Pengertian pertambangan batubara

2.6.7. Mikroorganisme Pensolubilisasi Batubara

Terdapat beberapa jenis mikroorganisme dari jenis bakteri maupun jamur yang dapat mengubah batubara padat menjadi produk cair. Batubara cair yang dihasilkan dari proses biosolubilisasi adalah berupa campuran senyawa yang larut dalam air, senyawa-senyawa polar dengan berat molekul relatif tinggi. Contoh bakteri yang dapat dimanfaatkan untuk proses ini adalah Thiobacillus Ferroxidans, Leptospirillum Ferroxidansdan Rhodococcus erythropolis. Sementara itu contoh fungi yang dapat dimanfaatkan untuk proses ini diantaranya adalah Polyporus versicolor, Penicillium, Streptomyces (Reiss,1992).

Kapang adalah kelompok mikroorganisme yang tergolong dalam fungi. Selain kapang, organisme lainnya yang termasuk ke dalam fungi adalah khamir dan cendawan (mushroom). Kapang merupakan organisme multiseluler, eukariotik, tidak berklorofil, dinding selnya tersusun dari kitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrient melalui dinding selnya, mengeksresikan enzim ekstraseluler ke lingkungan, menghasilkan spora atau konidia, bereproduksi seksual dan atau aseksual. Tubuh kapang terdiri Kapang adalah kelompok mikroorganisme yang tergolong dalam fungi. Selain kapang, organisme lainnya yang termasuk ke dalam fungi adalah khamir dan cendawan (mushroom). Kapang merupakan organisme multiseluler, eukariotik, tidak berklorofil, dinding selnya tersusun dari kitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrient melalui dinding selnya, mengeksresikan enzim ekstraseluler ke lingkungan, menghasilkan spora atau konidia, bereproduksi seksual dan atau aseksual. Tubuh kapang terdiri

Hifa adalah suatu struktur berbentuk tabung menyerupai seuntai benang panjang yang terbentuk dari pertumbuhan spora atau konidia. Kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala dan umumnya berwarna putih disebut miselium. Ada beberapa kapang dengan miselia longgar atau seperti bulu kapas sedangkan yang lainnya kompak. Penampakan miselia ada yang seperti beludru (velvet) pada permukaan atasnya, beberapa kering seperti bubuk, basah atau memiliki massa seperti gelatin (Hidayat et al, 2006).

Kapang saprofit adalah kapang yang memanfaatkan atau menyerap nutrient dari benda mati. Pada umumnya, kapang mengekskresikan enzim ekstraseluler ke lingkungan. Enzim ekstraseluler tersebut menguraikan komponen-komponen kompleks pada substrat menjadi komponen- komponen sederhana yang dapat dengan mudah diserap kapang untuk mensintesis berbagai bagian sel, dan digunakan sebagai sumber energinya. Keberadaan kapang pada suatu substrat dapat diketahui dengan adanya perubahan warna atau kekeruhan pada substrat cair, timbul bau, dan substrat berubah menjadi lunak. Hal tersebut mengindikasikan adanya pertumbuhan kapang berupa pertambahan massa sel atau volume sel (Gandjar et al, 2006).

Sifat-sifat fisiologi kapang sangat penting dipenuhi agar pertumbuhan kapang menjadi optimal. Gandjar et al., (2006) menerangkan sifat-sifat fisiologi kapang sebagai berikut :

1. Kebutuhan air Pada umumnya, fungi tingkat rendah seperti Rhizopus sp. dan Mucor sp. memerlukan lingkungan dengan kelembaban nisbi 90 %, kapang Aspergillus sp, Penicillium sp, Fusarium sp. dan banyak hypomycetes lainnya dapat hidup pada kelembaban yang lebih rendah yaitu 80 % sedangkan kapang xerofilik mampu hidup pada kelembaban 70 %.

2. Suhu

Kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-30° C, tetapi beberapa kapang dapat tumbuh pada suhu 35-37°

C atau lebih tinggi seperti Aspergillus sp. Beberapa kapang mampu tumbuh pada suhu dingin (bersifat psikrotrofik) dan juga pada suhu tinggi (termofilik).

3. Derajat keasaman (pH) Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2 - 8,5 akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah.

