Myasthenia Gravis

(1)

MYASTHENIA GRAVIS

FASIHAH IRFANI FITRI

NIP : 198307212008012007

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM

MALIK

MEDAN

2011


(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi i

Daftar Singkatan iii

Daftar Tabel iv

Daftar Gambar v

Daftar Lampiran vi

Abstrak vii

Abstract viii

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Tujuan 2

I.3. Manfaat 2

II. LAPORAN KASUS

II.1. Identitas Pribadi 3

II.2. Riwayat Perjalanan Penyakit 3

II.3. Pemeriksaan Fisik 3

II.4. Pemeriksaan Neurologis 4

II.5. Tes Kuantitatis 5

II.6. Pemeriksaan Penunjang 5

II.7. Kesimpulan Pemeriksaan 6

II.8. Diagnosis 6

II.9. Penatalaksanaan 6

II.10. Prognosis 6

III. TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Definisi 7

III.2. Epidemiologi 7

III.3. Klasifikasi 7

III.4. Patofisiologi 10

III.5. Etiopatogenesis 17

III.6. Gambaran Klinis 21

III.7. Prosedur Diagnostik 22

III.8. Diagnosis Banding 28

III.9. Penatalaksanaan 29

III.10. Prognosis 39


(3)

V. PERMASALAHAN 41

VI. KESIMPULAN 41

VII. SARAN 41

DAFTAR PUSTAKA 42


(4)

DAFTAR SINGKATAN

ACh : Acetylcholine

AChR : Acetylcholine receptor

AIDP : Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy APC : Antigen presenting cell

CMAP : Compound muscle action potentials CT : Computed tomography

EPP : End plate potential

IVIg : Intravenous immunoglobulin MAC : Membrane attack complex MG : Myasthenia gravis

MGFA ; Myasthenia gravis foundation of America MHC : Major histocompatibility complex

MIR : Main immunogenic region MND : Motor neuron disease

MRI : Magneting resonance imaging MSAB : Medical scientific advisory board MUAP : Motor unit action potential MuSK : Muscle specific kinase NMJ : Neuromuscular junction PEX : Plasme exchange

QMS : Quantitative myasthenia gravis scoring system RNS : Repetitive nerve stimulation


(5)

SFEMG : Single fiber electromyography DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Myasthenia berdasarkan klinis dari MGFA 9

Tabel 2. Uji diagnostik pada myasthenia gravis 23


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tempat kerja D-penicillamine 10

Gambar 2. Neuromuscular junction normal 11

Gambar 3. Struktur Presinaptik 12

Gambar 4. Struktur Postsinaptik 13

Gambar 5. Struktur Reseptor Asetilkolin 14

Gambar 6. Fisiologi neuromuscular junction normal 15

Gambar 7. Neuromuscular junction pada myasthenia gravis 16

Gambar 8. Targen antigen pada myasthenia gravis 18

Gambar 9. Mekanisme efektor antibodi anti AChR 19

Gambar 10. Instabilitas MUAP pada myasthenia gravis 27

Gambar 11 Pola respon decremental pada pemeriksaan RNS 28 Gambar 12 Algoritma penatalaksanaan myasthenia gravis 39


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Penderita Lampiran 2. Tes kuantitatif


(8)

ABSTRAK

Pendahuluan : Myasthenia gravis adalah kelainan autoimun yang disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada membran postsinaptik pada

neuromuscular junction yang ditandai dengan kelemahan dan kelelahan otot volunter.

Laporan Kasus : Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang dengan keluhan sulit membuka kelopak mata kiri, yang dialami sejak 2 bulan dan memberat dalam 1 bulan terakhir. Keluhan membaik setelah istirahat dan pada pagi hari. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai ptosis dan diplopia dengan tes kuantitatif. Pemeriksaan repetitive nerve stimulation menunjukkan respon decremental yang sesuai dengan myasthenia gravis.Pasien diterapi dengan pyridostigmine 60 mg dan prednisone 5 mg 3 kali sehari dimana pasien menunjukkan perbaikan.

Diskusi dan Kesimpulan : Diagnosis myasthenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis adanya kelemahan fluktuatif serta gambaran elektrofisiologi.Penatalaksanaan mencakup pemberian obat antikolinesterase dan imunosupresif dengan pilihan utama berupa kortikosteroid.

Kata Kunci : myasthenia gravis, neuromuscular junction, repetitive nerve stimulation, acetylcholine, immunosupresif


(9)

ABSTRACT

Introduction : Myasthenia gravis is an autoimmune disorder caused by autoantibodies against the nicotinic acetylcholine receptor on the postsynaptic membrane at the neuromuscular junction and characterised by weakness and fatigability of the voluntary muscles.

Case Report : A 43-year-old man was admitted to the hospital with weakness of left eye opening since 2 months berfore admission and worsened since the last 1 month.The weakness was improved in the morning or after the patient got rest. Neurologic examinaion revealed ptosis and diplopia with quantitative test. Repetitive nerve stimulation test showed decremental response that fitted myasthenia gravis. The patient was treated with pyridostigmine 60 mg and prednisone 5 mg three times daily and got improved.

Discussion and Conclusion : The diagnosis of myasthenia gravis was based on history and neurologic examination of fluctuating weakness and neurophysiologic examination. The treatment consists of anticholinesterase inhibitor and immunosuppressive with corticosteroid as the first choice.

Keyword : myasthenia gravis, neuromuscular junction, repetitive nerve stimulation, acetylcholine, immunosupressive


(10)

I. PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

Myasthenia gravis (MG) adalah kelainan autoimun yang ditandai dengan kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka yang disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap reseptor acetylcholine (ACh) nikotinik pada neuromuscular junction (NMJ).1 Myasthenia gravis merupakan kelainan yang cukup jarang dijumpai. Prevalensi MG sekitar 85-125 per satu juta penduduk dengan insidensi tahunan sekitar 2-4 per satu juta penduduk. Penyakit ini memiliki dua puncak kejadian, yang pertama antara 20 hingga 40 tahun yang didominasi wanita dan antara 60 hingga 80 tahun dengan perbandingan pria dan wanita yang seimbang.

Karakteristik klinis dari MG berupa kelemahan otot yang berfluktuasi dan dapat

2,3

melibatkan kelompok otot tertentu. Kelemahan mata dengan ptosis asimteris dan diplopia binokular adalah presentasi awal yang paling khas, sementara kelemahan orofaringeal atau ekstremitas dini lebih jarang dijumpai. Perjalanan klinisnya bervariasi, dan sebagian besar pasien dengan kelemahan okular pada awalnya akan mengalami kelemahan bulbar atau anggota gerak dalam waktu tiga tahun sejak onset gejala awal.2,3Myasthenia gravis memenuhi kriteria untuk suatu kelainan autoimun yang diperantarai antibodi, yaitu : (a) antibodi dijumpai pada area patologis, yaitu NMJ; (b) antibodi dari pasien MG atau antibodi anti reseptor ACh (AChR) dari hewan percobaan menyebabkan gejala

MG jika diinjeksikan ke hewan; (c) Imunisasi hewan dengan AChR menyebabkan penyakit tersebut; (d) terapi yang menghilangkan antibodi akan mengurangi keparahan gejala MG.4

Myasthenia gravis disebabkan oleh proses imunologis yang diperantarai antibodi pada membran postsinaptik.1-6 Pada pasien dengan kelemahan otot yang fluktuatif, diagnosis MG didukung oleh: 1. Tes edrofonium yang menyebabkan perbaikan kekuatan motorik yang nyata; 2. Tes elektrofisiologis dengan stimulasi saraf berulang (repetitive nerve stimulation/RNS) dan/atau single-fiber electromyography (SFEMG); dan 3. Tes serologi yang menunjukkan antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) atau terhadap muscle-specific tyrosine kinase

(MuSK).1,2

Diagnosis banding meliputi congenital myasthenic syndrome, Lambert Eaton syndrome, botulismus, keracunan organofosfat, acute inflammatory


(11)

demyelinating polyneuropathy (AIDP), motor neuron disease (MND),hipertiroid, dan iskemia batang otak 1,2 Penatalaksanaan bersifat individual dan termasuk pengobatan simtomatik dengan inhibitor cholinesterase dan immunomodulator

dengan kortikosteroid, azathioprine,cyclosporine,dan mycophenolate mofetil. Perbaikan sementara yang cepat dapat dicapai untuk krisis miastenia dan eksaserbasi dengan plasma exchange (PEX) atau intravenous immunoglobulin

(IVIG). Kemajuan dalan tes diagnostik, imunoterapi, dan perawatan intensif, menyebabkan prognosis menjadi lebih baik dengan dengan angka mortalitas kurang dari lima persen dan harapan hidup mendekati normal.1-4,7

I.2. TUJUAN

Laporan kasus ini dibuat untuk melaporkan satu kasus myasthenia gravis

dan membahas definisi, epidemiologi, patogenesis, gambaran klinis, prosedur diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, dan prognosis penderita

myasthenia gravis.

I.3 MANFAAT

Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat diperoleh penjelasan mengenai definisi, epidemiologi, patogenesis, gambaran klinis, penegakan diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari penderita myasthenia gravis.


(12)

II. LAPORAN KASUS II.1 ANAMNESIS

Seorang pria (N),43 tahun, suku Melayu, menikah, alamat Dusun Bukit barat Tanjung Putus Langkat, masuk ke RS Haji Adam Malik Medan tanggal 14 Februari 2011 dengan keluhan utama sulit membuka kelopak mata sebelah kiri.

II.2 RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT

Keluhan Utama : Sulit membuka kelopak mata sebelah kiri

Telaah : Hal ini dialami OS sejak 2 bulan sebelum masuk RS berlangsung hilang timbul dan terutama dirasakan OS setelah beraktifitas dan menjelang sore hari. Keluhan membaik jika OS beristirahat dan pada pagi hari. Sejak 1 bulan terakhir kelopak mata kiri selalu tertutup dan hanya sedikit terbuka setelah os beristirahat. Riwayat gangguan berbicara (-), gangguan mengunyah (-), gangguan menelan (-). Riwayat penyakit kronis (-).

