Strategi coping penderita myasthenia gravis.

(1)

STRATEGI COPING PENDERITA MYASTHENIA GRAVIS Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Jessica Christy Wihadhi

ABSTRAKSI

Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan penderitanya mengalami kelemahan otot yang ditandai dengan kelemahan pada kelopak mata, anggota tubuh, gangguan oropharyngeal. Kondisi-kondisi ini menimbulkan permasalahan-permasalahan pada penderita padahal penurunan kondisi pada penderita MG disebabkan salah satunya karena stress. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dibutuhkan strategi coping. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi coping apa yang dilakukan penderita myasthenia gravis. Subjek penelitian ini adalah 3 orang penderita myasthenia gravis. Jenis penelitian yang dipakai adalah kualitatif dengan menggunakan analisis isi terarah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian didapatkan dengan melakukan member checking dan external auditor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi penderita MG menyebabkan timbulnya permasalahan pada tugas utama, aktivitas, relasi, dan juga munculnya ketakutan akan masa depan. Untuk menghadapinya, partisipan menggunakan salah satu strategi coping atau mengkombinasikan beberapa strategi coping. Pemilihan strategi coping dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu social support, problem solving skills, internal locus of control, positive beliefs, social skills. Selain itu, dipengaruhi juga oleh pengalaman, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.


(2)

COPING STRATEGY PEOPLE WITH MYASTHENIA

GRAVIS

Department of Psychology in Sanata Dharma University Jessica Christy Wihadhi

ABSTRACT

MG is an autoimune disease that cause a weakening of muscles in pupils, some organs of human, and oropharyngeal disorder. These can induce stress in patients. Stress itself is a very important cause of the decline of patients' condition. To reduce stress, patients need an appropriate coping strategic. This study aimed to describe the type of coping strategic of MG patients. Subjects were 3 MG patients. This study used qualitative research with directed content analysis were collected using semi-structured interview. Member checking and external auditor technique were applied to validate the results of this study. Results show that MG patients' conditions cause problems in main task, activities, relationship and fear of the future. To deal with this problems, subjects applied one or mixed coping strategy. Some factors such as social support, problem solving skills, internal locus of control, positive beliefs, and social skills affected participants in choosing their coping strategy. Other influencing factors were found too, such as experiences, gender, and educational background.


(3)

STRATEGI

COPING

PENDERITA

MYASTHENIA GRAVIS

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Disusun oleh:

Jessica Christy Wihadhi

NIM: 129114019

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI, FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

(6)

iv

MOTTO

Cintai setiap proses yang ada karena segala

sesuatu yang kita lakukan dengan kasih pasti

akan melahirkan kualitas yang prima dan

hasilnya berbeda.


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tulisan ini kupersembahkan untuk : Tuhan Yesus Kristus Para penderita myasthenia gravis Fakultas Psikologi USD Mami-Papi-El Teman-teman P2TKP Teman-teman B02 dan Menuju S.Psi


(8)

(9)

(10)

viii

STRATEGI COPING PENDERITA MYASTHENIA GRAVIS Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Jessica Christy Wihadhi

ABSTRAKSI

Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan penderitanya mengalami kelemahan otot yang ditandai dengan kelemahan pada kelopak mata, anggota tubuh, gangguan oropharyngeal. Kondisi-kondisi ini menimbulkan permasalahan-permasalahan pada penderita padahal penurunan kondisi pada penderita MG disebabkan salah satunya karena stress. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dibutuhkan strategi coping. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi coping apa yang dilakukan penderita myasthenia gravis. Subjek penelitian ini adalah 3 orang penderita myasthenia gravis. Jenis penelitian yang dipakai adalah kualitatif dengan menggunakan analisis isi terarah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian didapatkan dengan melakukan member checking dan external auditor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi penderita MG menyebabkan timbulnya permasalahan pada tugas utama, aktivitas, relasi, dan juga munculnya ketakutan akan masa depan. Untuk menghadapinya, partisipan menggunakan salah satu strategi coping atau mengkombinasikan beberapa strategi coping. Pemilihan strategi coping dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu social support, problem solving skills, internal locus of control, positive beliefs, social skills. Selain itu, dipengaruhi juga oleh pengalaman, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.


