HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Preparasi KF/CaO Alam

Katalis CaO alam dipreparasi dengan menghaluskan dan mengayaknya dengan ayakan 150 mesh. CaO alam 150 mesh dikalsinasi pada suhu 600 o C selama 3 jam. Kalsinasi ini dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa organik yang mungkin ada di katalis CaO alam tersebut, dan menurut Yoosuk et al. (2010) kalsinasi CaO dilakukan pada suhu 600 o

C selama 3 jam untuk

mengubah hidroksi menjadi bentuk oksida, sehingga dapat meningkatkan aktivitas katalis pada reaksi transesterifikasi.

Batu tohor (CaO alam) yang telah dikalsinasi pada suhu 600 o

C dianalisis

menggunakan X-Ray Fluorescence (XRF). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui komponen dalam batu tohor (CaO alam). Komponen terdapat di dalam batu tohor setelah dikalsinasi pada suhu 600 o

C selama 3 jam dapat ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komponen Batu Tohor (CaO Alam) Setelah Dikalsinasi pada Suhu 600

C Selama 3 Jam

SiO 2 0,67 Al 2 O 3 0,50

0,29 P 2 O 5 0,18 Fe 2 O 3 0,18

Cl

SrO

97,93%. sedangkan komponen lain yang terkandung di dalam batu tohor antara

lain SiO 2 , Al 2 O 3 , K 2 O, P 2 O 5 , Fe 2 O 3 , Cl, dan SrO. Proses selanjutnya adalah

preparasi KF/CaO alam dengan berbagai variasi berat KF yaitu 15, 25, 35, dan 45 % b/b.

B. Karakterisasi Katalis

1. Analisis X-Ray Diffraction (XRD)

Senyawa KF/CaO alam dianalisis dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) . Difraktogram ditunjukkan pada Gambar 4. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa dari hasil KF/CaO alam seperti CaO,

Ca(OH) 2 , KF, dan senyawa gabungan KF dengan CaO. Identifikasi senyawa dilakukan dengan membandingkan harga 2θ puncak-puncak difraktogram

senyawa hasil KF/CaO alam dengan 2θ CaO, Ca(OH) 2 , dan KF dari JCPDS (Joint Comittee on Powder Difraction Standard ) dan referensi. Gambar 4 menunjukkan difraktogram penambahan KF pada CaO alam. Hasil difraktogram tersebut mengindikasikan adanya kristal baru. Kristal tersebut

adalah KCaF 3 pada 2θ ( o ) = 28,73; 41,2; 59,52; 59,7; dan 67,59. KCaF 3 dari

KF/CaO yang telah diteliti oleh Wen et al ., (2010) memiliki harga 2θ ( o ) yaitu 28,74; 41,22; 51,26; 59,52; 59,69; dan 67,59. Apabila dibandingkan harga 2 θ,

adanya kesesuaian 2θ KCaF 3 antara KF/CaO alam dengan KF/CaO dari penelitian Wen. Selain KCaF 3 , difraktogram menunjukkan adanya CaO ( 2θ ( o ) = 32,2; 37,4; 53,9; 64,23; 67,4), dan Ca(OH) 2 ( 2θ ( o ) = 18,06; 34,11; 47,1; 50,8) . Pada Gambar 4b dengan penambahan KF 15 % mulai terbentuk KCaF 3 . Adanya penambahan KF, puncak Ca(OH) 2 mulai menghilang. Akan tetapi,

puncak difraksi KF tidak terlihat pada Gambar 4b-4e. Hal ini dikarenakan KF terdispersi di permukaan CaO.

Gambar 4. Difraktogram CaO Alam dengan Penambahan KF Sebesar (a) 0, (b)

15, (c) 25, (d) 35, (e) 45 % b/b, dan (f) KF/CaO dari Penelitian Wen et al. (2010)

2. Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR

Data lain yang dapat digunakan untuk mendukung terbentuknya KF/CaO alam adalah data dari FTIR. Data yang diperoleh berupa gugus fungsi yang ada CaO, KF, maupun KF/CaO alam yaitu gugus fungsi ion hidroksi (OH - ) maupun

ion karbonat (CO 3 2- ) dan apabila dideteksi dengan FTIR, puncak-puncak gugus

fungsi yang terlihat seperti ikatan O-H, O-C-O, C=O, Ca-O, dan K-F. Hasil

Gambar 5.

Gambar 5. Spektra FTIR dari (a) KF, (b) CaO Alam, (c) KF/CaO Alam 45 % Tabel 4. Tabulasi Gugus Fungsional CaO Alam, KF/CaO Alam 45 %, dan KF

Gugus Fungsi

Referensi

Bilangan Gelombang (v) (cm -1 )

(cm -1 )

CaO alam

KF/CaO alam

45 % KF Uluran OH

3460 a 3425,72

3412,08 3319,49 Tekukan OH

1647 b , 1621 a 1641

1649 1629,85 Uluran simetri O-C-O

1475 b 1418,71

1460-1404,18 1529,55 Uluran asimetri O-C-O

1074 ; 864 b 1010; 874

1057; 871,82 Uluran C=O

1500-2000 a 1656,85 1739,79 Uluran Ca-O

250-600 c 418,57

543,93 Uluran K-F Uluran Ca-F

Sumber : a Tang et al. (2011), b Lopez et al. (2007) dalam Vujicic et al. (2010), c Gonzalez et al. (2003), d Wang et al. (2009), e Omolfajr et al. (2011).

yaitu adanya serapan lancip dan panjang pada daerah 3642,73 cm -1 , serapan lebar di daerah 3425,72 cm -1 , serapan sedang pada 1418,71 cm -1 , dan ada serapan kuat di sekitar 600 cm -1 . Gambar 5a yaitu spektra KF memiliki serapan lebar di daerah 3319,49 cm -1 yang merupakan serapan air, di daerah 1600 cm -1 ada serapan sedang, dan ada serapan kuat diantara daerah 702-613 cm -1 . Sedangkan pada Gambar 5c merupakan spektra KF/CaO alam yang memiliki serapan hampir sama dengan CaO alam.

Tabel 4 terlihat adanya serapan dengan puncak lebar antara bilangan 3319,49-3425,72 cm -1 yang merupakan vibrasi ulur O-H dari gugus hidroksi di dalam CaO, KF/CaO alam dan KF dengan molekul-molekul air dalam partikel. Bilangan gelombang antara 1629-1649 cm -1 merupakan tekukan OH yang berasal dari molekul air pada daerah partikel tersebut yang terikat dengan anion

interlayer. Vibrasi ulur simetris O-C-O dari CO 3 2-

muncul pada bilangan

gelombang antara 1404-1529,55 cm -1 , dan uluran asimetris O-C-O muncul pada bilangan gelombang 1010-1057 cm -1 , dan di daerah 871,82-874 cm -1 . Uluran

C=O dari CO 3 2- pada puncak dengan bilangan gelombang 1656,85-1739,79 cm -1 .

Hasil penelitian Gonzalez et al. (2003) menyebutkan bahwa puncak pada bilangan gelombang diantara 250-600 cm -1 merupakan uluran Ca-O sehingga puncak pada bilangan antara 453-544 cm -1 dapat diartikan sebagai vibrasi ulur Ca-O. Campuran KF dan CaO alam ditandai adanya vibrasi pada daerah 669,3-685 cm -1 yang menunjukkan vibrasi KF. Hasil penelitian Omolfajr et al. (2011) menyatakan ada serapan Ca-F pada bilangan gelombang 450 cm -1 dari hasil

sintesis CaF 2 nanopartikel. Berdasarkan data FTIR setelah pencampuran KF/CaO

alam terdapat serapan baru pada daerah 435,91-449,41 cm -1 yang merupakan

ikatan Ca-F. Hal ini dapat mengindikasikan terbentuknya senyawa baru KCaF 3 pada KF/CaO alam.

1. Preparasi Reaksi Transesterifikasi

Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan sabun sehingga menyebabkan hasil biodieselnya menurun. Terbentuknya sabun disebabkan kandungan asam lemak bebas yang tinggi di dalam minyak. Oleh karena itu, sebelum melakukan reaksi transesterifikasi perlu menentukan bilangan keasaman dan angka penyabunan di dalam minyak kelapa sawit.

Berdasarkan hasil perhitungan pada Lampiran 2 didapatkan angka keasaman sebesar 0,561 mg/g. Bilangan keasaman yang kurang dari 1 mg/g menandakan bahwa kandungan asam lemak bebas di dalam minyak sawit sedikit sehingga tidak perlu dilakukan proses esterifikasi. Hasil perhitungan pada Lampiran 3, minyak kelapa sawit juga memiliki angka penyabunan sebesar 181,2 mg/g. Hasil penelitian Pike (1994) menyebutkan bahwa angka penyabunan dari minyak kelapa sawit antara 190,1 - 201,7 mg/g. Angka penyabunan yang diperoleh berada di bawah batas bilangan minyak kelapa sawit (191,1 – 201,7 mg/g), sehingga dapat disimpulkan bahwa harga angka penyabunan rendah maka kemungkinan pembentukan sabun pada reaksi pembuatan biodiesel rendah, dan mempermudah pemisahan ester dan gliserol.

Berdasarkan harga angka penyabunan yang diperoleh, dapat menghitung berat molekul pada minyak kelapa sawit. Dari perhitungan yang dapat dilihat pada Lampiran 3, berat molekul minyak kelapa sawit sebesar 928,79.

2. Pengaruh Penambahan KF terhadap Aktivitas Katalis pada Reaksi

Transesterifikasi

Aktivitas katalis di berbagai variasi katalis dapat dievaluasi melalui pembuatan biodiesel. Aktivitas katalis dapat ditunjukkan dari jumlah kemurnian biodiesel yang diperoleh. Katalis yang digunakan untuk reaksi transesterifikasi merupakan katalis hasil sintesis KF/CaO dengan berbagai variasi penambahan KF. Sifat fisik hasil biodiesel yang diperoleh dari katalis CaO alam dengan variasi penambahan KF ( 15, 25, 35, 45 % b/b) ditunjukkan pada Tabel 5.

Katalis

Hasil Biodiesel

Ratio massa KF/CaO alam

(% b/b)

Sebagian padat Sebagian padat

Cair Cair Cair

Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning

Tabel 5 menunjukkan bahwa katalis CaO alam tanpa KF menghasilkan biodiesel dalam bentuk sebagian padatan, Hal ini dikarenakan hasil reaksi transesterifikasi kurang sempurna sehingga menghasilkan ester (biodiesel) dan monogliserida atau bahkan digliserida. Sedangkan pada penambahan KF 15 %, hasil biodiesel berbentuk sebagian padat dikarenakan terbentuknya monogliserida dari hasil reaksi transesterifikasi. Hasil konversi biodiesel terhadap pengaruh variasi katalis yaitu massa KF di dalam CaO alam dapat ditunjukkan pada Gambar

Gambar 6. Pengaruh Jumlah Penambahan KF pada CaO Alam terhadap Konversi

Biodiesel dari Hasil Transesterifikasi pada Kondisi Suhu 65 o C selama 2 jam, Perbandingan Mol Metanol/Minyak 12:1, dan 4% Berat Katalis CaO atau KF/CaO Alam.

