Model strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetisi inti di daerah kabupaten dan kelembagaannya

(1)

AIDIL JUZAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER

AGROINDUSTRI UNGGULAN MENGGUNAKAN KOMPETENSI

INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA


(2)

SURAT PERNYATAAN

Bersama ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul: Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti di Daerah Kabupaten dan Kelembagaanya, adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun juga kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi.

Bogor, September 2006


(3)

AIDIL JUZAR.Model of Development Strategy for Leading Agroindustry Cluster Using Core Competence in the Kabupaten Region and the Related Institutions. Supervised by IRAWADI JAMARAN as Chairman BUNASOR SANIM, MARIMIN, ANI SURYANI, and YANDRA ARKEMAN as members of the Supervisory Committee.

The objective of this research was to develop a model of development strategy for upgrading the existing agglomeration of agroindustry in the region into a well functioning industrial cluster.

Due to paucity of economic data and the absence of industry and trade input-output table at the regional and local level, an appropriate model needs to be developed. The required input data for each agroindustry group analysed in the model are: the number of establishment, the number of employee, the amount of value added, and expert opinions. The model comprises of several analytical techniques such as: Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA), Shift-Share Analysis, Location Quotient (LQ), Analytical Hierarchy Process (AHP), Interpretive Structural Modelling (ISM), and Independent Preference Evaluation (IPE).

The res earch shows that the model, which is named StraKlas Model, could be used as a decision support system to identify and select agroindustry groups which are potential to be nurtured and developed to become leading agroindustry clusters, and to identify the necessary policies to be taken for this purpose.

The identification and selection process includes: identification of core competence of the region, concentration of industries in the region, the rate of growth of the industries, export potential of the industries of the region, linkages with other industry groups and other sectors, the number of emp loyees absorbed by the industries, and the creation of added value of the industries.

Following the selection of the potential agroindustry group, the core industry of the would be cluster will be identified . Further analysis is conducted to find the key elements of the agroindustry development system, and based on the result of the analysis a cluster development plan is proposed.


(4)

i

RINGKASAN

AIDIL JUZAR. Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti di Daerah Kabupaten dan Kelembagaannya. Komisi Pembimbing : IRAWADI JAMARAN sebagai Ketua, BUNASOR SANIM, MARIMIN, ANI SURYANI, dan YANDRA ARKEMAN sebagai anggota.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 7, ayat 1 telah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada daerah untuk mengelola sumber daya nasional yang terdapat di daerah. Kewenangan ini perlu ditindak lanjuti untuk memacu pembangunan ekonomi di daerah tersebut, terutama pembangunan industri.

Menurut Blakely (2000), sasaran pokok pembangunan ekonomi di daerah adalah peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya, untuk itu masing-masing pemerintah daerah harus meningkatkan daya saingnya. Pemahaman mengenai daya saing daerah sangat penting untuk menyusun rencana strategis pembangunan daerah tersebut (Muchdie 2000). Keunggulan bersaing suatu daerah akan tercipta jika daerah tersebut memiliki kompetensi inti yang dapat dibedakan dari daerah lainnya.

Menurut Roberts dan Stimson (1998), kompetensi inti adalah sekumpulan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki suatu daerah yang berkaitan dengan kekuatan ekonomi di bidang industri dan investasi, perdagangan, teknologi, sumber daya alam, sumber daya manusia, manajemen, pengaturan dan infrastruktur.

Disisi lain, Undang-undang No, 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) mengamanatkan agar pembangunan sektor-sektor primer, sekunder dan tersier ditempuh d engan pendekatan klaster industri.

Hasil penelitian Porter (1990) menyatakan bahwa lokasi-lokasi industri yang kompetitif cenderung berkelompok pada daerah -daerah tertentu. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka pendekatan klaster industri telah dijadikan sebagai kebijakan untuk pengembangan industri dibanyak negara.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kawasan disekitarnya pada akhir dekade 1990-an memperlihatkan bahwa industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat -akibat negatif dari krisis tersebut (Saragih 2001).

Mengacu pada uraian di atas , maka perlu dikembangkan suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri menggunakan kompetensi inti di daerah. Karena keterbatasan tabel Input-Output dan data kuantitatif lainnya sebagai masukan untuk analisa klaster, maka diperlukan metodologi dengan masukan berupa data yang sudah dikumpulkan oleh instansi yang berwenang secara teratur dan dilengkapi dengan masukan data kualitatif dari pendapat ahli untuk menyusun strategi pengembangan klaster agroindustri.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri menggunakan kompetensi inti di daerah kabupaten dan kelembagaannya, yang dibantu oleh satu set perangkat lunak.

Model direkayasa melalui analisa atas kelompok agroindustri yang berpotensi sebagai klaster, dengan penilaian atas : konsentrasi, pertumbuhan,


(5)

ii tenaga kerja, nilai tambah, kemampuan ekspor, keterkaitan, kompetensi inti daerah, dan analisa strukturis asi sistem pengembangan agroindustri unggulan daerah untuk memformulasikan kebijakan dan sistem kelembagaan.

Agroindustri yang diteliti adalah kelompok sesuai kode industri dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2000, dengan skala “Sedang” dan skala “Besar” menurut klasifikasi Badan Pusat Statistik, yang ada di Kabupaten Bogor.

Pemerintah daerah dan perusahaan yang terdapat di daerah tersebut sangat berkepentingan terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri. Pemerintah daerah berkepentingan atas terciptanya lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan daerah. Perusahaan agroindustri berkepentingan atas terc apainya produktivitas yang tinggi, laba yang besar dan pengembangan usaha. Kepentingan kedua pelaku tersebut perlu diakomodasikan dan dijadik an tujuan dari pembangunan agro industri daerah.

Pencapaian tujuan ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh daerah dan faktor-faktor yang melekat pada industri itu sendiri. Faktor-faktor dimaksud adalah : kompetensi inti daerah yang men dukung pengembangan agroindustri, konsentrasi agroindustri yang terdapat di daerah, tingkat pertumbuhan agroindustri di daerah, jumlah tenaga kerja pada agroindustri di daerah, nilai tambah agroindustri di daerah, kemampuan ekspor agroindustri daerah dan k eterkaitan agroindustri dengan usaha lain di daerah tersebut.

Metode penelitian d ilakukan melalui tahapan sebagai berikut : 1) Pengelompokan agroindustri berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 3 digit, 2) Menetapkan kriteria dan menghitung bobot setiap kriteria , 3) Pemeringkatan kelompok agroindustri yang berpeluang menjadi suatu klaster, 4) Pemetaan kelompok agroindustri melalui identifikasi industri inti, industri terkait, dan industri pendukungnya, 5) Melakukan Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri, dan 6) Memformulasikan kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan .

Pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik dan instansi lainnya, studi-studi dan laporan-laporan industri dan perdagangan. Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan, wawancara, dan penyebaran kuesioner kepada sejumlah pakar. Penentuan pakar dilakukan melalui purporsive sampling. Data dan informasi yang diperoleh diolah dengan menggunakan model-model yang telah dirancang sesuai dengan tujuan pengolahan.

Metode pengolahan data dilakukan menggunakan teknik Location Quotinent (LQ), Shift Share Analysis, teknik Heuristic, Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA), Analytical Hierarchy Process (AHP), Interpretive Structural Modelling (ISM) dan Independent Preference Evaluation (IPE).

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan model-model di atas yang dirancang berbasis komputer yang dirangkum dalam suatu model perangkat lunak dinamak an Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah (Model StraKlas).

Model StraKlas dirancang dalam bentuk Sistem Pendukung Keputusan dengan konfigurasi utamanya adalah Sistem Manajemen Basis Model, Sistem Manajemen Basis Data dan Sistem Manajemen Dialog.


(6)

iii Pengelompokan klaster industri dilakukan menurut Klasifik asi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI, 2000) pada tingkatan 3-digit. Berdasarkan data industri kabupaten Bogor (BPS Kab. Bogor 2002), maka agroindustri di daerah ini dapat digolo ngkan dalam kelompok Makanan; Minuman; Kulit; Kayu, Rotan, dan Bambu; Kertas dan Barang dari Kertas; Karet dan Barang dari Karet.

Analisa pemeringkatan kelompok agroindustri dilakukan menggunakan teknik AHP dengan Fokus : Memilih Kelompok Agroindustri yang berpotensi sebagai klaster; Tujuan : 1) Meningkatkan Pendapatan Pemerintah Daerah, 2) Memperluas Lapangan Kerja dan Pembentukan Usaha Baru, 3) Memperluas Pasar Domestik dan Ekspor, 4) Meningkatkan Produktivitas Usaha; Kriteria : 1) Konsentrasi Industri, 2) Pertumbuhan Kelompok, 3) Jumlah Tenaga Kerja, 4) Nilai Tambah, 5) Kompetensi Inti Agroindustri Daerah, 6) Kemampuan Ekspor, 7) Keterkaitan dengan Usaha Lain; Alternatif adalah ketujuh kelompok agroindustri disebut di atas.

Pembobotan masing-masing alternatif terhadap kriteria Konsentrasi Industri dilakukan dengan perbandingan Location Quotient, terhadap kriteria Pertumbuhan Kelompok dengan perbandingan komponen Differential Shift dari

Shift-Share Analysis, terhadap kriteria Kompetensi Inti Agroindustri Daerah dengan analisa MSQA (Multi Sectoral Qualitative Analysis), terhadap kriteria Keterkaitan dengan Usaha Lain dan kriteria Kemampuan Ekspor dengan Pendapat Pakar, terhadap kriteria Jumlah Tenaga Kerja dan kriteria Nilai Tambah berdasarkan angka-angka realisasinya.

Hasil pemeringkatan kelompok agroindustri dengan analisa AHP dan bobot setiap kelompok terhadap Fokus adalah : Makanan (0.2042); Minuman (0.1412); Kulit (0.1544); Kayu, Rotan dan Bambu (0.1649); Kertas, Barang dari Kertas (0.1740); Karet, Barang dari karet (0.1612).