(11)

ix

COPING STRATEGY PEOPLE WITH MYASTHENIA

GRAVIS

Department of Psychology in Sanata Dharma University Jessica Christy Wihadhi

ABSTRACT

MG is an autoimune disease that cause a weakening of muscles in pupils, some organs of human, and oropharyngeal disorder. These can induce stress in patients. Stress itself is a very important cause of the decline of patients' condition. To reduce stress, patients need an appropriate coping strategic. This study aimed to describe the type of coping strategic of MG patients. Subjects were 3 MG patients. This study used qualitative research with directed content analysis were collected using semi-structured interview. Member checking and external auditor technique were applied to validate the results of this study. Results show that MG patients' conditions cause problems in main task, activities, relationship and fear of the future. To deal with this problems, subjects applied one or mixed coping strategy. Some factors such as social support, problem solving skills, internal locus of control, positive beliefs, and social skills affected participants in choosing their coping strategy. Other influencing factors were found too, such as experiences, gender, and educational background.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Berkat dari Tuhan yang Maha Esa dan penyertaan-Nya yang penuh kasih, maka saya sangat bersyukur atas kemampuan saya dalam melakukan penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini. Saya bersyukur pula atas segala bantuan dari banyak pihak selama proses penyelesaiannya. Oleh karena itu, saya menyampaikan apresiasi kepada semua pihak atas dukungannya:

1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2. P. Eddy Suhartanto, M.Si., Kaprodi Psikologi Universitas Sanata Dharma. 3. Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si., dosen pembimbing akademik.

4. Ibu Sylvia Carolina MYM., M.Si, dosen pembimbing. 5. Para dosen penguji lainnya.

6. Para dosen Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma. 7. Para karyawan Universitas Sanata Dharma

8. Mami, papi, dan Elmo yang sudah memberikan doa restu dan dukungan penuh dalam pembuatan skripsi, terutama mami yang terus memberikan semangat sampai pada saat-saat terakhir.

9. Para subjek dan Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia

10.Keluarga P2TKP Penuh Cinta, Pak Adi, Pak Cahyo, Pipit, Mbak Thia, Pak Toni, Suster Dewi, semua psikolog dan teman-teman asisten dari angkatan 2013-2016.


(13)

xi

11.Teman-teman psikologi 2012 terutama yang seperjuangan di bimbingan ibunda, Patrice, Tiara, Cia, Vita, dan teman-teman lain yang masih berjuang.

12.Teman teman Menuju S.Psi yang masih berjuang: Ardi, Banya, Bayu, Cia, Dian, Dimas, Edo, Ivie, Lenny, Patrice, Sofia. Teman-teman B02 (Felin, Romo Yulius, Indri, Ce agnes, Tipa) terimakasih buat setiap pelukan dan semangatnya, walaupun paling susah ketemu karena kesibukan peneliti, tapi kalian tetap menjadi salah satu semangat buat peneliti. Teman-teman Babi yang selalu menghibur via whatsapp karena sudah mulai berjauhan. 13.Mbak Pudar, Kak Rere, Mbak Esther yang sudah jadi kakak yang

menyemangati peneliti selalu

14.Ci Katherine, cici dokter yang membantu banget dalam mencari teori dan menjelaskan tentang myasthenia gravis.

15.Seseorang yang mendukungku dan mau mendengarkan segala keluh kesah peneliti saat pengerjaan skripsi

16.Serta semua pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah mendukung saya dengan caranya masing-masing.

Karena penulis menyadari bahwa skripsi ini masih bisa disempurnakan, maka penulis terbuka menerima dan menghargai segala kritik dan saran yang membantu menyempurnakan karya ilmiah ini.

