Rancang bangun model pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara

(1)

KLASTER AGROINDUSTRI AREN

DI SULAWESI UTARA

TOMMY FERDY LOLOWANG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Agroindustri di Sulawesi Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Tommy Ferdy Lolowang


(4)

Agroindustry in Sulawesi Utara. Under direction of DJUMALI MANGUNWIDJAJA, MARIMIN, ANAS MIFTAH FAUZI, and TITI CANDRA SUNARTI

Sugar-palm (Arenga pinnata Merr) is local plant which produced some products such as palm sugar, brewing and alcohol. Most of sugar-palm agroindustries in Indonesia are rural industries and involved many household for harvesting and processing. This research is aimed to design a system modeling for strategic planning in the development of sugar-palm agroindustry. Sulawesi Utara is second production center in Indonesia, was chosen as case study. Designing models consisted of (1) determinationof location, (2) determination of core industry, (3) cluster institutional, (4) determination of processing tecnologiy, and (5) financial analysis. The result showed that Kabupaten Minahasa Selatan was the potential location for agroindustry cluster development in Sulawesi Utara, with palm-sugar based industry was the most prospective core industry, and crystal palm-sugar as most prospective products. The results explained the interpretive structural modeling could be identified as hierarchical structure, classification of matrix driver power-dependency, and the key elements of the essential agroindustry development system. Output from ptocessing technology models shows that crystal palm sugar industry with 5000 liters of palm saps production capacity and open-pan & vacuum evaporating techniques were chosen as competitive processing technology; and feasible to be developed in Sulawesi Utara.


(5)

TOMMY FERDY LOLOWANG. Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster

Agroindustri Aren di Sulawesi Utara. Dibimbing oleh DJUMALI

MANGUNWIDJAJA, MARIMIN, ANAS MIFTAH FAUZI, dan TITI CANDRA SUNARTI.

Agroindustri aren memiliki potensi untuk dikembangkan, baik ditinjau dari ketersediaan bahan baku, tenaga kerja, proses produksi, maupun peluang pasar. Pengembangan industri ini mempunyai arti penting karena dapat memperluas kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah pedesaan.

Penelitian bertujuan untuk mendapatkan model penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri yang menggunakan bahan baku yang berasal dari tanaman aren di Sulawesi Utara. Sistem model yang dibangun dianalisi dengan menggunakan beberapa teknik pendekatan. Sub model lokasi pengembangan klaster digunakan teknik loqation quotient dan analitycal hirarchy process (AHP), sub

model industri inti menggunakan teknik AHP, sub model kelembagaan klaster menggunakan teknik interpretive structural modelling, sub model pemilihan produk menggunakan teknik AHP, sub model penentuan kapasitas olah dan teknologi pengolahan menggunakan metode perbandingan eksponensial. Sedangkan sub model penilayan kelayakan investasi menggunakan kriteria-kriteria finansial.

Berdasarkan keluaran model, lokasi pengembangan klaster agroindustri aren prioritas di Sulawesi Utara adalah Kabupaten Minahasa Selatan, diikuti oleh Kota Tomohon, dan Kabupaten Minahasa. Sedangkan agroindustri inti prospektif untuk dikembangkan adalah agroindustri gula aren, diikuti oleh agroindustri bioetanol dan agroindustri minuman beralkohol.

Model kelembagaan pengembangan klaster yang dibangun terdiri dari lima elemen sistem yaitu elemen tujuan pengembangan, elemen pelaku, elemen kendala, elemen aktivitas dan elemen indikator keberhasilan. Berdasarkan hasil analisis struktur sistem terhadap elemen-elemen tersebut diperoleh masing-masing: (1) Sub elemen kunci tujuan pengembangan klaster agroindustri aren adalah meningkatkan pendapatan petani penyadap aren, meningkatkan nilai tambah agroindustri, dan meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi; (2) Sub elemen kunci pelaku pengembangan adalah pemilik lahan, petani penyadap, agroindustri pengolahan, industri terkait / pendukung, pedagang perantara, kelompok tani dan koperasi; (3) Sub-elemen kunci kendala pengembangan adalah kurangnya dukungan dari pemerintah, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan rendahnya kemampuan manajerial; (4) Sub elemen kunci aktivitas pengembangan adalah pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren, pengembangan kerjasama dengan industri / lembaga terkait, dan pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi; dan (5) Sub-elemen kunci indikator keberhasilan pengembangan adalah peningkatan


(6)

Model pemilihan teknologi yang didahului dengan penentuan produk unggulan menunjukan bahwa usaha agroindustri gula semut merupakan produk yang paling potensi untuk dikembangkan. Kapasitas olah unit pengolahan gula semut yang terpilih adalah 5.000 l nira per satu kali olah. Sedangkan teknologi proses yang

dianjurkan teknik open pan dengan vacum evaporator.

Model kelayakan usaha agroindustri aren khususnya usaha pengolahan gula semut menunjukan bahwa pada tingkat kapasitas olah 5.000 l, harga jual di tingkat

pabrik sebesar Rp15.000,00 per kg adalah layak dan menguntungkan untuk dilaksanakan. Keuntungan bersih yang diperoleh adalah Rp1.192.876.720,00 per thn dengan tingkat pengembalian modal mencapai 41,17%.

Model simulasi kelayakan usaha menunjukan bahwa jika harga produk mengalami penurunan sebesar 20% menjadi Rp12.000,00 per kg maka usaha pengolahan agroindustri gula semut tersebut masih menguntungkan karena koefisien-koefisien indikator yang diperoleh masih berada pada kategori layak dimana keuntungan bersih rata rata yang diperoleh adalah Rp406.164.220,00 per thn. Namun apabila harga bahan baku mengalami kenaikan sebesar 50% menjadi Rp1.500,00 per l, maka usaha pengolahan gula semut tersebut secara ekonomi tidak


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

DI SULAWESI UTARA

TOMMY FERDY LOLOWANG

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sukardi, M.M. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA. Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Undang Fadjar, M.Sc.


(10)

(11)

Selatan pada Tanggal 3 Agustus 1964 sebagai anak pertama dari pasangan ayah Alexander Lolowang dan ibu Margotje Poli. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Kolongan-Atas Sonder pada tahun 1975, Sekolah Menengah Pertama di Sonder pada tahun 1979, sedangkan Sekolah Menengah Atas di Kawangkoan pada tahun 1982.

Pendidikan sarjana diselesaikan pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi pada Tahun 1982. Pada Tahun 1993 penulis mengikuti Program Pembangunan Nasional di Universitas Indonesia. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan studi S2 di Institut Pertanian Bogor Program Studi Ekonomi Pertanian.

Penulis diangkat sebagai pegawai negeri sipil pada tahun 1989 dan sejak saat itu bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado. Pada tahun 2004 penulis menikah dengan Martha Dorkas Pasla SP dan dikarunia tiga orang anak yaitu Axel Dennis Lolowang, Chelsea Aurelia Lolowang, dan Luvmitha Ivory Lolowang.

Pada tahun 1999 penulis diberi kesempatan melanjutkan studi S3 pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana Beasiswa Pendidikan Pascasarjana yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Pada tahun 2003 penulis memutuskan untuk pindah ke Program Studi Teknologi Industri Pertanian.

Sebuah artikel berjudul Model Penunjang Keputusan Pengembangan Klaster Agroindustri Aren di Sulawesi Utara akan diterbitkan pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian pada Edisi Maret tahun 2012 dan artikel lain berjudul Model Penilaian Kelayakan Investasi Agroindustri Gula Aren akan diterbitkan pada Buletin Balitka dan Tanaman Palma lainnya pada Edisi Mei tahun 2012.


(12)

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 4

1.3. Ruang Lingkup ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Kebaruan Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Pendekatan Sistem ... 6

2.2. Agroindustri Aren ... 8

2.3. Teknologi Pengolahan Agroindustri Aren ... 10

2.4. Klaster Agroindustri ... 12

2.5. Pengembangan Inovasi dan Teknologi ... 19

2.6. Metode Penunjang Keputusan ... 21

2.6.1. Location Quotients (LQ) ... 22

2.6.2. Analytical Hierarchy Process ... 22

2.6.3. Interpretive Structural Modelling ... 23

2.6.4. Metode Perbandingan Eksponensial ... 26

2.6.5. Teknik Heuristik ... 26

2.6.6. Analisis Kelayakan Finansial ... 27

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 31

3.1. Kerangka Pemikiran ... 31

3.2. Tahapan Penelitian ... 32

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 34

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 34

3.5. Metode Pengolahan Data ... 34

4 ANALISIS SISTEM ... 36

4.1. Analisis Sistuasional ... 36

4.2. Analisis Kebutuhan ... 39

4.3. Formulasi Permasalahan ... 41

4.4. Identifikasi Sistem ... 42

5 PEMODELAN SISTEM ... 44

5.1. Konfigurasi Model Pengembangan Klaster ... 45

5.1.1. Penentuan Lokasi Unggulan ... 45


(13)

5.2.1. Penentuan Produk Unggulan ... 49

5.2.2. Penentuan Kapasitas Olah ... 49

5.2.3. Penentuan Teknologi Pengolahan ... 50

5.3. Konfigurasi Model Kelayakan Investasi ... 51

6 VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL ... 52

6.1. Model Pengembangan Klaster Agroindustri Aren ... 52

6.1.1. Sub Model Lokasi Pengembangan ... 52

6.1.2. Sub Model Industri Inti ... 54

6.2. Model Struktural Kelembagaan Pengembangan ... 55

6.2.1. Sub Model Sistem Elemen Tujuan ... 56

6.2.2. Sub Model Sistem Elemen Pelaku ... 58

6.2.3. Sub Model Sistem Elemen Kendala ... 59

6.2.4. Sub Model Sistem Elemen Aktivitas ... 61

6.2.5. Sub Model Sistem Elemen Indikator Keberhasilan ... 63

6.3. Model Pengembangan Teknologi Pengolahan ... 65

6.3.1. Sub Model Produk Unggulan ... 65

6.3.2. Sub Model Kapasitas Olah ... 67

6.3.3. Sub Model Teknologi Pengolahan ... 70

6.4. Model Penilaian Kelayakan Investasi ... 72

7 RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGRO- INDUSTRI AREN ... 76

7.1. Sistem Pengembangan Lokasi dan Industri Inti ... 76

7.2. Sistem Pengembangan Kelembagaan ... 77

7.3. Sistem Pengembangan Teknologi ... 81

7.4. Sistem Pengukuran Kinerja ... 82

7.5. Implikasi Kebijakan ... 83

8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

8.1. Kesimpulan ... 87

8.2. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(14)

