DAFTAR PUSTAKA 135 LAMPIRAN-LAMPIRAN 151 GLOSSARY 161 INDEX

BAB II GRAMATIKA DAN PERFORMANSI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA

Bab ini membahas tentang gramatika sebagai perolehan nature dan gramatika sebagai perolehan nurture.

Bab ini juga membahas tentang urgensi belajar gramatika dalam pembelajaran bahasa kedua. Selanjutnya bab ini akan membahas tentang konsep performansi meliputi; pengertian penilaian performansi, urgensi penilaian performansi terhadap penilaian pelajaran gramatika dan terakhir tentang desain penilaian performansi.

A. Gramatika sebagai Hasil Pemerolehan Nature Bahasa adalah objek natural, komponen dari pikiran

manusia secara fisik diwakili dalam otak dan bagian dari anugerah yang istimewa dari sistem biologis manusia itu. 1

Chomksy menilai bahwa linguistik adalah bagian dari psikologi individual dan pengetahuan kognitif. Menurutnya hal ini paling mewah dari komponen karakteristik sentral manusia secara alami yang didefinisikan sebagai aturan

biologis. 2 Chomsky juga berpendapat bahwa bahasa merupakan sifat umum dari sistem biologis, pertumbuhan

bahasa mempunyai tiga faktor diantaranya faktor genetik topik universal tatabahasa. Ini menafsirkan bahwa lingkungan sebagai bagian dari pengalaman berbahasa dan

menentukan arah perkembangan bahasa. 3 Pada tahun 1959 Chomsky menulis resensi yang

secara tajam menyerang teori Skinner yang mengatakan

1 Noam Chomsky, On Nature and Language (Cambridge: Cambridge University Press, 2002) h. 1

2 Noam Chomsky, On Nature and Language, h. 1 3 Noam Chomsky, ‚Universals of Human Nature‛, Psyhoteraphy

and Psychomatics (2005) (accessed July 02, 2014). Lihat juga Noam Chomsky, ‚Problems

Lingua 130 (2013), www.elsevier.com (accessed July 02, 2014)

of

Projection‛ Projection‛

berbahasa seperti dia memperoleh kemampuan berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai piring kosong, tabula rasa, tetapi dia dibekali sebuah alat yang dinamakan Piranti

Pemerolehan Bahasa. 4 Menurut Chomsky manusia mempunyai faculty of the mind semacam kapling-kapling intelektual dalam otaknya. Kapling kodrati yang dibawa

sejak lahir disebut dengan Language Acquisition Device (LAD). 5 Menurutnya setiap orang mempunyai satu sistem

terwaris ( innate system) yang cocok untuk berbahasa dari semua bahasa yang mungkin ditangkap olehnya. 6

Chomsky menganggap Skinner keliru dalam memahami kodrat bahasa. Bahasa bukan suatu kebiasaan

tetapi suatu sistem yang diatur seperangkat peraturan ( rule- governed). Bahasa juga kreatif dan memiliki ketergantungan struktur. Kedua kodrat ini hanya dapat dimiliki oleh

manusia. 7 Teori genetik-kognitif ini didasarkan pada satu

hipotesis nurani. Hipotesis ini menyatakan bahwa otak manusia dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Hipotesis ini menyatakan bahwa dengan adanya LAD

seorang anak bisa menguasai bahasa ibunya dengan cepat. 8 Begitu juga pada waktu lahir anak-anak telah dikaruniai

dengan seperangkat tata bahasa universal dan kemudian lingkungan yang akan menentukan dimana bahasa itu akan

4 Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010) h. 236

5 Noam Chomsky, On Nature and Language, h. 47 6 Jos Daniel Parera, Dasar-Dasar Analisis Sintaksis (Jakarta:

Erlangga, 2009) h. 108 7 Soenjono

Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, h. 236 8 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) h. 108 Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, h. 236 8 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) h. 108

pemerolehan tata bahasa dimana tata bahasa adalah sumber daya kognitif yang memungkinkan pemiliknya untuk menghasilkan dan mengenali banyak ungkapan bahasa. 10

Chomsky yakin bahwa piranti pemerolehan bahasa (LAD) merupakan serangkaian kemestaan sintaksis, properti struktural yang umum ditemukan dalam semua bahasa.

Struktur sintaksis ini dibawa sejak lahir. Yang dipelajari oleh anak adalah kosakata. 11 Tata bahasa diperlukan sebagai

pengetahuan bahasa akan tetapi proses pemerolehannya

secara spontan dan tidak formal. 12

Menurut Parera tata bahasa generatif mengandung dua makna yaitu produktivitas/kreativitas bahasa dan

mengandung keformalan eksplisit. Tata bahasa dikatakan dapat menghasilkan semua kalimat bahasa tertentu dan tidak mungkin menghasilkan kalimat yang tidak cocok

( 13 nonsenteces, illformed). Berbeda dengan teori behaviriostik tata bahasa generatif dapat menghasilkan kalimat-kalimat baru yang bisa jadi kalimat tersebut belum pernah didengar oleh penutur.

B. Gramatika sebagai Hasil Pemerolehan Nurture Pelopor modern dalam pandangan ini adalah psikolog

dari Universitas Harvard B.F. Skinner. Dalam Verbal

9 Elizabeth Bates, ‚On The Nature and Nurture of Language‛, (San Diego: University of California) (accessed July 03, 2014)

10 Stephen Crain and Paul Pietroski, ‚Nature, Nurture and Universal Grammar‛ Springer Vol. 24, No. 2 (2001) (accessed July 04,

2014) 11 Arifuddin, Neuropsikolinguistik (Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2010) h. 149 12 Martin A. Nowak, Natalia L. Komarova, Partha Niyogi,

‚Evolution of Universal Grammar‛ Science 291, (2001) (accessed July 02, 2014) 13 Jos Daniel Parera, Dasar-Dasar Analisis Sintaksis (Jakarta:

Erlangga, 2009) h. 95

Behavior (1957), karya yang monumental dan sangat berpengaruh. Dia meneliti seorang tikus yang akhirnya

memperoleh pengetahuan. Proses yang dinamakan operant conditioning ini melatih tikus untuk memperoleh makanan

dengan menekan suatu pedal. 14 Dalam bukunya, Skinner memberi contoh percobaan

yang dilakukan oleh Thorndike pada seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kotak secara terus menerus. Prilaku ini menimbulkan respon bahwa kucing ingin melarikan diri dengan cepat dari kotak tersebut. 15 Dari eksperimen ini

Skinner menyimpulkan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk pengetahuan pemakaian bahasa, didasarkan pada

adanya stimulus dan diikuti oleh respon. Dari proses pengulangan ini akan muncullah kebiasaan. Kebiasaan hanya

bisa diperoleh melalui latihan yang bertubi-tubi. Pandangan inilah yang menjadi dasar mengapa latihan tubian ( drills) merupakan bagian yang sangat penting dalam pengajaran bahasa asing pada metode seperti oral approach atau audiolingual approach. 16

Kaum behavioris 17 menekankan bahwa pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak yaitu oleh

14 B. F. Skinner, Verbal Behavior (Harvard: Harvad University, 1948) (accessed July 04, 2014)

15 B. F. Skinner, Science and Human Behavior, (Skinner Foundation: Pearson Education, 2005) h. 59 (accessed July 03, 2014)

16 Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, h. 235 17 Behaviorisme sebagai sebuah teori psikologi dan pembelajaran menjadi berpengaruh pada awal abad keduapuluh dan mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1950-an dan 1960-an. Teori tersebut berakar dari penelitian Ivan Pavlov di Rusia di sekitar pergantian abad yang lalu. Dalam berbagai eksprimennya yang sangat terkenal dengan anjung, Pavlov menunnjukkan bagaimana seekor anjing mengeluarkan air liur saat diberikan stimulus yang bersifat semau-maunya. Seperti bel, jika stimulus tersebut dipasangkan terus-menerus dengan pemberian makanan, secara berangsur-angsur, semakin sedikit makanan diberikan bersamaan dengan bunyi dering bel. Pavlov menyebut proses ini sebagai refleks terkondisi ( conditioned reflex). Lihat: Iskandar Wiryokusumo, 16 Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, h. 235 17 Behaviorisme sebagai sebuah teori psikologi dan pembelajaran menjadi berpengaruh pada awal abad keduapuluh dan mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1950-an dan 1960-an. Teori tersebut berakar dari penelitian Ivan Pavlov di Rusia di sekitar pergantian abad yang lalu. Dalam berbagai eksprimennya yang sangat terkenal dengan anjung, Pavlov menunnjukkan bagaimana seekor anjing mengeluarkan air liur saat diberikan stimulus yang bersifat semau-maunya. Seperti bel, jika stimulus tersebut dipasangkan terus-menerus dengan pemberian makanan, secara berangsur-angsur, semakin sedikit makanan diberikan bersamaan dengan bunyi dering bel. Pavlov menyebut proses ini sebagai refleks terkondisi ( conditioned reflex). Lihat: Iskandar Wiryokusumo,

memungkinkan seseorang dapat menjawab dan mengatakan sesuatu. Mereka berpendapat kaidah bahasa diperoleh dari rangsangan (stimulus) dari lingkungan tertentu yang memperkuat kemampuan berbahasa anak. Kaum behavioris menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara

pembelajaran S-R (Stimulus-Respon). 18 Menurut Skinner Prilaku verbal dilayani dengan baik oleh respon yang seluruhnya itu dikendalikan oleh fitur-fitur eksternal yaitu

lingkungan dari kondisi pembicara. Pandangan ini berpendapat semua keterampilan manusia diperoleh dengan proses belajar. Dan manusia sejak lahir telah dilengkapi dengan kemampuan belajar. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa diperoleh lewat proses belajar. Ini mengisyaratkan bahwa bahasa harus dipelajari. Kemampuan berbahasa adalah satu kemampuan hasil belajar

dan bukan diwariskan. 19 Teori ini menekankan bahwa anak-anak belajar

dengan cara meniru dan mengulang apa yang mereka dengar. Penguatan positif dan pembetulan (perbaikan) juga berperan penting dalam pemerolehan bahasa. Anak-anak benar-benar melakukan peniruan terhadap apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Pengulangan kata-kata dan frase-frase baru yang

mereka dengar merupakan ciri khas anak. 20 Menurut teori ini anak-anak tidak bisa membuat kata-kata yang berkaidah

‚Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme: Teori Belajar dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran‛ Prospektus, tahun VII Nomor 2,

Oktober (2009) (diakses 04 Juli 2014) 18 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, h. 173 19 Jos Daniel Parera, Linguistik Edukasional Metodologi

Pembelajaran Bahasa Analisis Konstranstif Antarbahasa Analisis Kesalahan Berbahasa (Jakarta: Erlangga, 1997) h. 51

20 Arifuddin, Neuropsikolinguistik, h. 147 20 Arifuddin, Neuropsikolinguistik, h. 147

Hal terpenting dalam teori ini adalah belajar sebagai penguatan, pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus dengan respon akan semakin kuat bila diberikan penguatan. Ciri dari teori ini menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, dan mementingkan latihan sehingga muncul prilaku yang

diinginkan. 21

C. Urgensi Belajar Gramatika dalam Pembelajaran Bahasa Kedua

Pembelajaran gramatika membekali peserta didik dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang memungkinkannya

dapat menjaga bahasanya dari kesalahan. Ringkasnya adalah mengenalkan dan membiasakan peserta didik menggunakan kaidah-kaidah nah{w dan s{arf secara tepat, sehingga terhindar dari kesalahan lisan, kesalahan baca, dan kesalahan dalam

ekspresi tulisan. 22 Menurut Ruthefod bahwa gramatika digunakan untuk menganalisis sistem bahasa. Pembelajaran

gramatika tidak hanya dianggap penting pada fitur pembelajaran bahasa, akan tetapi dianggap cukup membantu peserta didik untuk benar-benar menguasai bahasa asing

yang lainnya. 23 Dengan begitu kedudukan gramatika sebagai

komponen penting dalam ilmu bahasa bukanlah merupakan suatu yang sia-sia. Gramatika mempunyai peran dalam setiap pembicaraan yang keluar dari lisan pembicara untuk dimengerti ucapannya kepada lawan bicara.

21 Ri fnon Zaini, ‚Studi Atas Pemikiran B. F. Skinner Tentang Belajar‛ www.ejournal.iainradenintan.ac.id (2013) (diakses 04 Juli 2014)

22 Fakhr al-Din Amir dalam Muhbib Abdul Wahab, Epistemologi & Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Jakarta: Lembaga Penelitian

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) 174. 23 Ruthefod dalam James Purpura, Assessing Grammar

(Australia: Cambridge University Press, 2004) 1.

Kompetensi gramatika menempati posisi yang sangat menonjol dan utama dalam kemampuan berkomunikasi.

Peran gramatika ini dalam perkembangan bahasa didukung secara teoritik dan empirik. 24 Gramatika adalah satu dari tiga

dimensi bahasa yang membuatnya saling terhubung. Dengan kata lain gramatika mengajari kita bagaimana membuat

sebuah kalimat, akan tetapi bentuk-bentuk itu secara harfiah tidak mempunyai arti tanpa dimensi kedua yaitu semantik

dan dimensi yang ketiga yaitu pragmatik. 25 Perdebatan tentang pengajaran gramatika secara formal sejatinya telah dimulai pada abad ke dua puluh. Rice

1903 menyarakan bahwa pengajaran gramatika secara formal tidak memiliki pengaruh yang menguntungkan pada kemampuan menulis peserta didik. Asker 1923, Macaulay 1947, Robinson 1960 menyatakan bahwa latihan-latihan gramatika secara formal tidak meningkatkan kompetensi murid. Symond 1931 menyatakan pengajaran gramatika sebenarnya menghambat perkembangan bahasa Inggris anak- anak, dan terakhir Boraas 1917. Segal & Barr 1926 menyatakan pengetahuan gramatika tidak memberikan bantuan secara umum dalam penggunaan bahasa yang

salah. 26 Namun akhir-akhir ini teori-teori Krashen mengenai pemerolehan bahasa kedua telah banyak didiskusikan dan

diperdebatkan secara seru. Krashen berpendapat bahwa pengajaran gramatika dalam kelas (formal) tidak mempunyai kontribusi dalam perkembangan pengetahuan. Menurutnya

24 Ellis, James Scott dalam Abdulmoneim Mahmoud, ‚Learner Involvement in Language Development: From Course Design to

Performance Assessment ‛, Journal of Language Teaching and Research, Vol. 4, No. 4, July 2013 (accessed October 30, 2013)

25 H. Douglas Brown, Teaching by Principles An Interactive Approach to Language Pedagogy (United States: Pearson Education,

2007) 420. 26 Richard Andrews dkk, ‚The Effect of Grammar Teaching on

Writing Development ‛, British Educational Research Journal, Vol. 32, No.1 February 2006, Routledge Taylor & Francis Group (accessed October 30, 2013) Writing Development ‛, British Educational Research Journal, Vol. 32, No.1 February 2006, Routledge Taylor & Francis Group (accessed October 30, 2013)

pengetahuan tersebut

membutuhkan

partisipasi dalam komunikasi bahasa kedua. Salah satu teori yang menonjol dari teori Krashen

adalah bahwa orang dewasa seharusnya diberi kesempatan untuk ‚mendapatkan begitu saja‛ sebuah bahasa, dan tidak harus dipaksa ‚mempelajari‛ tata bahasa di kelas. Kemudian hipotesis

hipotesis pemerolehan- pembelajaran: dalam hipotesis ini Krashen mengatakan bahwa ‚kecakapan dalam performa bahasa kedua seiring dengan apa yang sudah kita peroleh dan bukan apa yang kita pelajari ‛. Pembelajaran yang eksplisit dan internasional semacam itu, menurut Krashen, harus dihindari jauh-jauh, karena dianggap merintangi pemerolehan. Hanya begitu kecakapan mapan, barulah pemantauan atau penyuntingan yang cukup digunakan. Terakhir yaitu hipotesis urutan alamiah yang mengatakan bahwa memperoleh kaidah-kaidah bahasa dalam sebuah urutan yang bisa diprediksi atau

Krashen

yaitu;

‚alamiah‛. 28 Selanjutnya dalam tulisan yang lain Krashen

menyatakan bahwa pembelajaran gramatika berdampak sangat sederhana. Pembelajaran gramatika biasanya memudar setelah beberapa bulan. Dengan kata lain pengajaran gramatika selama berjam-jam dalam beberapa minggu hasilnya hanya sedikit dalam meningkatkan

performa pada tes tata bahasa dan dengan cepat dilupakan. 29 Sejalan dengan Krashen, Truscott berpendapat bahwa

pengajaran gramatika secara eksplisit berimplikasi sangat

27 Krashen dalam Rod Ellis, Grammar Teaching - Practice or Consciousness-Raising?, ‚Methodology in Language Teaching: An

Anthology of Current Practice ‛ edited by Jack C. Richard, Willy A. Renandya (United States: Cambridge University Press, 2002) 167.

28 H. Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa (United States: Pearson Education Company, 2007) 323.

29 Stephen Krashen, ‚Second Language ‚Standards For Succes‛ Out of Touch With Language Acquisition ‛, IJFLT The International

Journal of Foreign Language Teaching, Volume 1, Number 2, Spring 2005 (accessed October 24, 2013) Journal of Foreign Language Teaching, Volume 1, Number 2, Spring 2005 (accessed October 24, 2013)

linguis mengadakan penelitian untuk membuktikan bahwa pendapat Krashen dan Truscott tersebut keliru.

Menurut Weaver, McNally dan Moerman, mengajar atau tidak mengajar gramatika bukanlah sebuah pertanyaan,

akan tetapi masalahnya adalah apa dan bagaimana mengajar gramatika tersebut. 31

Sejalan dengan Weaver dkk, Shoudong Feng dan Kathy Powers menyarankan kepada guru untuk membaca dan menganalisis tulisan siswa dalam konteks kesalahan

gramatika, dengan begitu guru dapat mendesain mini-lessons untuk memperbaiki kesalahan, mengumpulkan tulisan siswa kembali dan kemudian menganalisis tulisan mereka untuk

mengukur kemajuan dalam pembelajaran gramatika. 32 Eric telah melakukan penelitian terhadap siswa yang

diberikan tugas untuk menganalisis dan mempraktekan gramatika dalam komunikasi dan kesimpulannya bahwa

gramatika membuat siswa lebih baik dalam berbahasa. 33 Meskipun pengajaran gramatika adalah pembelajaran

yang telah lama sama seperti pengajaran bahasa, pengajaran gramatika tersebut masih diyakini menjadi komponen

30 Truscott dalam Hossein Nasaji and Sandra Fotos, ‚Current Development in Research on The Teaching of Grammar ‛, Annual

Review of Applied Linguistics (2004), Cambridge University Press (accessed October 24, 2013)

31 Constance Weaver, Carol McNally, and Sharon Moerman, ‚To Grammar or Not to Grammar: That Is Not the Question ‛, Voices from

the Middle, Volume 8 Number 3, March 2001. by the National Council of Teachers of English (accessed November 03, 2013)

32 Shoudong Feng, Kathy Powers, ‚The Short-and Long-Term Effect of Explicit Grammar Instruction on Fifth Graders’Writing‛,

nycdoeit.airws.org 33 (accessed November 05, 2013) Simon Borg, ‚Teachers' Theories in Grammar Teaching‛, ELT

Journal Volume 53/3 July 1999 © Oxford University Press 1999, eltj.oxfordjournals.org (accessed September 24, 2013) Journal Volume 53/3 July 1999 © Oxford University Press 1999, eltj.oxfordjournals.org (accessed September 24, 2013)

membantu peserta didik dalam membenarkan ungkapan baik secara lisan maupun tulisan dan membantah teori Krashen dan Truscott sebelumnya.

Pada kasus pembelajaran bahasa Arab yaitu persepsi tentang nah{w yang didapat tidak jauh berbeda. Nah{w merupakan salah satu cabang (ilmu) bahasa Arab yang paling

banyak mendapat perhatian sekaligus pertentangan dari berbagai kalangan. Ilmu bahasa bermula dan berkembang pesat lantaran kajian nah}w, sementara nah{w banyak pertentangan karena keberadaan nah{w dalam sistem ilmu bahasa Arab kerap kali dituding sebagai ‚biang keladi‛ dan

‚pemersulit‛ bahasa Arab itu sendiri. 35 Hal inilah yang membuat nah{w sulit dipahami dikarenakan para peserta

34 Erlam et al, Nassaji et al dalam Abdulmoneim Mahmoud, ‚Learner Involvement in Language Development: From Course Design

to Performance Assessment ‛, Journal of Language Teaching and Research, Vol. 4, No. 4, July 2013 (accessed October 30, 2013) 35

Muhbib Abdul Wahab, Epistemologi & Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) 172. Menurut Ibrahim Muhammad ‘Abdullah masalah-masalah pembelajaran nah{w terdapat dalam kurikulum pembelajaran, buku ajar, guru pengajar serta banyaknya istilah dan cabang kompleksitas teks-teks aturan gramatika. Lihat Ibrahim Muhammad ‘Abdullah, ‚Mu ṣkilāt Ta’li>m an-Nah{w‛, Mujma’ al- Lughah Bidama ṣqa, www.arabacademy.gov.sy (diakses 25 Oktober 2013). Menurut Michael Swan pembelajaran grammar sangat penting akan tetapi sebagian besar orang-orang (pengajar) mengajarkan grammar terlalu banyak. Swan memberikan tujuh pengajaran yang buruk diantaranya adalah pelajaran grammar ada didalam buku yang semuanya harus diajarkan. Menurut Swan memilih poin-poin grammar yang relevan yang ada di buku adalah hal yang penting bagi siswa. Poin-poin grammar dipilih yang memungkinkan untuk dipakai dalam komunikasi. Lihat Michael Swan, ‚Seven Bad Reasons for Teaching Grammar-and Two Good Ones ‛, edited by Jack C. Richard, Willy A. Renandya, Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice (United States: Cambridge University Press, 2002) 148.

didik sudah tersugesti dengan pernyataan bahwa nah{w sebagai pelajaran yang sulit untuk dipelajari.

Gramatika lahir dikarenakan adanya kesalahan- kesalahan dalam penggunaan bahasa. Gramatika merupakan kaidah-kaidah bahasa yang lahir setelah adanya bahasa. Oleh sebab itu sesungguhnya gramatika dipelajari agar pengguna bahasa mampu menyampaikan ungkapan bahasa dan mampu memahaminya dengan benar baik dalam bentuk tulisan (membaca dan menulis dengan benar) maupun dalam bentuk ucapan (bicara dengan benar). Urgensi belajar gramatika karena barang siapa yang belajar bahasa itu dan dalam penggunaannya dia membutuhkan aturan yang bisa menjadi media atau alat yang membantu dia untuk memahami dan menyusun kalimat sehingga ungkapan-ungkapan bahasanya benar. 36

Gramatika sebagai bagian dari paparan tentang bahasa berkaitan dengan kemampuan tentang kata pada tataran morfologi, dan kemampuan tentang kalimat pada tataran sintaksis. Kemampuan tentang kata meliputi pemahaman dan penggunaan kata dan gabungan kata masing-masing dengan bagian-bagian yang memiliki arti dan dikenal dengan morfem. Sedangkan kemampuan tentang kalimat meliputi pemahaman dan penyusunan kalimat, baik kalimat tunggal dengan berbagai bentuk dan susunannya, maupun kalimat majemuk dalam berbagai bentuk dan jenis

penggabungannya. 37 Menurut Ibn Khaldu>n aturan gramatika merupakan

salah satu tahapan yang paling menonjol pada pembelajaran bahasa Arab. Beliau memposisikan gramatika pada garis depan dalam ilmu lisan yang mempunyai empat cabang yaitu; bahasa, tata bahasa, ilmu bayan, dan sastra, dan yang

36 Abdul Hamid, Uril Baharuddin, Bisri Mustofa, Pembelajaran Bahasa Arab, Pendekatan, Metode, Strategi, Materi dan Media (Malang:

UIN-Malang Press, 2008) 65. 37 Soenardi Djiwandono, Tes Bahasa Pegangan bagi Pengajar

Bahasa (Jakarta: Indeks, 2011) 130.

menunjukan hal yang paling penting adalah gramatika. Dengan gramatika menjadi jelas pokok maksud dari suatu

dalil diketahui mana objek, baik mubtada atau khabar, kalaulah tidak ada hal itu maka tidak diketahui pokok masalah. 38 Pengetahuan tentang bahasa membuat kita mengetahui makna dalam kata atau kalimat atau aturan- aturan gramatika. 39

Pengajaran gramatika untuk anak-anak dewasa lebih difokuskan kepada bentuk-bentuk permasalahan dalam

pembelajar, serta pembelajaran gramatika secara eksplisit lebih efektif untuk tingkat intermediate sampai tingkat advanced ke atas. 40

Jika dilihat lagi defenisi tatabahasa/gramatika menurut Penny seperangkat aturan yang menentukan

bagaimana kata-kata (atau bagian kata) digabungkan atau diubah untuk membentuk makna dalam bahasa. 41 Menurut

Amin al-Kukhun qawa >‘id merupakan sebuah jalan untuk memperbaiki lisan dan menjaganya dari kesalahan lafal. Dasar dari pembelajaran gramatika ini adalah menempatkan pembelajar untuk memahami cara berekspresi yang tepat dan

jelas. 42 Menurut Abu Maghaly Aturan gramatika sebagai

38 Bulkhair Shinin, ‚Turuqu Tadri>s al-Qaw ā‘id an-Nah}wiyah wa ‘Alaqatuh ā bi Fikri Ibnu Khaldu>n‛, Majalah al-Athar, al-‘Adad 13 /

M āris 2012, (dikases 20 Oktober 2013) 39 Pradeep Kumar Debata, ‚The Importance of Grammar in

English Language Teaching - A Reassessment ‛, ISSN 1930-2940 Vol. 13:5 May 2013, www.languageinindia.com (accessed October 03, 2013) 40 H. Douglas Brown, Teaching by Principles An Interactive Approach to Language Pedagogy, h 421. 41 Penny dalam Shih-Chuan Chang, ‚A Contrastive Study of Grammar Translation Method and Communicative Approach in Teaching English Grammar ‛, Vol. 4, No. 2; June 2011,

www.ccset.org/elt (accessed February 06, 2013) 42 Amin al-Kukhun dan Lin ā Haniyah, ‚Atharu Istikhdam ad-

Dir āma at-Ta’li>miyah fi> Tadri>si Qawā‘id al-Lughah al-‘Arabiyah fi Tahs{ili T{a>lib āh as{-S{afi al-‘A>shir al-Asāsi>‛, Majallah al-Urduniyah fi> ‘Ulumi at-Tarbawiyah, Majalad 5, ‘Adad 2, 2009 (diakses 20 Oktober 2013) Dir āma at-Ta’li>miyah fi> Tadri>si Qawā‘id al-Lughah al-‘Arabiyah fi Tahs{ili T{a>lib āh as{-S{afi al-‘A>shir al-Asāsi>‛, Majallah al-Urduniyah fi> ‘Ulumi at-Tarbawiyah, Majalad 5, ‘Adad 2, 2009 (diakses 20 Oktober 2013)

untuk memperbanyak latihan dan memperhatikan cara-cara penggunaan bahasa dalam kehidupan. 43 Dari beberapa

pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengajaran gramatika sangat penting untuk dipelajari pada pembelajaran

bahasa kedua. Pengajaran gramatika harus dibarengi secara aplikatif dalam latihan-latihan berbicara. Gramatika juga diajarkan setelah peserta didik mampu berbicara pada bahasa target.