RPT : - RPT : -

II.3 PEMERIKSAAN FISIK Status Presens

Sensorium : Compos mentis Tekanan darah : 130/90 mmHg Nadi : 72 x/menit, reguler Pernafaan : 20 x/menit

Temperatur : 36,8 C

Kepala : Normosefalik, ptosis (+) Thoraks : Simetris

Jantung : Bunyi Jantung normal, desah (-) Paru : Pernafasan Vesikuler, Ronkhi (-) Abdomen : Soepel, peristaltik normal

Hepar/ Lien : Tidak teraba

Kolumna Vertebralis : Dalam batas normal Leher/Aksilla/Inguinal : Dalam batas normal


(13)

II.4. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Sensorium : Compos Mentis

Tanda perangsangan meningeal : Tidak dijumpai

Tanda Peningkatan TIK : Nyeri kepala (-), muntah (-), kejang (-) Nervus Kranialis

N I : Sulit dinilai

N II, III : Pupil isokor Ø 3 mm, RC ( +/+) Funduskopi

Optic disc kanan kiri

- Warna merah terang merah terang - Batas tegas tegas

- Ekskavasio (+) (+) - Pembuluh darah

- A/V 2/3 2/3 Perdarahan retina (-) (-) Kesan : Normal

N III,IV,VI : Gerakan bola mata normal, ptosis kiri

N V : Motorik dan sensorik tidak dijumpai kelainan N VII : Sudut mulut simetris

N IX,X : Uvula medial, arkus pharing simetris, disartria (-), disfagi (-), disfoni (-)

N XII : Lidah istirahat medial Sistem Motorik

Trofi : Normotrofi Tonus : Normotonus

Kekuatan otot : ESD 55555 ESS 55555 EID

55555 55555

55555 ESS 55555 55555

55555

Reflek Fisiologis Kanan Kiri Biceps/ Triceps : + / + + /+ KPR / APR : + / + + / + Reflek Patologis : (-) (-)


(14)

Gejala Ekstrapiramidal : (-)

Sensibilitas : dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normal Vertebra : dalam batas normal Gejala Serebellar : tidak dijumpai Gejala ekstrapiramidal : tidak dijumpai Fungsi luhur : baik

II.5 TES KUANTITIF

No. Pemeriksaan Normal Hasil 1. Pandangan ganda saat lateral gaze, dtk 61 40 2. Ptosis (upward gaze),dtk 61 Spontan 3. Otot wajah Kelopak mata

tertutup

Kelopak mata tertutup

4. Menelan air (1/2 cangkir) Normal Normal 5. Menghitung 1 sampai 50 Disartria (-) Disartria (-) 6. Merentangkan lengan kanan , dtk 240 240

7. Merentangkan lengan kiri,dtk 240 240 8. Mengangkat kepala, dtk 120 120 9. Merentangkan tungkai kanan, dtk 100 100 10. Merentangkan tungkai kiri, dtk 100 100

II.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium Hb : 14,6 g%

Ht : 46,1 % Leukosit : 9.940/mm

Trombosit : 165.000/mm

3

3

T3 : 1.08 ng/mL (0.8-2)

T4 : 8.52 μg/dL (5-14) TSH : 0.694 U/Ml (0.27-4.2) 2. EKG : Dalam batas normal

3. Foto thorax : Dalam batas normal 4. Hasil pemeriksaan EMG :

Pemeriksaan Stimulasi Repetitif saraf pada M.Trapezius dextra dengan frekuensi 3 Hz menunjukkan penurunan (decrement) amplitudo gelombang respon > 10%, pada stimulasi dengan frekuensi yang dinaikkan terlihat kecenderungan penurunan amplitudo. (Harvey Masland Test Positif.)


(15)

Kesan : EMG sesuai dengan Myasthenia gravis II.7. KESIMPULAN PEMERIKSAAN

Telah diperiksa seorang pria, 43 tahun dengan keluhan utama kelopak mata kiri sulit dibuka yang dialami OS sejak 2 bulan sebelum masuk RS berlangsung hilang timbul yang terutama dirasakan OS setelah beraktifitas dan menjelang sore hari dan keluhan membaik jika OS beristirahat. Sejak 1 bulan terkahir kelopak mata kiri selalu tertutup dan hanya sedikit terbuka setelah os beristirahat dan pada pagi hari. Riwayat gangguan berbicara (-), gangguan mengunyah (-), gangguan menelan (-). Riwayat penyakit kronis (-).

Pada pemeriksaa neurologis dijumpai ptosis dan pada penjajakan klinis untuk tes kuantitatif dijumpaiptosis dan diplopia. Pada pemeriksaan EMG dengan kesimpulan Harvey Masland Test Positif.

II.8. DIAGNOSIS

Diagnosis Fungsional : Ptosis OS

Diagnosis Anatomis : Neuromuscular junction

Diagnosis Etiologis : Autoimun Diagnosis Banding : Ptosis OS ec :

1. Myasthenia gravis

2. Botulismus 3. Brainstem stroke Diagnosis kerja : Myasthenia gravis II.9. PENATALAKSANAAN

Pyridostigmin bromide 3 x 60 mg Prednison 3 X 5 mg

II.10. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia ad bonam Ad Functionam : Dubia ad bonam Ad Sanationam : Dubia ad bonam


(16)

III. TINJAUAN PUSTAKA

III.1. DEFINISI

Myasthenia gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan gejala kelemahan yang berfluktuasi yang melibatkan satu atau beberapa otot skelet yang disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin nikotinik pada area post-synaptic pada neuromuscular junction (NMJ).

III.2. EPIDEMIOLOGI

3

Myasthenia gravis adalah kelainan pada NMJ yang paling sering dijumpai. Insidensi tahunan dilaporkan sekitar 7.40 per satu juta penduduk (wanita 7.14 dan laki-laki 7.66) dan tingkat prevalensi sekitar 70.63 per satu juta penduduk (wanita 81.58; laki-laki 59.39). Myasthenia gravis dapat dijumpai pada setiap usia, namun dijumpai puncak bimodal, dengan insiden puncak pertama adalah pada dekade ketiga (terutama mengenai wanita) dan puncak kedua pada dekade keenam dan ketujuh (terutama mengenai laki-laki).1,2 Suatu tinjauan meta analisis menunjukkan bahwa rentang insidensi MG adalah 1.7 hingga 21.3 kasus per satu juta penduduk per tahun, dengan rentang prevalensi adalah 15 hingga 179 per satu juta penduduk. Insidensi pada kedua jenis kelamin meningkat seiring pertambahan usia, dengan puncak 60-80 tahun, namun terdapat kecenderungan jenis kelamin laki-laki pada kelompok usia yang lebih tua.Tingkat mortalitas nya adalah 0.06 hingga 0.89 per satu juta penduduk per tahun.8

III.3. KLASIFIKASI

Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan berdasarkan usia saat onset, dijumpai atau tidaknya anti-AChR antibodies, keparahan dan etiologi penyakit.

1. Usia saat onset

1

Myasthenia gravis dapat dibagi menjadi transient neonatal dan adult autoimmune.Transient neonatalMG disebabkan oleh transfer antibodi anti-AChR

melalui plasenta yang kemudian bereaksi dengan AChR pada neonatus. Hanya 10-15% bayi dengan antibodi ini menunjukkan gejala MG (hipotonia, menangis lemah, gangguan pernafasan, dll) dalam beberapa jam pertama setelah lahir.


(17)

Gejala biasanya menghilang dalam 1 – 3 minggu, namun terapi suportif sementara dan pyridostigmine tetap diperlukan.1

2. Anti- AChR antibodies

Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi seropositif dan seronegatif.

a. Seropositif 1

Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak dari acquired autoimmune MG.

Hampir 85% penderita generalized MG dan 50%-60% penderita ocular myasthenia menunjukkan hasil yang positif untuk anti-AChR antibody dengan

radioimmunoassay.

b. Seronegatif 1

Sekitar 10% - 20% penderita acquired MG tidak menunjukkan antibodi anti-AChR melalui radioimmunoassay.Seronegatif MG merupakan gangguan autoimun yang melibatkan antibodi yang menyerang satu atau lebih komponen sambungan saraf otot yang tidak terdeteksi dengan anti-AChRradioimmunoassay. Selain anti-MuSK antibodies, plasma dari pasien dengan MG mengandung faktor humoral lainnya.1

3. Keparahan Penyakit

Osserman mengklasifikasikan MG pada dewasa kedalam 4 kelompok, berdasarkan beratnya penyakit, yaitu :

1. Ocular Myasthenia, dimana hanya mengenai otot-otot okular,

1

2. Generalized Myasthenia gravis, (a) ringan, (b) sedang, 3. Generalized Myasthenia gravis Berat,

4. Myasthenia Krisis dengan gagal nafas

Pada tahun 1997 Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari

Myasthenia gravis Foundation of America (MGFA) membentuk gugus tugas untuk membuat klasifikasi dan penilaian outcome MG yang bertujuan mendapatkan keseragaman dalam pencatatan dan pelaporan hasil studi atau riset dari MG.1


(18)

Tabel 1 . Klasifikasi Myasthenia berdasarkan klinis dari MGFA

Dikutip dari: Barohn RJ. Standards of Measurements in Myasthenia gravis. Ann.N.Y.Sci. 2003; 998:432-39

4. Etiologi Penyakit

Terdapat 4 kelas berdasarkan etiologinya :

1. Acquired autoimmune

2. Transient neonatal disebabkan transfer maternal dari antibodi anti-AChR.

3. Drug Induced : D-penicillamine merupakan prototipe obat yang dapat mencetuskan MG. Presentasi klinis tampaknya identik dengan acquired autoimmune MG dan antibodi terhadap AChR dapat dijumpai. Obat lain yang dapat menyebabkan kelemahan yang menyerupai MG atau dapat


(19)

mengeksaserbasi kelemahan MG mencakup curare, aminoglikosida,

quinine, procainamide, dan calcium channel blocker.

4. Congenital myasthenic syndrome

Pada penggunaan penicillamine dapat dijumpai kejadian myasthenia gravis dengan onset dalam beberapa hari hingga bulan setelah paparan awal walaupun dapat dijumpai setelah beberapa tahun. Sindrom ini dapat menghilang dalam 2-6 bulan setelah penghentian obat. Penjelasan mengenai mekanisme drug-induced myasthenia gravis kini berfokus pada perubahan reaktivitas imunologis. Populasi limfosit B meningkat dan memproduksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme : (1) keadaan antigenik reseptor ACh berubah yang dapat menyulitkan ‘self-recognition’; (2) Hilangnya kontrol sel T supressor terhadap produksi antibodi oleh sel B; (3) stimulasi langsung terhadap sel B, yang menyebabkan peningkatan kadar antibodi. D-penicillamine menstimulasi prostaglandin E1 synthetase untuk menghasilkan prostaglandin E1, yang menempati allosteric site pada reseptor ACh. Hal ini dapat mengganggu ikatan ACh dengan reseptor. 9

Gambar 1.Tempat kerja D-penicillamine

Dikutip dari : Katz LJ, Lesser RL, Merikangas JR, et al. Ocular myasthenia gravis after D-penicillamine administration. British journal of ophtalmology 1989; 73: 1015-1018.

III.4. PATOFISIOLOGI

III.4.1. Anatomi Neuromuscular Junction Normal

Sebelum memahami tentang MG, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal NMJ sangatlah penting.Terdapat tiga komponen penting pada NMJ, yaitu presinaptik, celah sinaptik dan postsinaptik.1,4,7,10


(20)

Gambar 2. Neuromuscular junction normal

Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-700.

Presinaptik

Komponen presinaptik terdiri dari ujung saraf motorik dan struktur yang terkandung di dalamnya. Asetilkolin disintesis di terminal saraf dari asetil KoA dan kolin oleh kerja enzim choline transferase. Asetilkolin terdapat dalam vesikel dan dilepaskan ke celah sinaptik jika terdapat impuls saraf. Setiap vesikel berisi sekitar 8000-13000 molekul asetilkolin, yang disebut ‘quanta’. Pelepasan asetilkolin ke celah sinaptik akibat stimulus saraf membutuhkan kalsium dan proses ini disebut stimulus-secretion coupling. Influks kalsium terjadi melalui saluran kalsium yang voltage-gated. Masuknya kalsium memicu fusi dari vesikel dengan membran presinaptik sel saraf, sehingga isi dari vesikel dilepaskan ke celah sinaptik melalui proses eksositosis.1,7,10


(21)

Gambar 3. Struktur Presinaptik

Dikutip dari : Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGraw-Hill;2008.p 458-508.

