei 2012.
92
Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perbankan, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 1992, hlm 51.
Universitas Sumatera Utara
harga pembayarannya dilakukan secara tunai. Bagi konsumen yang terbiasa memiliki tagihan kartu kredit dalam jumlah besar, perbedaan ini mungkin dianggap tidak relavan;
bagi konsumen lain, perbedaan tersebut dapat menghalangi atau bahkan membatalkan suatu pembelian. Disamping itu, jenis pekerjaan sehari-hari konsumen juga dapat
mempengaruhi seberapa besar nilai sejumlah tertentu uang bagi mereka-yang juga berpengaruh pada keinginan mereka untuk membelanjakan uang tersebut untuk produk
atau jasa tertentu
93
Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan
memusnahkan uang dimaksud dari peredaran .
94
. Uang yang beredar di masyarakat beragam, mulai dari uang kertas pecahan Rp. 100.000,- seratus ribu rupiah, Rp.
50.000,- lima puluh ribu rupiah, Rp.20.000,- dua puluh ribu rupiah, Rp. 10.000,- sepuluh ribu rupiah, Rp. 5.000,- lima ribu rupiah, Rp. 2.000,- dua ribu rupiah, Rp.
1.000,- seribu rupiah dan uang logam pecahan Rp.500,- lima ratus rupiah, Rp. 200,- dua ratus rupiah, Rp. 100,- seratus rupiah dan Rp. 50,- lima puluh rupiah. Akan
tetapi diantara uang pecahan tersebut di atas tidak semuanya masih berlaku di masyarakat. Uang logam pecahan Rp. 50,- lima puluh rupiah masih berlaku akan tetapi
uang pecahan tersebut sudah jarang dijumpai di masyarakat. Yang terjadi adalah, justru pelaku usaha menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang
justru tidak berlaku lagi di masyarakat.
93
Paul Peter, J, Consumer Behavior;Perilaku Konsumen dan Setrategi Pemasaran, Edisi 4 Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 1999, hlm 222
94
Pasal 20 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Universitas Sumatera Utara
3. Penetapan Harga Barang Yang Tidak Sesuai Dengan Nilai Mata Uang a. Kerugian Konsumen
Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Tiap perbuatan melawan
hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idil, yakni ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan hidup
95
Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, mengenai hak konsumen yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, penetapan harga barang yang
tidak sesuai dengan nilai mata uang yang pada akhirnya konsumen tidak mendapatkan sisa pengembalian belanja merupakan perbuatan yang merugikan konsumen sebagai
perbuatan melawan hukum. Perbuatan pelaku usaha merupakan perbuatan melawan hukum berupa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen khususnya Pasal 4 huruf b yang
terdapat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. .
Teknologi yang semakin maju juga dapat dirasakan oleh konsumen yang berbelanja khususnya di pasar modern. Konsumen berbelanja yang melakukan
pembayaran tunai dan non tunai pada dasarnya sangat dirugikan oleh pelaku usaha dengan menetapkan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Konsumen yang melakukan pembayaran dengan tunai lebih merasakan langsung
kerugian konsumen, dimana konsumen mengeluarkan sejumlah uang untuk melakukan pembayaran yang pada akhirnya pengembalian sisa uang belanja yang seharusnya tidak
dikembalikan kepada konsumen. Sedangkan konsumen berbelanja yang melakukan
95
Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 234
Universitas Sumatera Utara
pembayaran non tunai seperti Kartu Kredit, Kartu Debit tidak merasakan kerugian secara langsung karena pada saat pembayaran konsumen hanya memberikan kartu untuk
dilakukan pemotongan pada kartu kredit atau kartu Debit. Di sektor ritel, nilai nominal kerugian yang diderita konsumen beragam, mulai
dari sisa pengembalian yang tidak dikembalikan kepada konsumen hingga pengembalian dalam bentuk barang misalnya permen yang bukan merupakan alat pembayaran yang
sah di negara Republik Indonesia, dan yang terbaru adalah pelaku usaha dalam hal ini kasir meminta kepada konsumen untuk menyumbangkan sisa kembalian dengan jumlah
nominal yang tidak dapat dikembalikan kepada konsumen untuk disumbangkan.
b. Pelanggaran Terhadap Pasal 4 huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Upaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang dilakukan melalui perangkat hukum UU Perlindungan Konsumen diharapkan mampu menciptakan norma
hukum perlindungan konsumen dan memberikan rasa tanggung jawab kepada dunia usaha, terutama pelaku usahanya
96
Secara sederhana, efektifnya suatu perundang-undangan berarti tujuannya tercapai. Hal itu sangat tergantung pada pelbagai faktor, antara lain, pengetahuan tentang
isi perundang-undangan, cara-cara mendapatkan pengetahuan tersebut dan pelembagaan .