D. Konsep Performansi Performansi adalah bagaimana cara seseorang

memakai bahasa dalam bentuk tingkah laku sebenarnya. Menurut Wardhoug dalam pengajaran bahasa perlu

dipertanyakan, bagaimana cara mau mengasingkan otak mereka di dalam belajar bahasa asing? Untuk menjawab pertanyaan ini, Stevick mencoba membagi performansi menjadi dua bagian yaitu reflektif dan produktif.

Performansi yang reflektif adalah sejauhmana seorang murid memantulkan kembali apa yang dilemparkan seorang guru kepadanya. Menirukan ucapan suatu kata, latihan-latihan substitusi, latihan-latihan transformasi serta cara konfensional semacamnya dapat dikategorikan sebagai performance yang reflektif. Audiolingual approach cenderung membuat murid terbiasa dengan performansi ini. Sebaliknya performansi yang produktif tidak bertitik tolak dari kewajiban mengikuti model bahasa yang diberikan oleh guru atau text book, akan tetapi dimulai dengan sesuatu yang ingin dikemukakan. Dengan demikian, murid menciptakan model tersendiri dari dalam dirinya untuk mengutarakan maksudnya. Stevick selanjutnya memberi

43 Abu Magha>li> , ‚Tahli>l al-Muhtaw ā al-Kutub al-Qawā’id an- Nah}wiyah fi> al-Mar āhili ad-Dirāsiyah fi> aj-Jumhuriyah al-‘Arabiyah as-

Su>riyah ‛, Majallah J āmi‘ah Dimashqa-al-Mujalad 26-Mulhaq-2010 (diakses 25 Oktober 2013) Su>riyah ‛, Majallah J āmi‘ah Dimashqa-al-Mujalad 26-Mulhaq-2010 (diakses 25 Oktober 2013)

adalah murid yang berperformansi secara produktif. Maslow memberi komentar bahwa performansi yang produktif datang dari suatu tempat yang lebih dalam dari diri siswa. Itulah sebabnya mengapa hasil yang diperoleh lebih mapan dan mantap. 44

1. Pengertian Penilaian Performansi Kompetensi merupakan ‚pengetahuan‛ seseorang akan bahasanya, memungkinkan dia dapat melakukan

performansi atau pelaksanaan bahasa itu yang berupa memahami kalimat-kalimat yang didengar (pelaksanaan reseptif) dan melahirkan kalimat-kalimat (pelaksanaan produktif) dari bahasanya.

adanya kompetensi (kecakapan linguistik) dan performansi (pelaksanaan atau perlakuan linguistik). Kompetensi adalah pengetahuan penutur-pendengar mengenai bahasanya,

Chomsky

membedakan

sedangkan performansi adalah pelaksanaan berbahasa dalam bentuk

menerbitkan kalimat-kalimat dalam keadaan nyata. 45 Kompetensi linguistik adalah pengetahuan sadar penutur

dari tata bahasanya sedangkan performansi (kinerja linguistik) hubungannya dengan produksi aktual dan

pemahaman ujaran. 46 Penampilan bahasa ( performance) mengacu kepada kemampuan pembelajar dalam memahami

dan menghasilkan ujaran secara aktual dalam aktivitas

44 Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) 30.

45 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, h.77. Lihat juga Samsunuwiyati, Psikolinguistik Suatu Pengantar (Bandung: Refika

Aditama, 2005) 18. 46 Noam Chomsky dalam Adnike Akinjobi, ‚Academic

Competence and Linguistic Performance: A Study of English Intonation Tune Assignment by Some Nigerian English Language Postgraduate Students ‛, African Nebula, Issue 4, September 2011 (accessed September 18, 2013) Competence and Linguistic Performance: A Study of English Intonation Tune Assignment by Some Nigerian English Language Postgraduate Students ‛, African Nebula, Issue 4, September 2011 (accessed September 18, 2013)

dituturkan. Itulah sebabnya pemerolehan bahasa senantiasa melibatkan kompetensi dan performansi. 47 Performansi

merupakan cerminan kompetensi yang tentu saja dapat dipengaruhi oleh pelbagai situasi mental dan lingkungan riil.

Gejala ini disebut sebagai gejala ekstralinguistik, seperti keterbatasan ingatan, keteledoran, kecerobohan, dan sebagainya. Oleh sebab itu untuk mencapai satu situasi pembicara-pendengar yang ideal agar performansi benar- benar merupakan cerminan kompetensi atau bunyi makna bersesuai dengan kaidah-kaidah kompetensi , faktor-faktor ekstralinguistik sejauh mungkin dihindarkan dan dihindari. 48

Penilaian performansi merupakan salah satu bentuk penilaian yang dianggap relatif akurat untuk melihat hasil

belajar siswa. Penilaian performansi memberikan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam totalitas belajar dari awal hingga akhir yang

dapat dievaluasi oleh orang lain guru atau dosen. 49 Penilaian performansi 50 adalah suatu prosedur yang

menggunakan berbagai bentuk tugas-tugas untuk

47 Arifuddin, Neuropsikolinguistik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) 116.

48 J.D. Parera, Dasar-Dasar Analisis Linguistik (Jakarta: Erlangga, 2009) 108.

49 Ferdy Dungus, ‚The Effect of Implementation of Performance Assessment, Portfolio Assessment and Written Assessments Toward the

Improving of Basic Physics II Learning Achievement ‛, Journal of Educational and Practice Vol. 4, No. 14, 2013. www.iiste.org (accessed

October 17, 2013) 50 O’Malley dan Valdez-Pierce mengatakan bahwa penilaian

performansi dianggap menjadi bagian dari penilaian otentik dengan mengikuti karakteristik sebagai berikut: 1), membuat siswa menjadi lebih responsif, 2), siswa teribat dalam kegiatan berfikir tingkat tinggi dengan tugas-tugas yang terbuka, 3), mempunyai tugas yang bermakna, menarik dan otentik, 4), mempunyai tugas yang terintegrasi pada kemampuan berbahasa , 5), Menilai proses dan produksi, 6), pemahaman dan Penguasaan siswa yang luas lebih ditekankan. Lihat: O’Malley and performansi dianggap menjadi bagian dari penilaian otentik dengan mengikuti karakteristik sebagai berikut: 1), membuat siswa menjadi lebih responsif, 2), siswa teribat dalam kegiatan berfikir tingkat tinggi dengan tugas-tugas yang terbuka, 3), mempunyai tugas yang bermakna, menarik dan otentik, 4), mempunyai tugas yang terintegrasi pada kemampuan berbahasa , 5), Menilai proses dan produksi, 6), pemahaman dan Penguasaan siswa yang luas lebih ditekankan. Lihat: O’Malley and

mensyaratkan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas kinerjanya menggunakan pengetahuan dan keterampilannya yang diwujudkan dalam perbuatan, tindakan atau unjuk kerja. Tes unjuk kerja meminta siswa mewujudkan tugas sebenarnya yang mewakili keseluruhan kinerja yang akan dinilai seperti mempersiapkan alat, menggunakan alat/merangkai alat, menuliskan dan menganalisis data, menyimpulkan, menyusun laporan dan sebagainya. Secara khusus penilaian kinerja menjelaskan kemampuan- kemampuan siswa, pemahaman konseptual, kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan kemampuan kemampuan melaksanakan kinerja dan kemampuan melaksanakan suatu proses. 51

2. Urgensi Penilaian Performansi terhadap Penilaian Pelajaran Gramatika Penilaian unjuk kerja ( performance assessment)

sebagai salah satu teknik penilaian jika dibandingkan dengan teknik penilaian paper and pencil memiliki banyak keunggulan. Teknik ini menurut Reynolds sangat tepat dan telah banyak diaplikasikan dalam berbagai konteks, seperti: kelas laboratorium, kelas matematika, kelas bahasa asing, kelas debat, kelas seni, kelas musik, dll. Selanjutnya ia mengungkapkan pula perbedaan antara penilaian unjuk kerja dengan teknik penilaian tradisional yang berbasis paper-and- pencil seperti; penilaian kinerja lebih mencerminkan

Valdez-Pierce dalam H. Douglas Brown Teaching by Principles An Interactive Approach to Language Pedagogy, h. 481.

51 I Ketut Susila, Pengembangan Instrumen Penilaian Unjuk Kerja (performance assesment) Laboratorium Pada Mata Pelajaran Fisika

sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMA Kelas X di Kabupaten Gianyar, Artikel, Program Studi Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Mei 2012 (diakses, 18 September 2013) sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMA Kelas X di Kabupaten Gianyar, Artikel, Program Studi Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Mei 2012 (diakses, 18 September 2013)

kinerja melibatkan beberapa kriteria penilaian. Penilaian kinerja melibatkan evaluasi yang subjektif dari prestasi siswa 52 .

Penilaian unjuk kerja merupakan salah satu teknik penilaian yang dalam proses pengumpulan data untuk membuat keputusan tentang individu dilakukan dengan cara

observasi sistematis. Melengkapi defenisi tersebut ada lima defenisi operasional performance assessment, seperti: 1) performance assessment adalah proses, bukan tes atau perangkat pengukuran tunggal; 2) fokus dari proses ini adalah pengumpulan data, menggunakan berbagai instrumen dan strategi; 3) data dikumpulkan dengan cara observasi sistematis. Penekanannya adalah pada teknik observasi langsung bukan pada tes kertas dan pensil ( paper-and- pencil), terutama bukan pilihan ganda meskipun tes tersebut juga dapat digunakan dalam penilaian; 4) data yang terintegrasi digunakan untuk tujuan membuat keputusan tertentu yang akan memandu bentuk dan substansi penilaian; dan 5) subjek dari pengambilan keputusan adalah individu, bukan program atau produk yang mencerminkan suatu

kegiatan kelompok. 53 Penilaian performansi telah digunakan di kelas sejak

dulu meskipun tidak secara formal. Pentingya penilaian performansi tergambar dari hasil identifikasi seorang spesialis pengukuran kependidikan terkenal yaitu Mehrens

52 C.R, Reynolds, Measurement and Assessment in Education dalam Udi Utomo, Theo Ardiyarta, ‚Pengembangan Instrumen Penilaian

Unjuk Kerja (Performance Assessment) Kompetensi Ekspresi Dan Kreasi Musik Di Sekolah Menengah Pertama (SMP) ‛, Harmonia, Volume 13, No. 1 / Juni 2013 (diakses, 18 September 2013)

53 Udi Utomo, Theo Ardiyarta, ‚Pengembangan Instrumen Penilaian Unjuk Kerja ( Performance Assessment) Kompetensi Ekspresi

dan Kreasi Musik di Sekolah Menengah Pertama (SMP) ‛, Harmonia,

Volume 13, No. 1 / Juni 2013 (diakses, 18 September 2013) Volume 13, No. 1 / Juni 2013 (diakses, 18 September 2013)

1. Ketidakpuasan terhadap jawaban tes pilihan. Tes tersebut tidak dapat menunjukkan kemampuan berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, seperti kemampuan memecahkan masalah, menganalisis, dan kemampuan berpikir mandiri. Jadi pada tes pilihan tersebut, siswa hanya dibutuhkan menyeleksi jawaban.

2. Pengaruh psikologi kognitif, artinya para psikologi kognitif percaya bahwa siswa harus mempunyai pengetahuan tentang isi dan pengetahuan prosedural. Karena jenis tes pilihan tidak dapat mengukur pengetahuan prosedural, mereka menghendaki penggunaan penilaian performens. 54

Penilaian performansi mengharuskan siswa untuk mengevaluasi dan memecahkan masalah yang kompleks, melakukan penelitian, menulis secara ekstensif dan mendemonstrasikan pembelajaran mereka dalam proyek atau makalah. Oleh karena itu penilaian performansi ini dapat memberikan kontribusi pada karir akademik siswa khususnya, dengan kehidupan akademik yang menantang memungkinkan siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan

pembelajaran yang berharga didalam kelas. 55 Reliabel atau konsistensi dalam perencanaan,

implementasi dan menilai performansi atau kinerja siswa membuat penilaian penilaian ini valid. Penilaian performansi telah diakui sebagai pendekatan penilaian dalam level skala

Performens dalam Pembelajaran Matematika ‛, Majalah Kreasi STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung, ISSN 1412-7995, Volume 2 Nomor 1 April 2004 (diakses, 18 September 2013)

54 Naning Sutriningsih,

‚Penilaian

55 Jamal Abedi, ‚Performance Assessments for English Language Learners ‛, Standford, CA: Stanford University, Standford Center for

Opportunity Policy in Education, 2010, https://scale.stanford.edu (accessed September 23, 2013) Opportunity Policy in Education, 2010, https://scale.stanford.edu (accessed September 23, 2013)

dan sebagai pengalaman hidup yang nyata.

E. Desain Penilaian Performansi Secara umum pendidik setuju bahwa penilaian

kinerja harus mencakup tugas-tugas yang tidak mendistorsi ajaran. Selain itu, penilaian kinerja yang benar menggunakan pengetahuan yang diperoleh siswa sebelumnya dalam

memecahkan masalah dan memungkinkan pelajar untuk menerapkan dan mentransfer pengetahuan dalam berbagai

konteks. 57 Penilaian unjuk kerja atau penilaian performansi

memberikan kesempatan siswa berkompetisi dengan dirinya sendiri daripada dengan orang lain. Melalui penilaian

tersebut, siswa mendapat pemahaman yang nyata tentang apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka kerjakan. Penilaian unjuk kerja membuat pembelajaran lebih

relevan dengan kehidupan siswa dan dunia nyata. 58 Penilaian ini akan membantu guru-guru memusatkan pada hasil-hasil

pendidikan yang secara nyata penting, dan bukan terisolasi pada informasi yang sedikit saja. Sebagai siswa, yang sedang

56 Mark Twain, Assessing English Language Learners Bridge From Language Profeciency to Academic Achievment (California:

Corwin Press, 2006) 113. 57 Cecilia Navarrete, Cyndee Gustake, ‚A Guide to Performance

Assessment for Linguistically Diverse Students ‛, EAC West, New Mexico

Highlands University, Albuquerque, January, 1996, file:///Users/morganenriquez/Desktop/untitled%20folder/BE020484.web archive (accessed September 18, 2013)

58 Ellis berpendapat bahwa peserta didik mengembangkan kompetensi mereka dengan bahasa mudah dan efektif dalam segala jenis

situasi diluar kelas, yang mereka butuhkan adalah pengalaman bagaimana bahas diguakan sebagai alat untuk berkomunikasi didalamnya. Lihat: Ellis dalam Atefeh Ṣarifalnasab dan Zahra Fotovatnia, ‚Effect of Different Tasks on L2 Learners Acquisition of Grammar ‛, Journal of Language Teaching and Research, Vol. 4, No. 2 March 2013 Academy Publisher Manufactured in Finland (accessed November 01, 2013) situasi diluar kelas, yang mereka butuhkan adalah pengalaman bagaimana bahas diguakan sebagai alat untuk berkomunikasi didalamnya. Lihat: Ellis dalam Atefeh Ṣarifalnasab dan Zahra Fotovatnia, ‚Effect of Different Tasks on L2 Learners Acquisition of Grammar ‛, Journal of Language Teaching and Research, Vol. 4, No. 2 March 2013 Academy Publisher Manufactured in Finland (accessed November 01, 2013)

berpikir logis dan dapat mengkomunikasikan ide-idenya dengan jelas. Mereka akan mengakui bahwa mereka telah menerima pengajaran dan bahwa pendidikan itu disediakan

untuk kehidupan mereka. 59

Ada dua komponen penting dari penilaian kinerja yang pertama adalah tugas siswa melakukan scoring guide atau rubrik atau mereka diberikan panduan penilaian yang digunakan untuk menilai kecakapan respon siswa ketika mereka merancang tugas kinerja. Kedua adalah rubric scoring adalah kriteria penilaian performansi yang mempunyai tingkatan-tingkatan skor yang berguna seberapa

besar respon siswa terhadap tugas kinerja yang diberikan. 60 Penilaian

mempunyai beberapa karakteristik:

performansi

1. Siswa memilih dari beberapa pilihan dalam membuat tugas.

2. Tugas merupakan elaborasi dari isi pengetahuan dan penggunaannya dalam proses.

3. Tugas memiliki sistem skor secara ekspilisit.

4. Tugas merupakan desain untuk audiens yang besar dan orang lain diluar kelas akan menemukan nilai dalam tugas tersebut.

59 Kusrini & Tatang Y.E. Siswono, ‚Penilaian Unjuk Kerja‛, Makalah Referensi dalam Overseas Fellowship Program Contextual

Learning Materials development, Proyek Peningkatan Mutu SLTP Jakarta oleh Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional kerjasama dengan University of washington College of education, UNESA Surabaya, UM Malang dan LAPI-ITB. 1 Februari –8 Maret dan 8-30 April 2002 di Surabaya (diakses 18 September 2013)

60 Robert J, Mislevy and Kaeli T, Knowles, ‚Performance Assessment for Adult Education Exploring the Measurement Issues ‛,

Report of A Workshop, Washington DC: National Academy Press, 2002, http:://libgen.info (accessed October 01, 2013)

5. Tugas ini dibuat sangat hati-hati untuk mengukur

kinerja siswa. Penilaian unjuk kerja/performansi terbagi dalam dua

kategori: prilaku prestasi yang ditunjukkan oleh siswa (misalnya, komunikasi atau kemampuan membaca) dan

prestasi yang

dengan kemampuan memproduksi (menulis dan laporan tertulis). Penilaian performansi mengharuskan observer: Mengamati perilaku

berhubungan

atau memeriksa prestasi belajar siswa (produksi), dan kriteria yang akan dinilai haruslah jelas. 62

1. Kriteria Instrumen Unjuk Kerja/Performansi yang Baik

Instrumen unjuk kerja/performansi yang baik memuat hal-hal berikut:

a. Autentik dan menarik Hal yang penting bagi suatu instrumen performansi adalah menarik dan melibatkan siswa dalam situasi yang akrab dengan mereka sehingga siswa berusaha untuk menyelasaikan tugas itu dengan sebaik-baiknya.

b. Memungkin penilaian individual Penilaian ini sebenarnya lebih dititik beratkan untuk penilaian individu. Karena itu didesain penilaian performansi sebaiknya ditujukan untuk kelompok dan individu.

c. Memuat petunjuk yang jelas

61 Lary Lewin, Betty Jean Shoemaker, ‚Great Performance Second Edition Creating Classroom-Based Assessment Tasks‛, USA:

ASCD, Alexandria, Virginia, 2011, http://libgen.info (accessed September 23, 2013)

62 Stiggins dalam Lorraine valdez Pierce, J Michael O’Malley, ‚Performance and Portofolio Assessment for Language Minority

Students ‛, NCBE Program Information Guide Series, Number 9, Spring 1992, www.ode.state.or.us (accessed September 23, 2013)

Instrumen penilaian performansi yang baik harus memuat petunjuk yang jelas, lengkap, tidak

ambigu dan tidak membingungkan. 63

Model Penilaian Performansi Berbasis Standar 64

Kecakapan Bahasa Arab atau Standar Isi Pendidikan

Kurikulum dan Instruksi Aktifitas Penilaian

Rubrik atau

Performansi, tugas

Scoring Guide

atau proyek

Student Self-assessment

2. Format Penilaian Contoh 1: Format Instrumen Penilaian Unjuk Kerja Secara Umum

Mata Pelajaran : .............................. Kelas/Semester : ............................. Kompetensi Dasar

Materi Pokok

Judul Tugas

Deskripsi singkat tentang tugas (apa yang harus dikerjakan siswa dan hasil apa yang diharapkan)

Petunjuk siswa: Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi:

63 Puji Iryanti, ‚Penilaian Unjuk Kerja‛, Paket Pembinaan Penataran, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika Yogyakarta, 2004, p4tkmatematika.org (diakses 18 September 2013)

64 Mark Twain, Documenting Performance Assessment The Bridge From Teachers to Classrooms, h. 113.

Contoh 2: Format simulasi autentik Mata Pelajaran : ..............................

Kelas/Semester : .............................

Kompetensi Dasar : ..............................

Indikator : .............................. Materi Pokok

..........adalah.........(titik awal diisi dengan nama anda sedangkan yang terakhir diisi dengan peran yang diminta, misal pelajar atau profesi tertentu) Diminta oleh........(diisi dengan yang menugaskan) Untuk menyelasikan masalah..................(diisi dengan tugas yang diberikan) Kondisi yang dihadapi:............. Pemecahan masalah yang dilakukakan: ..................... Pekerjaan anda akan dinilai berdasarkan kriteria:.............................

3. Rubrik Analitik dan Rubrik Holistik Rubrik adalah pedoman penskoran. Rubrik analitik adalah pedoman untuk menilai berdasarkan beberapa kriteria yang ditentukan. Dengan menggunakan rubrik ini dapat dianalisa kelemahan dan kelebihan siswa terletak pada kriteria yang mana.

Rubrik holistik 65 adalah pedoman untuk menilai berdasarkan kesan keseluruhan atau kombinasi semua

65 Menurut Thornbury, penilaian keterampilan berbicara dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan memberikan sebuah nilai

tunggal yang didasarkan pada nilai keseluruhan yang disebut dengan penyekoran holistik ( holistic scoring) atau dengan cara memberikan nilai berbeda bagi beberapa aspek berbeda yang disebut dengan peyekoran analitik ( analytic scoring). Lebih lanjut Thornbury menjelaskan bahwa penyekoran holistik adalah cepat dan cukup memadai untuk penilaian perkembangan secara informal. Sedangkan penyekoran analitik memakan waktu yang lebih lama namun memungkinkan penguji untuk dapat menilai beragam aspek yang apabila dipilih secara tepat akan lebih adil dan lebih reliabel hasilnya dibandingkan dengan holistic scoring. Lihat Thornbury dalam Sakura Ridwan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Aplikasi dalam Pengajaran Morfologi-Sintaksis (Yogyakarta: Kepel Press, 2011) 56.

kriteria. Untuk rubrik seperti ini, salah satu contoh penyebutan yang digunakan adalah tingkat 1 (tidak

memuaskan) tingkat 2 (cukup memuaskan dengan banyak kekurangan), tingkat 3 (memuaskan dengan sedikit kekurangan) tingkat 4 (superior) atau tingkat

0, tingkat 1, tingkat 2, dan tingkat 3 (masing-masing dengan sebutan yang sama). 66

Penilaian performansi adalah penilaian dengan menggunakan pendekatan berbasis tugas dengan instruksi

tata bahasa yang membuat peserta didik terlibat secara aktif dalam interaksi bermakna. Penilaian ini lebih menekankan observasi individual yang hasilnya dapat terlihat secara subyektif dengan titik kesalahan yang berbeda pada masing- masing peserta didik.

Penilaian performansi dengan pendekatan ini memberikan kontribusi terhadap peserta didik untuk berkomunikasi dalam kehidupan nyata. Dengan begitu kemampuan gramatika yang telah diperoleh peserta didik akan tercermin pada kemampuan performa, untuk melihat kemampuan gramatika ini perlu dikonsep secara matang bentuk penilaian performansi secara terencana. Penilaian performansi sebagai cermin kemampuan gramatika peserta didik untuk melihat volume kesalahan-kesalahan gramatika melalui ungkapan secara lisan. Secara fungsional gramatika sebagai alat untuk mengkoreksi kesalahan berbahasa, namun untuk membuktikan itu semua diperlukan penelitian lebih lanjut dan dapat dilihat pada bab selanjutnya yang akan membahas tentang kemampuan gramatika bahasa Arab.

66 Puji Iryanti, ‚Penilaian Unjuk Kerja‛, Paket Pembinaan Penataran, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika Yogyakarta, 2004, p4tkmatematika.org (diakses 18 September 2013)

BAB III KEMAMPUAN GRAMATIKA BAHASA ARAB SEBAGAI BAHASA KEDUA

Bab ini akan membahas tentang hasil penelitian terhadap kemampuan gramatika peserta didik yang telah dipelajari secara formal atau didapatkan di dalam kelas. Selanjutnya bab ini juga membahas tentang pembelajaran gramatika sebagai penunjang kemampuan performa bahasa peserta didik.

A. Profil Objek Penelitian

1. Latar Belakang Cita-cita mendirikan pondok pesantren telah lama

diidamkan oleh sang kyai. Dahulunya beliau hanya mempunyai masjid dan madrasah. Beliau ingin mendirikan pondok pesantren sekaligus untuk mengisi hari-hari tuanya di sebuah pondok dengan nafas nilai Islam yang terus berhembus diiringi denyut nadi di kehidupan santri yang

mengumandangkan shi‘ar agama Allah. 1 Pada tanggal 22 Agustus 2007 pondok pesantren ini

resmi dibangun. Peletakkan batu pertama dilakukan oleh gubernur Sumatera Selatan. Pada waktu itu juga dihadiri oleh pejabat yang lainnya alim ulama, dan masyarakat dari berbagai lapisan kota Palembang.

Pesantren dengan luas lahan 1.898,125 m 2 ini diambil dari nama nabi Muhammad SAW, dengan tujuan

melestarikan dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW.

2. Visi, Misi dan Tujuan Visi: ‚Menegakkan kalimat tauhid melalui pilar ahlussunnah wal jamaah‛

1 Dokumentasi sejarah pondok pesantren

Misi :

1. Mewujudkan generasi ahli tauhid, ahli bahasa, ahli Qur’an dan berakhlak karimah.

2. Mengembangkan dan melaksanakan sistem pendidikan pesantren yang terpadu antara modern dan salaf.

3. Mengembangkan potensi santri dalam bersosialisasi dan menjadi pribadi yang mandiri.

4. Melaksanakan kegiatan pembelajaran yang efektif

sesuai dengan perkembangan zaman.

dan

inovatif

5. Mengadakan bimbingan, pembinaan bakat, minat dan kreatifitas santri.

6. Menjadikan santri yang berjiwa enterpreneur Tujuan:

1. Menjadikan pesantren yang unggul sebagai basis pembinaan generasi anak bangsa yang islami dan qur’ani.

2. Menjadikan

sebagai model pengembangan pesantren yang berciri khas ketauhidan.

pesantren

3. Menghasilkan

sesuai dengan kompetensi yang handal dan unggul kualitas ilmu

lulusan

cakap kebahasaan, kepribadian, berakhlakul karimah dan terampil

keagamaan,

sebagai kader umat calon pemimpin bangsa. 2

3. Prestasi Peserta Didik Pada Bidang Kebahasa Araban

Pesantren ini sering menyertakan peserta didik dalam event-event yang menunjang prestasi. Diantara lomba tersebut peneliti merangkum prestasi –prestasi dalam lomba di bidang kebahasa Araban sebagai berikut;

2 Brosur Pondok Pesantren

1. Juara I lomba musabaqah qiraatil kutub (tafsir jalalain) tahun 2011.

2. Juara I lomba musabaqah qiraatil kutub (subulus salam) tahun 2011.

3. Juara I lomba musabaqah qiraatil kutub (akhlak kifayatu atqiya) tahun 2011.

4. Juara II lomba musabaqah qiraatil kutub ( nah{w imriti) tahun 2011.

5. Juara III lomba musabaqah qiraatil kutub (fiqih fathul qorib) tahun 2011.

6. Juara I lomba pidato bahasa arab pada madrasah ekspo tahun 2011.

7. Juara I Lomba musabaqah qiraatil kutub (Tarikh) Se-Sumatera Selatan tahun 2011

8. Juara II lomba musabaqah qiraatil kutub (Subulus Salam) Se-SUMSEL tahun 2011.

9. Juara III lomba musabaqah qiraatil kutub (Akhlak- Kifayatul Atqiya’) Se-kota Palembang tahun 2011.

10. Juara II pidato bahasa Arab pada Madrasah Expo Se-Kota Palembang tahun 2011.

11. Juara I pidato bahasa Arab putri POSPEKOT 2013.

12. Juara II pidato bahasa Arab putra POSPEKOT 2013.

13. Juara I pidato bahasa Arab Putri Axioma Tingkat MTs 2013.

14. Juara II pidato bahasa Arab Putri Pekan Olahraga dan Seni Pondok Pesantren tingkat Daerah (POSPEDA) 2013.

15. Juara II pidato bahasa Arab putra Axioma Tingkat MTs 2013.

16. Juara III pidato bahasa Arab putri Axioma Tingkat MTs 2013. 3

3 Dokumentasi Pondok Pesantren

B. Sistem Pembelajaran Gramatika Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan

menafsirkan ayat al- Qur’an adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat al- Qur’an. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus dalam kesalahan apabila menafsirkan ayat-ayat kauniyah tanpa memiliki pengetahuan memadai tentang astronomi. Demikian pula

dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain. 4 Peserta didik membutuhkan kebiasaan sesegera mungkin

akan bunyi yang belum familiar bagi mereka. Patut disadari pula bahwa bahasa baru yang mereka sedang pelajari tidak bisa dijadikan objek terakhir atau mata pelajaran sekolah yang apa adanya. Ia harus dikomunikasikan al-lughah wasi>lah la ghayah. 5 Pemakaian bahasa asing baik Arab

maupun Inggris merupakan suatu kewajiban bagi santri untuk memakainya di pesantren dengan jadwal masing- masing bahasa selama dua minggu. Pemakaian bahasa asing inilah yang mencerminkan pesantren ini mempunyai corak sistem pendidikan modern.

Sebuah pertanyaan mengapa non Arab belajar gramatika ketika belajar bahasa Arab? Ada beberapa jawaban; pertama nah{w merupakan sebuah realita kebahasaan, kedua nah{w merupakan aturan-aturan yang mengatur penggunaan bahasa, ketiga nah{w adalah alat atau media yang membantu untuk memahami kalimat dan tarkib-tarkib kalimat. 6 Nah{w

sendiri merupakan salah satu sistem bahasa yang tidak bisa terpisahkan dari sistem bahasa itu sendiri.

4 Fathul Mujib, Rekonstruksi Pendidikan Bahasa Arab dari Pendekatan Konvensional ke Integratif Humanis, (Yogyakarta:

Pedagogia, 2010) h. 171 5 Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) h. 69 6 Abdul Hamid, Uril Baharuddin, Bisri Mustofa, Pembelajaran

Bahasa Arab, Pendekatan, Metode, Strategi, Materi, dan Media (Malang: UIN-Malang Press, 2008) h. 65

Menurut Alwasilah grammar lazim merujuk pada tiga hal pertama (grammar 1) mengacu pada seperangkat pola-pola

formal untuk menyusun kosakata agar mengusung makna yang lebih besar, kedua (grammar 2) merujuk pada pola cabang linguistik ihwal deskripsi, analisis dan formalisasai pola-pola bahasa secara formal, ketiga (grammar 3) merujuk pada etiket berbahasa. 7

Kurikulum pendidikan pesantren modern merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sekolah (perguruan

tinggi). Diharapkan akan mampu memunculkan output pesantren berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif, progresif dan tidak ‚ortodoks‛ sehingga santri bisa secara cepat beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan peradaban dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena mereka bukan golongan eksklusif dan memiliki kemampuan

yang siap pakai. 8 Kurikulum yang dipakai di Pondok Pesantren ini adalah

perpaduan kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama (KTSP), dengan kurikulum pondok pesantren plus muatan lokal. Pesantren ini juga melaksanakan sistem pendidikan pembelajaran terpadu

antara modern dan salaf. 9

7 A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008) h. 99

8 Dwi Riyanto, ‚Inovasi Kurikulum Pesantren (Memproyeksikan Model Pendidikan Alternatif Masa Depan) ‛, IBDA’ Vol. 4 No.1, Jan-Jun

2006 (diakses 12 Maret 2014) 9 Dalam pesantren yang bercorak salafiyah, kitab kuning-kitab

klasik yang dikarang oleh ulama fiqih, hadi ṣ, tauhid dan tasawuf sebelum abad 17 masehi menjadi rujukan yang sangat penting. Kitab kuning adalah himpunan kodifikasi tata nilai yang dianut masyarakat pesantren. Adapun kyai menjadi pemimpin tertinggi dan pemilik pesantren – dianggap sebagai personifikasi yang utuh dari sistem tata nilai itu. Ada keyakinan yang kukuh pada masyarakat pesantren bahwa kitab kuning merupakan pedoman yang sah dan relevan (sah dalam arti bersumber dari Kitab dan Sunnah Nabi, dan relevan dalam arti tetap cocok untuk kehidupan di masa sekarang dan nanti). Salah satu persoalan yang sering disorot dalam kitab kuning adalah – sebagaimana disebut Bruinessen

Sistem pembelajaran gramatika di pesantren ini tidak mempunyai kurikulum, silabus atau RPP seperti di pesantren

modern atau di Madrasah-Madrasah formal. Pembelajaran gramatika memakai sistem yang sama seperti sistem pesantren salaf yang mana kitab nah{w dipelajari sampai tuntas sebelum naik kepada kitab yang lebih sulit. Kitab yang dipelajari dari kelas 1 sampai kelas 2 Madrasah Tsanawiyah adalah nah{w w ād{ih 1 dan nah{w wāḍih 2, kelas 3 Madrasah Tsanawiyah sampai kelas 1 Madrasah Aliyah kitab yang dipakai adalah kitab na ẓam imriṭi dan kelas 2 Aliyah kitab al-Kaw ākib ad-Dāriyah. Kitab-kitab nah{w di pesantren ini dipelajari sesuai dengan tingkat kelas seperti rumusan dalam tingkatan kitab yang diajarkan di pesantren

tradisional, 10 rumusan tingkatan kitab pesantren tradisional sebagai berikut;

1. Tingkat dasar : an-Nah{w al-W āḍih{, aj-Jur ūmiyyah

2. Tingkat menengah pertama : Mutammimah, Na ẓam ‘Imri ṭi, al-Makudi, al-‘Ashmawi

(1999, 174-175) - diskursus kitab kuning sangat diskriminatif pada perempuan. Lihat Aniek Nurhayati, ‚Pesantren Sebagai Institusi Total Pendidikan ‛, Pedagogia, 2013 - ejurnal.fip.ung.ac.id(diakses 12 Maret 2014)

10 Pesantren tradisional tidak memiliki kurikulum formal seperti yang dipakai dalam lembaga pendidikan modern, karena kurikulumnya

tidak memiliki silabus, tapi berupa funun kitab-kitab yang diajarkan pada santri. Kitab-kitab dari berbagai disiplin ilmu yang telah ditentukan oleh sang kyai harus dipelajari sampai tuntas, sebelum naik ke kitab yang lain yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. Tamatnya Program pembelajaran ini tidak diukur oleh satuan waktu, juga tidak diukur pada dari ketuntasan dan kepahaman santri pada kitab yang dipelajarinya. Lihat Moch. Sony Fauzi, ‚Pesantren Tradisional; Akar Penyebaran Islam dan Bahasa Arab di Indonesia ‛, Lingua, 2007, ejournal.uin-malang.ac.id (diakses 11 Maret 2014)

3. Tingkat menengah Atas : Alfiyah Ibn M ālik, Qaw āid al-Lughah al-‘Arabiyah, Sharh ibnu ‘Aqil, ash-

Shabrawi, al- 11 I’la. Metode pengajaran nah{w yang digunakan di pesantren

modern umumnya memakai metode induktif, metode deduktif, metode qaw>a ‘id wa tarjamah. Adapun pemilihan metode pembelajaran tersebut biasanya dikondisikan dengan sumber buku yang menjadi acuan dan pegangan dalam mengajar.

Pada umumnya pembelajaran di pesantren dengan menggunakan metode deduktif karena buku-buku yang menjadi sumber rujukannya adalah buku-buku yang menjelaskan tentang kaidah-kaidah terlebih dahulu baru kemudian memaparkan kaidah tersebut yang diikuti dengan pemberian contoh. Hal ini dapat dilihat pada buku-buku nah{w -s{arf yang ada dipesantren seperti: al-Qaw ā‘id as}- S{arfiyah, ‘Aw āmil, aj-Jurūmiyah, Naẓam Maqsūd ‘Imriṭi, Alfiyah Ibn M ālik dan lain-lain. Sedangkan metode induktif biasanya digunakan di lembaga pendidikan formal seperti

MTs dan Aliyah. 12 Jika Pesantren salaf mengajarkan gramatika dengan

metode-metode berciri khas salaf seperti sorogan, wetonan atau bandongan, maka pesantren yang memiliki corak modern dengan sistem klasikal ini mempelajari kitab-kitab

nah{w dengan metode bandongan. 13 Disamping sistem

11 Ahmad Hidayatullah Zarka ṣi, al-Lughah al-‘Arabiyah fi> Indunisiya Dir āsatan wa Tarikhan dalam Moch. Sony Fauzi, ‚Pesantren

Tradisional; Akar Penyebaran Islam dan Bahasa Arab di Indonesia ‛, Lingua, 2007, ejournal.uin-malang.ac.id (diakses 11 Maret 2014)

12 M. Misbah, ‚Taufiqul Hakim ‚Amtsilati‛ dan pengajaran Nah{w-S{arf ‛, INSANIA Vol. 11, No.3 Sep-Des 2006, Jurnal Pemikiran

Alternatif Kependidikan (diakses 12 Maret 2014) 13 Metode ini juga disebut dengan metode wetonan metode ini

merupakan penyampaian secara ceramah kepada para jama’ah di mana para santri duduk di sekeliling kyai atau ustadz berbentuk halaqah, kemudian kyai itu menerangkan suatu kitab dan para santri menyimak kitab-kitab mereka serta menulis arti kata di bawah deretan teks merupakan penyampaian secara ceramah kepada para jama’ah di mana para santri duduk di sekeliling kyai atau ustadz berbentuk halaqah, kemudian kyai itu menerangkan suatu kitab dan para santri menyimak kitab-kitab mereka serta menulis arti kata di bawah deretan teks

tradisional. 14 Sistem evaluasi yang dipakai oleh guru bidang studi mempunyai berbagai bentuk dan ragam. Secara fungsional evaluasi mempunyai kedudukan yang strategis dalam program pembelajaran. Evaluasi merupakan bagian integral dari program pembelajaran dan merupakan tahap terakhir

dari tiga tahap pembelajaran. 15

Menurut Djiwandono sasaran penyelenggaraan evaluasi kemampuan bahasa adalah kemampuan menggunakan bahasa. Kemampuan bahasa ini dikelompokkan menjadi dua yaitu kemampuan bahasa pasif-reseptif dan kemampuan

bahasa aktif-produktif. 16 Untuk mengevaluasi kemampuan bahasa aktif-produktif peserta didik ditugaskan untuk

menjelaskan kembali materi pelajaran gramatika minggu lalu di depan kelas layaknya seperti guru yang sedang menjelaskan mata perlajaran. Kemampuan pasif-reseptif guru mengevaluasi melalui tugas-tugas yang diberikan untuk dikerjakan dirumah evaluasi ini lebih cenderung kearah

produktifitas peserta didik. 17

(memberi makna gundul). Lihat Suismanto, Menelusuri jejak Pesantren dalam Limas Dodi, ‚Metode Pegajaran Nah{w S{arf (Ber-kaca dari Pengalaman Pesantren) ‛, Tafaqquh; Vol. 1 No.1, Mei 2013, stibafa.ac.id (diakses 11 Maret 2013)

14 Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajaran yang monologis, bukan

dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi kyai kepada santrinya dan metode pengajaran masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, sorogan dan sejenisnya. Lihat Thontowi, ‚Pendidikan dan Tradisi (Menakar Tradisi Pendidikan Pesantren) ‛, Tadris. Volume 3. Nomor 2. 2008 (diakses 11 Maret 2014)

15 M. Ainin dkk, Evaluasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab (Malang: Misykat, 2006) h. 11

16 M. Soenardi Djiwandono, Tes Bahasa Pegangan Bagi Pengajar Bahasa, h. 8

17 Observasi 20 Januari 2014

Menurut penulis pesantren yang kerap kali mengikuti dan memenangkan lomba-lomba kebahasa Araban ini

memiliki banyak keistimewaan. Jika dilihat dari segi penguasaan bahasa Arab tidak hanya mempelajari gramatika seperti sistem pengajaran di pesantren salaf namun lingkungan wajib berbahasa asing yang mempengaruhi agar santri dapat mengaplikasikan gramatika dalam pemakaian bahasa Arab sehari-hari di pesantren.

Melihat gramatika yang telah diajarkan secara formal dimulai dari awal masuk pesantren hingga kelas akhir menjadi bekal santri agar mengkoreksi kesalahan tata bahasa

baik ucapan maupun tulisan. Pemakaian bahasa Arab menjadi bahasa sehari-hari tidak membuat santri menjadi pasif berbahasa, dapat dikatakan bahwa pelajaran tata bahasa tidak hanya dipelajari dalam kelas melainkan diaplikasikan dalam percakapan dan tata bahasa tidak bisa dipisahkan dari sistem bahasa.

C. Pembelajaran Gramatika Sebagai Penunjang Performa Bahasa

1. Peran Penyajian Gramatika Secara Formal Bahasa yang hidup bercirikan kreatifitas yang terikat

kaidah, ini berarti bahasa terdiri dari seperangkat kaidah. Dengan kaidah-kaidah itu manusia secara kreatif dapat menghasilkan sejumlah tak terbatas ujaran-ujaran yang gramatikal dan bermakna. Kaidah-kaidah bahasa itu meliputi

kaidah fonologi, kaidah sintaksis, dan kaidah semantik. 18 Pembelajaran gramatika secara formal tentu memiliki

pengaruh terhadap kompetensi gramatika pada peserta didik. Menurut Dulay lingkungan kelas memfokuskan pada kesadaran dalam memperoleh kaidah-kaidah dan bentuk bahasa yang dipelajari. Pembelajaran gramatika tentu juga

18 Jos Daniel Parera, Linguistik Edukasional Metodologi Pembelajaran Bahasa Analisis Konstrastif Antarbahasa Analisis

Keslahan Berbahasa (Jakarta: Erlangga, 1997) h. 57 Keslahan Berbahasa (Jakarta: Erlangga, 1997) h. 57

kelas dapat menjamin kualitas input yang diterima pelajar. Apabila input yang diterima itu berkualitas tinggi, maka menurut satu hipotesis, keluaran (performansi) yang dihasilkan juga mempunyai kualitas tinggi, meskipun diakui adanya variasi individual. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Dulay dkk, juga diperkuat dengan sejumlah penelitian para pakar (Ellis, Lightbown, dkk. Perkin dan Freeman) mengenai performansi bahwa pembelajaran secara formal dapat memperbaiki performansi gramatikal seorang

pembelajar. 19 Adanya Gramatika baik nah{w dan s{arf sebagai mata pelajaran adalah tidak lain agar pemakai bahasa Arab tidak salah dalam berbicara dan menulis dalam bahasa Arab, oleh karena itu menurut Muhbib pembelajaran qawa >‘id bukanlah

sebagai tujuan akan tetapi sebagai sarana atau media. 20 Pernyataan qawa >‘id bukan sebagai tujuan utama pengajaran

bahasa juga disampaikan oleh Abdul Hamid bahwa penguasaan tata bahasa adalah sebagai syarat untuk bisa mencapai tujuan. Tujuan pengajaran bahasa ialah memperoleh kemampuan komunikatif dengan bahasa secara

efektif dan wajar. 21 Penyajian gramatika baik nah{w maupun s{arf di

pondok pesantren ini disajikan masing-masing dua jam dalam seminggu. Akan tetapi gramatika ini juga diajarkan dalam bentuk ekstrakulikuler secara bergiliran dalam bentuk kegiatan yang lain. Gramatika diajarkan pada waktu diluar

19 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) h. 255

20 Muhbib Abdul Wahab, Epistemologi & Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) h. 176 21 Abdul Hamid, Uril Baharuddin, Bisri Mustofa, Pembelajaran

Bahasa Arab, Pendekatan, Metode, Strategi, Materi, dan Media (Malang: UIN-Malang Press, 2008) h. 11 Bahasa Arab, Pendekatan, Metode, Strategi, Materi, dan Media (Malang: UIN-Malang Press, 2008) h. 11

pegetahuan peserta didik dalam hal gramatika nah{w dan s{arf. 22

Sebagai peningkatan kualitas performansi bahasa Arab di pesantren ini mempunyai kegiatan-kegiatan yang menunjang performansi seperti pidato bahasa Arab. Pidato ini adalah sebagai penyajian pembelajaran termasuk kategori formal karena proses pembelajaran pidato dilakukan secara sadar oleh peserta didik.

2. Peranan Lingkungan Formal Salah satu faktor yang mempengaruhi proses

pembelajaran adalah lingkungan. Sejatinya dalam prosees belajar-mengajar bahasa kedua tentunya lingkungan

berbahasa sangat mempunyai pengaruh dalam proses pemerolehan dan pembelajaran.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan bahasa dan kemampuan berbahasa kedua. Carol, Upshur, dan Mason meneliti sejumlah mahasiswa asing di Amerika Serikat yang mengikuti kuliah tambahan bahasa Inggris dan yang tidak mengikuti kuliah tambahan ternyata pada akhir semester

kedua kelompok mahasiswa tersebut hampir sama. 23 Lingkungan formal adalah salah satu lingkungan

belajar bahasa yang memfokuskan pada penguasaan kaidah- kaidah bahasa yang sedang dipelajari secara sadar. Berdasarkan penelitian Larsen dan Freeman menunjukkan adanya korelasi positif antara frekuensi pengenalan struktur dengan penguasaan struktur itu. Kemudian banyak guru yang berasumsi bahwa pengenalan kaidah bahasa yang diberikan dengan frekuensi tinggi akan dapat meningkatkan

keterampilan berbahasa pembelajar. 24

22 Observasi Pesantren 11 Februari 2014 23 Muhbib Abdul Wahab, Epistemologi & Metodologi

Pembelajaran Bahasa Arab, h. 293

24 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, h. 259

Lingkungan kelas sebagai salah satu lingkungan belajar bahasa disadari benar mempunyai sumbangan

tertentu terhadap pemerolehan bahasa kedua. Sementara jika dilihat dari lingkungan formal atau lingkungan kelas yang dimaksud adalah lingkungan yang mengarah pada penguasaan kaidah tatabahasa pada peserta didik secara sadar. Lingkungan kelas mempunyai ciri-ciri; pertama bersifat artifisial dan eksplisit, kedua pembelajar bahasa yang menampilkan kaidah-kaidah bahasa yang telah dipelajarinya, dan diberikannya balikan oleh pengajar yang berupa pelacakan kesalahan atau terhadap kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik, ketiga merupakan bagian dari keseluruhan pengajaran bahasa di sekolah atau di kelas. 25

Ellis menunjukkan bahwa pengajaran formal memberi pengaruh yang dominan terhadap nilai dan kesuksesan

pemerolehan bahasa pembelajar. Pengaruh formal dalam hal ini adalah pengajaran tentang kaidah-kaidah bahasa memberikan kemudahan-kemudahan dalam pemerolehan, memberikan kecermatan pemakaian konstituen-konstituen bahasa, atau mengarahkan pembelajar untuk memusatkan

perhatiannya pada bentuk-bentuk linguistik. 26 Dari beberapa teori-teori di atas tentu saja pengaruh lingkungan kelas

mempunyai andil terhadap pemerolehan bahasa kedua. Peserta didik tidak hanya mendapatkan materi pelajaran gramatika dari guru akan tetapi bagaimana pengucapan- pengucapan bahasa yang dilontarkan guru tersebut sebagai contoh ujaran yang benar. Pemakaian bahasa Arab oleh guru

sebagai bahasa pengantar pada saat jam pelajaran 27 mempuyai pengaruh terhadap peserta didik.