Celah Sinaptik

Celah sinaptik dibagi menjadi celah sinaptik primer dan sekunder. Celah sinaptik primer adalah ruang yang memisahkan membran presinaptik dari membran postsinaptik. Celah ini berukuran sekitar 70 nm dimana luas dan panjangnya sama dengan panjang membran presinaptik. Celah ini tidak memiliki batas lateral yang tegas dan oleh karena itu, berkomunikasi dengan ruang ekstraseluler. Celah sinaptik sekunder adalah ruang antara junctional folds

pada membran postsinaptik dan berhubungan dengan celah primer.

Acetylcholinesterase paling banyak dijumpai pada celah sinaptik sekunder. Enzim ini menghidrolisis asetilkolin untuk mengakhiri transmisi neuromuskuler sehingga serat otot dapat dirangsang lagi.1,10


(22)

Postsinaptik

Permukaan membran sel otot pada sambungan neuromuskuler terdiri dari beberapa lipatan (lipatan junctional). Lipatan junctional normal memiliki slender stalk dan bagian puncak. Reseptor ACh sebagian besar terkonsentrasi pada puncak lipatan ini.

1,10

Gambar 4. Struktur Postsinaptik

Dikutip dari : Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGraw-Hill;2008.p 458-508.

Reseptor ACh adalah suatu glikoprotein yang terdiri dari lima sub-unit yang tersusun di sekitar saluran tengah. Pada otot yang diinervasi, subunit ini

terdiri dari dua α subunit, satu β subunit,satu δ dan satu ε subunit.1 Lokasi main immunogenic region (MIR) pada antibodi AChR terletak pada sub unit α.3 Dalam keadaan istirahat, saluran ion AChR tertutup. Ketika kedua situs subunit ditempati, saluran ion terbuka dan memungkinkan masuknya ion natrium ke dalam otot, yang menghasilkan depolarisasi parsial membran postsinaptik dan terbentuknya potensial eksitasi postsinaptik. Jika jumlah saluran natrium yang terbuka


(23)

mencapai ambang batas, potensial aksi akan terbentuk dan menyebar di sepanjang serabut otot.1,5,10

Gambar 5. Struktur reseptor asetilkolin

Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-700.

III.4.2. Fisiologi Neuromuscular Junction Normal

Asetilkolin dilepaskan dari membran presinaptik sebagai akibat dari impuls saraf. Asetilkolin yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor ACh

menyebabkan saluran kation reseptor terbuka sementara, menghasilkan potensial listrik endplate lokal (Endplate potential/EPP). Jika amplitudo ini cukup, akan terbentuk suatu potensial yang menyebar di sepanjang serat otot, sehingga memicu pelepasan kalsium dan menyebabkan kontraksi otot. Dengan stimulasi saraf berulang, jumlah asetilkolin yang dilepaskan semakin menurun setelah beberapa rangsangan yang disebut ‘synaptic rundown’. Dalam kondisi normal, amplitudo dari EPP lebih dari yang diperlukan untuk menghasilkan suatu potensial aksi yang memicu kontraksi otot. Kelebihan ini disebut ‘safety factor’.

Safety factor ini bergantung pada beberapa faktor termasuk jumlah asetilkolin dilepaskan dan jumlah dan integritas reseptor ACh. Pada MG, faktor ini berkurang. Penurunan safety factor bersamaan dengan ‘synaptic rundown’ yang normal menyebabkan penurunan kekuatan otot progresif pada stimulasi berulang pada MG.1


(24)

Suatu protein transmembran postsynaptic,muscle-specific tyrosine kinase

(MuSK) merupakan autoantigen utama pada beberapa pasien MG. Ekspresi MuSK terutama dijumpai pada NMJ,dan merupakan bagian dari reseptor agrin. Agrin adalah protein yang disintesis oleh motor neuron dan disekresi ke dalam lamina basal sinaptik. Sinyal yang dimediasi oleh interaksi agrin/MuSK memicu dan mempertahankan pengelompokan AChR dan protein postsynaptic lain yang bergantung rapsyn. Rapsyn, suatu protein membran perifer yang mengarah ke permukaan sitoplasma dari membran postsynaptic, diperlukan untuk pengelompokan AChR. Rapsyn menyebabkan pengelompokan protein NMJ selain

AChR, termasuk MuSK. Tikus percobaan yang kekurangan agrin atau MuSK akan mengalami kegagalan pembentukan NMJ dan mati pada kelahiran akibat kelemahan otot yang berat. 4

Gambar 6. Fisiologi Neuromuscular Junction

Dikutip Dari : Conti-fine BM, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia gravis: past, present, and future. J Clin Invest 2006; 116:2843-2854.


(25)

III.4.3. Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction pada Myasthenia gravis

Abnormalitas NMJ utama pada MG mencakup (a) penurunan jumlah reseptor ACh, (b) pemendekan lipatan sinaptik dan (c) pelebaran celah sinaptik disebabkan oleh pemendekan lipatan junctional (gambar 6). Perubahan ini dseibabkan oleh proses autoimun pada membran postsinaptik. Konsekuensi dari kelainan ini adalah berkurangnya safety factor. Seperti telah dibahas sebelumnya, pengurangan safety factor bersamaan dengan synaptic rundown yang normal menyebabkan penurunan progresif amplitudo EPP yang menyebabkan kelemahan

myasthenic ditandai dengan kelelahan akibat aktivitas yang terus-menerus.1

Gambar 7. Neuromuscular junction pada Myasthenia gravis

Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-700.

Struktur NMJ bervariasi antar otot dan dapat mempengaruhi kerentanan otot terhadap MG. Hal ini diilustrasikan oleh NMJ dari otot-otot ekstra okuler yang sangat rentan terhadap MG. Struktur NMJ otot ekstraokuler berbeda dari otot rangka dalam beberapa hal, dimana otot-otot ekstraokuler memiliki lipatan sinaptik yang kurang banyak, dan karenanya memiliki lebih sedikit AChRs postsynaptic dan saluran Na+, dan penurunan

safety factor. Otot-otot ini juga menunjukkan frekuensi neuronal firing yang sangat tinggi, yang menyebabkan otot-otot ini rentan terhadap kelelahan.


(26)

Otot-otot ekstraokuler juga lebih sedikit mengekspresikan regulator komplemen intrinsik, yang membuat mereka lebih rentan untuk mengalami cedera yang diperantarai komplemen.4

Pada MG dengan antibodi anti-AChR, autoantibodi dengan target reseptor asetilkolin (AChR) mengakibatkan blokade reseptor dan destruksi yag dimediasi komplemen, sehingga mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berinteraksi dengan ACh yang dilepaskan dari ujung saraf. Aktivasi komplemen menarik makrofag yang aktif, yang menyebabkan kerusakan yang signifikan pada lipatan sinaptik dan saluran natrium yang voltage-gated yang pada gilirannya meningkatkan ambang yang diperlukan untuk memulai potensial aksi otot. Konsekuensi dari hilangnya AChRs dan saluran natrium adalah berkurangnya ‘safety factor’ untuk transmisi neuromuskuler berkurang dan transmisi di

endplates gagal.6

III.5. ETIOPATOGENESIS

III.5.1. Peran antibodi anti reseptor asetilkolin (AChR antibodies)

Terdapat beberapa bukti yang mendukung peran antibodi dalam patogenesis MG: (a) Antibodi anti AChR ditemukan pada hampir 80-90% pasien, (b) antibodi anti AChR yang bersirkulasi ditemukan pada kasus-kasus transient neonatal MG dan kadar antibodi menurun seiring dengan perbaikan pasien, (c) transfer pasif antibodi dari pasien MG ke hewan percobaan menyebabkan penyakit yang serupa dengan MG, (d) plasmaferesis menurunkan kadar AChR dan menyebabkan perbaikan pada pasien MG, (E) antibodi berikatan dengan reseptor

ACh pada NMJ, (F) model eksperimental MG dapat disebabkan oleh imunisasi dengan AChR yang dimurnikan. Respons antibodi pada MG bersifat poliklonal. Pada satu pasien antibodi terdiri dari beberapa sub kelas IgG yang berbeda. Pada sebagian besar kasus, antibodi menyerang MIR pada subunit α. Sub unit α juga merupakan tempat pengikatan ACh, walaupun tempat ikatan ACh tidak sama dengan regio imunogenik.1 Sebagian besar antibodi AChR adalah subklas IgG1 dan IgG3, yang dapat mengaktivasi komplemen dan berikatan dengan MIR pada


(27)

Gambar 8. Target antigen pada myasthenia gravis

Dikutip dari : Hill M. The Neuromuscular Junction Disorders.J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003: 74 (suppl II): ii32-ii37.

Mekanisme efektor antibodi anti-AChR

Antibodi anti AChR mempengaruhi transmisi neuromuskuler transmisi melalui setidaknya 3 mekanisme: (a) mengikat dan aktivasi komplemen pada NMJ; (b) mempercepat degradasi molekul AChR yang bereaksi silang dengan Ab (suatu proses yang dikenal sebagai modulasi antigen), dan (c) blok fungsional AChR. Pada NMJ pasien MG dijumpai fragmen dari komponen komplemen 3 (C3), terminal komplemen 9 (C9), dan membrane attack complex

(MAC).1,3,4,5 Berbagai bukti menunjukkan bahwa aktivasi komplemen pada NMJ

tampaknya merupakan penyebab utama hilangnya AChR dan kegagalan transmisi neuromuskuler.4,5 Sel dilindungi dari aktivasi komplemen autolog pada permukaannya oleh apa yang disebut sebagai regulator komplemen intrinsik. Hal ini termasuk decay accelerating factor (DAF atau CD55), protein kofaktor membran (MCP atau CD46), dan inhibitor lisis reaktif membran (MIRL atau CD59). Modulasi antigenik adalah kemampuan dari suatu Ab untuk bereaksi silang dengan 2 molekul antigen, sehingga memicu sinyal seluler yang menyebabkan percepatan endositosis dan degradasi molekul yang bereaksi tersebut. Antibodi dari pasien MG menyebabkan modulasi antigenik AChRin vivo


(28)

dan in vitro. Jika percepatan degradasi tidak dikompensasi dengan peningkatan sintesis AChR,hal ini akan menyebabkan pengurangan molekul AChR yang tersedia di NMJ dan gejala myasthenia. Namun, tidak semua antibodi anti-AChR

menyebabkan modulasi antigen karena meskipun semua antibodi memiliki 2 tempat pengikatan antigen, lokasi epitop pada permukaan AChR dapat membatasi kemampuan antibodi untuk bereaksi silang dengan molekul AChR. Blok fungsional reseptor AChR akibat ikatan antibodi dengan ACh adalah mekanisme patogen yang jarang di MG, namun secara klinis sangat penting. Hal ini karena ikatan Ab ke reseptor ACh menyebakan kelemahan otot yang akut dan berat pada hewan percobaan tanpa peradangan atau nekrosis NMJ.1,4

Gambar 9. Mekanisme efektor antibodi AChR

Dikutip dari : Conti-fine Bm, Milani M, kaminski HJ. Myasthenia gravis: past, present, and future. J Clin Invest 2006; 116:2843-2854.


