Strategi pengembangan agroindustri sutera alam melalui pendekatan klaster

(1)

MELALUI PENDEKATAN KLASTER

Oleh :

DJONI TARIGAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2008

Djoni Tarigan NRP. 995150


(3)

ABSTRACT

A strategy of silk agroindustrial development can be done through a cluster approach. This approach may increase the competitiveness of this type of agroindustry because it will create vertical and horizontal relationships, complementarities and commonalities. The relationship may lead to the more economical agroindustrial activities.

This study was intended to develop a model of silk agroindustrial development strategy through cluster approach in order to increase its competitiveness. In this study several important factors in forming industrial cluster such as linkage, core industry, geographic concentration and institution have been explored. Core industry is needed as a prime mover for linkage industries and institutions. It may well manage, support and coordinate all of stakeholders involved in the cluster.

The model consists of (1) cluster location model, (2) core industry development model, (3) institution development model, (4) financial development model, (5) price harmonisation model. Model and data were integrated in computer based Decision Support System (DSS) called AI-Sutera.

The results of the study are as follows : (1) the cluster location is Wajo, South Sulawesi, (2) the core industry is silk weaving industry, (3) the main problems in core industry are technology obsolete, low quality of raw material, and limited capital, (4) The Government and other interconnected institutions are suggested to overcome the problems, (5) The proposed institution is Unit Layanan Pengembangan Usaha (ULPU). Central, Province and Regional Government and Facilitator play a significant role in the cluster development. Other interconnected stakeholders such as Silk Association, Research and Development Institution, Importer, University, Exporters also have to support Government and facilitator to develop the cluster, (6) Financial analysis gives the results that farmers producing cocoon, silk spinning industry, silk weaving and batik industry are feasible to be developed since all of them have NPV >0, IRRs are higher than the market interest rate and Net B/Cs > 1.

Even though all of silk agroindustry are feasible, their incomes are not equal. Farmer who produces cocoon gets the lowest income. Integration of cocoon producer, spinning, weaving and batik industries in the cluster may harmonize their incomes. By using calculation with constant batik price (Rp. 560,000/pieces), B/C 1.34, the price of cocoon, silk yarn and silk woven can be raised. Then, it will enable to promote silk agroindustry.


(4)

DJONI TARIGAN. Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster. Dibimbing oleh ANAS M. FAUZI, MARIMIN, ANI SURYANI, SUKARDI dan MIEN KAOMINI.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model sistem pengembangan agroindustri sutera alam melalui pendekatan klaster dalam rangka peningkatan daya saing. Basis model diintegrasikan dengan basis data dalam sistem penunjang keputusan berbasis komputer yang diberi nama model AI-Sutera. Pengembangan model agroindustri sutera alam mencakup aspek lokasi pengembangan, industri inti, kelembagaan, finansial dan kesetaraan harga.

Metode penelitian yang digunakan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan adalah Expert Survey yaitu melakukan wawancara dan pengisian kuesioner yang mendalam kepada sejumlah ahli/pakar. Penentuan ahli/pakar dilakukan melalui metode purposive sampling. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait. Metode pengolahan data pada model identifikasi lokasi pengembangan klaster dilakukan dengan metode Location Quotient (LQ) sedangkan untuk pemilihan lokasi digunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Identifikasi rantai nilai industri dilakukan dengan metode Independent Preference Evaluation (IPE) dan pemilihan industri inti dilakukan dengan metode AHP.

Identifikasi elemen sistem pengembangan industri inti dan kelembagaan menggunakan kaidah IPE, dan model strukturisasi elemen menggunakan metode Interpretative Structural Modelling (ISM). Pada model kelayakan usaha digunakan analisa Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Pay Back Period (PBP).

Kabupaten Wajo sebagai lokasi potensial untuk pengembangan klaster dengan industri inti adalah industri pertenunan. Tujuan utama pengembangan industri inti adalah meningkatkan pemasaran, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, meningkatkan kualitas dan mengembangkan disain. Pencapaian tujuan kunci akan mendukung tercapainya tujuan lainnya. Industri inti merupakan penggerak utama dalam klaster, dengan berkembangnya industri inti, industri terkait dan pendukung lainnya dapat ikut berkembang.

Untuk mencapai tujuan tersebut kendala yang dihadapi industri inti yaitu keterbatasan teknologi, rendahnya kualitas bahan baku dan keterbatasan modal usaha harus diselesaikan terlebih dahulu melalui aktivitas peningkatan keterkaitan dengan lembaga keuangan, pengadaan bahan baku berkualitas, meningkatkan kemampuan teknologi, dan meningkatkan kemampuan SDM. Permasalahan tersebut tentunya tidak dapat diselesaikan oleh industri inti tersebut sendirian, tetapi memerlukan dukungan dari industri/institusi lain seperti pemerintah baik pusat, pemerintah daerah serta instansi/lembaga terkait lainnya.

Untuk mengkoordinasikan semua pihak terkait dalam upaya penyelesaian masalah yang dihadapi usaha agroindustri sutera alam perlu dibentuk suatu lembaga. Pengembangan kelembagaan dilakukan dengan pembentukan suatu organisasi berbentuk jaringan yang dapat berfungsi sebagai koordinator, fasilitator dan mediator secara efektif, efisien dan sinergis. Lembaga dapat berbentuk Unit Layanan Pengembangan Usaha (ULPU) dan merupakan forum kerjasama lintas institusi


(5)

Masing–masing anggota memiliki komitmen melakukan kerjasama saling menguatkan dan menjalankan fungsinya sebaik mungkin. Keberhasilan lembaga tersebut tentunya harus didukung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu perlunya komunikasi yang intensif antar semua anggota klaster, peningkatan kerjasama/network, adanya industri inti yang berperan sebagai penggerak utama usaha baik ke hulu maupun ke hilir, dukungan fasilitator untuk melakukan fasilitasi misalnya mengkoordinir pertemuan–pertemuan anggota dan adanya pimpinan dengan kemampuan mengelola organisasi serta jiwa kewirausahaan yang tinggi.

Selain faktor penting untuk keberhasilan, faktor penghambat pembentukan klaster juga perlu diperhatikan. Hambatan pembentukan klaster adalah kurangnya pemahaman pengusaha tentang manfaat klaster, sulitnya melakukan koordinasi sesama stakeholder dan belum adanya sikap saling percaya antar pengusaha. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan peran pemerintah dalam melaksanakan koordinasi serta meningkatkan kesadaran pengusaha untuk dapat bekerjasama dan saling mempercayai, serta mensosialisasikan konsep klaster kepada pengusaha sehingga mereka dapat mengerti tentang manfaat klaster tersebut.

Model kelayakan usaha menunjukkan bahwa usaha agroindustri sutera alam yang meliputi usaha pemeliharaan ulat sutera, pemintalan sutera, pertenunan sutera dan pembatikan serta usaha integrasi adalah layak untuk dikembangkan, namun dilihat dari sisi pemerataan pendapatan masih belum seimbang. Hasil pengolahan data model keseimbangan untuk integrasi usaha dari pemelihara ulat sutera, pemintalan, pertenunan dan pembatikan dengan kesetaraan B/C sebesar 1,34, harga batik sebesar Rp 560.000/stel, maka harga kain, benang, kokon dapat ditingkatkan. Untuk integrasi usaha dari pemelihara ulat sutera, pemintalan, dan pertenunan dengan kesetaraan B/C sebesar 1,26 , harga kain Rp 60.0000/meter, maka harga benang dan kokon dapat ditingkatkan. Untuk integrasi usaha dari pemelihara ulat sutera dan pemintalan dengan kesetaraan B/C sebesar 1,21, harga benang sebesar Rp 315.000/kg, maka harga kokon dapat ditingkatkan. Peningkatan harga kokon, benang dan kain dapat memberikan dampak pemerataan penghasilan dan jaminan kelangsungan usaha bagi ketiga usaha tersebut. Hasil analisa sensitivitas menunjukkan bahwa harga jual minimal untuk mencapai BEP dari kokon adalah Rp 24.064/kg, benang sebesar Rp 318.685/kg, kain sebesar Rp 58.784/meter dan kain batik Rp 542.370/stel.

Implementasi pengembangan agroindustri sutera alam dengan pendekatan klaster memerlukan dukungan kebijakan pemerintah dalam pembentukan Unit Layanan Pengembangan Usaha sebagai forum kerjasama; peningkatan teknologi melalui bantuan mesin/peralatan kepada kelompok usaha maupun Unit Pelayanan Teknis, peningkatan sumber daya manusia melalui keterampilan dan sosialisasi peningkatan kesadaran pengusaha untuk peningkatan kerjasama serta mengubah sikap untuk mengikuti perubahan jaman serta peningkatan permodalan melalui fasilitasi akses ke lembaga keuangan maupun penyediaan modal melalui skema-skema perkreditan bagi IKM.


(6)

Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

MELALUI PENDEKATAN KLASTER

DJONI TARIGAN

995150

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Nrp : 995150

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Anas M. Fauzi, M.Eng Ketua

Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Anggota Anggota

Dr. Ir. Sukardi, MM Dr. Ir. Mien Kaomini, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 17 Januari 2008 Tanggal Lulus :


(9)

berkat dan rakhmatNya penulisan disertasi dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini tidak lupa kami memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ketua Komisi Pembimbing Bapak Dr. Ir. Anas M. Fauzi, M.Eng, dan para anggota Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Marimin, M.Sc, Ibu Dr. Ani Suryani, DEA, Bapak Dr. Ir. Sukardi, MM dan Ibu Dr. Ir. Mien Kaomini, M.Sc atas bantuan, bimbingan, nasehat, dorongan semangat, dan waktu yang diberikan kepada kami selama ini dengan sabar, penuh pengertian, dan keikhlasan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

Penghargaan kami sampaikan pula kepada Bapak Prof. Dr. Endang Gumbira Sa’id, MADev sebagai penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, Ibu Dr. Atih Suryati Herman, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Dida, M.Sc, sebagai penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, atas segala saran, masukan dan waktunya untuk penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada para personalia di bawah ini : Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian, Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah membantu dan membekali ilmu selama mengikuti pendidikan.

Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian beserta Staf dan rekan-rekan di Departemen Perindustrian.

Penghargaan setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan dan Staf Departemen Perindustrian, Menegkop UKM, Dephut, Pimpinan dan Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan dan Dinas yang menangani sektor industri Kabupaten-Kota se Provinsi Sulawesi Selatan, Pimpinan dan Staf pada Kantor Pusat Badan Pusat Statistik di Jakarta, serta para nara sumber lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan informasi, masukan dan kemudahan selama penelitian dilakukan.

Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Drg Ita Paulina Sembiring, ananda Rinesia Tarigan, SKG dan Fidela Tarigan serta seluruh kerabat dan teman atas doa, kesabaran, dorongan, bantuan dan pengertian yang diberikan secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan, dan tidak lupa ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Dr.Ir. Halim Mahfud M.Sc, Ir.Roni Wijaya, Arief Guntoro, Iskandar Zulkarnaen, S.Teks, MM dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak sekali membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan tidak luput dari kelemahan dan kekurangan, sehingga saran untuk perbaikan akan kami terima dengan segala ketulusan hati.