Penulis


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN & KARYA ILMIAH ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAKSI ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. PERTANYAAN PENELITIAN ... 9

C. TUJUAN PENELITIAN ... 9


(15)

xiii

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. STRATEGI COPING ... 11

1. Definisi Strategi Coping ... 11

2. Jenis Strategi Coping ... 12

3. Aspek Strategi Coping ... 15

4. Faktor yang mempengaruhi Strategi Coping ... 17

B. MYASTHENIA GRAVIS ... 21

1. Definisi Myasthenia Gravis ... 21

2. Gejala ... 22

3. Pengobatan ... 24

4. Dampak Myasthenia Gravis ... 26

C. DINAMIKA ANTAR TEORI ... 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A. JENIS DAN DESAIN PENELITIAN ... 30

B. FOKUS PENELITIAN ... 33

C. SUBJEK PENELITIAN ... 33

D. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA ... 34

E. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 36

F. KREDIBILITAS PENELITIAN ... 37

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39


(16)

xiv

1. Persiapan Penelitian dan Perizinan ... 39

2. Pelaksanaan Penelitian ... 40

B. PARTISIPAN PENELITIAN ... 40

1. Data Partisipan ... 40

2. Latar Belakang Partisipan ... 42

C. ANALISIS DATA PENELITIAN ... 43

1. Analisis P1 ... 48

2. Analisis P2 ... 67

3. Analisis P3 ... 87

4. Kesimpulan Analisis Tiga Responden ...110

D. PEMBAHASAN ...118

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...128

A. KESIMPULAN ...128

B. SARAN ...129

DAFTAR PUSTAKA ...131


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Panduan pertanyaan wawancara ... 35

Tabel 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 40

Tabel 4.2 Data Partisipan ... 40

Tabel 4.3 Latar Belakang Partisipan ... 42

Tabel 4.4 Strategi Coping Penderita Myasthenia Gravis ... 43

Tabel 4.5 Tabel Kesimpulan Analisis Gambaran Kondisi Tiga Responden ...116

Tabel 4.6 Tabel Kesimpulan Analisis Permasalahan yang Dialami Tiga Responden ...117


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Skema Dinamika Antar Teori ... 30 Gambar 2 : Skema Kesimpulan Analisis P1 ... 64 Gambar 2.1: Skema Strategi Coping P1 Berkaitan Dengan Kondisi Penderita .... 65 Gambar 2.2: Skema Strategi Coping P1 Berkaitan Dengan Permasalahan yang Dialami Penderita ... 66 Gambar 3: Skema Kesimpulan Analisis P2 ... 84 Gambar 3.1: Skema Strategi Coping P2 Berkaitan Dengan Kondisi Penderita ... 85 Gambar 3.2: Skema Strategi Coping P2 Berkaitan Dengan Permasalahan

yang Dialami Penderita ... 86 Gambar 4: Skema Kesimpulan Analisis P3 ...107 Gambar 4.1: Skema Strategi Coping P3 Berkaitan Dengan Kondisi Penderita ..108 Gambar 4.2: Skema Strategi Coping P3 Berkaitan Dengan Permasalah

yang Dialami Penderita ...109 Gambar 5: Skema Kesimpulan Analisis Tiga Responden ...115


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Informed Consent ...135

Verbatim Wawancara P1 ...138

Verbatim Wawancara P2 ...181


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

KAS (20) adalah seorang mahasiswi Indonesia yang mengalami penyakit autoimun yang disebut myasthenia gravis. Awalnya KAS merasa kelopak matanya sering terasa berat dan orang yang melihat akan mengira ia seperti mengantuk terus. Selain itu, KAS juga mengalami double vision. Sebelum didiagnosis menderita penyakit myasthenia gravis, KAS adalah seorang pemain basket. Namun, sejak ia didiagnosis menderita myasthenia gravis, ia tidak bermain basket lagi karena kaki dan tangannya lemas pada saat bermain basket. KAS disarankan dokter untuk menjaga diri agar tidak mudah lelah, kepanasan, dan stress karena tiga hal ini dapat memicu penyakitnya kambuh. Semenjak KAS didiagnosis menderita myasthenia gravis, ia harus merelakan banyak kegiatan yang biasa ia ikuti. Hal itu membuat KAS merasa sedih.