Berdasarkan peringkat yang diperoleh dari analisa AHP, maka dilakukan identifikasi industri inti dari kelompok ini. Industri inti dari Kelompok Agroindustri Makanan adalah : Pengalengan buah -buahan dan sayuran, Pengasinan buah-buahan dan sayuran, Pelumatan buah-buahan dan sayuran, Susu, Ransum pakan ternak atau ikan, Roti dan sejenisnya, Makanan dari coklat, Makaroni, mie, spagheti, bihun, so’un dan sejenisnya, Pengolahan teh.

Berdasarkan data lapangan maka secara lebih spesifik industri inti dalam kelompok agroindustri Makanan di kabupaten Bogor adalah : industri manisan buah-buahan dalam kaleng, industri manisan buah-buahan kering, industri saus cabe, industri susu bubuk, industri pakan ternak, industri pakan ikan dan industri pakan udang, industri roti, industri kue kering, industri biskuit dan industri snack, industri kembang gula, industri mie kering dan industri bihun, industri teh hijau atau teh kering dan industri teh celup. Berdasarkan hasil identifikasi industri inti di atas maka dilakukan pemetaan klaster.

Hasil analisis terhadap subelemen ditemukan elemen kunci dan elemen yang memiliki driver power yang tinggi. Pada elemen pelaku pengembangan yaitu: subelemen pemerintah daerah, lembaga keuangan, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pengujian, standar, setifikasi, Asosiasi produsen. Pada elemen tujuan pengembangan yaitu: meningkatkan keterkaitan antar sektor, pemanfaatan sumber daya alam daerah, meningkatkan produkvifitas, menurunkan biaya transaksi dan meningkatkan kemampuan inovasi. Pada elemen peran pemerintah yaitu melakukan koordinasi


(7)

iv antar instansi, membangun komunikasi dan kerjasama anggota klaster, menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan, melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah, menerbitkan peraturan untuk persaingan yang sehat, dan menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah. Pada elemen aktivitas dunia usaha yaitu : mendirikan asosiasi khusus anggota klaster, mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan, melakukan usaha pemasaran bersama, melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah, dan melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan. Sedangkan pada elemen kendala yaitu: rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, perbedaan kepentingan antar perusahaan, kurang adanya dukungan peraturan pemerintah dan perbedaan budaya kerja antar perusahaan.

Peringkat kepentingan subelemen pada elemen Peran Pemerintah dalam pencapaian elemen Tujuan yang sangat penting dan penting adalah : Melakukan koordinasi antar instansi yang terkait; Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota; Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan; Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan yang sehat; Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah; Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah; dan Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster.

Peringkat kepentingan subelemen pada elemen Aktivitas Dunia Usaha dalam pencapaian elemen Tujuan adalah sebagai berikut : Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster; Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster; Melakukan usaha pemasaran bersama an ggota klaster; Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah daerah; Melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota klaster.

Hasil klasifikasi subelemen pada elemen Pelaku memperlihatkan bahwa subelemen Lembaga Keuangan, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Lembaga Pengujian, Standardisasi dan Sertifikasi, dan Asosiasi Produsen termasuk dalam sektor linkage.

Berdasarkan hasil pemeringkatan dan strukturisasi elemen, pengembangan klaster agroindustri membawa implikasi pada pengembangan kelembagaan, infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi dan pasar. Pengembangan kelembagaan dilakukan dengan membentuk Lembaga Pengembangan Klaster Agroindustri Kabupaten yang berfungsi men jalin keterkaitan diantara lembaga stakeholders . Bentuk lembaga yang sesuai dengan karakteristik pelaku yang terlibat adalah struktur jaringan (network structure) yaitu sebuah organisasi kerja yang menyandarkan diri pada organisasi lain untuk melakukan keg iatan usaha.

Rekayasa model pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti menghasilkan suatu model yang dapat digunakan untuk menunjang pengambilan keputusan dalam identifikasi dan memformulasi strategi pengembangan klaster agroindustri di daerah Kabupaten, dengan menggunakan data statistik yang tersedia pada Badan Pusat Statistik, dikombinasikan dengan masukan berupa pendapat pakar.

Disarankan untuk menerapkan model pada berbagai tingkatan wilayah administratif baik secara sendiri maupun bersama dengan wilayah yang berbatasan.


(8)

AIDIL JUZAR

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER

AGROINDUSTRI UNGGULAN MENGGUNAKAN KOMPETENSI

INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA


(9)

KOMPETENSI INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA

Nama Mahasiswa : Aidil Juzar Nomor Pokok : F 326010161

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua

Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M. Sc Dr. Ir. Ani Suryani, DEA

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Marimin, M. Sc Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng. Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor,

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(10)

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2006 Hak Cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari IPB sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto copy, microfilm dan


(11)

Penulis dilahirkan di Medan (Sumatera Utara) pada tanggal 14 No vember 1939, putra dari Bapak Juzar (almarhum) dan Ibu Syahrizat (almarhum). Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri I di Medan pada tahun 1958, penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung, Jurusan Elektroteknik dan lulus pada tahun 1962.

Lulus dari Institut Teknologi Bandung, penulis bekerja pada Departemen Perindustrian Dasar & Pertambangan , dan pada tahun 1972 penulis ditugaskan pada BUMN PT. Krakatau Steel (perusahaan industri baja) sampai tahun 1984, dengan jabatan terakhir sebagai Direktur (periode 1984-1994). Dalam periode 1972-1976, penulis sambil bekerja mengikuti kuliah pada Ekstension Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1976.

Pada tahun 1994 penulis ditugaskan kembali pada Departemen Perindustrian dengan jabatan sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri (1994- akhir 1995). Ketika Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan digabung pada akhir tahun 1995, penulis ditugaskan sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Peridustrian dan Perdagangan sampai akhir tahun 1998.

Selama bekerja di PT. Krakatau Steel, penulis ditugaskan pula menjadi Komisaris pada beberapa anak perusahaan, antara lain : PT. KHI Pipe Industries, dan PT. Seamless Pipe Jaya. Demikian pula selama bertugas di Departemen Peridustrian dan Depatemen Perindustrian dan Perdagangan, penulis ditunjuk sebagai Komisaris Utama pada: PT. Semen Padang (1995-1997), PT. Pupuk Kalimantan Timur (1995-1997), PT. Semen Gresik (1997 -1999), PT. Pupuk Sriwijaya (1997-1999) dan PT. Sucofindo (1997-2003).

Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasis wa program doktor pada Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menikah dengan Dra. Riana Gindo Siregar, Apoteker, pada tahun 1965, dan telah dikaruniai dua orang anak lelaki dan seorang anak perempuan.


(12)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulisan disertasi dapat diselesaikan.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Irawadi Jamaran sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M. Sc., Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M. Sc., Bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng., sebagai anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, dorongan semangat, curahan pengetahuan, waktu dan nesehat yang diberikan selama ini dengan penuh pengertian, kesabaran dan keikhlasan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Penghargaan kami sampaikan pula kepada Dr. Ir. Anas M Fauzi M.Eng., sebagai penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, Dr. Ir. Muhammad Said Didu, M.Si., dan Dr. Ir. Gatot Ibnu Santoso, DEA., sebagai penguji luar komisi pada Ujian Terbuka atas segala pengetahuan, saran dan waktunya untuk penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada :

1. Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian, Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah membantu dan membekali ilmu selama mengikuti pendidikan. 2. Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian beserta Staf.

3. Rekan-rekan di Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya juga disampaikan kepada Pimpinan dan Staf pada Kantor Pusat Badan Pusat Statistik di Jakarta, Pimpinan dan Staf Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat di Bandung, Pimpinan dan Staf Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor di Cibinong, Pimpinan dan Staf Departemen Perindustrian, Pimpinan dan Staf Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Barat, Pimpinan dan Staf Dinas Perindustrian Kabupaten Bogo r, Pimpinan dan Staf Departemen Perdagangan, Balai Besar Hasil Industri dan Pertanian, serta para nara sumber lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan informasi dan kemudahan selama penelitian dilakukan.

Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Dra. Riana Gindo Juzar, ananda Priandhi Satria Juzar dan Dhira Diantari Juzar; serta seluruh kerabat dan teman atas doa, kesabaran, dorongan, bantuan dan pengertian yang diberikan secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan.

Terima kasih disampaikan pula kepada Dr.Ir. Halim Mahfud M.Sc, Ir.Roni Wijaya dan semua p ihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak sekali membantu dalam proses penyelesaian penelit ian ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak luput dari kelemahan dan kekurangan, sehingga saran untuk perbaikan akan kami terima dengan segala ketulusan hati.

Bogor, September 2006 Aidil Juzar


(13)

vi

Halaman

RINGKASAN ……….. KATA P ENGANTAR ………. DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR LAMPIRAN ………... I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ……….

1.2 Perumusan Masalah ……….

1.3 Tujuan Penelitian ……….

1.4 Ruang Lingkup ………

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Industri dan Agroindustri ………...

2.2 Klaster Industri ………

2.3 Kompetensi Inti ………...

2.4 Pendekatan Sistem ………... 2.5 Sistem Penunjang Keputusan ……….. 2.6 Penelitian Terdahulu ……… III. LANDASAN TEORI

3.1 Multi Sectoral Qualitative Analysis ………

3.2 Location Quotient ………

3.3 Analisa Shift-Share ……….. 3.4 Analytical Hierarchy Process ……….. 3.5 Interpretive Structural Modelling (ISM) ………. 3.6 Teknik Perbandingan Indeks Kinerja ……….. 3.7 Independent Preference Evaluation (IPE) ………...

3.8 Teknik Heuristik ………..

IV. METODOLOGI

4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual ………. 4.2 Tahapan Penelitian ……….. 4.3 Kerangka Pemikiran Rekayasa Model ……… 4.4 Validasi dan Verifikasi Model ………. 4.5 Jenis Data ……….

i v vi ix xi xiii 1 8 8 9 10 12 39 41 48 52 60 63 64 67 73 76 76 79 80 83 84 87 87


(14)

vii 4.6 Pengumpulan Data ………...

4.7 Pengolahan Data ………..

V. ANALISA SISTEM

5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini ……… 5.2 Agroindustri di Kabupaten Bogor ………... 5.3 Analisa Kebutuhan ……….. 5.4 Formulasi Permasalahan ……….. 5.5 Identifikasi Sistem ………... VI. PEMODELAN SISTEM

6.1 Konfigurasi Model ………... 6.2 Sistem Manajemen Basis Model ………. 6.3 Sistem Manajemen Basis Data ……… 6.4 Sistem Manajemen Dialog ………...

