2. Kondisi Politik
Akar krisis bangsa yang berupa lemahnya mutu sumber daya manusia memang sudah tergambar sejak lama, dimana karut-marut politik yang melatar
belakanginya. Bahkan penjajah mengakui mustahil meningkatkan mutu kehidupan rakyat tanpa perombakan kekuasaan negara. Hanya saja mereka tidak
menganggap penjajahan harus dilenyapkan. Akibatnya betapa prihatin pun mereka akan kehidupan rakyat, penyelesaian mereka ibara
t ―mengantang asap‖, ditambah lagi, gejala kemunafikan yang sangat subur selama masa penjajahan.
Sekedar contoh, di tahun 1813, adalah Raffles yang pertama kali dalam sejarah penjajahan menjadi sosok penguasa yang ―mengantang asap‖. Lepas dari
motifnya hendak menunjukkan superioritas Inggris terhadap Belanda, dia berupaya mengahiri sistem monopoli pemerintah warisan Belanda. Ia memberikan
kebebasan berusaha kepada rakyat, sementara pemerintah hanya boleh memungut pajak bumi.
58
Pemerintahan Belanda sesudah Inggris berusaha mencoba lagi proyek yang serupa, tapi lagi-lagi gagal. Kegagalan ini menjadi bahan pelajaran bagi Van
den Bosch dalam melaksanakan tanam paksa. Van dan Bosch secara negatif mengukuhkan hubungan erat antara mutu SDM dan struktur kekuasaan.
Menurutnya, masyarakat akan bekerja hanya kalu dipaksa. Oleh karena itu, lupakan maksud untuk meningkatkan mutu kehidupan mereka sehingga tidak
perlu merombak kekuasaan raja-raja lokal. Penguasa lokal harus dijadikan sekutu. Sistem Tanam Paksa 1830-1870 terbilang sukses, namun rakyat Jawa
pingsan karena kemiskinan dan penderitaan. Keadaan bertambah buruk dengan masuknya modal swasta asing. Orang Belanda sendiri ramai-ramai memperotes,
dan protes itu lagi-lagi secara tersirat mengukuhkan kaitan yang erat antara SDM dan struktur, Perlakuan politik etis 1901 oleh pemerintah Kolonial Belanda,
mengakibatkan adanya kesenjangan intelektual dikalangan penduduk muslim bumi putra, yaitu intelektual agama ulama produk pendidikan pesantren
tradisional yang semakin tertutup atau menutup diri dari kemajuan duniawi dan
58
Nasruddin Anshory, Matahari Pembaharuan Yogyakarta: JB Press, 2007, h. 17.
intelektual Barat sekuler yang jauh dari wawasan agama. Tampaknya wajah Islam dengan sistem pendidikan yang tidak memberdayakan pikir itu erat kaitannya
dengan pemikiran Islam yang berkembang waktu itu. Pemikiran Islam di Indonesia, sampai awal abad ke-XX didominasi oleh pemikiran tradisional.
59
Di samping itu politik kolonial Belanda yang menyangkut bidang agama bersifat ambigius. Disatu pihak Belanda memandang Islam sebagai agama yang
harus diperlakukan secara netral, di pihak lain secara rill menyudutkan Islam dengan memperbesar kegiatan Kristen melalui bantuan finansial. Secara terbuka
pemerintahan kolonial menyatakan bahwa pemerintahan Hindia Belanda merupakan representasi sebuah negara Kristen. Dengan diikut sertakannya
sekolah-sekolah Kristen di awal masa kelahiran politik Etis 1901 dalam program pemerintah, merupakan bukti bahwa Kristenisasi masyarakat Indonesia
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari politik kolonial Hindia Belanda.Keberhasilan luar biasa misi ini dan pencapaiannya di segala bidang
dirasakan oleh kaum muslimin Indonesia, utamanya para ulama dan pemimpin umat sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan segala cara, jika mereka ingin
menjaga keutuhan agama mereka.
60
3. Sosial Budaya