Kasus KAS adalah salah satu dari banyak kasus penderita

Myasthenia Gravis. Menurut Eko M. Walid, selaku ketua Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI), jumlah penderita MG di Indonesia yang terdaftar sebanyak 226 orang, namun diperkirakan jumlah penderitanya melebihi dari jumlah itu (Masyarakat Indonesia Mulai Terjangkit Penyakit Langka, 2012). 22 orang diantara 226 penderita sudah meninggal dunia dan tujuh remisi obat (waktu tidak kambuh penyakit atau


(21)

rehat minum obat). Sepuluh persen pasien myasthenia gravis yang

meninggal dunia kebanyakan diakibatkan karena gagal napas. (“Pantang Mati Sebelum Ajal” Meski Hidup dengan Miastenia Gravis, 2012).

Di Indonesia terdapat perkumpulan penderita Myasthenia Gravis

yang terdapat pada beberapa media sosial Salah satu contoh perkumpulannya adalah Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI) yang resmi berdiri pada November 2011 dan memiliki website, Facebook, Twitter, milis sebagai bentuk layanan informasi bagi penderita myasthenia gravis, keluarga penderita, dan masyarakat umum. Para penderita

myasthenia gravis saling bercerita tentang kondisi masing-masing, saling berbagi informasi tentang banyak hal menyangkut myasthenia gravis, bahkan digunakan sebagai tempat untuk menceritakan permasalahan yang dihadapi dan saling menguatkan serta membangkitkan semangat satu sama lain pada media sosial yang ada (Myasthenia Gravis: Komunitas Kelainan Autoimun, 2013).

Myasthenia Gravis (MG) adalah salah satu bentuk dari penyakit autoimun yang masih jarang terjadi dan tidak bisa disembuhkan. Penyakit ini memiliki jumlah kejadian 1/20.000 pada populasi umum (Kulaksizoglu, 2007). Istilah Myasthenia Gravis berasal dari bahasa Latin, yaitu myasthenia yang berarti kelemahan otot, dan gravis yang berarti berat atau serius (Schact, Edmund & Djalinusyah, 2001). Penyakit MG memiliki gejala ptosis (menurunnya kelopak mata), binocular diplopia


(22)

dysphagia (sulit menelan), kelemahan pada tangan dan kaki, kesulitan mengunyah permen karet atau daging yang keras, serta kesulitan dalam mengekspresikan wajah dan tersenyum (Juel, Vern C & Massey, Janice M, 2007). Timbulnya gejala-gejala ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti infeksi, sakit fisik, stres, suhu panas atau dingin, dan penggunaan obat tertentu (Kohler, 2007 dalam Arpandy & Halim, 2013). Beberapa situasi juga dapat memicu timbulnya gejala MG yaitu kehilangan orang terdekat, tekanan dari keluarga, dan perceraian (Komunikasi Pribadi, 3 Februari 2013 dalam Arpandy & Halim, 2013). Kondisi-kondisi ini menyebabkan timbulnya permasalahan pada penderita.

Salah satu permasalahan yang dialami oleh penderita MG ditemukan oleh Rohr (1991, dalam Twork. Wiesmeth. Klewer. Pohlau. Kugler. Joachim, 2010) dalam penelitian mengenai Quality of Life and Life Circumstances in German Myasthenia Gravis Patients, 30% dari pasien yang ia teliti memiliki kondisi bekerja kurang ideal. Kondisi ini terjadi terutama karena kerusakan fisik sehingga menyebabkan tujuan pekerjaan tidak dapat tercapai. Dalam penelitian yang dilakukan Kohler (2007), beberapa pasien yang menderita MG mengalami kesulitan dalam aktivitas sekolah atau bekerja serta masalah dalam menghadapi kehidupan sehari-hari mereka. Gejala dan permasalahan yang dialami dalam kehidupan penderita MG ini menyebabkan dampak psikologis pada penderitanya.


(23)

Penelitian yang dilakukan Kulaksizoglu (2007) juga mengatakan bahwa semua penyakit kronis, termasuk MG, memiliki konsekuensi psikologis seperti gangguan kecemasan, meliputi gangguan panik, serta gangguan depresif. Selain itu, menurut Paradis, Friedman, Lazar, et al. (1993, dalam Kulaksizoglu, 2007), perubahan karakteristik pada penderita MG menyebabkan pasien menjadi cepat marah, tegang, dan khawatir. Pada penelitian mengenai The Psychosocial Impact of Ptosis as a Symptom of Myasthenia Gravis: A Qualitative Study (Richards, Jenkinson, Rumsey, & Harrad, 2014), dikatakan bahwa partisipan dilaporkan memiliki level emosional distress yang tinggi dan kecemasan yang disebabkan gejala ptosis yang dialami. Dalam penelitian mengenai

Psychosocial Aspects in Myasthenic Patients Treated by Plasmapheresis

(Chen, Chang, Ciu, & Yeh, 2011) diketahui bahwa walaupun sudah diberi terapi secara medis, kecemasan dan depresi tetap menjadi masalah utama pada pasien MG.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh dr. Yudith Rachmadiah (2012, dalam Arpandy & Halim, 2013) diketahui bahwa sebagian besar penderita MG memiliki masalah dalam melakukan aktivitas sehari-hari karena kemampuan otot yang terbatas, seperti berjalan jauh, menaiki tangga, mengangkat barang, berolahraga, memasak, dan lainnya. Masalah-masalah tersebut memunculkan banyak tekanan bagi penderita MG. Kondisi fisik tersebut memunculkan pandangan yang keliru dari orang lain


(24)

terhadap penderita MG dan menyebabkan dampak psikologis pada penderita.

Sebuah artikel menuliskan bahwa dampak psikologis yang dialami oleh penderita MG dapat memperburuk penyakitnya karena tubuh kehilangan banyak sumber energi untuk melakukan kontraksi otot yang mengakibatkan semakin melemahnya kinerja otot pada si penderita (Stress & Myasthenia Gravis, 2016). Raggi, Leonardi, Mantegazza, Casale, dan Fioravanti (2010, dalam Arpandy & Halim, 2013) juga mengatakan kondisi stress dapat memicu tingkat keparahan penderita. Untuk mengelola dampak psikologis yang dialami penderita, maka dibutuhkan keterampilan dan usaha yang tepat untuk mengolahnya. Usaha dan keterampilan itu disebut dengan strategi coping. Perilaku coping yang positif dapat memberikan manfaat agar seseorang dapat melanjutkan kehidupan walaupun memiliki masalah, yaitu untuk mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan citra diri yang positif, mengurangi tekanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang negatif dari hubungan yang mencemaskan terhadap orang lain (Firdaus, 2004 dalam Hasan & Rufaidah, 2013).

Coping adalah usaha kognitif dan perilaku seseorang yang digunakan untuk menghadapi situasi yang menekan atau mengancam dari luar maupun dalam yang dapat meningkatkan stres (Folkman and Moskowitz, 2004 dalam Cadamuro, Versari, Vezzali, Giovannini, & Trifiletti, 2014). Lazarus (dalam Santrock, 1996) membagi strategi coping


(25)

menjadi dua bentuk, yaitu perilaku coping yang berorientasi pada masalah (problem focused coping-PFC) dan perilaku coping yang berorientasi pada emosi (emotion focused coping-EFC). PFC adalah strategi kognitif yang digunakan individu dalam menghadapi masalah dan berusaha menyelesaikannya dan EFC adalah strategi yang digunakan indivdu untuk memberikan respon terhadap situasi yang menekan dengan lebih mengutamakan pendekatan emosional. PFC memiliki sifat analitis logis, mencari informasi, dan berusaha untuk memecahkan masalah secara positif dan EFC memiliki ciri represi, proyeksi, mengingkari, dan berbagai cara untuk meminimalkan ancaman (Hollahan & Moos, 1987 dalam Saptoto, 2010).

Penderita sebuah penyakit serius membutuhkan strategi coping.

Mereka melakukan coping dengan cara mengubah gaya hidupnya dan membentuk relasi yang lebih baik dengan keluarga juga dokternya. Namun, penderita yang mengabaikan masalahnya biasanya memiliki pengalaman yang buruk dan kesehatan yang buruk serta relasi yang buruk dengan keluarga maupun dokternya (Sarafino, 2011).