6.5 Pendapat Ahli ………..

VII. VALIDASI DAN VERIFIKASI MODEL

7.1 Pengelompokan Agroindustri ……….. 7.2 Kompetensi Inti ………... 7.3 Konsentrasi Industri ……… 7.4 Tingkat P ertumbuhan ………..

7.5 Kemampuan Ekspor ………

7.6 Keterkaitan dengan Usaha Lain ………... 7.7 Jumlah Tenaga Kerja ………...

7.8 Nilai Tambah ………...

7.9 Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan ………. 7.10 Indentifikasi Industri Inti Klaster ……… 7.11 Strukturisasi Elemen S istem Pengembangan ……….. 7.12 Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha . 7.13 Pelaksanaan Validasi dan Verifikasi Model ……… VIII. PEMBAHASAN

8.1 Kebijakan Pengembangan Klaster ………... 8.2 Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah ………. 8.3 Implikasi Kebijakan Pengembangan Klaster Agroindustri …………. 8.4 Pengukuran Kinerja Klaster ………. 8.5 Prasyarat Implementasi Model ……… 8.6 Model dan Wilayah Administratif ………... 8.7 Perbandingan dengan Penelitian Sejenis ……….

88 88 96 98 104 106 106 109 110 125 126 126 127 128 129 130 132 133 134 135 136 137 139 160 164 166 167 172 181 182 182 183


(15)

viii

9.1 Kesimpulan ………..

9.2 Saran ………

DAFTAR PUSTAKA ……….. LAMPIRAN ………....

184 189 190 197


(16)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Reformulasi Komponen Pembangunan Ekonomi Daerah …... Tabel 2.2 Klaster Agroindustri dan Lokasi Geografis ………. Tabel 2.3 Ringkasan Penelitian Klaster Industri Terdahulu ……… Tabel 3.1 Matrik s Model Sectoral Qualitative Analysis (MSQA) …….. Tabel 3.2 Skala Komparasi ……….. Tabel 3.3 Nilai Indeks Acak (RI) Matriks Berorde 1-10 ………. Tabel 5.1 Kinerja Sektor-Sektor Industri Nasional, Tahun 2003-2004 ... Tabel 5.2 Struktur Industri Nasional Non-Migas, Tahun 2000 – 2004 ... Tabel 5.3 Jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja Agroindustri Besar dan Sedang Kabupaten Bogor, Tahun 1999 dan 2002 …………... Tabel 5.4 Nilai Output dan Nilai Tambah Agroindustri Besar dan

Sedang Kabupaten Bogor, Tahun 1999 dan 2002 …………... Tabel 5.5 Jumlah Unit Usaha, Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Produksi Industri Kecil Kabupaten Bogor Tahun 2000 ……….. Tabel 5.6 Komposisi dan Kinerja Agroindustri Makanan KBLI 5-digit

Kabupaten Bogor Tahun 2002 ………. Tabel 5.7 Kebutuhan Pelaku Pengembangan Klaster Agroindustri

Unggulan Daerah ………. Tabel 7.1 Pengelompokan Agroindustri Kabupaten Bogor, Tahun 2002 Tabel 7.2 Matriks Agregat Pendapat Ahli dan Bobot Kompetensi Inti ... Tabel 7.3 Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten dan Nasional Tahun 2002 .. Tabel 7.4 Nilai dan Bobot LQ Agroindustri di Kabupaten Bogor …….. Tabel 7.5 Jumlah Tenaga Kerja Agroindustri di Kabupaten Bogor dan Nasional, Tahun 1999 dan 2002 ……….. Tabel 7.6 Bobot Tingkat Pertumbuhan (Komponen Differential Shift)... Tabel 7.7 Matrik Agregat Pendapat Ahli dan Bobot Kemampuan Ekspor ……….. Tabel 7.8 Matrik Agregat Pendapat Ahli dan Bobot Keterkaitan Usaha Lain ……….. Tabel 7.9 Jumlah Tenaga Kerja dan Bobot Tenaga Kerja ………... Tabel 7.10 Jumlah Nilai Tambah dan Bobot Nilai Tambah ……….. Tabel 7.11 Bobot Alternatif terhadap Fokus ………. Tabel 7.12 LQ Industri 5-digit KBLI 2002 Kelompok Makanan ………. Tabel 7.13 Hasil Identifikasi Industri Inti ……….. Tabel 7.14 Matriks Reachibility Final Elemen Tujuan ………. Tabel 7.15 Driver Power dan Dependence Elemen Tujuan ……….. Tabel 7.16 Matriks Reachibility Final Elemen Pelaku ……….. Tabel 7.17 Elemen Kunci pada Elemen Pelaku ………. Tabel 7.18 Matriks Reachibility Final Elemen Kendala ………... Tabel 7.19 Driver Power dan Dependence Elemen Kendala ……… Tabel 7.20 Matriks Reachibility Final Elemen Peran Pemerintah ……… Tabel 7.21 Driver Power dan Dependence Elemen Peran Pemerintah …. Tabel 7.22 Matriks Final Reachibility Elemen Aktivitas Dunia Usaha …

25 53 59 60 69 72 96 97 99 100 101 103 105 127 128 130 130 131 131 132 133 134 135 137 137 138 142 142 145 146 148 149 152 153 156


(17)

x Tabel 7.24 Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah menurut Kriteria

Tujuan ……….. Tabel 7.25 Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah Berdasarkan

Agregasi Kriteria Tujuan ………. Tabel 7.26 Tingkat Kepentingan Aktivitas Dunia Usaha menurut Kriteria Tujuan ……… Tabel 7.27 Tingkat Kepentingan Aktivitas Dunia Usaha Berdasarkan Agregasi Kriteria Tujuan ……….

161 162 163 164


(18)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Diagaram Proses Pemodelan ……….. Gambar 2.2 Struktur Dasar SPK ………. Gambar 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Strategi Pengembangan

Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti Daerah ……….. Gambar 4.2 Tahapan Penelitian ……….. Gambat 4.3 Kerangka Pemikiran Rekayasa Model Strategi

Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan ………. Gambar 5.1 Diagram Sebab -Akibat Sistem Pengembangan Klaster

Agroindustri Unggulan Daerah ………... Gambar 5.2 Diagram Input-Output Sistem Pengembangan Klaster

Agroindustri Unggulan Daerah ………... Gambar 6.1 Konfigurasi Sistem Pendukung Keputusan Strategi

Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah ……. Gambar 6.2 Diagram Alir Model Kompetensi Inti ………. Gambar 6.3 Diagram Alir Model Konsentrasi Industri ……….. Gambar 6.4 Diagram Alir Model Tingkat Pertumbuhan ……… Gambar 6.5 Diagram Alir Model Kemampuan Ekspor ……….. Gambar 6.6 Diagram Alir Model Keterkaitan dengan Usaha Lain ……… Gambar 6.7 Diagram Alir Model Jumlah Tenaga Kerja ……… Gambar 6.8 Diagram Alir Model Nilai Tambah ……… Gambar 6.9 Diagram Alir Model Pemilihan Kelompok Agroindustri

Unggulan ………. Gambar 6.10 Diagram Alir Model Indentifikasi Industri Inti Klaster …….. Gambar 6.11 Diagram Alir Model Strukturisasi Sistem Pengembangan

Klaster ………. Gambar 6.12 Diagram Alir Model Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha ………. Gambar 6.13 Diagram Alir Konfigurasi Model Pengukuran Kinerja Klaster ………. Gambar 7.1 Hierarki Memilih Kelompok Agroindustri ………. Gambar 7.2 Struktur Hierarki Elemen Tujuan ………... Gambar 7.3 Grafik Dependency-Driver Power Elemen Tujuan ………… Gambar 7.4 Struktur Hierarki Elemen Pelaku ……… Gambar 7.5 Grafik Driver Power-Dependence Elemen Pelaku …………. Gambar 7.6 Struktur Hierarki Elemen Kendala ………. Gambar 7.7 Grafik Driver Power-Dependence Elemen Kendala ………... Gambar 7.8 Struktur Hierarki Elemen Peran Pemerintah ……….. Gambar 7.9 Grafik Dependence - Driver Power Elemen Peran

Pemerintah ……….. Gambar 7.10 Struktur Hierarki Elemen Aktivitas Dunia Usaha ………….. Gambar 7.11 Grafik Driver Power-Dependence pada Elemen Aktivitas Dunia Usaha ………

46 50 81 84 86 107 108 109 111 112 113 114 116 117 118 120 121 122 123 125 136 143 144 146 147 150 151 154 155 158 159


(19)

xii Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan ………. Gambar 8.3 Model Kelembagaan Klaster Agroindustri Unggulan

Daerah ………. 171 179


(20)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Tabel Jumlah Pekerja, Unit Usaha, Nilai Input, Nilai Output dan Nilai Tambah Agroindustri Besar dan Sedang Kabupaten Bogor Tahun 2002 ………... Lampiran 2 Tabel Jumlah Pekerja, Unit Usaha, Nilai Input, Nilai Output

dan Nilai Tambah Agroindustri Besar dan Sedang Indonesia Tahun 2002 ……….. Lampiran 3 Tabel Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Bogor Tahun 1999 - 2002 ……….. Lampiran 4 Tabel Nilai Tambah di Kabupaten Bogor Tahun

1999 – 2002 ………. Lampiran 5 Tampilan Pembuka Model StraKlas ……… Lampiran 6 Tampilan Model Kompetensi Inti dan Konsentrasi Industri ... Lampiran 7 Tampilan Model Pertumbuhan dan Model Kemampuan Ekspor ……….. Lampiran 8 Tampilan Model Keterkaitan Usaha dan Model Jumlah Tenaga Kerja ……… Lampiran 9 Tampilan Model Nilai Tambah ………... Lampiran 10 Matriks Perbandingan Berpasangan ……… Lampiran 11 Tampilan Keluaran Model Pemilihan Klaster Unggulan (AHP) ………... Lampiran 12 Tampilan Model Identifikasi Industri Inti Klaster …………... Lampiran 13 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM VAXO) untuk Elemen Tujuan ………... Lampiran 14 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM- VAXO) untuk Elemen Pelaku ……….. Lampiran 15 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM- VAXO) untuk Elemen Kendala ……… Lampiran 16 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster

(ISM- VAXO) untuk Elemen Peran Pemerintah ………. Lampiran 17 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster

(ISM- VAXO) untuk Elemen Aktivitas Dunia Usaha ………. Lampiran 18 Tampilan Model IPE untuk Peran Pemerintah ……… Lampiran 19 Tampilan Model IPE untuk Aktivitas Dunia Usaha ………… Lampiran 20 Petunjuk Penggunaan Model StraKlas ………

197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 211 212 213 215 216 217 218 219 220 221


(21)

1.1 Latar Belakang

Perkembangan industri di Indonesia, sebagaimana juga dibanyak negara berkembang lainnya, diawali dengan strategi substitusi impor yang berlangsung mulai akhir dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an (Tambunan 2001). Strategi ini dicirikan antara lain dengan proteksi yang sangat tinggi, ekonomi yang tertutup dan berusaha berdikari dalam sebagian besar kebutuhan (Siahaan 2000). Proteksi yang umum dilakukan pada periode tersebut adalah pengenaan bea masuk yang tinggi untuk meng impor produk-produk industri manufaktur, dan pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain berupa larangan impor, kuota dan lisensi impor, ketentuan-ketentuan administrasi serta hambatan non tarif lainnya.