(29)

III.5.2. SeronegativeMyasthenia gravis

Sekitar 10-20% pasien dengan MG tidak menunjukkan antibodi anti-AChR

dan disebut seronegatif. Pasien-pasien ini memiliki antibodi yang bersirkulasi yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan radioimmunoassay untuk antibodi

AChR. Antibodi ini mampu menghancurkan reseptor ACh pada kultur dan jika diinjeksikan ke hewan percobaan menimbulkan penyakit yang menyerupai MG. Akhir-akhir ini terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa pada sebagian besar pasien seronegatif memiliki antibodi terhadap MuSK.1 Antibodi anti MuSK dijumpai pada sepertiga pasien dengan miastenia general. Pasien dengan MuSK lebih sering wanita dan dapat menunjukkan kelemahan nyata pada bulbar, leher, gelang bahu dan pernafasan.2,3 Antibodi anti-striated muscle bereaksi dengan elemen kontraktil pada otot rangka dan dijumpai pada sekitar 30% pasien dengan

MG onset dewasa.2 Antibodi ini tidak hanya bereaksi dengan antigen pada otot rangka, namun juga dengan sel neoplastik epitel pada timoma. Antibodi lain yang terlibat dalam patogenesis MG mencakup antibodi terhadap titin, RyR dan

rapsyn.3

III.5.3. Peran Sel T

Walaupun MG terutama disebabkan oleh antibodi (yang diproduksi oleh sel B) terhadap reseptor ACh, sel T juga terbukti berperan penting dalam patogenesis. Secara in vitro, sel T dapat meningkatkan produksi antibodi terhadap reseptor ACh. Sel T-helper (CD4+) menunjukkan respon terhadap antigen yang secara enzimatis telah diproses oleh antigen presenting cell (APC) dan berhubungan dengan molekul MHC kelas II. Sel T yang teraktivasi menyebabkan proliferasi sel B dan sekresi antibodi terhadap reseptor ACH.1

III.5.5. Peran Timus

Hubungan antara MG dan timoma telah dijumpai lebih dari 200 tahun lalu. Abnormalitas timus dijumpai pada sekitar 75% pasien dengan MG, yang terdiri dari hiperplasia germinal pada 85% dan tumor pada 15%.1 Produksi antibodi yang berkelanjutan bergantung pada sel T regulatori dan timus merupakan organ penting untuk edukasi sel T dan eliminasi sel T autoreaktif. Sembilan puluh persen pasien MG menunjukkan abnormalitas timus yang terdiri dari hiperplasia timus (70%) dan timoma (20%), dan timektomi merupakan pilihan terapi yang


(30)

cukup penting pada MG. Timus merupakan organ utama untuk produksi limfoit. Prekursol sel T bermigrasi dari sum sum tulang ke timus di sepanjang masa kehidupan. Setelah masa remaja timus mengalami penurunan ukuran yang progresif akbat penurunan sel epitel timus dan penurunan timopoesis.11

III.6. GAMBARAN KLINIS

Penyakit-penyakit dengan gangguan transmisi neuromuskular, terutama

MG, memiliki gambaran klinis yang membedakannya dari penyakit neuromuskular lain. Salah satunya adalah gambaran kelemahan yang berfluktuasi dan pola kelemahan yang cukup khas dimana sebagian besar menunjukkan kecenderungan untuk mengenai otot yang diinervasi oleh saraf kranial. Dasar dari hal ini tidak sepenuhnya dipahami tetapi, dalam kasus MG, tampaknya terkait dengan perbedaan dalam jenis dan distribusi NMJ.Pola dan intensitas kelemahan dalam MG bisa sangat bervariasi. Dapat bersifat fokal, multifokal, atau difus. Setiap otot volunter dapat terkena, meskipun otot yang paling rentan adalah otot yang dikendalikan oleh saraf kranial motorik.7

Biasanya, pasien datang dengan riwayat kelemahan dan kelelahan otot pada aktivitas berkelanjutan atau berulang-ulang yang membaik setelah beristirahat. Gejala bervariasi dari hari ke hari dan dari jam ke jam, biasanya meningkat menjelang malam. Otot-otot yang paling sering terkena secara berurutan adalah : m. levator palpebra, otot ekstraokular, otot proksimal ekstremitas, otot-otot ekspresi wajah, dan ekstensor leher.

Sekitar setengah dari pasien MG awalnya akan menunjukkan gejala okular saja. Ptosis, yang sering bersifat parsial dan unilateral,merupakan gambaran yang sering dijumpai dan bersifat fluktuatif.

1,12

1,7

Kelemahan okular dengan ptosis asimetrik dan diplopia binokular merupakan gejala awal yang peling sering dijumpai.2 Ptosis merupakan gejala awal pada 50-90% pasien, sementara 15% mengeluh penglihatan kabur atau diplopia. Jika tidak muncul sebagai gejala awal, keterlibatan otot okular eksternal dijumpai pada 90-95% dari pasien pada suatu waktu dalam perjalanan penyakitnya. Ptosis dapat lebih jelas setelah upgaze

berkelanjutan dan merupakan manuver provokatif yang sering dilakukan. Ptosis dapat berhubungan dengan kontraksi otot frontalis ipsilateral untuk membantu mengkompensasi kelemahan otot levator palpebra. Elevasi kelopak mata yang


(31)

berlebihan atau tanda Cogan’s lid twitch dapat dijumpai saat gaze diarahkan dari bawah ke atas.

Lebih dari tiga perempat pasien MG awalnya menunjukkan keluhan visual berupa ptosis atau pandangan ganda, dan sekitar setengah pasien dengan manifestasi okular akan menjadi general dalam enam bulan.Sekitar 80% pasien

MG akan menjadi general dalam dua tahun dan sekitar 90% dalam tiga tahun. Beberapa studi restrospektif menunjukkan bahwa terapi awal dengan prednisolone oral dapat memperlambat onset dan tampaknya juga memperlambat perkembangan penyakit dari miastenia okular menjadi general.

1,2,7,12

Wajah dapat terlihat tanpa ekspresi. Mulut dapat terbuka dan pasien mungkin harus menyangga rahangnya dengan jari. Ketika pasien berusaha untuk tersenyum, wajah tampak menyeringai. Suara dapat hypophonic karena kelemahan pita suara atau otot ekspirasi. Pasien dapat menunjukkan disartria sebagai akibat kelemahan dari bibir, lidah, atau pipi. Kelemahan dapat tampak lebih jelas dengan aktivitas otot. Disfonia dapat dijumpai sebagai akibat dari kelemahan laring. Disfagia adalah gambaran umum akibat kelelahan otot yang terlibat dalam mengunyah dan menelan.

13

1,7 Perkembangan kelemahan pada MG

biasanya terjadi dalam arah kraniokaudal. Myasthenia gravis juga dapat mengenai ekstremitas. Kelemahan otot tungkai terutama mengenai bagian proksimal otot.1-3,7,12 Krisis miastenia adalah suatu eksaserbasi MG yang ditandai dengan bertambahnya kelemahan yang menyebabkan episode gagal nafas akut yang menyebabkan ventilasi mekanik. Kelemahan dapat melibatkan otot-otot

pernafasan atau kelemahan bulbar, yang mengganggu airway. Krisis miastenia

adalah komplikasi MG yang paling berbahaya dan mengancam hidup yang memerlukan perawatan intensif. Krisis miastenia biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset MG (74% pasien) dan 15-20% pasien dengan MG akan

mengalami krisis miastenia.10

III.7. PROSEDUR DIAGNOSTIK

Prosedur diagnostik yang lazimnya digunakan untuk diagnostik MG

terlihat pada tabel 2. Diagnosis MG biasanya ditegakkan terutama berdasarkan gambaran klinis dan hasil pemeriksaan antibodi dan tes neurofisiologi.1


(32)

Tabel 2. Uji diagnostik pada myasthenia gravis

Dikutip dari : Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-700

Tes kuantitatif / quantitative MG scoring system (QMG) saat ini (Tabel 3) merupakan pengembangan dan modifikasi tes sebelumnya. Tes ini terdiri dari 13 butir yang masing-masing dinilai 0 hingga 3 dimana 3 menunjukkan keadaan yang paling berat. Tes ini direkomendasikan oleh Task Force Myasthenia gravis Force of America (MGFA) untuk digunakan pada studi-studi prospektif dari terapi

MG.

III.7.1. UJI KUANTITATIF


(33)

Tabel 3. Tes kuantitatif pada myasthenia gravis

Dikutip dari : Barohn RJ. Standards of measurements in Myasthenia gravis. Ann N Y Sci 2003; 998: 432-439.

Tes edrofonium (tensilon) dapat membantu dalam mendiagnosis MG. Edrofonium adalah antikolinesterase short-acting,dengan onset kerja 30 detik dan efeknya akan bertahan selama sekitar lima menit.

III.7.2. TES TENSILON

1,2,7

Pemberiannya akan menyebabkan peningkatan ketersediaan ACh sementara di NMJ yang cukup untuk


(34)

meningkatkan kekuatan secara sementara. Untuk melakukan tes edrofonium, diperlukan akses vena dan dimulai dengan pemberian edrofonium dengan dosis 2 mg (0,2 ml), karena beberapa pasien sangat sensitif dengan dosis rendah. Jika tidak ada respon setelah 30 detik, sisa 8 mg diberikan secara bertahap yaitu 2 mg setiap 10-15 detik.1,7 Tes ini dilaporkan positif jika ada perbaikan kelemahan yang nyata.Oleh sebab itu, tes ini paling bermanfaat pada pasien dengan ptosis yang signifikan atau kelemahan otot ekstraokuler yang dapat dinilai secara objektif. Tes edrofonium memiliki risiko yang serius berupa bradikardi dan / atau hipotensi. Oleh karena itu, tes ini harus dilakukan hanya bila diagnosis

myasthenia gravis sangat mendesak dan ada fasilitas untuk resusitasi.1,2,7 Sensitivitas tes edrofonium dilaporkan 86% pada MG okular dan 95% untuk MG

general. 2

III.7.3. ICE PACK TEST

Tes ini dapat digunakan jika dijumpai ptosis. Pemberian kompres es pada kelopak mata yang terkena dampak memperbaiki ptosis karena MG pada 80% kasus tetapi tidak memperbaiki ptosis akibat etiologi lain. Respon dapat dijelaskan atas dasar peningkatan safety factor pada NMJ dengan pendinginan lokal yang mungkin disebabkan oleh melambatnya kinetik AChR. Respon tidak sepenuhnya disebabkan oleh istirahat. Tes ini jauh lebih sederhana daripada tes edrofonium dan tidak memerlukan pemantauan jantung.1