1 Komposisi bahan dari nira kelapa, nira aren dan nira tebu ... 9

2 Sebaran dan produksi tanaman aren di Sulawesi Utara tahun 2010 ... 36

3 Sebaran dan produksi agroindustri aren di Sulawesi Utara tahun 2010 ... 38

4 Analisis kebutuhan pelaku agroindustri aren ... 40

5 Koefisien LQ agroindustri aren di Sulawesi Utara ... 53

6 Keluaran sub model lokasi pengembangan ... 54

7 Keluaran sub model industri inti ... 55

8 Hubungan kontekstual elemen kelembagaan ... 56

9 Keluaran sub model elemen tujuan pengembangan ... 57

10 Keluaran sub model elemen pelaku pengembangan ... 58

11 Keluaran sub model elemen kendala pengembangan ... 60

12 Keluaran sub model elemen aktivitas pengembangan ... 62

13 Keluaran sub model elemen indikator keberhasilan pengembangan ... 64

14 Keluaran sub model produk unggulan ... 66

15 Peringkat prioritas kapasitas olah ... 68

16 Sumber dan produksi nira aren Kabupaten Minahasa Selatan tahun 2010 ... 69

17 Peringkat prioritas teknologi pengolahan ... 71

18 Koefisisen indikator kelayakan investasi usaha agroindustri gula aren Pada kondisi normal ... 74

19 Dampak penurunan harga produk terhadap indikator kelayakan investasi ... 74


(15)

1 Proses pengolahan nira aren ... 11

2 Kelembagaan konseptual program pengembangan agroindustri ... 16

3 Model pengukuran kinerja klaster industri ... 18

4 Kerangka pemikiran konseptual pengembangan klaster ... 32

5 Diagram alir perancangan model klaster agroindustri aren ... 33

6 Pohon industri tanaman aren ... 37

7 Diagram sebab akibat pengembangan sistem agroindustri aren ... 42

8 Diagram input output pengembangan klaster agroindustri aren ... 43

9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren ... 45

10 Diagram alir model penentuan lokasi klaster agroindustri aren ... 46

11 Diagram alir model penentuan industri inti ... 47

12 Diagram alir identifikasi elemen sistem pelaku pengembangan ... 48

13 Diagram alir strukturisasi elemen sistem pelaku pengembangan ... 48

14 Diagram alir penentuan produk unggulan ... 49

15 Diagram alir penentuan kapasitas olah ... 50

16 Diagram alir pemilihan teknologi pengolahan ... 50

17 Diagram alir penilaian kelayakan investasi ... 51

18 Struktur sistem pengembangan klaster agroindustri aren ... 78


(16)

1. Peta lokasi penelitian ... 97

2. Struktur hirarki AHP penentuan lokasi pengembangan klaster ... 98

3. Struktur hirarki AHP penentuan industri inti ... 98

4. Hasil pengolahan ISM elemen sistem tujuan pengembangan ... 99

5. Hasil pengolahan ISM elemen sistem pelaku pengembangan ... 100

6. Hasil pengolahan ISM elemen sistem kendala pengembangan ... 101

7. Hasil pengolahan ISM elemen sistem aktivitas pengembangan ... 102

8. Hasil pengolahan ISM elemen sistem indikator keberhasilan pengembangan .. 103

9. Struktur hirarki AHP penentuan produk unggulan ... 104

10. Kriteria penentuan kapasitas olah ... 104

11. Aturan-aturan pemilihan kapasitas olah ... 105

12. Analisis penentuan kapasitas olah unit pengolahan gula aren ... 106

13. Analisis penentuan teknologi pengolahan gula aren ... 107

14. Modal tetap investasi agroindustri gula aren kapasitas olah 5000 l ... 108

15. Modal kerja investasi ... 109

16. Biaya investasi lainnya ... 109

17. Kewajiban pengembalian pinjaman usaha ... 109

18. Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi normal ... 110

19. Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi harga bahan baku naik sebesar 50% ... 113

20 Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi harga produk Turun sebesar 20% ... 115


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu agroindustri yang memiliki potensi untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan masyarakat khususnya di pedesaan adalah agroindustri yang menggunakan bahan baku dari tanaman aren. Sulawesi Utara termasuk daerah di Indonesia yang memiliki potensi tersebut baik dilihat dari sebaran tanaman aren sebagai sumber bahan baku maupun dilihat dari jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan pengolahan. Total areal tanaman aren di Sulawesi Utara pada tahun 2010 adalah sekitar 5,615.40 Ha (BPS 2011b ) dengan populasi tanaman diperkirakan mencapai 1.585.000 pohon (Dinas Perkebunan Sulut 2011). 30-35% diantaranya merupakan tanaman produktif (Mahmud 1991), sedangkan jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam kegiatan agroindustri ini mencapai 29.600 orang ( BPS 2011b).

Agroindustri aren sebagian besar diusahakan rakyat dalam skala usaha kecil dan menengah, lokasi yang terpencar, modal terbatas, peralatan dan teknologi sederhana dan akses informasi terbatas. Disamping itu, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap berkembangnya agroindustri aren belum menunjukan keterpaduan dalam melakukan aktivitasnya. Petani penyadap, industri, lembaga terkait dan pemerintah dalam melaksanakan kegiatannya masih bersifat sendiri-sendiri, kurang mendukung dan belum terkoordinasi. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya daya saing dari agroindustri aren dibandingkan dengan agroindustri substitusi yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan mutu dari produk yang dihasilkan. Kenyataan lain yang diakibatkan oleh kondisi tersebut adalah rendahnya nilai tambah yang diterima oleh pelaku-pelaku usaha khususnya petani penyadap dan industri kecil.

Kecenderungan meningkatnya permintaan pasar dan tersedianya sumberdaya alam yang cukup besar menunjukan bahwa agroindustri aren memiliki potensi untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar terhadap setiap pelaku yang terlibat didalam sistem. Permintaan produk agroindustri aren dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan yang sangat berarti terutama produk gula merah. Sebagai contoh, konsumsi rataan per kapita gula


(18)

merah Indonesia meningkat dari 1,25 kg pada tahun 2001 menjadi 1.40 kg pada tahun 2010 (BPS 2011d). Selain itu, agroindustri aren dapat menjadi alternatif

untuk mengurangi defisit kebutuhan gula nasional yang mencapai sekitar 2,8 juta ton pada tahun 2010. Namun pada kenyataannya, potensi dan peluang tersebut belum mampu direspon secara optimal oleh pihak-pihak yang berkepentingan khususnya oleh pelaku usaha maupun oleh pemerintah.

Permasalahan utama yang dihadapi dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan daya saing agroindustri aren bersumber dari sisi penawaran dan yang bersumber dari sisi permintaan (Anonim 2008). Kenyataan lokasi usahatani yang terpencar-pencar serta jauh dari lokasi industri penggolahan, diskontinuitas bahan baku, mutu bahan baku rendah, teknologi pengolahan sederhana dan tradisionil merupakan kendala yang bersumber dari sisi permintaan. Sementara itu, ketidakstabilan harga, rendahnya mutu produk, dan perubahan perilaku konsumen menjadi kendala utama pengembangan agroindustri aren dari sisi penawaran.

Beberapa program pengembangan industri kecil dan pedesaan secara empiris telah dilaksanakan oleh pemerintah dan instansi terkait namun manfaat yang dihasilkan seringkali belum sesuai dengan yang diharapkan (Nasution 2001). Hal tersebut antara lain disebabkan oleh pola pengembangan yang dilakukan umumnya bersifat parsial yang hanya fokus pada satu atau sedikit aspek yang berhubungan dengan sistem yang harus dikembangkan. Selain itu, pola pengembangan tersebut seringkali hanya terbatas pada sektor internal yang umumnya menjadi karakteristik pembangunan di Indonesia dimana pembangunan dilakukan dengan tidak adanya koordinasi dan integrasi dengan sektor lain yang sebenarnya berkaitan satu sama lain, misalnya antara sektor pertanian dan sektor industri.

Pengembangan agroindustri di Indonesia semestinya menjadi pilihan yang strategis dalam menanggulangi permasalahan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri dalam hal perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan nilai tambah dan perolehan devisa, mengingat sifat industri pertanian yang padat karya dan bersifat masal.


(19)

Hubungan timbal balik yang erat antara sektor pertanian dan industri mutlak perlu dipadukan, diserasikan dan diselaraskan menuju suatu pola pembinaan dan pengembangan industri sektor pertanian atau agroindustri, yang sesuai dengan sumber daya industri serta kondisi alam wilayah setempat, untuk dapat mewujudkan pola operasionai tersebut butuhkan persepsi yang senada dalam pengertian definitif dan Agroindustri di Indonesia (IPB 1983).

Dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) tahun 2010-2014 yang disusun oleh pemerintah disebutkan bahwa revitalisasi pertanian dilaksanakan antara lain melalui pengembangan agroindustri yang merupakan pilihan strategis untuk menggerakkan roda perekonomian dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan tersebut sangat mungkin untuk dilaksanakan karena adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja, mengingat sifat agroindustri yang padat karya dan bersifat masal. Agroindustri yang berbasis pada masyarakat tingkat menengah dan bawah ini merupakan sektor yang sesuai untuk menampung banyak tenaga kerja dan menjamin perluasan usaha sehingga akan efektif dalam upaya meningkatkan perekonomian di pedesaan.

Model pengembangan industri yang relatif belum banyak diadopsi oleh sektor agroindustri di Indonesia adalah model klaster. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukan bahwa model pengembangan agroindustri ini di beberapa menunjukan hasil yang nyata dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing khususnya agroindustri di pedesaan (Unido 2004; FAO 2008; Unido 2009). Klaster industri merupakan pola pikir tentang pengembangan industri suatu wilayah yang menekankan pada integrasi dan kerja sama diantara pihak-pihak yang berkepentingan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing.