Pilihan pada strategi substitusi impor tersebut telah mendorong diberikannya prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas (broad-based industry) dan industri-industri berbasis teknologi tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih diimpor, sedang industri-industri berbasis pertanian (agroindustri-industri) yang berpotensi memiliki keunggulan kompetitif bila dikembangkan, kurang mendapatkan perhatian.

Strategi substitusi impor yang berkepanjangan telah membawa dampak negatif terhadap perkembangan industri di Indonesia. Kebijakan proteksi dan tata niaga yang berlebihan telah mengakibatkan high cost economy, dan industri di Indonesia tidak didorong untuk kompetitif di pasar dunia dan tidak fokus pada pengembangan industri dengan keunggulan komparatif yang dimiliki.

Melihat pengalaman beberapa negara berkembang yang kurang berhasil dengan strategi substitusi impor, badan -badan dunia (a.l. Bank Dunia dan IMF) menganjurkan agar negara-negara berkembang menerapkan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor yang dikenal dengan strategi promosi ekspor (Tambunan 2001). Menjelang pertengahan dekade 1980-an, Pemerintah secara bertahap mulai melakukan perubahan strategi industrialisasi dari strategi substitusi impor menjadi strategi promosi ekspor.


(22)

2

Pada era perdagangan bebas saat ini, dimana tidak dimungkinkan lagi diberikannya berbagai bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dinikmati oleh industri di Indonesia, dan dihapuskannya hambatan-hambatan pada perdagangan internasional, maka industrialisasi harus sepenuhnya dilaksanakan dengan strategi promosi ekspor dengan tujuan meningkatkan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor.

Krisis ekonomi yang melanda kawasan ini yang dimulai menjelang akhir dekade 1990-an, memperlihatkan bahwa banyak industri yang dimasa lalu dibangun dengan strategi substitusi impor, dengan pendekatan industri berspektrum luas dan dengan pendekatan industri teknologi tinggi, kurang memiliki kemampuan untuk memasuki pasar ekspor karena kurang memiliki daya saing. Dilain pihak terlihat bahwa dalam menghadapi krisis ekonomi ini, industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis tersebut (Saragih 2001).

Berdasarkan pengalaman masa lalu dan antisipasi atas perkembangan masa depan, maka ke depan Indonesia perlu menjadikan agroindustri sebagai sektor yang memimpin (leading sector) dalam strategi pengembangan industri. Agroindustri yang dimaksud disini adalah industri sebagaimana yang didefinisik an oleh Austin dalam Brown (1994) yaitu: “Perusahaan yang memproses bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan, dalam proses mana terjadi transformasi dan preservasi melalui perubahan fisika atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan dis tribusi”.

Pengembangan agroindustri akan memberikan manfaat sebagai berikut (Saragih 2001) :

1) Agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir, karena agroindustri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian memiliki keterkaitan yang kuat dengan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau industri lain sehingga menciptakan pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan -kegiatan tersebut. Hal ini juga akan mempercepat transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri.


(23)

2) Kegiatan agroindustri memiliki basis pada sumber daya alam, sehingga dengan dukungan sumber daya alam Indonesia yang ada, akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia di samping memiliki pasar domestik yang cukup terjamin.

3) Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang dapat diperbaharui sehingga kelangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin dan tidak menimbulkan masalah pengurasan sumber daya alam.

4) Pasar untuk pro duk agroindustri memiliki peluang untuk terus berkembang karena kapasitas pasarnya yang masih cukup besar sehingga memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi.

5) Kegiatan agroindustri yang memiliki basis di pedesaan dapat menjadi wahana bagi usaha mengatasi kemiskinan dan akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota.

6) Kegiatan agroindustri di pedesaan akan menghasilkan produk dengan muatan lokal yang relatif besar sehingga dapat memiliki akar yang lebih kuat pada kegiatan ekonomi desa.

Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan kegiatan industri itu sendiri, tetapi sekaligus untuk mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan, sehin gga antara lain dapat memberikan pengaruh yang besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti: mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan ekspor, pelestarian lingkungan (Saragih 2001).

Dillon (1999) berpedapat bahwa investasi di agroindustri akan membawa dampak positif ganda dalam perekonomian nasional. Pertama, pengembangan produk agroindustri dengan bahan baku hasil pertanian lokal akan meningkatkan produktivitas petani, menghemat devisa, dan mendorong pertumbuhan yang lebih merata. Kedua, melalui peningkatan pangsa pasar ekspor produk agroindustri, akan dapat diraih devisa dalam jumlah yang lebih besar.


(24)

4

Agar pembangunan agroindustri dimaksud dapat menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat, maka Propenas menetapkan agar pembangunan tersebut dilakukan dengan pendekatan klaster industri. Selanjutnya Propenas menyatakan bahwa: “Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horizontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan daya saing nasional. Pengembangan klaster industri membutuhkan rumusan strategi nasional industrialisasi yang perumusannya melibatkan unsur Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, bersama seluruh pelaku usaha. Strategi nasional tersebut memuat arahan pengembangan masing -masing klaster industri yang secara khusus mempertimbangkan poten si sumber daya lokal. Melalui pendekatan ini Pemerintah Daerah beserta pelaku usaha terkait memiliki peluang lebih besar di dalam menciptakan lingkungan bisnis lokal yang kondusif. Pada hakekatnya, klaster industri merupakan bentukan organisasi industrial yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi, tuntutan disentralisasi, dan sekaligus mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan distribusi serta pengembangan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi untuk meningkatkan keunggulan kompetit ifnya”.

Pendekatan klaster industri sebagaimana yang diamanatkan oleh Propenas tampaknya tidak terlepas dari pengaruh hasil penelitian Porter (1990) yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya pada 10 negara yang industrinya sudah maju (Denmark, Jerman, Itali, Jepang, Korea, Singapura, Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat), ditemukan kenyataan bahwa lokasi industri-industri yang kompetitif di negara-negara tersebut tidak tersebar merata diseluruh wilayahnya, tetapi cenderung mengelompok pada daerah -daerah tertentu, membentuk klaster -klaster industri. Hal ini menurut Porter terjadi karena dinamika dari “national diamond“ negara-negara tersebut mendorong terbentuknya klaster-klaster industri yang kompetitif di daerah -daerah tertentu saja.


(25)

Sejak terbitnya hasil penelitian Porter tersebut, maka fenomena klaster industri telah menjadi topik pembahasan dan penelitian dibanyak negara, dan pendekatan klaster industri telah dijadikan kebijakan pengembangan industri dibanyak negara industri maju dan di negara yang termasuk newly industrialized countries.

Diberbagai daerah di Indonesia pada waktu ini telah terdapat aglomerasi industriindustri di wilayah tertentu, berupa sentrasentra industri dan kawasan -kawasan industri. Dengan dipilihnya pendekatan klaster industri dalam Propenas sebagai upaya menjawab tantangan persaingan global yang makin ketat, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan aglomerasi industri tersebut di atas menjadi berbagai klaster industri yang kompetitif. Diantara aglomerasi industri tersebut, terdapat antara lain pengelompokan agroindustri (Depperindag 2001): kelompok agroindustri sawit di Sumatera Utara, kelompok agroindustri pengalengan ikan di Indonesia Bagian Timur, kelompok agroindustri karet di Sumatera dan Kalimantan, kelompok agroindustri berbasis kayu di Kalimantan dan Jawa Tengah, kelompok agroindustri berbasis tembakau di Jawa, kelompok agroindustri berbasis cocoa di Jawa dan Sulawesi, kelompok agroindustri sari buah di Jawa, kelompok agroindustri kulit dan barang jadi dari kulit di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) menemukan bahwa klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih sangat kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Klaster ini hanya melakukan spesialisasi horizontal dan belum melakukan pembagian pekerjaan sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat aglomerasi yang diperoleh baru berupa kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster demikian ini disebut sebagai “survival cluster”. Klaster jenis ini sebagian besar bersifat stagnant, sehingga akan tetap hany a berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang menikmati external economies karena aglomerasi tersebut, tetapi tidak mendapatkan manfaat lain dari aglomerasi tersebut. Sebagian lainnya dapat tumbuh dan berkembang menjadi klaster yang sudah lebih maju sebagaimana


(26)

6

yang didefinisikan oleh Cooke (2001): “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localised enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co -operation in a specific market field”.

Pada masa-masa yang lalu terlihat bahwa dengan terpisah -p isahnya pembinaan industri pada berbagai departemen teknis, maka pengembangan industri dilakukan dengan pendekatan sektor industri (industrial secto r approach)

sehingga tidak tercapai sinergi yang maksimal antar industri. Demikian pula penyediaan prasarana yang diperlukan oleh industri ditangani oleh berbagai departemen teknis yang sulit dikordinasikan.

Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sesuai Pasal 7, ayat 1 yang berbunyi: “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan diseluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiscal, agama, serta kewenangan di bidang lain”, dan Pasal 10, ayat 1 yang menetapkan bahwa: “Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang -undangan”, maka kewenangan yang ada pada kepala daerah untuk mengelola sumber daya yang terdapat di daerahnya dapat digunakan untuk memacu pengembangan industri di wilayahnya, terutama sektor agroindustri. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Propenas, bahwa pembangunan klaster industri membutuhkan rumusan strategi nasional industrialisasi yang perumusannya perlu melibatkan unsur Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, bersama seluruh pelaku usaha dan pihak -pihak yang terkait.

Menurut Blakely dan Bradshaw (2002) sasaran pokok pembangunan ekonomi dari pembuat kebijakan di Pemerintah Daerah adalah peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya. Hal ini hanya dapat terlaksana dengan cara meningkatkan daya saing dari masing-masing daerah. Untuk mencapai hal tersebut, pembuat kebijakan pada tingkat lokal dan wilayah harus mengembangkan kebijakan yang sehat, dan memonitor hasil dari kebijakan yang ditetapkan. Pengalaman diberbagai negara memperlihatkan bahwa wilayah -wilayah dimana terdapat klaster-klaster industri telah mengalami pertumbuhan


(27)

ekonomi yang mengesankan. Penelitian Porter (1998c) memperlihatkan bahwa sejumlah kecil klaster industri biasanya merupakan kontributor terbesar dari kegiatan ekonomi di suatu wilayah geografis dan juga merupakan pemberi kontribusi terbesar untuk kegiatan ekspor keluar daerahnya.

Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi dan industri di daerah, Ohmae (1995) berpendapat bahwa dalam dunia tanpa batas saat ini (borderless world), daerah yang disebutnya region state, akan menggantikan negara (nation state) sebagai pintu gerbang memasuki perekonomian global. Region state

tersebut dapat berupa wilayah geografis dalam suatu negara ataupun wilayah geografis yang terdiri dari wilayah beberapa negara. Hal yang senada juga disampaikan oleh Porter (1990), bahwa para pelaku industri yang sukses pada skala internasional, ternyata hampir semuanya berupa klaster industri yang berlokasi di suatu kota atau suatu daerah dalam suatu negara.

Memahami daya saing suatu daerah menjadi sangat penting bagi setiap daerah yang perlu menyusun rencan a strategis pengembangan daerah tersebut (Muchdie 2000). Keunggulan bersaing suatu daerah akan tercipta jika daerah tersebut memiliki kompetensi inti (core-competence) yang dapat dibedakan dari daerah lainnya. Kompetensi inti daerah ini dapat diwujudkan melalui penciptaan berbagai faktor produksi yang bisa menyebabkan prestasi daerah tersebut jauh lebih baik dibandingkan daerah pesaing-pesaingnya (Muchdie 2000).

Pembangunan industri di daerah perlu dilandasi oleh kompetensi inti yang dimiliki oleh daerah tersebut. Dalam konteks perusahaan, Hamel dan Prahalad (1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai suatu kumpulan ket erampilan dan teknologi yang dimiliki suatu perusahaan yang membuat perusahaan tersebut mampu memb erikan manfaat tertentu kepada pelanggannya. Dalam konteks daerah, maka yang dimaksud dengan kompetensi inti daerah menurut Roberts dan Stimson (1998) adalah sekumpulan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki daerah tersebut yang berkaitan dengan kekuatan eko nomi domestik di b idang industri dan investasi, orientasi perdagangan, pengembangan teknologi, sumber daya alam dan sumber daya manusia, manajemen, keuangan, pengaturan (governance) dan infrastruktur yang dimiliki daerah , yang dapat mendukung pengembangan ekonomi daerah tersebut.


(28)

8

Menurut, Hitt et al. (1999), kompetensi inti daerah adalah kemampuan sumber daya yang merupakan sumber keunggulan bersaing daerah tersebut terhadap daerah pesaingnya. Terdapat empat kriteria yang mendukung terbentuknya kompetensi inti daerah, yaitu: kemampuan yang berharga (valuable capabilities), kemampuan yang langka (rare capabilities), kemampuan yang tidak dapat ditiru dengan sempurna (imperfectly imitable capabilities) dan kemampuan yang tidak dapat tergantikan (nonsubstitutable capabilities).

1.2 Perumusan Masalah

Mengacu pada uraian di atas, maka akan sangat bermanfaat apabila dapat dikembangkan suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri menggunakan kompetensi inti yang dimiliki daerah.

Analisa klaster industri untuk mengidentifikasi klaster dan menyusun strategi yang banyak digunakan di negara industri maju saat ini memerlukan data berupa tabel input–ouput dan data kuantitatif lainnya d i bidang industri dan perdagangan. Data berupa tabel input–output dan banyak data kuantitatif lainnya pada saat ini belum tersedia di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu dikembangkan model untuk identifikasi klaster dan strategi pengembangan, dengan masukan berupa data yang secara teratur sudah dikumpulkan oleh instansi terkait yang bertugas untuk itu, seperti: Badan Pusat Statistik, Departemen -departemen Teknis yang terkait, serta dilengkapi dengan masukan berupa pendapat para ahli.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti di daerah Kabupaten dan kelembagaannya, yang diharapkan dapat menjadi salah satu penggerak kegiatan ekonomi di daerah tersebut.

Tujuan spesifik penelitian ini adalah :

1) Pemilihan kelompok agroindustri unggulan daerah yang berpotensi menjadi klaster.

2) Pemetaan elemen klaster agroindustri unggulan.


(29)

4) Implikas i kebijakan pengembangan dan perancangan sistem kelembagaan klaster agroindustri unggulan daerah.

Model yang dirancang memiliki kebaruan pada metodologi untuk memilih kelompok agroindustri unggulan daerah yang berpotensi untuk menjadi klaster dan identifikasi industri intinya dengan merangkai beberapa metode identifikasi kompetensi inti dan identifikasi atribut kelompok agroindustri ke dalam suatu metode pemilihan peringkat kelompok agroindustri.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah :

1) Rekayasa model untuk identifikasi kompetensi inti daerah untuk kelompok agroindustri dan identifikasi atribut kelompok agroindustri di daerah Kabupaten.

2) Rekayasa model untuk memilih kelompok agroindustri yang menjadi calon klaster agroindustri unggulan di Kabupaten , dan pemetaan klaster 3) Rekayasa model strukturisasi sistem pengembangan agroindustri

unggulan di Kabupaten, identifikasi implikasi kebijakan dan perancangan sistem kelembagaan.

4) Verifikasi untuk model dilakukan pada agroindustri di kabupaten Bogor, propinsi Jawa Barat.

5) Perusahaan yang membentuk klaster yang dicakup dalam penelitian in i adalah perusahaan agroindustri yang menurut klasifikasi Badan Pusat Statistik termasuk kategori Perusahaan Industri Sedang, yaitu perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang, dan Perusahaan Industri Besar, yaitu perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.

6) Analisa-analis a dilakukan terhadap kelompok agroindustri yang terdiri dari satu atau beberapa kelompok agroindustri 3-dig it dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri 2000 (KBLI 2000).


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Industri dan Agroindustri

Perkembangan industri di Indonesia, sebagaimana juga dibanyak negara berkembang lainnya, terutama di Amerika Latin, Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara, diawali dengan Strategi Substitusi Impor yang berlangsung mulai akhir dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an (Tambunan 2001). Strategi ini dicirikan antara lain dengan proteksi yang sangat tinggi, ekonomi yang tertutup dan berusaha berdikari dalam sebagian besar kebutuhan (S iahaan 2000). Proteksi yang umum dilakukan pada periode tersebut adalah pengenaan bea masuk yang tinggi untuk impor produk-produk industri manufaktur, pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain dalam bentuk larangan impor, kuota dan lisensi impor, dan ketentuan -ketentuan administrasi serta hambatan non tarif lainnya.

Pilihan pada Strategi Substitusi Impor tersebut telah mendorong diberikannya prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas ( broad-based industry) dan industri berbasis teknologi tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih diimpor, sedang industri-industri berbasis pertanian (agroindustri) kurang mendapatkan perhatian.

Strategi Substitusi Impor yang berkepanjangan telah membawa dampak negatif terhadap perkembangan industri di Indonesia. Kebijakan proteksi dan tata niaga yang berlebihan telah mengakibatkan high cost economy, dan industri di Indonesia tidak didorong untuk kompetitif di pasar dunia dan tidak fokus pada pengembangan industri dengan keunggulan komparatif yang dimiliki.

Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan Strategi Substitusi Impor, badan-badan dunia (Bank Dunia dan IMF) menganjurkan agar negara -negara berkembang menerapkan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor yang dikenal dengan Strategi Promosi Ekspor (Tambunan 2001). Menjelang pertengahan dekade 1980-an, Pemerintah secara bertahap mulai melakukan perubahan strategi industrialisasi dari Strategi Substitusi Impor ke Strategi Promosi Ekspor.


(31)

Pada era perdagangan bebas saat ini, dimana tidak dimungkinkan lagi diberikannya berbagai bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dinikmati oleh industri di Indonesia, dan dihapuskannya hambatan-hambatan perdagangan internasional, maka industrialisasi perlu dilaksanakan dengan Strategi Promosi Ekspor dengan tujuan meningkatkan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor.

Krisis ekonomi yang melanda kawasan ini yang dimulai menjelang akhir dekade 1990 -an, memperlihatkan bahwa banyak industri yang telah dibangun di masa lalu dengan Strategi Substitusi Impor, dengan prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas dan industri berbasis teknologi tinggi dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih di impor, kurang memiliki kemampuan untuk melakukan ekspor karena kurang kompetitif. Di lain pihak terlihat bahwa industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis tersebut karena kandungan lokalnya yang tinggi (Saragih 2001).