4. Substrat Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi kapang. Nutrien dalam substrat baru dapat dimanfaatkan apabila kapang telah mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluler untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana.

5. Komponen penghambat Beberapa kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat organisme lainnya seperti bakteri, komponen tersebut disebut antibiotik.

2.6.8 Solubilisasi Batubara oleh Kapang

Batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari karbohidrat dan lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman, dan salah satu komponen pembangun tumbuhan. Selulosa adalah polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan α-1,4-glikosida. Enzim yang dapat mengurai selulosa adalah

selulase dan merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen. Endoglukanase, mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang

rantai bervariasi. Eksoglukanase, mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan nonpereduksi untuk menghasilkan selobiosa/glukosa. Enzim α-

glukosidase, mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Lynd et al., 2002).

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah, relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan. Lebih dari 30 % tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh (Lynd et al., 2002).

Gambar 8. (a) Struktur lignin, (b) hemiselulosa dan (c) selulosa

(Gutiérrez dan Martínez, 1996)

Lignin sulit disolubilisasi karena strukturnya kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman (Orth et al, 1993). Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sebagian besar mikroorganisme yang mampu mensolubilisasi lignin dapat diaplikasikan juga untuk mensolubilisasi batubara (Cohen et al., 1990).

Enzim pensolubilisasi lignin secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Chahal dan Chahal, 1998). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin (Akhtar et al., 1997). Mangan peroksidase (MnP), lignin peroksidase (LiP) atau laccase mampu mensolubilisasi Enzim pensolubilisasi lignin secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Chahal dan Chahal, 1998). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin (Akhtar et al., 1997). Mangan peroksidase (MnP), lignin peroksidase (LiP) atau laccase mampu mensolubilisasi

Enzim pendegradasi lignin secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Chahal and Chahal, 1998). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah, larut dalam air dan CO2 (Akhtar et al.1997).

Lignin peroksidase (LiP) merupakan enzim utama dalam proses degaradasi lignin karena mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin. Unit non fenolik merupakan penyusun sekitar 90 persen struktur lignin. Oksidasi substruktur lignin yang dikatalis oleh LiP dimulai dengan pemisahan satu electron cincin aromatik substrat donor dan menghasilkan radikal aril. LiP memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin, pemotongan

tersebut merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih (Hammel, 1996).

Mangan peroksidase (MnP) berperan dalam oksidasi unit fenolik, sehingga LiP dan MnP dapat bekerja secara sinergis. Siklus katalitik MnP dimulai dengan pengikatan H2O2 atau peroksida organik dengan enzim ferric alami dan pembentukan kompleks peroksida besi. Pemecahan ikatan oksigen peroksida membutuhkan Fe oxo-porphyrin-radikal kompleks dalam pembentukan MnP-komponen I, kemudian ikatan dioksigen dipecah dan dikeluarkan satu molekul air. Reaksi berlangsung sampai terbentuk MnP-komponen II, ion Mn2+ bekerja sebagai donor 1-elektron untuk senyawa antara porfirin dan dioksidasi menjadi Mn3+. Mn3+ merupakan oksidasi kuat yang dapat mengoksidasi senyawa fenolik tetapi tidak dapat menyerang unit non fenolik lignin (Perez et al., 2002).

Laccase ditemukan pada kapang, khamir, dan bakteri. Enzim ini tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Laccase mereduksi oksigen menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu Laccase ditemukan pada kapang, khamir, dan bakteri. Enzim ini tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Laccase mereduksi oksigen menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu

pH zi

Tipe

Peran dalam

Kerja

Bersam Opti m

H dengan 2 O 2 2,5- gni

unit non

fenolik

per Ma Peroksi

4,0- ng

fenolik dan

per

non

La ok Fenol

3,5- kas

fenolik Oksidasi unit

oksidas

fenolik dan

Kapang yang memiliki kemampuan palingbaik dalam proses dengan hidroxy biosolubilisasi batubara adalah Trametes versicolor, Pleurotus florida, P. ostreatus and P. sajorcaju. Kapang lain yang juga mampu mensolubilisasi batubara seperti Trichoderma atroviride, Fusarium oxysporum, Penicillium sp., Candida sp., Aspergillus sp., Mucor sp. dan Sporothrix sp. namun dengan kemampuan yang lebih kecil. Kapang tersebut mensolubilisasi batubara menggunakan enzim ekstraseluler (Reiss, 1992).

Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mensolubilisasi substrat. Enzim ekstraseluler tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap akibat dari solubilisasi batubara selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan kultur ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison et al, 1989).

2.6.9. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Biosolubilisasi Batubara

Di dalam proses biodegradasi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kerja mikroorganisme yang digunakan. Faktor- faktor tersebut dapat berupa kondisi lingkungan, ataupun perlakuan awal Di dalam proses biodegradasi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kerja mikroorganisme yang digunakan. Faktor- faktor tersebut dapat berupa kondisi lingkungan, ataupun perlakuan awal

a. Temperatur Secara umum kenaikan temperatur akan meningkatkan laju reaksi kimia, termasuk reaksi yang dilakukan oleh mikroorganisme. Temperatur proses biodegradasi harus dikendalikan agar tetap berada pada temperatur optimum mikroorganisme yang digunakan serta tidak melewati temperature minimum atau maksimum mikroorganisme tersebut. Setiap mikroorganisme memiliki temperatur optimum dan temperatur maksimum yang berbeda-beda. Oleh karena itu, temperatur optimum biodegradasi akan sangat bergantung pada mikroorganisme yang digunakan. Temperatur optimum pada kapang adalah 22-30 oC (Pelzar dan Chan, 2005).

b. pH Seperti halnya temperatur, pH juga sangat berpengaruh terhadap proses biosolubilisasi. Setiap mikroorganisme memiliki pH optimum yang berlainan oleh karena itu biodegradasi harus dilakukan pada pH optimum sesuai dengan mikroorganisme yang digunakan. Jika pH yang digunakan terlalu asam atau basa maka proses biodegradasi akan mengalami inhibisi. Inhibisi ini terjadi akibat pengaruh buruk lingkungan yang terlalu asam terhadap metabolism mikroorganisme yang menyebabkan aktivitas metaboliknya menurun. pH optimum kapang adalah 3,8-5,6 (Pelzar dan Chan, 2005).

c. Ukuran Partikel Ukuran partikel batubara memberikan pengaruh terhadap persentase pengurangan sulfur dalam proses biodegradasi batubara. Semakin kecil ukuran partikel batubara maka persentase pengurangan sulfur akan semakin besar. Ukuran partikel yang kecil menyebabkan luas pemukaan kontak antara sel bakteri dengan batubara semakin besar. Akibatnya reaksi oksidasi senyawa sulfur yang terjadi akan semakin banyak pula. Ukuran batubara optimum adalah sekitar 72-100 mesh (Selvi dan Banerje, 1982).

d. Konsentrasi Mikroorganisme

Semakin sedikit konsentrasi sel mikroorganisme, maka efisiensi biodegradasi akan semakin berkurang. Pada umumnya konsentrasi mikroorganisme yang digunakan adalah 5 % (Scott dan lewis, 1990).

2.6.10 Analisis Kimia Terhadap Produk Solubilisasi Batubara

Produk biosolubilisasi batubara dikarakterisasi menggunakan Spektrofotometer UV-Vis, Spektrofotometer infra merah (FTIR), dan Kromatografi Gas - Spektroskopi Massa (GC-MS) sebagaimana yang telah dilakukan oleh Shi, et al., (2009).

Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Underwood dan Day, 2002).

Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi dalam daerah UV-Vis karena mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang di mana absorpsi itu terjadi, bergantung pada berapa kuat elektron itu terikat dalam molekul itu (Underwood dan Day, 2002). Gambar Spektrofotometer UV- Vis diperlihatkan pada gambar 9.

Gambar 9. Spektrofotometer UV-vis (Dokumen Pribadi,2010) Kebanyakan penerapan spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak pada senyawa organik didasarkan pada transisi n- π* ataupun π-π* dan karenanya memerlukan hadirnya gugus kromofor dalam molekul itu. Transisi itu terjadi dalam daerah spektrum (sekitar 200 nm hingga 700 nm) Gambar 9. Spektrofotometer UV-vis (Dokumen Pribadi,2010) Kebanyakan penerapan spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak pada senyawa organik didasarkan pada transisi n- π* ataupun π-π* dan karenanya memerlukan hadirnya gugus kromofor dalam molekul itu. Transisi itu terjadi dalam daerah spektrum (sekitar 200 nm hingga 700 nm)

Pada penelitian ini analisis produk biosolubilisasi batubara dilakukan dengan menggunakan spektroskopi sinar ultraviolet-visible (UV-Vis). Spektroskopi UV-Vis dapat menentukan adanya ikatan tak jenuh dalam produk biosolubilisasi. Panjang gelombang yang digunakan yaitu 250 dan 450 nm (Shi et al., 2009).

Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Spektrofotometri infra merah merupakan teknik yang di dasarkan pada vibrasi (pergerakan) atom-atom dalam molekul. Spektrum infra merah pada umumnya dihasilkan melalui sampel dan penentuan fraksi akibat dari sinar yang diabsorbsi pada energi tertentu. Energi tempat munculnya peak absorpsi berhubungan dengan frekuensi vibrasi suatu gugus fungsi atau kromofor yang terdapat dalam suatu molekul. Spektrofotometri IR ditujukan untuk penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisis kualitatif (Giwangkara, 2006).

Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan daerah infra merah. Vibrasi molekul dapat dideteksi dan diukur pada spektrum infra merah, penggunaan spektrum infra merah untuk penentuan struktur senyawa organic biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4-2,5 µm). Daerah di bawah frekuensi 650 cm-1 dinamakan infra merah jauh dan daerah di atas frekuensi 4000 cm-1 dinamakan infra merah dekat. Letak puncak serapan dapat dinyatakan dalam satuan frekuensi (µm) atau bilangan gelombang (cm-1 ) (Sudjadi, 1985).

Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Vibrasi dapat digolongkan atas Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Vibrasi dapat digolongkan atas

A. Vibrasi Regangan (Streching)

Dalam vibrasi ini atom bergerak terus sepanjang ikatan yang menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan ada dua macam (Giwangkara, 2006).

1. Regangan Simetri, unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam satu bidang datar.

2. Regangan Asimetri, unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah tetapi masih dalam satu bidang datar. Sebagaimana gambar berikut:

Gambar 10. Vibrasi Renggangan (Giwangkara, 2006)

B. Vibrasi Bengkokan (Bending)

Jika sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi deformasi yang mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara keseluruhan. Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis (Giwangkara, 2006).

1. Vibrasi Goyangan (Rocking), unit struktur bergerak mengayun asimetri tetapi masih dalam bidang datar.

2. Vibrasi Guntingan (Scissoring), unit struktur bergerak mengayun simetri dan masih dalam bidang datar.

3. Vibrasi Kibasan (Wagging), unit struktur bergerak mengibas keluar dari bidang datar.

4. Vibrasi Pelintiran (Twisting), unit struktur berputar mengelilingi ikatan yang menghubungkan dengan molekul induk dan berada di dalam bidang datar.

Gambar 11. Vibrasi Bengkokan (Giwangkara, 2006) Jika suatu senyawa organik disinari dengan sinar infra-merah yang mempunyai panjang gelombang tertentu, akan didapatkan bahwa beberapa frekuensi tersebut diserap oleh senyawa tersebut. Sebuah alat pendetektor yang diletakan di sisi lain senyawa tersebut akan menunjukkan bahwa beberapa frekuensi melewati senyawa tersebut tanpa diserap sama sekali, tapi frekuensi lainya banyak diserap. Beberapa banyak frekuensi tertentu yang melewati senyawa tersebut diukur sebagai persen transmitan (Sudjadi, 1985).