Pengembangan klaster agroindustri aren dipandang dapat memberikan alternatif strategi yang dapat dipakai untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing agroindustri ini. Namun oleh karena agroindustri aren merupakan suatu sistem yang kompleks dan rumit maka dalam proses pengembangan model dibutuhkan suatu metode pendekatan yang dapat membantu pengembangan


(20)

tersebut sehingga keluaran model diharapkan dapat mewakili kondisi nyata dan berguna dalam membantu pengambilan keputusan.

Eriyatno (1999) dan Marimin (2005) menyatakan bahwa pendekatan sistem dapat dipakai untuk memahami sistem secara lengkap dalam rangka merumuskan strategi pengembangan. Pendekataan sistem mensyaratkan suatu rancangan model dengan tahapan-tahapan tertentu yang dimulai dengan identifikasi kemudian diakhiri dengan penilaian terhadap keluaran model sehingga diperoleh suatu keputusan yang efektif dan efisien.

1.2. Tujuan

Secara umum penelitian bertujuan untuk mendapatkan model penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri yang menggunakan bahan baku

yang berasal dari tanaman aren di Sulawesi Utara. Secara khusus bertujuan untuk: (1) menentukan lokasi pengembangan agroindustri aren dan industri inti potensial, (2) mendapatkan struktur dan hubungan elemen sistem pengembangan klaster agroindustri aren, (3) menentukan produk unggulan serta kapasitas olah dan teknologi pengolahan pada agroindustri aren, (4) mengukur kelayakan investasi agroindustri aren terpilih.

1.3. Ruang Lingkup

Penelitian ini diarahkan untuk menyusun suatu model penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara serta merumuskankan perencanaan strategis implementasi model tersebut namun dalam pengembangannya tidak menyertakan suatu perangkat lunak yang dapat membantu pengguna dalam pengambilan keputusan. Walaupun demikian, model yang dibangun dianggap cukup representatif untuk menjadi referensi dalam penentuan keputusan dan kebijakan pengembangan agroindustri aren di masa depan khususnya dalam rangka peningkatan nilai tambah dan daya saing. Ruang lingkup penelitian meliputi: a) penyediaan model lokasi pengembangan dan industri inti agroindustri aren, b) penyediaan model pengembangan kelembagaan klaster agroindustri aren, c) penyediaan model pemilihan produk unggulan,


(21)

kapasitas olah, dan teknologi pengolahan agroindustri aren, dan d) penyediaan model kelayakan investasi usaha agroindustri aren terpilih.

1.4. Manfaat Penelitian

Model yang dirancang dan dikembangkan diharapkan dapat dijadikan pertimbangan oleh para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan sehingga menghasilkan efek pengganda khususnya bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan pelaku agroindustri aren. Bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan strategi pembangunan agroindustri kedepan, khususnya agroindustri berbasis bahan baku lokal dan pedesaan sehingga mampu menjadi motor penggerak perekonomian daerah. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu memberikan informasi sekaligus bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi bagi investor (perusahan agroindustri), petani aren, lembaga keuangan dan koperasi.

1.5. Kebaruan Penelitian

Unsur kebaruan dari penelitian yang dilakukan berkaitan dengan substansi atau obyek kajian. Sedangkan dari aspek metodologi dan konsep pengembangan, model pendekatan sistem dan model klaster dipandang relatif telah banyak digunakan dan dikembangkan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Pengembangan model klaster dengan fokus pada agroindustri aren secara relatif belum banyak bahkan belum pernah dilakukan baik secara perorangan maupun institusi, padahal sektor agroindustri aren memiliki arti strategis dalam rangka peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat khususnya di beberapa daerah potensial di Indonesia.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendekatan Sistem

Sistem didefinisikan sebagai seperangkat elemen atau sekumpulan entitas yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Manetsch & Park 1976). Sistem dapat merupakan suatu proses yang sangat rumit yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat, menurut Eriyatno (2003) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Pada dasarnya ada dua sifat dari sistem, yaitu berkaitan dengan aspek prilaku dan aspek struktur, sehingga permasalahan yang berkaitan dengan sistem akan menyangkut pada prilaku sistem dan struktur sistem. Prilaku sistem berkaitan dengan input dan output; dan struktur sistem berkaitan dengan susunan daii rangkaian diantara elemen-elemen sistem.

Menurut Eriyatno (2003), karena disebabkan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antarbagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang

dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.

Pada dasarnya pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen (Eriyatno 2003). Dengan cara ini hendak diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau suatu sistem. Metode ilmiah dapat menghindarkan manajemen mengambil kesimpulan-kesimpulan yang sederhana dan simplisitis searah oleh suatu masalah disebabkan oleh penyebab tunggal. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.

Menurut Marimin (2004), pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak


(23)

analisis. Dengan demikian, manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem.

Pendekatan sistem adalah suatu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 2003). Karakteristik pendekatan sistem adalah: 1) kompleks karena interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, ada perubahan faktor menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, diperlukan fungsi peluang dan inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.

Jika diklasifikasikan masalah sistem secara garis besarnya ada tiga, yaitu 1) untuk sistem yang belum ada, struktumya dirancang untuk merealisasikan rancangan yang memiliki prilaku sesuai dengan yang diharapkan (persoalan sintesis sistem); 2) untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan atau hanya sebagai suatu rancangan) dan strukturnya diketahui, maka prilaku ditentukan pada basis dari struktur yang diketahui itu (persoalan analisis sistem); dan 3) untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan) tetapi tidak mengenalnya serta strukturnya tidak dapat ditentukan secara langsung, maka permasalahannya adalah mengetahui prilaku dari sistem itu serta strukturnya, yang dikenal dengan persoalan black box atau kotak hitam (Gaspersz 1992).

Menurut Eriyatno (1998) dalam transformasi input menjadi output, perlu dibedakan antara elemen (entity) dari suatu sistem dengan sub sistem dari sistem

itu sendiri. Sub sistem dikelompokkan dan bagian sistem yang masih berhubungan satu dengan lainnya pada tingkat resolusi yang tertinggi, sedangkan elemen dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi yang rendah. Masing-masing sub sistem saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antara sub sistem (disebut juga interface) terjadi karena output

dari suatu sistem dapat menjadi input dari sistem lain. Jika interface antar sub sistem terganggu maka proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu juga sehingga akan menghasilkan bias pada tujuan yang hendak dicapai.


(24)

Proses transformasi yang dilakukan oleh suatu elemen dalam sistem dapat berupa fungsi matematik, operasi logic, dan proses operasi yang dalam ilmu

sistem dikenal dengan konsep kotak gelap (black box). Kotak gelap adalah sebuah

sistem dari rincian tidak berhingga yang mencakup struktur-struktur terkecil paling mikro. Dengan demikian karakter kotak gelap adalah behavioristic

(tinjauan sikap). Kotak gelap digunakan untuk mengobservasi apa yang terjadi, bukan mengetahui tentang bagaimana transformasi terjadi. Untuk mengetahui transformasi yang terjadi dalam kotak gelap dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu 1) spesifikasi; 2) analog; kesepadanan dan modifikasi; dan 3) observasi dan percobaan.

Eriyatno (1998) menyimpulkan ada tiga pola pikir dasar yang selalu menjadi pegangan pokok para ahli sistem dalam merancang bangun solusi permasalahan, yaitu 1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan; 2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem; dan 3) efektif (effectiveness). yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan dari pada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan.

2.2. Agroindustri Aren

Kegiatan pemanfaatan bahan baku dari tanaman aren untuk diolah menjadi beberapa produk telah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Usaha ini umumnya masih bersifat tradisional yang ditandai dengan penggunaan teknologi sederhana dan dalam skala usaha kecil. Bahan baku yang berasal dari tanaman aren yang paling banyak digunakan oleh masyarakat untuk menghasilkan beberapa produk adalah nira aren yang diperoleh lewat proses penyadapan.

Keberadaan gula (sukrosa) yang dihasilkan selain dari tanaman tebu menunjukkan potensi yang besar baik sebagai produk untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai bahan baku industri pengolahan khususnya industri makanan. Salah satu tanaman yang memiliki potensi tersebut adalah aren (Arenga Pinnata

Merr). Menurut Mahmud et al. (1991) dan Novarianto et al. (2001), selain


(25)

menghasilkan beragam produk lain yang memiliki nilai ekonomi seperti daun, lidi, ijuk dan batang.

Tanaman aren dapat tumbuh pada ketinggian 0 - 1400 m di atas permukaan laut serta pada berbagai kondisi agroklimat. Pohon aren akan mencapai tingkat kematangannya pada umur 6 - 12 tahun (Mahmud 1991). Selanjutnya, kondisi penyadapan terbaik pada umur 8 - 9 tahun, ditandai dengan keluarnya mayang. Penyadapan dapat dilakukan pada pagi dan sore hari. Setiap tahun dapat disadap 3-12 tangkai bunga dengan hasil nira mencapai 300 - 400 liter per musim (3-4 bulan) atau sekitar 900 -1600 liter per pohon setahun.

Komposisis bahan dari nira aren utamanya terdiri atas sukrosa dan air yang relatif sama dengan yang terkandung pada nira yang berasal dari tanaman kelapa dan dari tanaman tebu (Tabel 1). Rendeman gula atau alkohol dari nira berkisar antara 15 - 20%, tergantung dari kondisi pohon aren yang disadap niranya (Novarianto et al. 2001).

