LEspace politique dans la Hikayat Hang

“Ruang Politik dalam Hikayat Hang Tuah” oleh Henri Chambert-Loir

Kutipan dari buku : Henri Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2011.

RUANG POLITIK DALAM 1 HIKAYAT HANG TUAH

ikayat Hang Tuah H adalah epos Melayu yang kiranya ditulis pada abad ke-

17 di Semenanjung Melayu. Karya tersebut bersifat semi-sejarah atau legenda (tokoh Hang Tuah pernah hidup dalam kenyataan sebenarnya) dan memberi kita gambaran yang sangat hidup tentang kehidupan politik dan sosial, bahkan tentang beberapa aspek kehidupan sehari-hari, di Malaka pada abad ke-

15. Kisah yang sekaligus nyata dan fiktif ini merupakan sumber yang pantas bagi penelitian tentang suatu konsep dalam mentalitas zaman itu.

Teks tersebut, yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, 2 dikenal baik oleh para pengamat kesusastraan lama dan pakar dunia Melayu

pada umumnya. Semuanya mengakuinya sebagai salah satu mahakarya kesusastraan Melayu, satu di antara sedikit, sebelum abad ke-19, yang benar- benar orisinil. Ia disebut-sebut dalam semua buku pegangan sebagai epos Melayu teladan, yang malah sulit diklasifikasikan di antara karya lain yang sejenis.

Namun sebaliknya, studi tentang epos itu relatif sedikit. 3 Selain itu, studi- studi itu merupakan penelitian sastra semata dan mengabaikan aspek sejarah

1 Versi asli artikel ini, berjudul ―L'Espace politique dans la Hikayat Hang Tuah‖, terbit dalam D. Lombard & R. Ptak (eds.), Asia Maritima: Images et Réalités,

1200-1800 , Wiesbaden: Harrassowitz, 1994, h. 41-61. Namun terjemahan ini ditambah dengan beberapa bahan yang pernah dibawakan sebagai makalah pada Kongres Bahasa Melayu Sedunia, ―Bahasa Melayu sebagai bahasa antarabangsa: wawasan dan keyakinan ‖, Kuala Lumpur, 21-25 Agustus 1995.

2 Hans Overbeck (penerjemah), Malaiische Chronik. Hang Tuah. Aus dem Malaiischen (Düsseldorf, 1922: edisi ke-2, 1976). Baru-baru ini, teks itu juga

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Kuala Lumpur, 2010).

3 Studi itu terdiri atas dua disertasi (Shelly Errington, A Study of Genre: Meaning and Form in the Malay Hikayat Hang Tuah, Cornell University, 1975, tidak

terbit; dan Sulastin Sutrisno, Hikayat Hang Tuah: Analisa, Struktur dan Fungsi, Yogyakarta, 1983) dan sekitar dua puluhan artikel penting. Teks HHT belum pernah diedit dengan metode kritis. Di sini kami menggunakan edisi Balai Pustaka (Weltevreden, 1924; cetakan ulang oleh Depdikbud, Jakarta, 1978, 2 jilid) dan edisi Kassim Ahmad (Kuala Lumpur, 1971; edisi ke-3).

Sultan, Pahlawan dan Hakim teks itu, yang selalu disejajarkan dengan 4 Sejarah Melayu , yaitu kronik

Kesultanan Malaka. Kedua teks tersebut membahas periode yang kurang-lebih sama; keduanya menceritakan asal-usul mitos dinasti Malaka sebelum mengungkapkan kehidupan politik kesultanan itu; unsur-unsur nyata dalam Hikayat Hang Tuah (selanjutnya HHT) diketahui melalui Sejarah Melayu ; tambahan pula HHT mengandung adegan-adegan yang tidak masuk akal yang berakibat tidak mungkin digunakan sebagai sumber informasi tentang kejadian sebenarnya – yang paling gamblang ialah, selama masa satu abad, kesultanan Malaka terus saja diperintah oleh ketiga orang yang sama, yaitu Sultan, Perdana Menteri dan Hang Tuah. Maka para sejarawan cenderung mempercayai Sejarah Melayu dan mengabaikan HHT. Salah satu hasil analisis sejarah yang langka

adalah tulisan Denys Lombard 5 yang membahas secara khusus masalah ruang dalam dunia Melayu pada awal masa Islamisasi.

Sebelum mengangkat ulang masalah ini secara mendetail, perlu kita membicarakan asal-usul teks itu: konsep-konsep yang terkandung dalam HHT itu milik siapa? Dengan kata lain, apa yang diketahui tentang pengarangnya serta tempat dan zaman karya itu ditulis? Pertanyaan ini pernah diuraikan oleh dua pakar Rusia, B. Parnickel dan V. Braginsky, yang mencatat kesejajaran yang menonjol antara beberapa adegan politik dalam HHT (peristiwa-peristiwa yang muncul akibat persaingan antara Malaka dan Majapahit) di satu pihak, dan konflik yang mempertentangkan Johor dan Jambi pada tahun 1660-1690 di

pihak lain. 6 Mereka menyimpulkan bahwa epos itu telah dikarang, atau paling tidak disesuaikan, untuk melambangkan situasi politik Johor sekitar tahun 1690,

dari sudut pandang Perdana Menteri (Bendahara) setelah ia menundukkan Laksamana.

Kesimpulan ini tidak sepenuhnya meyakinkan. 7 Namun demikian, HHT rupanya benar ditulis di Johor, yakni kesultanan yang telah menggantikan

Sejarah Melayu (judul sebenarnya adalah Sulalat al-Salatin) dikarang pada awal abad ke-17. Di sini kami menggunakan edisi T.D. Situmorang & A. Teeuw (Jakarta, 1952) dan edisi Muhammad Haji Salleh (Sulalat al-Salatin, Kuala Lumpur, 1997) serta terjemahan C.C. Brown (Sejarah Melayu or Malay Annals, Kuala Lumpur, 1970).

5 Le Carrefour javanais (Paris, 1990), jil. II, h. 197-200. 6 Lih. V.I. Braginsky, ―Hikayat Hang Tuah: Malay epic and Muslim mirror‖,

Bijdragen tot de taal- , Land- en Volkenkunde, 146-4 (1990), h. 399-412. 7 Andaikata versi HHT yang kita kenal benar telah dipesan oleh Bendahara Johor,

setelah kemenangannya atas Laksamana, bagaimana dapat dijelaskan bahwa ia memilih seorang seperti Hang Tuah – yang bukan pahlawan yang sebenarnya – untuk menjadi tokoh dalam sebuah epos di mana Laksamana-lah yang memutuskan nasib Malaka? Di pihak lain, perkawinan Sultan Malaka dengan putri Majapahit hanya secara dangkal saja bersamaan dengan perkawinan anak raja Johor dengan putri Jambi. Hipotesis kedua pakar Rusia itu membuahkan

Hikayat Hang Tuah Malaka dan yang merupakan gudang ingatan sejarahnya. Kesimpulan kedua

pakar tersebut tentang batas waktu akhir HHT mungkin dikarang pun boleh diterima: HHT disebut oleh seorang penulis Belanda (François Valentijn) pada tahun 1726, jadi kiranya berasal dari paling sedikit sepuluh tahun sebelum tahun

tersebut. 8 Dapat diperkirakan juga bahwa HHT ditulis di istana, dengan saran yang

diajukan B. Parnickel: waktu itu istana merupakan salah satu pusat produksi sastra tulis yang terpenting, dan ternyata sejumlah besar naskah yang kita kenal

dari teks itu berasal dari beberapa perpustakaan istana. 9 Argumentasi Parnickel dapat dilengkapi dengan kenyataan bahwa pengarang HHT jelas mengenal teks-

teks Melayu lain seperti Sejarah Melayu , Bustan al-Salatin , Hikayat Iskandar Zulkarnain , Hikayat Sri Rama dan suatu cerita Panji, apalagi menyalin, sebagaimana akan kita lihat di bawah ini, sebuah kutipan dari Bustan al-Salatin , dan hal ini pasti terkait dengan istana.