25 Iskandarwassid, Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008) h. 105

26 Andiopenta Purba, ‚Peranan Lingkungan Bahasa dalam Pemerolehan Bahasa Kedua ‛, Pena Vol. 3 No. 1 Juli 2013 (diakses 28

Maret 2014) 27 Observasi Pesantren 20 Januari 2014

Pada saat interaksi atau kecakapan komunikatif sesama teman dalam lingkungan kelas juga mempengaruhi

pengetahuan tentang kegramatikalan peserta didik. Lerner menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman komunikasi yang kaya dapat menjadikan perkembangan bahasa. Pengalamanan yang kaya tersebut akan menunjang faktor- faktor bahasa yang lain seperti mendengarkan, berbicara,

membaca dan menulis. 28 Menurut Canale dan Swain dalam Yano kecakapan komunikatif sebagai suatu sintesa dari

pengetahuan prinsip-prinsip dasar tata bahasa, bagaimana bahasa itu digunakan dalam ranah sosial untuk menampilkan

fungsi-fungsi komunikasi. 29

3. Peranan Lingkungan Informal Faktor yang paling penting dalam akselerasi penguasaan

suatu bahasa adalah at- ta‘a>rud{ al-lughawi, yaitu seorang pembelajar menerjunkan dirinya ke dalam lingkungan pengguna bahasa yang sedang dia pelajari. Di ibaratkan bahwa at- ta‘a>rud} al-lughawi dapat diumpamakan dengan at- ta‘a>rud} li ash-shams, atau siapa yang menginginkan dapat sinar matahari, maka hendaknya dia keluar ruangan dan berada langsung di bawah sinar matahari. Sedangkan yang dimaksud at- ta‘a>rrud{ al-lughawi adalah seorang pembelajar bahasa harus berada pada lingkungan bahasa yang dia sedang

pelajari. 30 Lingkungan mempunyai pengaruh terhadap proses

berlangsungnya belajar bahasa kedua. Jika lingkungan kelas merupakan suatu kondisi berbahasa yang dibuat secara sengaja, maka lingkungan informal ini merupakan suatu

28 Larner dalam Itta The, ‚Kemampuan Berbahasa Inggris Anak dengan Pembelajaran Bilingual ‛, Jurnal Pendidikan Penabur

No.09/Tahun ke-6/Desember 2007 (diakses 01 April 2014) 29 Yasuka Yano, ‚Communicative Competence and English as an

International Language ‛, Intercultural Communication Studies XII- 32003, www.uri.edu/iaics(accessed April 04, 2014)

30 Thontowi, ‚Bi’ah Arabiyah dan Pemerolehan Bahasa‛, ejournal.uin-malang.ac.id (diakses 11 April 2014) 30 Thontowi, ‚Bi’ah Arabiyah dan Pemerolehan Bahasa‛, ejournal.uin-malang.ac.id (diakses 11 April 2014)

adalah penguasaan ragam bahasa formal atau bahasa baku untuk dipergunakan dalam situasi dan keperluan formal. Sedangkan dalam lingkungan informal yang diharapkan adalah kemampuan atau penguasaan akan ragam bahasa informal untuk digunakan dalam situasi atau keperluan

informal. 31 Sifat khas lingkungan kelas yang berpengaruh

terhadap kecepatan belajar dan kualitas hasil belajarnya dipengaruhi empat faktor yaitu: pertama sifat kealamiahan bahasa sasaran, kedua cara peserta didik dalam berkomunikasi dalam bahasa kedua, ketiga ketersediaan model yang bisa ditiru untuk berbahasa, keempat adanya lingkungan berbahasa yang bisa mendukung komunikasi (ada banyak teman atau penutur yang memang sudah menguasai

bahasa kedua). 32 Menurut Chomsky lingkungan memicu daya bahasa, dan pada batas tertentu lalu membentuk sebuah

proses pertumbuhan yang diarahkan secara internal, dan terstabilkan pada saat pubertas. 33

Lingkungan informal yang diperoleh oleh peserta didik yang dimaksudkan di sini adalah lingkungan luar kelas wajib berbahasa asing. Lingkungan ini mempunyai peran terhadap proses belajar bahasa kedua dan sebagai wahana latihan terhadap aplikasi materi pelajaran gramatika sebagai kompetensi. Peserta didik dapat memperoleh pengetahuan

tata bahasa melalui teman sebaya sebagai percakapan 34 dan

31 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, h. 261 32 Iskandarwassid, Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran

Bahasa (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008) h. 108 33 Noam Chomsky, Cakrawala Baru Kajian Bahasa dan Pikiran,

h.135 34 Sementara Chomsky (1965) dalam Bagaric (2007)

mendefiniskan kecakapan itu sebagai ‘apa yang diketahui sipengguna bahasa’ dan komunikatif sebagai wujud atau realisasi dalam bentuk ujaran atau tulisan dari apa yang diketahui si pengguna bahasa tersebut yang disebutnya sebagai ‘penampilan’. Lihat; Erwin Pohan, Muhammad mendefiniskan kecakapan itu sebagai ‘apa yang diketahui sipengguna bahasa’ dan komunikatif sebagai wujud atau realisasi dalam bentuk ujaran atau tulisan dari apa yang diketahui si pengguna bahasa tersebut yang disebutnya sebagai ‘penampilan’. Lihat; Erwin Pohan, Muhammad

Wong-Filmore menekankan pentingnya pengaruh sosial dalam SLA. Pembelajar harus membangun hubungan sosial dengan seorang penutur bahasa kedua agar dia bisa mendapatkan input bahasa kedua dan bisa mengembangkan profisiensi bahasanya. 35

Pada dasarnya peranan penyajian gramatika sebagai kompetensi dan peranan lingkungan baik formal dan

informal memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memakai kompetensi tersebut pada kualitas

performansi. 36

D. Kemampuan Pembelajaran Gramatika Peserta Didik Pada dasarnya pembelajaran bahasa bertujuan agar

peserta didik dapat terampil berbahasa baik terampil menyimak, berbicara, membaca dan menulis, akan tetapi pembelajaran yang mengarah pada penguasaan struktur kalimat tidak boleh diabaikan begitu saja.

Adanya kaidah-kaidah yang tersedia memberikan kemungkinan kepada bahasawan untuk membentuk kata, ungkapan, atau kalimat yang gramatikal dan bermakna dan kelak berterima. Sebuah bahasa dapat berkembang berkat kreatifitas pemakai bahasa memanfaatkan kaidah yang ada selama bentukan-bentukan dan ujaran itu tidak bertentangan

Candra, Dewi Murni, Kecakapan Komunikatif Mahasiswa dalam Berbicara Bahasa Inggris.

35 riset.umrah.ac.id A. Syukur Ghazali, Pembelajaran Keterampilan Berbahasa

dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif (Bandung: Refika Aditama, 2010) h. 132

36 Jika tujuan dari pembelajaran bahasa kedua sebagai pengembangan kompetensi komunikatif yang memungkinkan peserta

didik untuk menggunakan bahasa untuk tujuan komunikatif, maka gramatika dan komunikasi harus terintegrasi. Lihat; Hossein Nassaji and Sandra Fotos, ‚Current Development in Reesearch on the Teaching of Grammar ‛, Annual Review of Applied Linguistics 2004, Printed in the USA, Cambridge University Press (accessed March 23, 2014) didik untuk menggunakan bahasa untuk tujuan komunikatif, maka gramatika dan komunikasi harus terintegrasi. Lihat; Hossein Nassaji and Sandra Fotos, ‚Current Development in Reesearch on the Teaching of Grammar ‛, Annual Review of Applied Linguistics 2004, Printed in the USA, Cambridge University Press (accessed March 23, 2014)

telah ada. 37 Kemunculan

Arab, tentu saja dilatarbelakangi oleh adanya lahn (kesalahan berbahasa) dan oleh kekhawatiran umat Islam akan munculnya sebagian non Arab (‘ajam) yang salah dalam melafalkan al-Qur’an, sehingga kesucian dan kemurniannya tetap terpelihara. Nah{w -s{arf disusun dan dibakukan tidak lain agar pemakai bahasa Arab tidak salah mendengar, berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Arab, karena itu prinsip pembelajaran nah{w -s{arf secara formal bukan sebagai tujuan akan tetapi sebagai wasilah atau media. 38

gramatika

Perdebatan tentang pengajaran gramatika secara formal telah lama dimulai seperti yang telah dibahas dalam

bab sebelumnya banyak para akademisi menolak untuk mengajarkan gramatika dalam kelas karena berbagai pendapat. Salah satunya pendapat Krashen yang mengatakan bahwa pengajaran gramatika dalam kelas tidak memberikan kontribusi dalam pengetahuan berbahasa. Beberapa asumsi

juga mengatakan bahwa gramatika (khsususnya 39 nah{w)

37 Jos Daniel Parera, Linguistik Edukasional Metodologi Pembelajaran Bahasa Analisis Konstrastif Antarbahasa Analisis

Keslahan Berbahasa, h.57 38 Tamma>m Hassa>n, al-Lughah Baina al- Mi‘ya>riyyah, dalam

Muhbib Abdul Wahab, Tamma>m Hass>an dalam Pembelajaran Bahasa Arab, h. 198

39 Kajian Azman et.al (2005) menunjukkan bahwa minat mempelajari bahasa Arab ada diantara siswa yang mengambil bahasa

Arab di UiTM Terengganu dan Kolej Sultan Zainal Abidin (KUSZA), penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya Ab. Rahim (2004) dan penelitian berikutnya Ainol dan Isarji (2009). Namun begitu, pendorong utama mereka mempelajari bahasa Arab adalah karena tidak ada pilihan lain. Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa masalah utama yang menjadi kesulitan mempelajari bahasa Arab adalah nah{w bahasa Arab, sementara aspek-aspek lain bahasa Arab tidak menjadi masalah besar bagi kebanyakan siswa. Lihat Azman Che Mat, Goh Ying Soon, ‚Situasi Pembelajaran Bahasa dan Bahasa Perancis‛, ISSN: 1985- Arab di UiTM Terengganu dan Kolej Sultan Zainal Abidin (KUSZA), penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya Ab. Rahim (2004) dan penelitian berikutnya Ainol dan Isarji (2009). Namun begitu, pendorong utama mereka mempelajari bahasa Arab adalah karena tidak ada pilihan lain. Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa masalah utama yang menjadi kesulitan mempelajari bahasa Arab adalah nah{w bahasa Arab, sementara aspek-aspek lain bahasa Arab tidak menjadi masalah besar bagi kebanyakan siswa. Lihat Azman Che Mat, Goh Ying Soon, ‚Situasi Pembelajaran Bahasa dan Bahasa Perancis‛, ISSN: 1985-

(B1). Menurut Abisamra pelajar melakukan kesalahan berbahasa disebabkan gangguan pada B1 namun kesalahan yang paling banyak dilakukan adalah karena kesalahan

intralingual. 40 Sejalan dengan Krashen, Wagner memberikan pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan gramatika

yang diperoleh secara formal tidak memiliki hubungan langsung dengan kemampuan berbicara, khususnya pada saat

dalam keadaan sehari-hari atau tidak formal. 41 Berbanding terbalik dengan kebanyakan guru berasumsi bahwa

pengenalan kaidah bahasa (dalam lingkungan formal) yang diberikan dengan frekuensi tinggi akan dapat menghasilkan

keterampilan bahasa pembelajar. 42 Sebagai tanggapan dari pendapat Krashen, Jianyun

Zhang mengatakan bahwa gramatika perlu diajarkan di dalam kelas pendapat serupa juga didukung oleh Vivian Cook bahwa pengajaran gramatika dapat membantu siswa dalam penulisan.

Pengabaian untuk tidak memberikan pelajaran gramatika di kelas tidaklah bisa dibenarkan, karena gramatika merupakan suatu kesatuan dari sistem bahasa yang tidak bisa dipisahkan. Ada istilah yang mengatakan bahwa ilmu s{arf sebagai induknya maka ilmu nah{w sebagai

5826, AJTLHE Vol. 2, No. 2, 9-21, journalarticle.ukm.my (diakses 14 Maret 2014)

40 Menurut Maicusi et.al kesalahan bahasa berpuncak daripada faktor psikolinguistik, sosiolinguistik dan epistemik. Lihat; Siti Baidura

dkk, ‚Analisis Kesalahan Tatabahasa Bahasa Melayu dalam Karangan Pelajar Asing di Sebuah Institusi Pengajian Tinggi Awam ‛, Pusat Bahasa dan Pembangunan Akademik Pra-Universiti Universiti Islam Antarbangsa Malaysia (UIAM) irep.iium.edu.my

41 Wagner, ‚Grammar Acquisition and Pedagogy ‛, http://ielanguages.com

42 Roekhan dalam Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, h.259 42 Roekhan dalam Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, h.259

kalimat dan memahami pengertian keseluruhan kalimat secara tepat dan cepat. Kemudian agar seorang mampu menyusun kalimat dengan benar secara gramatika dalam menggunakan bahasa tertulis ataupun lisan untuk mengutarakan pikiran ataupun perasaan. 43

Hal ini juga mendapat sikap positif dari peserta didikterhadap pembelajaran gramatika di dalam kelas, dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1

Jawaban Responden Pernyataan

CP SP Belajar nah{w /s{arf akan -

TP

AP

9,09% 86,36% memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bahasa Arab Saya merasa belajar -

33,33% 19,84% 47,61% nah{w /s{arf bahasa Arab akan berguna bagi karir saya di masa depan Saya merasa bahwa -

4,76% 42,85% 57,14% belajar nah{w /s{arf adalah sebuah latihan yang menantang Saya ingin menggunakan -

4,76% 9,52% 85,71% nah{w

/ s{arf

untuk

bercakap-cakap dengan teman-teman saya yang bisa berbahasa Arab Belajar

nah{w

/ s{arf 4,7 4,76%

43 A. Akrom Malibari, Pengajaran Bahasa Arab di Madrasah Aliyah dalam M. Misbah, ‚Taufiqul Hakim ‚Amtsilati‛ dan pengajaran

Nah{w-S{arf ‛, INSANIA Vol. 11, No.3 Sep-Des 2006, Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan (diakses 12 Maret 2014) Nah{w-S{arf ‛, INSANIA Vol. 11, No.3 Sep-Des 2006, Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan (diakses 12 Maret 2014)

dunia

Keterangan: TP: Tidak Penting, AP: Agak Penting, CP: Cukup Penting, SP: Sangat penting

Dapat dilihat dari tabel tersebut bahwa 86,36% peserta didik menginginkan pemahaman yang lebih baik

dalam bahasa Arab, dan 85,71% peserta didik menggunakan nah{w dan s{arf dalam percakapan bersama teman-teman. Sikap positif dari jawaban peserta didik akan belajar nah{w / s{arf di kelas dapat memberikan mereka kemudahan dalam mempelajari bahasa Arab.

Kemudian asumsi peserta didik mengenai suka/tidak dalam pembelajaran nah{w /s{arf sebagai berikut:

Tabel 2

Jawaban Responden Pernyataan

Tidak Suka Saya suka/tidak pada mata

Suka

90,90% 9,09% pelajaran nah{w /s{arf Alasan peserta didik yang menyukai pelajaran nah{w / s{arf dominan menyatakan bahwa pelajaran ini dapat membantu mereka dalam membaca kitab kuning, serta membantu mereka dapat berbicara bahasa Arab yang lebih baik. Kemudian alasan peserta didik tidak menyukai mata pelajaran ini dikarenakan mereka belum menyukai pada mata pelajaran nah{w /s{arf.

Agar gramatika tidak menjadi mata pelajaran yang menakutkan seringkali guru bidang studi setelah menyampaikan materi mengajak murid-murid bercerita tentang sejarah nabi atau tentang kisah-kisah inspiratif lainnya. Dalam tabel berikut dapat dilihat tanggapan peserta didik mengenai pelajaran nah{w /s{arf:

Tabel 3

Pernyataan Jawaban Responden S

N TS STS Saya merasa 33,33% 33,33% 23,80% 0,04% 0,04% kegiatan nah{w / s{arf

SS

tidak menimbulkan stress Keterangan: S: Setuju, SS: Sangat Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS:

Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Tabel di atas menunjukkan bahwa 66,66% peserta didik merasakan bahwa pembelajaran nah{w dan s{arf tidak menjadi beban mereka pada saat mempelajarinya.

Metode pembelajaran gramatika di pesantren ini termasuk metode yang menyenangkan dan membuat siswa bergairah dalam

mempelajari gramatika. Metode pembelajaran merupakan aspek fokus yang memegang peranan penting. Metode pembelajaran ini pula terkait erat dengan peranan guru ketika ia melakukan proses pembelajaran di dalam kelas. Metode pembelajaran merupakan cara yang digunakan guru dalam membelajarkan siswa agar terjadi interaksi dan proses belajar yang efektif

dalam pembelajaran. 44 Kemampuan gramatika bahasa Arab di evaluasi oleh

guru dimulai dari tugas harian, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Tugas-tugas dan ujian-ujian ini sebagai cerminan sejauh mana penguasaan kompetensi yang telah dicapai. Pada dasarnya hasil belajar siswa dapat dinyatakan dalam tiga aspek yang biasa disebut domain atau ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik, mata pelajaran bahasa

44 Rasuna Talib, ‚Psikologi dan Metode Pembelajaran Bahasa‛, Inovasi, Volume 7, Nomor 4, Desember 2010, ISSN 1693-9034 (diakses

02 April 2014)

Arab menghendaki ketiga ranah tersebut secara integratif

dikuasi oleh para pelajar. Evaluasi nilai tugas harian yang sering diberikan oleh

guru termasuk ranah kognitif adalah sebagai berikut:

Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren

Pengambilan nilai tugas harian ini oleh guru bidang studi dengan berbagai macam bentuk evaluasi seperti menghafal kaidah-kaidah gramatika sampai membuat kalimat atau membuat contoh sesuai dengan kaidah yang

telah dipelajari. 46 Jika melihat pada tabel di atas bahwa dari 22

peserta didik, 3 peserta didik mendapatkan nilai 98, 1 peserta didik mendapatkan nilai 96, 4 peserta didik mendapatkan nilai 95 dan 4 peserta didik mendapatkan nilai 90. Dari 22 peserta didik maka 12 peserta didik mendapatkan kategori tinggi yaitu 86-100, dan 10 peserta didik lainnya mendapatkan kategori rendah yaitu 70-85. Dapat disimpulkan bahwa dari tugas harian 54% peserta didik mendapat kategori tinggi, artinya jumlah ini menyatakan bahwa peserta didik mampu mengikuti mata pelajaran dan

45 Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) h.276

46 Wawancara pada guru bidang studi, 26 Desember 2013 46 Wawancara pada guru bidang studi, 26 Desember 2013

Penggunaan strategi pembelajaran 47 bahasa oleh guru bidang studi mampu meningkatkan semangat peserta didik dalam mempelajari gramatika. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa guru-guru yang memakai berbagai strategi pengajaran dapat membantu peserta didiknya menguasai berbagai ilmu bahasa dengan cepat dan efisien. Pendapat ini juga didukung oleh Graham dalam Lessard- Clouston yang mengatakan di mana hasil penelitian mereka tentang strategi pengajaran dalam bahasa perancis menemukan bahwa guru-guru yang menggunakan strategi pembelajaran bahasa dapat membantu mahasiswa memahami bahasa kedua yang dipelajarinya dengan lebih baik. 48

Selanjutnya peneliti melihat kemampuan gramatika peserta didik melalui hasil ujian tengah semester sebagai berikut:

47 Strategi pembelajaran bahasa kedua setidaknya mempunyai dua alasan yang utama, pertama dengan mengevaluasi strategi yang

digunakan oleh pembelajar bahasa kedua selama proses belajar, dengan memperoleh wawasan metakognitif, kognitif, sosial dan proses afektif. Alasan kedua yang mendukung dalam strategi pembelajaran bahasa adalah bahwa pembelajar bahasa kurang berhasil jika diajarkan strategi baru, sehingga membantu mereka menjadi pembelajar bahasa yang lebih baik. Lihat; Anna Uhl Chamot, ‚Language Learning Strategy Instruction: Current Issue and Research ‛, Annual Review of Applied Linguistic, Cambridge University Press, 2005 (Accessed March 28, 2014)

48 Zamri Mahamod, Mohamed Amin Embi, ‚Penggunaan Strategi Pembelajaran Bahasa untuk Menguasai Kemahiran Membaca ‛,

Jurnal Teknologi, 42 (E) Jun. 2005 (diakses 12 Maret 2014)

Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren

Pada tabel di atas merupakan nilai hasil ujian tengah semester dapat dilihat bahwa dari 22 peserta didik, 2 peserta didik mendapatkan nilai 100, 1 peserta didik mendapatkan nilai 98, 1 peserta didik mendapatkan nilai 96,

3 peserta didik mendapatkan nilai 95, 3 peserta didik mendapatkan nilai 90, 2 peserta didik mendapatkan nilai 88, dan1 peserta didik mendapatkan nilai 86. Dari 22 peserta didik 59% peserta didik mendapatkan kategori tinggi yaitu 86-100. Dapat disimpulkan bahwa dari hasil ujian tengah semester ini 1 peserta didik yang mendapatkan kategori rendah pada tugas harian mengalami peningkatan pada saat ujian tengah semester.

Kemudian kemampuan gramatika bisa dilihat dari ujian akhir semester meliputi, ujian tertulis dan praktek pada tabel berikut:

Histogram 3

Ujian Tulis

Nilai 2

Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren

Pada tabel di atas merupakan nilai hasil ujian akhir semester pada ujian gramatika tertulis dapat dilihat bahwa

dari 22 peserta didik, 2 peserta didik mendapatkan nilai 96, 2 peserta didik mendapatkan nilai 94, 3 peserta didik mendapatkan nilai 86. Dari 22 peserta didik 68% peserta didik mendapatkan kategori tinggi yaitu 86-100.

Peserta didik lebih dominan mendapatkan kategori tinggi dibanding kategori rendah, ini disebabkan kemungkinan siswa lebih banyak memiliki waktu berfikir dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar gramatika. Selain itu juga peserta didik lebih santai dalam menjawab pertanyaan dibanding dengan ujian praktek gramatika. Secara psikologis kondisi yang santai dapat membuat peserta didik lebih enjoy dalam menjawab pertanyaan meskipun dalam suasana ujian.

Histogram 4

Ujian Praktek

Nilai 1

Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren

Pada tabel di atas merupakan nilai hasil ujian akhir semester pada kategori ujian praktek dapat dilihat bahwa dari 22 peserta didik, 2 peserta didik mendapatkan nilai 100,

2 peserta didik mendapatkan nilai 98, 2 peserta didik mendapatkan nilai 97, 1 peserta didik mendapatkan nilai 96,

1 peserta didik mendapatkan nilai 95, 3 peserta didik mendapatkan nilai 90, 1 peserta didik mendapatkan nilai 88.

Dari 22 peserta didik 54% peserta didik mendapatkan kategori tinggi yaitu 86-100.

Sikap kesiapan ujian kegiatan-kegiatan lisan ini juga dapat terlihat pada tabel berikut:

Tabel 4

Jawaban Responden Pernyataan

N TS STS Saya

SS

merasa 33,33% 33,33% 28,57% 9,52% - siap

untuk melakukan kagiatan- kegiatan lisan dalam materi nah{w /s{arf Keterangan: S: Setuju, SS: Sangat Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS:

Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Dilihat dari jenisnya penilaian praktek gramatika ini yang dipakai oleh guru bidang studi termasuk dalam penilaian otentik meskipun ciri-ciri penilaian belum semuanya termasuk kategori penilaian otentik. Penilaian ini lebih menekankan pemberian tugas yang menuntut pembelajar menampilkan, atau mendemonstrasikan hasil pembelajarannya nyata secara bermakna yang mencerminkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan dalam suatu mata

pelajaran. 49

Histogram 5

Nilai Rata-Rata Tulis dan Praktek

Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren

49 Burhan Nurgiyantoro, ‚Penilaian Otentik‛, Cakrawala Pendidikan, 2008 - journal.uny.ac.id (diakses 02 April 2014)

Pada tabel di atas merupakan nilai rata-rata hasil ujian akhir semester ujian tulis dan praktek dapat dilihat

bahwa dari 22 peserta didik, 1 peserta didik mendapatkan nilai 98, 2 peserta didik mendapatkan nilai 97, 1 peserta didik mendapatkan nilai 96, 1 peserta didik mendapatkan nilai 95,5. Kemudian 1 peserta didik mendapatkan nilai 94,5,

1 peserta didik mendapatkan nilai 94, 1 peserta didik mendapatkan nilai 93, 1 peserta didik mendapatkan nilai 92,

1 peserta didik mendapatkan nilai 91, 1 peserta didik mendapatkan nilai 90, 1 peserta didik mendapatkan nilai 88,5, 1 peserta didik mendapatkan nilai 88. Tampaknya dari

hasil penilaian ujian tulis dan praktek masing-masing peserta didik mendapat selisih nilai yang tidak jauh berbeda, 13 peserta didik mendapat kategori tinggi lebih dominan dari peserta didik yang mendapat kategori rendah.

Selanjutnya nilai kedua ujian ini di persentasekan sebagai berikut:

Histogram 6

Persentase Nilai Ujian Akhir Semester

70-85 Kumulatif

Praktek

Tulis

Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren

Jika dilihat pada tabel di atas bahwa 68% atau 15 dari 22 peserta didik mendapatkan kategori tinggi pada saat

ujian tulis gramatika, akan tetapi pada saat ujian praktik 2 peserta didik yang mendapatkan kategori tinggi pada ujian tulis menurun dan mendapatkan kategori rendah ketika ujian praktik hal ini disebabkan berbagai faktor.

Penelitian lain menyebutkan bahwa hasil wawancara dengan guru bidang studi bahasa Indonesia saja ditemukan

nilai rata-rata keterampilan berbicara dari 32 orang siswa, 27 orang siswa belum tuntas (84,37%). Hal ini disebabkan suasana pembelajaran berbicara kurang menggairahkan. Motivasi siswa rendah dan strategi pembelajaran yang kurang mampu menarik minat siswa. 50 Pentingnya

menumbuhkan motivasi untuk belajar bahasa sangat dipengaruhi berbagai faktor baik faktor internal dan eksternal. 51

Dalam mempraktikkan gramatika memang suatu kegiatan yang sangat penting. Penelitian lain menunjukkan

beberapa bukti bahwa praktek gramatika adalah suatu kegiatan yang penting dalam pembelajaran grammar dan

juga mengimprovisasi akurasi tatabahasa. 52 Akan tetapi menurut peneliti pengambilan nilai praktik gramatika

tidaklah harus diciptakan seperti suasana ujian, karena

50 I Putu Mas Dewantara, ‚Identifikasi Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Keterampilan Berbicara Siswa Kelas VII E SMPN 5

Negara dan Strategi Guru Untuk Mengatasinya ‛, Artikel Penelitian Mei 2012 (diakses 13 Maret 2014)

51 Theresia Rettob meringkas faktor-faktor internal dan eksternal sebagai berikut; faktor internal: 1. Pandangan seseorang tentang bahasa

yang sedang dipelajari, jika pembelajar mempunyai pandangan positif terhadap bahasa yang dipelajari maka ia akan memiliki motivasi yang positif. 2. Sikap seseorang terhadap bahasa yang dipelajari. Sikap dan motivasi sangat berkaitan dan mengacu pada keterarahan tingkah laku. Adapun faktor eksternal: 1. Faktor orang tua yang digolongkan pada peran aktif dan pasif terhadap anaknya yang belajar bahasa kedua. Orang tua yang berperan aktif akan bersikap mendorong anaknya untuk belajar dengan baik. 2. Lingkungan sosial tempat pembelajar itu berada. 3. Faktor sosial psikologis lingkungan pembelajar bahasa. Lihat Iman Suroso, ‚Menumbuhkan Motivasi dalam Pembelajaran Bahasa Kedua‛, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 3, Desember 2011 (diakses 13 Maret 2014)

52 John Burgess, Sian Etherington, ‚Focus on Grammatical Form:

System 30 (2002) www.elsevier.com/locate/system (accessed April 02, 2014)

Explicit or

Implicit ‛, Implicit ‛,

menjawab pertanyaan yang diajukan pada saat ujian praktik. Kecemasan ( anxiety) yaitu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan

kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya. 53 Sebaiknya guru membuat suasana kelas belajar mengajar memakai bahasa target sehingga tercipta situasi

pembelajaran bahasa yang komunikatif. Guru juga dapat memanfaatkan topik-topik kontroversial dalam pengambilan nilai keterampilan gramatika yang teridentifikasi melalui

keterampilan berbicara. Sebuah penelitian mengatakan bahwa topik-topik kontroversial dapat meningkatkan kelancaran, meniadakan kevakuman, dapat meningkatkan emosi dalam berbicara dan dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam berbicara. Respon siswa pun sangat positif dan lebih memilih topik-

topik kontroversial dari pada nonkontroversial. 54 Ellis berpendapat bahwa perdebatan atau pemecahan masalah

dalam tugas perkembangan bahasa juga dapat meningkatkan penguasaan gramatikal dan leksikal secara kompleksitas

dalam penggunaan bahasa pada pembelajar. 55 Penelitian tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

memberikan kesimpulan penilaian pada ujian akhir semester pada keterampilan praktik gramatika.

53 Wiramihardja dalam Harfiahana Puspa Rini, ‚Self Efficacy dengan Kecemasan dalam Menghadapi Ujian Nasional ‛, Jurnal Online

Psikologi Vol. 01 No. 01, Tahun 2013, Http://ejournal.umm.ac.id (diakses 01 April 2014)

54 Sang Ayu Putu Sriasih, ‚Pemanfaatan Topik-Topik Kontroversial Untuk Meningkatkan Mutu Perkuliahan Berbicara 2 ‛,

Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 3, Oktober 2010. ejournal.undiksha.ac.id

55 Eli Hinkel, ‚Current Perspectives on Teaching the Four Skills ‛, TESOL QUARTERLY Vol. 40, No. 1, March 2006 (accessed

March 28, 2014)

Selanjutnya dari hasil ujian-ujian gramatika yang diselenggarakan selama semester ganjil maka didapatkan

nilai kumulatif berdasarkan perhitungan guru bidang studi adalah dari nilai 92-100 = A, 83-91 = B, 74-82 = C.

Diagram 1

Nilai Kumulatif

Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren

Jika Dilihat diagram di atas nilai yang diperoleh siswa lebih mendominan mendapatkan nilai A. Adanya variasi nilai siswa menurut Changyang Li berbagai faktor dapat mempengaruhi termasuk bahan ajar, silabus, metode dan warga belajar. Ellis mengatakan bahwa pemerolehan pembelajaran bahasa kedua secara tidak langsung akan mengarah pada efisiensi akuisisi yang lebih tinggi baik itu didasarkan dalam pengajaran formal atau kondisi yang diciptakan. Kemudian faktor variasi nilai itu terdapat pada kepribadian peserta didik yang berbeda, motivasi belajar dan sikap juga turut memberikan pengaruh terhadap pemerolehan bahasa kedua.

Motivasi belajar adalah drive internal yang kuat untuk belajar bahasa secara psikologis motivasi dan minat mempunyai pengaruh yang kuat yang menentukan apakah seorang pelajar ingin berhasil atau tidak terhadap belajar bahasa kedua. Faktor yang terakhir adalah faktor tingkat tertentu intelektual yang mempengaruhi prsetasi peserta didik dalam pemerolehan bahasa kedua. Kecerdasan Motivasi belajar adalah drive internal yang kuat untuk belajar bahasa secara psikologis motivasi dan minat mempunyai pengaruh yang kuat yang menentukan apakah seorang pelajar ingin berhasil atau tidak terhadap belajar bahasa kedua. Faktor yang terakhir adalah faktor tingkat tertentu intelektual yang mempengaruhi prsetasi peserta didik dalam pemerolehan bahasa kedua. Kecerdasan

dan kemampuan penilaian, kemampauan untuk memecahkan masalah sendiri. 56

Berkaitan dengan pengajaran formal gramatika beberapa peserta didik berasumsi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5

Pernyataan Jawaban Responden S

N TS STS Saya

SS

pikir 33,33% 33,33% 23,80% 9,52% - materi nah{w / s{arf sudah diuraikan dengan cukup jelas

Keterangan: S: Setuju, SS: Sangat Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS: Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Dilihat dari tabel di atas bahwa sedikit siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami penjelasan dari mata pelajaran gramatika. Hal ini mempunyai beberapa faktor

seperti faktor usia 57 dan respon peserta didik dalam memahami materi pelajaran gramatika pada pernyataan

berikut ini.

56 Changyu Li, ‚A Reasearch on Second Langauage Acquisition and College English ‛, English Language Teaching Vol. 2, No. 4

December 2009, www.ccsenet.org (accessed April 07, 2014) 57 Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar

bahasa kedua. Faktor-faktor yang datangnya dari individu dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam antara lain umur, bakat, kemampuan intelektual, minat, kepribadian, keaktifan, dan lain-lain. Adapun faktor-faktor luar antara lain yang tercakup dalam situasi lingkungan kelas atau lingkungan formal, dan lingkungan bahasa atau penutur asli. Lihat: Iskandarwassid, Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, h.110.

Tabel 6

Pernyataan Jawaban Responden S

N TS STS Saya

SS

- materi nah{w/s{arf cukup berguna

pikir 33,33% 57,14% 4,76% 4,76%

Keterangan: S: Setuju, SS: Sangat Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS: Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Kemudian peneliti membagi dua kategori nilai, (kategori tinggi dan rendah) pada nilai kumulatif hasil ujian- ujian gramatika pada semester ganjil, yaitu 86-100 untuk kategori tinggi, dan 70-85 untuk kategori rendah.

Diagram 2

Kategori Nilai

Berdasarkan diagram di atas 60% siswa mendapatkan kategori tinggi dengan nilai paling tinggi yaitu 99 artinya

siswa mampu mengikuti pelajaran gramatika dalam kelas dan memperoleh hasil yang maksimal, sedangkan 40% siswa lainnya mendapat kategori rendah dengan nilai 77, dengan rata-rata nilai 87. Berdasarkan hasil perhitungan nilai pada semester ganjil tersebut peserta didik cenderung banyak mendapatkan kategori tinggi dalam kemampuan memahami gramatika bahasa Arab.

Menurut peneliti ada beberapa faktor peserta didik cenderung mendapatkan kategori tinggi. Faktor yang

pertama peserta didik tidak hanya mendapat sumpalan- sumpalan materi gramatika akan tetapi peserta didik juga sering mendapatkan tugas-tugas yang berkenaan dengan gramatika. Hal ini juga diperkuat oleh Tamma>m Hassa>n.

Menurut Tamma>m persoalan utama dalam pembelajaran nah{w adalah karena kurangnya pemberian latihan yang berkelanjutan ( tadri>ba>t nah{wiyah mustamirrah), seperti latihan menyusun kalimat sempurna (efektif) atau merubah kalimat fi‘liyyah menjadi ismiyyah, tamri<nat, dan sebagainya. Menurut Tamma>m dengan latihan intensif pembelajar nah{w tidak hanya dapat menirukan dan melibatkan diri dalam aktivitas berbahasa, melainkan juga dapat beradaptasi, menyesuaikan diri dengan kebiasaan-

kebiasaan berbahasa Arab yang telah menjadi budaya Arab. 58 Faktor yang kedua adalah peserta didik mempunyai

semangat dan sikap yang positif terhadap pembelajaran gramatika bahasa Arab. Hal ini terbukti dari hasil sebaran kuisioner yang peneliti ajukan bahwa 95,45% peserta didik

termotivasi dalam pembelajaran gramatika. 59 Menurut Suryabrata minat individu dan motivasi belajar merupakan

faktor yang mempengaruhi belajar. 60 Pazaver dan Hang Wang dalam penelitiannya

menyatakan bahwa siswa memiliki berbagai persepsi tentang pengajaran gramatika beberapa siswa mengatakan gramatika sangat membantu dalam pembelajaran mereka beberapa lagi

58 Tamma>m Hassa>n, al-Lughah Baina al- Mi‘ya>riyyah, dalam Muhbib Abdul Wahab, Tamma>m Hass>an dalam Pembelajaran Bahasa

Arab, h. 193 59 Kuisioner di pondok pesantren selama proses penelitian

berlangsung 28 Desember 2013 sampai 18 Februari 2014 60 Keke T. Aritonang, ‚Minat dan Motivasi dalam Meningkatkan

Hasil Belajar Siswa ‛, Jurnal Pendidikan Penabur-No.10/Tahun ke-7/Juni 2008 (diakses 25 April 2014) Hasil Belajar Siswa ‛, Jurnal Pendidikan Penabur-No.10/Tahun ke-7/Juni 2008 (diakses 25 April 2014)

lulusan universitas di Eropa yang mempelajari tata bahasa secara tradisional hampir semuanya berpendapat bahwa pengajaran gramatika membantu dalam pengecekan

tulisan. 62 Persepsi positif ini juga terlihat dalam jawaban responden terhadap pembelajaran bahasa Arab. Seperti

pernyataan dalam tabel berikut:

Tabel 7

Pernyataan Jawaban Responden

N TS STS Saya

SS

berniat 28,57% 28,57% 38,09% 4,7 - untuk

6% melanjutkan pendidikan bahasa Arab saya

Keterangan: S: Setuju, SS: Sangat Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS: Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Tabel di atas menunjukkan bahwa peserta didik banyak berminat untuk melanjutkan pendidikan bahasa Arabnya. Hal ini adalah bagian dari motivasi terhadap mata pelajaran nah{w /s{arf bahasa Arab. Mursell dalam bukunya Successfull Teaching, mengemukakan terdapat 22 macam minat yang salah satunya adalah bahwa anak memiliki minat

terhadap belajar. 63

61 Anne Pazaver, Hong Wang, ‚Asian Students’ Perceptions of Grammar Teaching in the ESL Classroom,‛ The International Journal of

Language Society and Culture, LSC-2009 ISSN 1327-774X, (accessed July 14, 2013)

62 Vivian Cook, Second Language Learning and Language Teaching, Fourth Edition(London: Hodder Education, 2008) 40.

63 Mursell dalam Keke T. Aritonang, ‚Minat dan Motivasi dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa ‛, Jurnal Pendidikan Penabur-

No.10/Tahun ke-7/Juni 2008 (diakses 25 April 2014)

Persepsi positif ini juga terlihat dalam jawaban responden terhadap pembelajaran bahasa Asing, seperti

pernyataan dalam tabel berikut:

Tabel 8

Pernyataan Jawaban Responden

N TS STS Kemampuan

SS

23,80% 76,19% - - - bahasa asing akan memungkinkan untuk berhubungan dengan

lebih banyak orang Keterangan: S: Setuju, SS: Sangat Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS:

Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Tabel di atas menunjukkan bahwa 76,19% peserta didik sangat setuju kemampuan berbahasa asing akan menambah dalam pergaulan lebih banyak. Kedua pernyataan pada tabel di atas mengarahkan bahwa peserta didik sangat terbuka dalam pembelajaran bahasa Arab dan pelajaran gramatika.

Faktor yang ketiga adalah pengaruh lingkungan formal dan informal. Lingkungan ini sangat menunjang peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan gramatika secara langsung melalui proses pembelajaran di lingkungan luar kelas, teman sebaya, maupun dari media-media yang lain. Jika gramatika dipelajari secara terpisah maka peserta didik akan pasif. Idealnya adalah menurut Nelson pengajaran

gramatika diajarkan juga dalam latihan komunikasi. 64 Kemampuan gramatika ini akan peneliti lihat melalui

performa gramatika melalui kemampuan berbicara yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

64 W. Nelson Francis, Revolution in Grammar dalam Patrick Hartwell, ‚Grammar, Grammars, and the Teaching Grammar,‛ College

English, Vol. 47, No. 2 (Feb., 1985), pp. 105-127, http://www.jstor.org (accessed June 19, 2013)

BAB IV KEMAMPUAN PERFORMANSI DAN KORELASI PEMBELAJARAN GRAMATIKA TERHADAP KEMAMPUAN PERFORMANSI BAHASA ARAB SEBAGAI BAHASA KEDUA

Bab ini membahas hasil penelitian tentang kemampuan performansi gramatika bahasa Arab peserta didik yang telah dipelajari secara formal atau diperoleh di dalam kelas. Bab ini juga menganalisis hubungan kemampuan gramatika terhadap kemampuan performansi gramatika bahasa Arab peserta didik yang dapat dilihat melalui kemampuan produktif yaitu keterampilan berbicara bahasa Arab.

A. Model Penilaian Performansi Gramatika Bahasa Arab sebagai Bahasa Kedua Penilaian performansi adalah penilaian yang

terencana, penilaian ini mengarahkan guru untuk menilai secara fokus pada beberapa aspek spesifik yang akan dinilai. Perencanaan penilaian performansi cocok untuk menilai kemampuan individual peserta didik. Menurut Wiggins penilaian performansi dapat membuat penyesuaian berdasarkan pengalaman dan keterampilan siswa dan dapat

menguji secara individu. 1 Selain itu penilaian ini dapat memberikan informasi kegiatan pembelajaran yang manakah

yang perlu dievaluasi, serta berkontribusi terhadap perbaikan kualitas guru dalam mengajar. 2 Kemampuan performa

gramatika ini tercermin pada kemampuan produktif yaitu melalui kalam dan kitabah, namun peneliti mengambil satu

1 Wiggins dalam Tony C.M Lam, ‚Fairness in Performance Assessment ‛, www.eric.ed.gov

2 Raymond L.Pecheone, Ruth R. Chung, ‚Evidence in Teacher Education the Performance Assessment For Alifornia teachers (PACT) ‛,

Journal of Teacher Education, Vol.57, No.1 January/February 2006 (accessed April 25, 2014) Journal of Teacher Education, Vol.57, No.1 January/February 2006 (accessed April 25, 2014)

Berbicara 3 (wicara) diartikan sebagai perbuatan menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai salah satu keterampilan dasar dalam berbahasa. 4 Untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara baik pembicara harus menguasai lafal, struktur, dan kosa kata. 5 Kemampuan

berbahasa lisan memerlukan pengetahuan tentang bahasa yang digunakan (tatabahasa, kosakata, penggunaan bentuk

yang tepat untuk fungsi tertentu), dan keterampilan untuk mengkomunikasikan pesan (penggunaan formula verbal atau penyesuaian terhadap kata-kata, menjelaskan maksud yang sama dengan kata-kata lain, mengulang kembali apa yang sudah dikatakan, mengisi kekosongan pembicaraan, sarana- sarana untuk mengungkapkan keraguan). 6 Kegiatan

berbicara bahasa Arab mendapat berbagai asumsi di kalangan peserta didik, dapat dilihat pada tabel berikut:

3 Bertutur atau berbicara sebenarnya memang merupakan tujuan dari pembelajaran bahasa hal inilah yang nampaknya muncul menjadi

arus utama pembelajaran bahasa Arab saat ini. Hal ini mengalami pergeseran pemahaman yang signifikan terhadap pembelajaran bahasa Arab yang sebelumnya banyak terpusat pada belajar tentang bahasa dibandingkan dengan belajar berbahasa. Lihat: Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab (Kediri: STAIN Kediri Press, 2012)h. 4

4 Putu Desy Krisnayanti, I Nyoman Sudiana, A.A.I.N Marhaeni, “Pengaruh Implementasi Metode Pembelajaran Bermain Peran Terhadap

Kemampuan Berbicara dan Kreativitas Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia ”, e-Journal Program Pascasarjana Universitas

Pendidikan Ganesha, Jurusan Pendidikan Dasar (Volume 3 Tahun 2013) , (diakses 15 Maret 2014)

5 Rahmad, “Tes Kemampuan Berbahasa Sebagai Alat Penilaian Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia ”, INTERAKSI, Jurnal

Kependidikan, ISSN No: 1412 – 2952 Tahun 2 Nomor 2 Juni 2006 (diakses 15 Maret 2014) 6

A. Syukur Ghazali, Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif (Bandung: Refika Aditama, 2010) h. 249

Tabel 9

Pernyataan Jawaban Responden

TS STS Belajar

SS

untuk 28,57% 23,80% 9,52% 28,57% 9,52% berbicara dalam bahasa

Arab adalah

lebih penting daripada membaca

dan menulis

dalam bahasa Arab Kemampuan

42,85% 33,33% 23,80% - - untuk berbicara

dan membaca bahasa

asing termasuk bahasa arab

akan membantu saya mendapatkan pekerjaan Saya harus bisa 52,38% 33,33% 4,76%

9,52% - berbahasa Arab karena merupakan prasyarat ditempat

saya belajar Keterangan: SS: Sangat Setuju, S: Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS:

Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Dapat disimpulkan bahwa banyak peserta didik yang mendukung kegiatan berbicara atau bercakap-cakap. Ini juga terlihat meskipun bahasa Arab menjadi syarat di pesantren tersebut akan tetapi peserta didik berpendapat mereka tetap harus belajar dan bisa berbahasa Arab. Hal ini dapat Dapat disimpulkan bahwa banyak peserta didik yang mendukung kegiatan berbicara atau bercakap-cakap. Ini juga terlihat meskipun bahasa Arab menjadi syarat di pesantren tersebut akan tetapi peserta didik berpendapat mereka tetap harus belajar dan bisa berbahasa Arab. Hal ini dapat

yang berhubungan dengan perangkat pembelajaran, seperti kurikulum, struktur program, sarana dan prasarana pembelajaran (media pembelajaran), serta guru sebagai perancang pembelajaran faktor-faktor di atas dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa. 8

Dalam tabel ini terlihat apakah peserta didik menyukai kegiatan berbicara bahasa Arab.

Tabel 10

Jawaban Responden Pernyataan

Tidak Suka Saya suka/tidak

Suka

- berbicara bahasa Arab

Kebanyakan alasan peserta didik menyukai berbicara bahasa Arab bahasanya yang mudah dipahami, mudah dilafalkan, dan membantu mereka untuk mempelajari kitab kuning dan mata pelajaran bahasa Arab. Kebanyakan peserta didik juga termotivasi ingin melanjutkan studi kebahasa

Arabannya ke negara Timur Tengah. 9 Semangat untuk bisa menggunakan bahasa Arab

terlihat juga dalam tabel berikut:

7 Persepsi yang positif dapat membuat peserta didik mudah untuk menyerap mata pelajaran, menurut Karim Farouk penyebab

masalah kesulitan dalam belajar bahasa adalah pertama; pengajar tidak memahami kemampuan bahasa yang dipinta, kedua; peserta didik tidak bersungguh-sungguh dalam memahami kaidah, ketiga; metode pembelajaran, keempat; kurikulum pembelajaran, kelima; kesesuaian tempat dan zaman. Lihat: Karim Farouk el-Khali, ‚Mushkila>t Ta’li>m al- ‘Arabiyah Lighairi an-Na>tiqi>na Biha> wa T{uruqu Haluha‛>, Selçuk Üniversitesi İlahiyat Fakültesi Dergisi, 32, 2011 (diakses 16 Juni 2014)

8 Suryabrata dalam Keke T. Aritonang, ‚Minat dan Motivasi dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa ‛, Jurnal Pendidikan Penabur-

No.10/Tahun ke-7/Juni 2008 (diakses 25 April 2014) 9 Kuisioner kepada peserta didik Madrasah Aliyah

Tabel 11

Pernyataan Jawaban Responden

AP CP SP Saya

TP

4,76% 4,76% 90,47% menggunakan bahasa Arab ketika saya pergi ke negara- negara yang berbahasa Arab Saya ingin bisa bercakap- -

% bahasa Arab di negara Saudi Arabia

dengan

penutur

Keterangan: TP: Tidak Penting, AP: Agak Penting, CP: Cukup Penting, SP: Sangat penting

Data di atas dapat dilihat bahwa peserta didik ingin dapat berbahasa Arab ketika mereka pergi negara-negara yang memakai bahasa Arab. Hal ini membuktikan bahwa

peserta didik mempunyai persepsi dan motivasi 10 ingin belajar berbicara bahasa Arab. Menurut Wiliam James

mengatakan bahwa minat siswa merupakan faktor utama yang menentukan derajat keaktifan blajar siswa. 11

10 Dari beberapa dekade penelitian tentang psikologi sosial dan pendidikan telah mengakui pentingnya motivasi dalam kesuksesan

belajar bahasa kedua. Gardner mengatakan pada kenyataannya, variabel afektif, seperti sikap, orientasi, kecemasan, dan motivasi, telah terbukti setidaknya sama pentingnya dengan bakat bahasa untuk memprediksi prestasi bahasa kedua. Lihat: Kimberly A. Noels, dkk, ‚Why Are You Learning a Second Language? Motivational Orientations and Self- Determination Theory ‛, Language Learning, Vol. 50, No.1 February 2000(Accessed May 07, 2014)

11 Keke T. Aritonang, ‚Minat dan Motivasi dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa ‛, Jurnal Pendidikan Penabur-No.10/Tahun ke-7/Juni

2008 (diakses 25 April 2014) lihat juga Todd A. Hernández, ‚The Relationship Among Motivation, Interaction, and the Development of Second Language Oral Proficiency in a Study-Abroad Context ‛, The Modern Language Journal, Vol. 94, No. 4 (Winter 2010), (accessed June

Kegiatan berbicara ini dinilai melalui penilaian unjuk kerja (performance). Penilaian ini mengamati aktivitas siswa

sebagaimana terjadi (unjuk kerja, tingkah laku, interaksi) penilaian ini cocok untuk penyajian lisan seperti keterampilan berbicara, berpidato, baca puisi dan

berdiskusi. 12 Pengamatan unjuk kerja pada kemampuan berbicara bisa dilakukan dengan pengamatan berbicara yang beragam diantaranya; tanya jawab, diskusi dalam kelompok

kecil, berpidato, bercerita, dan melakukan wawancara. Kemampuan performa gramatika peneliti ambil dalam dua kondisi yaitu:

1. Bercerita di depan Kelas Sebuah

penelitian menyatakan pentingnya keterampilan atau bercerita dalam komunikasi adalah bahwa

apabila seseorang memiliki keterampilan berbicara yang baik, dia akan memperoleh keuntungan sosial maupun profesional. Keuntungan sosial berkaitan dengan kegiatan interaksi sosial antar individu. Sedangkan, keuntungan profesional diperoleh sewaktu menggunakan bahasa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan dan mendeskripsikan. Keterampilan berbahasa lisan tersebut memudahkan siswa berkomunikasi dan mengungkapkan ide atau gagasan kepada

orang lain. 13 Kegiatan bercerita adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan, meskipun kadang menimbulkan

kejenuhan hal ini dapat di atasi dengan variasi pokok cerita atau bentuknya. 14

12 Departemen Pendidikan Nasional, Rancangan Penilaian Hasil Belajar, www.slideshare.net 13

Supriyadi , “Pembelajaran Keterampilan Berbicara Melalui Pendekatan Pengalaman Berbahasa di Sekolah Dasar ”, Artikel Keterampilan berbicara, http://staff.uny.ac.id

14 Muhammad Nur Asmawi, “Ta’bir Shafawi; Metode dan Teknik Pengajarannya ”, Jurnal Hunafa, Vol. 6, No. 3, Desember 2009

(diakses 14 Maret 2014)

Pada penelitian pertama ini peserta didik diminta untuk bercerita di depan kelas secara bergiliran dengan

waktu masing-masing tiga sampai lima menit dengan tema yang bermacam-macam sesuai dengan minat peserta didik tersebut.

2. Diskusi Kelas Bebas Terdapat beberapa model diskusi yang dapat digunakan antara lain; diskusi kelas dua kelompok saling

berhadapan, diskusi kelas bebas, diskusi kelompok dan diskusi panel. 15

Pada penelitian kedua ini peserta didik diminta untuk mempresentasikan makalah dengan waktu masing-masing

tiga sampai lima menit, tema yang diangkat adalah sub judul pelajaran gramatika yang sudah peserta didik pelajari.

a. Kategori pertama adalah penilaian tentang kejelasan lafal peserta didik.

Diagram 3

Kejelasan lafal pada bercerita

Penilaian kategori pertama peserta didik dinilai kejelasan lafalnya dalam bercerita berbahasa Arab. Dari 22

15 Muhammad Nur Asmawi, “Ta’bir Shafawi; Metode dan Teknik Pengajarannya

16 ”, Penelitian lain menyebutkan bahwa praktek pengajaran

berbasis penilaian adalah sebuah sistem pendidikan internasional yang sangat didukung termasuk Australia, New Zaeland dan Kanada. Di Queensland yang mana sekolah berbasis penilaian telah dikenalkan semenjak tahun 1970 an, pengajaran berbasis penilaian telah dipakai dalam semua aspek penilaian di sekolah menengah, bahkan untuk tujuan berbasis penilaian adalah sebuah sistem pendidikan internasional yang sangat didukung termasuk Australia, New Zaeland dan Kanada. Di Queensland yang mana sekolah berbasis penilaian telah dikenalkan semenjak tahun 1970 an, pengajaran berbasis penilaian telah dipakai dalam semua aspek penilaian di sekolah menengah, bahkan untuk tujuan

huruf-huruf Arab pada saat bercerita didepan kelas. 18,18% peserta didik mendapatkan nilai B atau kompeten dalam melafalkan huruf-huruf Arab dan 4,54% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam melafalkan huruf-huruf Arab.

Diagram 4

Kejelasan lafal pada presentasi makalah

A B C 4,54%

Jika dilihat diagram di atas menjelaskan bahwa kejelasan lafal peserta didik pada saat presentasi makalah terlihat lebih rendah dari pada saat peserta didik bercerita di depan kelas. Dari 22 peserta didik 54,54% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten. 40,90% peserta didik mendapatkan nilai B atau kompeten dalam melafalkan huruf-huruf Arab dan 4,54% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten.

Seperti yang tertera pada kedua diagram di atas bahwa peserta didik lebih dominan mendapatkan kategori A.

berisiko tinggi. The Australian Capital Territory (ACT) juga menggunakan pengajaran berbasis penilaian pada tingkat menengah atas. Negara-negara lain seperti New South Wales dan Victoria telah memasukkan pengajaran berbasis penilaian dalam skala besar menjadi ujian publik mereka. Lihat: Chris Davidson and Constant Leung, ‚Current Issues in English Language Teacher-Based Assessment‛, TESOL Quarterly, vol. 43, No. 3, September 2009 (accessed May 23, 2014)

Salah satu faktornya adalah dikarenakan peserta didik telah sering terlatih dalam memakai bahasa Arab baik itu di dalam

kelas maupun di lingkungan luar kelas.

b. Kategori kedua adalah penilaian tentang kemampuan memahami kaidah gramatika peserta

didik. Diagram 5

Kemampuan pemahaman kaidah gramatika

pada bercerita

Penilaian kategori kedua peserta didik dinilai pemahaman kaidah gramatika pada saat peserta didik bercerita berbahasa Arab. Dari 22 peserta didik 18,18% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam memahami kaidah- kaidah gramatika yang sudah dipelajari tanpa kesulitan. 68,18% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam pemahaman kaidah gramatika, dan 13,63% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam pemahaman kaidah gramatika.

Diagram 6

Kemampuan pemahaman kaidah gramatika pada presentasi makalah

A B C 4,54

Pemahaman kaidah gramatika pada saat peserta didik presentasi makalah berbahasa Arab terlihat lebih tinggi dari

pada saat peserta didik bercerita di depan kelas. Dari 22 peserta didik 27,72% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten. Kemudian 72,72% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam pemahaman kaidah gramatika. Peserta didik mendapat nilai B dalam tempo normal mampu menguasai semuanya, namun terkadang siswa minta mengulang perkataan yang disampaikan kepadanya. Kemudian 4,54% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam pemahaman kaidah gramatika.

c. Kategori ketiga adalah penilaian tentang kefasihan berbahasa Arab peserta didik.

Diagram 7

Kefasihan pada bercerita

Kefasihan 17 dalam hal ini diarahkan pada keterampilan mengungkapkan gagasan baik secara lisan maupun tulis. 18

17 Penelitian lain menyebutkan bahwa pada tahun 1990an banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa paparan dan interaksi komunikatif

dalam bahasa kedua memungkinkan peserta didik untuk mencapai kefasihan berbicara pada bahasa kedua namun perkembangan kefasihan tidak diimbangi dengan ketepatan (accuracy) sintaksis dan leksikal dalam produksi lisan. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa misalnya peserta didik dapat berbicara bahasa kedua dengan lancar dan mudah namun pembicaraan itu terkandung banyak kesalahan gramatikal, leksikal dan pragmatik linguistik. Dalam pendekatan berbasis komunikatif tugas untuk mengajar berbagai modifikasi metodologi dalam pedagogi berbicara bahasa kedua telah diusulkan memungkinkan

Penilaian kategori ketiga peserta didik dinilai kefasihan dalam pengucapan bahasa Arab pada saat peserta

didik bercerita berbahasa Arab. 68,18% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam kefasihan berbahasa Arab. Pada saat bercerita didepan kelas peserta didik ini sangat sedikit atau tidak ada kesalahan dalam hal kefasihan berbahasa Arab. Kemudian 27,27% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam kefasihan pengucapan berbahasa Arab.

Diagram 8

Kefasihan pada presentasi makalah

integrasi kefasihan pada fokus belajar akurasi. Lihat: Eli Hinkel, ‚Current Perspectives on Teaching the Fours Skills‛, TESOL Quarterly, Vol. 40, No. 1, 2006 (accessed May 24, 2014) Segalowitz juga mengklaim bahwa kefasihan, kecepatan dan kemudahan pengolahan bahasa adalah termasuk studi dalam performansi/kinerja bahasa. Studi tentang kefasihan ini harus menyediakan cara alternatif sebagai karakter pemerolehan bahasa karena eksekusi keterampilan yang cepat adalan tujuan dari SLA ( Second Language Acquisition). Menurut Naoko para peneliti telah banyak melakukan penelitian tentang ketepatan pemrosesan performansi dengan respon tugas-tugas bahasa. Lihat: Naoko Taguchi, ‚Development of Speed and Accuracy in Pragmatic Comprehension in English as a Foreign Language ‛, TESOL Quarterly, Vol. 41, No. 2 (June., 2007), (accessed June 05, 2014) lihat juga: Elizabeth Gatbonton, Pavel Trofimovich and Michael Magid, ‚Learners' Ethnic Group Affiliation and L2 Pronunciation Accuracy: A Sociolinguistic Investigation ‛, TESOL Quarterly, Vol. 39, No. 3 (Sep., 2005), (accessed June 05, 2014)

18 Asep Nurjamin, Pembelajaran Keterampilan Berbahasa, jurnal.stkipgarut.ac.id (diakses 07 April 2014)

Dalam presentasi makalah peserta didik dinilai kefasihan dalam pengucapan bahasa Arab pada saat peserta

didik bercerita berbahasa Arab. Dari 22 peserta didik 31,81% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam kefasihan berbahasa Arab. Kemudian 63,63% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam kefasihan pengucapan berbahasa Arab, dan 4,54% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam kefasihan pengucapan berbahasa Arab

d. Kategori keempat adalah penilaian tentang kesalahan berbahasa Arab dalam ranah s{arf .

Diagram 9

Kesalahan s}arf pada bercerita

A B C 4,54%

Penilaian kategori keempat peserta didik dinilai kesalahan ranah s{arf pada saat bercerita berbahasa Arab. Dari 22 peserta didik 50,00% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten atau sedikit kesalahan bahkan tidak ada kesalahan s{arf dalam berbahasa Arab pada saat bercerita didepan kelas. Kemudian 31,81% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten atau peserta didik kadang-kadang membuat

kesalahan tetapi tidak mempengaruhi makna. 18,18% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten atau sering membuat kesalahan yang mempengaruhi makna.

Adapun jenis kesalahan pada bidang s}arf di antaranya sebagai berikut:

Pembentukan

ٌْةهعِوهنه تُم ْ لَمْعَأ ْ مُهلَ jama’ takthir

Dalam bahasa Arab, pola pembentukan kata yang menunjukkan makna jamak (plural, lebih dari dua) dapat melalui tiga pola, yakni jama ‘ al-mudzakkar as-sa>lim, jama‘ al-muannath as-sa>lim, dan jama ‘ at-takthir. Diantara tiga macam pola diatas tidak memiliki pola yang baku. 19

Diagram 10 Kesalahan s{arf pada presentasi makalah

A B C 13,63%

Kesalahan s{arf pada saat peserta didik presentasi makalah adalah 40,90% peserta didik mendapatkan nilai A

19 Dalam bahasa Arab pola pembentukan kata tidak dapat disamakan dengan pola pembentukan dalam bahasa Indonesia, misalnya

dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ciri bahasa lisan yang cenderung bersifat natural dan tidak formal. Aturan pembentukan kata dan aturan pengkalimatannya sangat jauh berbeda dengan bahasa tulis. Seringkali dijumpai kata-kata dalam bahasa lisan yang cenderung mengalami peluruhan misalnya kata ngerti, nabrak mikir dan lain-lain. Namun dalam bahasa Arab tidak akan dijumpai pola seperti kata-kata tersebut karena tidak dikenal dengan kata peluruhan. Aspek morfologis dalam bahasa Arab pada bahasa lisan tetap mngikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Lihat: Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab, h. 70 dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ciri bahasa lisan yang cenderung bersifat natural dan tidak formal. Aturan pembentukan kata dan aturan pengkalimatannya sangat jauh berbeda dengan bahasa tulis. Seringkali dijumpai kata-kata dalam bahasa lisan yang cenderung mengalami peluruhan misalnya kata ngerti, nabrak mikir dan lain-lain. Namun dalam bahasa Arab tidak akan dijumpai pola seperti kata-kata tersebut karena tidak dikenal dengan kata peluruhan. Aspek morfologis dalam bahasa Arab pada bahasa lisan tetap mngikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Lihat: Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab, h. 70

kompeten dan 13,63% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten.

Morfologi merupakan susbsistem bahasa yang pembahasanya terpusat kepada kata perkata dan bukan

keterkaitan antara kata yang satu dengan kata yang berikutnya. 20 Kesalahan morfologis mendasarkan analisis

kesalahan berdasarkan kajian morfologi. Obyek kesalahan morfologi adalah kata itu sendiri yang berdiri sendiri dan

kemudian dianalisis unsur-unsur pembentukannya. 21

e. Kategori kelima adalah penilaian tentang kesalahan berbahasa Arab dalam ranah nah{w.

Diagram 11 Kesalahan nah{w pada bercerita

A B C 13,63%

Penilaian kategori kelima peserta didik dinilai kesalahan tata bahasa dalam ranah nah{w pada saat bercerita berbahasa Arab. Dari 22 peserta didik 50,00% peserta didik

20 JWM Verhar, Pengantar Linguistik dalam Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi

Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab (Kediri: STAIN Kediri Press, 2012) h. 34.

21 Kata muslimu>na merupakan gabungan dari muslim dan wau- nun. Demikian pula kata inkasara merupakan gabungan kasara dan alif –

nun. Dalam hal ini adalah morfologi sebagai suatu proses yaitu cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lainnya. Lihat: Samsuri, Analisis Bahasa dalam Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab, h. 34 nun. Dalam hal ini adalah morfologi sebagai suatu proses yaitu cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lainnya. Lihat: Samsuri, Analisis Bahasa dalam Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab, h. 34

kesalahan nah{w dalam berbahasa Arab pada saat bercerita didepan kelas. Kemudian 36,36% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten atau peserta didik kadang- kadang membuat kesalahan tetapi tidak mempengaruhi makna. 13,63% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten atau sering membuat kesalahan yang bisa mempengaruhi makna. Kesalahan berbahasa ini tentu dapat di atasi dengan latihan kebiasaan mendengar uslub- uslub kalimat bahasa Arab yang benar secara berulang-

ulang. 22 Adapun jenis kesalahan peserta didik di antaranya adalah sebagai berikut:

Na‘at Man‘ut

Salah

اًد يِدهشْاًن ْز ُْحِْللهاُْل وُسهرْهن ِْزهح Pemakaian maf‘u>l Salah

Benar

bih اًعهم ْ ُنَاْرُقلا ُْأهر قه نْهُثُ

Benar ْهعًْة ْههجا

Salah

اًر يِبهكْاًعه ن صهمْهعهن صهأْ نهأُْد يِرُأ Nas}b ba’da hatta

Benar

Salah

ْ اًراههه نْهرهشهعْهةهيِناهثلاْهةهعاهسلا ْهتْ ْهح Dalam bahasa lisan aspek sintaksis memiliki

Benar

perlakuan yang berbeda dari penutur bahasa dibandingkan aspek morfologi. Dalam aspek morfologi tidak ditemukan adanya penyimpangan terhadap kaidah, akibat ciri bahasa lisan yang cenderung natural dan formal, serta susunannya

22 Muhammad Ja>himi>, ‚Wa>qi‘u Ta‘li>mi an-Nah{w al-A‘rabi> fi> al- Marhalah ath-Thana>wiyah ‛, Majalah al- ‘Ulu>m al-Insa>niyah al-A‘dad as-

Sa>bi‘, Ja>mi‘ah Muhammad Khaid{ir Baskarah 2005 (diakses 16 Juni 2014) Sa>bi‘, Ja>mi‘ah Muhammad Khaid{ir Baskarah 2005 (diakses 16 Juni 2014)

berimplikasi sangat signifikan.

Diagram 12 Kesalahan nah{w pada presentasi makalah A B C

Dari 22 peserta didik pada kemampuan menghasilkan ujaran yang benar dalam ranah nah{w 59,09% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten. Kemudian 27,27% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten, dan 13,63% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten atau sering membuat kesalahan ujaran-ujaran bahasa yang bisa mempengaruhi makna.

Menurut hipotesis kontranstif penyebab kesalahan- kesalahan berbahasa baik aspek morfologis dan sintaksis adalah adanya perbedaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua. Adanya perbedaan ini membuat kesulitan dalam

mempelajari bahasa kedua. 24 Pendapat yang lain menyebutkan

berbahasa dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kesalahan antar bahasa dan kesalahan intrabahasa keduanya ini merefleksikan

bahwa

kesalahan

23 Hal ini tidak lain adalah karena ciri bahasa lisan yang memiliki susunan pendek dan singkat, tidak berpanjang kata, bahkan sebaliknya

memperpendek, mempersingkat melalui penghilangan kata yang dianggap jelas dan berasa tidak perlu disebutkan. Lihat: Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab, h. 78

24 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian, h. 247 24 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian, h. 247

bahasa kedua pada seorang pembelajar. Kemampuan peserta didik dalam memahami materi

pelajaran gramatika sesuai dengan respon peserta didik pada pernyataan berikut ini

Tabel 12

Pernyataan Jawaban Responden

N TS STS Saya

SS

pikir 38,09% 42,85% 14,28% 4,76% - materi nah{w/s{arf sesuai dengan level

dan kemampuan

saya

Keterangan: S: Setuju, SS: Sangat Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS: Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Dilihat dari tabel di atas bahwa 80.94% peserta didik menyetujui bahwa materi nah{w/s{arf yang diajarkan di kelas sudah sesuai dengan kemampuan peserta didik. Menurut Ehrman dkk perbedaan diantara pembelajar diklasifikasikan menjadi tiga area yaitu: gaya belajar, strategi belajar, dan sikap. Bidang utama lainnya dari perbedaan pembelajar ini

25 Peristiwa-peristiwa yang dimaksud adalah bahwa seeorang pembelajar bahasa kedua dalam upaya membangun kesempurnaan aspek-

aspek linguistik bahasa keduanya tidak dapat melepaskan pengaruh bahasa pertama yang telah dimilikinya, maka terjadilah interferensi atau interlingual. Selain itu dalam menyempurnakan pengetahuan linguistiknya, pembelajar berupaya membangun kemampuannya dengan mendasarkan kepada pengetahuan bahasa kedua sebatas yang telah dikuasainya hasil pembelajaran bahasa kedua yang sedang berlangsung, maka muncullah kesalahan-kesalahan intrabahasa. Lihat: Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab (Kediri: STAIN Kediri Press, 2012) h. 53 aspek linguistik bahasa keduanya tidak dapat melepaskan pengaruh bahasa pertama yang telah dimilikinya, maka terjadilah interferensi atau interlingual. Selain itu dalam menyempurnakan pengetahuan linguistiknya, pembelajar berupaya membangun kemampuannya dengan mendasarkan kepada pengetahuan bahasa kedua sebatas yang telah dikuasainya hasil pembelajaran bahasa kedua yang sedang berlangsung, maka muncullah kesalahan-kesalahan intrabahasa. Lihat: Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab (Kediri: STAIN Kediri Press, 2012) h. 53

variabel demografis lainnya. Dalam penelitian lain menunjukkan bahwa Borg

mengatakan keyakinan pembelajar dapat mempengaruhi kegiatan kelas guru. Sawir mengatakan keyakinan yang tidak

realistis atau kesalahpahaman tentang pembelajaran bahasa dapat menghambat kegiatan pembelajaran. Mori dan Yang mengatakan bahwa mempelajari keyakinan pembelajar

mungkin membantu menjelaskan dan memprediksi perilaku yang menunjukkan peserta didik ketika belajar suatu bahasa kedua. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa belajar

bahasa kedua keyakinan pelajar berkorelasi dengan penggunaan strategi, motivasi, dan kemampuan. 27

F. Kategori keenam adalah penilaian tentang pemilihan kosakata berbahasa Arab.

Diagram 13

Pemilihan kosakata pada bercerita

26 Madeline E. Ehrman, Betty Lou Leaver, Rebecca L. Oxford., ‚A Brief Overview of Individual Differences in Second Language

Learning ‛, SYSTEM 31 (2003). www.elsevier.com 27 Shawn Loewen, Shaofeng Li, Fei Fei, dkk., ‚Second Language

Learners' Beliefs About Grammar Instruction and Error Correction ‛, The Modern Language Journal, Vol. 93, No. 1 (Spring, 2009), (accessed May

Kosakata 28 atau mufradat mempunyai posisi penting dalam sistem bahasa Arab sebagai pembentuk struktur

kalimat dan teks, penjelas kedudukan dan makna, dan penentu makna linguistik kontekstual dalam sebuah wacana atau teks bahasa secara tepat. Signifikansi posisi mufradat dalam sistem bahasa Arab tidak hanya terkait dengan makna kata-perkata dalam struktur kalimat melainkan juga ragam dan varian bentuk mufradat sendiri yang secara gramatikal

mempunyai kegunaan masing-masing. 29

Penilaian kategori keenam peserta didik dinilai pemilihan kosakata bahasa Arab pada saat bercerita berbahasa Arab. Dari 22 peserta didik 13,36% mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam pemilihan kosakata yang bagus dan bernilai fusha. Kemudian 72,72% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten, dan 9,09% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam pemilihan kosakata

bahasa Arab. 30

28 Belajar kosakata telah lama menjadi topik yang menarik bagi penelitian. Nagy, Herman, dan Anderson menunjukkan bahasa kosakata

dapat diperoleh melalui lingkungan bahasa. Lihat: Kieran Andrew File and Rebecca Adams, ‚Should Vocabulary Instruction Be Integrated or Isolated? ‛, TESOL Quarterly, Vol. 44, No. 2 (June 2010), (accessed June

05, 2014) 29 Muhbib Abdul Wahab , Epistemologi & Metodologi

Pembelajaran Bahasa Arab, h. 155 30 Menurut J.C Anderson, Nation, Qian dan Read diantara

sumber-sumber pengetahuan ada satu jenis sumber pengetahuan yang ditemukan sangat terkait dengan kemampuan peserta didik untuk membaca dan memahami teks yaitu pengetahuan kosakata. Sejumlah penelitian antara bahasa pertama dan bahasa kedua telah menunjukkan bahwa pengetahuan kosakata merupakan salah satu prediktor terbaik dari membaca dan kemampuan memperoleh informasi baru dari teks. Strenberg dan Powell juga menemukan hubungan positif antara performansi bahasa peserta didik dengan teks kosakata dan kemampuan mereka untuk mendefinisikan kata. Lihat: Hossein Nassaji, ‚The Relationship between Depth of Vocabulary Knowledge and L2 Learners'

Dalam penelitian lain peserta didik diuji melalui penilaian tradisional seperti wawancara, dan tes pengetahuan

gramatikal. Catatan akademis membuktikan bahwa pengetahuan akan kosakata berpotensi sangat baik dalam performa akademik peserta didik dalam hubungannya

dengan bentuk-bentuk kalimat. 31 Diagram 14

Pemilihan kosakata pada presentasi makalah

A B C 4,54%

Pada presentasi makalah dari 22 peserta didik 27,27% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten. 68,18% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten, dan 4,54% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam pemilihan kosakatabahasa Arab.

Jika dilihat kedua diagram tersebut dominan peserta didik mendapatkan nilai B. Menurut Henry akal pikiran yang

baik mencerminkan kosakata yang baik, dan kosakata yang baik mencerminkan akal yang baik. Tentu saja kualitas keterampilan bahasa seseorang jelas bergantung kepada kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya. Semakin

Lexical Inferencing Strategy Use and Success ‛, The Modern Language Journal, Vol. 90, No. 3 (Autumn, 2006), (accessed June 05, 2014) 31

Lori Morris, Tom Cobb., ‚Vocabulary Profiles as Predictors of the Academic Performance of Teaching English as a Second Language Trainees ‛, System (2004), www.elsevier.com (accessed May 06, 2014) Lori Morris, Tom Cobb., ‚Vocabulary Profiles as Predictors of the Academic Performance of Teaching English as a Second Language Trainees ‛, System (2004), www.elsevier.com (accessed May 06, 2014)

kemungkinan terampil berbahasa. Menurut Ahmad Raghib untuk meningkatkan kosakata pada peserta didik dengan

melakukan latihan-latihan yang bernilai interaktif. Peserta didik dapat merekam kosakata dengan suaranya sehingga

ucapannya dapat dikoreksi. 33

Pada penelitian berapa banyakkah kosakata yang harus diketahui pada pembelajar bahasa kedua?? Hazanberg dan Hulstjin menjawab pertanyaan ini mengatakan bahwa pembelajar harus mengetahui kosakata dalam bentuk reseptif sebanyak 14,000-17,000 kosakata. Selanjutnya Zechmeister, D’Anna Hall, Paus & Smith dalam literatur tentang bahasa kedua belajar pengetahuan reseptif dari 5000 kata dasar umumnya dianggap menjadi target pembelajaran minimal sehubungan dengan pemahaman pokok-pokok teks non- subjek khusus. Menurut Hirsh dan Nation telah meyakinkan berpendapat bahwa untuk pemahaman tersebut harus dicapai pembaca umumnya perlu akrab dengan 95 persen dari kata-

kata dalam teks. 34 Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan kosakata mempunyai andil yang sangat besar dalam

membuat kalimat-kalimat yang baru dan meningkatkan kualitas keterampilan berbahasa seseorang.

32 Menurut Henry Guntur Tarigan kuantitas dan kualitas, tingkatan dan kedalaman kosakata seseorang merupakan indeks pribadi

yang terbaik bagi perkembangan mentalnya. Perkembangan kosakata merupakan perkembangan konseptual yang merupakan suatu tujuan pendidikan dasar bagi setiap sekolah dan perguruan tinggi. Lihat Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Kosakata, (Bandung: Angkasa, 2011) h.3

33 Ahmad Raghib Ahmad, ‚Niz{a>m Tafa>‘uli> Lita‘li>mi al- ‘Arabiyah Lighairi an-Na>ti{qi>na Biha>‛, Ja>mi‘ah al-Madi>nah al-‘A>lamiyah,

http://www.annabaa.org (diakes 16 Juni 2014) 34 Jan H. Hulstijn, ‚Intentional and Incidental Second Language

Vocabulary Learning: A Reappraisal of Elaboration, Rehearsal and Automaticity ’, Cognition and Second Language Instruction, Cambridge: Cambridge University Press, 2001 (Accessed May 07, 2014) Vocabulary Learning: A Reappraisal of Elaboration, Rehearsal and Automaticity ’, Cognition and Second Language Instruction, Cambridge: Cambridge University Press, 2001 (Accessed May 07, 2014)

Diagram 15

Ketepatan bentuk kalimat pada bercerita

A B C 4,54%

Ketepatan bentuk (accuracy) adalah berkaitan dengan kesahihan gramatikal dalam penggunaan bahasa. 35

Penilaian kategori ketujuh peserta didik dinilai ketepatan bentuk 36 kalimat bahasa Arab pada saat bercerita

berbahasa Arab di depan kelas. Dari 22 peserta didik 27,72% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik

35 Nazri Syukri, Revolusi Metodologi Pembelajarana Bahsa Arab dari Pendekatan Komunikatif ke Komunikatif Kambiumi (Yogyakarta:

Pedagogia, 2010) h. 169 36 Pada tahun 1980 dan awal tahun 1990an, sejumlah penelitian

telah dilakukan untuk menentukan apakah paparan dan interaksi komunikatif bahasa kedua memungkinkan peserta didik untuk mencapai fasilitas berbicara bahasa kedua yang membahas tentang kelancaran dan ketepatan dalam memproduksi bahasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa pembelajaran bahasa secara eksplisit dan pengajaran terfokus pada bentuk-bentuk kalimat dan pembelajaran makna kalimat yang luas tidak mengarah pada perkembangan akurasi sintaksis dan leksikal dalam bahasa kedua. Saat ini dalam pengajaran keempat keterampilan berbahasa, kurikulum dan pengajaran berusaha untuk mencapai keseimbangan antara linguistik dan aspek skematik perkembangan bahasa peserta didik, saat ini hampir semua buku teks pendidikan guru pada esesnsi pengajaran bahasa. Lihat: Eli Hinkel, ‚Current Perspectives on Teaching the Fours Skills‛, TESOL QUARTERLY, Vol. 40, No. 1, 2006 (accessed May 24, 2014) telah dilakukan untuk menentukan apakah paparan dan interaksi komunikatif bahasa kedua memungkinkan peserta didik untuk mencapai fasilitas berbicara bahasa kedua yang membahas tentang kelancaran dan ketepatan dalam memproduksi bahasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa pembelajaran bahasa secara eksplisit dan pengajaran terfokus pada bentuk-bentuk kalimat dan pembelajaran makna kalimat yang luas tidak mengarah pada perkembangan akurasi sintaksis dan leksikal dalam bahasa kedua. Saat ini dalam pengajaran keempat keterampilan berbahasa, kurikulum dan pengajaran berusaha untuk mencapai keseimbangan antara linguistik dan aspek skematik perkembangan bahasa peserta didik, saat ini hampir semua buku teks pendidikan guru pada esesnsi pengajaran bahasa. Lihat: Eli Hinkel, ‚Current Perspectives on Teaching the Fours Skills‛, TESOL QUARTERLY, Vol. 40, No. 1, 2006 (accessed May 24, 2014)

peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten, dan 4,54% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam pemilihan struktur kalimat bahasa Arab.

Diagram 16

Ketepatan bentuk kalimat pada presentasi makalah

Ketepatan bentuk kalimat bahasa Arab pada tugas presentasi makalah adalah dari 22 peserta didik 18,18% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam pemilihan struktur kalimat bahasa yang bagus dan bernilai fusha. Kemudian 77,27% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten, dan 4,54% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam pemilihan struktur kalimat bahasa Arab.

g. Kategori kedelapan adalah penilaian tentang performa (kontak mata, ekspresi wajah, gestur tubuh).

Pada umumnya, tes berbicara bukan hanya ujian lisan, melainkan juga ujian penampilan, yakni ujian lisan/perbuatan/penampilan lain. Ini berarti bahwa yang dinilai bukan hanya hasil tetapi perbuatan berbicara, yakni pembicaraan itu. Untuk itu teknik ujian itu dibantu oleh Pada umumnya, tes berbicara bukan hanya ujian lisan, melainkan juga ujian penampilan, yakni ujian lisan/perbuatan/penampilan lain. Ini berarti bahwa yang dinilai bukan hanya hasil tetapi perbuatan berbicara, yakni pembicaraan itu. Untuk itu teknik ujian itu dibantu oleh

berbicara. Ini berlaku pada ujian berbicara yang dilakukan secara langsung. Ekspresi gerak-gerik dan mimik pelaku sangat juga dinilai sehingga pembicaraan hidup dan

menarik. 38

Diagram 17

Performa (kontak mata, ekspresi wajah, gestur tubuh) pada bercerita

Penilaian kategori kedelapan peserta didik dinilai performa atau penampilan berbicara pada saat bercerita berbahasa Arab di depan kelas. Dari 22 peserta didik 27,72% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam performa berbicara bahasa Arab. Kemudian 40,90% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam performa berbicara bahasa Arab.

37 Widdowson menyatakan adanya keterlibatan dua kemampuan dalam performansi. Pertama, kemampuan memilih bentuk kalimat apa

yang sesuai bagi konteks linguistik tertentu. Kedua, kemampuan mengenal fungsi apa yang diemban suatu kalimat dalam situasi komunikatif tertentu. Lihat: Nazri Syukri, Revolusi Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab dari Pendekatan Komunikatif ke Komunikatif Kambiumi, (Yogyakarta: Pedagogia, 2010) h. 84 38

Dadan Djuanda, Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, Jurnal Pendidikan Dasar, 2010, (diakses 26 April 2014)

Diagram 18

Performa (kontak mata, ekspresi wajah, gestur tubuh) pada presentasi makalah

Dari 22 peserta didik pada saat presentasi makalah 13,63% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam performa berbicara

bahasa Arab. 63,63% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam performa berbicara bahasa Arab, dan 22,72% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C

atau cukup kompeten dalam performa berbicara bahasa Arab.

h. Kategori kesembilan adalah penilaian kelancaran berbicara bahasa Arab pada peserta didik.

Diagram 19

Kelancaran berbicara pada bercerita

Penilaian kategori kesembilan peserta didik dinilai kelancaran 39 berbicara pada saat bercerita berbahasa Arab di

39 Salah satu isu yang menarik bagi sebagian besar peneliti SLA ( Second Language Acquisition) melintasi semua tingkat analisis- 39 Salah satu isu yang menarik bagi sebagian besar peneliti SLA ( Second Language Acquisition) melintasi semua tingkat analisis-

mendapatkan nilai B dan 4,54% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam kelancaran berbicara bahasa Arab.

Janice Aski menyoroti pentingnya praktek keluaran berbahasa. Seringkali guru dan peserta didik merasa puas ketika peserta didik banyak berbicara dalam bahasa target,

namun ketika hanya berfokus pada produksi kelancaran berbicara

saja menghilangkan kesempatan untuk mengembangkan

analitis untuk mengidentifikasi hubungan antara struktur dan makna yang

keterampilan

mereka sampaikan pada konteks formal. Menurut Aski sebelum memproduksi bahasa peserta didik perlu untuk

memproses struktur bahasa yang digunakan. 40

Diagram 20

Kelancaran berbicara pada presentasi makalah

A B C 9% 32%

kefasihan, dipahami sebagai mengacu pada aspek-aspek kemampuan bahasa reseptif dan produktif ditandai dengan fluiditas (kelancaran) performa. kefasihan memanifestasikan dalam performa bahasa sebagai berbicara atau membaca pada tingkat yang tepat, berbicara tanpa ragu- ragu yang tidak semestinya atau jeda, memahami dengan cepat bahasa lisan atau tertulis, dan kemampuan untuk tampil pada berbagai situasi sosial dan fisik. Lihat: Norman Segalowitz, Access Fluidity, ‚Attention Control, and the Acquisition of Fluency in aSecond Language ‛, TESOL QUARTERLY, 2007 - Wiley Online Library, (accessed 07 May, 2014) 40

Janice Aski, ‚The Impact of Second Language Acquisition Research on Language Practice Activities ‛, Italica, Vol. 86, No. 1 (Spring, 2009), (accessed May 23, 2014)

Penilaian kategori kesembilan peserta didik dinilai kelancaran berbicara pada saat presentasi makalah berbahasa

Arab di depan kelas. Dari 22 peserta didik 31,81% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam kelancaran berbicara bahasa Arab. 59,09% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam kelancaran berbicara bahasa Arab. Kelancaran (fluency) dalam performansi termasuk tujuan pembelajaran bahasa asing, yaitu performansi otomatis dalam penggunaan bahasa, baik yang berhubungan dengan

kemahiran ekspresif maupun reseptif. 41 Disisi lain Brown mengatakan bahwa kelancaran hendaknya dipandang lebih

penting daripada ketepatan supaya dapat mempertahankan keterlibatan siswa secara bermakna dalam penggunaan

bahasa. 42

i. Kategori kesepuluh adalah penilaian tentang kemampuan penerapan kaidah gramatika.

Diagram 21

Penerapan kaidah gramatika pada bercerita

A B C 9%

41 Asahi Kurazami, ‚Historical Overview of The Development of The Notion of Communicative Competence ‛, dalam Nazri Syakur,

Revolusi Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab dari Pendekatan Komunikatif ke Komunikatif Kambiumi (Yogyakarta: Pedagogia, 2010)

h. 169 42 H. Douglas Brown, Teaching by Principles An Interactive

Approach to Language Pedagogy, h. 43

Penilaian kategori kesepuluh peserta didik dinilai kemampuan penerapan kaidah gramatika pada saat bercerita

berbahasa Arab di depan kelas. Dari 22 peserta didik 45,45% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam penerapan kaidah gramatika dalam berbicara bahasa Arab. 45,45% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam kelancaran penerapan kaidah gramatika, dan 9,09% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam penerapan kaidah gramatika pada saat peserta didik bercerita di depan kelas.

Diagram 22

Penerapan kaidah gramatika pada presentasi makalah

A B C 9%

Peserta didik dinilai kemampuan penerapan kaidah gramatika pada saat presentasi makalah di depan kelas. Dari

22 peserta didik 45,45% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam penerapan kaidah gramatika dalam berbicara bahasa Arab. 45,45% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam kelancaran penerapan kaidah gramatika. 9,09% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau cukup kompeten dalam penerapan kaidah gramatika pada saat peserta didik bercerita di depan kelas.

Kompetensi gramatika memiliki pengaruh yang besar terhadap keakuratan dan kecermatan dalam berbahasa. Kompetensi gramatika yang tidak dikuasai akan menghambat dalam menerima (mendengar dan membaca). Menurut hasil penelitian siswa bahasa kedua atau bahasa Kompetensi gramatika memiliki pengaruh yang besar terhadap keakuratan dan kecermatan dalam berbahasa. Kompetensi gramatika yang tidak dikuasai akan menghambat dalam menerima (mendengar dan membaca). Menurut hasil penelitian siswa bahasa kedua atau bahasa

menerima, khususnya mendengar. Dari kedua diagram di atas nampak seimbang antara

peserta didik yang mendapatkan nilai A dan B pada kategori bercerita dan presentasi makalah. Penerapan kaidah

gramatika ini juga nampak pada peserta didik dalam tabel berikut:

Tabel 13

Jawaban Responden Pernyataan

CP SP Saya

TP

AP

10% 80% berkomunikasi dengan

ingin 10%

kerabat- kerabat saya dalam

bahasa Arab yang baik

Keterangan: TP: Tidak Penting, AP: Agak Penting, CP: Cukup Penting, SP: Sangat penting

43 Nazri Syukri, Revolusi Metodologi Pembelajarana Bahsa Arab dari Pendekatan Komunikatif ke Komunikatif Kambiumi, h. 65.

Perdebatan pengajaran gramatika sejatinya telah dimulai pada abad ke dua puluh dengan pendapat bahwa pengajaran gramatika secara formal tidak memiliki pengaruh yang menguntungkan pada kemampuan menulis peserta didik. Lihat: Richard Andrew dkk, ‚The Effect of Grammar Teaching on Writing Development ‛, British Educational Research Journal, Vol. 32, No 1 February 2006, Routledge Taylor & Francis Group. Namun dalam perkembangannya ukuran kebahasaan mempunyai tiga tingkatan: Pertama adalah ukuran kebahasaan dalam masyarakat adalah ukuran ‚ pokoke ngertos‛ dalam masyarakat kalimat-kalimat yang dituturkan oleh pembicara pada sebatas bisa dimengerti oleh pendengar walaupun di dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan- kesalahan gramatika. Kedua adalah ukuran formalitas kebahasaan yang terbagi pada ragam standar (bahasa baku dan formal) dan non standar (bahasa santai, konsultatif dan akrab). Ketiga adalah ukuran kebahasaan yang taat asas (ketaatasasan) ukuran ini terbagi pada fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Lihat: Jos Daniel Parera, Linguistik Edukasional Metodologi Pembelajaran Bahasa Analisis Konstranstif Antarbahasa Analisis Kesalahan Berbahasa (Jakarta: Erlangga, 1997)

Data di atas 90% peserta didik kebanyakan menaruh sikap positif untuk belajar berbahasa Arab yang baik dan

menggunakannya untuk berkomunikasi kepada kerabat dan keluarga. Menurut Kata Csizer dan Zoltán Dörnyei lingkungan telah digunakan dalam penelitian motivasi bahasa kedua untuk merujuk pada pengaruh sosial yang berasal dari lingkungan terdekat yang bertentangan dengan konteks makro. Biasanya dioperasionalkan sebagai pengaruh yang dirasakan dari orang lain yang signifikan, seperti orang tua, keluarga, dan teman-teman, 44 meskipun 10% masih ada

peserta didik yang mengatakan tidak penting dalam berkomunikasi dalam bahasa Arab yang baik.

j. Kategori kesebelas adalah penilaian tentang tata bahasa Arab

Diagram 23

Tata Bahasa pada bercerita

Penilaian kategori kesebelas peserta didik dinilai tentang kemampuan menghasilkan ujaran-ujaran yang benar pada saat peserta didik bercerita bahasa Arab di depan kelas.

Penilaian ini dinilai dalam ranah seluruh tata bahasa 45 baik

44 Kata Csizer dan Zoltán Dörnyei, ‚The Internal Structure of Language Learning Motivation and Its Relationship with Language

Choice and Learning Effort ‛, The Modern Language Journal, Vol. 89, No.1

Blackwell Publishing http://www.jstor.org . (accessed May 07, 2014)

(Spring,

45 Ketika TESOL QUARTERLY mulai diterbitkan pertama kali tahun 1967, pengajaran tata bahasa (yaitu, pengajaran infleksi morfologi, 45 Ketika TESOL QUARTERLY mulai diterbitkan pertama kali tahun 1967, pengajaran tata bahasa (yaitu, pengajaran infleksi morfologi,

sangat kompeten dalam menghasilkan ujaran bahasa yang benar tanpa kesalahan atau sedikit kesalahan tata bahasa. Kemudian 50,00% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam menghasilkan ujaran bahasa yang benar atau peserta didik kadang-kadang membuat kesalahan tata bahasa tetapi tidak mempengaruhi makna.

Diagram 24

Tata bahasa pada presentasi makalah

kata fungsi, dan urutan kata sintaksis) menjadi perhatian utama dalam pengajaran bahasa Inggris. Bahkan, seperti Rutherford menunjukkan, selama 2.500 tahun pengajaran tata bahasa sering identik dengan pengajaran bahasa asing. Pada tahun 1967 pendekatan audiolingual telah mendominasi pengajaran bahasa di AS selama lebih dari dua dekade pengikutnya menyatakan bahwa pembelajaran bahasa terjadi terutama melalui pembentukan kebiasaan. Pandangan pembelajaran bahasa ini ditantang oleh para pendukung pendekatan kognitif yang melawan kepatuhan audiolingualism untuk pembentukan kebiasaan, pendukung ini berpendapat bahwa belajar bahasa adalah perilaku aturan yang diatur. Sebelum tahun 1967 dan selama beberapa tahun sesudahnya tidak ada yang menantang sentralitas tata bahasa baik sebagai konten untuk mengajar bahasa atau sebagai prinsip pengorganisasian untuk kurikulum atau bahan pembangunan. Tantangan seperti itu muncul pada pertengahan 1970- an, dan berjudul ‚Mengintegrasikan Grammar Ke Kurikulum Komunikatif‛. Lihat: Marianne Celce-Murcia, ‚Grammar Pedagogy in Second and Foreign Language Teaching ‛, TESOL QUARTERLY, Vol. 25, No. 3, Autumn 1991, (accessed May 24, 2014)

Penilaian kategori kesebelas peserta didik dinilai tentang kemampuan menghasilkan ujaran-ujaran yang benar.

S{afiyah mengatakan pentingnya qawa>‘id nah{wiyah adalah untuk mempermudah dalam berbicara, karena penutur dapat mengetahui kebenaran dan kesalahan dalam ucapannya. 46 Pada diagram di atas dari 22 peserta didik 31,81% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam menghasilkan ujaran bahasa yang benar tanpa kesalahan atau sedikit kesalahan tata bahasa 47 baik dari segi nah{w maupun s{arf. Kemudian 68,18%

peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam menghasilkan ujaran bahasa yang benar

atau peserta didik kadang-kadang membuat kesalahan tata bahasa tetapi tidak mempengaruhi makna.

Menurut Chaer penggunaan struktur dan kosakata yang telah dikuasai (sebagai kompetensi) dalam interaksi belajar di kelas berfungsi sebagai pemantapan intake yang telah dimiliki meskipun dengan melakukan modifikasi yang

diperlukan. 48

k. Kategori kedua belas adalah penilaian tentang gaya bahasa peserta didik

46 S{afiyah T{abani>, ‚al-Ab‘ad at-Ta‘li>miyah lil Qawa>‘id an- Nah}wiyah ‛, Majallah al-Makhbar al- ‘Adad as-Sa>dis, Abhath fi> al-

Lughah wa al-Adab al- Ja>za>iri>, Ja>mi‘ah Muhammad Khaid{ir al-Jaza>iri>, 2010 (diakses 16 Juni 2014)

47 Salah satu fungsi dari tata bahasa adalah untuk membantu pembaca

dan penulis membuat koneksi dalam memahami membaca. Frank Smith menulis membaca fasih menuntut pengetahuan tentang konvensi teks dari kosakata dan tata bahasa untuk perangkat narasi dipekerjakan. Lihat: Eileen Simmons, ‚The Grammars of Reading‛, The English Journal, Vol. 95, No. 5 (May, 2006), (accessed June 05, 2014)

48 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, h. 256

Diagram 25

Gaya bahasa pada bercerita

A B C 9,09%

Penilaian kategori kedua belas peserta didik dinilai tentang gaya bahasa atau ujaran-ujaran bahasa Arab yang

masih dipengaruhi oleh bahasa ibu ( indo arabic) pada saat peserta didik bercerita bahasa Arab di depan kelas. Dari 22

peserta didik 45,45% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten dalam menghasilkan gaya bahasa Arab yang lancar seperti penutur asli. Kemudian 45,45% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam menghasilkan gaya bahasa Arab seperti penutur asli tapi sedikit terganggu oleh masalah bahasa, dan 9,09% peserta didik mendapatkan nilai C atau dinyatakan cukup kompeten dalam menghasilkan dialek berbahasa Arab akan tetapi sering rag-ragu karena keterbatasan bahasa.

Diagram 26

Gaya bahasa pada presentasi makalah

Penilaian kategori kedua belas dari 22 peserta didik 18,18% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik

dinyatakan sangat kompeten dalam menghasilkan gaya bahasa Arab yang lancar seperti penutur asli. Kemudian 77,27% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam menghasilkan gaya bahasa Arab seperti penutur asli tapi sedikit terganggu oleh masalah bahasa. 4,54% peserta didik lainnya mendapatkan nilai C atau dinyatakan cukup kompeten.

Pada era klasik di universitas-universitas Amerika seperti tahun-tahun lima puluhan abad lalu, latihan-latihan percakapan di universitas ini telah diterapkan dalam rangka meningkatkan keterampilan percakapan salah satu dialek ‘Iraqiyah seperti dialek Mesir, dan Suriah. Metode ini mengidentifikasi logat dari daerah tertentu tanpa bergantung

pada pengetahuan tentang bahasa Arab klasik. 49

49 Lihat: Yun Eun-Kyeong, ‚Afd{a>l Manhaj Lita‘li>mi al-Lughah al- ‘Arabiyah Lighairi an-Na>t{iqi>na Biha> bi Wajha>t Naz{ru ‘Ilm al-Lughah

al- ‘Ijtima>‘i>‛, al-Usta>dz al- ‘Adad 201 2012, (diakses 16 Juni 2014) Studi linguistik Arab dimulai pada abad ke-7 masehi yang pada zaman itu adalah zaman pertengahan yang dicirikan dengan jatuhnya kekaisaran Romawi sebagai satu kesatuan dan munculnya Renaissance. Di dunia Arab aliran linguistik pada waktu itu dipelajari oleh Bas}ra yang meletakkan dasar yang kokoh dan kereguleran dan sistematisasi dari bahasa Arab sebagai alat tutur yang logis tentang fenomena dunia, dan tentu saja konsep ini dipengaruhi oleh konsep analogi Yunani. Namun disamping itu ada pula satu kelompok linguistik Arab di Kufah yang memberikan perhatian kepada keanekaragaman bahasa seperti yang dijumpai termasuk dialek-dialek. Lihat: Jos Daniel Parera, Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural, h..50 keragaman dialek-dialek bahasa Arab menurut sejarah muncul dikarenakan kelompok Badui (nomad) yang tidak menetap dan hampir selalu berpindah-pindah. Kelompok tersebut terdiri dari beberapa kelompok kecil (kabilah-kabilah) yang berjauhan antara satu sama lain tidak ada hubungan dan tali pengikat persatuan diantara mereka masing- masing menyendiri dan mempertahankan sistem hidup dan kebiasaannya sendiri termasuk dalam bidang bahasa. Inilah faktor seperti diterangkan dalam buku-buku bahasa, sastra dan sejarah yang memicu beragamnya dialek. Lihat: Jurji Zidan, ‚Ta>rikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyah‛ dalam

Pernyataan tentang dalam pengucapan seperti penutur asli juga mendapat respon yang positif, dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 14

N TS STS Saya merasa perlu untuk 90,47% 9,52% -

Pernyataan

SS

- - dapat berbicara dalam

bahasa Arab dengan lancar

sama seperti penutur asli

Keterangan: S: Setuju, SS: Sangat Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS: Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Data di atas seluruh peserta didik sepakat merasa perlu untuk berbicara bahasa Arab dengan lancar dan sama seperti penutur aslinya. Hal ini mengisyaratkan bahwa peserta didik merasa berkebutuhan dalam pembelajaran bahasa. Menurut Furqonul Azies siswa akan belajar dengan baik jika diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat. 50

Dalam pernyataan yang lain terlihat bahwa peserta didik ingin bertemu dan berbicara langsung pada penutur asli. Sikap tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 15

N TS STS Saya suka

Pernyataan

SS

71,42% 14,28% 14,28% - - diwawancarai oleh penutur asli (orang Arab)

Keterangan: S: Setuju, SS: Sangat Setuju, N: Tidak Berpendapat, TS: Tidak Setuju, STS: Sangat Tidak Setuju

Nazri Syukri, Revolusi Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab dari Pendekatan Komunikatif ke Komunikatif Kambiumi, h. 8

50 Furqonul Azies dan Chaedar Wasilah, Pengajaran Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek dalam Nazri Syukri, Revolusi

Metodologi Pembelajarana Bahsa Arab dari Pendekatan Komunikatif ke Komunikatif Kambiumi (Yogyakarta: Pedagogia, 2010) h. 163

Data di atas nampak seimbang meskipun ada 3 orang peserta didik tidak berpendapat padahal untuk meningkatkan

ujaran-ujaran kebahasa Araban peserta didik perlu untuk langsung bercakap-cakap langsung pada penutur asli.

Dialek merupakan suatu yang otonom, oleh karena itu dialek memiliki sistem linguistik tersendiri, baik menyangkut sistem fonologi, morfologi, sintaksis atau leksikon. Didalam pembahasan tentang pengenalan dialek maka dipaparkan adalah ciri-ciri linguistik yang membedakan antara dialek yang satu dengan yang dialek

yang lainnya. 51

l. Kategori ketiga belas adalah penilaian tentang pengucapan dalam berbahasa Arab.

Studi pengucapan menjadi premis dasar yang dianut oleh pelajar. Pengucapan memegang peranan yang penting dalam mengutarakan ide-ide yang disampaikan melalui suara, kata-kata dan frase untuk orang-orang sekitar. Ketika pengucapan disampaikan secara jelas maka bahasa tersebut bisa menyampaikan pesan meskipun tidak ada keseimbangan dalam komposisi gramatikal. 52

Diagram 27

51 Mahsun, M.S, Genolinguistik Kolaborasi Lingusitik dengan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h. 54 52 Ibtisa>m Husain Jami>l, ‚al-As{wa>t as-S{a‘bah fi> Nat{qiha wa

Idra>kiha> Limuta‘allimi> al-‘Arabiyah min an-Na>t{iqi>na bi Ghairiha> Mafa>hi>m S{autiyah wa Taqniya>h Ta‘li>miyah Litadri>si al-As{wat al- Halaqiyah wa al-Mulahaqah ‛, Majallah al- Ja>mi‘ah al-Isla>miyah (Silsilah ad-Dira>sa>t al-Insa>niyah), al-Majalad ath-Tha>min ‘Ashar, 2010 (diakses

16 Juni 2014)

Pengucapan pada bercerita

Penilaian kategori ketiga belas peserta didik dinilai tentang kemampuan pengucapan 53 dalam berbahasa Arab

pada saat peserta didik bercerita bahasa Arab di depan kelas. Dari 22 peserta didik 72,72% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten. Kemudian 27,27% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam menghasilkan pengucapan yang membuat pendengar harus konsentrasi penuh kadang-kadang ada kesalahpahaman.

Pengucapan adalah ketika orang yang berbicara dalam bahasa apapun bergerak bibirnya, rahang, lidah dan

53 Menurut Derwing dan Munro mengatakan bahwa studi tentang pengucapan telah terpinggirkan dalam bidang linguistik terapan.

Akibatnya guru seringkali dibiarkan mengajar bahasa dengan mengandalkan intuisi mereka sendiri dengan sedikit arahan. Meskipun beberapa instruktur dapat berhasil membantu siswa mereka pada kondisi ini namun banyak orang lain enggan untuk mengajar pengucapan bahasa. Kurangnya perhatian terhadap pengajaran pengucapan dalam teks-teks otoritatif dinyatakan telah menghasilkan pengetahuan yang terbatas tentang bagaimana untuk mengintegrasikan instruksi pengucapan yang tepat ke dalam ruang kelas bahasa kedua. Hal ini juga ditetapkan bahwa aksen asing adalah konsekuensi normal pembelajaran bahasa kedua. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kebanyakan orang yang memperoleh bahasa kedua setelah anak usia dini cenderung menunjukkan pola-pola normatif pengucapan. Lihat: Tracey M. Derwing and Murray J. Munro, ‚Second Language Accent and Pronunciation Teaching: A Research-Based Approach ‛, TESOL Quarterly, Vol. 39, No. 3 (Sep., 2005), (accessed May 24, 2014) Akibatnya guru seringkali dibiarkan mengajar bahasa dengan mengandalkan intuisi mereka sendiri dengan sedikit arahan. Meskipun beberapa instruktur dapat berhasil membantu siswa mereka pada kondisi ini namun banyak orang lain enggan untuk mengajar pengucapan bahasa. Kurangnya perhatian terhadap pengajaran pengucapan dalam teks-teks otoritatif dinyatakan telah menghasilkan pengetahuan yang terbatas tentang bagaimana untuk mengintegrasikan instruksi pengucapan yang tepat ke dalam ruang kelas bahasa kedua. Hal ini juga ditetapkan bahwa aksen asing adalah konsekuensi normal pembelajaran bahasa kedua. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kebanyakan orang yang memperoleh bahasa kedua setelah anak usia dini cenderung menunjukkan pola-pola normatif pengucapan. Lihat: Tracey M. Derwing and Murray J. Munro, ‚Second Language Accent and Pronunciation Teaching: A Research-Based Approach ‛, TESOL Quarterly, Vol. 39, No. 3 (Sep., 2005), (accessed May 24, 2014)

melakukan perjalan melalui udara ke telinga orang lain. 54 Menurut Morley peran guru dalam mengajar pengucapan sebagai relatif yang tidak penting, padahal dalam pedagogi bahasa menurut Barlovi-Harglig mengajar pengucapan bahasa telah berorientasi pada norma-norma lingkaran dan standar sebagai salah satu aspek lain dari pengajaran bahasa

seperti belajar kosakata atau tata bahasa. 55

Diagram 28

Pengucapan pada presentasi makalah

Dari 22 peserta didik 59,09% peserta didik mendapatkan nilai A atau peserta didik dinyatakan sangat kompeten atau pengucapan peserta didik mudah dipahami dan memiliki aksen penutur asli/aksen tertentu. Kemudian

54 Charles F. Hockett, ‚Learning Pronunciation‛, The Modern Language Journal, Vol. 34, No. 4 (Apr., 1950), (accessed June 05, 2014)

55 Menurut McKay dalam bahasa Inggris pengucapan adalah sesuatu yang penting sebagai bahasa internasional karena memiliki dua

alasan; pertama, pengucapan saling membangun kejelasan antara penutur non asli bahasa Inggris, dengan kejelasan akan mengaruh pada kebutuhan untuk menciptakan wacana yang dipahami oleh peserta didik dalam kerangka komunikatif. Kedua, pengucapan memainkan peran sentral dalam peranan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional bagaimana orang terdengar dengan berkaitan erat tentang persepsi identitask sosial budaya. Lihat S. L. McKay, dalam Nicos C. Sifakis and Areti-Maria Sougari, ‚Pronunciation Issues and EIL Pedagogy in the Periphery: A Survey of Greek State SchoolTeachers' Beliefs ‛, TESOL Quarterly, Vol.

