Latar Belakang Infeksi Coccidia Dan Strongyloides Pada Sapi Bali Pasca Pemberian Mineral.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini yakni apakah ada perbedaan infeksi coccidia dan strongyloides pada sapi bali setelah diberikan tambahan dengan berbagai jumlah mineral dalam pakannya.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui infeksi coccidia dan strongyloides pada sapi bali pasca pemberian berbagai jumlah mineral.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai infeksi coccidia dan strongyloides pada sapi bali setelah diberikan tambahan mineral dalam pakannya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Bali

Sapi bali Bos sondaicus adalah jenis sapi asli Indonesia yang berasal dari keturunan banteng yang sudah didomestikasi dan merupakan plasma nutfah ternak asli Indonesia Wibisono, 2010. Sapi bali dengan mudah dapat beradaptasi di lingkungan yang buruk dan tidak selektif terhadap makanan. Selain itu, sapi bali cepat mempunyai anak, jinak dan mudah dikendalikan, serta memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang baik Batan, 2006. Melihat perkembangannya, sapi bali akan menjadi sapi potong utama di Indonesia. Hardjosubroto dan Astuti, 1993 mengatakan bahwa, saat ini banteng liar di Indonesia hanya ditemukan di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Dari galur yang lebih kecil, banteng juga ditemukan di perbatasan hutan Kalimantan Timur, Laos, Vietnam dan di Semenanjung Coubourgh di Australia Utara Scherf, 1995. Ditinjau dari segi sistematika ternak, sapi bali digolongkan ke dalam famili bovidae, genus bos dan subgenus bovine. Sapi yang termasuk dalam subgenus tersebut adalah Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus Hardjosubroto, 1994, sedangkan Williamson dan Payne 1993 menyatakan bahwa sapi bali Bos-bibos Banteng yang spesies liarnya adalah banteng digolongkan ke dalam famili bovidae, genus bos dan subgenus bibos. Sapi bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya banteng. Warna sapi bali betina, anak atau yang muda, biasanya merah bata dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah merah bata ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna merah bata. Pada sapi bali terdapat warna putih pada bagian belakang paha pantat yang disebut white mirror, bagian bawah perut, keempat kaki bawah white stocking sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas Hardjosubroto dan Astuti, 1993. Satu ciri yang lain dari sapi bali, yaitu pada sapi jantan yang dikebiri terjadi perubahan warna dari warna hitam kembali pada warna semula yakni merah bata yang diduga karena kurang tersedianya hormon testosteron sebagai hasil produk testes Darmadja, 1980. Karakteristik lain yang harus dipenuhi dari ternak sapi bali murni, yaitu bentuk tanduk. Bentuk tanduk sapi jantan yang paling ideal disebut silak congklok, dimana jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada sapi betina bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa, dimana jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi yang mengarah ke belakang dan sedikit melengkung ke bawah serta pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam Hardjosubroto, 1994. Sapi bali memberikan respon positif terhadap perbaikan pakan yang ditandai dengan meningkatnya laju pertambahan bobot badan. Rataan laju pertambahan bobot badan PBB sapi bali yang diberi rumput lapangan tanpa diberi pakan tambahan adalah 175,75 gekorhari, namun PBB harian meningkat jika diberi pakan tambahan konsentrat 1,8 hingga mencapai 313,88 gekorhari Amril dkk., 1990. Soemarmi dkk., 1985 melaporkan laju pertambahan bobot badan sapi bali yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu serta diberi tambahan konsentrat 1 mencapai 690 dan 820 gekorhari. Sapi bali yang diberikan tambahan 7,5 gr mineral, mampu membuktikan pertambahan bobot badan mencapai 0,8 kgekorhari Suwiti dkk., 2013. Sapi bali termasuk sapi unggul dengan reproduksi yang tinggi, mudah digemukan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis Hardjosubroto, 1994. Dari karakteristik karkas, sapi bali digolongkan sapi pedaging ideal ditinjau dari bentuk badan yang kompak dan serasi, bahkan nilainya lebih unggul dibandingkan sapi pedaging Eropa seperti hereford, shortorn Murtidjo, 1990. Persentase karkas sapi bali cukup tinggi yang berkisar 52-57,7, lebih baik dibandingkan sapi Ongole dan sapi Madura yang