III.7.4. UJI SEROLOGIS

Antibodi AChR dijumpai pada sebagian besar pasien MG. Terdapat tiga tipe antibodi yang terdeteksi, yaitu AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies dan AChR-blocking antibodies. Peningkatan kadar satu atau lebih dari ketiga antibodi tersebut dijumpai pada 80-90% pasien MG. Antibodi AChR -binding adalah antibodi yang paling sering diuji dan diidentifikasi.7 Pengukuran antibodi AChR binding menggunakan AChR skeletal manusia yang dimurnikan dan diinkubasi dengan imunoglobulin serum pasien. Uji ini sangat spesifik. Antibodi AChR binding dijumpai pada 80% pasien miastenia general dan hanya pada 55% pasien dengan miastenia okular. Uji antibodi AChR-modulating

mengukur tingkat degradasi labeled AChR. Antibodi AChR-blocking berkompetisi untuk tempat pengikatan ACh atau menghambat ikatan antara α-bungarotoxin,


(35)

suatu antagonis kolinergik yang irreversible, dengan AChR. 2,4 Tes serologis kini dianggap sebagai baku emas dalam diagnostik. Tes ini sangat spesifik untuk MG. Titer antibodi tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit.1 Pada pasien dengan gejala MG yang tidak menunjukkan antibodi anti-AChR, uji serologis dapat ditujukan untuk mengetahui adanya anibodi anti-MusK. Sekitar 5% pasien MG

tidak menunjukkan antibodi terhadap reseptor ACh maupun anti-MuSK.4

III.7.5. ELEKTROFISIOLOGI

Pemeriksaan konduksi sensorik dan motorik biasanya normal. Terdapatnya variabilitas motor unit action potential (MUAP) yang tidak stabil merupakan temuan yang sangat membantu dalam diagnosis MG (Gambar 9). Untuk melakukannya, MUAP tunggal ini diisolasi dan dilihat berulang-ulang menggunakan delayed trigger line bersama dengan peningkatan filter setting

frekuensi rendah (500 Hz) dan kecepatan sweep yang cepat (1-2 m/s). Variabilitas

MUAP ini analog dengan respon decremental respon pada stimulasi berulang,

blocking pada single fiber electromyography (SFEMG), dan kelemahan fatigable

yang dialami oleh pasien. Uji elektrodiagnostik yang lazim digunakan untuk mengidentifikasi gangguan transmisi neuromuskular postsynaptic adalah respon

decremental terhadap stimulasi berulang yang lambat, dengan frekuensi ≤ 5 Hz, dimana 2 atau 3 Hz biasanya digunakan. Dalam keadaan normal, compound muscle action potentials (CMAPs) dengan amplitudo yang sama akan terjadi tanpa batas karena safety margin dari EPP. 4,7

Tes elektrofisiologi yang lazim digunakan adalah RNS dan SFEMG. Stimulasi saraf berulang menunjukkan penurunan amplitudo progresif dari CMAP

pada stimulasi keempat ketika saraf diberikan stimulasi listrik supramaksimal berulang dengan frekuensi 3 Hz. Pada subjek normal, respon keempat dapat juga sedikit lebih kecil daripada yang pertama, tetapi penurunan tersebut tidak lebih dari 7%. Jika pengurangan amplitudo > 10%, tes ini disebut positif (respon

decremental). 1,2 Dengan stimulasi saraf yang rendah (2-5 Hz), RNS mengurangi simpanan ACh pada NMJ. Hal ini menurunkan safety factor dan transmisi neuromuskular. Pada kelainan NMJ, safety factor mengalami penurunan dan penurunan lebih lanjut oleh RNS menyebabkan EPP gagal mencapai ambang depolarisasi. Ini menyebabkan kegagalan untuk menimbulkan potensial aksi pada


(36)

otot. Dengan penurunan potensial aksi setrabut otot, CMAP menjadi berkurang dalam hal amplitudo dan area dengan respon decremental.2

Gambar 9. Instabilitas MUAP pada myasthenia gravis

Dikutip dari : Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGraw-Hill;2008.p 458-508.

Single fiber electromyography adalah tes yang paling sensitif pada MG. Pada tes ini, potensial aksi yang dihasilkan oleh serabut otot yang berdekatan dari motor unit yang sama, dicatat dengan elektroda. Ketika satu motor unit diaktifkan, potensial aksi yang mencapai serabut otot tidak semua synchronous. Rerata perbedaan antara dua serabut disebut 'jitter’ dan normalnya kurang dari 55 μsec. Pada myasthenia gravis, interval atau jitter ini meningkat dan biasanya > 100 msec. Ini disebabkan oleh EPP yang rendah dan decremental pada MG. Dapat dipahami bahwa EPP dengan amplitudo yang lebih rendah memakan waktu lebih lama untuk mencapai ambang batas untuk mengaktifkan potensial aksi pada serabut otot dibandingkan dengan amplitudo EPP normal. 2,3,7


(37)

Gambar 10. Pola respon decremental pada pemeriksaan RNS

Dikutip dari : Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGraw-Hill;2008.p 458-508.

III.7.6. Pencitraan

Computed tomography (CT) / manetic resonance imaging (MRI) toraks digunakan untuk skrining adanya tumor timus. Pencitraan dapat digunakan setelah timektomi untuk mencari sisa jaringan timus pada pasien yang tiba-tiba memburuk. Timus biasanya dapat terlihat sampai dengan pertengahan dewasa. Menetapnya bayangan timus setelah usia 40 tahun atau pembesaran timus pada

scan serial seharusnya segera dicurigai tumor timus.1

III.8. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding termasuk gangguan lainnya di mana tanda-tanda dan gejala utama berupa gangguan motorik.7 Sejumlah kondisi dapat menyerupai MG, yang terdiri dari gangguan NMJ lainnya (Lambert-Eaton syndrome, botulismus,


(38)

neuromyotonia didapat,dll), miopati dan penyakit batang otak (misalnya, iskemik, inflamasi, dan neoplastik) jika miastenia terbatas hanya menunjukkan keterlibatan bulbar, AIDP dan varian AIDP yang mengenai otot kranial seperti Miller-Fisher

dan cervical-brAChial-pharyngeal.1,2

Lambert-Eaton syndrome adalah gangguan autoimun pada NMJ yang bermanifestasi sebagai kelemahan otot dan sering dikaitkan dengan karsinoma paru. Botulismus dapat menyebabkan kelemahan umum, ophthalmoplegia internal dan eksternal, dan kelumpuhan pernapasan. Hipertiroidisme dapat dengan mudah dieksklusikan dengan uji fungsi tiroid yang harus diperiksa secara rutin dalam evaluasi MG. Miastenia okular harus dibedakan dengan ophthalmoplegia eksternal progresif, penyakit Grave’s okular dan space occupying lesion

intrakranial.1

III.9. PENATALAKSANAAN

Terdapat berbagai modalitas terapi pada MG: (1) inhibitor AChE, (2) imunomodulator, (3) plasma exchange dan (4) timektomi. 4,7 Rejimen pengobatan bersifat individual bergantung pada keparahan penyakit, usia, keadaan timus, masalah medis lainnya.2,7 Tujuan terapi adalah untuk mencapai fungsi neuromuskular senormal mungkin dengan efek samping yang minimal.2 Pengobatan MG dapat terdiri dari tiga langkah: (1) pengobatan awal biasanya dengan penggunaan inhibitor acetylcholinesterase. Namun, obat ini biasanya tidak cukup untuk mengendalikan penyakit dan terapi tambahan diperlukan pada sebagian besar pasien. (2) Sering diperlukan obat imunomodulator, berupa timektomi atau kortikosteroid dosis tinggi. (3) Untuk jangka panjang, obat

steroid-sparing biasanya ditambahkan untuk memfasilitasi fase tapering. Terapi jangka pendek yaitu,IVIg atau PEX mungkin efektif dalam tahap awal pengobatan, sebelum timektomi, atau pada saat eksaserbasi.1

Apakah pasien dengan gejala okular murni mendapat manfaat dari terapi ini masih kontroversial, baik dalam hal perbaikan gejala atau mempengaruhi perjalanan penyakit. Dasar bukti untuk membantu menentukan keputusan ini masih terbatas. Beberapa ahli berpendapat bahwa adanya temuan elektrofisiologi dapat membenarkan pengobatan lebih agresif.Terapi konservatif simptomatik dengan pyridostigmine dan pendekatan nofarmakologis umumnya merupakan rekomendasi awal.

7


(39)

Terapi imunomodulator pada ocular myasthenia dapat diberikan pada pasien yang refrakter terhadap tindakan konservatif, yang kualitasnya hidup dipengaruhi oleh gejala-gejala penyakit, dan yang dapat memahami dan menerima risiko dan ketidakpastian yang terkait dengan terapi ini. Dalam kasus-kasus seperti ini, prednison dapat diberikan dengan peningkatan bertahap. Awalnya, dosis prednison 20 mg sehari dan dosis ditingkatkan sebesar 5 mg setiap 3-5 hari sampai gejala menghilang. Dosis ini dipertahankan selama satu bulan dan kemudian dosis perlahan diturunkan (tidak lebih cepat dari 5 mg setiap 2 minggu hingga 20 mg per hari dan kemudian dengan 2,5 mg setiap 2 minggu).7

Sebagian besar pasien tampaknya memerlukan terapi imunosupresif jangka panjang untuk mengontrol gejala okular mereka. Dalam kasus-kasus tersebut,upaya dilakukan untuk mempertahankan mereka pada dosis prednison serendah mungkin (sebaiknya berselang hari) dan / atau obat imunomdulasi lini kedua. Pada pasien dengan general MG, pendekatannya dimulai dengan

pyridostigmine, prednison, serta agen imunomodulasi kedua (misalnya,

azathioprine) secara bersamaan. Strateginya adalah untuk mengendalikan gejala dengan pyridostigmine, mencapai kontrol yang lebih baik dan lebih tahan lama dalam beberapa minggu dengan menggunakan prednison, dan akhirnya untuk mempertahankan kontrol jangka panjang dengan azathioprine. Setelah pasien mencapai remisi klinis dengan prednison, dosis perlahan-lahan diturunkan (misalnya, 10 mg setiap 2 minggu) dengan harapan munculnya efek azathioprine

pada saat pasien berada pada kondisi dosis steroid yang ‘chronically acceptable’ (20 mg per hari atau kurang). Jika ada keraguan tentang kemampuan pasien untuk menelan,bernapas, atau menghindari aspirasi, pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit dan pemberian intravena imunoglobulin atau plasma exchange dapat dipertimbangkan.

7

III.9.1 Inhibitor asetilkolinesterase

Inhibitor AChE, pyridostigmine bromide (Mestinon),biasanya akan memperbaiki kelemahan pada pasien dengan MG. Dengan menghambat AChE pada metabolisme ACh secara sementara, jumlah ACh dan durasi efeknya pada

NMJ akan meningkat. Hal ini memungkinkan interaksi ACh dengan jumlah reseptor ACh yang cukup untuk menghasilkan EPPsuprathreshold pada NMJ.1,3,7 Obat inhibitor AChE adalah obat pertama yang diberikan dalam manajemen MG


(40)

(good practice point).14 Inhibitor AChE merupakan terapi simptomatik pada MG

dan tidak memperlambat proses autoimun pada NMJ. Peranan obat ini adalah sebagai terapi pada miastenia ringan atau okular, pada pasien yang tidak dapat mendapat imunosupresi dan sebagai terapi tambahan pada pasien yang mendapat imunoterapi dengan kelemahan yang masih ada.