Tidak semua pohon yang hendak dipersiapkan untuk disadap dapat menghasilkan nira yang baik. Rendeman ini cenderung lebih tinggi pada nira yang dihasilkan dari mayang pertama hingga mayang ketiga. Sedangkan produktivitas petani untuk menyadap nira cukup beragam yang sangat tergantung dari keterampilan dan kemampuan petani dan juga tergantung pada tujuan pengolahan. Tabel 1 Komposisi bahan dari nira kelapa, nira aren dan nira tebu

Komponen

Kandungan bahan (%) Nira Arena) Nira Arenb) Nira

Kelapac)

Nira Tebud)

Air 85 85 - 87,75 84,7 60,0 – 80,0

Sukrosa 12,67 11,42 – 12,67 14,35 11,0 – 14,0

Gula Pereduksi 0,28 0,28 Na 0,5 – 2,0

Protein 0,19 0,09 – 0,19 0,19 0,15 – 0,20

Lemak 0,14 0,14 0,5 – 1 0,20 – 0,55

Abu 0,06 0,06 Na 0,5 – 1,10

Mineral na na 0,66 0,3 – 0,75

Sabut na na Na 10.0 – 15.0

Zat Warna, malam, gum

Na na Na 7.5 – 15.0

pH Na 6,9 Na Na

Sumber: a) Ardi dalam Laluyan (1995); b) Iskandar (1991), c) Anonimous (1989);


(26)

Nira aren yang dihasilkan dari penyadapan tandan bunga jantan oleh masyarakat umumnya diolah untuk menghasilkan gula aren, alkohol dan bioetanol (Mahmud et al. 1991; Novarianto et al. 2001). Namun demikian keputusan

pengolahan nira sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan kondisi dari nira itu sendiri.

Agroindustri merupakan industri sekunder atau industri dengan tingkatan lebih lanjut yang memanfaatkan komoditas hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya (IPB 1983; Austin 1992; Wirakartakusuma 1994). Pada agroindustri kendali sentral ada pada manusia dan perangkat teknologi serta institusi sebagai hasil rekayasanya. Secara lebih spesifik agroindustri dapat diartikan sebagai industri pengolahan yang memberikan nilai tambah baik dari segi ekonomi maupun kegunaan pada hasil-hasil pertanian (dalam arti luas) yang mencakup produk tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan serta hasil hutan. Bentuk-bentuk pertambahan nilai itu dapat berupa perluasan pasar, perbaikan daya simpan atau nilai gizi yang kesemuanya akan mendorong peningkatan pendapatan dan keuntungan bagi produsen (Wirakartakusuma 1994).

Agroindustri aren merupakan industri yang mengolah dan

mentransformasi bahan baku yang berasal dari tanaman aren menjadi berbagai produk kebutuhan manusia terutama untuk menghasilkan gula dan alkhohol. Tanaman dan industri pengolahan aren telah ada sejak lama dan diusahakan oleh masyarakat di Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara. Pengelolaan tanaman dan industri aren tersebut masih terbatas pada skala usaha kecil dan rumah tangga serta bersifat tradisional dengan menggunakan teknologi yang sangat sederhana.

2.3. Teknologi Pengolahan Agroindustri Aren

Berdasarkan pohon industri, nira aren dapat diolah menjadi gula aren dan bioethanol. Menurut Mangunwidjaja dan Sailah (2005) bahwa prinsip dasar pengolahan gula dari tanaman palma meliputi ekstraksi (penyadapan nira) pada tahap awal sehingga diperoleh nira kotor yang selanjutnya dibersihkan melalui proses karbonatasi atau sulfitasi lalu dipekatkan dengan proses evaporasi. Sedangkan pada produk bioethanol, proses pengolahan dilakukan melalui tiga tahapan yaitu persiapan, sakarifikasi, fermentasi dan destilasi.


(27)

Nira Aren (Juice)

Nira kadar sukrosa <8% Pekatan nira (Peet) Gula Cetak Penambahan doctor sugar Gula Cair Pendinginan Pendinginan Pendinginan Bioethanol Nira kadar sukrosa 10-15%, pH 6 - 7

Pendinginan (± 10 menit)

Purifikasi

Evaporasi

Pemanasan pada suhu ± 110oC selama ± 3 jam

Pencetakan Sentrifugasi Kristalisasi Gula Semut Pengemasan Sakarifikasi Fermentasi Destilasi Pemanasan

pada suhu 50-60oC, penambahan enzim glukoamilase Pemberian enzim zymase + ragi Gula Sederhana (glukosa dan fruktosa) Beer (ethanol + CO2)

Pemanasan pada suhu 78 – 100oC Pemberian

minyak kelapa 2gr/5lt

Gambar 1 Proses Pengolahan Nira Aren.

Menurut Mangunwidjaja dan Sailah (2008) teknologi proses yang dapat diterapkan untuk agroindustri sangat beragam, dari yang sederhana (fisik, mekanik seperti pengeringan), teknologi sedang (reaksi hidrolisis) sampai ke teknologi tinggi (proses bioteknologis). Prinsip pengolahan nira aren menjadi gula adalah relatif sama dengan yang dilakukan oleh agroindustri gula lainnya seperti gula tebu dan gula palma lain dimana proses utamanya adalah evaporasi atau penguapan air dan kritalisasi.


(28)

Pengolahan nira aren menjadi gula dapat dilakukan dengan beberapa teknik diantaranya teknik tradisional, teknik open pan dan vacum evaporator dan

teknik membran (Anonim 2008; Kusumanto 2010). Teknik tradisional merupakan

pengolahan nira aren yang dalam proses penguapan atau pemasakan dilakukan secara manual dengan menggunakan teknik dan alat sederhana yang relatif sangat sederhana serta sumber panas untuk proses evaporasi menggunakan kayu bakar, teknik ini umumnya dilakukan oleh industri mikro (rumah tangga) dan kecil di pedesaan (Mahmud et al. 1991; Novarianto 2001; Karouw 2001). Teknik open pan dan vacum evaporator merupakan pengolahan nira menjadi gula semut

dilakukan dengan menggunakan alat penguapan atau pemasakan terbuka yang dikombinasikan dengan teknik tekanan (Anonim 1990; Iskandar 1991; Novarianto 2001). Teknik membran adalah pengolahan nira aren menjadi gula semut yang dilakukan dengan mengkombinasikan teknik membran, teknik open pan dan

vacum evaporator. Prinsip pokok yang dilakukan adalah melewatkan air dalam membran sehingga air tersebut terpisah dengan bahan lain. Alat yang digunakan pada teknik ini dinamakan reverse osmotic machine disingkat RO machine

(Anonim 2008; Kusumanto 2010).

2.4. Klaster Industri

Salah satu konsep untuk meningkatkan nilai tambah dan keunggulan bersaing suatu industri adalah pengembangan model klaster industri (Porter 1990; Unido 2008). Model klaster industri merupakan konsep pendekatan yang telah banyak digunakan untuk mengembangkan industri, termasuk agroindustri, di banyak negara di dunia, yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing, baik di tingkat internasional, regional, dan lokal. Istilah klaster industri mempunyai pengertian bahwa kelompok kegiatan yang terdiri atas industri inti, industri terkait, industri penunjang, dan kegiatan-kegiatan ekonomi (sektor-sektor) penunjang dan terkait lain, yang dalam kegiatannya akan saling terkait dan saling mendukung (Porter 1997). Gonarsyah (2001) menyatakan bahwa klaster dapat didefinisikan sebagai suatu sistem dari perusahan-perusahan dan institusi-institusi yang berinterkoneksi yang nilainya secara keseluruhan lebih besar daripada penjumlahan masing-masing bagian, akibat dari efek sinergi. Sedangkan lingkup


(29)

geografis suatu klaster dapat mencakup suatu kota, daerah kabupaten, provinsi, atau bahkan suatu jaringan negara tetangga. Konsep ini dapat digunakan untuk mengembangkan industri yang bersifat luas atau pada industri yang terfokus pada jenis-jenis produk tertentu (Tambunan 2001).

Keunggulan suatu industri disuatu negara atau daerah bukanlah ditentukan oleh kesuksesan industri itu sendiri tetapi merupakan kesuksesan kolektif dari kelompok industri (Porter 1990). Karakteristik utama yang menjadi kunci pengembangan klaster industri, sebagaimana dipresentasikan oleh Depperin (2006), adalah: (1) klaster industri melibatkan perusahan-perusahan yang saling berhubungan dan terkait dengan pemasok yang terspesialisasi, penyedia layanan, dan lain-lain; (2) klaster industri merupakan institusi-institusi yang bekerjasama; (3) adanya keterlibatan dan partisipasi dari universitas, asosiasi, dan lembaga swadaya masyarakat dalam bentuk penelitian, pelatihan tenaga kerja, dan konsultasi dalam rangka pemantapan klaster; (4) klaster industri memiliki konsentrasi geografis yang memudahkan pengembangan dan akses antar pelaku yang terlibat didalam klaster; dan (5) klaster dan komponen-komponen lainnya yang berasosiasi serta terkonsentrasi dalam wilayah geografis memungkinkan terjadinya interaksi dan efisiensi yang dapat dikembangkan oleh perusahan yang berhubungan dan juga menyediakan akses pada tenaga kerja yang lebih terspesialisasi.

Keterkaitan industri dalam klaster, selain dapat meningkatnya nilai tambah dan daya saing, juga akan menumbuhkan inovasi yang berkelanjutan dan memperkuat posisi tawar bagi setiap anggota klaster (Porter 1990). Inovasi akan muncul karena adanya ruang atau peluang yang besar bagi para anggota untuk melaksanakan proses pembelajaran. Perusahan tertentu akan belajar pada perusahan lain yang memiliki keunggulan dan kemajuan, sebaliknya perusahan yang unggul perlu terus memacu keunggulannya secara berkelanjutan. Selain itu, keterkaitan yang ada akan memungkinkan terjadinya perpindahan tenaga kerja antar perusahan dalam klaster yang berakibat pada terjadinya transfer pengetahuan pada perusahan yang menerima tenaga kerja tersebut sehingga akan mendorong terjadinya pertumbuhan kinerja dari perusahan tersebut. Pertumbuhan ini dapat memperdalam integrasi vertikal ataupun integrasi horizontal dari klaster tersebut.


(30)

Selain kemudahan mengakses tenaga kerja, perusahan didalam akan memperoleh manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang dikeluarkan menjadi kecil (Karaev et al. 2007; Anonim 2008). Hal ini

dimungkinkan karena perusahan-perusahan berlokasi saling berdekatan atau karena adanya aglomerasi. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer informasi, pengetahuan dan teknologi diantara perusahan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar.