Setiap individu harus memiliki kemampuan untuk memilih dan menggunakan strategi coping yang efektif untuk mengatasi masalahnya. Menurut penelitian Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Kemampuan Coping Adaptif (Saptoto, 2010), ada berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan coping adaptif seseorang dan salah satunya adalah kecerdasan emosinya. Proses coping juga melibatkan pengalaman atau proses berpikir


(26)

seseorang (Herber, 2003 dalam Hasan & Rufaidah, 2013) serta pengalaman sosialnya (Pearlin dan Scroler dalam Hasan & Rufaidah, 2013). Selain itu, strategi coping juga dipengaruhi oleh faktor kepribadian, lingkungan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, dan status ekonominya (Hasan & Rufaidah, 2013). Dengan demikian, setiap individu memiliki strategi copingnya masing-masing berdasarkan latar belakang diri dan juga masalahnya.

Dalam penelitian Strategi Coping dan Kelelahan Emosional pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus (Miranda, 2013), subjek cenderung berfokus pada penggunaan problem focused coping yang berupa keaktifan diri, perencanaan, penekanan kegiatan bersaing, kontrol diri, dan dukungan sosial instrumental untuk mengetahui dampak dari permasalahannya sehingga subjek dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi masalah. Subjek juga menggunakan emotion focused coping

yang berupa dukungan sosial emosional, interpretasi positif, penolakan, dan religiusitas ketika sedang mengalami kelelahan emosional. Penelitian ini mengatakan subjek memberikan reaksi yang berbeda-dalam dalam mengatasi masalah yang dihadapi tergantung dari pengetahuan, pengalaman, dan persepsi yang dimiliki.

Pada penelitian Stress dan Strategi Coping pada Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Scholichatun, 2011), masalah-masalah yang memunculkan tekanan pada subjek di LAPAS adalah kerinduan pada keluarga, kejenuhan di LAPAS, masalah dengan teman, bingung ketika


(27)

memikirkan masa depan nanti setelah keluar dari LAPAS. Emotion Focused Coping lebih sering digunakan subjek untuk mengatasi tekanan yang dialami. Bentuk EFC yang sering digunakan adalah melamun, berdoa, diam di kamar, dan bersabar.

Pada penelitian Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Strategi Coping pada Penderita Stroke RSUD Dr. Moewardi Surakarta

(Hasan & Rufaidah, 2013) diketahui bahwa strategi coping yang dimunculkan oleh penderita stroke sangat dipengaruhi oleh dukungan sosial karena dapat mengurangi ketegangan psikologis dan menstabilkan kembali emosi pada penderita stroke. Dukungan ini penting untuk membangun kepribadian penderita ketika mengalami permasalahan atau tekanan yang sulit dihadapi.

Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa setiap individu memiliki permasalahan sehingga membutuhkan strategi coping untuk menghadapinya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kebanyakan individu menggunakan kedua jenis coping, tetapi hanya satu yang cenderung sering digunakan dengan bentuk yang berbeda-beda, tergantung dengan permasalahan yang dialami.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana strategi coping penderita MG dalam menghadapi permasalahan mereka. Sebenarnya sudah ada penelitian mengenai Coping With Myasthenia Gravis and Implications for Psychoteraphy (Doering, 1993).


(28)

penelitian Doering (1993) mengatakan bahwa kebanyakan pasien memiliki perilaku coping dengan bentuk perilaku tenang dan menerima. Melalui penelitian ini, peneliti ingin lebih mendeskripsikan bagaimana strategi

coping yang dilakukan penderita MG dalam mengelola permasalahan-permasalahannya berdasarkan dari pengalaman-pengalaman yang sudah dialami sendiri dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Peneliti ingin melihat pengalaman penderita MG dengan cara menggali informasi melalui wawancara agar data yg dihasilkan lebih bervariasi.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Bagaimana strategi coping penderita myasthenia gravis untuk mengelola permasalahan yang dialami akibat kondisi dirinya?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan strategi coping yang dilakukan penderita myasthenia gravis dalam mengelola permasalahan yang dialami akibat kondisi dirinya.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi bagi penelitian-penelitian lain terutama di bidang psikologi dan


(29)

kesehatan mengenai strategi coping pada penderita myasthenia gravis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para penderita myasthenia gravis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pembanding bagi penderita MG lainnya dalam mengelola permasalahan-permasalahan yang mereka alami.

b. Bagi keluarga penderita dan masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi keluarga dan masyarakat tentang kondisi penderita myasthenia gravis.