Pyridostigmine dimulai pada orang dewasa dengan dosis 30 tiga kali sehari dan dapat dinaikkan hingga 90 mg tiga hingga empat kali sehari Pada anak-anak, pyridostigmine dimulai pada dosis 1,0 mg/kg. Dosis secara bertahap dititrasi sesuai keperluan untuk mengontrol gejala myasthenia tanpa menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan. Sebagian besar pasien dewasa memerlukan dosis 60-120 mg dalam setiap 4-6 jam. Dosis tidak boleh melebihi 600 mg per hari pada dewasa dan 7 mg/kg pada anak-anak.

2

1,2,7

Keuntungan utama dari obat ini adalah onsetnya yang cepat (dalam 15-30 menit) dengan durasi kerja sekitar empat jam, dan efek puncak didapat dalam 45 menit.1,2 Efek samping inhibitor

asetilkolinesterase berhubungan dengan peningkatan aktivitas muskarinik dan termasuk mual, muntah, kram perut, diare, peningkatan sekresi liur dan bronkial, bradikardia.1,2,7

Pemberian pyridostigmine yang berlebihan dapat mengakibatkan krisis kolinergik di mana akumulasi ACh di reseptor ACh mendesensitisasi atau memblok reseptor yang menyebabkan peningkatan kelemahan. Jenis krisis ini perlu dibedakan dari krisis myasthenia.

7

Krisis kolinergik ditandai dengan perburukan kelemahan, hipersalivasi, nyeri abdominal dan diare. Penatalaksanaan terdiri dari penurunan dosis dan terapi suportif.1,2

III.9.2. Imunosupresif III.9.2.1. Kortikosteroid

Agen imunosupresif yang paling sering digunakan adalah kortikosteroid1,2,4 dan merupakan obat pilihan pertama jika diperlukan pemberian obat imunosupresif pada MG (good practice point)15. Berbagai percobaan telah menunjukkan efektivitas kortikosteroid dalam pengobatan MG. Pengobatan kortikosteroid menyebabkan perbaikan yang nyata (45%) atau remisi (30%) pada sebagian besar pasien dengan myasthenia.7 Perbaikan biasanya terlihat dalam 2-4 minggu dengan manfaat maksimal terlihat pada 6-12 bulan atau lebih.1


(41)

Walaupun mekanisme kerjanya belum diketahui dengan pasti, kortikosteroid memliki berbagai efek pada sistem imun mencakup penurunan produksi sitokin.2 Manfaat klinis steroid tampaknya berhubungan dengan penurunan proliferasi dan diferensiasi limfosit, redistribusi limfosit ke jaringan yang bukan merupakan tempat imunoreaktivitas, perubahan ekspresi sitokin (terutama TNF, Il-1, dan IL-2), inhibisi fungsi makrofag dan presentasi antigen, dan mungkin juga peningkatan sintesis reseptor ACh.4

Kortikosteroid sering digunakan sebagai imunoterapi awal pada pasien dengan MG okular dan general, terutama pasa pasien dengan respon ynag tidak memuaskan terhadap inhibitor AChE. Obat ini memberikan perbaikan yang cepat pada MG walaupun berhubungan dengan efek samping yang nyata dan kadang kala menimbulkan eksaserbasi yang serius dalam 2 minggu pertama terapi.

2

Terdapat dua strategi pengobatan dengan prednison yang umumnya digunakan pada pasien dengan MG: (1) Dosis-tinggi harian agresif pada awal pengobatan dan (2) pendekatan start low go slow.7

Prednisone dimulai dengan dosis 1,5-2 mg/kg/hari atau biasanya 60-80 mg/hari (sampai 100 mg) selama 2-4 minggu, kemudian kekuatan otot dinilai. Jika kekuatan otot membaik, maka pasien kemudian dialihkan ke rejimen hari-berselang.

2,7

Hal ini dapat dilakukan dengan mempertahankan dosis tinggi pada hari-hari ganjil dan ke nol pada hari-hari genap. Peralihan dapat juga dicapai dengan menurunkan dosis pada hari berselang, misalnya, 100 mg pada hari-hari ganjil dan 80 mg pada hari genap. Dosis yang lebih tinggi dipertahankan sampai kekuatan telah normal atau mencapai perbaikan menetap. Selanjutnya, prednison diturunkan perlahan, misalnya, dengan mengurangi 5 mg setiap 2-3 minggu sampai 20 mg qod tercapai. Setelah 20 mg qod, penurunan umumnya berlangsung lebih lambat, dengan penurunan 1-2,5 mg. Biasanya pada dosis rendah inilah pasien kambuh sehingga kebanyakan pasien akan memerlukan tambahan obat-obatan imunosupresif. Tujuannya adalah untuk menemukan dosis terendah untuk mempertahankan kekuatan otot.7

Pendekatan ‘start low go slow’ dimulai dengan dosis 15-20 mg/hari dan dosis perlahan-lahan ditingkatkan sebesar 5 mg setiap 2-4 hari atau lebih sampai dijumpai perbaikan yang nyata atau pasien dapat dipertahankan dengan dosis prednison 20 mg/hari. Sayangnya, perbaikan dengan dosis ini memakan waktu lebih lama dengan pendekatan sehingga tidak memuaskan pada pasien dengan


(42)

kelemahan yang berat. Pendekatan ini mungkin lebih baik pada pasien dengan penyakit umum yang ringan yang tidak dapat dikendalikan dengan

pyridostigmine atau pasien dengan myasthenia okular yang membutuhkan imunosupresi.2,7 Efek samping penggunaan steroid mencakup penambahan berat badan, hipertensi, hiperglikemi, osteoporosis, dan sebagainya, Diperlukan pemantauan teratur dari tekanan darah, kadar gula darah, kadar kalium dan densitas tulang jika menggunakan terapi steroid jangka panjang.1,2,7 Suatu tinjauan metanalisis tentang penggunaan kortikosteroid pada MG menunjukkan bahwa terdapat bukti terbatas dari berbagai uji klinis acak bahwa terapi kortikosteroid sering memberikan manfat jangka pendek yang signifikan pada MG dibandingkan plasebo.16

III.9.2.2. Azathioprine

Azathioprine adalah agen imunomodulasi lini kedua yang paling sering digunakan digunakan dalam pengobatan pasien dengan MG.7 Pada pasien dimana dibutuhkan terapi imunosupresi jangka panjang, azathioprine direkomendasikan bersama dengan steroid untuk memungkinkan penurunan dosis steroid ke dosis minimal (rekomendasi level A)14 Beberapa percobaan telah menunjukkan efektivitas azathioprine sendiri atau dalam kombinasi dengan prednison. Perbaikan dijumpai pada 70-90% dari pasien dengan myasthenia diobati dengan

azathioprine. Pasien yang diobati dengan azathioprine juga dapat dipertahankan pada prednison dosis rendah (yaitu, steroid-sparing effect). 7Azathioprine bekerja dengan menghambat sintesis nukelotida dan proliferasi limfosit T dan B.2,4 Seperti dijelaskan di atas, azathioprine dapat digunakan pada awalnya di samping prednison dalam upaya untuk membatasi penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Pada orang dewasa, azathioprine biasanya dimulai pada dosis 50 mg/hari pada pasien dewasa dan secara bertahap ditingkatkan selama 1-2 bulan hingga dosis total 2-3 mg/kg/hari. 2,7

Pemeriksaan darah lengkap fungsi hati dimonitor setiap 2 minggu sampai pasien stabil dengan dosis azathioprine. Jika jumlah leukosit turun di bawah 4000/mm3, dosis harus diturunkan. Azathioprine tidak diberikan jika jumlah leukosit menurun hingga 2500/mm

3

atau jumlah neutrofil turun hingga 1000/mm3. Leukopenia dapat dijumpai sejak 1 minggu hingga 2 tahun setelah memulai


(43)

dari dua sampai tiga kali nilai dasar. Toksisitas hati umumnya dijumpai dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Leukopenia umumnya menghilang dalam 1 bulan dan hepatotoksisitas dapat menetap hingga beberapa bulan.2,7

III.9.2.3.Siklosporin

Siklosporin terutama menghambat respon imun yang T-cell dependent dan telah terbukti efektif dalam pengobatan pasien dengan MG.7 Siklosporin bekerja dengan penghambatan produksi interleukin-2 dan proliferasi sel T.2 Sebagian besar pasien mengalami perbaikan dalam 2-3 bulan pengobatan. Siklosporin ini juga memiliki efek steroid-sparing. Sebanyak 95% dari pasien dapat menghentikan atau mengurangi dosis kortikosteroidnya. Toksisitas ginjal dijumpai pada sekitar seperempat pasien. Siklosporin digunakan terutama pada pasien yang refrakter terhadap prednison dan azathioprine. Awalnya diberikan dosis 3-4 mg/kg/hari dalam dua dosis terbagi dan secara bertahap ditingkatkan dengan dosis maksimum 6 mg/kg/hari sesuai keperluan. Dosis siklosporin dititrasi untuk mempertahankan kadar 100-200 ng/mL.

III.9.2.4. Mycophenylate mofetil

2,7

Mycophenylate mofetil adalah agen imunomodulasi yang relatif baru yang menghambat proliferasi limfosit T dan B limfosit dengan menghambat sintesis purin secara selektif dalam limfosit. Mycophenylate telah dipelajari dalam beberapa uji coba kecil pada pasien dengan MG dengan hasil efek yang menguntungkan. Pasien yang diberikan mycophenolate mofetil telah dilaporkan dapat menurunkan dosis agen imunomodulasi lainnya tanpa kehilangan efek tetapi hanya beberapa pasien yang membaik jika menggunakannya sebagai pengobatan tunggal. Perbaikan dilaporkan sejak 2 minggu dan sering dalam 3 bulan pertama setelah memulai pengobatan.Manfaatnya dapat tertunda sampai 12 bulan. Dosis yang digunakan adalah 1-2 g/hari dalam dua dosis. Dosis lebih tinggi dapat digunakan, namun jumlah darah harus dimonitor untuk kelainan hematologi, yang mungkin terjadi pada dosis yang lebih tinggi. Mycophenylate diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu, dosis harus dikurangi (tidak lebih dari 1 g/hari ) pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Keunggulan mycophenylate dibandingkan dengan imunosupresif lain adalah kurangnya toksisitas ginjal atau hati dengan obat. Efek samping utama adalah diare. Mycophenolic acid atau mycophenolate


(44)

sodium adalah sediaan alternatif dalam bentuk tablet salut enterik 180 dan 360 mg. Dosis harian adalah 720-1440 mg/hari dibagi dalam dua dosis.