Porter (1990) mengemukakan bahwa pembentukan klaster merupakan proses dinamis dimana pertumbuhan suatu perusahan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster dimaksud. Dengan berkembangnya klaster akan terjadi sistem yang saling memperkuat sehingga manfaat akan mengalir ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) pada seluruh industri yang terdapat dalam klaster. Selanjutnya dikatakan bahwa persaingan antara perusahan dalam klaster akan mendorong pertumbuhan karena persaingan akan mendorong perusahan dalam klaster untuk lebih inovatif dan terdorong untuk melakukan pengembangan teknologi baru. Keadaaan ini selanjutnya menstimulus kegiatan penelitian dan pengembangan.

Kajian terhadap klaster-klaster industri di Eropa Barat menunjukkan bahwa industri kecil dan menengah yang berada dalam klaster dapat berkembang lebih cepat dan lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar dibandingkan dengan industri kecil dan menengah yang beroperasi secara sendiri-sendiri di luar klaster (Tambunan 2001).

Pengembangan klaster industri di suatu kawasan, wilayah atau lokasi tertentu memerlukan tahapan identifikasi. Menurut Porter (1998), identifikasi tersebut dimulai dengan menentukan perusahan inti, yang umumnya berskala besar, serta mengidentifikasi konsentrasi perusahan-perusahan sejenis lainnya yang memiliki skala usaha yang kecil dan menengah. Dalam hal ini perlu juga dianalisis keterkaitan kedepan dan kebelakang dari industri dengan institusi lain dalam suatu rantai vertikal. Langkah selanjutnya adalah menganalisis rantai


(31)

hubungan horizontal yaitu berkaitan dengan saluran pemasaran bersama atau menghasilkan produk yang sifatnya saling melengkapi.

Tambunan (2001) mengemukakan beberapa pertimbangan dalam pengembangan klaster industri kecil dan menengah di Indonesia. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah penentuan sentra industri yang ada, sentra-sentra mana yang akan dibantu perkembangannya dengan menggunakan strategi tersebut. Kriteria pemilihan bisa didasarkan pada prospek pasar di dalam negeri atau ekspor, potensi kesempatan kerja yang dapat diciptakan, atau/dan intensitas penggunaan sumber-sumber daya lokal. Setelah itu, langkah berikutnya adalah melakukan diganosis klaster dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimiliki klaster-klaster yang dipilih tersebut, permasalahan-permasalahannya, dan bentuk-bentuk bantuan yang diperlukan. Dalam proses diagnosis tersebut ada beberapa tahap yang harus dilakukan secara berurut. Akan tetapi, sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu mengenai jaringan bisnis dari klaster-klaster yang terpilih tersebut, yakni relasi mereka dengan pemasok bahan baku dan input-input lain, pensuplai mesin dan peralatannya, pasar, dan relasi mereka dengan pengusaha-pengusaha besar, universitas, bank, pemerintah, dan lembaga-lembaga lainnya.

Selain jaringan bisnis, menurut Tambunan (2001), faktor lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap kinerja klaster adalah iklim usaha, yang sifatnya bisa mendukungatau menghambat. Di dalam iklim usaha ini termasuk iklim ekonomi makro, rezim perdagangan, infrastruktur, sistem perpajakan, sikap bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap industri kecil dan menengah, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempengaruhi langsung maupun tidak langsung perkembangan dan pertumbuhan klaster-klaster industri kecil dan menengah.

Penyusunan rencana implementasi suatu program sangat tergantung pada hasil diagnosis. Hasil diagnosis tersebut harus memberikan rumusan permasalahan yang ada secara jelas dan lengkap (Tambunan 2001). Permasalahan bisa bervariasi antara satu klaster dan klaster lainnya (di dalam klaster itu sendiri, permasalahan yang dialami seorang pengusaha bisa berbeda dengan permasalahan yang dihadapi pengusaha-pengusaha lainnya). Permasalahan yang dialami industri kecil dan menengah pada klaster-klaster tergantung antara lain pada jenis


(32)

komoditas yang dibuat. Pada umumnya, permasalahan tersebut menyangkut aspek-aspek, seperti pemasaran, pengadaan bahan baku, permodalan, SDM, teknologi, informasi, dan lain lain. Apabila hasil diagnosis terhadap suatu klaster menemukan beberapa masalah, harus ditentukan mana di antaranya yang merupakan masalah utama. Rencana aksi akan berisi sejumlah aksi-aksi yang fokus atau prioritasnya adalah pada penyelesaian masalah utama tersebut.

Keberadaan kelembagaan dalam sistem agroindustri dapat menjembatani keterbatasan agroindustri dalam mengakses dan mengoptimalkan faktor-faktor struktural seperti modal, pemasaran, persaingan, bahan baku, teknik produksi (proses dan teknologi), dan manajerial. Disamping itu, jika kelembagaan tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik pada gilirannya akan berdampak pada kondisi produk yang dihasilkan dan harga. Secara konseptual, Hubeis (2007) mempresentasi bentuk dan hubungan kelembagaan dalam sistem agroindustri seperti pada Gambar 2.

Instansi Teknis Usaha Besar Lembaga

Keuangan

Lembaga Inkubasi

Lembaga Pendukung

Program Pengembangan

Bisnis Unit Usaha

(UKM)

Perguruan

Tinggi Pasar

Gambar 2 Kelembagaan konseptual program pengembangan agroindustri. Menurut Nasution (2001), kelembagaan yang mempunyai peluang untuk

mengembangkan agroindustri, sebaiknya selain mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dalam hal jumlah dan mutu, agroindustri juga harus mampu membela kepentingan petani sebagai produsen terutama mampu meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian bentuk kelembagaan agroindustri tersebut harus direkayasa dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat.


(33)

Bentuk kelembagaan yang banyak dipakai dalam sistem pengembangan

agroindustri diantaranya adalah kelembagaan yang berbasis kemitraan (Hafsah 1999; Hubeis 2007; Mangunwidjaja & Sailah 2008). Selama ini berbagai

pola kemitraan pernah diterapkan di Indonesia namun masih ditemukan berbagai permasalahan dalam pelaksanaannya. Pola kemitraan tersebut diantaranya pola anak angkat, bapak angkat, inti plasma (PIR), model usaha ekonomi bersama, model inkubator, penyertaaan modal ventura, dan lain-lain.

Pola kemitraan partisipatif dianggap relevan untuk mengembangkan sektor agroindustri pedesaan (Mangunwidjaja & Sailah 2008), karena menerapkan prinsip-prinsip: (1) rekayasa kelembagaan ekonomi masyarakat harus mengacu pada budaya setempat dimana kegiatan agroindustri bermuara, (2) kemitraan usaha didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling menghidupi, (3) bentuk lembaga ditetapkan melalui musyawarah dari wakil unsur bersarikat, (4) transformasi kelembagaan (kelompok informal binaan menjadi lembaga formal mandiri) dilakukan melalui proses yang wajar demokratis dan sesuai dengan tahap penataan sistem agroindustri yang diterapkan, (5) sumber dana terpadu berasal dari berbagai sumber yang dapat menjamin efisiensi biaya serta memungkinkan diterapkannya pola bagi hasil, (6) untuk mencapai efisiensi bisnis yang tinggi maka pelaku utama kemitraan seyogyanya mempunyai entiti bisnis dalam jalur sistem bisnis yang sedang dikembangkan.

Selanjutnya Mangunwidjaja dan Sailah (2008) menyatakan bahwa aspek penting yang dapat dijadikan pendekatan dalam pembentukan pola pembinaan kemitaraan partisipatif adalah (a) aspek bisnis untuk menjamin kelayakan usaha, (b) aspek kesejahteraan sosial untuk menjamin manfaat usaha, (c) aspek keikutsertaan (para pelaku kemitraan) untuk menjamin keberlanjutan usaha, dan (d) aspek teknologi untuk menjamin teknik dan mutu produk.

Perencanaan pengembangan klaster industri memerlukan sistem pengukuran kinerja yang berguna untuk mengevaluasi kinerja klaster yang dibangun sehingga diketahui bagian sistem mana yang harus dipertahan dan diperbaiki dalam menyusun strategi kedepan. Carpinetti (2008) mengemukakan sejumlah indikator yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan klaster yang dikelompokkan kedalam empat kategori yaitu a) indikator ekonomi dan sosial,


(34)

b) kinerja perusahan, c) efisiensi kolektif dan d) modal sosial (Gambar 3). Indikator modal sosial menyangkut ukuran-ukuran yang berhubungan dengan nilai budaya seperti rasa saling percaya dan kerja sama yang terjadi. Indikator kinerja perusahan berkaitan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh agroindustri sebagai perusahan khususnya berkaitan dengan tingkat pertumbuhan dan daya saing yang dapat diukur melalui kinerja finansial dan non finansial. Manfaat sosial ekonomi berhubungan dengan kontribusi terhadap perekonomian lokal, lapangan kerja dan hasil-hasil lain yang menimbulkan manfaat ekonomi dan sosial. Sedangkan efisiensi kolektif berkaitan dengan ekonomi eksternal dan implementasi kerjasama antara pemangku kepentingan di dalam klaster.

KINERJA KLASTER INDUSTRI MODAL

SOSIAL

KINERJA PERUSAHAN AGROINDUSTRI

EFISIENSI KOLEKTIF MANFAAT SOSIAL EKONOMI

Gambar 3 Model pengukuran kinerja klaster industri (Carpinetti 2008) Pengukuran kinerja klaster industri juga dikemukakan oleh Departemen Perdagangan dan Industri Inggris (http://www.dti.gov.uk/files/file14008.pdf). Pengukuran tersebut disebut industrial development scoreboard (IDS). Metode ini

dibedakan atas: (1) competitive industrial performance (CIP) yang dilihat dari (a) volume dan nilai ekspor, (b) pangsa ekspor manufaktur berteknologi

menengah dan teknologi tinggi, (c) nilai tambah manufaktur, (d) pangsa nilai tambah manufaktur berteknologi menengah dan teknologi tinggi, dan (2) faktor pengungkit kemampuan dari CIP itu sendiri, diantaranya ketrampilan, penelitian dan pengembangan, investasi asing, royalti dan lisensi, dan infrastruktur.