Berdasarkan pengalaman masa lalu dan antisipasi atas perkembangan masa depan, maka ke depan, Indonesia perlu menjadikan agroindustri sebagai sektor yang memimpin (leading sector) dalam strategi pengembangan industri dengan dasar pemikiran sebagai berikut (Saragih 2001): (1) Agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir, karena agroindustri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian memiliki keterkaitan yang kuat dengan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau industri lain sehingga menciptakan pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini juga akan mempercepat transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri; (2) Kegiatan agroindustri memiliki basis pada sumber daya alam, sehingga dengan dukungan sumber daya alam Indonesia yang ada, akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia di samping memiliki pasar domestik yang cukup terjamin; (3) Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang dapat diperbaharui sehingga kelangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin dan tidak menimbulkan masalah pengurasan sumber daya alam; (4) Pasar untuk produk agroindustri memiliki peluang untuk terus berkembang karena kapasitas pasarnya


(32)

12

yang masih cukup besar sehingga memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi; (5) Kegiatan agroindustri yang memiliki basis di pedesaan dapat menjadi wahana bagi usaha mengatasi kemiskinan dan akan mengurang i kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota; (6) Kegiatan agroindustri di pedesaan akan menghasilkan produk dengan muatan lokal yang relatif besar sehingga dapat memiliki akar yang lebih kuat pada kegiatan ekonomi desa.

Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan kegiatan industri itu sendiri, tetapi sekaligus untuk mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan, sehingga dapat memberikan pengaruh yang besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan ekspor, pelestarian lingkungan dan lain sebagainya (Saragih 2001).

2.2 Klaster Industri

2.2.1 Pendekatan Klaster Industri

Kebijakan pengembangan industri dengan pendekatan klaster telah menjadi pilihan banyak negara industri maju seperti: Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Negeri Belanda, Perancis, Finlandia, Denmark, Swiss, dan negara industri baru, seperti: Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Kebijakan dengan pendekatan sektor industri sudah mulai ditinggalkan.

Pendekatan sektoral meletakkan fokus pada hubungan-hubungan horizontal dan persaingan interdependence (hubungan antara pesaing yang bergerak dalam bidang usaha yang sejenis dan beroperasi dalam pasar produk yang sama), sedangkan pendekatan klaster selain melakukan hal tersebut terdahulu, juga memberikan fokus pada hubungan vertikal antara perusahaan yang tidak sejenis yang berada pada rantai nilai produk tersebut (Roelandt et al. 2000).

Beberapa definisi mengenai klaster industri yang banyak ditemukan dalam literatur antara lain adalah sebagai berikut :

1) Porter (1990) menjelaskannya sebagai ”A set of industries related through buyer-supplier and supplier-buyer relationship, or by common


(33)

technologies, common buyers or distribution channels, or common labour pools”.

2) Doeringer dan Terkla (1995) memberi definisi sebagai “Geographical concentration of industries that gain performance advantages through co-location”.

3) Porter (1998a) mendefinisik an kembali sebagai: “A cluster is a geographic concentrations of interconnected companies, specialised suppliers, service providers, firms in related industries, and associated institutions (eg. universities, standard agencies and trade associations) in particular fields that compete but also cooperate”.

4) Definisi yang digunakan oleh UNIDO (OECD 1999) adalah: “The term cluster is used to indicate a sectoral and geographical concentration of enterprises which, first, give rise to external economies (such as the emergence of specialized suppliers of raw materials and component or the growth of a pool of sector specific skills) and, second, favours the rise of specialized services in technical, administrative and financial matters. Such specialized services create a conducive ground for the development of a network of public and private local institutions which support local economic development by promoting collective learning and innovation through implicit and explicit co-ordination”.

5) Philip Cooke (2001) mendefinisikannya dengan: “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localised enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co-operation in a specific market field”.

Dari beberapa definisi tersebut di atas kelihatan bahwa definisi mengenai klaster terus berkembang, dan pada kenyataannya pada saat ini setiap negara memiliki pengertian tersendiri mengenai konsepsi klaster ini. Banyak negara-negara OECD menggunakan definisi dari UNIDO sebagaimana dicantumkan di atas dalam pendekatan klasternya. Pada penelitian ini istilah klaster juga mengacu pada definisi yang digunakan oleh UNIDO, yang pada dasarnya menyatakan


(34)

14

bahwa istilah klaster mengindikasikan adanya konsentrasi geografis dan sektoral dari perusahaan -perusahaan yang menimbulkan external economies dan menyebabkan berkembangnya jasa-jasa pelayanan khusus di bidang teknis, adminstratif dan keuangan.

Menurut Doeringer dan Terkla (1995) dan Rodriguez-Clare (2005), klaster industri lahir karena terdapatnya pengaruh luar yang menguntungkan (positive externalities). Lokasi yang spesifik untuk setiap klaster terjadi secara kebetulan saja (historical accident) atau karena biaya untuk membangun perusahaan di lokasi tersebut lebih rendah dari pada membangun di tempat lain.

Menurut Porter (1998b), suatu klaster dapat lahir di suatu lokasi tertentu karena di lokasi tersebut terdapat bagian dari Porter’s diamond yang dapat dimanfaatkan. Motivasi utama yang mendorong terbentuknya klaster adalah tersedianya sejumlah faktor yang mendukung, seperti: adanya permintaan pasar yang spesifik, teknologi, keahlian atau ket erampilan khusus, fasilitas riset dan pengembangan dan atau sekolah atau perguruan tinggi, lokasi yang baik atau tersedianya sumber daya dan infrastruktur yang sesuai, atau karena timbulnya kesempatan (chance factor).

Enright (2000) juga menyatakan bahwa banyak klaster berawal dari terdapatnya kondisi faktor lokal yang spesifik, permintaan pasar lokal atau industri yang terkait.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan lahirnya klaster disuatu daerah tertentu, namun kelahiran suatu klaster tidak dapat dipaksakan (Enright 2000).

Porter (1990) menyampaikan argumentasinya, bahwa adanya persaingan merupakan kekuatan yang mendorong perkembangan klaster. Pembentukan klaster (clustering) merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pertumbuhan satu perusahaan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster dimaksud. Dengan berkembangnya klaster, akan terjadi sistem yang saling memperkuat dimana manfaatnya akan mengalir ke depan dan ke belakang pada seluruh industri yang terdapat dalam klaster. Porter (1990) berpendapat bahwa persaingan antara perusahaan dalam klaster akan mendorong pertumbuhan karena


(35)

persaingan akan memaksa perusahaan dalam klaster untuk lebih inovatif dan didorong untuk melakukan perbaikan serta menciptakan teknologi baru. Keadaan ini dapat mendorong terjadinya spin off, menstimulasi kegiatan penelitian dan pengembangan dan mendorong diterapkannya ket erampilan dan jenis pelayanan yang baru.

Karena banyak perusahaan dalam klaster memerlukan tenaga dengan keterampilan yang sama, maka akan terjadi perpindahan tenaga kerja antar perusahaan dalam klaster yang berakibat terjadinya transfer pengetahuan kepada perusahaan yang menerima tenaga kerja tersebut. Hal ini akan meningkatkan persaingan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan. Pertumbuhan ini dapat memperdalam integrasi vertikal dari klaster ataupun integrasi horizontal dari sektor klaster tersebut. Integrasi vertikal akan meningkat dalam hal terjadi pembagian kegiatan yang lebih spesifik, sehingga perusahaan yang baru dapat mengisi market niche yang terjadi.

Clustering horizontal akan terjadi dalam hal diterapkannya teknologi baru dan keterampilan baru pada industri terkait dari berbagai sektor. Doeringer dan Terkla (1995) menekankan manfaat yang diperoleh dari aglomerasi yang juga sangat berperan dalam perkembangan klaster. Perusahaan yang berlokasi saling berdekatan, akan mendapat manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang lebih rendah serta mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memperoleh tenaga kerja yang diperlukan. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer dari informasi serta pengetahuan dan teknologi di antara perusahaan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar dan bertumbuh.

Hal lain yang membantu perkembangan klaster adalah kesempatan untuk bertemu muka secara langsung antara para pelaku industri di dalam klaster tersebut karena lokasi yang berdekatan. Interaksi dengan cara tatap muka ini sangat membantu perusahaan kecil yang ada dalam klaster, dengan cara mana mereka bisa mendapatkan informasi mengenai market niche di klaster tersebut yang dapat mereka layani. Kedekatan dengan semua perusahaan di dalam klaster memungkinkan perusahaan -perusahaan meningkatkan teknologi dan inovasi


(36)

16

secara cepat sehingga dapat meningkatkan efisiensi keseluruhan proses produksinya. Perusahaan -perusahaan dalam klaster dapat bekerjasama untuk menyediakan pelayanan atau jasa-jasa tertentu yang diperlukan sehingga dapat mendorong perkembangan klaster lebih lanjut. Infrastruktur sosial pada klaster juga membantu memfasilitasi transfer pengetahuan dan teknologi sehingga dapat memperkuat klaster dan mendorong pertumbuhan klaster (Morosini 2004).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan klaster diakibatkan o leh beberapa faktor kunci antara lain: transfer dari teknologi, transfer dari pengetahuan, pengembangan tenaga terampil pada industri terkait, manfaat-manfaat dari aglomerasi dan infrastruktur sosial yang terbentuk (Le Veen 1998). Selain kelahiran yang secara alamiah, Bekar dan Lipsey (2001) berpendapat bahwa klaster dapat pula terbentuk melalui cara-cara :

1) Dengan membangun suatu klaster yang dikaitkan dengan klaster yang sudah ada.

2) Dengan menarik suatu perusahaan ternama ke suatu daerah, dengan harapan bahwa perusahaan tersebut akan diikuti oleh perusahaan lain yang terkait dengannya.

3) Dengan mendirikan atau mengadakan suatu fasilitas tertentu sehingga daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif, seperti: research park

yang dibangun oleh Pemerintah.

Cheney (2002) menguraikan manfaat yang diperoleh dari klaster sebagai berikut :

1) Suasana persaingan antara perusahaan tertentu dalam klaster akan menjalar dan menimbulkan suasana persaingan antara perusahaan -perusahaan lain dalam klaster sehingga memacu timbulnya diversifikasi, produk baru atau bahkan klaster baru. Tanpa persaingan, tidak timbul tekanan untuk perbaikan atau diversifikasi. Apabila perusahaan berhenti bersaing, maka industri tersebut akan stagnan dibandingkan dengan industri lain yang berada diluar klaster tersebut, terutama terhadap pesaing dari luar negeri.


(37)

2) Pendatang baru dalam klaster menyebabkan peningkatan (upgrading)

melalui diversifikasi dalam penelitian dan pengembangan dan memperkenalkan strategi dan keterampilan baru.