Bogor, Maret 2008 Djoni Tarigan


(10)

1953 sebagai anak ketiga dari pasangan Merhat Tarigan (Alm) dan Tumpun Ginting (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Institut Teknologi Tekstil Bandung jurusan Teknik Tekstil, lulus pada tahun 1981. Pada tahun 1992 penulis mengikuti program pascasarjana jurusan Business Administration di Birmingham University, Inggris, dengan beasiswa dari Departemen Keuangan dan selesai pada tahun 1994. Selanjutnya pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke program Doktor pada program studi Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor dengan biaya sendiri.

Setelah menyelesaikan program S1 pada tahun 1981-1982 penulis bekerja di Pabrik Pemintalan PT. Putra Sejati Bogor dan sejak 1982-1984 di PT. Bara Exab Indonesia. Terhitung mulai 1 Maret 1985 sampai sekarang penulis bekerja di Departemen Perindustrian, Jakarta.

Pada tahun 1984, penulis menikah dengan Drg. Ita Paulina Sembiring putri dari Bapak Petrus Sembiring dan Ibu Hana Sinulingga. Penulis telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang bernama Rinesia Tarigan, SKG dan Fidela Eniraisa Tarigan.


(11)

Ujian Tertutup

Penguji luar komisi : Prof. Dr. Endang Gumbira Sa’id, MADev Ujian Terbuka

Penguji luar komisi : 1. Dr. Ir. Atih Suryati Herman, M.Sc 2. Dr. Ir. Dida Heryadi Salya, MA


(12)

DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GAMBAR ...

DAFTAR LAMPIRAN ...

DAFTAR ISTILAH ...

i iii v vii viii

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Tujuan Penelitian ... 1.3. Ruang Lingkup Penelitian ...

1 9 9

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agroindustri Sutera Alam ... 2.2. Jenis-Jenis Murbei dan Pemeliharaan Ulat Sutera ... 2.3. Industri Pemintalan Sutera Alam ... 2.4. Industri Pertenunan ... 2.5. Industri Pembatikan ... 2.6. Pemasaran ... 2.7. Prospek Pengembangan ... 2.8. Konsep Klaster ... 2.9. Membangun Keunggulan Daya Saing ... 2.10. Konsep Rantai Nilai ... 2.11. Kelembagaan ... 2.12. Pendekatan Sistem ... 2.13. Sistem Penunjang Keputusan ... 2.14. Metode Pengambilan Keputusan ...

7 8 13 14 15 16 17 18 36 39 43 44 45 48

III METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran ... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.3. Tahapan Penelitian ...

62 66 66

IV ANALISA SISTEM

4.1. Analisa Situasional Agroindustri Sutera ... 4.2 Agroindustri di Sulawesi Selatan ... 4.3. Analisis Kebutuhan ... 4.4. Formulasi Permasalahan ... 4.5. Identifikasi Sistem ...

71 72 74 79 80 i


(13)

5.2. Sistem Manajemen Basis Model ... 5.3. Model Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ... ... melalui Pendekatan Klaster

85 85 5.4. Model Pemilihan Lokasi Pengembangan Klaster Agroindustri

Sutera Alam ... 5.5. Model Pemilihan Industri Inti ... 5.6. Model Pengembangan Industri Inti ... 5.7. Model Pengembangan Kelembagaan ... 5.8. Model Kelayakan Usaha ... 5.9. Model Kesetaraan Harga ... 5.10. Sistem Manajemen Basis Data ... 5.11. Sistem Manajemen Terpusat ...

86 87 88 90 92 98 99 100

VI PEMODELAN SISTEM KLASTER

6.1. Model Lokasi Pengembangan ... 6.2. Model Industri Inti ... 6.3. Model Kelembagaan ... 6.4. Model Kelayakan Usaha ... 6.5. Model Kesetaraan Harga ... 6.6. Verifikasi dan Validasi Model ...

102 108 124 138 147 149

VII PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM

7.1. Kebijakan Pengembangan Klaster ... 7.2. Pengembangan Klaster Agroindustri Sutera Alam ... 7.3. Implikasi Kebijakan Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ..

151 155 160

VIII KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpulan ... 8.2. Saran ...

182 184

DAFTAR PUSTAKA 185

LAMPIRAN 192


(14)

1 Perkembangan IKM Pemintalan dan Pertenunan Sutera

Tahun 2002-2005 ... 7

2 Skala Banding Berpasangan Pada AHP ... 52

3 Kebutuhan Pelaku Agroindustri Sutera Alam ... 76

4 Kebutuhan Saling Bersinergi ... 77

5 Kebutuhan yang Menciptakan Konflik ... 78

6 Kebutuhan yang Tidak Saling Mempengaruhi ... 78

7 Konfigurasi Basis Model Sistem Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ... 85

8 Data Kegiatan Budidaya Sutera Alam di Sulsel Tahun 2006 ... 103

9 Data Industri Pemintalan Sutera Alam di Sulsel Tahun 2006 ... 103

10 Data Industri Pertenunan Sutera Alam di Sulsel Tahun 2006 ... 104

11 Jumlah Unit Usaha Sutera Alam di Sulsel Tahun 2006 ... 105

12 Jumlah Unit Usaha Sutera Alam dan Location Quotient 2006 ... 106

13 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Kendala Pengembangan ………. 112

14 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Kebutuhan ……… 115

15 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Tujuan … 118 16 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Aktivitas.. 121

17 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Pelaku/Lembaga ……….. 126

18 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Keberhasilan Pengembangan Klaster ... 129

19 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Hambatan Pembentukan Klaster ……… 132

20 Reachability Matrix Final dan Interpretasinya dari Elemen Peran Pemerintah ……… 135

21 Analisis Kelayakan Usaha Agroindustri Sutera Alam ... 139

22 Hasil Analisis Sensitivitas Perubahan Harga Jual Kokon Terhadap Kriteria Investasi Pada Pemeliharaan Ulat Sutera ... 140

23 Hasil Analisis Sensitivitas Perubahan Harga Jual Benang Terhadap Kriteria Investasi Pada Industri Pemintalan Sutera ... 140

24 Hasil Analisis Sensitivitas Perubahan Harga Jual Kain Terhadap Kriteria Investasi Pada Industri Pertenunan Sutera ... 141

25 Hasil Analisis Sensitivitas Perubahan Harga Jual Kain Batik Terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pembatikan Sutera ... 141

26 Hasil Analisa Sensitivitas Peningkatan Harga Jual Kokon, Benang, Kain dan Batik Terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Agroindustri Sutera Alam... 142

27 Hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Bahan Baku Kokon terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pemintalan... 142


(15)

iv 29 Hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Bahan Baku Kain

terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pembatikan ... 144 30 Hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Biaya Pemasaran Terhadap

Kriteria Investasi Pada Masing-masing Usaha Agroindustri Sutera

Alam ……….. 144 31 Kebutuhan Pasokan Pada Usaha Integrasi Pemelihara Ulat Sutera,

Pemintalan, Pertenunan dan Pembatikan ... 146 32 Kebutuhan Pasokan Pada Usaha Integrasi Petani/pemelihara Ulat

Sutera, Pemintalan, dan Pertenunan ... 146 33 Hasil Analisa Kelayakan Usaha Integrasi Petani/pemelihara Ulat

Sutera dan Pemintalan ... 147 34 Hasil Analisis Kesetaraan B/C Usaha Integrasi Petani/pemelihara

Ulat Sutera, Pemintalan, Pertenunan dan Pembatikan ... 148 35 Hasil Analisis Kesetaraan B/C Usaha Integrasi Petani/pemelihara

Ulat Sutera, Pemintalan dan Pertenunan ... 148 36 Hasil Analisis Kesetaraan B/C Usaha Integrasi Petani/pemelihara


(16)

1 Alur Proses Usaha Sutera Alam ... 8

2 Berbagai Jenis Murbei ... 11

3 Pohon Murbei, Pemeliharaan Ulat Sutera dan Kokon ... 13

4 Mesin Reeling (Pemintalan) Sutera Otomatis, Mesin Reeling Sutera Konvensional dan Benang Sutera Hasil Reeling ... 14

5 Alat Tenun Bukan Mesin , Kain Sutera Produksi Thailand... 15

6 Proses Pembatikan dengan Cap dan Tulis serta Kain Batik... 16

7 Grafik Perkembangan Ekspor Produk Sutera ... 17

8 Grafik Perkembangan Impor Produk Sutera ... 17

9 Sistem Nilai (value System) ... 27

10 Model Keterkaitan Strategi Klaster ... 34

11 Berlian Keunggulan Daya Saing Industri Nasional ... 36

12 Siklus Integrasi Perusahaan dalam Persaingan ... 39

13 Rantai Nilai Dalam Perusahaan ... 41

14 Sistem Nilai Dalam Perusahaan ... 41

15 Struktur Dasar Sistem Penunjang Keputusan ... 47

16 Struktur Hirarki AHP ... 51

17 Matriks DP-D untuk Elemen Tujuan ... 55

18 Kerangka Pemikiran Konseptual Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 64

19 Diagram Alir Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 65

20 Peta Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara ... 73

21 Diagram Sebab Akibat Sistem Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 80

22 Diagram Input-Output Sistem Pengembangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 81

23 Konfigurasi Sistem Pendukung Keputusan Strategi Pengembangan Agroindustri Sutera dengan Pendekatan Klaster ... 84

24 Diagram Alir Model Pemilihan Lokasi Pengembangan Klaster ... 86

25 Diagram Alir Model Pemilihan Industri Inti Agroindustri Sutera Alam ... 87

26 Diagram Alir Sub Model Identifikasi Elemen Pengembangan Industri Inti ... 88

27 Diagram Alir Sub Model Strukturisasi Elemen Pengembangan Industri Inti ... 89

28 Diagram Alir Sub Model Identifikasi Elemen Pelaku/Lembaga ... 90

29 Diagram Alir Sub Model Strukturisasi Elemen Pelaku/Lembaga ... 91

30 Diagram Alir Sub Model Kelayakan Usaha Kebun dan Pemeliharaan Ulat Sutera ... 93


(17)

34 Diagram Alir Sub Model Kelayakan Usaha Integrasi ... 97

35 Diagram Alir Model Kesetaraan/Harmonisasi Harga ... 98

36 Hirarki Pemilihan Lokasi Pengembangan ... 107

37 Hirarki Elemen dan Vector Pemilihan Lokasi Pengembangan ... 107

38 Hirarki Pemilihan Industri Inti ... 109

39 Hirarki Elemen dan Vector Pemilihan Industri Inti... ... 109

40 Strukturisasi Elemen Kendala Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ………... 113

41 Klasifikasi Elemen Kendala Pengembangan Industri Inti ... 114

42 Strukturisasi Elemen Kebutuhan Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ………... 116

43 Klasifikasi Elemen Kebutuhan Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ... 117

44 Strukturisasi Elemen Tujuan Pengembangan Industri Inti ... 119

45 Klasifikasi Elemen Tujuan Pengembangan Industri Inti ... 120

46 Strukturisasi Hirarki Elemen Aktivitas Pengembangan Industri Inti . 122 47 Klasifikasi Elemen Aktivitas Pengembangan Agroindustri Sutera Alam ... 123

