Teori Behavioristic Thorndike

C. Teori Behavioristic Thorndike

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori belajar behavioristik yaitu teori koneksionisme dari Thorndike. Belajar yang terbaik adalah ketika peserta didik memiliki kesiapan fisik, mental, dan emosional. Mereka tidak akan dapat belajar dengan baik apabila mereka mempunyai alasan untuk apa mereka belajar. Untuk menumbuhkan kesiapan belajar dikalangan peserta didik; (a) guru terlebih dahulu menciptakan suasana kelas yang dapat merangsang kesiapan belajar para peserta didik, (b) guru menyampaikan materi yang akan diajarkan beserta manfaat apa yang dapat diterima peserta didik setelah mereka menguasai materi pembelajaran tersebut, (c) untuk itu, guru pun memberikan tantangan sekaligus menumbuhkan semangat motivasi dikalangan para peserta didik, (d) upaya yang dilakukan agar tumbuh kesadaran di lingkungan peserta sisik sehingga mereka meyakini besarnya manfaat hasil belajar, (e) dengan itu mereka Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori belajar behavioristik yaitu teori koneksionisme dari Thorndike. Belajar yang terbaik adalah ketika peserta didik memiliki kesiapan fisik, mental, dan emosional. Mereka tidak akan dapat belajar dengan baik apabila mereka mempunyai alasan untuk apa mereka belajar. Untuk menumbuhkan kesiapan belajar dikalangan peserta didik; (a) guru terlebih dahulu menciptakan suasana kelas yang dapat merangsang kesiapan belajar para peserta didik, (b) guru menyampaikan materi yang akan diajarkan beserta manfaat apa yang dapat diterima peserta didik setelah mereka menguasai materi pembelajaran tersebut, (c) untuk itu, guru pun memberikan tantangan sekaligus menumbuhkan semangat motivasi dikalangan para peserta didik, (d) upaya yang dilakukan agar tumbuh kesadaran di lingkungan peserta sisik sehingga mereka meyakini besarnya manfaat hasil belajar, (e) dengan itu mereka

Belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respons. Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsangan. Thorndike menunjukkan bahwa koneksionisme merupakan asosiasi antara kesan-kesan pengindraan dengan dorongan untuk bertidak yaitu upaya untuk menggabungkan antara kejadian pengindraan dengan perilaku (Achmad Rifa’I dan Catharina, 2012:97).

Setelah melihat teori Thondike diatas yang mengatakan bahwa adanya suatu asosiasi antara kejadian pengindraan siswa dengan perilaku siswa. Maka, dalam hal ini peneliti beranggapan bahwa pemanfaatan kawasan Pecinan Semarang Sebagai sumber belajar dalam pembelajaran sejarah ada kaitanya dengan teori koneksionisme Thorndike. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara pemanfaatan suber belajar dengan keberhasilan pemblajaran sejarah. Jika guru mememanfaatkan sumber belajar secara optimal maka keberhasilan pembelajaran sejarah akan mudah tercapai, sebaliknya jika guru kurang mememanfaatkan sumber belajar secara optimal maka keberhasilan pembelajaran sejarah akan kurang. Mereka akan lebih bersemangat belajar apabila terdapat sumber belajar yang mereka Setelah melihat teori Thondike diatas yang mengatakan bahwa adanya suatu asosiasi antara kejadian pengindraan siswa dengan perilaku siswa. Maka, dalam hal ini peneliti beranggapan bahwa pemanfaatan kawasan Pecinan Semarang Sebagai sumber belajar dalam pembelajaran sejarah ada kaitanya dengan teori koneksionisme Thorndike. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara pemanfaatan suber belajar dengan keberhasilan pemblajaran sejarah. Jika guru mememanfaatkan sumber belajar secara optimal maka keberhasilan pembelajaran sejarah akan mudah tercapai, sebaliknya jika guru kurang mememanfaatkan sumber belajar secara optimal maka keberhasilan pembelajaran sejarah akan kurang. Mereka akan lebih bersemangat belajar apabila terdapat sumber belajar yang mereka

Namun temuan Thorndike yang mengatakan bahwa belajar itu adalah perubahan prilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai tidak 100 persen benar, dalam pembelajaran yang dilakukan di SMA Nusaputera dengan memanfaatkan Pecinan Semarang sebagai sumber belajar sejarah tidak semua siswa membentuk suatu perubahan sikap, masih ada beberapa yang merasa dirinya tidak tertarik bahkan merasa bosan dengan pembelajaran yang dilakukan.