(35)

Selain itu, Arthurs et al (2007) juga menawarkan sejumlah indikator yang

dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pengembangan suatu klaster industri yang terdiri atas indikator umum dan indikator khusus. Indikator umum didasarkan pada data statistik yang dipublikasikan yang meliputi (a) investasi pada penelitian dan pengembangan (R&D), (b) kompetensi sumberdaya manusia,

(c) paten, (d) pembelian teknologi. Sedangkan indikator khusus terdiri atas (a) keterkaitan rantai pasok dan forward market, (b) kerjasama (partnership),

(c) tukar menukar informasi dan pengetahuan (knowledge sharing), (d) modal sosial (social capital), dan (e) pengetahuan tacit sumberdaya lokal.

2.5. Pengembangan Inovasi dan Teknologi

Teknologi adalah sarana untuk melakukan suatu tugas, ke arah kehidupan manusia yang semakin baik dan sejahtera (Said 2001). Teknologi dapat juga dianggap sebagai pengetahuan dan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu, teknologi dapat diterapkan untuk merancang bangun suatu produk dan proses yang baru, atau pencarian ilmu yang baru. Oleh karena itu, pengelolaan teknologi yang kompleks di atas hendaknya dilakukan secara efektif dan efisien sehingga akan memperoleh hasil yang optimal.

Hubeis (1993) teknologi dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) teknologi standar dengan sistem produksi standar, peralatan standar, dan pekerja berkualifikasi sedang (contoh: susu pasteurisasi, sirup, dan selai buah-buahan skala menengah); (2) teknologi mutakhir dengan sistem produksi kompleks, peralatan kompleks, dan pekerja berkualifikasi tinggi (contoh: industri makanan dan minuman kaleng, kultur jaringan, dan industri kertas); (3) teknologi tradisional dengan sistem produksi standar, peralatan tidak banyak, dan pekerja kurang berkualifikasi (contoh: home industry gula merah batok, kerupuk sagu, dan ikan asin); (4) teknologi transisi dengan sistem produksi standar, peralatan sederhana sampai modern, dan pekerja kurang berkualifikasi (contoh: industri tempe dan tahu skala menengah, industri pakan ternak, dan nata de coco skala menengah).

Pengelolaan teknologi adalah suatu seni dan praktik dari manajemen teknologi yang fundamental. Dalam tingkat perusahaan agroindustri, pengelolaan


(36)

teknologi adalah suatu fungsi terpadu yang tunggal (a single integrated function),

yang beroperasi secara menyeluruh pada suatu organisasi (Said 2001). Semua aktivitas agroindustri seharusnya berusaha mengelola penelitian, pengembangan, manufakturing, kreativitas, inovasi dan berbagai isu tunggal secara terpadu dan diarahkan kepada tujuan-tujuan bisnis yang ideal.

Said (2001) menawarkan komponen-komponen spesifik yang harus diperhatikan dalam melakukan penilaian terhadap teknologi yang digunakan

dalam kegiatan industri. Komponen-komponen tersebut meliputi: 1) mendefinisikan isu bisnis, 2) mendefinisikan konteks bisnis, 3) menggambarkan teknologi, 4) meramalkan teknologi, 5) meramalkan dampak

pada industri, 6) mengidentifikasi respons-respons yang tersedia pada perusahaan, 7) menganalisis perubahan-perubahan pada struktur industri, 8) mengevaluasi dampak pada industri, 8) menganalisis respons-respons alternatif, 9) mengevaluasi respons-respons alternatif, 10) mengkomunikasikan hasil-hasil yang diperoleh, 11) mengalihkan teknologi, 12) melakukan partisipasi pada pengambilan posisi, dan 14) formulasi posisi.

Inovasi berkaitan dengan metode untuk melakukan sesuatu dan berhubungan dengan resiko-resiko, kegagalan, cara-cara berpikir yang baru mengenai manajemen dan tidak belajar dari cara-cara lama. Inovasi merupakan proses mengerjakan sesuatu yang baru (Stuti 2009), dan mempertimbangkan fenomena random dari berpikir kreatif (Fargerberg 2005). Penting disini adalah mengakui bahwa inovasi mengimplikasikan tindakan, bukan hanya pemahaman dan penyusunan ide-ide baru. Inovasi merupakan susunan dari komponen kepakaran, interaksi antara berbagai pihak, keragaman latar belakang narasumber, dan dapat diaplikasikan (Anonim 2008).

Dalam kaitannya dengan pengembangan industri kecil dan menengah, Little (1993) yang diacu dalam Stuti (2009) membagi inovasi kedalam 3 jenis yaitu (1) inovasi produk, (2) inovasi proses, dan (3) inovasi organisasional. Sejalan dengan itu, Anonim (2008) mengemukakan bahwa inovasi dapat menghasilkan sesuatu yang baru misalnya jenis produk, metode produksi, sumber pasokan, pasar dan eksploitasi pasar, serta cara mengorganisir bisnis.


(37)

Menurut Anonim (2008), inovasi merupakan resep yang disusun oleh komponen kepakaran/keahlian, interaksi, keragaman, dan aplikasi. Hal pokok yang berkaitan dengan kepakaran atau keahlian adalah bahwa penemuan, pengetahuan, dan pemikiran baru, dapat diperoleh dari semua orang sebagai sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Interaksi berkaitan dengan pentingnya tatap muka dalam melakukan tukar-menukar ide dan gagasan yang kemudian bersinergi untuk mengembangkan model-model bisnis baru. Ide-ide hanya akan menghasilkan sesuatu yang terbaik apabila ide-ide tersebut didiskusikan secara terbuka dan dipertimbangkan oleh berbagai orang yang memiliki beragam bidang ilmu, latar belakang, pendekatan dan cara berpikir. Himpunan ide-ide yang dihasilkan akan tidak berguna kecuali jika dapat digunakan.

Keberhasilan industri di negara-negara maju dalam meningkatkan nilai tambah serta mengembangkan daya-saingnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan dari organisasi dalam mengembangkan inovasi melalui proses pembelajaran disemua lini organisasi (Nonaka & Takeuchi 1995). Proses pembelajaran tersebut berangkat dari kepekaan terhadap perubahan perilaku konsumen. Untuk mengantisipasi perubahan, perusahan-perusahan Jepang melakukan pembaharuan teknologi, disain produk, proses produksi, pendekatan/metode pemasaran, bentuk distribusi, atau pelayanan pada konsumen. Pada saat mengalami ketidakpastian, setiap perusahan mencari informasi (pengetahuan) di luar organisasi. Mereka secara kontinue mengunjungi pemasok bahan baku, konsumen, distributor, agen pemerintah dan bahkan pesaing-pesaing mereka untuk mendapatkan pengetahuan atau pemahaman yang akan dijadikan petunjuk atau saran bagi pengambilan keputusan.

2.6. Metode Penunjang Keputusan

Dalam menghasilkan informasi-informasi dalam rangka menunjang proses pengambilan keputusan pengembangan suatu agroindustri maka dibutuhkan seperangkat metode dalam rangka pemecahan masalah yang dihadapi. Metode atau alat analisis yang digunakan dalam perancangan model agroindustri aren di Sulawesi Utara adalah sebagai berikut:


(38)

2.6.1. Teknik LQ (location quotient)

Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis (Rustiadi E et al. (2007). Teknik ini merupakan perbandingan relatif

antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Dalam prakteknya penggunaan teknik LQ meluas tidak terbatas pada bahasan ekonomi saja akan tetapi juga dimanfaatkan untuk menentukan sebaran komoditas atau melakukan identifikasi wilayah berdasarkan potensinya.

Dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan tujuan serta ketersediaan dan sumber data. Jika jumlah tenaga kerja dipakai untuk mengidentifikasi sebaran suatu agroindustri di suatu wilayah, maka formula LQ adalah sebagai berikut:

dimana,

= Koefisien location quotient

= Jumlah tenaga kerja agroindustri ke-i di wilayah ke-j

= Jumlah tenaga kerja agroindustri di wilayah ke-j

= Total tenaga kerja agroindustri ke-i di semua wilayah = Total tenaga kerja agroindustri di semua wilayah

Apabila koefisien LQ nilainya lebih besar dari 1 (satu) berarti bahwa agroindustri tersebut merupakan sektor basis suatu wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan wilayah lain. Nilai koefisien yang lebih kecil dari satu menyatakan sebaliknya dimana agroindustri tersebut bukan merupakan sektor unggulan dari wilayah yang bersangkutan

2.6.2. Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Proses AHP yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty (1994), memberikan perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan ketergantungan didalam dan diantara kelompok elemen struktur AHP merupakan suatu teori umum tentang pengukuranyang menentukan skala rasio baik terhadap perbandingan berpasangan diskrit dan juga terhadap perbandingan berpasangan yang kontinyu.


(39)

Menurut Saaty (1994), beberapa prinsip dalam menyelesaikan permasalahan dengan metode AHP yang harus dipahami :

a) Dekomposisi; Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan dekomposisi, yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi beberapa unsur. Agar lebih akurat hasilnya maka pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga akan didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan. Proses ini dinamakan hirarki.

b) Penilaian Perbandingan; Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP. Hasil penilaian ini akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemennya. Hasil penilaian ini biasanya disajikan dalam matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison).

c) Sintesa Prioritas; Dari setiap matriks perbandingan berpasangan kemudian dicari vektor Eigen untuk mendapatkan prioritas lokal. Karena matriks-matriks perbandingan berpasangan terdapat pada setiap level, maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif dilakukan melalui prosedur sintesa yang dinamakan priority setting.

d) Konsistensi Logika; Dua makna yang ada didalamnya yaitu bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi, dan tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

2.6.3. Interpretive Structural Modelling

Teknik interpretive structural modelling (ISM) merupakan pendekatan

dalam menganalisis sistem berdasarkan elemen serta menyajikannya dalam sebuah gambaran grafikal setiap hubungan langsungnya serta tingkat hirarki dari elemen tersebut (Eriyatno 2003). Prinsip dasarnya adalah identifikasi dan strukturisasi suatu sistem yang akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan pengambilan keputusan yang lebih tinggi khususnya dalam memformulasi kebijakan serta perencanaan strategis.

Sejalan dengan dengan pengertian tersebut, Eriyatno (2003) mengemukakan bahwa teknik ISM merupakan suatu proses pengkajian kelompok dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks


(40)

dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafik serta kalimat. Dalam teknik ISM, sistem yang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elernen-elemen di mana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen.