III.9.2.5. Tacrolimus dan Sirolimus

2,4,7

Seperti halnya siklosporin, obat ini adalah dua agen imunomodulasi yang dikembangkan untuk transplantasi organ. Hanya ada sedikit pengalaman dengan tacrolimus dan tidak ada pengalaman dengan sirolimus dalam MG. Tacrolimus memiliki toksisitas yang serupa dengan siklosporin tetapi telah dilaporkan bermanfaat pada beberapa orang yang telah gagal menunjukkan respon atau menjadi refrakter terhadap efek siklosporin. Sirolimus memiliki profil toksisitas berbeda dari siklosporin atau tacrolimus, terutama dalam hal fungsi ginjal.4,7

III.9.2.6. Metotreksat

Agen ini tidak sering digunakan pada MG karena seperti halnya untuk miopati autoimun. Pengalaman menunjukkan bahwa metotreksat dapat efektif. Onset kerjanya yang lebih cepat memberikan keuntungan lebih dari azathioprine. Obat ini dapat dimulai secara oral 7,5 mg/minggu diberikan dalam tiga dosis terbagi. Dosis secara bertahap ditingkatkan 2,5 mg setiap minggu sampai 25 mg/minggu. Efek samping utama metotreksat adalah alopesia, stomatitis, interstisial penyakit paru, teratogenisitas, oncogenicity, risiko infeksi, dan fibrosis paru, dan toksisitas sumsum tulang, ginjal, dan toksisitas hati.7

III.9.2.7. Siklofosfamid

Terdapat beberapa laporan tentang penggunaan siklofosfamid dalam pengobatan segala bentuk MG, termasuk pasien dengan antibodi MuSK. Karena efek samping yang signifikan (yaitu, gangguan pencernaan, toksisitas sumsum tulang, alopesia, hemoragik sistitis, teratogenisitas, sterilisasi, dan peningkatan risiko infeksi dan keganasan sekunder), sebagian besar ahli menghindari siklofosfamid untuk MG jika mungkin. Siklofosfamid dapat dipertimbangkan pada pasien dengan MG berat yang refrakter terhadap imunoterapi MG yang lain.

Suatu tinjauan metaanalisis menunjukkan bahwa pada MG general, bukti terbatas dari beberapa uji acak klinis menunjukkan bahwa siklosporin, sebagai monoterapi ataupun bersama dengan kortikosteroid, atau siklofosfamid dengan


(45)

kortikosteroid, memperbaiki gejala MG secara signifikan. Bukti juga menunjukkan bahwa tidak terdapat manfaat yang signifikan dari pemberian

azathioprine (sebagai monoterapi atau dengan steroid), mycophenolate mofetil

sebagai monoterapi atau dengan kortikosteroid atau siklosporin atau tacrolismus

(dengan kortikosteroid atau PEX). Namun dibutuhkan uji yang lebih besar.17

III.9.3. Intravenous immunoglobulin (IVIg)

Pemberian IVIg dapat menyebabkan perbaikan klinis pada beberapa pasien dengan MG. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa IVIg setara dengan

PEX dalam pengobatan pasien, sedangkan penelitian lain menunjukkan bahwa

PEX lebih efektif. IVIg belum pernah dibandingkan agen imunosupresif standar (misalnya, kortikosteroid, azathioprine, dan siklosporin) dalam penelitian.

Intravenous immunoglobulin diberikan pada pasien dengan general myasthenia

yang berada dalam krisis myasthenia yang refrakter terhadap PEX atau kortikosteroid atau sebagai agen untuk meningkatkan kekuatan pasien sebelum timektomi.2,7 Mekanisme kerja IVIg cukup kompleks dan mencakup inhibisi sitokin, kompetisi dengan autoantibodi, inhibisi deposisi komplemen, intervensi dengan pengikatan reseptor Fc pada makrofag dan reseptor Ig pada sel B dan intervensi terhadap pengenalan antigen oleh sel T yang tersensitisasi.4

Dosis yang biasa digunakan adalah 400 mg/kgBB selama lima hari berturut-turut.

1,4

Penggunaan IVIg kronis biasanya terbatas pada pasien dengan penyakit yang telah gagal untuk merespon secara memadai terhadap kortikosteroid, azathioprine, mycophenylate, atau siklosporin. Dalam situasi ini,

IVIg (2 g/kg) diberikan dalam 2-5 dosis terbagi. Infus ulangan diberikan denga interval bulanan selama 3 bulan. Pengobatan selanjutnya bersifat individual untuk mengidentifikasi dosis terkecil dengan interval terpanjang yang menyebabkan efek yang diinginkan. Beberapa pasien tampaknya memerlukan pengobatan (0,4-2g/kg) setiap minggu, sedangkan yang lain mungkin memerlukan interval beberapa bulan antar pemberian IVIg.

Suatu tinjauan meta analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signofikan antara IVIg dan PEX dalam penatalaksanaan eksaserbasi MG. Efek dosis 1gr/kg pada dua hari berturut-turut tidak lebih baik secara signifikan dibanding dosis tunggal 1 g/kg Tidak terdapat bukti yang menunjukkan


(46)

penggunaan IVIg untuk MG yang moderat atau berat akan memperbaiki fungsi atau menurunkan kebutuhan steroid. 18

III.9.4. Plasma exchange

Plasma exchange telah diterima secara luas dalam pengobatan

MG. Hal ini digunakan terutama pada pasien dengan krisis myasthenia, pada pasien dengan kelemahan nyata sebelum timektomi dalam rangka untuk memaksimalkan kekuatan perioperatif, segera setelah operasi dan pada kasus diman terjadi perburukan gejala saat penurunan atau memulai terapi imunosupresif.1,2,7 Penggunaannya sebagai pengobatan kronis dihambat oleh pertimbangan biaya dan waktu yang sama seperti hal nya IVIg. Selain itu, ada risiko dan ketidaknyamanan yang terkait dengan kebutuhan akses vena berulang dan mentransfer volume yang besar termasuk sepsis, pneumotoraks, tromboflebitis, dan instabilitas kardiovaskular.7

Pemberian biasanya terdiri dari pertukaran plasma sebanyak 2-3 L setiap hari sampai kekuatan meningkat secara signifikan. Peningkatan ini terlihat setelah dua hingga empat pertukaran, sekali lagi mungkin berhubungan dengan pertumbuhan kembali reseptor ACh. Plasma exchange menurunkan konsentrasi serum antibodi AChR, tetapi harus diulang pada interval yang relatif regular karena durasi efeknya yang terbatas.

7

Pemberian IVIg dan PEX memiliki efikasi yang sama dalam penatalaksanaan eksaserbasi MG (rekomendasi level A).15

III.9.5. Timektomi

Ada dua aspek timektomi pada pasien MG : (1) timektomi untuk tumor timus pada pasien MG dan (2) timektomi untuk pengobatan MG itu sendiri. Pada indikasi pertama, timektomi mutlak harus dilakukan, karena tumor timus berpotensi invasif lokal. Timektomi sebagai pengobatan MG (tanpa adanya timoma) telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Kini secara umum disepakati bahwa pasien dengan MG general yang berusia antara remaja dan sekitar 60 tahun harus dipertimbangkan timektomi,karena hampir 80% -85% pasien akhirnya mengalami perbaikan setelah timektomi. Manfaat dari timektomi biasanya muncul beberapa bulan atau tahun setelah operasi. Mekanisme kerja timektomi yang tepat tidak diketahui, meskipun penjelasan yang mungkin


(47)

termasuk menyingkirkan sumber antigen, menghilangkan sel B yang mensekresi antibodi anti AChR, dan imunomodulasi.

Timektomi secara umum direkomendasikan pada pasien dengan timoma dengan harapan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas dari penyebaran lokal dan potensi penyebaran metastasis. Keuntungan yang berkaitan dengan kontrol

myasthenic merupakan pertimbangan sekunder Peran timektomi pada pasien dengan MG tanpa timoma kurang jelas. Suatu tinjauan dari 21 penelitian tentang

timektomi pada pasien dengan MG tanpa timoma menemukan bahwa pasien yang menjalani timektomi menunjukkan kemungkinan perbaikan 1,7 kali lebih tinggi, 1,6 kali lebih mungkin menjadi asimtomatik, dan dua kali lebih mungkin untuk mencapai remisi tanpa pengobatan. Tingkat perbaikan relatif lebih besar pada pasien dengan penyakit yang lebih berat. Sayangnya, derajat dan onset perbaikan pasca operasi tidak dapat diprediksi dan sering muncul terlambat setelah beberapa tahun pada beberapa pasien.

1

7

Pada pasien dengan MG non timomatous, timektomi direkomendasikan sebagai pilihan untuk meningkatkan kemungkinan remisi atau perbaikan (rekomendasi level B). Begitu diagnosis timoma ditegakkan, timektomi harus dilakukan terlepas keparahan penyakit.15 The American Academy of Neurology (AAN) menyatakan bahwa timektomi harus dipertimbangkan sebagai pilihan untuk meningkatkan kemungkinan perbaikan atau remisi pada pasien dengan MG nonthymomatous.7 Algoritma penatalaksanaan MG terlihat pada gambar 11.6


(48)

Gambar 11. Algoritma penatalaksanaan myasthenia gravis

Dikutip dari : Hill M. The Neuromuscular Junction Disorders.J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003: 74 (suppl II): ii32-ii37.

III.10. PROGNOSIS

Kebanyakan pasien mengalami gejala awal berupa kelemahan otot ekstraokular dengan ptosis asimetri dan diplopia. Perjalanan penyakitnya sangat bervariasi, khususnya dalam tahun pertama penyakit. Hampir 85% pasien dengan gejala awal okular berkembang menjadi kelemahan bulbar dan ekstremitas dalam tiga tahun pertama. Keparahan penyakit maksimum tercapai dalam tahun pertama pada hampir dua-pertiga dari pasien. Di awal perjalanan MG, gejala dapat berfluktuasi dan sesekali mengalami remisi, meskipun remisi tersebut jarang permanen. Terdapat tiga tahap utama MG. Tahap yang aktif ditandai dengan kambuh dan remisi yang berlangsung sekitar tujuh tahun diikuti oleh tahap tidak aktif berlangsung sekitar 10 tahun. Tahap tidak aktif ditandai dengan kurangnya kekambuhan penyakit, meskipun pasien mungkin mengalami eksaserbasi yang berhubungan dengan penyakit lain, kehamilan, atau paparan terhadap obat yang mengganggu transmisi neuromuskular. Pada tahap akhir dari penyakit., kelemahan yang tidak diterapi dapat menetap dan berhubungan dengan atrofi otot.


(49)

Sebelum meluasnya penggunaan imunomodulator, prognosis untuk pasien dengan

MG cukup buruk dengan angka kematian sekitar 30% Seiring dengan kemajuan dalam ventilasi mekanik dan perawatan intensif, imunoterapi telah menjadi salah satu dari faktor utama yang berkontribusi terhadap hasil yang lebih baik di MG, dan mortalitasnya kurang dari 5%.

IV. DISKUSI KASUS

2

Pada kasus ini seorang pria,46 tahun didiagnosa menderita myasthenia gravis (MG) berdasarkan anamnese, pemeriksaan neurologis, tes kuantitatif dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan utama sulit membuka kelopak mata kiri yang dialami OS sejak 2 bulan yang lalu,berlangsung hilang timbul dan terutama dirasakan OS setelah beraktifitas dan menjelang sore hari. Keluhan membaik jika OS beristirahat dan pada pagi hari. Sejak 1 bulan terakhir kelopak mata kiri selalu tertutup dan hanya sedikit terbuka setelah os beristirahat. Dari pemeriksaan neurologis dijumpai ptosis sebagai manifestasi paling sering pada MG, pemeriksaan klinis dengan tes kuantitatif dijumpai ptosis dan diplopia dan pada pemeriksaan EMG dengan repetitive nerve stimulation menunjukkan penurunan lebih dari 10%.