Gambar 12. Instrumentasi FTIR (Dokumen Pribadi, 2010) Pada sistem optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light Amplification By Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yansg diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik. Detektor yang digunakan dalam spektrofotometer FTIR adalah TGS ( Tetra Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitif, cepat tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah (Giwangkara, 2006). Tabel 5. Beberapa Contoh Nilai Frekuensi Gugus Fungsi

Gugus Fungsi -1 Panjang Frekuensi (cm )

Gelombang

O-H Alkohol/fenol

3580-3650 bebas

2,74-2,79

2500-2700 Asam karboksilat

H yang terikat NH Amina

3140-3320 primer,

6,10-6,45

sekunder dan amida CH Alkana

2850-2960 Alkena

3,37-3,50

3010-3095 Alkuna

~ 3030 CH 2 Bending

1465 CH 3 Bending

1450-1375 CC Alkuna

6,90-7,27

2190-2260 Alkena

4,42-4,76

1620-1680 Aromatik

5,95-6,16

1475-1600

C=O Aldehid

1720-1740 Keton

5,75-5,81

1675-1725 Asam

5,79-5,97

1700-1725 Ester

5,79-5,87

1720-1750 Anhidrida

5,71-5,86

1760-1181 CN Nitrit

5,52-5,68

2000-3000 NO 2 Nitro

4,35-5,00

1500-1650 (Hermanto,2008)

6,06-6,67

Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS)

Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa atau sering disebut GC-MS (Gass Chromatography Mass Spectrometry) adalah teknik analisis yang menggabungkan dua metode analisis, yaitu Kromatografi Gas dan Spektroskopi Massa. Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana sampel terpisahkan secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa kromatogram). Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis, dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa dari ion- ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa (Underwood dan Day, 2002).

Gambar 13. Instrumentasi GC-MS (Dokumen Pribadi, 2010) Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen

yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai

Pemisahan komponen senyawa dalam GC-MS terjadi di dalam kolom (kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase gerak adalah gas pembawa (Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian tinggi, yaitu ± 99,995%). Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul di dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada di dalam kolom. Komponen- komponen yang telah dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi sebagai detektor secara instrumentasi (Hermanto, 2008).

Injeksi sampel berupa cairan adalah teknik memasukkan sampel yang paling umum. Sampel langsung dimasukkan atau diinjeksi setelah mendapat preparasi. Direct Inlet Probe digunakan untuk sampel yang memilki titik uap yang lebih tinggi dari kemampuan injector GC atau untuk analisis sampel yang tidak stabil secara termal. Sampel langsung dimasukkan ke dalam MS tanpa melalui GC. Teknik Headspace digunakan untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa- senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa-senyawa tersebut terdapat di dalam produk berbentuk cair atau padat. Misalnya, senyawa yang mudah menguap di dalam air, aroma di dalam produk makanan dan sebagainya. Sampel dimasukkan ke dalam wadah khusus, lalu diinkubasi. Setelah terjadi ekuilibrium gas yang berada di atas diambil oleh syringe. Lalu sampel dimasukkan ke dalam GC. Teknik sampling ini menggunakan alat khusus yang terpisah dari instrument GC-MS, sedangkan pirolis digunakan untuk sampel yang tidak dapat diuapkan oleh injector GC, misalnya polimer-polimer.

Sampel pertama kali diuraikan terlebih dahulu oleh pemanasan dalam alat khusus, hasil dekomposisi dapat dianalisis oleh GC. Purge dan Trap, digunakan untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa-senyawa organik yang mudah menguap. Zat yang mudah menguap (zat volatil) Sampel pertama kali diuraikan terlebih dahulu oleh pemanasan dalam alat khusus, hasil dekomposisi dapat dianalisis oleh GC. Purge dan Trap, digunakan untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa-senyawa organik yang mudah menguap. Zat yang mudah menguap (zat volatil)

2.6.11 Batubara Di Indonesia

Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam industri batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8 dunia . Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, praktek pertambangan terbuka (open pit mining) yang paling banyak diterapkan pada penambangan batubara dapat mengubah iklim mikro dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara disingkirkan (Gautama, 2007).

Menurut Fariz Tirasonjaya yang dikutip di batu bara Indonesia.com (www.batubara-indonesia.com) batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent moisture. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain - lain. Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya. Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap, yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Salah satu komoditi tambang yang banyak diusahakan saat ini, untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia, adalah batubara. Pada saat ini Indonesia Menurut Fariz Tirasonjaya yang dikutip di batu bara Indonesia.com (www.batubara-indonesia.com) batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent moisture. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain - lain. Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya. Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap, yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Salah satu komoditi tambang yang banyak diusahakan saat ini, untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia, adalah batubara. Pada saat ini Indonesia

Di lain pihak, tambang batubara di Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka, walaupun ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground mining), sehingga akan berdampak terhadap perubahan bentang alam, sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, serta secara umum menimbulkan kerusakan pada permukaan bumi. Dampak ini secara otomatis akan mengganggu ekosistem diatasnya, termasuk tata air (Subardja, 2007).