Saxena (1992) mengemukakan bahwa suatu sistem yang menjadi fokus pengembangan dapat dibagi kedalam sembilan elemen, yaitu: 1) sektor masyarakat yang terpengaruh, 2) kebutuhan dari program, 3) kendala utama, 4) perubahan yang dimungkinkan, 5) tujuan dari program, 6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, 7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, 8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan 9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.

Elemen mungkin saja menjadi objek dari kebijakan, tujuan dari suatu organisasi, faktor-faktor penilaian, dan lain-lain. Hubungan langsung dapat saja bervariasi dalam suatu konteks (merujuk pada hubungan kontekstual), seperti elemen ke-i „lebih baik dari‟ atau „adalah keberhasilan melalui‟ atau „akan

membantu keberhasilan‟ atau „lebih penting dari‟ elemen ke-j (Eriyatno 2003).

Secara eksplisit tahapan ISM adalah sebagai berikut:

a) Identifikasi elemen, dimana setiap elemen dari sistem diidentifikasi dan dicatat.

b) Merumuskan hubungan kontekstual antar elemen-elemen.

c) Menyusun matriks structural self interaction (SSIM), yaitu matriks persepsi

responden terhadap elemen serta hubungan langsung antar elemen. Empat simbol yang digunakan untuk menyajikan tipe hubungan tersebut yaitu: Simbol V untuk relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya; Simbol A untuk relasi elemen ke-j dengan elemen ke-i,

tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya; Simbol X untuk interrelasi antara elemen ke-i dengan elemen ke-j (berlaku dua arah); serta Simbol O untuk mempresentasikan bahwa elemen ke-i dan elemen ke-j adalah tidak berkaitan. d) Menyusun matriks reachability (RM), dengan cara merubah simbol-simbol

dalam SSIM menjadi matriks angka biner 1 dan 0. Aturan konversi yang digunakan adalah:


(41)

jika relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j = V maka elemen Eij=1 dan elemen

Eji=0, jika relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j = A maka elemen Eij=0 dan

elemen Eji=1, jika relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j = X maka elemen

Eij=1 dan elemen Eji=1, dan jika relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j = O,

maka elemen Eij=0 dan elemen Eji=0.

e) Penentuan jenjang (level partitioning), yaitu melakukan perintah untuk

mengklasifikasi elemen-elemen ke dalam tingkatan yang berbeda dalam sebuah struktur. Pada tahapan ini semua elemen yang dapat dicapai oleh elemen ke-i digabung dalam suatu reachability set (Ri) sedangkan semua

elemen yang dapat dicapai oleh elemen ke-j digabung dalam antecedent set

(Aj).

f) Penyusunan matriks kanonikal (canonical matrix), yaitu pengelompokan elemen yang memiliki tingkatan yang sama. Matriks ini memperlihatkan bahwa elemen yang berada pada segitiga bagian atas bernilai 0 dan pada segitiga bagian bawah bernilai 1. Matriks ini kemudian digunakan untuk mempersiapkan sebuah digraph.

g) Menyususn digraph, dimana elemen-elemen direpresentasikan secara grafikal bentuk hubungan langsungnya dan tingkat hirarkhi. Kemudian disederhanakan lagi melalui operasi pemindahan semua transitivitasnya sehingga diperoleh

digraph akhir.

Hasil akhir teknik ISM adalah elemen kunci, diagram struktur, dan matriks DP-D (Driver Power-Dependence) yang menggambarkan klasifikasi dari

sub-elemen. Klasifikasi sub elemen tersebut menurut Saxena et al (1992) terdiri atas:

a) Weak driver - weak dependent variables (Autonomous), umumnya sub

elemen tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat (Sektor I). b) Weak driver - strongly dependent variables (Dependent), peubah tidak bebas

dan akan terpengaruh oleh adanya program sebagai akibat tindakan terhadap sektor lain (Sektor II).

c) Strong driver - strongly dependent variables (Linkage), peubah harus dikaji


(42)

pada peubah tersebut akan membenkan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak (Sektor III).

d) Strong drive - weak dependent variables (Independent), peubah mempunyai

kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan program tetapi punya sedikit ketergantungan terhadap program (Sektor IV).

2.6.4. Metode Perbandingan Eksponensial

Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada setiap tahapan proses.

Menurut Marimin (2004), tahapan yang dilakukan dalam teknik MPE adalah : a) Menyusun alternatif-alternatif, b) Menentukan kriteria-kriteria penting dalam pengambilan keputusan, c) Melakukan penilaian terhadap kriteria, d) Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada masing-masing kriteria, dan e) Menghitung dan mengurutkan nilai daril setiap alternatif dari nilai yang terbesar sampai nilai yang terkecil.

Struktur model MPE adalah sebagai berikut : j

Krit ij

i Nilai

Na

dimana,

i

Na = Nilai akhir dari alternatif ke i ij

Nilai = Nilai dari alternatif ke i pada kriteria ke j j

Krit = Tingkat kepentingan kriteria ke j; Kritj› 0

n n

i 1,2,3,... ; = jumlah alternatif,

m m

j 1,2,3,... ; = jumlah kriteria.

2.6.5. Teknik Heuristik

Pendekatan heuristik merupakan suatu titik pandang dalam merancang suatu program dalam tugas pemrosesan informasi yang kompleks (Eriyatno 2003). Titik pandang tersebut bukan hanya terbatas pada program pengolahan angka biasa saja namun dapat juga digunakan oleh manusia dalam menangani berbagai persoalan. Teknik heuristik merupakan pengembangan dari operasi aritmatika dan logika matematika. Ciri-ciri heuristik secara umum adalah: a) adanya operasi aljabar yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, b) adanya


(43)

perhitungan yang bertahap, dan c) mempunyai tahapan yang terbatas sehingga dapat dibuat algoritma komputernya.

Turban & Aronzon (2001) mengatakan bahwa teknik heuristik merupakan metode dan aturan penemuan dalam pencarian ruang keadaan untuk memilih cara yang paling sesuai dan dapat diterima dalam memecahkan masalah. Namun demikian menurut Eriyatno (2003), pendekatan heuristik tidak menjamin adanya pemecahan yang optimal tetapi memberikan solusi yang memuaskan pengambil keputusan. Pemilihan penggunaan teknik ini biasanya didasarkan atas pertimbangan untuk menyederhanakan lingkup pengambilan keputusan serta kemudahan dalam memecahkan masalah yang kompleks dalam waktu singkat.

Sebagai contoh untuk mengolah menjadi suatu kesimpulan, pengetahuan dibuat dalam bentuk kaidah if-then (jika-maka) atau if-then-else. Menurut Marimin (2005), bentuk dasar metoda representasi pengetahuan berbasis kaidah adalah: if <kondisi> then <aksi>, atau if <kondisi> then <konklusi> atau if

<anteseden> then <konsekuen> atau if <evidence> then <hypothesis>. Dengan demikian sebuah kaidah (rules) basis pengetahuan terdiri atas dua bagian yaitu bagian if (jika) yang menyatakan kondisi, enteseden atau evidence yang harus dipenuhi, serta then (maka) yang menyatakan konklusi, konsekuen atau

hypothesis yang dapat diambil bila bagian if terpenuhi. Strategi penalaran yang

digunakan mengikuti metode modus ponens atau hypothetical syllogism atau

sistem penalaran pasti. Dalam modus ponens, sebuah kaidah bernilai benar dalam

bagian if maka bagian then pasti bernilai benar. Mekanisme penalaran

menggunakan gabungan metode forward chaining dan backward chaining secara

bersama-sama sehingga mampu membentuk pembuktian yang lengkap.

2.6.6. Analisis Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finanasial merupakan aspek yang penting dan harus dipertimbangkan dalam perencanaan investasi usaha bisnis apapun. Gittinger 1991 dan Brown 1994, penilaian terhadap kelayakan investasi umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kriteria, diantaranya titik impas (break even point), periode kembali modal (payback period), nilai bersih saat sekarang (net present value), tingkat pengembalian internal (internal rate return), B/C ratio, dan analisis sensitivitas


(1)

Lampiran 19f Internal Rate of Return

Tahun

Bt-Ct

i' = 4% i'' =5%

DF NPV' DF NPV''

0 (652,500,000) 1.000 (652,500,000) 1.000 (652,500,000)

1 -1,773,308,000 0.962 (1,705,103,846) 0.952 (1,688,864,762)

2 -591,675,200 0.925 (547,036,982) 0.907 (536,666,848)

3 159,247,600 0.889 141,570,537 0.864 137,564,064

4 252,840,400 0.855 216,129,034 0.823 208,012,423

5 346,433,200 0.822 284,742,838 0.784 271,439,477

6 440,026,000 0.790 347,758,939 0.746 328,354,176

7 533,618,800 0.760 405,506,432 0.711 379,232,919

8 627,211,600 0.731 458,297,373 0.677 424,521,499

9 720,804,400 0.703 506,427,610 0.645 464,636,943

10 814,397,200 0.676 550,177,568 0.614 499,969,235

TOTAL 5,969,501 (164,300,874)

Lampiran 19g Pay Back Period (PBP)

Tahun Bt-Ct Akumulasi

0 (652,500,000) (652,500,000) 1 -1,773,308,000 (2,425,808,000) 2 -591,675,200 (3,017,483,200) 3 159,247,600 (2,858,235,600) 4 252,840,400 (2,605,395,200) 5 346,433,200 (2,258,962,000) 6 440,026,000 (1,818,936,000) 7 533,618,800 (1,285,317,200) 8 627,211,600 (658,105,600) 9 720,804,400 62,698,800 10 814,397,200 877,096,000


(2)

115

Lampiran 20 Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi harga produk turun sebesar 20%

URAIAN Tahun 0 Tahun1 Tahun2 Tahun3 Tahun4 Tahun5 Tahun6 Tahun7 Tahun8 Tahun9 Tahun10 Jumlah

Persen Produksi 0% 50% 75% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

Produksi Gula Semut (kg) 202,500 303,750 405,000 405,000 405,000 405,000 405,000 405,000 405,000 405,000

Harga Gula Semut (Rp/kg) 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000

Total Penerimaan (Rp/kg) 2,430,000,000 3,645,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 44,955,000,000 Investasi:

Tanah 20,000,000

Bangunan 125,000,000

Mesin dan Alat 472,000,000

Fasilitas 20,500,000

Pra Investasi 15,000,000

Biaya Tetap : 339,950,000 339,950,000 339,950,000 339,950,000 339,950,000 339,950,000 339,950,000 339,950,000 339,950,000 339,950,000 3,399,500,000

Gaji Pegawai 228,000,000 228,000,000 228,000,000 228,000,000 228,000,000 228,000,000 228,000,000 228,000,000 228,000,000 228,000,000

Pemasaran 12,000,000 12,000,000 12,000,000 12,000,000 12,000,000 12,000,000 12,000,000 12,000,000 12,000,000 12,000,000

Penyusutan 55,575,000 55,575,000 55,575,000 55,575,000 55,575,000 55,575,000 55,575,000 55,575,000 55,575,000 55,575,000

Perawatan 12,350,000 12,350,000 12,350,000 12,350,000 12,350,000 12,350,000 12,350,000 12,350,000 12,350,000 12,350,000

Asuransi 29,850,000 29,850,000 29,850,000 29,850,000 29,850,000 29,850,000 29,850,000 29,850,000 29,850,000 29,850,000

PBB 2,175,000 2,175,000 2,175,000 2,175,000 2,175,000 2,175,000 2,175,000 2,175,000 2,175,000 2,175,000

Biaya Variabel 2,069,970,000 2,365,680,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 28,092,450,000

Bahan Baku 1,890,000,000 2,160,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000

Kemasan 68,250,000 78,000,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000 97,500,000

Utilitas 111,720,000 127,680,000 159,600,000 159,600,000 159,600,000 159,600,000 159,600,000 159,600,000 159,600,000 159,600,000

Angsuran Pokok 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 Angsuran Bunga 692,928,000 623,635,200 554,342,400 485,049,600 415,756,800 346,464,000 277,171,200 207,878,400 138,585,600 69,292,800

Total Pengeluaran 652,500,000 3,487,808,000 3,714,225,200 4,236,352,400 4,167,059,600 4,097,766,800 4,028,474,000 3,959,181,200 3,889,888,400 3,820,595,600 3,751,302,800 39,805,154,000 Laba Sebelum Pajak (652,500,000) (1,057,808,000) (69,225,200) 623,647,600 692,940,400 762,233,200 831,526,000 900,818,800 970,111,600 1,039,404,400 1,108,697,200 5,149,846,000 PPN (30%) (317,342,400) (20,767,560) 187,094,280 207,882,120 228,669,960 249,457,800 270,245,640 291,033,480 311,821,320 332,609,160


(3)

Lampiran 21a Keuntungan total sebelum pajak

A. Total Penerimaan 44.955.000.000

B. Total Pengeluaran 39.805.154.000

Total keuntungan sebelum pajak = A-B

Keuntungan Total sebelum pajak 5.149.846.000 Lampiran 21b Break Even Point (BEP)

A. Biaya Tetap 3.399.500.000

B. Biaya Variabel 28.092.450.000

C. Hasil Penjualan 44.955.000.000

BEP = A/(1-(B/C))

BEP 9.062.954.446

Lampiran 21c Benefit Cost Ratio

A. Penerimaan Kotor 44.955.000.000

B. Biaya Produksi Total 39.805.154.000

B/C Ratio = A/B

B/C Ratio 1.13

Lampiran 21d Return of Investment (ROI)

A. Keuntungan total sebelum pajak 5.149.846.000 B. Biaya Produksi Total 39.805.154.000

ROI = (A/B)x100%

ROI 12.94%

Lampiran 21e Net Present Value (NPV)

Tahun Bt-Ct 18% NPV

0 (652,500,000) 1.000 (652,500,000) 1 -1,057,808,000 0.847 (896,447,458) 2 -69,225,200 0.718 (49,716,461) 3 623,647,600 0.609 379,571,183 4 692,940,400 0.516 357,410,949 5 762,233,200 0.437 333,179,157 6 831,526,000 0.370 308,023,456 7 900,818,800 0.314 282,789,572 8 970,111,600 0.266 258,086,709 9 1,039,404,400 0.225 234,340,032 10 1,108,697,200 0.191 211,832,639


(4)

117

Lampiran 21f Internal Rate of Return

Tahun Bt-Ct i' =27% i'' = 28%

DF NPV' DF NPV''

0 (652,500,000) 1.000 (652,500,000) 1.000 (652,500,000) 1 -1,057,808,000 0.787 (832,919,685) 0.781 (826,412,500) 2 -69,225,200 0.620 (42,919,710) 0.610 (42,251,709) 3 623,647,600 0.488 304,458,492 0.477 297,378,349 4 692,940,400 0.384 266,367,355 0.373 258,140,415 5 762,233,200 0.303 230,711,507 0.291 221,839,058 6 831,526,000 0.238 198,177,118 0.227 189,067,123 7 900,818,800 0.188 169,048,528 0.178 160,017,564 8 970,111,600 0.148 143,348,096 0.139 134,630,029 9 1,039,404,400 0.116 120,934,736 0.108 112,692,451 10 1,108,697,200 0.092 101,572,406 0.085 93,910,306

TOTAL 6,278,845 (53,488,914)

Lampiran 21g Pay Back Period (PBP)

Tahun Bt-Ct Akumulasi

0 (652,500,000) (652,500,000) 1 -1,057,808,000 (1,710,308,000) 2 -69,225,200 (1,779,533,200) 3 623,647,600 (1,155,885,600) 4 692,940,400 (462,945,200) 5 762,233,200 299,288,000 6 831,526,000 1,130,814,000 7 900,818,800 2,031,632,800 8 970,111,600 3,001,744,400 9 1,039,404,400 4,041,148,800 10 1,108,697,200 5,149,846,000


(5)

TOMMY FERDY LOLOWANG. Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Agroindustri Aren di Sulawesi Utara. Dibimbing oleh DJUMALI MANGUNWIDJAJA, MARIMIN, ANAS MIFTAH FAUZI, dan TITI CANDRA SUNARTI.

Agroindustri aren memiliki potensi untuk dikembangkan, baik ditinjau dari ketersediaan bahan baku, tenaga kerja, proses produksi, maupun peluang pasar. Pengembangan industri ini mempunyai arti penting karena dapat memperluas kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah pedesaan.

Penelitian bertujuan untuk mendapatkan model penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri yang menggunakan bahan baku yang berasal dari tanaman aren di Sulawesi Utara. Sistem model yang dibangun dianalisi dengan menggunakan beberapa teknik pendekatan. Sub model lokasi pengembangan klaster digunakan teknik loqation quotient dan analitycal hirarchy process (AHP), sub

model industri inti menggunakan teknik AHP, sub model kelembagaan klaster menggunakan teknik interpretive structural modelling, sub model pemilihan produk menggunakan teknik AHP, sub model penentuan kapasitas olah dan teknologi pengolahan menggunakan metode perbandingan eksponensial. Sedangkan sub model penilayan kelayakan investasi menggunakan kriteria-kriteria finansial.

Berdasarkan keluaran model, lokasi pengembangan klaster agroindustri aren prioritas di Sulawesi Utara adalah Kabupaten Minahasa Selatan, diikuti oleh Kota Tomohon, dan Kabupaten Minahasa. Sedangkan agroindustri inti prospektif untuk dikembangkan adalah agroindustri gula aren, diikuti oleh agroindustri bioetanol dan agroindustri minuman beralkohol.

Model kelembagaan pengembangan klaster yang dibangun terdiri dari lima elemen sistem yaitu elemen tujuan pengembangan, elemen pelaku, elemen kendala, elemen aktivitas dan elemen indikator keberhasilan. Berdasarkan hasil analisis struktur sistem terhadap elemen-elemen tersebut diperoleh masing-masing: (1) Sub elemen kunci tujuan pengembangan klaster agroindustri aren adalah meningkatkan pendapatan petani penyadap aren, meningkatkan nilai tambah agroindustri, dan meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi; (2) Sub elemen kunci pelaku pengembangan adalah pemilik lahan, petani penyadap, agroindustri pengolahan, industri terkait / pendukung, pedagang perantara, kelompok tani dan koperasi; (3) Sub-elemen kunci kendala pengembangan adalah kurangnya dukungan dari pemerintah, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan rendahnya kemampuan manajerial; (4) Sub elemen kunci aktivitas pengembangan adalah pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren, pengembangan kerjasama dengan industri / lembaga terkait, dan pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi; dan (5) Sub-elemen kunci indikator keberhasilan pengembangan adalah peningkatan


(6)

jumlah dan bentuk kerjasama antar pelaku dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi

Model pemilihan teknologi yang didahului dengan penentuan produk unggulan menunjukan bahwa usaha agroindustri gula semut merupakan produk yang paling potensi untuk dikembangkan. Kapasitas olah unit pengolahan gula semut yang terpilih adalah 5.000 l nira per satu kali olah. Sedangkan teknologi proses yang

dianjurkan teknik open pan dengan vacum evaporator.

Model kelayakan usaha agroindustri aren khususnya usaha pengolahan gula semut menunjukan bahwa pada tingkat kapasitas olah 5.000 l, harga jual di tingkat

pabrik sebesar Rp15.000,00 per kg adalah layak dan menguntungkan untuk dilaksanakan. Keuntungan bersih yang diperoleh adalah Rp1.192.876.720,00 per thn dengan tingkat pengembalian modal mencapai 41,17%.

Model simulasi kelayakan usaha menunjukan bahwa jika harga produk mengalami penurunan sebesar 20% menjadi Rp12.000,00 per kg maka usaha pengolahan agroindustri gula semut tersebut masih menguntungkan karena koefisien-koefisien indikator yang diperoleh masih berada pada kategori layak dimana keuntungan bersih rata rata yang diperoleh adalah Rp406.164.220,00 per thn. Namun apabila harga bahan baku mengalami kenaikan sebesar 50% menjadi Rp1.500,00 per l, maka usaha pengolahan gula semut tersebut secara ekonomi tidak