48 Strukturisasi Hirarki Elemen Pelaku/Lembaga Pengembangan ... 127

49 Klasifikasi Elemen Pelaku/Lembaga Pengembangan ... 128

50 Strukturisasi Elemen Keberhasilan Pengembangan Klaster ... 130

51 Klasifikasi Keberhasilan Pengembangan Klaster ... 131

52 Strukturisasi Elemen Hambatan Pembentukan Klaster ... 133

53 Klasifikasi Hambatan Pembentukan Klaster ……… 134

54 Strukturisasi Hirarki Elemen Peran Pemerintah ... 134

55 Klasifikasi Elemen Peran Pemerintah ………... 137

56 Sub Elemen Dengan Driver Power Kuat Pada Sistem Pengem-bangan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 157

57 Model Kelembagaan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster ... 167


(18)

vii

1 Data Struktur Biaya Usaha Tani/Pemelihara Ulat Sutera... 192

2 Data Struktur Biaya Industri Pemintalan Sutera Alam ... 195

3 Data Struktur Biaya Industri Pertenunan Sutera ... 197

4 Data Struktur Biaya Industri Pembatikan Sutera ... 198

5 Perkiraan Arus Kas Agroindustri Sutera ... 201

6 Keperluan Mesin, Peralatan dan Lahan ... 203

7 Potensi Agroindustri Sutera Alam di Kabupaten Wajo... 204


(19)

1 AHP Analitical Hierarchy Process atau proses hierarki analitic, salah satu metoda pengambilan keputusan dengan menerapkan analisis dan sintesis guna mendapatkan peubah yang memiliki prioritas tertinggi dan paling berpengaruh terhadap pengambilan keputusan tersebut.

2 ATBM Singkatan dari Alat Tenun Bukan Mesin yang digunakan untuk menenun benang yang menghasilkan kain.

3 ATM Alat Tenun Mesin

4 BEP Break Event Point, titik impas 5 Competitive

Advantage

Keunggulan bersaing

6 Daya Saing Dalam penelitian ini daya saing terkait dengan kualitas, disain, biaya dan delivery.

7 Finishing silk fabrics

Kain sutera yang sudah diproses lanjut antara lain anti kusut, diperlembut dll.

8 Industri inti Industri yang diunggulkan dan diharapkan menjadi penghela usaha lainnya di dalam klaster

9 Industri Kecil Menurut Undang-Undang No 9 tahun 1995, Industri Kecil adalah usaha yang mempunyai nilai asset diluar tanah dan bangunan sebesar ≤ Rp. 200 (Dua Ratus Juta Rupiah)

Menurut BPS Industri Kecil adalah usaha yang mempunyai tenaga kerja > 5 (lima) orang dan < 20 (dua puluh) orang.

10 Industri Menengah

Menurut Inpres No. 10 Tahun 1999, Industri Menengah adalah usaha yang mempunyai nilai asset diluar tanah dan bangunan sebesar ≤ Rp. 10 Milyar (Sepuluh Milyar Rupiah)

Menurut BPS Industri Menengah adalah usaha yang mempunyai tenaga kerja ≥ 20 (dua puluh) orang dan < 100 (seratus) orang.

11 IRR Internal Rate of Return, tingkat pengembalian modal atau investasi

12 Integrasi Penggabungan satu usaha dengan usaha lainnya

13 Kelembagaan Menurut Nasution (1999), kelembagaan didefinisikan sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya yang sekaligus mengatur hubungan seseorang dengan lainnya.

14 Kerjasama Kegiatan yang dilakukan secara bersama untuk mencapai satu tujuan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang melakukan kerjasama

15 Keterkaitan Menurut Porter (1994) keterkaitan adalah hubungan antar suatu aktivitas dengan aktivitas lain.


(20)

yang dihubungkan dengan adanya kebersamaan

(commonalities) dan sifat saling melengkapi (complementaries)

satu sama lain.

17 Kokon Kokon adalah gulungan filamen yang diproduksi oleh ulat sutera

18 Metodologi Kumpulan metoda yang digunakan dalam pencapaian suatu tujuan

19 Model Menurut Suryadi dan Ramdani (2000), model didefinisikan sebagai suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata

20 Murbei Sejenis pohon yang daunnya digunakan sebagai pakan ulat sutera

21 NPV Net Present Value, nilai sekarang dari suatu laba yang timbul karena adanya investasi

22 Net B/C Perbandingan antara keuntungan bersih yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan

23 OWA Ordered Weighted Average, salah satu metoda agregasi fuzzy

yang memudahkan penggabungan operasi AND dan OR

24 PBP Pay Back Period, perioda atau jangka waktu pengembalian investasi

25 Pemodelan Upaya membentuk model sesuai dengan yang ditetapkan atau dirancang sebelumnya

26 Raw Silk Benang sutera yang belum di twist

27 Reeling Mesin yang digunakan untuk memintal filamen yang berasal dari kokon yang menghasilkan benang sutera.

28 Stakeholders Pemangku kepentingan yang terlibat.

29 Twist Gintir. Untuk menambah kekuatan benang diperlukan gintiran. 30 UKM Usaha Kecil Menengah

31 Validasi Menurut Sargent (1998), validasi model adalah kebenaran bahwa model yang telah dikomputerkan memiliki akurasi/ketepatan sesuai model aplikasi yang diharapkan

32 Value Chain Rantai nilai yang terdiri dari aktivitas utama dan aktivitas pendukung

33 Verifikasi Menurut Sargent (1998), verifikasi model adalah keyakinan bahwa program komputer dan implementasinya sudah benar.


(21)

1.1. Latar Belakang

Usaha agroindustri sutera alam sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena sumber daya sangat mendukung pengembangan usaha tersebut. Usaha ini mudah digeluti karena teknologinya sederhana serta mempunyai potensi pasar yang masih sangat besar terutama untuk pasar lokal maupun untuk pasar ekspor. Saat ini jumlah kebutuhan raw silk dunia cukup besar yaitu mencapai 118.000 ton sedangkan produksi raw silk dunia hanya mencapai 92.742 ton. Kebutuhan ini diprediksikan akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya penduduk serta semakin membaiknya perekonomian dunia. (Depperin, 2006d).

Agroindustri sutera alam sebagian besar diusahakan rakyat dalam usaha skala kecil dan menengah (UKM) dengan lahan yang relatif tidak luas antara 0,5 sampai dengan 1 (satu) ha, modal usaha yang kurang memadai tidak lebih dari Rp. 100 juta juta, kemampuan dan keterampilan yang rendah, peralatan dan teknologi sederhana dan kurangnya kemampuan akses informasi. Selain itu, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap berkembangnya agroindustri sutera alam belum menunjukkan aktivitas yang terpadu. Pelaku usaha, industri/institusi pendukung dan pemerintah memiliki program pengembangan sendiri-sendiri, kurang terkoordinasi dan kurang saling mendukung. Kondisi tersebut menyebabkan daya saing agroindustri sutera alam rendah, karena produktivitas usaha dan kualitas sutera alam yang dihasilkan rendah. Untuk itu, perlu pengembangan agroindustri sutera alam untuk meningkatkan daya saingnya sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani/pemelihara ulat sutera, pengusaha pemintalan, pertenunan dan pembatikan.

Pengembangan agroindustri sutera alam mempunyai nilai strategis dalam proses pembangunan perekonomian nasional, karena dapat memperluas kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan nilai tambah, meningkatkan perolehan devisa negara dan membangun perekonomian bangsa berbasis kerakyatan yang memiliki keunggulan komparatif. Agroindustri sutera alam merupakan salah satu industri yang difokuskan oleh pemerintah untuk dikembangkan. Untuk melaksanakan peningkatan dan pengembangan sutera alam, tiga instansi Pemerintah yaitu Departemen Perindustrian, Menegkop UKM dan Departemen Kehutanan telah melakukan


(22)

penandatanganan kerjasama. Pengembangan sutera alam juga tidak terlepas dari strategi pembangunan industri nasional. Strategi pembangunan industri nasional di Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan dunia meskipun agak ketinggalan jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Perubahan-perubahan kebijakan dan strategi terus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Menurut Tambunan (2001), pada awalnya sekitar dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an dilakukan strategi substitusi impor yang mempunyai ciri-ciri antara lain proteksi yang sangat tinggi misalnya pengenaan bea masuk yang tinggi untuk barang-barang industri manufaktur yang diimpor, pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain berupa larangan impor, kuota dan lisensi impor, ketentuan-ketentuan administrasi serta hambatan non tarif lainnya.

Selanjutnya Tambunan (2001) menjelaskan bahwa pelaksanaan strategi tersebut dilakukan dengan memberikan prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas (broad-based industry) dan industri-industri berbasis teknologi tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih diimpor. Di lain pihak industri-industri berbasis pertanian (agroindustri) yang mempunyai keunggulan komparatif karena sebagian besar bahan bakunya tersedia di dalam negeri yang berpotensi memiliki keunggulan kompetitif bila dikembangkan, kurang mendapatkan perhatian. Strategi yang bukan berbasis agroindustri tersebut dilakukan berkepanjangan sehingga mengakibatkan perkembangan industri di Indonesia terlambat berkembang karena menciptakan high cost economy, dan dampak negatif selanjutnya adalah rendahnya kemampuan bersaing produk produk industri manufaktur di pasar dunia.

Beberapa negara berkembang lainnya juga mempunyai pengalaman yang sama dengan Indonesia dimana kurang berhasil dengan strategi substitusi impor, sehingga badan-badan dunia, antara lain Bank Dunia dan Lembaga Keuangan Internasional (IMF) menganjurkan agar negara-negara berkembang mulai mengubah strategi industrinya dengan strategi promosi ekspor dimana strategi industrialisasi yang diterapkan berorientasi pasar ekspor. Strategi tersebut mulai diikuti oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan perubahan strategi substitusi impor menjadi strategi peningkatan ekspor menjelang pertengahan dekade 1980-an.


(23)

Sejalan dengan perkembangan dunia yang mengikuti era perdagangan bebas saat ini, bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dapat dinikmati oleh industri dalam negeri termasuk Indonesia mulai dihapuskan. Dengan dihapuskannya hambatan-hambatan pada perdagangan internasional, industrialisasi harus sepenuhnya dilaksanakan dengan strategi peningkatan ekspor dengan konsekwensi peningkatan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa industri yang tadinya dibangun dengan strategi substitusi impor dengan berbagai proteksi mempunyai daya saing yang rendah sehingga ketika krisis ekonomi terjadi pada akhir 1990an industri tersebut banyak yang berhenti beroperasi. Di lain pihak terlihat bahwa industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis ekonomi tersebut (Saragih 2001). Dari pengalaman dan perkembangan tersebut maka strategi ke depan perlu mempertimbangkan dan menjadikan agroindustri sebagai sektor yang memimpin (leading sector) dalam pengembangan industri.