39, No. 3 (Sep., 2005), (accessed June 05, 2014)

40,90% peserta didik mendapatkan nilai B atau dinyatakan kompeten dalam menghasilkan pengucapan yang membuat

pendengar harus konsentrasi penuh kadang-kadang ada kesalahpahaman.

Pada aspek ini hal yang terkait dengan ketepatan pengucapan adalah pengucapan bunyi-bunyi bahasa dengan

artikulasi yang tepat. Meskipun disadari bahwa tidak selalu berhasil dilakukan pengucapan artikulasi dengan tepat, akan tetapi diusahakan bunyi-bunyi yang keluar tidak melenceng jauh dari ketentuan pengucapannya. 56

Dari beberapa aspek penilaian didapatkan nilai kumulatif sebagai kesimpulan performa gramatika melalui

keterampilan berbicara.

Diagram 29

Nilai Kumulatif

A B Presentasi makalah

Bercerita

Dilihat dari tabel di atas bahwa pada aspek bercerita 68% peserta didik lebih banyak mendapatkan nilai A. Artinya bahwa pembelajaran gramatika mampu membuat

56 Dalam bahasa Arab pengucapan bunyi terkait dengan makha>rij al-h{uru>f, panjang pendeknya dan pengucapan bunyi akhir (waqf).

Kesalahan pengucapan kata yang tidak sesuai dengan makha>rij al-h{uru>f dapat menimbulkan perbedaan arti. Moh.Khasari Aspek Gramatikal dalam Bahasa Arab Lisan Pebelajar, dalam Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab, h. 5 Kesalahan pengucapan kata yang tidak sesuai dengan makha>rij al-h{uru>f dapat menimbulkan perbedaan arti. Moh.Khasari Aspek Gramatikal dalam Bahasa Arab Lisan Pebelajar, dalam Ahmad Sholihuddin, Belajar Bahasa melalui Kesalahan Berbahasa Refleksi Kesalahan Gramatika Dalam Berbicara Bahasa Arab, h. 5

mendapatkan kategori nilai B yang artinya peserta didik kadang-kadang membuat kesalahan gramatika pada performa bahasa Arab.

Dapat disimpulkan bahwa performansi merupakan cerminan kompetensi yang mana sebelumnya Krashen mengatakan bahwa pembelajaran gramatika tidak

mempunyai peran dalam kualitas berbicara pada pembelajar. Pikiran dasar menurut Chomsky tentang kompetensi dan performansi adalah kompetensi yang ideal menghubungkan

runtunan bunyi dengan isi semantiknya ini juga berarti menghubungkan

runtutan berbahasa (performansi). Singkatnya kompetensi adalah the speaker-hears knowledge

of his language sedangkan performansi adalah the actual use of language in concrete situation. 57

Persentase peserta didik terhadap performa gramatika lebih mendominan mendapatkan kategori A, hal ini sesuai dengan tanggapan peserta didik pada pernyataan dalam tabel berikut:

Tabel 15

Pernyataan TP AP CP SP Belajar nah{w/s{arf sebagai -

dipesantren Saya merasa bahwa belajar 5% 5% 35%

55% nah{w/s{arf bahasa Arab adalah bagian dari pendidikan yang seutuhnya Keterangan:

TP: Tidak Penting, AP: Agak Penting, CP: Cukup Penting, SP: Sangat penting

57 Noam Chomsky dalam Jos Daniel Parera, Dasar-Dasar Analisis Sintaksis (Jakarta: Erlangga, 2009) h.108

Data di atas 95,23% peserta didik mempunyai kesadaran bahwa mata pelajaran nah{w/s{arf sebagai mata

pelajaran yang wajib untuk dipelajari. Pernyataan selanjutnya 55% peserta didik merasa mata pelajaran nah{w/s{arf adalah bagian dari pendidikan bukan hanya sebagai mata pelajaran sampingan atau ekstrakulikuler semata.

B. Gramatika dan Kemampuan Performa Bahasa

1. Gramatika Sebagai Proses Akuisisi Alam Bawah Sadar/Natural

Istilah pemerolehan dipakai dalam padanan bahasa Inggris acquisition yakni sebagai proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada bahasa ibunya

( native language). Adapun pembelajaran sebagai pemerolehan bahasa yang dilakukan secara formal yang disebut juga sebagai learning. Hipotesis ini dinamakan sebagai hipotesis pemerolehan dan belajar. 58

Tabel 16 Teori dan Model SLA 59

Lahiriah Kognitif Konstruktivitas [Krashen]

[Mc [Long] Pemerolehan

Laughlin/Bialystok] Hipotesis bawah

sadar Pemrosesan interaksi lebih

unggul terkontrol/otomatis ketimbang

(McL) ‚belajar’

dan Perhatian ‚memantau‛

pusat/periferal Asupan melalui Masukan yang (McL)

interaksi sosial bisa

dipahami Restrukturisasi (i+1)

(McL) Hipotesis keluaran Implisist

vs. (Swain) Saringan afektif Eksplisit (B)

HIGs (Seliger)

58 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, h. 247

59 H. Douglas Brown, Principle of Language Learning and Teaching, h. 335 59 H. Douglas Brown, Principle of Language Learning and Teaching, h. 335

teranalisis (B) Instruksi berfokus

‚opsi nol‛ untuk bentuk Instruksi berbasis instruksi

tata tugas bahasa

Jika dilihat pada teori dan model Second Language Acquisition (SLA), Krashen menyatakan tidak mengajarkan tata bahasa secara formal dalam kelas. Menurut Krashen gramatika dan kosakata adalah hasil dari akuisisi atau hasil

dari proses pemerolehan melalui alam bawah sadar. 60 Hal ini juga terlihat pada tabel di atas Krashen lebih

mengunggulkan pemerolehan bawah sadar ketimbang belajar. Hatch dalam teori wacana SLA berpendapat bahwa perkembangan sintaksis pada pembelajar bahasa kedua

tumbuh ketika terjadi percakapan. 61 Perolehan sintaksis ini berarti diperoleh melalui usaha tak sadar dari pembelajar

tersebut. Alasan lain untuk opsi nol intruksi tata bahasa adalah Krashen menyatakan bahwa pembelajaran gramatika berdampak sangat sederhana, cepat memudar dan hasilnya sangat sedikit dalam meningkatkan performa bahasa.

Pendapat ini juga didukung oleh John Truscott. 62

60 Stephen Krashen, ‚Free Voluntary Web Surfing‛, The International Journal of Foreign Language Teaching, Volume 3, Number

1 Summer 2007 (accessed April 07, 2014) 61 A. Syukur Ghazali, Pembelajaran Keterampilan Berbahasa

dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif , h. 132 62 Stephen Krashen, ‚Second Language ‚Standards For Succes‛

Out of Touch With Language Acquisition ‛, IJFLT The International Journal of Foreign Language Teaching, Volume 1, Number 2, Spring 2005 (accessed October 24, 2013), pendapat ini juga didukung oleh John

Truscott. Lihat; Truscott dalam Hossein Nasaji and Sandra Fotos, ‚Current Development in Research on The Teaching of Grammar‛,

Selanjutnya Wagner mengatakan tidak ada hubungan langsung antara pengajaran gramatika secara formal

terhadap kemampuan berbicara. 63

2. Gramatika Sebagai Proses Kesadaran Sebagai tanggapan terhadap rumusan yang

dinyatakan Krashen dan karena asumsi-asumsinya itu John Broadus Watson mempunyai teori yang berbanding terbalik terhadap teori Krashen. Menurut Watson kemampuan berbahasa mempunyai hubungan erat sekali dengan kesadaran, dimana seorang pembelajar diberikan stimulus atau materi pembelajaran dan pembelajar memberikan respon terhadap pembelajaran. 64 Dalam proses pembelajaran bahasa faktor eksternal teori ini menekankan kuantitas pengulangan dalam berlatih berbahasa. Semakin sering berlatih berbahasa siswa dimungkinkan akan semakin terampil berbahasa. Bahkan pembelajaran keterampilan berbahasa yang tidak pernah ada kegiatan berlatihnya, dapat

dipastikan bahwa siswa tidak akan terampil berbahasa. 65 Didasari teori Watson inilah terciptanya bentuk latihan drill

atau bentuk tugas bahasa yang dilakukan secara berulang- ulang dan menekankan pembiasaan dalam proses pembelajaran bahasa.

Menurut aliran ini yang kemudian diteruskan oleh Leonard Bloomfield menyatakan bahwa semua keterampilan manusia diperoleh dengan proses belajar, dan manusia dilengkapi dengan kemampuan itu. Oleh karena itu

Annual Review of Applied Linguistics (2004), Cambridge University Press (accessed October 24, 2013) 63

Wagner, ‚Grammar Acquisition and Pedagogy‛, http://ielanguages.

64 Felysianus Sanga, ‚Analisis Kontrastif Mengatasi Kesulitan Guru Bahasa di Provinsi Nusa Tenggara Timur ‛, Linguistika Vol. 15,

No. 28, Maret 2008 (diakes 13 Maret 2014) 65 Herman Budiyono, ‚Pembelajaran Keterampilan Menulis

Berbasis Proses Menulis dan Teori Pemerolehan Bahasa ‛, Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012 ISSN 2089-3973 (diakses 11 April 2014) Berbasis Proses Menulis dan Teori Pemerolehan Bahasa ‛, Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012 ISSN 2089-3973 (diakses 11 April 2014)

bahasa adalah salah satu kemampuan hasil belajar bukan diwariskan. 66

Ellis mengatakan bahwa pembelajaran secara formal dapat memperbaiki performansi gramatikal seorang pembelajar. 67 Dalam referensi yang lain Ellis juga

berpendapat bahwa pengajaran yang terfokus pada bentuk bahasa akan menghasilkan pengetahuan bahasa yang

eksplisit yang bisa membuat pembelajar peka terhadap keberadaan dari bentuk-bentuk non standar di dalam bahasa

target yang sedang mereka pelajari. 68

Tabel 17. Performa bahasa kedua dalam fungsinya sebagai prosedur pemrosesan informasi dan perhatian kepada

sifat-sifat formal bahasa. 69

Tabel 17

Perhatian kepada Pemrosesan Informasi sifat

formal Terkendali Otomatis bahasa Pusat

(Sel A)

(Sel B)

Performa

Performa dalam

berdasarkan

situasi ujian

pembelajaran

66 Dalam hal ini adalah termasuk kepada aliran-aliran dalam pembelajaran bahasa yang disebut dengan aliran empirisme yang berasal

dari teori behaviorisme oleh B.F. Skinner. Kemudian aliran yang kedua adalah aliran rasionalisme yang berasal dari teori kognitif dan berfalsafah kepada teori rasionalis Plato dan Decrates. Aliran ini sebagai bentuk pertentangan kepada aliran behaviorisme. Lihat: Jos Daniel Parera, Linguistik Edukasional Metodologi Pembelajaran Bahasa Analisis Konstrastif Antarbahasa Analisis Keslahan Berbahasa (Jakarta: Erlangga, 1997) h.51

67 Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik, h. 255

68 A. Syukur Ghazali, Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif, h. 109

69 McLaughlin dkk, in H. Douglas Brown, Principle of Language Learning and Teaching (New York: Longman, 2000) h. 329 69 McLaughlin dkk, in H. Douglas Brown, Principle of Language Learning and Teaching (New York: Longman, 2000) h. 329

Periferal

(Sel C)

(Sel D)

Performa

Performa dalam

berdasarkan

situasi komunikasi

pembelajaran implisit

Dapat disimpulkan bahwa teori kognitif McLaughlin pada tabel di atas membuktikan bahwa performa bahasa

pada penutur akan menghasilkan sifat performa bahasa yang formal jika penutur tersebut mempelajari kaidah-kaidah

bahasa secara formal. Namun jika kaidah bahasa tersebut didapat di luar situasi formal maka kemampuan performa

yang dihasilkan adalah performa yang sederhana. Pada teori pengajaran struktur bahasa Laughlin memilih untuk mengajarkan struktur bahasa melalui secara implisit dan eksplisit.

Long pada teori Konstruktivitas mengatakan interaksi sosial dapat memberikan pengetahuan dalam tuturan, tentunya pembelajaran gramatika harus dipelajari didalam kelas dan diaplikasikan baik pada saat pembelajaran maupun tidak.

Kompetensi berbahasa ini termasuk gramatika mempunyai arti bahwa seseorang itu memiliki pengetahuan baik tentang tata bahasa dan kata-kata sehingga ia dapat berbicara. Jika kesalahan dalam pengucapan pada tata bahasa atau kata-kata ejaan maka hal itu dapat membuat kesalahpahaman dan bahkan merusak hubungan jika gagasan

itu tidak bisa digagas dengan baik. 70 Hal ini juga didukung

70 Li Zhong-guo, Song Min-yan, ‚The Relationship between Traditional English Grammar Teaching and Communicative Language

Teaching ‛, US-China Education Review, Jan 2007, Volume 4, No.1 (accessed June 17, 2014) Teaching ‛, US-China Education Review, Jan 2007, Volume 4, No.1 (accessed June 17, 2014)

pemahaman bahasa maka gramatika harus dipelajari untuk menghindari kesalahpahaman dan untuk meningkatkan

kompetensi komunikatif. Hal ini juga dikuatkan oleh ‘Abd al-Qadir bahwa supaya tujuan pembelajaran gramatika

terlaksana maka harus mempunyai waktu yang khusus. 72

3. Hubungan Kemampuan Gramatika secara Formal dan Kemampuan Performa Bahasa

Krashen berpendapat bahwa pengajaran tata bahasa di kelas adalah suatu hal yang sia-sia. Menurut Krashen karena tata bahasa tersebut bisa didapatkan melaui percakapan dan pemerolehn secara tidak sadar. Hipotesis pada penelitian ini adalah bahwa ada hubungan yang signifikan antara pembelajaran gramatika secara formal atau proses belajar secara sadar terhadap kemampuan performa bahasa pada penutur.

Skor performa 1 dan 2 peneliti uji dengan uji normalitas data kolmogorov dan smirnov melalui SPSS 16.

Tabel 18 Hasil Perhitungan Normalitas Data

Variabel Uji normalitas Kolmogorov-smirnov Skor performa 1

Skor performa 2

Berdasarkan tabel, terlihat uji kolmogorov pada variabel Skor performa 1 yaitu nilai signifikan sebesar 0.012 dan variabel Skor performa 2 sebesar 0.20, sedangkan syarat

71 Rebecca Blaxel, ‚Can we use Grammar to Support Students’ Communication Skills? ‛, Eculture, Article 5 Volume 5, 2012 (accessed

June 17, 2014) 72 Muhammad ‘Abdul Qadir Ahmad, ‚T{uruq Ta’lim al-

’Arabiyah‛ dalam Hayati Nufus, Pembelajaran Gramatika Bahasa Communicative Grammar , Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, 38 ’Arabiyah‛ dalam Hayati Nufus, Pembelajaran Gramatika Bahasa Communicative Grammar , Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, 38

0.012< 0.05 sehingga berdistribusi tidak normal, sedangkan skor performa 2 Pvalue > α yaitu 0.20>0.05 sehingga berdistribusi normal

Pada variabel skor performa 1 data tidak berdistribusi

perhitungan statistik menggunakan uji T nonparametrik. Adapun hasil perhitungan adalah sebagai berikut :

normal,

maka

Tabel 19 Hubungan antara Skor Gramatika dan Skor Performa 1

Skor Pvalue N Gramatika Tinggi

13 Rendah

9 Pada tabel menunjukkan N skor gramatika yang

tinggi adalah 13 siswa dan skor gramatika yang rendah siswa adalah 9 siswa. Berdasarkan uji statistik didapatkan nilai Pvalue adalah 0.018, artinya pada

(p < )ada hubungan yang signifikan antara skor performa 1 dan skor

gramatika. Pada variabel skor performa 2 data berdistribusi normal, maka perhitungan statistik menggunakan uji T parametrik. Adapun hasil perhitungan adalah sebagai berikut:

Tabel 20 Hubungan antara Skor Gramatika dan Skor Performa 2

Skor Gramatika

N Tinggi

9 Pada tabel menunjukkan N skor gramatika yang

tinggi adalah 13 siswa dan skor gramatika yang rendah tinggi adalah 13 siswa dan skor gramatika yang rendah

(p < ) ada perbedaan yang signifikan antara skor performa 2 dan skor

gramatika. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran gramatika yang diselenggarakan secara formal mempunyai hubungan yang signifikan dari kedua skor gramatika yang telah peneliti uji. Pengujian ini dapat dikembalikan kepada teori awal bahwa gramatika perlu diajarkan dalam kelas. Ellis mengatakan bahwa pembelajaran gramatika dapat meningkatkan kualitas performansi bahasa.

Dari data yang telah dipaparkan di atas kemampuan performa ini juga dipengaruhi terhadap asumsi peserta didik terhadap mata pelajaran gramatika di kelas. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 21

CP SP Kelas nah{w/s{arf lebih 5%

15% 70% mudah dari pada mata pelajaran yang lain Penguasaan bahasa 14,28% 9,52% 42,85% 28,57% Arab

dengan nah{w/s{arf yang lebih baik membuat saya lebih

mudah mendapat pekerjaan dan beasiswa Keterangan: TP: Tidak Penting, AP: Agak Penting, CP: Cukup Penting, SP: Sangat

penting

Dari data di atas bahwa sikap yang positif terhadap mata pelajaran gramatika membuat peserta didik bersemangat untuk mempelajari gramatika. Keinginan untuk mendapatkan pekerjaan dan beasiswa membuat peserta didik Dari data di atas bahwa sikap yang positif terhadap mata pelajaran gramatika membuat peserta didik bersemangat untuk mempelajari gramatika. Keinginan untuk mendapatkan pekerjaan dan beasiswa membuat peserta didik

nah{w/s{arf . Kemampuan performa ini ditunjang oleh beberapa hal: pertama, selain peserta didik mendapatkan materi pelajaran gramatika secara formal gramatika juga diajarkan

secara ekstrakurikuler pada waktu setelah ashar, yang artinya frekuensi pengajaran gramatika cukup tinggi. Kedua, bahasa pengantar pada aktifitas belajar mengajar adalah bahasa arab yang membuat peserta didik terbiasa mendengar kalimat-kalimat yang benar dari guru bidang studi tersebut, ketiga, lingkungan wajib berbahasa dimana peserta didik mendapatkan ilmu gramatika dan langsung diterapkan pada pemakaian bahasa sehari-hari di pesantren.

Brown mengatakan bahwa pembelajaran gramatika secara eksplisit lebih efektif untuk tingkat sekolah menengah

pertama dan sekolah menengah ke atas. 73 Tiga hal inilah yang membuat pelajaran gramatika tidak terabaikan

sebagaimana fungsi pembelajaran gramatika untuk menjadi acuan pembicara dalam melihat kalimat-kalimat yang benar dan tidak terjadi salah paham terhadap lawan bicara.

Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran gramatika mempunyai peran dalam meningkatkan performa bahasa. Kesimpulan ini membantah teori Krashen yang mengatakan bahwa pengajaran gramatika selama berjam-jam didalam kelas hanya menyebabkan sedikit peningkatan pada performa terutama pada tes tata bahasa dan dengan cepat

pula dilupakan. 74 Menurut peneliti pembelajaran gramatika untuk belajar bahasa kedua di sekolah adalah sesuatu yang

73 H. Douglas Brown, Teaching by Principles An Interactive Approach to Language Pedagogy, h. 421.

74 Stephen Krashen, ‚Seeking a Role for Grammar: A Review of Some Recent Studies,‛ Foreign Language Annals, vol. 32, no. 2,

(accessed July 12, 2014) lihat juga Stephen Krashen, Second Language Acquisition and Second Language Learning (New York: Prentice-Hall)

Available for free downloading at http://www.sdkrashen.com Available for free downloading at http://www.sdkrashen.com

secara formal. Demikianlah, pada bab ini telah dijelaskan secara rinci tentang kemampuan performansi gramatika bahasa Arab. Gramatika mempunyai hubungan yang signifikan dalam menentukan performansi bahasa yang sesuai dalam aturan-aturan kaidah berbahasa. Pembelajaran gramatika tentu harus diajarkan dalam kelas bahasa kedua sebagai bahasa asing karena gramatika tidak dapat diperoleh begitu saja melalui komunikasi.

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian didapatkan bahwa

penyajian gramatika secara formal mempunyai peran terhadap kemampuan berbicara pada peserta didik. Berdasarkan temuan penelitian dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran gramatika secara formal mempunyai kontribusi dan mempunyai hubungan terhadap performa bahasa penutur yang baik dan benar. Semakin tinggi frekuensi pembelajaran

gramatika serta penerapannya secara kontinyu semakin membuat performa bahasa terhindar dari kesalahan kaidah- kaidah bahasa.

Hubungan antara pembelajaran gramatika dan performansi bahasa dapat dilihat berdasarkan uji statistik. Dapat dilihat bahwa nilai Pvalue adalah 0.081. Artinya pada nilai Pvalue lebih kecil dari alpha 10% (

(p < )) ini berarti ada hubungan yang signifikan antara skor performa 1 (kategori bercerita berbahasa Arab secara lisan) dengan skor

pembelajaran gramatika secara formal. Kemudian pada skor performa 2 (kategori presentasi makalah secara lisan) berdasarkan uji statistik didapatkan nilai Pvalue adalah 0.069 artinya pada

(p < ) ada hubungan yang signifikan pula antara skor performa 2 dan skor pembelajaran

gramatika secara formal. Dilihat dari pengetahuan/kompetensi gramatika selama semester ganjil jumlah peserta didik yang mendapatkan kategori tinggi sebesar 60%. Jumlah ini menunjukkan bahwa peserta didik mampu menyerap mata pelajaran gramatika secara baik. Adapun dari skor performansi dari kedua kegiatan performa bahasa menunjukkan bahwa untuk kegiatan bercerita berbahasa Arab jumlah peserta didik yang mendapatkan kategori tinggi adalah sebesar 68%, dan kategori kedua pada presentasi makalah jumlah peserta didik yang mendapatkan kategori tinggi adalah sebesar 64%.

Jumlah ini menunjukkan bahwa kompetensi gramatika yang telah dipelajari oleh peserta didik mampu menampilkan

performa yang lebih baik dalam menggunakan aturan kaidah- kaidah berbahasa.

Kemampuan performa tentunya juga diiringi dengan latihan-latihan gramatika secara kontinyu, bahasa pengantar

dalam belajar mengajar menggunakan dalam bahasa target serta komunikasi yang intensif.

B. Saran Melihat hasil kesimpulan pada penelitian yang penulis lakukan terhadap kemampuan gramatika dan hubungannya terhadap kemampuan performa bahasa, maka penulis akan menyampaikan beberapa saran yang terkait dengan penulis lakukan, di antaranya:

1. Pembelajaran gramatika yang diajarkan dalam kelas bukan hanya sekedar warisan dan hanya menjadi budaya dalam sekolah. Gramatika mempunyai peranan yang penting dalam sistem bahasa itu sendiri oleh karena itu hendaknya pembelajaran gramatika dikemas dan disajikan secara menarik agar menumbuhkan minat peserta didik untuk mempelajarinya.

2. Penggunaan media pembelajaran gramatika yang bermacam-macam dapat membuat peserta didik berminat dan antusias dalam mempelajari mata pelajaran gramatika.

3. Pembelajaran gramatika dalam kelas tidak lepas dari fungsi komunikatif karena pada dasarnya gramatika hanya sebagai wasilah atau media untuk pengucapan yang benar dalam aturan kaidah berbahasa. Oleh karena itu gramatika harus dibarengi dengan pengaplikasian materi pembelajaran tersebut ke dalam percakapan-percakapan dalam kelas guna meningkatkan pengetahuan dan pengalaman peserta didik dalam menampilkan performa bahasa yang benar.