96
Happy Susanto, op.cit. hlm. 44
Universitas Sumatera Utara
dari perundang-undangan tadi pada bagian-bagian masyarakat, sesuai dengan ruang lingkup perundang-undangan tadi
97
Bahwa penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang pada akhirnya sisa pengembalian belanja tidak dikembalikan kepada konsumen,
merupakan pelanggaran terhadap hak konsumen yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Khususnya Pasal 4 huruf b dengan tegas disebutkan bahwa
“hak konsumen untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”.
Maksudnya, misalnya perilaku pelaku usaha yang menetapkan harga suatu barang sebesar Rp. 1.210,- seribu dua ratus sepuluh rupiah, sementara uang pecahan dengan
nominal Rp.10,- sepuluh rupiah sudah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah. Kondisi seperti itu tentu merugikan konsumen, nilainya memang tidak seberapa
pertransaksi, namun hal ini jika berulang terus menerus terlebih jika diakumulasi untuk seluruh konsumen nilainya besar juga.
.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa uang pecahan Rp. 10,- sepuluh rupiah Seri Sukarno Irian Barat uang rupiah lama sudah tidak berlaku lagi sebagai alat
pembayaran yang sah berdasarkan Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 tentang pengeluaran uang rupiah baru yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah bagi
seluruh wilayah Republik Indonesia, dan setelah penarikan uang rupiah lama tersebut dari peredaran maka diterbitkanlah uang rupiah baru yang sejenisnya.
97
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta : CV. Rajawali, 1982, hlm. 85
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang mata uang juga ditegaskan bahwa rupiah Rp merupakan satuan mata uang
negara Republik Indonesia dan uang rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
Sedangkan suatu perbuatan dikatakan merupakan perbuatan melawan hukum apabila antara para pihak tidak ada hubungan hukum dan kemudian ada pelanggaran
yang dilakukan oleh salah satu pihak yang dianggap merugikan hak keperdataan pihak lain, dimana pelanggaran itu merupakan tindakan yang melanggar peraturan hukum
yang berlaku
98
Penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku dikatakan perbuatan melawan hukum dikarenakan perbuatan tersebut telah memenuhi
unsur-unsur yang termasuk ke dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu ; .
1 adanya perbuatan
2 adanya unsur kesalahan
3 adanya kerugian yang diderita
4 adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Pelaku usaha melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 4 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selain itu juga
bertentangan dengan Undang-Undang Mata Uang dan Undang-Undang Bank Indonesia karena tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku di masyarakat yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian, akibat dari perbuatan pelaku usaha tersebut adalah konsumen
98
Adrian Sutedi, op.cit. hlm. 236
Universitas Sumatera Utara
menderita kerugian, yaitu tidak mendapatkan sisa uang pengembalian yang seharusnya diterima oleh konsumen sekalipun nilainya kecil.
Meskipun hak-hak konsumen telah jelas diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 belum dapat dipastikan bahwa hak-hak
konsumen terlindungi. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menetapkan harga barang yang tidak
berdasarkan nilai mata uang yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERILAKU KONSUMEN TERHADAP SISA PENGEMBALIAN UANG
PECAHAN YANG TIDAK DIKEMBALIKAN KEPADA KONSUMEN
A. Pengertian Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen oleh Schiffman dan Kanuk, adalah “proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca
konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya”. Jadi, dapat dikatakan bahwa perilaku konsumen merupakan studi tentang bagaimana
pembuatan keputusan decision units, baik individu, kelompok, ataupun organisasi, membuat keputusan-keputusan beli atau melakukan transaksi pembelian suatu produk
dan mengkonsumsinya
99
Perilaku konsumen pada hakikatnya untuk memahami “why do consumers do what they do”. Dari beberapa defenisi telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa
perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli,
menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas atau kegiatan mengevaluasi
.
100
Perilaku Konsumen adalah .
proses dan
aktivitas ketika seseorang berhubungan
dengan pencarian
, pemilihan
, pembelian
, penggunaan
, serta peng evaluasian
produk dan
jasa demi memenuhi
kebutuhan dan
keinginan
.
Akan tetapi perilaku konsumen yang
99
Ristiyanti Prasetijo, dkk, Perilaku Konsumen, Yogyakarta:Andi Yogyakarta, 2005, hlm.9
100
Ujang Sumarwan, Perilaku Konsumen;Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran, Bogor :Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 25.
76
Universitas Sumatera Utara
dimaksud disini adalah sikap atau perilaku konsumen terhadap harga barang yang tidak sesuai dengan nilai mata uang yang berlaku yang ditetapkan oleh pelaku usaha di pasar
modern.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen