PREPARASI DAN KARAKTERISASI KFCaO ALAM SEBAGAI KATALIS TRANSESTERIFIKASI MINYAK KELAPA SAWIT MENJADI BIODIESEL

SEBAGAI KATALIS TRANSESTERIFIKASI MINYAK KELAPA SAWIT MENJADI BIODIESEL

Disusun oleh: DEVI SEPTIANA WATI M 0307035

SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Juli, 2012

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta telah mengesahkan skripsi mahasiswa :

Devi Septiana Wati NIM M0307035, dengan judul “Preparasi dan Karakterisasi KF/CaO Alam Sebagai Katalis Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit Menjadi Biodiesel”.

Skripsi ini dibimbing oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

I.F. Nur cahyo, M.Si.

Dr . Eddy Her aldy, M.Si. NIP. 19780617 200501 1001

NIP. 19640305 200003 1002

Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada :

Anggota Tim Penguji :

1. Drs. Patiha, M.S. 1………………………… NIP. 19490131 198103 1001

2. Muh. Widyo Wartono, M.Si. 2………………………… NIP. 19760822 200501 1001

Disahkan oleh : Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta Ketua Jurusan Kimia

Dr . Eddy Heraldy, M.Si. NIP. 19640305 200003 1002

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “PREPARASI DAN KARAKTERISASI KF/CaO ALAM SEBAGAI KATALIS TRANSESTERIFIKASI MINYAK KELAPA SAWIT MENJADI BIODIESEL” adalah benar-benar hasil penelitian sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat kerja atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Juli 2012

Devi Septiana Wati

KATALIS TRANSESTERIFIKASI MINYAK KELAPA SAWIT MENJADI BIODIESEL DEVI SEPTIANA WATI

Jurusan Kimia. MIPA. Universitas Sebelas Maret ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang preparasi KF/CaO alam sebagai katalis transesterifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penambahan kalium fluorida (KF) pada CaO alam sebagai katalis transesterifikasi minyak kelapa sawit menjadi biodiesel dan pengaruh perbandingan mol metanol terhadap hasil reaksi transesterifikasi.

Material KF/CaO alam dipreparasi dengan perbandingan berat KF terhadap CaO alam sebesar 15, 25, 35, dan 45 %. Material CaO alam dan KF/CaO alam dikarakterisasi menggunakan XRD dan FTIR. Material KF/CaO alam berbagai variasi digunakan sebagai katalis reaksi transesterifikasi pada suhu 65

C selama 2 jam dengan rasio mol metanol/minyak 12:1 dan berat katalis 4 % b/b. Katalis yang terbaik digunakan sebagai katalis reaksi transesterifikasi dengan variasi rasio mol metanol/minyak sebesar 6:1, 9:1, 12:1, 15:1, dan 18:1. Reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu 65 o

C, selama 2 jam dan berat katalis 4 % b/b. Biodiesel hasil reaksi diidentifikasi menggunakan analisis 1 H NMR. Katalis KF/CaO alam yang memiliki aktivitas tertinggi yaitu dari penambahan KF sebesar 45 % b/b. Konversi biodiesel yang optimum dicapai dengan menggunakan rasio metanol/ minyak 9:1 sebesar 98,39 %.

Kata kunci : KF/CaO alam, katalis, transesterifikasi, biodiesel.

CATALYST IN THE TRANSESTERIFICATION REACTION OF PALM OIL INTO BIODIESEL DEVI SEPTIANA WATI

Department of Chemistry. Faculty of Mathematics and Natural Sciences. Sebelas Maret University

ABSTRACT

The research about preparation of KF/natural CaO as catalyst transesterification has done. The purpose of this research was to know the effect of addition potassium fluoride (KF) in natural CaO as catalyst in the transesterification reaction of palm oil into biodiesel and the effect of molar ratio methanol to oil toward the yield of transesterification reaction.

Potassium Fluoride/natural CaO was prepared with mass ratio KF to CaO

15, 25, 35, and 45 %. Natural CaO and KF/natural CaO was characterized by XRD, and FTIR. Various KF/natural CaO was used as catalyst in the transesterification reaction carried out at 65 °C for 2 h with molar ratio of methanol/oil 12:1and 4 % w/w catalyst of oil. The highest activity of catalyst was used as catalyst in the transesterification reaction with variation of molar ratio of methanol to oil 6:1, 9:1, 12:1, 15:1, and 18:1. Transesterification reaction carried

out at 65 °C for 2 h, and 4 % w/w catalyst of oil. Biodiesel was identified by 1 H NMR. The KF/natural CaO catalyst had highest catalytic activity when KF content was 45 % w/w. The optimal yield of biodiesel was used molar ratio methanol to oil 9:1 with yield 98.39 %.

Key words : KF/natural CaO, catalyst, transesterification, biodiesel.

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan . Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), kerjakan dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (Q.S. Alam Nasyrah: 6-7)

Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri (Ibu Kartini )

Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan tuntunan kebaikan tanpa mengetahui keburukan yang kemudian anda dapat (Mario Teguh)

Karya ini kupersembahkan kepada: Almarhum Bapakku tercinta Ibuku tercinta Kakak-kakakku tersayang, Mba’ Anik, Mba’ Benny, Mas Budi Keponakan-keponakanku Teman-teman Kimia’07 Universitas Sebelas Maret

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Preparasi dan Karakterisasi KF/CaO alam sebagai Katalis Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit menjadi Biodiesel”.

Skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari banyak pihak, karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc, Ph.D selaku Dekan FMIPA UNS.

2. Bapak Dr. Eddy Heraldy, M.Si selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA UNS dan sebagai pembimbing II.

3. Bapak I.F Nurcahyo, M.Si selaku Pembimbing I dan Ketua Laboratorium Kimia Dasar FMIPA UNS.

4. Bapak Edi Pramono, M.Si selaku Pembimbing Akademik.

5. Bapak Dr.rer.nat. A. Heru Wibowo selaku Ketua Sub-Lab Kimia Pusat UNS.

6. Bapak/Ibu Dosen pengajar dan semua staf Jurusan Kimia.

7. Orang tuaku dan keluargaku atas doa dan dukungannya.

8. Sahabat-sahabatku dan teman-teman Kimia angkatan 2007 atas semangat dan dukungannya.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik yang membangun bagi kesempurnaan laporan penelitian ini. Penulis berharap semoga laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Surakarta, Juli 2012

Devi Septiana Wati

2. Saran ……………………………………………………………….. 33 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 34 LAMPIRAN ………………………………………………………………... 38

Halaman

Tabel 1. Panjang Gelombang Infra Merah Dari Anion ……………………

Tabel 2. Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit …………………

11

Tabel 3. Komponen Batu Tohor (CaO Alam) setelah Dikalsinasi pada

Suhu 600 o

C Selama 3 Jam ………………………………………

23

Tabel 4. Tabulasi Gugus Fungsional CaO Alam, KF/CaO Alam 45 %,

dan KF …………………………………………………………… 26 Tabel 5. Karakterisasi Fisik Hasil Biodiesel ………………………………

29

Halaman

Gambar 1. Difraktogram XRD KF/CaO dengan Berbagai Suhu…………. 10 Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi dari Trigliserida menjadi Ester Metil

Asam-Asam Lemak …………………………………………… 13

Gambar 3. Mekanisme Reaksi Transesterifikasi dalam Katalis Basa ……

14

Gambar 4. Difraktogram CaO Alam dengan Penambahan KF sebesar

(a) 0, (b) 15, (c) 25, (d) 35, (e) 45 % b/b, dan (f) KF/CaO dari Penelitian Wen et al. (2010)……………………………… 25

Gambar 5. Spektra FTIR dari (a) KF, (b) CaO alam, (c) KF/CaO alam 45% 26 Gambar 6. Pengaruh Jumlah Penambahan KF pada CaO Alam terhadap

Konversi Biodiesel dari Hasil Transesterifikasi pada Kondisi Suhu 65 o C selama 2 jam, Perbandingan Mol Metanol/Minyak 12:1, dan 4% Berat Katalis CaO atau KF/CaO Alam……..…... 29

Gambar 7. Konversi Biodiesel dari Hasil Transesterifikasi dengan Variasi

Mol Metanol terhadap Minyak Kelapa Sawit pada Kondisi Suhu

65 o

C selama 2 jam, dan 4 % Berat Katalis KF/CaO Alam 45 %.. 31

Halaman

Lampiran 1. Perhitungan Preparasi KF/CaO Alam ……………………….. 38 Lampiran 2. Perhitungan Bilangan Keasaman ………………………….... 39 Lampiran 3. Perhitungan Bilangan Penyabunan dan Berat Molekul

Triasilgliserida (TAG) ……………………………………….. 40

Lampiran 4. Perhitungan Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit ………. 41 Lampiran 5. X-Ray Fluorescence (XRF) CaO Alam ……………………... 43 Lampiran 6. Difraktogram X-Ray diffraction (XRD) CaO Alam ………... 44 Lampiran 7. Difraktogram X-Ray Diffraction (XRD) KF/CaO Alam ……. 46 Lampiran 8. Data JCPDS CaO ………………………………………….... 55

Lampiran 9. Data JCPDS Ca(OH) 2 ………………………………………. 56

Lampiran 10. Data JCPDS KF ……………………………………………. 57 Lampiran 11. Spektra FTIR Senyawa CaO Alam ………………………..

Lampiran 12. Spektra FTIR Senyawa KF ………………………………... 59 Lampiran 13. Spektra FTIR Senyawa KF/CaO Alam pada Kondisi

Penambahan KF 45% dari Berat CaO Alam ……………… 60 Lampiran 14. Spektra 1 HNMR Biodiesel dengan Katalis KF/CaO Alam

15 % pada Kondisi Suhu 65 o

C, Waktu Reaksi 2 Jam,

Rasio Mol Minyak : Metanol Sebesar 1:12, dan Berat Katalis 4 % b/b Minyak …………………………………… 61

Lampiran 15. Spektra 1 HNMR Biodiesel dengan Katalis KF/CaO Alam

25 % pada Kondisi Suhu 65 o

C, Waktu Reaksi 2 jam,

Rasio Mol Minyak : Metanol Sebesar 1:12, dan Berat Katalis 4 % b/b Minyak ……………………………………

62 Lampiran 16. Spektra 1 HNMR Biodiesel dengan Katalis KF/CaO Alam

35 % pada Kondisi Suhu 65 o

C, Waktu Reaksi 2 Jam,

Rasio Mol Minyak : Metanol Sebesar 1:12, dan Berat Katalis 4 % b/b Minyak …………………………………… 63

45 % pada Kondisi Suhu 65 o

C, Waktu Reaksi 2 Jam, Rasio Mol Minyak : Metanol Sebesar 1:12, dan Berat Katalis 4 % b/b Minyak …………………………………..

64 Lampiran 18. Spektra 1 HNMR Biodiesel dengan Katalis CaO Alam pada

Kondisi Suhu 65 o

C, Waktu Reaksi 2 Jam, Rasio Mol Minyak : Metanol Sebesar 1:12, dan Berat Katalis 4 % b/b Minyak ……………………………………………………... 65

Lampiran 19. Spektra 1 HNMR Biodiesel dengan Perbandingan Mol Minyak : Metanol Sebesar 1:6 pada Kondisi Suhu 65 o C, Waktu Reaksi 2 Jam, dan Berat Katalis KF/CaO Alam

45 % Sebesar 4 % b/b Minyak ……………………………

66 Lampiran 20. Spektra 1 HNMR Biodiesel dengan Perbandingan Mol Minyak : Metanol Sebesar 1:9 pada Kondisi Suhu 65 o C, Waktu Reaksi 2 Jam, dan Berat Katalis KF/CaO Alam

45 % Sebesar 4 % b/b Minyak ……………………………

67 Lampiran 21. Spektra 1 HNMR Biodiesel dengan Perbandingan Mol Minyak : Metanol Sebesar 1:15 pada Kondisi Suhu 65 o C, Waktu Reaksi 2 Jam, dan Berat Katalis KF/CaO Alam

45 % Sebesar 4 % b/b Minyak ……………………………

68 Lampiran 22. Spektra 1 HNMR Biodiesel dengan Perbandingan Mol Minyak : Metanol Sebesar 1:18 pada Kondisi Suhu 65 o C, Waktu Reaksi 2 Jam, dan Berat Katalis KF/CaO Alam

45 % Sebesar 4 % b/b Minyak ……………………………

Lampiran 23. Desain Prosedur Kerja ……………………………………..

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Katalis merupakan suatu zat yang dapat membantu untuk mempercepat suatu reaksi. Berdasarkan fasanya, katalis terbagi menjadi 2 yaitu katalis homogen dan heterogen. Katalis homogen merupakan katalis yang memiliki fasa yang sama dengan reaktan, sehingga katalis homogen memiliki kelemahan sulit untuk dipisahkan, sedangkan katalis heterogen yang berbeda fasa dengan reaktan, sehingga katalis tersebut mudah dipisahkan. Beberapa contoh yang termasuk

katalis heterogen antara lain MgO, ZnO, CaO, Al 2 O 3 , SiO 2 ,K 2 CO 3 , dan Na 2 CO 3 .

Aktivitas katalis basa lebih cepat dibandingkan katalis asam, selain itu katalis asam lebih korosif (Ilgen, 2007). Katalis basa heterogen memiliki keuntungan antara lain tidak korosif, ramah lingkungan, mudah dipisahkan dari larutan produk, aktivitasnya tinggi, kelarutan dalam metanol rendah, dan katalis tersebut dapat digunakan kembali ( Liu et al., 2008; Gryglewicz et al., 1999; Tanabe et al., 1999; Zhang et al., 2010; dan Lim et al., 2011).

Indonesia merupakan Negara tropis yang banyak menghasilkan gamping. Gamping dihasilkan dari pengendapan binatang laut seperti Moluska, Coelentrata maupun Protozoa. Batu gamping memiliki kandungan CaO lebih dari 50 %. Menurut Yulaekah (2007), gamping memiliki CaO sebesar 22-56 %. Batu gamping yang dibakar (dikalsinasi) pada suhu 600-900 o

C disebut kapur tohor.

Kapur tohor ini dikenal sebagai CaO. Kalsium oksida (CaO) adalah salah satu mineral yang menarik, dan dapat digunakan sebagai katalis. Kalsium oksida termasuk katalis basa heterogen yang memiliki perbedaan fasa dengan reaktannya. Akan tetapi, katalis basa heterogen ini resisten terhadap transfer massa, dan tidak efektif (Kouzu et al., 2008). Oleh karena itu, perlunya zat aktif yang dapat meningkatkan aktivitas katalis. Menurut Wen et al. (2010), aktivitas katalis CaO masih rendah dibandingkan katalis KF/CaO dan adanya penambahan KF pada CaO dapat meningkatkan aktivitas katalis, dan mengurangi terjadinya saponifikasi dalam pembuatan biodiesel.

itu bidang industri, farmasi maupun energi. Sekarang ini, kebutuhan energi semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan industri, transportasi, dan berbagai sektor yang membutuhkan energi. Akan tetapi, kebutuhan energi tersebut tidak didukung oleh ketersediaan bahan bakunya, karena energi yang digunakan kebanyakan berasal dari fosil yang tidak dapat diperbaharui. Hal ini menjadi suatu masalah besar, sehingga diperlukan usaha untuk mencari energi alternatif. Sumber energi alternatif harus memenuhi syarat-syarat antara lain: tidak merusak lingkungan, berasal dari energi terbarukan, efisiensi dalam penggunaan serta harga yang terjangkau (Pasaribu, 2002). Salah satu sumber alternatif tersebut adalah biodiesel.

Biodiesel dibuat dengan transesterifikasi minyak tumbuhan atau lemak hewan dengan alkohol (Gerpen dan Knothe, 2005). Beberapa minyak nabati yang dapat diperbaharui seperti kelapa sawit, kelapa, minyak jarak, minyak dedak padi, minyak canola, dan minyak reapsed.

Kelapa sawit merupakan tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis. Salah satunya di Negara Indonesia. Minyak kelapa sawit mengandung asam lemak yang paling besar nilainya adalah asam palmitat sebesar 44,1 % (Gunstons dan Haword, 2007). Kandungan asam lemak tersebut yang cukup tinggi di kelapa sawit, maka mengakibatkan biodiesel dari kelapa sawit memiliki kualitas yang bagus.

Reaksi transesterifikasi dapat dikatalis dengan katalis asam atau basa. Katalis asam yang sering digunakan adalah asam sulfat, dan asam klorida. Penggunaan katalis asam membutuhkan waktu refluks yang sangat lama (48-96 jam), perbandingan mol metanol yang dibutuhkan besar (30-150:1). Sedangkan katalis basa yang sering digunakan adalah kalium hidroksida, natrium hidroksida dan karbonatnya. Aktivitas basa lebih cepat dibandingkan katalis asam, dan katalis asam lebih korosif, sehingga katalis basa lebih disukai, dan sering digunakan (Ilgen, 2007). Akan tetapi, katalis basa homogen sulit untuk dipisahkan dan residu dari katalis dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, perlunya Reaksi transesterifikasi dapat dikatalis dengan katalis asam atau basa. Katalis asam yang sering digunakan adalah asam sulfat, dan asam klorida. Penggunaan katalis asam membutuhkan waktu refluks yang sangat lama (48-96 jam), perbandingan mol metanol yang dibutuhkan besar (30-150:1). Sedangkan katalis basa yang sering digunakan adalah kalium hidroksida, natrium hidroksida dan karbonatnya. Aktivitas basa lebih cepat dibandingkan katalis asam, dan katalis asam lebih korosif, sehingga katalis basa lebih disukai, dan sering digunakan (Ilgen, 2007). Akan tetapi, katalis basa homogen sulit untuk dipisahkan dan residu dari katalis dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, perlunya

Berdasarkan uraian di atas, mengingat pemanfaatan CaO alam sebagai katalis masih kurang baik, maka perlu dilakukan penelitian tentang preparasi, dan karakterisasi katalis KF/CaO alam serta pembuatan biodiesel dari minyak kelapa sawit dengan mengunakan katalis KF/CaO alam.

B. Perumusan Masalah

1. Identifikasi masalah

Katalis merupakan salah satu variable yang berperan dalam laju reaksi transesterifikasi. Hal ini, dikarenakan aktivitas katalis sangat diperlukan dalam berjalannya reaksi tersebut. Aktivitas katalis dipengaruhi adanya jumlah situs aktif dipermukaan katalis. Aktivitas katalis dapat dilihat dari hasil biodiesel diperoleh. Dalam upaya meningkatkan aktivitas katalis CaO alam dalam reaksi transesterifikasi yaitu ditambahkan zat aktif seperti kalium fluorida (KF) kedalamnya. Penambahan massa KF pada CaO alam dapat berpengaruh pada aktivitas katalis. Peningkatan rasio KF akan memperbesar aktivitas katalis dikarenakan terbentuknya situs aktif baru yang lebih kuat reaktifitasnya sebagai katalis. Akan tetapi, ketika rasio KF mencapai ambang batas distribusi monolayer maka aktifitas katalis menjadi maksimum, dan aktifitasnya akan menurun seiring dengan kenaikan rasio KF karena ketika rasio KF lebih besar dari batas optimum maka akan menutupi sisi aktif yang mengakibatkan menurunnya aktifitas katalis. Oleh karena itu, perlunya dilakukan variasi penambahan massa KF terhadap CaO alam untuk mengetahui tingkat aktivitas katalis tersebut sehingga akan diperoleh katalis yang mempunyai aktivitas optimum. Selain itu, parameter yang mempengaruhi aktivitas katalis heterogen antara lain suhu, dan waktu kalsinasi. Katalis yang dikalsinasi pada suhu tinggi, maka interaksi semakin besar sehingga mengakibatkan terjadinya situs aktif yang baru, dan dapat meningkatkan aktivitas Katalis merupakan salah satu variable yang berperan dalam laju reaksi transesterifikasi. Hal ini, dikarenakan aktivitas katalis sangat diperlukan dalam berjalannya reaksi tersebut. Aktivitas katalis dipengaruhi adanya jumlah situs aktif dipermukaan katalis. Aktivitas katalis dapat dilihat dari hasil biodiesel diperoleh. Dalam upaya meningkatkan aktivitas katalis CaO alam dalam reaksi transesterifikasi yaitu ditambahkan zat aktif seperti kalium fluorida (KF) kedalamnya. Penambahan massa KF pada CaO alam dapat berpengaruh pada aktivitas katalis. Peningkatan rasio KF akan memperbesar aktivitas katalis dikarenakan terbentuknya situs aktif baru yang lebih kuat reaktifitasnya sebagai katalis. Akan tetapi, ketika rasio KF mencapai ambang batas distribusi monolayer maka aktifitas katalis menjadi maksimum, dan aktifitasnya akan menurun seiring dengan kenaikan rasio KF karena ketika rasio KF lebih besar dari batas optimum maka akan menutupi sisi aktif yang mengakibatkan menurunnya aktifitas katalis. Oleh karena itu, perlunya dilakukan variasi penambahan massa KF terhadap CaO alam untuk mengetahui tingkat aktivitas katalis tersebut sehingga akan diperoleh katalis yang mempunyai aktivitas optimum. Selain itu, parameter yang mempengaruhi aktivitas katalis heterogen antara lain suhu, dan waktu kalsinasi. Katalis yang dikalsinasi pada suhu tinggi, maka interaksi semakin besar sehingga mengakibatkan terjadinya situs aktif yang baru, dan dapat meningkatkan aktivitas

C selama 4 jam.

Pada reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel digunakan pereaksi alkohol antara lain : metanol, etanol, propanol dan butanol (Gerpen dan Knothe, 2005). Menurut Bannon et al. (1988) berpendapat bahwa alkohol dengan jumlah atom karbon sedikit mempunyai kereaktifan lebih besar daripada alkohol dengan atom karbon lebih banyak. Alkohol yang memiliki karbon pendek adalah metanol. Semakin banyak jumlah metanol yang digunakan maka konversi produk yang diperoleh juga semakin bertambah, karena laju reaksi sebanding dengan konsentrasi reaktan yang digunakan. Namun, penggunaan metanol yang berlebih dapat melarutkan gliserol sehingga metanol yang bereaksi dengan trigliserida akan berkurang (Attanatho et al., 2004; Viriya et al., 2010). Oleh karena itu, perlunya dilakukan optimasi dengan memvariasikan perbandingan mol minyak terhadap metanol untuk mengetahui hasil perolehan biodiesel yang optimum.

Reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu 30-65 o

C (titik didih metanol

sekitar 65 o C). Semakin tinggi suhu, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi, dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat. Akan tetapi, pada suhu tinggi metanol telah teruapkan dan dapat membentuk banyak busa, sehingga akan menghambat reaksi (Liu et al., 2008). Suhu optimum pada reaksi transesterifikasi adalah 65 o C (Liu et al., 2008; Wen et al., 2010). Selain suhu, waktu reaksi juga dapat mempengaruhi kemurnian biodiesel yang dibuat. Menurut Wen et al. (2010) mempelajari waktu pemanasan pada pembuatan biodiesel dari minyak biji tallow dengan pereaksi metanol menyatakan bahwa waktu optimum pembuatan biodiesel dengan katalis KF/CaO adalah 2 jam.

Katalis basa alkali heterogen yang ditambahkan lebih banyak ke dalam minyak yang mengandung asam lemak bebas akan mengakibatkan pembentukan sabun yang menyebabkan viskositas meningkat sehingga dapat mengganggu pemisahan alkil ester dengan gliserol. Wen et al. (2010) telah melakukan pembuatan biodiesel minyak biji tallow menggunakan pereaksi metanol dengan katalis KF/CaO sebesar 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 % dari berat minyak. Menurut Wen et al. (2010), pembuatan biodiesel dari minyak biji tallow pada suhu 65 o C Katalis basa alkali heterogen yang ditambahkan lebih banyak ke dalam minyak yang mengandung asam lemak bebas akan mengakibatkan pembentukan sabun yang menyebabkan viskositas meningkat sehingga dapat mengganggu pemisahan alkil ester dengan gliserol. Wen et al. (2010) telah melakukan pembuatan biodiesel minyak biji tallow menggunakan pereaksi metanol dengan katalis KF/CaO sebesar 1 %, 2 %, 3 %, 4 %, 5 % dari berat minyak. Menurut Wen et al. (2010), pembuatan biodiesel dari minyak biji tallow pada suhu 65 o C

2. Batasan Masalah

Permasalahan yang diteliti dibatasi sebagai berikut :

a. CaO alam yang digunakan berasal dari Pandan Simping Klaten.

b. Variasi penambahan massa KF terhadap massa CaO alam adalah 15, 25, 35, dan 45 % b/b.

c. Katalis KF/CaO alam dikalsinasi pada suhu 600 o

C selama 4 jam.

d. Penentuan perbandingan mol minyak terhadap metanol terbaik pada transesterifikasi dengan variasi perbandingan 1:6, 1:9, 1:12, 1:15, dan 1:18.

e. Reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu 65 o

C selama 2 jam.

f. Katalis KF/CaO alam yang digunakan untuk transesterifikasi sebesar 4 % dari berat minyak.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Apakah penambahan KF pada CaO alam membentuk senyawa baru?

b. Bagaimana pengaruh penambahan KF pada katalis CaO alam terhadap aktivitas katalis?

c. Bagaimana pengaruh katalis KF/CaO alam dengan adanya variasi metanol terhadap hasil transesterifikasi minyak kelapa sawit?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

a. Mengetahui senyawa baru dari hasil penambahan KF pada CaO alam.

penambahan KF pada CaO alam dan mendapatkan kondisi optimum dari penambahan KF pada CaO alam dalam pembuatan katalis KF/CaO alam .

c. Mengetahui perbandingan terbaik mol minyak terhadap metanol pada reaksi transesterifikasi minyak kelapa sawit dengan adanya katalis KF/CaO alam.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. Meningkatkan pemanfaatan batu tohor (CaO alam) sebagai bahan alternatif katalis pada industri khususnya dalam pembuatan biodiesel.

b. Memberikan informasi tentang penambahan KF dapat mempengaruhi tingkat aktivitas katalis CaO alam.

c. Meningkatkan pemanfaaatan kelapa sawit sebagai bahan bakar biodiesel.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Batu gamping

Batu gamping merupakan golongan batuan sedimen. Batu gamping terjadi dari hasil proses organik dan kimia. Secara proses organik batu gamping terbentuk dari pengendapan kerangka binatang laut seperti golongan Coelenterata, Protozoa, Moluska dan Foraminifera. Secara kimia, mineral batu gamping terdiri kalsit

(CaCO 3 ), aragonit (CaCO 3 ), magnesit (MgCO 3 ), dolomite (MgCO 3 , CaCO 3 ), dan siderite (FeCO 3 ) (Saing, 2008). Gamping biasanya diperdagangkan sebagai kapur

tohor (quicklime) yang mengandung kalsium tinggi dengan kandungan CaO. Reaksi kimia yang terjadi pada pembakaran batu gamping sebagai berikut :

CaCO 3 → CaO + CO 2 Dengan :

CaCO 3 = batu kapur CaO = kapur tohor

CO 2 = asam arang

Kapur dibuat dari batu gamping yang dibakar dalam suhu tertentu yang menghasilkan kapur tohor. Kapur tohor adalah hasil pembakaran dari batu kapur yang belum dipadamkan. Kapur dihasilkan dengan membakar batu kapur atau kalsium karbonat bersama dengan bahan-bahan kotorannya seperti magnesia, silika, besi, alkali, alumina dan belerang. Batu kapur mengandung oksida besi, alumina, magnesia, silika dan belerang, dengan CaO (22–56 %) dan MgO (sekitar

21 %) (Yulaekah, 2007).

2. Kalsinasi

Kalsinasi adalah metode pemisahan dengan memecah ikatan antar senyawa menggunakan panas, pada suhu 200-800 o

C karena pada suhu ini

tercapai titik vitrifikasi, dan ikatan kompleks akan terpecah. Hal ini dilakukan pada senyawa – senyawa dalam bahan tersebut adalah senyawa kompleks,

Dengan pemanasan akan terjadi reaksi zat padat, pengkristalan dan terjadi peleburan ini sehingga ikatan akan terlepas. Kalsinasi dilakukan pada suatu bahan untuk memutus ikatan molekul antar senyawa pada bahan tersebut (Sukamta, 2009). Metode ini dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu tinggi.

Kalsinasi dapat dilakukan pada katalis heterogen, misalnya CaO, MgO, ZnO, Al 2 O 3 , SiO 2 , K 2 CO 3 , dan Na 2 CO 3 . Hu et al. (2011) telah melakukan kalsinasi beberapa katalis antara lain : KF/CaO-Fe 3 O 4 , KF/SrO-Fe 3 O 4 , KF/MgO- Fe 3 O 4 , dan menghasilkan suhu kalsinasi yang optimum masing – masing sebesar 600 o

C untuk KF/CaO-Fe 3 O 4 , 600 o

C untuk KF/SrO-Fe 3 O 4 , 500 o

C untuk KF/MgO-Fe 3 O 4 . Sedangkan Wen et al. (2010) melakukan kalsinasi katalis

KF/CaO dan menghasilkan kondisi suhu kalsinasi optimum pada 600 o

C selama 4

jam. Menurut Yoosuk et al. (2010) kalsinasi CaO dilakukan pada suhu 600 o C selama 3 jam untuk mengubah hidroksi menjadi bentuk oksida.

3. Pengaruh Penambahan KF pada Katalis

Kalium fluorida (KF) merupakan molekul alkali halida yang memiliki unsur F (fluor) yang aktif, dan reaktif, sehingga mudah bereaksi dengan logam. Penambahan KF mempengaruhi aktivitas katalis. Semakin banyak KF yang ditambahkan maka semakin besar aktivitas katalis. Akan tetapi, jika terlalu banyak penambahan KF, juga akan menurunkan aktivitas katalis. Hal ini telah dibuktikan oleh Wen et al. (2010) yang telah melakukan penelitian dengan menambahkan KF dalam CaO, dimana penambahan KF lebih dari 25% berat CaO, aktivitas katalis menurun. Hal ini dikarenakan KF akan terdistribusi di permukaaan CaO, dan apabila jumlah KF terlalu besar, maka akan menutup permukaan katalis, sehingga aktivitas katalis akan menurun. Hu et al. (2011) juga

melakukan penelitian penambahan KF di beberapa katalis seperti CaO–Fe 3 O 4 , SrO–Fe 3 O 4 dan MgO–Fe 3 O 4 bahwa masing – masing katalis memiliki kondisi

optimum dengan adanya penambahan KF untuk mencapai aktivitas yang tinggi. Kondisi optimum ini dapat dilihat dari hasil perolehan biodiesel. Menurut Hu et al. (2011), biodiesel yang dihasilkan akan tinggi perolehannya jika penambahan KF mencapai 25 % untuk CaO, 35 % untuk MgO, dan 10 % untuk SrO.

a. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Fourier Transform Infra Red dapat digunakan untuk mengidentifikasi

senyawa organik maupun anorganik berdasarkan absorbsi gugus fungsional terhadap radiasi infra merah. Prinsip kerja dari alat ini adalah berdasarkan penyerapan sinar infra merah oleh suatu senyawa. Setiap senyawa mempunyai spektrum infra merah yang karakteristiknya tergantung dari kandungan gugus fungsinya. Spektrum infra merah dapat dibagi menjadi tiga wilayah utama: jauh (<400 cm -1 ), pertengahan (4000-400 cm -1 ), dan dekat (13000-4000 cm -1 ) (Stuart, 2004).

Senyawa anorganik sederhana, seperti NaCl, tidak menghasilkan getaran (vibrasi) di daerah pertengahan infra merah, meskipun getaran kisi molekul tersebut terjadi di daerah inframerah jauh. Sedangkan senyawa anorganik sedikit

lebih kompleks, seperti CaCO 3 , mengandung anion kompleks. Adanya anion ini

menghasilkan karakteristik band infra merah dan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Panjang Gelombang Infra Merah dari Anion (Stuart, 2004)

Ion

Panjang gelombang (cm -1 )

CO 3 2- 1450-1410, 880-800 SO 4 2- 1130-1080, 680-610 NO 3 - 1410-1340, 860-800

PO 4 3- 1100-950 SiO 4 2- 1100-900

NH 4 + 3335-3030, 1485-1390 MnO 4 - 920-890, 850-840

Tang et al. (2011) telah melakukan karakterisasi FTIR dari CaO yang termodifikasi dengan trimetil klorosilane, dan data spektra tersebut menunjukkan bahwa ikatan C-H stretching pada panjang gelombang 2800-3000 cm -1 , C-H (alkana) bending pada 1440 cm -1 , dan serapan C=O antara 2000-1500 cm -1 , serta ada serapan O-H pada 1621, dan 3460 cm -1 . Vibrasi stretching baik simetri maupun asimetri dari ikatan O-C-O karbonat pada permukaan CaO yang dikalsinasi pada suhu lebih rendah menunjukkan serapan IR disekitar 1475, 1074 Tang et al. (2011) telah melakukan karakterisasi FTIR dari CaO yang termodifikasi dengan trimetil klorosilane, dan data spektra tersebut menunjukkan bahwa ikatan C-H stretching pada panjang gelombang 2800-3000 cm -1 , C-H (alkana) bending pada 1440 cm -1 , dan serapan C=O antara 2000-1500 cm -1 , serta ada serapan O-H pada 1621, dan 3460 cm -1 . Vibrasi stretching baik simetri maupun asimetri dari ikatan O-C-O karbonat pada permukaan CaO yang dikalsinasi pada suhu lebih rendah menunjukkan serapan IR disekitar 1475, 1074

pada bilangan gelombang 450 cm -1 dari hasil sintesis CaF 2 nanopartikel.

b. Spektroskopi Difraksi Sinar X ( XRD) Analisis difraksi sinar X merupakan metode analisis untuk mengetahui kristalinitas suatu zat padat. Setiap kristal mempunyai harga d yang khas sehingga dengan mengetahui harga d maka jenis kristalnya dapat diketahui. Referensi harga

d , 2θ, dan intensitas suatu senyawa dapat diperoleh dari data Joint Committee on Powder Diffraction Standars (JCPDS) yang bersumber dari International Centre for Difraction Data (West, 1992).

Gambar 1. Difraktogram XRD KF/CaO dengan Berbagai Suhu (Wen, et al., 2010)

Berdasarkan penelitian Wen et al. (2010) tentang sintesis katalis KF/CaO dengan berbagai suhu kalsinasi menunjukkan 2θ dari tiga fasa adalah 18,02;

34,08; 47,14; 50,82; 54,36; 62,60; dan 64,26 o untuk Ca(OH) 2 , 28,74; 41,22; 51,26; 59,52; 59,69; dan 67,59 o untuk KCaF 3 , dan 32,12; 37,28; 53,80; 64,12; 34,08; 47,14; 50,82; 54,36; 62,60; dan 64,26 o untuk Ca(OH) 2 , 28,74; 41,22; 51,26; 59,52; 59,69; dan 67,59 o untuk KCaF 3 , dan 32,12; 37,28; 53,80; 64,12;

C menunjukkan terbentuk puncak difraksi KCaF 3 pada 20; 28,4; 35; 40,5; dan 79,7 o , sedangkan puncak difraksi Ca(OH) 2 dan KF

menghilang.

5. Minyak Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis. Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90 %. Kelapa sawit tumbuh pada iklim dengan curah hujan stabil yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau.

Minyak kelapa sawit seperti umumnya minyak nabati lainnya yang merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sedangkan komponen penyusunnya yang utama adalah trigliserida dan nontrigliserida. Trigliserida dari minyak kelapa sawit merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak. Minyak kelapa sawit mengandung asam lemak jenuh dan beberapa tak jenuh. Asam lemak yang terdapat pada minyak kelapa sawit dapat ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit (Gunstons dan Haword,

Asam lemak

Jumlah (%)

Asam miristat (C14:0) Asam palmitat (C16:0)

Asam stearat (C18:0)

Asam oleat (C18:1) Asam linoleat (C18:2)

Asam linolenat (C18:3) Asam arachidat (C20:0)

Selain trigliserida masih terdapat senyawa non trigliserida dalam jumlah kecil. Yang termasuk senyawa non trigliserida ini antara lain : monogliserida, digliserida, fosfatida, karbohidrat, turunan karbohidrat, dan protein (Pasaribu, 2004).

Biodiesel adalah pengganti atau penambah bahan bakar diesel yang diperoleh dari turunan minyak atau lemak baik dari hewan maupun tumbuhan. Biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang penggunaannya tanpa perlu memodifikasi mesin dan menghasilkan tenaga yang sama dengan bahan bakar diesel konvensional. Bahan bakar transportasi ini dapat diperbaharui dan bisa didegradasi hingga ramah lingkungan karena rendah emisi partikulatnya sehingga tidak mengotori atmosfir (Lim et al., 2011).

Biodiesel disintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon antara C6- C22. Asam lemak penyusun minyak/lemak dapat diubah menjadi ester-esternya. Ester-ester ini dapat diperoleh dengan mereaksikan trigliserida dan alkohol menggunakan katalis asam maupun basa. Reaksi ini dikenal sebagai reaksi pembuatan biodiesel atau disebut juga reaksi alkoholisis (Pujaatmaka, 1999).

Dalam pembuatan biodiesel, asam lemak bebas dapat digunakan sebagai bahan dasar. Menurut Freedman et al. (1984), adanya asam lemak bebas berpengaruh pada reaksi trasesterifikasi khususnya dengan menggunakan katalis basa. Apabila asam lemak bebas lebih dari 1 % b/b, maka akan terjadi pembentukkan sabun, dan produk yang dihasilkan akan sulit dipisahkan, sehingga mengakibatkan hasil biodiesel yang diperoleh sedikit (Berchmans et al., 2008).

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah, dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Menurut Bannon et al. (1988), alkohol dengan atom karbon sedikit memiliki kereaktifan lebih besar daripada alkohol dengan atom karbon lebih banyak. Reaksi transesterifikasi trigliserida dan metanol menjadi metil ester dapat dilihat pada Gambar 2.

Metil ester (biodiesel) Gliserol

katalis

Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi dari Trigliserida menjadi Ester Metil

Asam-Asam Lemak.

Pada reaksi transesterifikasi digunakanlah katalis. Adanya katalis untuk mempercepat laju reaksi agar dapat menghasilkan produk yaitu metil ester. Laju reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh katalis, temperatur, jenis alkohol, dan kelarutan metanol dalam minyak (Freedman et al., 1984). Katalis yang biasanya digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa. Hal ini dikarenakan laju reaksi transesterifikasi katalis basa lebih cepat dibandingkan katalis asam. Dalam kondisi basa, karbonil dapat diserang langsung oleh nukleofilik tanpa protonasi sebelumnya dan gugus alkoksida (:OR) berperan sebagai nukleofil. Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis basa heterogen ditunjukkan pada Gambar 3 (Schuchardt et al., 1998).

Reaksi transesterifikasi dari minyak tumbuhan dengan menggunakan katalis basa alkali umumnya dilakukan mendekati titik didih alkoholnya (Hart, 1983). Alkohol sangat berpengaruh pada hasil reaksi transesterifikasi, baik itu jenis maupun jumlah alkohol yang digunakan. Semakin banyak ratio reaktan yang digunakan maka semakin besar jumlah tumbukan antara alkohol dengan minyak, sehingga hasil ester yang diperoleh semakin meningkat. Akan tetapi penggunaan alkohol yang berlebih dapat melarutkan gliserol sehingga metanol yang bereaksi dengan trigliserida akan berkurang (Attanatho et al., 2004, Viriya et al., 2010), sehingga dapat menurunkan hasil biodiesel yang diperoleh.

Gambar 3. Mekanisme Reaksi Transesterifikasi dalam Katalis Basa (Schuchardt,

et al ., 1998).

Hasil penelitian Viriya et al. (2010) yang telah melakukan sintesis biodiesel menggunakan katalis CaO dari meretrix venus shell menyatakan bahwa penambahan ratio metanol terhadap minyak dari 9 sampai 12 dapat meningkatkan kandungan metil ester, dan jika penambahan ratio metanol terhadap minyak sampai 18 maka menurunkan metil ester. Liu et al. (2008) telah melakukan reaksi transesterifikasi dari minyak kedelai dengan menggunakan katalis CaO 8 % pada suhu 65 o

C dan menghasilkan biodiesel sebesar 95 % pada rasio minyak : metanol

sama dengan 12:1 selama 3 jam. Hasil penelitian Isahak et al. (2010) menyatakan bahwa transesterifikasi minyak kelapa sawit, dan metanol ratio 12:1 dari molar minyak pada suhu 65 o

C selama 2 jam dengan menggunakan katalis CaO

menghasilkan konversi biodiesel sebesar 85 %, sedangkan Wen et al. (2010) telah menghasilkan konversi biodiesel sebesar 85 %, sedangkan Wen et al. (2010) telah

7. Karakterisasi Biodiesel dengan Hidrogen Nuclear Magnetic Resonance

( 1 H NMR)

Presentase kadar metil ester yang diperoleh dapat diketahui dengan menggunakan 1 H NMR. 1 H NMR adalah salah satu metode untuk menentukan

struktur senyawa dengan menggunakan resonansi magnet proton. Proton gugus gliserida ditunjukkan oleh puncak pada daerah 4-4,3 ppm. Proton gugus metil ester ditunjukkan oleh puncak pada daerah sekitar 3,7 ppm. Sedangkan proton α-

CH 2 ditunjukkan oleh puncak pada daerah sekitar 2,3 ppm (Knothe, 2000). Integrasi puncak-puncak gliserida dan metil ester dapat digunakan untuk menghitung konversi metil ester. Nilai konversi metil ester dapat ditentukan dengan rumus berikut :

C ME = konversi metil ester, %

I ME = nilai integrasi puncak metil ester

I TAG = nilai integrasi puncak triasilgliserida

Faktor 5 dan 9 adalah jumlah proton yang terdapat pada gliseril dalam molekul trigliserida mempunyai 5 proton, dan tiga molekul metil ester yang dihasilkan dari satu molekul trigliserida mempunyai 9 proton (Knothe, 2000).

B. Kerangka Pemikiran

Kalium fluorida (KF) merupakan molekul alkali halida yang memiliki unsur F (fluor) bervalensi satu. Fluor memiliki keelektronegatifan yang paling tinggi, unsur aktif, dan reaktif, sehingga mudah bereaksi dengan logam. Sedangkan CaO alam adalah oksida logam yang memiliki logam Ca yang reaktif. Adanya penambahan KF pada CaO alam akan terjadi suatu reaksi sehingga

penambahan KF pada CaO dapat membentuk senyawa aktif baru yaitu KCaF 3 . Upaya meningkatkan aktivitas katalis CaO alam yaitu ditambahkan zat aktif seperti kalium fluorida (KF) ke dalamnya. Penambahan KF pada CaO akan membentuk senyawa aktif. Penambahan massa KF pada CaO alam dapat berpengaruh pada aktivitas katalis. Peningkatan rasio KF akan memperbesar aktivitas katalis dikarenakan terbentuknya situs aktif baru yang lebih kuat reaktifitasnya sebagai katalis. Akan tetapi, ketika rasio KF mencapai ambang batas distribusi monolayer maka aktifitas katalis menjadi maksimum, dan aktifitasnya akan menurun seiring dengan kenaikan rasio KF karena ketika rasio KF lebih besar dari batas optimum maka akan menutupi sisi aktif yang mengakibatkan menurunnya aktifitas katalis.

Laju reaksi transesterifikasi sebanding dengan konsentasi pereaksi. Semakin besar konsentrasi pereaksi (metanol) yang ditambahkan maka semakin besar pula jumlah tumbukan antar partikel, dan kesetimbangan akan bergeser ke sebelah kanan (ke produk) sehingga produk (yaitu metil ester) yang dihasilkan akan semakin banyak. Akan tetapi, penggunaan metanol yang berlebih dapat melarutkan gliserol sehingga metanol yang bereaksi dengan trigliserida akan berkurang (Attanatho et al.,2004, Viriya et al., 2010), sehingga mengakibatkan hasil biodiesel yang diperoleh akan semakin sedikit.

C. Hipotesis

1. Penambahan KF pada CaO alam membentuk senyawa baru KCaF 3 .

2. Penambahan massa KF terhadap CaO alam dalam pembuatan katalis KF/CaO alam dapat meningkatkan aktivitas katalis sampai kondisi optimum.

3. Adanya variasi metanol dengan katalis KF/CaO alam, maka hasil transesterifikasi minyak kelapa sawit semakin meningkat sampai kondisi optimum.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental laboratorium untuk memperoleh data hasil. Penelitian ini meliputi preparasi dan karakterisasi katalis KF/CaO alam, transesterifikasi dengan pereaksi metanol dan katalis KF/CaO alam, dan penentuan konversi biodiesel yang

dihasilkan menggunakan Hidrogen Nuclear Magnetic Resonance ( 1 H NMR).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 hingga Mei 2012 di Laboratorium Dasar Kimia MIPA UNS, dan Laboratorium Pusat Universitas

Negeri Sebelas Maret Surakarta Sub Laboratorium Kimia.

C. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Seperangkat alat gelas

b. Lumpang dan penggerus porselin

c. Ayakan 150 mesh

d. Furnace 4800

e. Tang krus

f. Krus

g. Neraca analitik BP 310 S dengan batas timbang 0-310 g, dan d = 0,001 g

h. Seperangkat alat titrasi

i. Stirrer j. Seperangkat alat refluks k. Pemanas listrik Cole-Parmer l. Pompa air m. Evaporator Buchi Switzerland VRE i. Stirrer j. Seperangkat alat refluks k. Pemanas listrik Cole-Parmer l. Pompa air m. Evaporator Buchi Switzerland VRE

q. Hidrogen Nuclear Magnetic Resonance ( 1 H NMR) menggunakan Agilent400- VNMR 400 MHz

2. Bahan

a. Batu tohor/CaO alam dari Pandan Simping Klaten

b. Kalium Fluorida (KF) p.a

c. Minyak kelapa sawit

d. Metanol p.a

e. Kalium Hidroksida (KOH) p.a

f. Asam Klorida (HCl) 37 % p.a

g. Akuades

h. Na 2 SO 4 anhidrat p.a

D. Prosedur Penelitian

1. Preparasi Katalis KF/CaO Alam

Kapur tohor (CaO alam) diayak terlebih dahulu dengan ayakan 150 mesh. CaO alam 150 mesh tersebut dikalsinasi pada suhu 600 o

C selama 3 jam. Kalium

Fluorida (KF) ditambahkan pada CaO alam 150 mesh yang telah dikalsinasi. Penambahan KF dengan masing- masing sebesar 15, 25, 35, dan 45 % dari berat CaO alam. Kedua zat tersebut dicampur sambil digerus selama 15 menit. Setelah tercampur, campuran tersebut ditambahkan 10 mL akuades, dan ditunggu sampai menjadi pasta selama 45 menit, kemudian dioven selama 5 jam pada suhu 105 o C, dan dilanjutkan dengan kalsinasi pada suhu 600 o

C selama 4 jam.

2. Karakterisasi Katalis

Kapur tohor (CaO alam) dan Kalium Fluorida (KF) masing – masing sebanyak 0,5 gram dianalisis dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR) dengan metode plat KBr pada batas bilangan gelombang antara 400-4000 cm -1 . Untuk mengetahui komposisi yang terkandung di dalam CaO alam dilakukan analisis dengan X-Ray Fluorescence (XRF). Katalis CaO alam, dan KF/CaO alam (sesuai Kapur tohor (CaO alam) dan Kalium Fluorida (KF) masing – masing sebanyak 0,5 gram dianalisis dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR) dengan metode plat KBr pada batas bilangan gelombang antara 400-4000 cm -1 . Untuk mengetahui komposisi yang terkandung di dalam CaO alam dilakukan analisis dengan X-Ray Fluorescence (XRF). Katalis CaO alam, dan KF/CaO alam (sesuai

C selama 2 jam, dan ditambahkan 4 %

katalis KF/CaO alam (sesuai variasi) dari berat minyak. Hasilnya dianalisis

dengan Hidrogen Nuclear Magnetic Resonance ( 1 H NMR) dengan pelarut CDCl 3 .

Katalis KF/CaO alam yang memiliki aktivitas yang optimum akan dianalisis dengan FTIR.

3. Pembuatan Biodiesel dan Karakterisasinya

a. Penentuan Bilangan Asam Sebanyak 5 gram minyak sawit dalam erlenmeyer ditambah 2 tetes indikator fenolftalen, kemudian campuran dititrasi dengan KOH 0,5 M menghasilkan warna merah jambu. Apabila bilangan asam kurang dari 1 maka tidak memerlukan proses esterifikasi.

b. Penentuan Bilangan Penyabunan Penentuan bilangan penyabunan dilakukan dengan mereaksikan 50 mL KOH 0,5 M ( 1,4 gram KOH dalam metanol) dan 5 gram minyak kelapa sawit. Campuran tersebut direfluks selama 150 menit sampai minyak tersabunkan dengan sempurna. Larutan yang diperoleh pada akhir penyabunan harus jernih dan homogen. Setelah larutan dingin, larutan tersebut ditambahkan 1 mL indikator fenolftalein sehingga menyebabkan warna larutan menjadi merah jambu. Jumlah KOH yang dibutuhkan dapat diketahui dengan titrasi menggunakan HCl 0,5 M sampai warna merah jambu hilang. Prosedur ini diulangi tanpa menggunakan minyak untuk analisis blanko.

c. Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit Menggunakan Katalis KF/CaO Alam Transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan minyak dengan memvariasikan metanol. Pada reaksi ini dilakukan variasi perbandingan mol minyak terhadap metanol masing-masing sebesar 1:6, 1:9, 1:12, 1:15, dan 1:18. Reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu 65 o

C selama 2 jam. Sejumlah

tertentu (sesuai variasi perbandingan) metanol direaksikan dahulu dengan 4 % tertentu (sesuai variasi perbandingan) metanol direaksikan dahulu dengan 4 %

d. Pencucian dan Pemurnian Biodiesel Hasil transesterifikasi kemudian dibiarkan, sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan atas merupakan metil ester, sedangkan lapisan bawah gliserol, dan sisa katalis. Bagian atas diambil, dan merupakan biodiesel kotor. Biodiesel kotor dimurnikan dengan evaporator selama 1 jam pada kondisi vakum (tekanan 50-100 mBar, suhu 40-60 o

C, dan kecepatan putar 2-3 rpm) untuk menghilangkan air, dan metanol. Selanjutnya biodiesel ditambah Na 2 SO 4 anhidrat untuk menghilangkan air. Biodiesel yang telah bersih, dan siap untuk dikarakterisasi.

e. Karakterisasi Biodiesel Biodiesel yang diperoleh dilakukan uji karakterisasi dengan Hidrogen

Nuclear Magnetic Resonance ( 1 H NMR) dengan pelarut CDCl 3 .

E. Teknik Pengumpulan Data

Karakterisasi CaO alam dan KF dilakukan menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk mengetahui gugus fungsinya. CaO alam, dan KF/CaO alam dengan berbagai variasi penambahan KF terhadap berat CaO sebesar 15, 25, 35, dan 45 % dikarakterisasi dengan difraktometer sinar X yang bertujuan untuk mengetahui kristanilitas dari katalis tersebut. Untuk mengetahui aktivitas katalis, masing-masing katalis KF/CaO alam, dan CaO alam langsung diaplikasikan dengan membuat biodiesel. Katalis yang memiliki nilai aktivitas tertinggi kemudian dianalisis gugus fungsinya dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR).

Sebelum reaksi transesterifikasi dilakukan, perlu menentukan berat molekul dari suatu minyak (triasilgliserida). Penentuan berat molekul dapat dilakukan dengan menghitung bilangan penyabunan dari minyak kelapa sawit tersebut. Rata – rata berat molekul minyak (TAG) adalah :

Berat molekul TAG = 3 x

56,1 x 1000 mg SN x 1g

SN = bilangan penyabunan (mg/g) Reaksi transesterifikasi minyak kelapa sawit dengan masing-masing

variasi metanol terhadap mol minyak akan diperoleh metil ester, dan dapat

ditentukan konversi metil ester (%) dengan menggunakan 1 H NMR. Rumus yang digunakan dalam penentuan konversi metil ester adalah :

C ME = konversi metil ester, %

I ME = nilai integrasi puncak metil ester

I TAG = nilai integrasi puncak triasilgliserida

F. Teknik Analisis Data