Untuk menghadapi tantangan persaingan global yang semakin ketat melalui pembangunan agroindustri, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan menetapkan agar pembangunan industri dilakukan melalui pendekatan klaster. Pemilihan strategi yang didorong oleh pemikiran bahwa sebagian besar kebijakan yang ditetapkan pada masa lalu cenderung bersifat parsial dan kurang memperhatikan keterkaitan horizontal maupun vertikal menimbulkan biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan daya saing nasional. Pengembangan industri melalui pendekatan klaster membutuhkan rumusan strategi nasional dimana perumusannya harus melibatkan seluruh unsur mulai dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, bersama seluruh pelaku usaha dan instansi terkait lainnya. Strategi nasional tersebut memuat arahan pengembangan masing-masing klaster industri yang secara khusus mempertimbangkan potensi sumber daya lokal sehingga Pemerintah Daerah beserta pelaku usaha terkait memiliki peluang lebih besar di dalam menciptakan lingkungan bisnis lokal yang kondusif.

Pengembangan industri melalui pendekatan klaster mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan distribusi serta pengembangan Usaha Kecil Menengah


(24)

dan Koperasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Pendekatan klaster industri tampaknya mengacu kepada hasil penelitian Porter (1990) pada 10 negara yang industrinya sudah maju (Denmark, Jerman, Itali, Jepang, Korea, Singapura, Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan kenyataan bahwa lokasi industri-industri yang kompetitif di negara-negara tersebut tidak tersebar merata di seluruh wilayahnya, tetapi cenderung mengelompok pada daerah-daerah tertentu, membentuk klaster-klaster industri. Hal ini menurut Porter terjadi karena dinamika dari "national diamond" negara-negara tersebut mendorong terbentuknya klaster-klaster industri yang kompetitif di daerah-daerah tertentu saja. Penelitian Porter tersebut telah menjadi topik pembahasan dan penelitian-penelitian lanjutan di banyak negara, dan akhirnya banyak negara maju maupun negara berkembang membuat kebijakan dan strategi pengembangan industri melalui pendekatan klaster.

Mengikuti fenomena dan perkembangan tersebut pemerintah Indonesia juga mencoba untuk menerapkan strategi tersebut dalam pembangunan industrinya. Peraturan Presiden RI No. 7 (2005) memberikan arahan pengembangan industri lima tahun ke depan melalui pendekatan klaster. Ada sepuluh subsektor industri prioritas yang akan dikembangkan melalui pendekatan klaster yaitu kelompok industri makanan dan minuman, pengolah hasil laut, tekstil produk tekstil, alas kaki, barang kayu (termasuk rotan dan bambu), karet dan barang karet, pulp dan kertas, mesin listrik dan peralatan listrik serta petro kimia.

Meskipun konsep pembangunan industri melalui pendekatan klaster tersebut sudah lama diperkenalkan dan diterapkan di negara lain namun di Indonesia penerapan strategi tersebut sangat lambat diantisipasi oleh pemerintah Indonesia termasuk Departemen Perindustrian sebagai instansi pembina industri. Beberapa klaster yang dicoba untuk dikembangkan antara lain klaster kayu di Jepara, klaster alas kaki di Sidoarjo, klaster rotan di Cirebon dan Palu, klaster batu mulia dan perhiasan di Jawa Timur, klaster tekstil produk tekstil di Majalaya, dan lain lain.

Pengembangan industri melalui pendekatan klaster mengikuti arahan kebijakan yang tertuang dalam Perpres no.7 Tahun 2005 sehingga implementasi dari kebijakan tersebut masih tergolong baru. Hal tersebut mengakibatkan sampai sat ini belum terlihat kemajuannya secara signifikan.


(25)

Departemen Perindustrian telah memilih 10 industri prioritas untuk dikembangkan dimana salah satunya adalah industri Tekstil Produk Tekstil (TPT) yang di dalamnya termasuk agroindustri sutera alam. Industri sutera alam merupakan salah satu industri yang potensial untuk dikembangkan sebagai industri andalan karena memiliki keunggulan antara lain (1) Bahan baku berbasis pada sumber daya alam dalam negeri, (2) Produk sutera berpotensi menjadi komoditi andalan ekspor dan peluang pasar dalam negeri sangat besar dengan indikasi pada tahun 2005, Indonesia masih mengimpor sutera dengan nilai mencapai US$ 2,5 juta, (3) Banyak menyerap tenaga kerja, saat ini jumlah tenaga kerja pada agroindustri sutera alam mencapai 217.120 orang, (4) Industri sutera alam sangat dekat dengan usaha masyarakat menengah ke bawah karena pada umumnya saat ini bentuk usaha sutera alam dalam skala kecil menengah yang digeluti masyarakat pedesaan, (5) Industri sutera alam masih menggunakan teknologi yang sangat sederhana dan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin berteknologi rendah dan madya, (6) Sektor industri ini bersifat lintas sektoral karena memiliki keterkaitan yang luas dengan sektor ekonomi yang lain yaitu sektor kehutanan dan perkebunan, sektor pertanian, sektor tenaga kerja, bidang pemberdayaan perempuan, pengembangan wilayah dan sebagainya, (7) Penyebaran usaha sutera alam Indonesia sudah cukup luas mencakup sepuluh wilayah yaitu daerah Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Sebagaimana telah dijelaskan, daya saing industri nasional masih rendah termasuk agroindustri sutera alam. Rendahnya daya saing agroindustri sutera alam ditandai dengan rendahnya kualitas dan disain produk, rendahnya produktivitas dan efisiensi, biaya produksi yang tinggi, waktu penyampaian barang yang lambat serta lemahnya akses pasar.

Dari uraian tersebut di atas, maka salah satu strategi pembangunan industri ke depan dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan yaitu pembangunan industri berbasis agro dan pendekatan klaster. Masalah-masalah yang berkaitan dengan daya saing yang dihadapi oleh agroindustri sutera alam penyelesaiannya dilakukan melalui pendekatan klaster.


(26)

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model sistem pengembangan agroindustri sutera alam melalui pendekatan klaster dalam rangka peningkatan daya saing meliputi Quality, Cost and Delivery (QCD), peningkatan nilai tambah dan pendapatan masyarakat.

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya pada usaha kecil menengah agroindustri sutera alam yaitu petani/pemelihara ulat sutera, pemintalan sutera, pertenunan sutera dan pembatikan yang meliputi:

1. Pengembangan model lokasi klaster yaitu memilih salah satu lokasi dalam hal ini Kabupaten atau Kota yang paling sesuai untuk pengembangan agroindustri sutera alam melalui pendekatan klaster.

2. Pengembangan model industri inti yaitu untuk menentukan industri inti agroindustri sutera alam yang dipilih dari rantai nilai (value chain) serta melakukan pengembangannya. Industri inti merupakan penggerak utama dalam pengembangan agroindustri sutera alam.

3. Pengembangan model kelembagaan ditujukan untuk membuat satu model kelembagaan dimana semua pihak terkait dan yang berkepentingan di dalam pengembangan klaster agroindustri sutra alam dapat terintegrasikan, melihat faktor-faktor pendukung keberhasilan dan hambatan pembentukan klaster.

4. Pengembangan model kelayakan usaha melalui kriteria, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (BCR), Pay Back Period (PBP), dan Break Even Point (BEP) terbatas pada usaha kecil menengah pemeliharaan ulat sutera, industri pemintalan (reeling) sutera, industri pertenunan sutera, pembatikan. Pengembangan kelayakan usaha ditujukan untuk menjadi acuan bagi pelaku usaha yang terlibat di dalam klaster.

5. Pengembangan model kesetaraan harga yang ditujukan untuk mengharmonisasi-kan semua kepentingan agar masing-masing pelaku usaha yang terlibat di dalam klaster memperoleh keuntungan yang seimbang.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agroindustri Sutera Alam

Agroindustri sutera alam merupakan salah satu kegiatan agroindustri yang mempunyai potensi untuk dikembangkan mengingat bahan bakunya tersedia di dalam negeri, teknologinya sederhana serta mempunyai potensi pasar yang masih sangat besar terutama untuk pasar lokal dan tidak terlepas kemungkinan untuk mengisi pasar ekspor. Industri ini mempunyai rangkaian kegiatan yang panjang; mencakup pemeliharaan ulat sutera/produksi kokon, pengolahan kokon/pemintalan, pertenunan sutera, pembatikan dan pakaian jadi. Perkembangan usaha IKM pemintalan dan pertenunan sutera alam pada tahun 2002-2005 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan IKM Pemintalan dan Pertenunan Sutera Tahun 2002-2005

TAHUN

NO Uraian 2002 2003 2004 2005

Rata-rata

Pertum- buhan

(%)

1 Unit Usaha (UU) 14.800 15.450 16.219

17.027 4,78 2 Tenaga Kerja (orang) 55.600 57.978 63.097

69.216 7,57 3 Nilai Produksi (Milyar Rp) 775 899 1.045

1.215 16,16 4 Nilai Bahan Baku (Milyar Rp) 495 580 678

797 17,21 5 Nilai Tambah (Miliar Rp) 280 319 367

418 14,26

Sumber : Depperin (2006c)

Alur proses agroindustri sutera alam mulai dari hulu ke hilir ditunjukkan pada Gambar 1. Bahan baku untuk benang disupplai oleh usaha pemelihara ulat sutera dengan aktivitas mulai dari penanaman pohon murbei, memelihara ulat sutera sehingga menghasilkan kokon. Filamen yang berasal dari kokon akan dipintal dengan mesin pemintal (reeling) yang menghasilkan benang. Selanjutnya benang akan dipasok ke industri pertenunan dengan hasil produksi akhir kain sutera yang berbentuk kain sutera grey, kain bermotif, kain sarung maupun kain tenun ikat. Kain


(28)

grey maupun kain bermotif dipasarkan kembali ke industri pakaian jadi maupun industri pembatikan, sedangkan kain tenun ikat dapat langsung dipasarkan ke konsumen. Sebagian kecil kain tenun sutera dipergunakan juga sebagai bahan baku untuk industri-industri kerajinan. Pasar dari produk tersebut ada yang diekspor, namun pasar terbesar adalah untuk dalam negeri.