Dalam hal ini rupanya kita boleh menganggap bahwa HHT ditulis oleh pengarang tunggal oleh karena, kalaupun pernah ada sejumlah legenda lisan tentang tokoh Hang Tuah, kenyataan bahwa teks HHT hanya terdapat dalam satu versi saja mendorong kita berkesimpulan bahwa semua naskah berasal dari satu arketipe tunggal. 10 Jadi teks itu bukan campuran episode yang tergabung

kesimpulan bahwa HHT ditulis setelah tahun 1688, yaitu tahun kemenangan Bendahara. Padahal, rujukan pada suatu kejadian tahun 1641 (penaklukan Malaka oleh Belanda) pada akhir teks, tampak seperti tambahan belakangan, yang membuat kita berpikir bahwa HHT dikarang sebelum 1641 dan barangkali diperbaiki pada waktu disalin ulang di kemudian hari. Akan kita lihat di bawah ini bahwa sebuah adegan HHT disalin atas sebuah teks lain, yakni Bustan al-Salatin, yang ditulis tahun 1638. Jadi kita menghadapi beberapa ciri yang tampak saling bertentangan. Tidak boleh dilupakan bahwa, kalaupun teks itu rupanya ditulis oleh seseorang pengarang pada suatu waktu tertentu, ia pasti mengalami berbagai

8 perubahan dalam proses penerusannya.

Mungkin Valentijn mengelirukan HHT dan Sejarah Melayu (lih. Kasim Ahmad, Hikayat Hang Tuah , 1971, h. xii dan cat. 5), tetapi bagaimanapun juga teks itu dikutip oleh pengarang Belanda yang lain, Werndly, sepuluh tahun kemudian, yakni tahun 1736. Naskah paling tua yang kami miliki berasal dari tahun 1758.

9 B. Parnickel, ―An attempt of interpretation of the main characters of the Malay 10 Hikayat Hang Tuah‖, Moskow, 1960.

Sangat mengesankan misalnya, bahwa edisi yang beberapa waktu lalu dikerjakan oleh Kassim Ahmad (Kuala Lumpur, 1971; edisi pertama 1964) berdasarkan sebuah naskah dari Kelantan, hanya menunjukkan perbedaan remeh dengan edisi Balai Pustaka (1924), yang berdasarkan naskah dari Perpustakaan Batavia. Analisis dari segi sastra dan bahasa semestinya dapat membantu menentukan proses penyusunan teks itu. Kasim Ahmad (1971, h. xii) mengajukan argumentasi menarik untuk mendukung hipotesis bahwa sebagian teks itu

Sultan, Pahlawan dan Hakim

secara kebetulan dalam perjalanan waktu dan kita patut mencari di dalamnya visi yang terpadu tentang satu aspek masyarakat masa itu.

Tetapi – ini juga mengikuti pembahasan B. Parnickel – penggambaran penguasa dalam HHT (ia lemah, penakut, dangkal dan zalim) jelas tidak dapat mencerminkan sudut pandang istana, sementara sifat dan tabiat Hang Tuah (rakyat biasa, patriot, pendukung kekuasaan yang kuat, prajurit yang tangguh, diplomat andal, dan pedagang lihai yang berjiwa petualang, penuh rasa ingin tahu dan dermawan) memberi kita petunjuk bahwa pengarangnya akrab dengan golongan pedagang. Baiklah disimak tiga adegan yang mendukung dugaan tersebut. Pertama, tatkala ia diutus Sultan ke India dan Rum (Istambul), Hang Tuah mengisi kapalnya dengan barang dagangan supaya dijual di tempat tujuan demi keuntungannya sendiri, bahkan waktu diutus ke Tiongkok, ia berbuat demikian pula untuk kepentingan seorang menteri India yang berjanji akan mengembalikan 50 persen keuntungannya. 11 Kedua, ketika mengunjungi kota

Vijayanagar, Hang Tuah menaruh perhatian khusus pada dua jenis lembaga: beberapa wihara yang atas modalnya sendiri meminjamkan uang kepada para pedagang dengan bunga 5 persen, dan ―balai derma‖ yang menyedekahkan makanan dan pakaian kepada orang miskin. Ketiga, ketika ia dianugerahi oleh Sultan Brunei sebuah muatan kendaga sebesar dua belas perahu sarat, yang kemudian ditolak oleh Sultan Malaka (―Apa gunanya kendaga ini kepada kita? Mana bicara Laksamanalah!‖ HHT 387), ia tidak membuangnya: ia menyimpannya baik-baik dan kemudian mempersembahkannya kepada Raja Siam yang memakainya sebagai mata uang (―Maka titah Phra Chau, ‗Hai Laksamana, terlalu sekali baik kendaga ini [sebagai] belanja negeri kita, karena kendaga inilah terlalu jauh, bukan mudah-mud ah mengambil dia‘.‖ HHT 393). Mengingat betapa dangkal perhatian Hang Tuah terhadap aspek-aspek budaya, agama dan politik negeri-negeri asing yang dikunjunginya, maka ketiga adegan di atas menggambarkannya sebagai usahawan cerdas di balik penampilannya sebagai diplomat.

Maka paling tidak, boleh kita mengajukan hipotesis bahwa HHT ditulis di Johor sekitar pertengahan abad ke-17 (mungkin sebelum tahun 1641 tetapi

(hingga utusan ke India) ditulis sebelum tahun 1600 (kata-kata Portugis masih banyak), sementara bagian selanjutnya ditulis sesudah tahun 1641 (kepribadian Hang Tuah tampak berubah).

11 Menteri yang dimaksud, Nala Sangguna, mengajukan usulnya sebagai berikut: ―Hai Laksamana, baiklah anakku suruh segala orang anakku membeli dagangan

yang patut dibawa ke benua Cina itu, sangat labanya, esa sepuluh. Dan ayahanda pun berlengkap sebuah kapal menyuruh pergi sama dengan anakku. Apabila sampai ke benua Cina, akui oleh anakku kapal ayahanda itu, supaya lepas daripada cukainya. Jikalau anakku selamat datang ke benua Keling, ayahanda bahagi dua labanya akan anakku, kerana cukai di benua Cina itu ter lalu keras.‖ (Hikayat Hang Tuah, h. 363)

Hikayat Hang Tuah diubah lagi sesudahnya) oleh pengarang yang akrab dengan istana dan berasal

dari golongan pedagang. Sebelum memantau negeri-negeri yang dikunjungi Hang Tuah sebagai pencerminan ruang politik kesultanan Malaka sebagaimana dilukiskan dalam HHT, perlu kita ingat sifat umum kisah-kisah perjalanan dalam hikayat Melayu lama. Para tokoh hikayat-hikayat itu sering melaksanakan perjalanan ke negeri jauh. Perjalanan itu bersifat melingkar, yaitu sang tokoh selalu pulang ke negeri asalnya. Dalam Hikayat Indraputra umpamanya, tokoh utama, yakni Indraputra, diterbangkan ke luar negeri asalnya oleh seekor merak emas dan kemudian berkelana untuk mencari obat beranak yang diperlukan Raja Syahsian. Selanjutnya dia mengalami berbagai petualangan yang luar biasa, bertemu dengan segala jenis makhluk, sempat mati dan dihidupkan kembali, dan akhirnya pulang ke negeri asalnya bersama empat istri.

Perjalanan itu juga bersifat rohani karena sang tokoh mengalami proses penyempurnaan, sehingga dapat pulang dan menjadi raja, mengganti ayahnya. Dalam Hikayat Dewa Mendu misalnya, tokoh Dewa Mendu meninggalkan negeri asalnya ―demi mencari kesempurnaan kali-laki‖. Di antara berbagai pengalamannya di negeri Indera dan Cendera, dia berenang dalam laut Qulzum selama setahun lebih, dia ditelan oleh seekor naga dan hidup dalam perutnya selama beberapa waktu pula. Pengalaman demikian boleh dianggap sebagai ritus kealihan ( rites de passage ) atau inisiasi. A. Bausani pernah menulis uraian yang menarik tentang adegan-adegan itu, yang ditafsirkannya sebagai padanan Melayu dari konsep penitisan dalam agama Hindu.

Perjalanan dalam Hikayat Hang Tuah sangat penting juga tetapi sama sekali lain sifatnya. Hang Tuah mengunjungi negeri-negeri yang nyata, bukan negeri antah-berantah. Negeri itu cukup banyak, mulai dari negeri tetangga di alam Melayu (Pahang, Terengganu, Lingga, Singapura, dan lain-lain) sampai yang terbesar di dunia pada zaman itu: Tiongkok, India Selatan, Tanah Suci, Mesir dan Turki. Untuk pertama kali dalam sastra Melayu, ilmu bumi dan dunia politik menjadi bahan sastra. Gejala itu merupakan tanda kemodernan, lama sebelum abad ke-19.

Dalam Sulalat al-Salatin , alias Sejarah Melayu , Hang Tuah hanya mengunjungi beberapa negeri saja, bahkan tidak pernah memimpin utusan sendiri, dan mungkin sekali demikian halnya dalam kenyataan sejarah. Sebaliknya dalam HHT, dialah yang memegang peran utama dalam semua misi dan perjalanan tersebut.

Negara-Negara Sekutu atau Bersahabat dengan Dunia Melayu

Alur cerita HHT boleh dikatakan terpusat pada dua kutub yang berlainan. Di satu pihak, di istana Malaka, sikap senantiasa setia dan takzim yang ditunjukkan Hang Tuah terhadap Sultan, dan sebaliknya pendurhakaan Hang Jebat, sahabatnya, ―adiknya‖, yang terpaksa dibunuhnya sendiri untuk mengembalikan

Sultan, Pahlawan dan Hakim

keamanan. (Makna simbolis kedua sikap yang bertentangan itu merupakan topik utama dari berbagai studi yang terbit selama ini.) Di pihak lain, di luar kesultanan, misi-misi yang dilaksanakan Hang Tuah atas perintah Sultan ke negeri asing yang luar biasa banyaknya. Aspek kedua itulah yang akan dibahas di bawah ini.

Baik kita melihat dulu secara sepintas negara dan negeri yang berhu- bungan dengan Malaka, mulai dengan yang terletak dalam lingkungan dunia Melayu, tanpa memperhatikan urutan episode yang bersangkutan.

Sebelum mendirikan kota Malaka, Sultan memerintah di Bentan. Orang tuanya tetap memerintah di Bukit Seguntang, dekat Palembang. Disebut rencana kedua adiknya dinobatkan di Minangkabau dan Palembang (HHT 104). 12 Kedua

putranya menjadi raja di Lingga dan Bentan. Bukit Seguntang, Palembang, Bentan, Lingga, Minangkabau, juga Singapura tempat Sultan terkadang berjalan-jalan, semuanya merupakan kerajaan tetangga yang mempunyai hubungan persahabatan bahkan persauda- raan dengan Malaka.

Juga sangat dekat adalah dua kerajaan di pantai timur Semenanjung Melayu, yaitu Indrapura (yakni Pahang) dan Terengganu. Kedua-duanya adalah kerajaan bawahan, yang beberapa kali perlu ditindak oleh Malaka. Beberapa sengketa disebabkan oleh keinginan Sultan untuk menikahi putri perdana menteri ( bendahara ) Indrapura. Sang putri menyatakan dirinya tidak patut

(― Yang enggang sama enggang, yang pi pit itu sama pipit juga!‖, HHT 93). Lama kemudian, Hang Tuah melarikan sang putri dengan menggunakan ilmu sihir, sehingga menimbulkan kemurkaan ayahnya, Perdana Menteri Indrapura,

dan tunangannya, Pangeran Terengganu. 13 Lebih kemudian, Hang Tuah harus sekali lagi menghukum Terengganu karena telah melecehkan tunangan (yang

datang dari Srilanka) putri Sultan, dan menghukum Indrapura karena telah membunuh putra Hang Jebat.

Tiga kerajaan Melayu lain mendapat kunjungan persahabatan secara singkat, yaitu Brunei, Aceh dan Patani. Ketika kembali dari Jawa, Hang Tuah diserang di sekitar Tanjung Krawang (yakni sedikit ke timur dari kota Jakarta kini) oleh putra raja Brunei, yang ingin mengadu kekuatan dengannya. Hang Tuah, yang pada bagian cerita ini telah mencapai tingkat ilmu perang yang tak tertandingi, dengan cepat menundukkan anak raja itu, namun tetap memperlaku- kannya dengan hormat serta membawanya ke Malaka, dan kemudian

Nomor di belakang singkatan HHT (yaitu Hikayat Hang Tuah) adalah nomor halaman dalam edisi Kassim Ahmad (1971). Kalau merujuk pada dua edisi 13 berlainan, akan disebut BP (Balai Pustaka) dan KA (Kassim Ahmad). Episode sejarah yang bersangkutan dikisahkan dalam Sejarah Melayu (1970), h. 136-145.

Hikayat Hang Tuah mengantarnya pulang ke Brunei. Peristiwa itu merupakan kesempatan untuk

menyebarkan kemasyhuran Malaka. Hang Tuah singgah di Patani dalam perjalanan ke Siam. Sultan Melaka

sendiri telah menyuruhnya mengamati negeri yang ―baharu diperbuat‖ itu. 14 Hang Tuah naik ke darat dan mengagumi posisi kota yang tidak dapat direbut

itu. ― Adapun maka pintu gerbangnya itu, kepala naga matahari hidup, ekornya matahari mati ‖ (HHT 389). Itulah satu-satunya kesempatan, dengan alasan yang tidak jelas, Hang Tuah mengamati sebuah kota dari luar, tanpa berusaha sedikit pun untuk memasukinya.

Terakhir, Hang Tuah singgah di Aceh dalam perjalanannya ke Istambul: ia tinggal selama dua belas hari di istana Sultan Salahuddin, sambil memperbaharui ikatan persahabatan antara Melaka dan Aceh (kata Hang Tuah, ―Adapun negeri Aceh dengan negeri Malaka itu seumpama suatu permata dua cahayanya, demikianlah adanya. Sebagai lagi tanda berkasih-kasihan saudara- bersaudara‖, HHT 440). Sultan Aceh mengakui kedaulatan Malaka (sedikitnya dengan menyebut Sultan Melaka sebagai ―kakanda‖-nya), sedangkan Hang Tuah menunjukkan sikap menghargai dan menghormati. Kunjungan ini benar-

benar bersifat diplomatis. 15

Majapahit

Hubungan dengan kerajaan Majapahit di Jawa menduduki tempat yang sangat penting pada bagian pertama epos itu. Hubungan antara kedua kerajaan itu sama sekali tidak bersahabat seperti hubungan dengan berbagai kerajaan di atas. Dalam Sulalat al-Salatin , Batara Majapahit menyuruh orangnya menantang Hang Tuah serta sahabatnya, namun sikap itu berdasarkan keinginan bertanding kekuatan saja, dan ketika ketangkasan dan keberanian orang Malaka sudah terbukti, maka Batara Majapahit bertambah kagum dan senang akan mereka. Akan tetapi dalam HHT, sikap tersebut diubah sedemikian rupa sehingga menjadi persaingan berdarah: orang Melayu diancam dan diserang dengan sekuat-kuatnya dan berkali-kali berusaha dibunuh. Sebenarnya kisah Majapahit

Kata Sultan, ―kita ada menengar khabar negeri baharu diperbuat, namanya Patani;

pada bicara kita, kita hendak suruh alahkan.‖ Maka jawab Hang Tuah, ―Daulat tuanku, barang kala patik lalu ke laut Patani itu patik singgah melihat dia, tetapi pada firasat patik terlalu baik tempat kedudukan Patani itu, tiada dapat dialahkan oleh musuh ‖ (HHT KA 388). Istilah ―alahkan‖ dalam ucapan Sultan, dalam BP (II, h. 151) diganti dengan ―mengamati‖, yang di sini kelihatan keliru. Perlu diingat bahwa kota Patani dibangun pada awal abad ke-15. 15 Sultan Salahuddin memerintah dari tahun 1530 s.d. 1539. Bagian teks ini tampak

ironis, tentunya tak disengaja, karena sebenarnya Sultan ini pernah menyerang Malaka dengan sia-sia. Lih. Denys Lombard, Le Sultanat d’Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607—1636), Paris, 1967, h. 37, 185.

Sultan, Pahlawan dan Hakim

dalam HHT mungkin sekali berasal dari dua jenis adegan sejarah dalam Sulalat al-Salatin , yaitu perkawinan Sultan Mansur Syah dengan putri Majapahit (ceritera ke-14) serta kedua serangan yang dilancarkan oleh Majapahit terhadap Singapura (ceritera ke-5 dan ke-10). Hubungan itu menimbulkan masalah interpretasi simbolis dari cara HHT mengembangkan satu peristiwa sejarah sederhana menjadi cerita yang rumit. Interpretasi itu, seperti telah kita lihat, telah diusahakan oleh B. Parnickel dan V. Braginsky dengan memban-

dingkannya dengan hubungan antara Johor dan Jambi pada akhir abad ke-17. 16 Majapahit adalah satu-satunya kerajaan yang kedaulatannya diakui

Malaka. Sultan Malaka memang memperlakukan negara-negara besar asing seperti Siam, India, Tiongkok dan Istambul dengan rendah hati, tetapi hierarki tidak dipersoalkan. Sebaliknya dengan Majapahit hal tersebut sangat eksplisit, dan relasi kedua kerajaannya tidak diragukan: Malaka takluk pada Majapahit. Lagi pula Majapahit adalah satu-satunya negara asing yang dikunjungi sendiri oleh Sultan Malaka, bahkan dua kali. Patut diingat bahwa Sultan Malaka tidak pernah ke luar negeri dan selalu mengutus orang lain, baik untuk misi persahabatan maupun perdagangan, sehingga perlawatannya ke Majapahit merupakan kekecualian yang sangat bermakna. Adapun Hang Tuah sampai lima kali ke Majapahit.

Telah kita lihat bahwa Sultan Malaka ingin menikahi seorang putri bangsawan dari Indrapura. Setelah lamarannya mula-mula ditolak langsung, ia mudah menerima usul untuk melamar putri Majapahit (Raden Galuh Emas Ayu) dengan alasan ia cantik lagi bangsawan. Seorang Jawa dari kalangan

istana Malaka 17 beserta Hang Tuah diutus untuk melaksanakan misi tersebut. Sebuah kapal sepanjang 70 meter, Mendam Berahi , khusus dibangun untuk

keperluan itu. Utusan Melayu tersebut diterima dengan segala kehormatan di Majapahit, tetapi Raja Seri Betara dan menterinya (Patih Gajah Mada) 18 serta-

merta menguji keberanian mereka dengan membuat mereka diserang oleh enam puluh orang prajurit. Para utusan Melayu tidak bergeming. Pada kesempatan kemudian Hang Tuah menyebut para prajurit yang mengamuk itu sebagai anak-

Episode kunjungan Sultan Malaka ke Majapahit dan perkawinannya dengan sang putri diceritakan juga dalam Sejarah Melayu (ed. 1970, hlm. 67-74).

17 Yang dimaksud adalah Patih Kerma Wijaya yang mengabdi kepada Sultan Malaka, setelah dilecehkan oleh tuannya, Raja Lasem.

18 Nama raja tersebut hanya satu gelar, sehingga kita tidak dapat mengidentifikasi raja mana yang dimaksud. Sebaliknya, nama mangkubuminya sangat terkenal: ia

adalah kepala pemerintahan dalam paruh kedua abad ke-14. Namun, dalam Sejarah Melayu (1970), h. 65 dan lain, jelas nama itu hanya gelar yang dipakai oleh semua mangkubumi Majapahit.

Hikayat Hang Tuah anak nakal. 19 Raja langsung tertarik oleh kepribadian Hang Tuah dan

menawarkannya untuk diangkat sebagai menteri (Hang Tuah menolak dengan cara halus), tetapi meskipun demikian Baginda tetap berkali-kali berusaha membunuhnya.

Lamaran Sultan Malaka diterima tetapi ia harus datang sendiri ke Majapahit. Maka pulanglah Hang Tuah untuk menjemputnya. Sultan berlayar di atas kapal yang khusus dibangun untuk keperluan tersebut, Kota Segara . Pada kesempatan kunjungan kedua itulah Hang Tuah membunuh jago Jawa, Taming Sari, yang kerisnya diserahkan kepadanya dan menjadikan dia tak terkalahkan. Pada waktu itu pulalah, setelah melalui berbagai pengalaman, tokoh kita dan

keempat sahabatnya 20 berguru ilmu silat kepada Sang Pertala. Mereka juga melanggar larangan masuk ke taman pribadi Sultan, dalam suatu parodi adegan

permandian tradisional. Upacara perkawinan dilaksanakan, lalu rombongan orang Melayu pulang ke Malaka. Di kemudian hari, sang putri melahirkan dua orang putra, Raden Bahar dan Raden Bajau. Sementara itu Sultan menikahi juga putri muda dari Indrapura dan bersikap sedemikian mabuk kepayang sehingga Hang Tuah harus memperingatkannya: ia akan melewatkan secara bergilir sepuluh malam dengan istri pertamanya dan tujuh malam dengan istri kedua. Hal itu tak urung membuat Raja Majapahit murka dan mengirim utusan untuk menyelidiki nasib putrinya. Hang Tuah dan kemudian Sultan sendiri pergi ke Majapahit untuk kunjungan ramah-tamah. Kunjungan yang penuh bahaya karena Raja Majapahit dan Patih Gajah Mada tidak mau mengubah sikap dan mencoba dengan segala cara untuk membunuh Sultan dan Laksamana. Maksud jahat itu diteruskan sampai ke Malaka. Raja Majapahit dua kali menyuruh segerombolan perompak untuk memporak-porandakan kota serta membunuh Sultan. Tentu saja para pengacau itu ditumpas oleh Hang Tuah.

Kata Hang Tuah kepada raja, ―Tetapi bukan orangnya yang mengamuk itu,

budak-budak bermain-main maka terkejut orang di tengah pasar itu, terkejut lalu 20 gempar, patik lihat ‖ (HHT, 102). Sejak masa kanak-kanaknya di Bentan, Hang Tuah mempunyai empat orang sa-

habat yang tak terpisahkan: Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu. Mungkin jumlah sahabat itu serta fakta bahwa kedua yang terakhir mempunyai peranan kecil dan tak terpisahkan, harus kita lihat sebagai suatu pengaruh Mahabharata atas epos itu. Teuku Iskandar, ―Some historical sources used by the author of Hikayat Hang Tuah ‖, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society , 38.2 (1970), h. 42-43, mengusulkan bahwa sahabat itu pada awalnya hanya dua orang, kemudian Jebat menjadi dua karena ditambah sinonimnya (jebat dan kesturi sama artinya), sedangkan Lekir juga menjadi dua disebabkan kerancuan ejaan (Lekir dan Lekiu). Kedua hipotesis itu bisa sama benarnya, karena mungkin saja kedua nama tersebut digandakan dengan tujuan mencapai angka lima.

Sultan, Pahlawan dan Hakim

Raja Majapahit terus-menerus menunjukkan kekaguman yang tulus kepada Hang Tuah karena keberanian, pengabdian penuh, penampilan dan sopan-santunnya, tetapi tak henti-hentinya pula ia membuat rencana untuk membunuhnya. Tatkala Hang Tuah berhadapan dengan sang jago Taming Sari dan membunuhnya, Raja menganugerahinya gelar Laksamana (ia yang pertama

melakukannya) serta keris musuhnya dan wilayah Jemaja di kepulauan Riau. 21 Tetapi selanjutnya, ia tetap menyuruh Mangkubumi agar berupaya membunuh

Hang Tuah. Kegigihan jahat yang terus-menerus gagal saja sehingga hanya berhasil menonjolkan keberanian dan kepiawaian tokoh kita, menjadi sejenis pola jenaka, karena setiap kali Patih Gajah Mada bercakap dengan angkuh akan melaksanakan tugas itu, dan setiap kali pula anak buahnya dibuat terbirit-birit atau dibunuh oleh Hang Tuah.

Teks HHT hanya memberi penjelasan yang kurang memuaskan tentang sikap mendua itu, yaitu Raja Majapahit, setelah menolak banyak pelamar lain, telah menerima Sultan Malaka sebagai menantu karena tingkat kebangsawanan cukup tinggi, namun ia tidak sanggup berpisah dengan putri tunggalnya. Oleh karena itu Sultan Makala harus tinggal di Majapahit, dan untuk memaksanya, pertama-tama pengawalnya yang terlalu setia, Hang Tuah, harus disingkirkan

dulu. 22 Persaingan antara kedua kerajaan itu, yang dibesar-besarkan dalam teks

HHT, berakhir dengan sendirinya: waktu Raja Majapahit meninggal dunia, Patih Gajah Mada memberi tahu Malaka dan meminta agar putra sulung Sultan dinobatkan untuk menggantikan kakeknya. Maka Raden Bahar, didampingi Hang Tuah, pergi ke Jawa dan dinobatkan dalam upacara singkat (HHT 375- 378). Selanjutnya, tidak terdengar lagi berita tentang Majapahit dalam perempat terakhir teks itu. Mengingat Raja Majapahit kini adalah putra Sultan Malaka, maka hierarki antara kedua negara itu menjadi terbalik.

Inilah ingatan suatu peristiwa, mungkin saja otentik, yang diceritakan dalam Sulalat al-Salatin : atas nasihat Sultan, yang baru menikah dengan putri Raja Majapahit, Hang Tuah meminta pulau Siantan, di kepulauan Riau, kepada raja Majapahit. Jawab Raja, ―Baiklah, jangankan Siantan, jikalau Palembang sekalipun dipohonkan oleh Laksamana, nescaya kita anugerahkan‖ (Sulalat al- Salatin , 1997, h. 96).

22 Kata Raja kepada Patih Gajah Mada, ―Adapun bicara hatiku, jikalau anakku kawin dengan Ratu Malaka itu, tak dapat tiada dibawanya kembali juga anakku

ini ke Malaka, karena hambanya yang lima ini [yaitu Hang Tuah dan keempat orang sahabatnya] bukan barang-barang beraninya dan ingatnya. Dalam lima itu, kulihat pada sikap hulubalangnya, yang bernama Tun Tuah lebih beraninya, akhirnya jadi hulubalang besar pada tanah Melayu. Jikalau dapat, baik juga suruh bunuh dengan tipu. Apabila ia mati, barang kehendak kita pun berlakulah, tiada ia kembali ke Malaka‖ (HHT 124).

Hikayat Hang Tuah

Sultan, Pahlawan dan Hakim

Kita telah melihat bahwa seorang menteri dari Lasem pernah mengungsi ke Malaka. Dua kabupaten Jawa yang lain menjalin hubungan persahabatan dengan Malaka. Ketika dua kali pulang dari Majapahit, Sultan singgah lama di Tuban dan di Jayakarta. Di Tuban, pelabuhan Majapahit, ia disambut oleh penguasa setempat (Adipati Tuban, Sang Agung Tuban), yang selama tujuh hari menghiburnya dan mengajaknya berburu. Di Jayakarta (di lokasi Jakarta sekarang) juga ia diterima oleh penguasa (Adipati Jayakarta) beserta para pembesar, dan bersenang-senang selama tujuh hari – ―dan para putri turun ke darat untuk mengunjungi pasar‖ (HHT 165). Kemudian Sultan singgah di Palembang di mana ia tinggal selama puluhan hari dan meminta berita tentang Bukit Seguntang dan Malaka. Jelas bahwa, sebaliknya dari Majapahit, Tuban dan Jayakarta memperlakukan Malaka sebagai negara atasannya.

Negara-Negara Asing di Asia

Di antara negara-negara itu, India Selatan menduduki tempat khusus karena Raja Vijayanagar (HHT KA ― Bijaya Nagaram ‖, BP ― Wijaya Nigrama ‖) tak lain dari adik Sultan Malaka. Sebenarnya pada awal HHT, seorang saudagar India kaya memohon kepada Sultan agar diizinkan menobatkan adik bungsunya, Sang Jaya Nantaka, yang telah diusir Baginda gara-gara fitnah. Sultan berkenan, maka Sang Jaya Nantaka diangkat menjadi ―Sultan Keling‖ (HHT 110). Namun, ia enggan menyembah kakaknya, dan para utusannya ke orang tuanya di Bukit Seguntang

tidak singgah di Malaka. 23 Sultan memutuskan untuk mengirim utusan kepada adiknya, dan sang

Bendahara menyetujuinya: ― baik juga tuanku mengutus ke benua Keling pada paduka adinda itu, kerana baginda itu pun raja besar ; lagi pula tuanku pun berseteru dengan Majapahit; supaya adalah malu segala raja-raja akan Duli Yang

Kepada Raja Majapahit, yang memikirkan soal tata-cara, Hang Tuah menjelaskan, ―Daulat tuanku paduka Betara, pada bicara patik, Sultan Malaka sungguhpun tua, hamba kebawah duli paduka Betara. Akan Raja Benua Keling itu, sungguh baginda raja muda, karena raja besar tiada mau menyembah samanya raja. Tetapi harus juga pada bicara patik baginda itu menyembah duli paduka Betara, raja yang berasal dan raja dari keinderaan yang diturunkan Allah taala pertama raja pada Tanah Jawa‖ (HHT 106-107). Hubungan antara Malaka dan Vijayanagar sangat berbeda dalam Sulalat al-Salatin : tek s itu menceritakan pembangunan ―Bijaya Nagara‖ (Sejarah Melayu 1970, h. 9), lalu perkawinan seorang putri dari kerajaan itu dengan Raja Singapura, ayah pendiri Malaka (ibid., h. 24). Di kemudian hari, seorang bangsawan Malaka yang sezaman dengan Hang Tuah, pergi ke India untuk membeli kain cita bagi Sultan Malaka (ibid. h. 133-134). Selain itu, seorang saudagar India dari kota lain memberi kesempatan seorang pangeran Malaka yang menyamar menjadi nelayan untuk menjadi raja (ibid., h. 52 sq.) Tampaknya HHT telah memanfaatkan dengan bebas berbagai motif ini.

Hikayat Hang Tuah Dipertuan ‖ (HHT 339). Sebelum berangkat, Hang Tuah dan Bendahara

mengumpulkan emas dan perak berkilo-kilo, yang diserahkan kepada anak buah mereka dengan tugas ― berlengkaplah dan belilah segala dagangan yang patut dibawa ke benua Keling ‖ (HHT 340). Setelah 18 hari berlayar, Hang Tuah tiba di pelabuhan Negapatam (atau Nagapatnam) dan disambut dengan segala kebesaran oleh menteri Nala Sangguna, yang segera mengantarnya ke ibu kota Vijayanagar, tujuh hari berjalan jauhnya. Setelah beberapa hari persiapan, Hang Tuah serombongan, diiringi pengantar yang sangat banyak dengan ribuan gajah dan kuda, pergi mempersembahkan surat dan hadiah Sultan kepada Raja.

Deskripsi kota tidak jelas segaligus penuh klise. 24 Namun, di situlah disebut kuil-kuil tempat meminjam uang serta balai-balai derma yang telah

dibicarakan di atas. Hang Tuah terpukau melihat kemakmuran yang tergambar di hadapannya: ―Sungguhlah Raja Keling itu raja besar, sedang seorang

saudagar lagi terlalu kaya. Sepuluh raja-raja Melayu pun tiada sama seorang saudagar‖ (HHT 352).

Raja India tiba-tiba memutuskan untuk mengirim utusan ke Tiongkok dan memilih Hang Tuah sebagai utusannya. Dalam adegan tersebut nanti, Hang Tuah akan menyampaikan kepada Raja Tiongkok alasan misinya sebagai berikut, ―Maksud Raja Benua Keling hendak berkasih-kasihan saudara- bersaudara juga, kerana tuanku raja besar dan Raja Benua Keling pun raja besar juga, tanda mufakat ‖ (HHT 336). Setelah dua bulan berlayar, Hang Tuah tiba di pelabuhan Tionghoa bernama Bakang Hainam. 25 Kedatangannya diberitahukan kepada keempat orang menteri. 26 Hang Tuah tidak boleh melihat Raja, yang

―Beberapa hari di jalan maka kelihatanlah kota negeri Bijaya Nagaram terdinding

seperti kapas sudah terbusar. Setelah hampirlah maka dilihat oleh Laksamana pintu gerbang negeri itu sekaliannya diukir rupa binatang terlalu indah-indah. [Kota]-nya, diperbuatnya daripada batu yakut dan pada selapis pula daripada batu hitam seperti sayap kumbang berkilat-kilat; pada selapis pula daripada itu dilihatnya oleh Laksamana tulisannya ceritera Seri Rama dan pada selapis lagi lelakon Pandawa Jaya dan pada selapis ditulisnya pelbagai rupa binatang yang di dalam rimba belantara dan pintunya daripada tembaga suasa. Maka beribu-ribu rumah berhala di dalam negeri itu tempat anji wantar sembahyang dan beribu- ribu kemah khatifah terbentang akan tempat segala saudagar berniaga dan

berkedai‖ (HHT 348). 25

Dalam beberapa dialek Tiongkok selatan, kang berarti ―pelabuhan‖, dan hainam, yaitu nama pulau terkenal (Hainam atau Hainan) di teluk Tonkin, berarti ―laut selatan‖ (nam-hai). Dalam edisi Balai Pustaka (II, h. 126), tercantum ―Bakang Hitam‖ yang semata-mata disebabkan kerancuan ejaan, mengingat hainam dan

hitam dalam tulisan Jawi hanya dibedakan satu titik. Tidak dapat dijelaskan 26 mengapa utusan Melayu itu mendarat di pulau itu, bukan di benua Tiongkok.

Disebut namanya sebagai berikut: Wang Kam Seng, Pasyinga, Lu Tai dan Sam Pi Pat/Qap (HHT KA, h. 365; BP II, h. 127).