3) Informasi mengalir secara bebas dan menyebar dengan cepat kepada para pemasok, dan melalui supply chain kepada para pelanggan. Komoditi yang paling penting yang diperoleh melalui klaster adalah informasi, dan hasil dari berbagi informas i sesama anggota klaster adalah berupa pengurangan biaya, diferensiasi, kemajuan teknologi dan ruang gerak yang lebih baik dalam rantai nilai.

4) Interkonek si di dalam klaster menghasilkan cara-cara baru untuk bersaing dan kesempatan baru untuk diversifikasi, baik melalui penghematan biaya, penururnan harga maupun melalui operasi yang lebih efektif.

5) Klaster akan mendorong pertumbuhan dan berperan dalam menimbulkan dorongan untuk diferensiasi dan membantu mengatasi sikap yang hanya berfokus ke dalam, tidak flek sibel dan sikap cepat puas dengan apa yang telah dicapai, yang merupakan ciri-ciri perusahaan yang sudah mendekati akhir kurva pertumbuhannya (maturing industries).

Menurut Rosenfeld (1995), hal yang paling dikhawatirkan dari kebijakan klaster, adalah bah wa kebijakan klaster dapat menyebabkan over-specialization

dalam suatu ekonomi. Apabila industri dalam klaster tersebut mengalami kegagalan, maka seluruh ekonomi di wilayah tersebut akan mengalami pukulan dan kerusakan. Hal kedua yang menjadi bahan kritikan adalah bahwa klaster industri lebih sesuai untuk perusahaan-perusahaan yang kecil, terutama karena suksesnya suatu klaster tergantung sikap saling percaya dan kerjasama yang baik antar anggota klaster. Dalam kenyataannya, perusahaan -perusahaan multi nasional banyak mendominasi ekonomi saat ini dan perusahaan besar cenderung akan meremehkan rasa saling percaya yang diperlukan untuk suksesnya suatu klaster. Kritik ketiga adalah bahwa klaster industri hanya sesuai untuk daerah urban karena daerah pedalaman tidak memiliki skala yang diperlukan untuk berkembangnya suatu klaster. Kritik lain adalah bahwa dengan kemajuan


(38)

18

telekomunikasi saat ini, maka tidak diperlukan lagi spatial clustering. Karena itu perusahaan tidak memperoleh keunggulan kompetitif dari kedekatan geografis.

Glasmeier dan Harrison (1997) menyatakan bahwa pengembangan klaster hanya sesuai untuk suatu daerah dimana sudah ada basis ekonomi yang beragam yang mampu mendukung pasar yang baru dan diversifikasi. Kritik selanjutnya adalah bahwa klaster industri hanya dapat menjawab perubahan permintaan pasar dan perubahan teknologi secara lambat dan incremental. Untuk perubahan -perubahan yang besar dan cepat, Harrison dan Glasmeier menyatakan bahwa klaster cenderung akan menolaknya karena hal itu dapat berakibat perubahan drastis dari proses terdahulu yang telah pernah membawa sukses.

2.2.2 Klaster Industri di Negara Berkembang dan di Indonesia

Klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah (Knorringa & Meyer-Stamer 1998). Klaster ini belum melakukan pembagian pekerjaan secara vertikal sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat yang diperoleh dari aglomerasi baru terbatas pada kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster dengan ciri-ciri demikan dikenal dengan istilah “survival cluster”. Survival cluster ini dapat ditemukan baik di daerah pinggiran (rural) maupun di daerah perkotaan (metropolitan). Yang berada di daerah perkotaan biasanya tumbuh karena kebutuhan pemiliknya untuk survive, kurang mempunyai akar di daerah tersebut dan beroperasi pada subsektor-subsektor yang modern. Klaster yang berada di daerah pinggiran lebih banyak beroperasi pada sektor tradisional yang pada umumnya bertumpu pada ket erampilan pekerjaan tangan, seperti: sepatu, alas kaki, barang-barang dari kulit, pakaian jadi, perabot rumah tangga dari kayu, perhiasan dan produk kerajinan tangan lainnya.

Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) berpendapat bahwa sangat sulit untuk mengembangkan survival cluster yang banyak terdapat pada negara -negara berkembang menjadi klaster dengan kinerja yang lebih tinggi, karena tidak punya kemampuan untuk memenuhi biaya, kualitas dan permintaan yang melekat pada suatu sektor yang formal.


(39)

Altenburg dan Meyer -Stamer (1999) dalam penelitiannya di Amerika Latin menyimpulkan bahwa pada negara-negara berkembang dik awasan tersebut terdapat bentuk-bentuk klaster yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1) Sebagaian besar klaster adalah berupa “survival cluster” yang terdiri dari perusahaan berskala usaha mikro dan usaha kecil, yang memproduksi barang-barang konsumsi berkualitas rendah untuk pasar lokal, yang pada umumnya “barrier to entry”-nya rendah. Pada umumnya produktivitas dan upah pada perusahaan dalam klaster tersebut juga masih rendah. 2) Beberapa klaster merupakan “klaster maju” yang menghasilkan berbagai

jenis barang dengan tingkat produksi massa, yang merupakan barang substitusi impor namun tidak banyak melakukan ekspor. Perusahaan dalam klaster ini terdiri dari berbagai skala, mulai dari yang kecil sampai perusahaan yang berskala besar.

3) Beberapa diantaranya merupakan klaster perusahaan trans-nasional, yang bergerak dalam bidang produksi barang yang mengandung muatan teknologi yang tinggi, seperti elektronika dan kendaraan bermotor. Klaster ini didominasi oleh cabang dari perusahaan multi-nasional, yang melayani baik pasar dalam negeri maupun pasar internasional.

Knorringa dan Stamer-Meyer (1998) berpendapat, bahwa klaster dalam suatu negara berkembang bisa stagnan saja atau berkembang menurut suatu lintasan tertentu. Klaster stagnan akan tetap hanya berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang menikmati external economies karena aglomerasi tersebut, namun tidak mendapatkan manfaat lain dari keberadaan klaster tersebut.

Klaster yang berkembang, dapat mengalamai pertumbuhan melalui beberapa kemungkinan lintasan (trajectory) menuju salah satu bentuk klaster berikut: klaster distrik industri Italia (Italianate industrial district), klaster “hub and spoke” atau bentuk klaster satelit (satellite).

Pada lintasan pertama, suatu klaster yang semula hanya berupa aglomerasi perusahaan akan mengembangkan sekumpulan ciri-ciri yang merupakan ciri-ciri dari suatu distrik industri Italia (Italianate industrial district) dan kemudian berkembang menjadi suatu klaster berbentuk “hub and spoke” dimana terdapat


(40)

20

beberapa perusahaan besar yang yang menjadi leader dengan banyak perusahaan kecil dan menengah yang menjadi subkontraktornya.

Lintasan kedua, yang lebih umum terjadi dibanyak negara berkembang, adalah perubahan dari aglomerasi biasa perusahaan yang kemudian berubah langsung menjadi klaster hub and spoke tanpa melalui proses menjadi suatu

Italianate industrial district terlebih dahulu.

Lintasan ketiga adalah perubahan dari suatu aglomerasi biasa menjadi suatu klaster yang berupa distrik satelit (satellite district), dimana perusahaan kecil dan menengah dalam klaster berproduksi untuk memenuhi keperluan perusahaan besar yang berada diluar klaster tersebut. Walaupun sebagian besar klaster industri di negara berkembang masih berupa survival cluster, tetapi terdapat beberapa klaster-klaster yang berhasil berkembang sehingga mempunyai daya saing di pasar global.

Klaster industri dan klaster agroindustri yang memenuhi definisi UNIDO (OECD 1999), yang belakangan ini banyak digunakan sebagai acuan diberbagai negara, sampai saat ini belum berkembang di Indonesia.

Pada saat ini telah terdapat beberapa embrio klaster agroindustri di Indonesia. Namun hampir semuanya masih berupa survival cluster yang hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Beberapa studi diagnostik mengenai klaster agroindustri di Indonesia telah dilakukan oleh UNIDO, antara lain: klaster agroindustri barang-barang dari kulit, rotan, kopi, bawang goreng (UNIDO 1998a, 1998b, 1998c, 1998d).

Depperindag (2001) telah mengidentifikasi beberapa jenis agroindustri yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia menjadi klaster agroindustri sebagaimana yang terdapat di negara-negara maju, yakni: minyak kelapa sawit, pengalengan ikan, karet, kayu, tembakau, cocoa, juice buah -buahan. Masing-masing klaster agroindustri potensial ini terdiri dari beberapa perusahaan yang berlokasi dibeberapa Propinsi dan Kabupaten, bahkan ada yang tersebar dibeberapa pulau. Untuk dapat mengembangkan masing-masing usaha agroindustri ini menjadi suatu klaster agroindustri yang kuat dan kompetitif maka diperlukan suatu strategi pengembangan klaster yang melintasi batas -batas propinsi.


(41)

Porter menyatakan bahwa biasanya klaster timbul di suatu daerah secara alamiah dan tidak dapat dipaksakan oleh Pemerintah. Begitu suatu klaster terbentuk secara alamiah, barulah Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah diharapkan berperan untuk memperkuatnya dengan memberikan fasilitasi serta menyiapkan sarana-sarana dan perangkat peraturan yang mendukung. Peranan ini dapat dilakukan Pemerintah antara lain melalui penciptaan faktor pendukung tertentu, seperti (Braga & Gerry 2002): (1) Universitas, pendidikan teknik dan pusat-pusat pelatihan; (2) Perbaikan lingkungan dan iklim usaha; (3) Pusat informasi atau bank data mengenai trend ekonomi; (4) Usaha-usaha pelayanan jasa untuk perusahaan; (5) Rangsangan bagi terbentuknya jaringan dan kerjasama antar perusahaan.

Mengingat tingkat perkembangan ekonomi antara suatu daerah dengan daerah lainnya tidak sama, maka Pemerintah Daerah sesuai kewenangan yang ada padanya sebagai daerah otonomi dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang sesuai untuk daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi kekuatan industri unggulan di daerahnya masing-masing dan menetapkan kebijakan yang dapat mengemban gkan klaster dari industri unggulan tersebut.