Bahan Baku Pelaku Benang Sutera Kain Sutera

Produk-produk berbasis kain sutera

1. Baju Batik Sutera 2. Pakaian Jadi Sutera 3. Sarung Sutera

4. Lain-lain, seperti: Barang-barang Tekstil, Dasi, Dompet dan

Souvenier

Catatan : Limbah kokon masih dapat dimanfaatkan (Spun Silk)

1.Perajin benang Sutera

2. Industri pemintalan 1.Ekspor 2. Industri

berbasis benang 3. Industri Pertenunan

1.Ekspor 2.Industri berbasis kain sutera 1.Industri Pembatikan 2.Industri Konveksi 3.Industri Kerajinan 4.Industri Tenun Sarung 1.Ekspor 2. Domestik Petani/ Pemelihara Ulat Sutera

Produk Pasar

Gambar 1. Alur Proses usaha Sutera Alam (Depperin, 2006b)

Murbei Ulat Sutera

Kokon


(29)

2.2. Jenis-Jenis Murbei dan Pemeliharaan Ulat Sutera 2.2.1. Marga dan Jenis Murbei

Murbei termasuk marga Morus dari keluarga Moraceae. Berdasarkan morfologi bunga marga Morus dipilah-pilah menjadi 24 jenis (Atmosoedarjo et. al, 2000), yang kemudian ditambah dengan lima jenis lagi. Murbei pada dasarnya mempunyai bunga kelamin tunggal, meskipun kadang-kadang juga berkelamin rangkap.

Menurut Yamamoto (1985) dalam Atmosoedarjo et al. (2000) M. nigra adalah satu jenis murbei yang tersebar sangat luas, di antara 6 jenis murbei yang didatangkan dari Jawa ke Sulawesi, karena perakarannya yang sangat baik. Sesudah melalui beberapa percobaan pemupukan, maka dipilih M. alba untuk disebarluaskan, karena menghasilkan daun banyak dan berkualitas tinggi. Dalam percobaan yang sama M. multicaulis menghasilkan daun banyak juga, kendati tanpa pemupukan, akan tetapi daunnya sangat kasar.

2.2.2 Beberapa jenis murbei di Indonesia dan kegunaannya

Ciri-ciri untuk mengenal jenis murbei, yang banyak ditanam dan daunnya digunakan sebagai pakan ulat sutera di Indonesia, secara ringkas adalah sebagai berikut :

a. M. nigra

Dikenal dengan nama "murbei hitam", atau jenis "nigra". Berupa perdu, yang dapat mencapai ketinggian sampai 1,5 meter, kalau sudah dewasa. Warna batangnya hijau kecoklat-coklatan, adakalanya coklat hitam kalau sudah tua. Bentuk daunnya lonjong dan lancip ujungnya, dengan panjang antara 5 - 10 cm atau lebih, tergantung dari daerah tumbuhnya. Daunnya berwarna hijau tua, permukaannya halus dan adakalanya bercelah/berlekuk dalam dan cabangnya banyak. Stek yang berusia lebih dari 9 - 12 bulan mempunyai 10 cabang atau lebih, apalagi kalau sudah pernah dipangkas.

Buahnya berwarna merah jambu, ketika masih muda, dan hitam, kalau sudah tua. Bunga dan buah akan banyak kalau tanaman sudah mencapai umur lebih dari 8 bulan (langsung dari stek), atau sudah lebih dari 2 bulan setelah pemangkasan.


(30)

b. M. multicaulis

Dikenal dengan nama "murbei multi", atau "murbei besar". Berupa perdu, yang cepat besar dan tinggi. Warna batang coklat, atau coklat kehijau-hijauan. Daunnya sangat besar, membulat dan permukaannya bergelombang, sedang pinggiran daun bergerigi. Cabangnya tidak banyak, paling-paling antara 2 - 4 cabang saja. Setiap cabang cepat memanjang dan membesar. Buahnya berwarna merah, yang keluar pada waktu stek baru ditanam, atau batangnya baru dipangkas. Buahnya jarang didapat pada cabang atas. Sekarang banyak ditanam untuk makanan ulat, karena bentuk daunnya yang besar dan kecepatan tumbuhnya. Tetapi sangat disayangkan, bahwa pucuk-pucuknya mudah dan cepat sekali diserang hama serangga, atau penyakit bakteria, virus atau jamur, sehingga bentuknya menggulung atau rusak.

c. M. australis

Dikenal dengan nama "murbei pagar", atau "murbei kecil", mengingat sering ditanam sebagai pagar dan daunnya kecil-kecil. Sifat hidupnya hampir sama dengan M. nigra, hanya batangnya berwarna coklat kekuning-kuningan dan dapat mencapai ketinggian sampai 3 - 5 meter, berupa pohon. Kalau sudah berumur 10 tahun lebih, dari satu batang dapat tumbuh sampai 50 cabang yang lebat dengan daun, sehingga setiap musim (3 - 4 bulan sekali) dari satu pohon yang sudah tua bisa didapat 2 - 4 kwintal daun.

Sekarang banyak ditanam sebagai batang bawah, yang bagian atasnya disambung dengan okulasi, dengan jenis nigra atau multi. Hal ini mengingat akan daya tumbuhnya, yang besar dan kuat, dan tahan terhadap pergantian musim, atau cuaca dan penyakit.

d. M. alba

Dikenal dengan nama "murbei buah", karena pada umumnya ditanam untuk diambil buahnya, seperti di sekitar Lembang, Tawangmangu, dsb. Berbeda dengan jenis-jenis murbei di atas, jenis ini tidak digunakan untuk pakan ulat, karena selain tumbuhnya terbatas, daun yang dapat dipungut sangat sedikit, apalagi kalau tiba waktunya berbuah.

Sifat yang sangat mencolok dari jenis ini adalah tentang buku, atau ruas batangnya yang pendek-pendek dan pertumbuhannya yang tidak ke atas, melainkan ke samping. Bentuk daunnya seperti murbei nigra, atau murbei pagar, tetapi lebih


(31)

kecil lagi. Tinggi pohon, kalau tumbuh di daerah dingin, dapat sampai 1,5 meter, tumbuh rimbun dan banyak bercabang.

e. M. Alba var. macrophylla

Jenis ini belum begitu dikenal di Indonesia. Tetapi di beberapa tempat, terutama di Sumatera, ditanam orang bukan untuk daun atau buahnya, melainkan untuk batangnya, yang baik untuk dibuat alat-alat perabot rumah-tangga, atau olah-raga. Daunnya mempunyai bentuk yang sangat mencolok, yaitu mempunyai lekukan yang dalam dan permukaannya sangat kasar, seperti ampelas. Karena itu tidak heran kalau di beberapa daerah ditanam "murbei ampelas", karena memang sering dipakai untuk mengampelas kulit muka supaya halus.

Batangnya berwarna putih dan beruas panjang-panjang. Tumbuh sangat cepat dan subur, sehingga dalam waktu singkat bisa melebihi 3 meter tingginya. Bentuk batangnyapun tidak berbeda dengan tumbuhan tinggi lainnya, seperti yang tumbuh di Kebun Raya Bogor, atau di hutan-hutan pulau Andalas.

f. M. bombycis

Walaupun jenis murbei ini belum lama ditanam di Indonesia, tetapi sekarang banyak ditanam orang, dengan bibit dari Jepang. Di Jepang jenis yang terkenal dengan nama "ichinose" ini merupakan jenis murbei terkemuka untuk pakan ulat sutera. Bentuk batangnya tidak berbeda dengan murbei multi, tetapi pertumbuhan daunnya sama seperti murbei-nigra. Permukaan daun sangat halus, sehingga tak terasa adanya gelombang apalagi lekukan pada permukaan daun, yang umum terdapat pada jenis-jenis lain.


(32)

Gambar 2. Berbagai Jenis Murbei yang digunakan sebagai Pakan Ulat Sutera di Indonesia (Atmosoedarjo et al. 2000).

2.2.3 Pemeliharaan Ulat Sutera

Bibit ulat sutera berupa telur ulat sutera yang dikembangkan dari jenis unggul yaitu bivoltine. Pada saat sekarang telur diproduksi dan dikembang-biakkan oleh Perum Perhutani yang berlokasi di Candiroto dan Soppeng, dengan produksi riil sebanyak 25.000 kotak per tahun yang dapat menghasilkan kokon. Menurut Atmosudardjo et al. (2000), pemeliharaan ulat sutera sudah dimulai di China sejak berabad-abad yang lalu. Leluhurnya adalah Ulat sutera liar, Bombyx mandarina, yang ditemukan di pohon murbei di China, Jepang dan negara lain di Asia Timur.

Pemeliharaan ulat sebanyak enam kali, atau delapan kali tiap tahun, bahkan mungkin lebih, di negara kita dapat dilakukan, asal dapat mengatur waktu penanaman dan waktu pemangkasan di beberapa bagian kebun murbei, dengan perhitungan, bahwa sembilan bulan sebelum pemeliharaan ulat dimulai, harus sudah selesai menanam dan menyediakan tanaman murbeinya. Dengan perhitungan waktu tersebut,

Morus alba

Morus nigra Morus multicaulis. Morus australis.

M. alba var. macrophylla


(33)

maka tinggal mengatur berapa kali pemeliharaan akan kita lakukan setiap tahun, agar persediaan daun cukup banyak dan pemeliharaan ulat sutera tidak terlantar. Kecuali itu, di samping kebun-kebun, yang sudah termasuk di dalam rencana, harus disediakan pula kebun persediaan, atau kebun bandingan, untuk persediaan kalau kebun-kebun biasa terkena hama, atau ada gangguan lain. Pemeliharaan ulat sebanyak 12 kali setiap tahun, di negara kita dapat saja dilakukan, asal tersedia paling sedikit empat bagian kebun murbei yang berlainan waktu mulai ditanamnya, dan sedikitnya harus ada dua tempat pemeliharaan. Kalau satu tempat pemeliharaan dipakai, yang lain dibersihkan, dan sebaliknya. Tetapi cara pemeliharaan 12 kali tiap tahun akan memerlukan persyaratan kerja, alat-alat dan pengawasan yang sangat ketat, agar tidak mengakibatkan kegagalan atau kerugian (Atmosoedarjo et al. 2000).

Produksi kokon berpotensi besar karena cepat memberikan hasil dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Teknologi yang digunakan sederhana dan dapat dilakukan sebagai usaha utama maupun sebagai usaha tambahan atau sampingan. Pekerjaan-pekerjaan dalam usaha agroindustri ini dapat dilakukan oleh pria, wanita dewasa maupun anak-anak. Kegiatan tersebut bersifat padat karya sehingga dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat yang menguntungkan dan dapat pula dijadikan ajang untuk mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Pada tahun 2005 posisi perkembangan usaha pengolahan kokon meliputi 11.867 petani (KK), luas tanaman murbei 9.526 ha dan menghasilkan kokon sebanyak 7.129,5 ton. (Depperin, 2006b).