Sultan, Pahlawan dan Hakim

bersemayam di mulut seekor naga emas. Tak seorang pun berhak memandang Baginda, tetapi Hang Tuah mencari akal untuk melihatnya: ia mengangkat

kepala seolah-olah untuk menelan sebuah daun kangkung yang panjang. 27 Tentang kunjungan Hang Tuah di kota itu, hikayatnya hanya

me nyampaikan berita singkat dan penuh khayalan sebagai berikut: ―Setelah keesokan harinya, maka Laksamana dan Maharaja Setia [yakni Hang Jebat] pergilah ke tengah negeri itu melihat temasya beberapa puluh ratus rumah berhala, indah-indah perbuatannya dan berbagai-bagai rupanya binatang ditulis- nya, seperti binatang hidup rupanya, sehingga tiada berkata-kata dan bernyawa juga. Disuruhnya berdiri ia berdiri, disuruhnya duduk ia duduk, disuruhnya berkata-kata ia berkata-kata, disuruhnya menyembah ia menyembah, disuruh- nya menari ia menari, disuruhnya berhenti ia berhenti, terlalu ramai Laksamana dan segala orangnya yang melihat itu. Maka Laksamana pun berjalan pula ke tengah negeri itu, maka dilihat oleh Laksamana seorang berhala terlalu besar seperti bukit besarnya, maka berhala itu pun duduk menangis suaranya seperti guruh. Maka dilihatnya oleh Laksamana di bawah berhala itu beribu-ribu [orang] menadah air matanya daripada laki-laki dan perempuan. Maka Laksamana pun bertanya, "Apa sebabnya maka berhala itu menangis, dan apa pergunaannya air matanya berhala ini?" Maka kata segala Cina itu, "Adapun berhala ini ibu bapak segala Cina sekalian, maka ia melihat segala anak cucunya yang banyak, dua yang jahat, sebab itulah maka hatinya tiada suka, lalu ia menangis, dan air matanya berhala itu barang siapa memandikan dia lepas daripada dosa sekalian." Maka Laksamana dan Maharaja Setia pun tertawa lalu berjalan pula. Maka beberapa Laksamana melihat yang tiada pernah dilihatnya‖ (HHT 369).

Sekembalinya ke Keling, lalu ke Malaka, Hang Tuah melaksanakan dua misi ke Majapahit dan Brunei yang telah diceritakan di bagian terdahulu, lalu ia dikirim ke Siam, kali ini untuk urusan dagang: ia harus membeli gajah, empat atau lima gajah jantan dan dua betina. Kota Siam tidak disebut namanya ataupun dideskripsikan. Sekali lagi, Hang Tuah menarik perhatian Raja dan para pejabat karena sopan-santunnya dan sikapnya yang gagah; sekali lagi, ia berhasil memaksakan caranya sendiri. Pada waktu menghadap Raja, para tamu harus meninggalkan senjata mereka dan maju sambil merangkak. Hang Tuah

Terdapat dalam Sejarah Melayu (1970, h. 80-81) suatu adegan yang sejajar dengan episode ini: seorang bangsawan Malaka diutus ke Tiongkok dan, berkat tipu muslihat yang sama, ia mencuri pandang Kaisar yang sedang bertakhta di singgasana berbentuk naga. Namun, hubungan Malaka dengan Tiongkok sangat berbeda dalam teks tersebut. Kaisar Tiongkok begitu terkesan oleh kebesaran Sultan Malaka sehingga ia memberikannya putrinya untuk dinikahi. Kemudian ia jatuh sakit karena telah menerima rasa ―hormat‖ Sultan dan baru sembuh setelah minum air basuhan kaki Sultan (Sejarah Melayu, 1970, h. 86-87).

Hikayat Hang Tuah menolak melakukannya dan mendapat izin untuk berjalan tegak dan

mengenakan kerisnya. Sepanjang Hikayat itu, Hang Tuah melambangkan kebanggaan orang Melayu yang menolak meninggalkan beberapa adat- kebiasaannya. Ia datang untuk membeli beberapa ekor gajah; ia pulang ke Malaka dengan sepuluh ekor sebagai hadiah dari Raja Siam.

Banyak peristiwa penting terjadi di antara misi itu dan perjalanan besar ke Timur Tengah. Pertama, putra kedua Sultan Malaka, Raden Bajau, dinobatkan di Bukit Seguntang (namun kita tidak mengetahui apa-apa tentang wafatnya sang kakek ataupun tentang pelayaran ke Bukit Seguntang atau upacara di sana). Kemudian sebuah utusan dikirim ke Sri Lanka untuk membeli batu permata bagi para putra Sultan. Hang Tuah mendirikan sebuah kota di Lingga untuk menobatkan salah satu putra itu. Pengalaman pahit seorang pangeran dari Sri Lanka, tunangan putri Sultan Malaka, menimbulkan konflik dengan Terengganu, yang diselesaikan oleh Hang Tuah. Ia juga melancarkan ekspedisi hukuman terhadap Indrapura karena membunuh putra Hang Jebat.

Masih ada lagi episode yang fantastis tetapi penting. Sultan, diiringi rombongan besar, pergi ke Singapura untuk menghibur diri. Ketika hampir sampai di tujuan, seekor ikan dari emas bermain-main di sekitar kapalnya. Sultan membungkuk untuk mengamatinya, dan mahkotanya jatuh ke laut. Hang Tuah langsung terjun dan memegang mahkota itu, tetapi ia diserang oleh seekor buaya putih yang mencuri kerisnya. Hang Tuah memegang ekornya, tetapi, karena diseret ke bawah, ia terpaksa mengalah. Seluruh rombongan pulang ke Malaka dalam suasana sedih. Kehilangan mahkota bagi Sultan dan keris sakti bagi Hang Tuah, merupakan pertanda yang tidak dapat dicegah. Keduanya langsung menderita demam dan sakit kepala. Orang Portugis menyerang Malaka untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya pula Hang Tuah terluka.

Pada waktu itulah, Sultan memutuskan untuk mengirim utusan ke Istambul (―Rum‖, yaitu Roma Baru), untuk membeli meriam yang diperlukan untuk pertahanan kota Malaka, sebagai persiapan penobatan putrinya. 28 (Sultan

Sebagaimana dicatat oleh Is kandar (―Some historical sources‖, h. 44), episode ini terinspirasi oleh sebuah fakta sejarah, yaitu pengiriman utusan oleh Sultan Aceh Alauddin Riayat Syah al-Kahar ke Istambul pada tahun 1562. Peristiwa itu disebut dalam Bustan us-Salatin (yang akan dibicarakan di bawah ini) dan diceritakan dalam teks Aceh Hikayat Meukuta Alam (ada sebuah versi Melayu berjudul Hikayat Raja Aceh Marhum), di mana utusannya dikirim oleh Sultan yang lebih kemudian dan lebih terkenal, Iskandar Muda (memerintah tahun 1607-1636). Namun adegan HHT itu bukan salinan ataupun adaptasi dari salah satu teks tersebut di atas. Mengenai utusan Aceh itu, lihat Lombard, Le Sultanat d’Aceh, h. 37, cat. 3, yang mengutip seorang penulis Italia tahun 1562, yang menceritakan bahwa utusan Aceh da tang ―untuk meminta senjata untuk menggempur orang Portugis‖, sementara Th.W. Juynboll dan P. Voorhoeve (―Atjeh‖, in Encyclopédie de l’Islam, I, 1960, h. 765) mengutip dokumen-