Jumlah penambahan KF terhadap CaO alam

(% b/b CaO alam)

KF yaitu 15, 25, 35, dan 45 % b/b menunjukkan bahwa penambahan KF pada CaO alam dapat meningkatkan konversi biodiesel. Konversi biodiesel dengan katalis CaO alam sebesar 20,47 %, dan konversi tersebut masih di bawah konversi biodiesel dengan penambahan KF 15 %. Dengan adanya penambahan KF pada CaO dapat menghasilkan konversi biodiesel lebih besar dibandingkan CaO tanpa KF. Dengan kata lain, adanya penambahan KF pada CaO alam ini memperbesar aktivitas katalis. Hal ini dikarenakan terbentuknya situs aktif baru sehingga menyebabkan meningkatnya reaktifitas katalis. Situs aktif yang terbentuk pada

sintesis KF/CaO alam yang utama yaitu KCaF 3 . Pada Gambar 6 menunjukkan

penambahan KF 45 % dari berat CaO alam memiliki aktivitas yang lebih kuat dan menghasilkan konversi biodiesel yang paling optimum yaitu sebesar 98,82 %. Apabila penambahan KF lebih dari 45 % b/b dari CaO alam dimungkinkan aktivitas katalis akan menurun, karena berdasarkan penelitian dari Wen et al. (2010) yang menyebutkan bahwa semakin besar penambahan KF maka akan menutup situs aktif, sehingga dapat menurunkan aktivitas katalis.

3. Pengaruh Perbandingan Mol Metanol pada Reaksi Transesterifikasi Biodiesel dibuat melalui reaksi transesterifikasi antara minyak dengan alkohol. Dalam penelitian ini menggunakan metanol dikarenakan kereaktifitas dari metanol lebih baik dibandingkan dengan alkohol lain. Perbandingan mol metanol terhadap mol minyak merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam konversi biodiesel. Pada penelitian ini, dilakukan reaksi transesterifikasi dengan variasi perbandingan mol minyak dengan mol metanol sebesar 1:6, 1:9, 1:12, 1:15, dan 1:18 dengan menggunakan katalis KF/CaO alam dengan ratio massa KF/CaO alam 45 % b/b. Reaksi transesterifikasi ini dikondisikan pada suhu 65 o

C selama 2 jam. Hasil konversi biodiesel dengan

adanya variasi perbandingan mol metanol dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Konversi Biodiesel dari Hasil Transesterifikasi dengan Variasi Mol Metanol terhadap Minyak Kelapa Sawit pada Kondisi Suhu 65 o C selama 2 jam, dan 4 % Berat Katalis KF/CaO Alam 45 %.

Berdasarkan Gambar 7 tampak bahwa terjadi peningkatan hasil konversi biodiesel dengan meningkatnya rasio mol pereaksi hingga mencapai rasio mol minyak terhadap metanol 1:9. Pada rasio mol minyak dengan metanol 1:9 tersebut menghasilkan kemurnian biodiesel yang optimum yaitu sebesar 98,39 %. Hasil konversi biodiesel pada rasio mol 1:6 memberikan nilai yang rendah dikarenakan jumlah metanol yang digunakan tersebut sedikit, dan tumbukan yang terjadi antar reaktan sedikit sehingga produk yang diperoleh sedikit jika dibandingkan dengan rasio yang lain.

Pada rasio mol minyak dengan metanol lebih dari 1:12, hasil konversi biodiesel semakin menurun. Berdasarkan hasil penelitian Viriya et al. (2010) yang telah melakukan sintesis biodiesel menggunakan katalis CaO dari meretrix venus shell menyatakan bahwa penambahan ratio metanol terhadap minyak dari 9 sampai 12 dapat meningkatkan kandungan metil ester, dan jika penambahan ratio metanol terhadap minyak sampai 18 maka menurunkan metil ester. Hal ini disebabkan adanya penambahan metanol berlebih akan menyebabkan jumlah kelarutan gliserol semakin besar di dalam metanol sehingga menghambat reaksi

Perbandingan mol metanol/minyak (mol/mol)

antara gliserol dengan metil ester. Hal ini mengakibatkan hasil konversi biodiesel menurun.