(34)

2.3. Industri Pemintalan Sutera Alam

Industri pemintalan sutera menggunakan alat pintal (reeling) baik dengan sistim manual dan semi mekanis maupun dengan sistim semi otomatis. Sentra utama industri pemintalan benang sutera terdapat di Sulawesi Selatan (Kab. Enrekang, Soppeng dan Wajo) dan Jawa Barat (Kab. Garut, Tasikmalaya, Bogor dan Cianjur). Sentra penghasil benang sutera lainnya adalah (1) Jawa Tengah tersebar di Kabupaten Pemalang, Jepara, Pekalongan, Pati, Wonosobo dan Banyumas, (2) DI Yogyakarta tersebar di Sleman dan Kota Yogyakarta, (3) Bali: Badung dan Tabanan, (4) NTB di Lombok Barat, (5) NTT: Timor Timur Selatan, (6) Lampung tersebar di Lampung Barat, (7) Sumatera Selatan tersebar di Kabupaten OKU, (8) Sumatera Barat tersebar di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten 50 Kota. (9) Sumatera Utara tersebar di Kabupaten Deli Serdang dan Simalungun.

Jumlah industri pemintalan sutera sekitar 2.363 unit usaha, menyerap tenaga kerja sebanyak 7.796 orang. Produsen benang sutera terbesar Indonesia adalah Sulawesi Selatan, namun seluruh produksi belum mampu memenuhi kebutuhan benang sutera nasional. Untuk mengisi kekurangan benang sutera tersebut diatasi dengan mengimpor benang sutera dari China, Thailand, Vietnam dan India. (Depperin, 2006b)

Gambar 4. Mesin Reeling (pemintalan) Sutera Otomatis, Mesin Reeling Sutera Konvensional dan Benang Sutera Hasil Reeling.

2.4. Industri Pertenunan

Industri pertenunan sutera menggunakan peralatan yaitu sistem gedogan, alat tenun bukan mesin (ATBM) dan alat tenun mesin (ATM). Pada saat ini terdapat 14.764 unit usaha industri pertenunan sutera yang memperkerjakan 66.986 tenaga


(35)

kerja dengan nilai produksi sebesar Rp 1.063 miliar atau setara dengan 26 juta meter. Sentra utama yang memproduksi kain sutera terdapat di Sulawesi Selatan sebanyak 9.387 unit usaha atau 64% dari potensi nasional, sedangkan daerah lain yang memproduksi kain sutera adalah Jawa Barat (Majalaya, Tasikmalaya, dan Garut), Jawa Tengah (Jepara, Pemalang dan Pekalongan), DI Yogyakarta (Sleman) dan Bali (Tabanan dan Badung).

Gambar 5. Alat Tenun Bukan Mesin dan Kain Sutera Produksi Thailand.

2.5. Industri Pembatikan

Batik adalah produk seni rupa Indonesia hasil pewarnaan rintang dengan menggunakan lilin batik sebagai bahan perintangnya. Karena itu dilihat dari teknik pembuatannya, batik melalui tiga pokok tahapan proses yaitu :

1. Pelekatan lilin batik sebagai media penerapan ragam hias pada kain 2. Pewarnaan

3. Penghilangan/pelepasan lilin batik

Teknik aplikasi pelekatan lilin batik sesuai motifnya dapat dilakukan dengan alat canting tulis, canting cap atau kombinasi keduanya. Dengan cara pelekatan lilin batik tersebut, produk batik dapat digolongkan sebagai batik tulis, batik cap dan batik kombinasi tulis dan cap. Bahan baku untuk batik dapat digunakan kain yang terbuat dari serat alam maupun serat buatan. Kain dari serat alam termasuk kain sutera.

Pewarnaan dapat dilakukan dengan cara pencelupan maupun kuwasan/ coletan, sedangkan penghilangan lilin batik dilakukan pada tengah proses dan pada akhir proses. Penghilangan lilin pada tengah proses dapat dilakukan lebih dari satu kali disesuaikan dengan banyaknya warna yang diinginkan.


(36)

Sentra utama industri pembatikan sutera terdapat di Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung dan Bali. Pada tahun 2005 jumlah industri kecil menengah batik sebesar 40.549 unit usaha, menyerap tenaga kerja sebanyak 703.560 orang dengan nilai produksi sebesar Rp. 2.506 milyar. Industri penghasil batik dunia adalah Indonesia meskipun saat ini telah banyak negara khususnya di Asia mulai memproduksi batik. Penghasil batik terbesar setelah Indonesia antara lain Malaysia, Singapore, dan bahkan Thailand juga telah mulai memproduksi batik. Industri batik Indonesia yang menggunakan sutera sebagai bahan bakunya sekitar 15%.

Gambar 6. Proses Pembatikan dengan Cap dan Tulis serta Kain Batik.

2.6. Pemasaran

Pada umumnya pasar produk sutera di dalam negeri. Produk sutera di distribusikan mulai dari petani kokon ke sentra-sentra industri pemintalan kemudian benangnya dijual ke pelaku usaha industri pertenunan sutera. Secara tradisional sudah terbentuk jaringan distribusi pemasaran dengan pendekatan market operation, artinya pemasaran produk sutera telah berjalan sesuai mekanisme pasar.

Permintaan kain sutera oleh industri pembatikan sekitar 1 juta meter atau setara 200 ton benang sutera per bulan, permintaan kain sutera untuk industri gaun pengantin, interior, garmen dan produk jadi lainnya di dalam negeri cukup besar. Di samping tujuan pasar dalam negeri, produk sutera juga di ekspor ke Jepang, Italia, Perancis dan Amerika Serikat. Ekspor produk sutera alam dari tahun 2001 s/d 2005 ditunjukkan pada Gambar 7.


(37)

-2.000.000,00 4.000.000,00 6.000.000,00 8.000.000,00 10.000.000,00 12.000.000,00

2001 2002 2003 2004 2005 Tahun

US

$

Kokon Benang Kain

Gambar 7. Grafik Perkembangan Ekspor Produk Sutera (Depperin 2006b) Realisasi produksi benang dan kain sutera dalam negeri belum memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri sehingga kekurangannya diimpor. Impor benang sutera pada tahun 2005 mencapai US$. 1.365.320,00 dan impor kain sutera pada tahun yang sama mencapai US$.1.135.998,00. Perkembangan impor produk-produk persuteraan alam pada tahun 2001 s/d 2005 ditunjukkan pada Gambar 8.

-500.000,00 1.000.000,00 1.500.000,00 2.000.000,00

2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

US

$ Kokon

Benang Kain

Gambar 8. Grafik Perkembangan Impor Produk Sutera (Depperin 2006b)

2.7. Prospek Pengembangan

Persuteraan alam Indonesia merupakan kelompok agro-industri yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena memiliki berbagai keunggulan antara lain sebagai berikut :


(38)

ketinggian 400-800 meter di atas permukaan laut untuk menghasilkan murbei dan kokon yang baik.

2. Produk sutera memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak digemari masyarakat tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.

3. Usaha persuteraan alam dapat dikelola masyarakat pedesaan secara luas, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara cepat untuk segera mengurangi masalah kemiskinan dan dapat mengembangkan ekonomi kerakyatan.

4. Permintaan pasar produk sutera baik oleh pasar domestik maupun ekspor dari tahun ke tahun cenderung meningkat seperti raw silk, yarn silk dan grey fabrics.

Perkembangan kebutuhan benang sutera dunia meningkat dari tahun 2002 sebesar 92.742 ton dan pada tahun 2005 mencapai 118.000 ton atau meningkat 27,3 %. Sedangkan Indonesia hanya mampu menghasilkan benang sutera rata-rata 78 ton per tahun. Demikian pula dengan barang-barang jadi sutera seperti finishing silk fabrics (dyed maupun printed), ready made garment, made up goods dan bahan-bahan untuk interior dan dekorasi pasarannya cukup baik untuk tujuan pasar dalam negeri dan ekspor.

Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan persuteraan alam, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, maupun untuk memenuhi pasar global. Diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama usaha persuteraan alam dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam perekonomian nasional. Hal ini akan segera terwujud apabila pengembangan persuteraan alam nasional dikelola dengan cermat dan konsepsional oleh instansi pembina dan para stakeholders.

2.8. Konsep Klaster

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2005-2009) mengamanatkan bahwa lima tahun ke depan fokus pengembangan industri diarahkan kepada pengembangan 10 klaster industri antara lain kelompok industri tekstil produk tekstil. Definisi mengenai klaster antara lain sebagai berikut :

1. Depperin (2006e), mendefinisikan klaster sebagai kelompok yang secara geografis berdekatan, yang terdiri dari perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi terkait dalam bidang tertentu, yang dihubungkan dengan adanya


(39)

kebersamaan (commonalities) dan sifat saling melengkapi (complementaries)

satu sama lain.

2. Porter (1998a), menyatakan bahwa klaster adalah suatu kelompok perusahaan yang saling terkait satu dengan lainnya (interconnected) memiliki asosiasi kelembagaan dalam satu bidang tertentu yang saling melengkapi, kompetitif dan kooperatif.

3. Morosini (2003) menyatakan “An industrial cluster is a socioeconomic entity characterized by a social community of people and a population of economic agents localized in close proximity in a specific geographic region. Within an industrial cluster, a significant part of both the social community and the economics agents work together in economically link activities, sharing and nurturing a common stock of product, technology and organizational knowledge in order to generate superior products and services in the marketplace.”

4. Doeringer dan Terkla (1995) memberi definisi sebagai “Geographical concentration of industries that gain performance advantages through co-location”.

5. Definisi yang digunakan oleh UNIDO (OECD 1999) adalah: “The term cluster is used to indicate a sectoral and geographical concentration of enterprises which, first, give rise to external economics (such as the emergence of specialized suppliers of raw materials and component or the growth of a pool of sector specific skills) and, second, favours the rise of specialized services create a conducive ground for the development of a network of public and private local institutions which support local economic development by promoting collective learning and innovation through implicit and explicit co-ordination”.

6. Cooke (2001) mendefinisikan klaster dengan: “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localized enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co-operation in a specific market field”.

7. Bregman and Feser ( 2000) mendefinisikan “An industry cluster is a group of business enterprises and non business organization (industry associations, technical and community colleges with specialized industry programs, network brokers, and the like) for whom membership within the group is an important


(40)

element of each member firm’s individual competitiveness”. Binding the cluster together are “buyer-supplier relationships, or common technologies, common buyers or distribution channel, or common labor pools”.

8. Ketels (2004) dalam Sa’id dan Rahayu (2006), menyatakan bahwa klaster merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu kelompok perusahaan, universitas dan lembaga-lembaga lainnya, misalnya dalam bidang produksi otomotif, pengolahan pangan atau turisme, yang secara geografik berada dalam lokasi yang berdekatan. Karena lokasinya yang berdekatan satu sama lainnya tersebut, maka perusahaan-perusahaan di atas dapat mengambil manfaat dari peningkatan perekonomian daerah, yang memungkinkan mereka menciptakan nilai tambah bagi para pelanggan bisnisnya.

Knorringa dan Meyer (1998) menyatakan bahwa klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih sangat kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Klaster ini hanya melakukan spesialisasi horizontal dan belum melakukan pembagian pekerjaan sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat aglomerasi yang diperoleh baru berupa kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster demikian ini disebut sebagai "survival cluster". Klaster jenis ini sebagian besar bersifat stagnan, sehingga akan tetap hanya berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang kurang mendapatkan manfaat dari terbentuknya klaster.