Sultan, Pahlawan dan Hakim

sebenarnya telah memutuskan untuk turun takhta demi putrinya itu.) Seperti telah kita lihat, Hang Tuah singgah dulu di Aceh, lalu, setelah dua bulan dan sepuluh hari perjalanan laut, tiba dekat Jeddah. Setelah diberi tahu bahwa di situlah terdapat makam Siti Hawa, ia memutuskan untuk berziarah ke makam itu. Ia naik ke darat, dan secara kebetulan ia terdorong untuk melaksanakan ibadah haji di Mekah (kata Syahbandar Jeddah, ―Baik juga anakku pergi Mekah naik haji, karena sudah anakku sampai dekat. Sedang dari jauh lagi orang ke mari, ini pula sudah dekat‖, HHT 442.) Waktu itu tahun 886 Hijriah (1482 Masehi). Gubernur Mekah dan Medinah, di bawah perintah Sultan Istambul, masing-masing adalah Syarif Ahmad dan Syarif Baharuddin, kedua-duanya

putra Zainulabidin. 29 Hang Tuah melaksanakan semua ritus ibadah haji, di tengah kerumunan

para jemaah, lalu ia melanjutkan perjalanannya dan, tiga minggu kemudian, tiba di dekat Kairo (―Mesir‖). Di situ pun ia berlabuh, karena ―hendak singgah melihat kekayaan Allah subhanahu wa taala barang sehari dua di sini dan hendak minum air Sungai Nil itu karena sungai Mesir itu hulunya mari dalam surga katanya‖ (HHT 447). Ia disambut dan bahkan diangkat anak oleh Perdana Menteri setempat dan ia terpukau oleh kemakmuran kota itu. ―Tiadalah aku lihat dalam dunia seumur hidupku ini, adapun sebuah negeri Mesir ini, dua tiga ratus buah negeri Melayu tiada sama kekayaan orang Mesir ini‖ (HHT 450). Ia membeli beberapa ratus meriam, lalu, setelah tinggal di situ selama tiga bulan, ia melanjutkan pelayarannya.

Di Istambul, Hang Tuah disambut oleh Gubernur Ibrahim Kakan, dan sekali lagi ia terpukau oleh kekayaan tuan rumahnya. ―Adapun seorang Ibrahim Kakan ini, empat puluh raja-raja di bawa h angin tiada samanya juga‖ (HHT 462). Tidak kurang daripada sembilan bulan ia tinggal di ibu kota itu. Itulah waktu yang diperlukan agar Sultan Muazzam Syah Alauddin, yang biasanya tidak sudi menerima utusan apa pun, berkenan membuat pengecualian bagi utusan dari Malaka. Masa tinggal Hang Tuah di Rum menduduki tempat yang

istimewa dalam HHT (25 halaman, yaitu HHT 452-477) dan mencakup beberapa deskripsi tentang kota itu: pemerian sebuah taman yang akan dibicarakan di bawah ini, serta beberapa pemerian lain yang seluruhnya bersifat klise. Salah satunya misalnya menggambarkan berbagai tembok dan jalan sebagaimana dilihat Hang Tuah waktu mendekatinya; deskripsi itu hampir sama dengan deskripsi kota Vijayanagar yang telah disebut di atas dan berakhir dengan kata- kata yang sama, yaitu: ―Maka dilihat oleh Laksamana beribu-ribu

dokumen Turki tahun 1563 dan mencatat bahwa utusan Aceh tinggal di 29 Constantinople selama dua tahun.

V. Matheson & A.C. Milner, Perceptions of the Haj: five Malay texts (Singapour, 1984), h. 43, cat. 24, mencatat bahwa pada tahun itu (dan sampai 1517), Mekah sebenarnya berada di bawah kekuasaan Sultan Mesir.

Hikayat Hang Tuah rumah berhala kiri kanan jalan itu dan beribu-ribu masjid terlalu indah-indah

perbuatannya dan beribu-ribu kemah khatifah yang sudah terbentang akan tempat segala saudagar berniaga dan berke dai‖ (HHT 466).

Orang-Orang Eropa

Untuk mendorong Sultan Istambul berkenan menerimanya, Hang Tuah menga- takan telah diterima oleh raja dari semua negara yang telah dikunjunginya, termasuk Portugal dan Belanda. Sebenarnya ia belum mengunjungi Eropa tetapi memang pernah berhubungan dengan orang Eropa, orang ―Ferenggi‖, artinya orang Portugis. Hubungan itu selalu bermusuhan dan, seperti kita ketahui, akan mengakibatkan kejatuhan kesultanan Malaka di kemudian hari.

Pertikaian pertama terjadi ketika adik Sultan Malaka dibawa ke Vijayanagar untuk dijadikan raja. Kapal-kapal yang mengantarnya diserang oleh armada tiga belas kapal Portugis. Pihak India dengan cepat mengalahkan armada itu dan berhasil membuat nakhodanya menyerah. Setelah putra raja Melayu dinobatkan, nakhoda itu digelarkan Seri Nala Sangguna dan diberi jabatan menjaga keamanan pelabuhan.

Orang itulah yang menyambut Hang Tuah di Negapatam ketika diutus ke Keling, dan yang menyuruhnya berlabuh di kawasan pelabuhan Portugis. Orang Portugis berusaha mengusirnya, tetapi orang Melayu bertahan dan menghindari pertempuran (HHT 346).

Demikian pula, setibanya di Tiongkok, kapal Hang Tuah, atas petunjuk Syahbandar, berlabuh di samping kapal Portugis, sehingga menimbulkan kemarahan mereka. Orang Melayu tidak ge ntar, malah tantangnya, ―Kami ini dagang, di mana Syahbandar suruh, kami duduk. Tetapi engkau hendak sama banyak pun baik atau sama seorang pun baik, karena Feringgi dan Melayu ini

seteru‖ (HHT 364). Misi Hang Tuah mendapat sukses penuh. Orang-orang Portugis bertambah kesal karenanya, berhubung surat kepercayaan mereka tidak diterima oleh Raja, maka begitu Hang Tuah kembali ke pelabuhan, mereka menyerangnya. Syahbandar menyuruh mereka bertempur di laut lepas, sedangkan seorang menteri Tionghoa berteriak, ―Sungguhlah Feringgi itu tidak berbudi!‖ (HHT 371). Begitu kapal Hang Tuah keluar pelabuhan, ia diserang oleh empat puluh kapal Portugis. Dengan mengucapkan satu mantra, ia berhasil melumpuhkan kekuatan meriam dan senapan sundut mereka. Orang Melayu balik menyerang. Keempat puluh kapal Portugis kalah (hanya tiga berhasil melarikan diri) dan orang-orang Portugis yang tidak melompat ke laut dibantai.

Dua orang Portugis yang berhasil melarikan diri melaporkan peristiwa itu kepada Gubernur Manila, yang meneruska nnya kepada ―Sultan Portugis‖ di Lisbon (HHT 428). Sebuah armada empat puluh kapal, masing-masing ditumpangi lima ratus orang dan lima puluh meriam, dikirim menyerang Malaka. Setelah pertempuran panjang dan gencar, banyak sekali orang Portugis tewas dan armada itu pulang ke Portugal. Orang Melayu sudah menang, tetapi

Sultan, Pahlawan dan Hakim

untuk pertama kali, Hang Tuah terkena tembakan yang membantingnya sepuluh depa ke belakang. Ia tidak luka tetapi selama tiga hari tidak dapat berbicara.