Dalam penetapan kebijakan Pemerintah Daerah setempat (Braga & Gerry 2002) dapat dicatat beberapa issue yang menjadi kendala, seperti: (1) Keterbatasan sumber dana yang dimiliki daerah, (2) Keterbatasan perangkat organisasi dan kemampuan teknis dari aparat daerah, (3) Adanya batasan-batasan kewenangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, (4) Artikulasi, baik teknis maupun administratif antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional sangat berbeda, (5) “Terjemah an” dari kebijakan nasional untuk pelaksanaan di daerah masih banyak tergantung pada interpretasi pejabat di tingkat nasional, (6) Sering ada celah pada peraturan tingkat nasional yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk intervensi, (7) Kemungkinan terjadinya duplikasi dari fungsi tertentu antara badan tertentu ditingkat Nasional dengan Pemerintah Daerah yang perlu diputuskan oleh Pemerintah Pusat.


(1)

:: Instalasi Selesai

Jika proses instalasi berjalan dengan lancar, windows akan membuat program group baru dengan nama StraKlas. Untuk mengaktifkannya, klik shortcut pada Start|Programs|StraKlas|StraKlas.


(2)

Model StraKlas

Plikasi Model StraKlas merupakan implementasi Sistem Penunjang Keputusan dari Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti di Daerah Kabupaten dan Kelembagaannya yang dirancang dalam suatu paket program komputer yang diberi nama StraKlas. Model StraKlas dirancang dengan tujuan untuk membantu pengguna, baik peneliti, pengambil kebijakan, investor, lembaga pembiayaan maupun lembaga ekonomi dalam proses pengambilan keputusan pada pengembangan agroindustri unggulan dengan pendekatan klaster. Uraian ini dirancang untuk membantu operasionalisasi penggunaan aplikasi model StraKlas.

Menjalankan Aplikasi Model StraKlas

Aplikasi model StraKlas dapat dijalankan apabila proses instalasi berjalan dengan baik. Apabila terjadi kesalahan dalam prosedur instalasi ataupun pada saat eksekusi program, laporkan kembali kesalahan tersebut kepada system designer. Untuk menjalankan aplikasi StraKlas, klik tombol [Start] pada taskbar windows – kemudian pada menu Programs ditampilkan beberapa aplikasi (program group) yang terinstal dalam windows dan salah satunya adalah StraKlas. Arahkan pointer pada grup StraKlas kemudian klik shortcut StraKlas untuk mengaktifkannya.

Gambar 1. Visualisasi dialog akses aplikasi StraKlas.

A


(3)

Halaman pertama yang ditampilkan aplikasi StraKlas adalah dialog akses aplikasi yang berguna sebagai gerbang otorisasi penggunaan aplikasi. Pada dialog ini ditanyakan mengenai jenis pengguna dan passowrd-nya. Pilihlah jenis pengguna pada pilihan ‘User’ dan berikan password yang bersesuaian. Klik tombol [Lanjut] atau tekan [Enter] untuk menyetujuinya dan klik [Batal] atau tekan [Es] untuk membatalkannya. Apabila jenis pengguna beserta password-nya disetujui, maka anda dapat menggunakan aplikasi ini dengan fitur yang sesuai jenis user-nya.

Struktur Aplikasi StraKlas

Secara struktural konfigurasi aplikasi model StraKlas terdiri dari beberapa modul (halaman dialog) yang masing-masing dikonstruksi untuk memproses input berupa data untuk menghasilkan output yang berbentuk informasi, alternatif keputusan, strategi kebijakan, atau upaya pengembangan. Modul-modul tersebut secara umum dikelompokkan ke dalam 6 (enam) komponen utama yaitu Bobot Direct, AHP, Inti Klaster, ISM, IPE, dan Kinerja. Keenam komponen tersebut dapat diakses dengan cara meng-klik komponen yang bersesuaian pada panel ‘Menu Utama’ yang ditempatkan pada bagian kanan atas aplikasi. Sedangkan modul-modul/halaman dikumpulkan pada panel ‘Sub Menu’ yang terletak di sebelah kiri aplikasi, klik modul-modul/halaman yang diinginkan untuk menampilkan detail modul/halaman tersebut.

Gambar 2. Struktur sistem aplikasi model StraKlas

Bobot Direct

Kompetensi Inti Konsentrasi Industri Pertumbuhan Kemampuan E kspor Keterkaitan Usaha Jumlah Tenaga Kerja Nilai Tambah

AH P (Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan)

IPE (Tingkat Kepentingan)

Keluar Aplikasi

Inti Klaster

ISM (Strukturisasi E lemen Sistem Pengembangan) Tujuan

Pelaku Kendala Peran Pemerintah Aktivitas


(4)

Model Indeks Kompetensi Inti

Model Indeks Kompetensi Inti dalam paket StraKlas dirancang untuk membantu pengguna mengidentifikasi indeks kompetensi inti masing-masing kelompok agroindustri. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan rating pendapat pakar terhadap alternatif-alternatif tersebut berdasarkan kriteria yang ditetapkan.

Model Indeks Kompetensi Inti diolah menggunakan teknik Multi Sectoral Quantitative A nalysis (MSQA). Petunjuk penggunaan model ini dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul MSQA).

Model Konsentrasi Industri

Model Konsentrasi Industri di dalam paket StraKlas dirancang untuk membantu pengguna dalam melakukan analisis konsentrasi industri dari berbagai kelompok agroindustri pada suatu wilayah. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan proporsi jumlah tenaga kerja regional dengan jumlah tenaga kerja nasional pada wilayah yang dianalisa. Model ini menggunakan pendekatan L ocation Quotinent (LQ) yang petunjuk penggunaannya dapat dilihat pada topik berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul LQ).

Model Tingkat Pertumbuhan

Model Tingkat Pertumbuhan di dalam paket StraKlas dirancang untuk membantu pengguna dalam menentukan tingkat pertumbuhan kelompok agroindustri pada suatu wilayah. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan masukan jumlah tenaga kerja pada dua periode yang berbeda di wilayah yang dianalisa. Model Tingkat Pertumbuhan dalam paket StraKlas menggunakan teknik pengolahan Shift Share yang petunjuk penggunaannya dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul Shift Share).

Model Kemampuan Ekspor

Model Kemampuan Ekspor dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan tentang kemampuan ekspor masing-masing kelompok agroindustri. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan rating pendapat pakar terhadap alternatif-alternatif tersebut berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Model Kemampuan Ekspor Inti diolah menggunakan teknik heuristik yang mempunyai metodologi identik dengan teknik Multi Sectoral Quantitative A nalysis (MSQA). Petunjuk penggunaan model ini dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul MSQA).

Model Keterkaitan dengan Usaha Lain

Model Keterkaitan dengan Usaha Lain dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan tentang keterkaitan kelompok agroindustri dengan kelompok lainnya. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor keterkaitan dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan rating pendapat pakar terhadap alternatif-alternatif tersebut berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Model Keterkaitan dengan Usaha Lain diolah menggunakan teknik pengolahan yang identik dengan teknik Multi Sectoral Quantitative Analysis (MSQA).


(5)

Model Jumlah Tenaga Kerja

Model Jumlah Tenaga Kerja dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan tentang vektor kelompok agroindustri pada kriteria jumlah tenaga kerja. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor jumlah tenaga kerja dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan masukan jumlah tenaga kerja setiap periode yang dikelompokan pada berbagai kelompok agroindustri. Model Jumlah Tenaga Kerja diolah menggunakan teknik heuristik yang petunjuk penggunaannya identik dengan petunjuk penggunaan pada Model Nilai Tambah.

Model Nilai Tambah

Model Nilai Tambah dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan tentang vektor kelompok agroindustri pada kriteria nilai tambah. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor nilai tambah dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan masukan nilai tambah setiap periode yang dikelompokan pada berbagai kelompok agroindustri. Model Nilai Tambah diolah menggunakan teknik heuristik yang petunjuk penggunaannya dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Teknis Penggunaan Modul Nilai Tambah).

Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan

Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka menentukan kelompok agroindustri potensial untuk dikembangkan sebagai klaster industri unggulan daerah. Model ini menggunakan teknik Analisis Hirarki Proses (AHP) yang petunjuk penggunaannya dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul AHP).

Model Identifikasi Industri Inti Klaster

Model Identifikasi Industri Inti Klaster di dalam paket StraKlas dirancang untuk membantu pengguna dalam melakukan analisis konsentrasi industri dari berbagai kelompok agroindustri yang lebih spesifik dari kelompok agroindustri yang hirarkinya lebih tinggi pada suatu wilayah. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan data aktual kelompok agroindustri pada berbagai kriteria. Model ini menggunakan teknik Indeks Komposit yang petunjuk penggunaannya dapat dilihat pada topik berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul Indeks Komposit).

Catatan:

Masukan data pada model ini harus disaring terlebih dahulu yaitu kelompok agroindustri yang mempunyai nilai LQ lebih dari 1 (satu). Gunakan Model LQ sesuai dengan petunjuk yang telah dijelaskan sebelumnya.

Model Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan

Model Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan dirancang dengan tujuan menstrukturisasi elemen sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah. Rekayasa dilakukan dengan bantuan teknik Interpretive Structural Modelling (ISM) dengan


(6)

input pendapat para ahli yang dipilih. Output dari model ini adalah struktur sistem pengembangan agroindustri. Petunjuk teknis penggunaan Modul Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan dapat dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul ISM VAXO).

Model Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha

Model Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha dalam paket StraKlas merupakan implementasi dari rekayasa model hubungan antar subelemen sistem pengembangan dengan teknik Multi E xpert Multi Criteria Decision Mak ing. Outputnya adalah tingkat kepentingan hubungan antar subelemen. Teknis Penggunaan Model Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha dapat dilihat secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul IPE)

Model Kinerja Klaster

Model Kinerja Klaster dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan klaster industri dalam kaitannya dengan dengan intervensi dan kebijakan-kebijakan yang diambil Pemerintah Daerah untuk mendukung pengembangan klaster industri. Teknis Penggunaan Model Kinerja dapat dilihat secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul Kinerja)

Mengakhiri Aplikasi

Untuk mengakhiri aplikasi StraKlas, gunakan tombol x ‘Close’ yang diletakkan pada bagian kanan atas aplikasi.

Catatan :

Petunjuk penggunaan selengkapnya terdapat pada buku Petunjuk Penggunaan Aplikasi Model Sistem Penunjang Keputusan – StraKlas.