Pasien didiagnosis banding dengan botulismus karena gejala ptosis merupakan menifestasi awalnya disertai pelebaran pupil dan reflek cahaya yang negatif namun pada pemeriksaan neurologis hanya dijumpai ptosis dan reflek cahaya yang normal pada pasien.Diagnosis brain stem stoke disingkirkan karena gejala ptosis pada pasien ini berlangsung perlahan-lahan dan hilang timbul sementara pada stroke gejala berlangsung biasanya menetap dan onsetnya mendadak.

Pasien ini diterapi dengan pyridostigmin bromide 3 x 60 mg dan prednison 3x5 mg selama 4 hari dan memberikan respon terapi yang baik. Dosis prednison direncanakan untuk dinaikkan secara bertahap hingga dicapai dosis optimal bagi pasien dan dipertahankan sampai dijumpai perbaikan yang nyata, kemudian dosis prednison diturunkan secara perlahan. Pasien dipulangkan dengan rencana lanjutan pengobatan dilakukan di poliklinik rawat jalan, namun pasien tidak pernah kontrol ke poliklinik oleh karena pasien berdomisili di luar kota. Prognosis pada kasus ini baik karena otot yang terlibat masih terbatas pada otot


(50)

ekstraokular, walaupun perkembangan menjadi miastenia general dapat terjadi dalam tiga tahun pertama.

V. PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah penatalaksanaan terbaik pada pasien ini? 2. Bagaimana prognosis pasien ini selanjutnya?

VI. KESIMPULAN

1. Diagnosis myasthenia gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis, tes kuantitatif dan pemeriksaan penunjang.

2. Perkembangan menjadi suatu generalized MG terjadi pada 85% kasus dalam tiga tahun pertama.

3. Pada pasien dengan gejala terbatas pada otot ocular pemakaian inhibitor asetilkolinesterase dan kortikosteroid dosis rendah bermanfaat untuk meredakan gejala.

VII. SARAN

Perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit dan kekambuhan yang mungkin terjadi, pilihan terapi dan efek samping dari pengobatan.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

1. Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-700.

2. Juel VC, Massey JM. Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:44.

3. Romi F, Gilus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical,imunological, and therapeutic advances.Acta Neurol Scand 2005;111:134-141.

4. Conti-fine Bm, Milani M, kaminski HJ. Myasthenia gravis: past, present, and future. J Clin Invest 2006; 116:2843-2854.

5. Vincent A. Immunology of disorders of neuromuscular transmission. Acta Neurol Scand 2006; 113 (Suppl 183): 1-7

6. Hill M. The Neuromuscular Junction Disorders.J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003: 74 (suppl II): ii32-ii37.

7. Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGraw-Hill;2008.p 458-508.

8. Carr AS, Cardwell CR, McCarron PO, et al. A systematic review of population based epidemiological studies in Myasthenia gravis. BMC Neurology 2010;10:46.

9. Katz LJ, Lesser RL, Merikangas JR, et al. Ocular myasthenia gravis after D-penicillamine administration. British journal of ophtalmology 1989; 73: 1015-1018.

10.Ruff Rl.Neuromuscular junction physiology abd patophysiology. In: Kaminski HJ, editor. Myastenia Gravis and related disorder. Totowa, New Jersey : Humana Pers; 2003. p.1-13

11.Onodera H. The role of the thymus in the pathogenesis of yasthenia Gravis. Tohoku j Exp Med 2005; 207: 87-98.

12.Kuks JBM, Oosterhuis HJGH. Clinical presentation and epidemiology of

myasthenia gravis. In: Kaminski HJ, editor. Myastenia Gravis and related disorder. Totowa, New Jersey : Humana Pers; 2003. p.93-113

13.Roh HS, Lee SY, Yoon JS. Comparison of clinical manifestations between patients with ocular myasthenia gravis an dgeneralized myasthenia gravis. Korean J Ophtalmol 2011: 25(1): 1-7.


(52)

14.Barohn RJ. Standards of measurements in Myasthenia gravis. Ann N Y Sci 2003; 998: 432-439.

15.Skeie GO, Apolstoski S, Evoli A, et al. Guidelines for the treatment of autoimmune neuromuscular transmission disorders. European journal of neurology 2006; 13 : 691-699.

16.Schneider GC, Gajdos P, Toyka KV, Hohlfeld RR. Corticosteroid for

myasthenia gravis (review). Cochrane collaboration. John wiley & Sons,LTd. 2007

17.Hart IK, Sathasivam S, Sharshar T. Immunosupressive agents for myasthenia gravis (review). Cochrane collaboration. John wiley & Sons,LTd. 2007 18.Gajdos P, Chevret S, Toyka K. Intravebous immunoglobulin for myasthenia


(53)

Lampiran 1 Foto penderita


(54)

(1)

Sebelum meluasnya penggunaan imunomodulator, prognosis untuk pasien dengan MG cukup buruk dengan angka kematian sekitar 30% Seiring dengan kemajuan dalam ventilasi mekanik dan perawatan intensif, imunoterapi telah menjadi salah satu dari faktor utama yang berkontribusi terhadap hasil yang lebih baik di MG, dan mortalitasnya kurang dari 5%.

IV. DISKUSI KASUS

2

Pada kasus ini seorang pria,46 tahun didiagnosa menderita myasthenia gravis (MG) berdasarkan anamnese, pemeriksaan neurologis, tes kuantitatif dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan utama sulit membuka kelopak mata kiri yang dialami OS sejak 2 bulan yang lalu,berlangsung hilang timbul dan terutama dirasakan OS setelah beraktifitas dan menjelang sore hari. Keluhan membaik jika OS beristirahat dan pada pagi hari. Sejak 1 bulan terakhir kelopak mata kiri selalu tertutup dan hanya sedikit terbuka setelah os beristirahat. Dari pemeriksaan neurologis dijumpai ptosis sebagai manifestasi paling sering pada MG, pemeriksaan klinis dengan tes kuantitatif dijumpai ptosis dan diplopia dan pada pemeriksaan EMG dengan repetitive nerve stimulation menunjukkan penurunan lebih dari 10%.

Pasien didiagnosis banding dengan botulismus karena gejala ptosis merupakan menifestasi awalnya disertai pelebaran pupil dan reflek cahaya yang negatif namun pada pemeriksaan neurologis hanya dijumpai ptosis dan reflek cahaya yang normal pada pasien.Diagnosis brain stem stoke disingkirkan karena gejala ptosis pada pasien ini berlangsung perlahan-lahan dan hilang timbul sementara pada stroke gejala berlangsung biasanya menetap dan onsetnya mendadak.

Pasien ini diterapi dengan pyridostigmin bromide 3 x 60 mg dan prednison 3x5 mg selama 4 hari dan memberikan respon terapi yang baik. Dosis prednison direncanakan untuk dinaikkan secara bertahap hingga dicapai dosis optimal bagi pasien dan dipertahankan sampai dijumpai perbaikan yang nyata, kemudian dosis prednison diturunkan secara perlahan. Pasien dipulangkan dengan rencana lanjutan pengobatan dilakukan di poliklinik rawat jalan, namun pasien tidak pernah kontrol ke poliklinik oleh karena pasien berdomisili di luar kota. Prognosis pada kasus ini baik karena otot yang terlibat masih terbatas pada otot


(2)

ekstraokular, walaupun perkembangan menjadi miastenia general dapat terjadi dalam tiga tahun pertama.

V. PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah penatalaksanaan terbaik pada pasien ini? 2. Bagaimana prognosis pasien ini selanjutnya?

VI. KESIMPULAN

1. Diagnosis myasthenia gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis, tes kuantitatif dan pemeriksaan penunjang.

2. Perkembangan menjadi suatu generalized MG terjadi pada 85% kasus dalam tiga tahun pertama.

3. Pada pasien dengan gejala terbatas pada otot ocular pemakaian inhibitor asetilkolinesterase dan kortikosteroid dosis rendah bermanfaat untuk meredakan gejala.

VII. SARAN

Perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit dan kekambuhan yang mungkin terjadi, pilihan terapi dan efek samping dari pengobatan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Thanvi BR, Lo TCN. Update on myasthenia gravis. Postgrad Med J 2004;80:690-700.

2. Juel VC, Massey JM. Myasthenia gravis. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:44.

3. Romi F, Gilus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical,imunological, and therapeutic advances.Acta Neurol Scand 2005;111:134-141.

4. Conti-fine Bm, Milani M, kaminski HJ. Myasthenia gravis: past, present, and future. J Clin Invest 2006; 116:2843-2854.

5. Vincent A. Immunology of disorders of neuromuscular transmission. Acta Neurol Scand 2006; 113 (Suppl 183): 1-7

6. Hill M. The Neuromuscular Junction Disorders.J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003: 74 (suppl II): ii32-ii37.

7. Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders.New York: McGraw-Hill;2008.p 458-508.

8. Carr AS, Cardwell CR, McCarron PO, et al. A systematic review of population based epidemiological studies in Myasthenia gravis. BMC Neurology 2010;10:46.

9. Katz LJ, Lesser RL, Merikangas JR, et al. Ocular myasthenia gravis after D-penicillamine administration. British journal of ophtalmology 1989; 73: 1015-1018.

10.Ruff Rl.Neuromuscular junction physiology abd patophysiology. In: Kaminski HJ, editor. Myastenia Gravis and related disorder. Totowa, New Jersey : Humana Pers; 2003. p.1-13

11.Onodera H. The role of the thymus in the pathogenesis of yasthenia Gravis. Tohoku j Exp Med 2005; 207: 87-98.

12.Kuks JBM, Oosterhuis HJGH. Clinical presentation and epidemiology of myasthenia gravis. In: Kaminski HJ, editor. Myastenia Gravis and related disorder. Totowa, New Jersey : Humana Pers; 2003. p.93-113

13.Roh HS, Lee SY, Yoon JS. Comparison of clinical manifestations between patients with ocular myasthenia gravis an dgeneralized myasthenia gravis. Korean J Ophtalmol 2011: 25(1): 1-7.


(4)

14.Barohn RJ. Standards of measurements in Myasthenia gravis. Ann N Y Sci 2003; 998: 432-439.

15.Skeie GO, Apolstoski S, Evoli A, et al. Guidelines for the treatment of autoimmune neuromuscular transmission disorders. European journal of neurology 2006; 13 : 691-699.

16.Schneider GC, Gajdos P, Toyka KV, Hohlfeld RR. Corticosteroid for myasthenia gravis (review). Cochrane collaboration. John wiley & Sons,LTd. 2007

17.Hart IK, Sathasivam S, Sharshar T. Immunosupressive agents for myasthenia gravis (review). Cochrane collaboration. John wiley & Sons,LTd. 2007 18.Gajdos P, Chevret S, Toyka K. Intravebous immunoglobulin for myasthenia


(5)

Lampiran 1 Foto penderita


(6)