Hikayat Hang Tuah dan seekor buaya putih menghalangi Hang Tuah untuk mendapatkannya

Hikayat Hang Tuah dan seekor buaya putih menghalangi Hang Tuah untuk mendapatkannya

kembali. Itu pertanda kejatuhan Malaka. Tentang hal itu, V. Braginsky mencatat bahwa buaya adalah musuh bebuyutan pelanduk dalam dongeng-dongeng

Melayu. 33 Perlu ditambahkan bahwa, dalam mitologi Melayu, binatang-binatang putih ( bule ) sering merupakan penampilan orang halus. Seekor binatang putih

lain mempunyai peranan dalam mitos tentang asal-usul dinasti Malaka, tetapi menurut teksnya binatang itu adalah dewa yang turun ke bumi dan menjelma sebagai lembu (HHT 7).

Inilah bagian mitos, yang jelas terbatas, dalam epos ini. Tampilnya Nabi Khidir (al-Khadir) tiga kali mewakili tatanan kepercayaan yang lain. 34 Nabi itu

pertama kali menampakkan diri kepada Hang Tuah dalam perjalanannya menuju India dan menghadiahkannya sebuah biji yang dapat menjadi pohon dalam sekejap. Hadiah itu membuat Raja Vijayanagar terkagum-kagum, tetapi biji gaib itu sebenarnya tidak penting dibandingkan keajaiban penampakan itu sendiri. Pertemuan itulah yang memiliki makna, bukan benda atau kata-kata: dengan muncul di hadapan tokoh kita, sang Nabi membenarkan bahwa Hang Tuah manusia yang luar-biasa. Nabi Khidir muncul untuk kedua kalinya pada akhir cerita tetapi kali itu di hadapan Sultan. Sultan telah turun takhta dan menjadi pertapa. Pada suatu hari, ketika diberi sebuah ketimun, ia makan sebagiannya dan menyimpan sisanya di dalam tasnya. Nabi Khidir muncul dan mengatakannya bahwa yang ada di dalam tas itu bukan sepotong ketimun melainkan tengkorak manusia, dan mengingatkannya bahwa pertapa tidak boleh menyimpan bekal makanan. Kali ini, sang Nabi memberikan pelajaran moral kepada seorang yang sedang maju di jalan tasawuf.

Nabi Khidir muncul untuk ketiga kalinya ketika Hang Tuah diutus ke Istambul, tampaknya dengan tujuan menjelaskan suatu sifat tokoh kita. Hang Tuah menguasai bahasa-bahasa dari semua negeri yang dikunjunginya: ia dapat berbicara dalam bahasa Jawa, Tamil, Tionghoa, Siam, Turki dan Arab. Ia juga dapat berbahasa Portugis dan memakai bahasa itu ketika tidak mau dimengerti oleh orang-orang di sekelilingnya. Teks HHT memberi penjelasan tentang kemampuan luar biasa itu di bagian akhir cerita: ketika diutus ke Istambul, setelah ia membuktikan bahwa ia menguasai enam bahasa asing, Hang Tuah bertemu dengan Nabi Khidir, di padang pasir, di tengah jalan antara Jeddah dan Mekah. Pada waktu itu, sang Nabi memberinya sebuah cembul yang memungkinnya dapat berbicara dalam semua bahasa di dunia.

Di samping penjelasan ajaib itu, Hang Tuah sendiri telah memberikan sepotong penjelasan rasional: katanya ia belajar bahasa Tamil semasa kecil dari

34 Braginsky, ―Hikayat Hang Tuah: Malay epic‖, h. 407.

Nabi Khidir khususnya terkenal di dunia Melayu sebagai sahabat Iskandar Zulkarnain dalam usahanya untuk mengislamkan dunia.

Sultan, Pahlawan dan Hakim

seorang lebai 35 (HHT 350), dan belajar adat-istiadat Tionghoa dari seorang Tionghoa tua yang dianggapnya sebagai ayah di Malaka (HHT 366). Dalam

sebuah naskah hikayat itu 36 unsur rasionalisme itu malah dikembangkan: pada waktu tiba di Bentan, Hang Tuah dititipkan ayahnya kepada seorang lebai , yang

mengajarnya membaca al- Qur’an, lalu atas permintaan anak itu sendiri, kepada beberapa lebai lain yang mengajarinya satu per satu: bahasa Tamil, Siam, Tionghoa, Jawa dan seterusnya sampai dua belas bahasa. Demikianlah teks tersebut memberi dua penjelasan tentang satu hal, yang satu rasional dan yang lain ajaib. Tidak dapat dikatakan bahwa yang satu mendahului yang lain, tetapi jelas terlihat bahwa dua cara berpikir berdampingan.