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5-10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan

H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut. Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut. Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang. Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat. Cadangan

batu bara di Indoensia tersebar di darah Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Menurut management batubara- indonesia.com (www.batubara-indonesia.com), World Energy Council memperkirakan cadangan batubara dunia terbukti mencapai 847.488 juta ton pada akhir 2007 yang tersebar di lebih dari 50 negara. Di Indonesia sendiri, menurut Dirjen Minerba Kementrian ESDM Bambang Setiawan yang dikutip di majalah Investor bulan April 2011, sumber daya dan cadangan batu bara nasional sebesar 105,2 miliar ton. Sedangkan nilai cadangan sebesar 21,13 miliar ton. Besarnya cadangan batu bara nasional menyebabkan peningkatan produksi batu bara setiap tahunnya. Menurut data ESDM, produksi batu bara Indonesia meningkat dari 132,352,025 ton per 2004, hingga 275,164,196 ton pada tahun 2010. Sementara total ekspor meningkat dari 93,758,806 ton per 2004 hingga 208,000,000 ton per 2010. Pertambangan batu bara dan emas mendominasi beberapa daerah di Kalimantan. Ketahanan tanaman terhadap logam berat berbeda. Oleh karena itu perlu diperoleh tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan tertentu. Lahan tambang umumnya telah terkontaminasi toksit, lahan jadi beracun dan susah ditumbuhi, disamping mengaplikasikan bakteri pereduksi sulfur dan bakteri penetralisir toksik. lahan bekas penambangan batu bara seringkali minim bahkan tidak ada lapisan topsoil yang sebenarnya banyak mengandung unsur hara. Usaha untuk memperoleh tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan pertambangan tertentu, dapat melalui modifikasi genetik melalui rekayasa genetika atau induksi mutan melalui radiasi atau somaklonal variasi. Induksi mutan melalui radiasi pada tanaman hutan belum banyak dilakukan dan umumnya tanaman daerah beriklim dingin dan sebagian besar tanaman keras atau berkayu seperti tanaman buah pir. Induksi mutan pada sengon merupakan usaha untuk meningkatkan ketahanan pada tanaman kehutanan di Indonesia yang berpotensi untuk reklamasi lahan pertambangan (Enny, 2009).

Dalam dasawarsa terakhir ini penggunaan batubara sebagai bahan energi meningkat dengan pesatnya pemanfaatan batubara sebagai sumber energy dapat menjadi salah satu skenario dalam mengatasi krisis energy.

Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit (Anggayana & Widayat, 2007).

Kehadiran dan beroperasinya pertambangan batubara dengan sejumlah aktivitasnya itu, seperti ganti rugi lahan, proses penambangan, perekrutan pegawai, penempatan mess karyawan, dan lain-lain berdampak pada lingkungan di sekitarnya, baik itu lingkungan fisik maupun non-fisik. Kondisi lingkungan yang demikian potensial merubah perilaku sosial masyarakat yaitu pada perilaku bergotong royong. Gotong royong merupakan salah satu aktivitas masyarakat yang terpengaruhi oleh kehadiran pertambangan batubara. Masyarakat desa dengan latar belakang sebagai petani serta kehidupan yang penuh dengan kesederhaan aktivitas gotong royong menjadi alternatif untuk saling meringankan beban pekerjaan yang berlaku secara turun temurun sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata dalam tata kehidupan sosial. Gotong royong merupakan ciri budaya bangsa Indonesia yang selalu dipegang teguh dan dijunjung tinggi terutama di pedesaan yang mayoritas dihuni oleh masyarakat tradisional. Namun seiring dengan masuknya sistem budaya baru, perilaku tersebut mengalami perubahan. Jika dulu masyarakat sering melaksanakan kegiatan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari secara suka rela (tanpa upah atau bayaran) dan mudah untuk dikerahkan, namun kondisi sekarang sulit untuk mengerahkan warga atau tenaga orang untuk bergotong royong tanpa ada bayaran (Jatman, 1983:15-16).