Meskipun di negara-negara berkembang pembangunan industri melalui pendekatan klaster belum terlalu maju, namun beberapa pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bahwa wilayah-wilayah dimana terdapat klaster-klaster industri telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Penelitian Porter (1998a) memperlihatkan bahwa sejumlah kecil klaster industri biasanya merupakan kontributor terbesar dari kegiatan ekonomi di suatu wilayah geografis dan juga merupakan pemberi kontribusi terbesar untuk kegiatan ekspor ke luar daerahnya.

Dalam penelitian ini definisi yang dipakai adalah yang digunakan oleh Depperin (2006e) meskipun pelaku tidak terkonsentrasi semua secara geografis. Bila melihat definisi klaster industri yang telah diuraikan di atas, maka klaster industri


(41)

dapat menciptakan suatu competitive advantages dilihat dari beberapa terminologi kunci (Depperin, 2006e), yaitu:

1. Klaster industri melibatkan perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan dan terkait dengan supplier yang terspesialisasi, service providers, dan lain- lain. Klaster industri merupakan associated institutions

2. Keterlibatan dan partisipasi dari universitas, asosiasi, dan LSM diperlukan untuk melakukan penelitian, pelatihan tenaga kerja dan konsultasi untuk pemantapan klaster.

3. Klaster industri memiliki konsentrasi geografi untuk memudahkan pengembangan dan akses antar pelaku yang terlibat dalam klaster.

4. Klaster dan komponen-komponen lainnya yang berasosiasi dan terkonsentrasi dalam wilayah geografis memungkinkan terjadinya interaksi dan efisiensi yang dapat dikembangkan antara perusahaan yang berhubungan dan juga menyediakan akses pada tenaga kerja yang lebih terspesialisasi. Perusahaan dalam klaster berkompetisi tetapi juga berkooperasi. Secara individual, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam klaster industri berkompetisi satu dengan yang lain tetapi juga menunjukkan suatu kerjasama. Karena tanpa kooperasi, suatu wilayah tidak memiliki klaster industri.

Semua komponen dalam klaster berperan secara sinergi sepanjang mata rantai nilai. Setiap perusahaan secara inheren merupakan bagian dari klaster, oleh karena keunggulan kompetitif tidak hanya ditentukan oleh satu perusahaan sendiri. Peningkatan efisiensi pada tingkat perusahaan sangat penting, tetapi dalam persaingan global hal tersebut tidaklah cukup.

Menurut Depperin (2006e), pengembangan klaster industri meliputi perencanaan bisnis dari sekumpulan industri (industri inti ditunjang industri terkait dan industri pendukung) yang diintegrasikan sepanjang rantai nilai dan didukung oleh adanya kelembagaan. Ada lima elemen kunci dari suatu klaster yaitu (1) Pengelompokan (clustering), (2) Adanya mata rantai nilai, (3) Memiliki industri inti, (4) Memiliki keterkaitan baik secara vertikal maupun secara horizontal, dan (5) Adanya kelembagaan.

Menurut Anderson (2004), klaster saat ini merupakan alat yang sangat penting untuk meningkatkan industri, menciptakan temuan-temuan baru, meningkatkan daya


(42)

saing dan pertumbuhan industri. Disamping upaya-upaya yang telah dilakukan oleh sektor swasta dalam pengembangan klaster peran dari pelaku-pelaku lainnya juga cukup penting misalnya pemerintah dan instansi-instansi terkait lainnya baik regional maupun nasional.

Konsep klaster seharusnya diarahkan dan digunakan berdasarkan kompetensi bagaimana mengatur dan mensosialisasikannya tapi bukan menetapkan untuk distandarkan. Ada tujuh elemen yang perlu diidentifikasi dalam pengembangan klaster yaitu : (1) konsentrasi geografis, (2) industri inti dan menetapkan spesialisasi dari klaster, (3) pelaku-pelaku, (4) keterkaitan (linkages), (5) critical mass (6) cluster life cycle, (7) inovasi. Namun demikian tidak harus semua elemen tersebut terpenuhi untuk setiap klaster spesifik.

Kekuatan daripada klaster terletak pada konsep keterkaitan klaster itu sendiri dengan persepsi-persepsi yang menguntungkan. Klaster industri merupakan bentukan organisasi industri yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi, tuntutan desentralisasi, dan sekaligus mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan distribusi serta pengembangan pengusaha kecil, menengah dan koperasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya.

Tambunan (2001), menyatakan bahwa dalam menyusun strategi pengembangan, harus dapat (1) menciptakan keterkaitan produksi antar sektor pertanian dengan sektor agroindustri dan keterkaitan antar unit produksi di dalam satu industri secara kuat; (2) pengembangan spesialisasi berdasarkan faktor keunggulan komparatif dan kompetitif dan (3) pendalaman struktur industri (diversifikasi). Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk mencapai pengembangan industri tersebut, klaster industri merupakan salah satu strategi pengembangan yang tepat.

Porter (1998a) menjelaskan bahwa konsep klaster menunjukkan pola berpikir tentang ekonomi nasional dan menggambarkan peran baru bagi perusahaan, pemerintah dan institusi lainnya dalam upaya peningkatan daya saing. Selanjutnya, menurut Porter (1994), keterkaitan adalah hubungan antar suatu aktivitas dengan aktivitas lain. Keunggulan bersaing adalah pelaksanaan suatu aktivitas secara lebih murah atau lebih baik dari pesaing.

Keterkaitan dapat menghasilkan keunggulan bersaing melalui optimalisasi dan koordinasi. Keterkaitan sering mencerminkan trade off antar aktivitas untuk


(43)

mencapai keseluruhan tujuan. Sebagai contoh, spesifikasi bahan baku yang lebih berkualitas akan memunculkan harga pembelian yang lebih mahal, akan tetapi akan menurunkan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, keterkaitan tersebut perlu dioptimalkan. Keterkaitan mungkin pula mencerminkan kebutuhan untuk koordinasi antar aktivitas. Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa pengembangan industri dengan pendekatan klaster banyak memiliki keunggulan antara lain :

a. Meningkatkan daya saing dan meningkatkan nilai tambah para anggota klaster, juga akan menumbuhkan inovasi yang berkelanjutan bagi setiap anggota klaster dan memiliki posisi tawar menawar yang kuat. Inovasi akan muncul karena pada dasarnya konsep klaster memberikan peluang yang besar bagi para anggota untuk melaksananakan proses pembelajaran. Perusahaan tertentu akan belajar pada perusahaan lainnya yang memiliki keunggulan atau kemajuan, sebaliknya perusahaan yang unggul perlu terus memacu keunggulan yang telah dimiliki agar memiliki daya saing yang berkelanjutan. Begitu pula, dalam konteks yang lebih luas bahwa klaster industri juga dapat belajar pada klaster industri lainnya yang lebih maju baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri.

b. Karena banyak perusahaan dalam klaster memerlukan tenaga dengan keterampilan yang sama, maka akan terjadi perpindahan tenaga kerja antar perusahaan dalam klaster yang berakibat terjadinya transfer pengetahuan kepada perusahaan yang menerima tenaga kerja tersebut. Hal ini akan meningkatkan persaingan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan. Pertumbuhan ini dapat memperdalam integrasi vertikal ataupun integrasi horizontal dari klaster tersebut.

c. Doeringer dan Terkla (1995) menjelaskan bahwa manfaat yang diperoleh dari aglomerasi sangat berperan dalam perkembangan klaster. Perusahaan yang berlokasi saling berdekatan, akan mendapat manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang lebih rendah serta mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memperoleh tenaga kerja yang diperlukan. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer dari informasi serta pengetahuan dan teknologi di antara perusahaan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster


(44)

menjadi lebih besar dan tumbuh. Selain itu munculnya kerjasama sesama anggota dalam klaster antara lain disebabkan oleh karena : ”common customers, common suppliers and service providers, common infrastructures, common pool of human talent, common educational, common universities, research center and technology institute, and common risk capital markets.” (Morosini, 2003).

d. Porter (1990) menyampaikan argumentasinya, bahwa adanya persaingan merupakan kekuatan yang mendorong perkembangan klaster. Pembentukan klaster (clustering) merupakan suatu proses yang dinamis, yang pertumbuhan satu perusahaan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster dimaksud. Dengan berkembangnya klaster, akan terjadi sistem yang saling memperkuat dimana manfaatnya akan mengalir ke depan dan ke belakang pada seluruh industri yang terdapat dalam klaster. Porter (1990) berpendapat bahwa persaingan antara perusahaan dalam klaster akan mendorong pertumbuhan karena persaingan akan memaksa perusahaan dalam klaster untuk lebih inovatif dan didorong untuk melakukan perbaikan serta menciptakan teknologi baru. Keadaan ini dapat mendorong terjadinya spin off, menstimulasi kegiatan penelitian dan pengembangan dan mendorong diterapkannya keterampilan dan jenis pelayanan yang baru.

e. Cheney (2002) menguraikan manfaat yang diperoleh dari klaster sebagai berikut: 1) Iklim persaingan antar perusahan dalam klaster memacu dan memaksa

perusahaan ke arah diversifikasi produk dan penciptaan-penciptaan produk baru baik di dalam klaster tersebut maupun klaster-klaster lainnya. Persaingan perlu tetap berlangsung karena apabila perusahaan berhenti bersaing, maka industri tersebut akan stagnan.

2) Munculnya pendatang baru dalam klaster memungkinkan terjadinya peningkatan diversifikasi dan inovasi melalui penelitian dan pengembangan serta memperkenalkan strategi dan keterampilan baru.

3) Aliran informasi secara cepat, bebas dan menyebar kepada para pemasok, dan melalui supply chain kepada para pelanggan. Faktor paling penting yang diperoleh melalui klaster adalah informasi, dan hasil dari berbagai informasi sesama anggota klaster adalah pengurangan biaya, differensiasi, kemajuan


(1)

[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

[Depperin] Departemen Perindustrian 2002. Rencana Induk Pengembangan IKM 2002-2004, Buku II Program Pengembangan Industri Kecil Menengah, Departemen Perindustrian.

[Depperin] Departemen Perindustrian. 2006a. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Departemen Perindustrian.

[Depperin] Departemen Perindustrian 2006b. Master Plan Pengembangan Sutera. Departemen Perindustrian.

[Depperin] Departemen Perindustrian 2006c. Penyusunan Data Statistik IKM 2006. Departemen Perindustrian.

[Depperin] Departemen Perindustrian. 2006d. Pengembangan Industri Kecil dan Me ne ngah Furnit ur e Mel alui Pendek atan Klaster. De partemen Perindustrian.

[Depperin] Departemen Perindustrian. 2006e. Membangun Daya Saing Industri dengan Basis Klaster dan Kompetensi Inti Daerah. Depart e me n Perindustrian.

Dine M. 2002. Regional and Local Economic Analysis Tools. Washington DC The World Bank.

Dillon HS. 1999. Pertanian Membangun Bangsa. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

[Disperindag Sulsel] 2006. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan, Informasi Sutera Alam Tahun 2006.

Doeringer PB, Terkla DG. 1995. Business Strategy and Cross Industry Clusters. Economic Development Quarterly : 9 : 225-37.

Enright M J. 1999. The Globalization of Competition and the Localization of Competitive Advantage : Policies Toward Regional Clustering. Di dalam : Hood N, Young S, editor. The Globalization of Multinational Enterprise Activity and Economic Development. London : Macmillan.

Enright M.J, Ffowcs-Williams I. 2000. Enhancing the Competitiveness of SMEs in the Global Economy: Strategies and Policies. OECD. Paris.

[ERC] Ecotec Research & Consulting. 2005. A Practical Guide to Cluster. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem - Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Edisi

Ketiga. IPB Press, Bogor, Indonesia.

Glasmeier AK, Harrison B. 1997. Response : Why Business Alone Won't Redevelop the Inner City. A Friendly Critique of Michael Porter's Approach to Urban Revitalization. Economic Development Quarterly Vol. 14 (1) : 65 – 96.

Haines SG. 2000. The Systems Thinking Approach to Strategic Planning and Management. Boca Raton : St. Lucie Press.

Hamel G, Prahalad CK. 1989. Strategic Intent. Harvard Business Review : May –June 1989 : 2 – 14.


(2)

Hamel G, Prahalad. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard Business Review; May – June 1990 : 79 – 90.

Hamel G, Prahalad CK. 1994. Competing for the future. Boston, Massachusetts. Harvard Business School Press.

Hartmann C. 2002. Styria. Di dalam : Raines P (editor). Cluster Development and Policy. Chippenham, Wiltshire : Antony Rowe Ltd. hlm 123 -140.

Herman, S.A 2002. Model Aliansi Strategis Agroindustri Sayuran Bernilai Tinggi, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana, IPB

Hitt MA, Ireland RD, and Hoskisson RE. 1999. Manajemen Strategic Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi, alih bahasa : Armand Hediyanto, Tulus Sihombing dan Yati Sumiarti. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hoover, Perry, 1989. Verifikasi dan Model Simulasi. http://www.staffside gunadarma.ac.id/sap/dti/pilihan/DTIPilihan10.doc.

Jacobs. D, De Jong M.W. 1992. Industrial Clusters and the Competitiveness of the Netherlands: Empirical Result and Conceptual Issues. Journal:economics-Leiden Vol. 140 : 233-252.

James GB, Deloitte & Touche. 1988, Agroindustrial Investment and Operations, The World Bank, Washington DC.

[JICA] Japan International Cooperation Agency. 2002. The Study on Strengthening Capacity of SME Clusters in Indonesia, Interim Report.

Kanter RM. 2001. Frontiers of Management. Boston, Massachusetts : Harvard Business School Press.

Kadariah, Lien K, Clive G. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Kadarsah, S, Ramdhani, M.A 1988. Sistem Pendukung Keputusan. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Kotler P, Jatusriptak S, Maesincee S. 1997. Pemasaran Keunggulan Bangsa (terjemahan). Simon & Schuster Pte.Ltd.

Kosasi S. 2002. Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System),Konsep dan Kerangka Permodelan Sistem Penunjang Keputusan Berbasis Teknologi Informasi, Depdiknas.

Knorringa P, Meyer S.J. 1998. New Dimension in Local Enterprise Cooperation and Development : From Clusters to Industrial Districts. ATAS Bulletin XI. The Hague and Duisburg.

Kuncoro M. 2002. Analysis Spasial dan Regional. Studi Aglomerasi & Kluster Industri Indonesia. Jakarta : Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.

[Lembaga Penelitian IPB]. 2000. Pengembangan Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan dengan Pendekatan. Kluster Industri. Bogor : IPB Bogor.

Mahfud, H. 2004. Strategi Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri melalui pendekatan Kluster, Disertasi, Fakultas Pascasarjana, IPB.


(3)

Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistim Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Marimin.2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Meghem V T. 1995. Implementing Supplier Partnership : How to lower Cost and Improve Service. Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Mitsui I. 2003. Industrial Cluster Policies and Regional Development in the Age of Globalisation. Singapore.

Morosini P. 2003 Industrial Cluster, Knowledge Integration and Performance. World Development Vol. 32 (2) : 305-326.

Muchdie. 2000. Kompetensi Inti Sektor Unggulan Kapet Manado Bitung. Di dalam. Suhandoyo, Mukti SH, Tukiyat, editor. Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Kawasan Tertentu. Jakarta : BPPT.

Mulyono. 1996. Teori Pengambilan Keputusan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Mulyadi, D. 2001. Rancang Bangun Strategi Terpadu Agroindustri Rotan, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana, IPB.

Munnich Jr LW, Bau MR, Berkwitz LL. 1996. A Southeastern Minnesota Industrial Cluster Study.

http://www.hhh.umn.edu/centers/sip/Projects/edweb/seminn.htm

Murdick RG, Ross JE, Claggett JR. 1995. Sistem Informasi untuk Manajemen Modern. Jakarta: Erlangga.

Nasution M. 1999. Pengembangan Agroindustri Berbasis SDM dan IPTEK. Makalah Studium General di Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Nasution M. 2000. Sistim Ekonomi Kerakyatan, Kerangka Pemikiran, Urgensi, Tantangan Konseptional, Pengertian dan Tantangan Operational. IPB 2000

NJ.Jacobs D, De Jong MW. 1992. Industrial Clusters and the Competitiveness of the Netherland : Empirical Result and Conceptual Issues. Journal : Economics-Leiden. Vol : 140.

Nonaka I, Takeuchi H. 1995. The Knowledge Creating Company. New York Oxford University Press.

Ohmae K. 1995. The End of the Nation State. New York, New York. The Free Press. Padmore T, Gibson H. 1998. Modelling Systems of Innovation : A Framework for

Industrial Cluster Analysis in Regions. Journal Research Policy 26 : 625-641.

[Perpres] Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009.

Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations, First Edition. New York : The Free Press.

Porter, M.E. 1994. Keunggulan Bersaing : Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul (terjemahan), Binarupa Aksara, Jakarta, Indonesia.


(4)

Porter, M.E. 1998a. On Competition, A Harvard Business Review Book.

Porter, M.E. 1998b. Cluster and the New Economics. Boston, Massachusetts Harvard Business Review.

[P2E-LIPI] 2003. Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah.

Raines P. 2002. Cluster Development and Policy. Burlington, USA : Ashgate Publishing Company.

Rodriguez-Clare A. 2005. Clusters and Comparative Advantage: Implications For Industrial Policy. Journal of Development Economics: http://www.elsevier.com/locate/econbase

Roelandt Th J A, Gilsing VA, van Sinderen J. 2000. Cluster-based Innovation Policy : International Experiences [Research Memorandum]. 4' Annual EUNIP Conference. Tilburg, Netherland.

Rosenfeld SA. 1995. Industrial Strength Strategies : Regional Business Clusters and Public Policy. Washington DC : Aspen Institute.

Saaty TL. 1988. Decision Making for Leaders; The Analitical Hierarchy Process for Decision in Complex World. RWS Publications, Pitsburg.

Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks (Terjemahan), PT Pustaka Binaman Pressindo.

Sa’id EG, Rahayu DL. 2006. Model Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Klaster Industri, Makalah pada Pertemuan Pusat dan Daerah ”Pengembangan Industri Kecil Menengah IKM) Dan Penguatan Kelembagaan Serta kemitraan Usaha. Ditjen Bangda, Depdagri, Hotel Jayakarta, Jakarta, 13 – 15 Juni 2006.

Sandee H, Rietveld P. 2001. Upgrading Traditional Technologies in Small Scale Industry Clusters : Collaboration and Innovation Adoption in Indonesia. The Journal of Development Studies, Vol. 37 (4) : 150-172.

Saragih, B. 2001. Kumpulan Pemikiran Agribisnis – Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Terbitan Kedua. Jakarta Yayasan Mulia Persada Indonesia.

Sargent, RG. 1998. Verification and Validation of Simulation Models, Simulation Research Group, Syracuse, New York 13244, USA.

Saxena JP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Elements Using Interpretative Structural Modelling. System Practice, Vol.5 (6), 651-670.

Siahaan, B. 2000. Industrialisasi di Indonesia – Sejak periode rehabilitasi sampai awal reformasi. Cetakan Pertama. Bandung : Penerbit ITB.

Simatupang TM .1995. Permodelan Sistem, Nindita, Klaten.

Stough RR, Haynes K, Kulkarni R, Auge R, Kie Q. 2000. New methods in Support of Industrial Cluster Analysis. Paper prepared for Pacific Regional Science


(5)

Association. Tokyo, Japan.

Suryadi K, Ramdhani MA. 2000. Sistem Pendukung Keputusan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Syamsuddin, L. 2004. Manajemen Keuangan Perusahaan, Konsep Aplikasi Dalam Perencanaan, Pengawasan dan Pengambilan Keputusan. Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.

Tambunan T H. 1999. Perkembangan Industri Skala Kecil di Indonesia. PT Mutiara Sumber Widya.

Tambunan T H. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang – Kasus Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Thierauf R J. 1982. Decision Support Systems for Effective Planning and Control. Prentice Hall, Inc.

Todling F. 2001. Industrial Clusters and Cluster Policies in Austrian Regions. Stockholm.

Turban E. 1993. Decision Support and Expert Systems : Management Support Systems. New York : Macmillan Publishing Company.

Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000 – 2004. Jakarta : C.V. Tamia Utama.

[UNIDO] The United Nations Industrial Development Organization. 1999. Cluster Diagnosis in Kuningan Fried Onion Cluster. Jakarta: UNIDO.

Veen, Jessica. 1998. Urban and Regional Development.

http://`www.unc-edu/depts/dcrpweb/courses/261 leveen/litrev.htm.

Vonortas NS, Auger RN. 2002. Assessing Industrial Performance. Washington: Center for International Science and Technology Policy, The George Washington University.

Waits M J. 1992. Arizona : Preparing for Global Competition Through Industrial Cluster. The Journal of State Government. Vol: 65.

Weyland H. 1999. Microenterprise Clusters in Rural Indonesia : Industrial Seedbed and Policy Target. World Development : Vol.27, No.9 : 15151530. Wirabrata H. 1999. Workshop for Practitioners in Cluster information, Chihuahua,

Mexico, Report, Departemen Perindustrian.

Wirabrata H. 2000. Industrial Cluster : Pilihan Strategis Dalam Pembangunan Industri Nasional, Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

Yager RR. 1993. Non Numeric Multi Criteria Multi Person Decision Making Group. Decision and Negotiation 2:81-93.

Yla-Anttila P. 1994. Industrial Clusters, A Key to New Industrialisation, Journal Kansallis-Osake-Pankki Economic Review.


(6)

Yuzar A. 2006. Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti Daerah Kabupaten dan Kelembagaannya, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana, IPB.