(30)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. STRATEGI COPING

1. Definisi Strategi Coping

Individu melakukan coping melalui transaksi antara kognitif dan perilaku dengan lingkungan. Individu menggunakan bermacam-macam metode untuk mengelola ketidakcocokan antara tuntutan pada situasi dan sumbernya. Proses coping sendiri bukanlah sebuah kejadian tunggal karena coping adalah transaksi berkelanjutan dengan lingkungannya (Sarafino, 2011).

Coping didefinisikan sebagai usaha perilaku dan kognitif yang terus berubah untuk mengelola tuntutan dari luar maupun dalam yang dinilai lebih berat atau melampaui batas kemampuan seseorang (Lazarus & Folkman, 1984). Coping juga didefinisikan sebagai proses dimana seseorang berusaha untuk mengatur ketidakcocokan antara tuntutan dan sumber yang dinilai dalam situasi yang menekan. (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Sarafino, 2011). Coping dapat dipakai untuk memperbaiki suatu masalah, dapat juga membantu seseorang untuk mengubah persepsi mereka terhadap ketidakcocokan, mentoleransi atau menerima ancaman, atau menghindar dari situasi (Lazarus & Folkman, 1984; Carver & Connor-Smith, 2010 dalam Sarafino, 2011). Secara sederhana, coping diartikan sebagai usaha


(31)

untuk mengelola stres dalam beberapa cara yang efektif (Huffman, Verno, Vernoy, 2000).

Dalam kamus psikologi (Reber & Reber, 2010), strategi coping

diartikan sebagai cara yang disadari dan rasional untuk menghadapi dan mengatasi kecemasan hidup. Aldwin dan Revenson (1997, dalam Miranda 2013) menambahkan bahwa strategi coping merupakan suatu cara atau metode yang dilakukan oleh setiap individu untuk mengatasi dan mengendalikan situasi atau masalah yang dialami dan dipandang sebagai hambatan, tantangan yang bersifat menyakitkan, serta yang merupakan ancaman yang bersifat merugikan. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa coping adalah usaha perilaku dan kognitif individu yang efektif dan terus berubah untuk mengelola tuntutan yang kurang cocok dari luar maupun dalam, mengatasi dan mengendalikan masalah/stress, tantangan yang menyakitkan, ancaman yang merugikan pada situasi yang menekan.

2. Jenis Strategi Coping

Lazarus dan Folkman (1984) membagi coping menjadi dua jenis, yaitu yang bisa mengubah masalah penyebab stres (Problem focused coping) dan yang mengatur respon emosi kepada masalahnya (Emotion focused coping). Pada praktiknya individu dapat


(32)

mengkombinasikan kedua jenis strategi coping secara bersamaan (Sarafino, 2011) :

a. Problem Focused Coping (PFC)

Coping ini berorientasi pada masalah (Mohino, dkk, 2004, dalam Scholichatun, 2011). PFC adalah strategi kognitif untuk penanganan stress yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya. Coping

ini diarahkan pada pengurangan tuntutan pada situasi yang menekan atau memperluas sumbernya. Individu cenderung menggunakan coping ini ketika mereka percaya bahwa sumber atau tuntutan pada situasi dapat diubah (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Sarafino, 2011).

PFC mencoba untuk mengkonfrontasi dan menghadapi langsung tuntutan situasi atau untuk mengubah situasi sehingga tidak ada tekanan yang terlalu lama (Passer, 2009). Strategi ini terdiri dari mengidentifikasi masalah yang menekan, menghasilkan solusi, memilih solusi yang tepat, dan mengaplikasikan solusi ke masalah, sehingga menghilangkan stres (Huffman, Verno, Vernoy, 2000).

b. Emotional Focused Coping (EFC)

Coping ini berorientasi pada emosi. Biasanya dilakukan dengan cara menghindari stressor, melakukan evaluasi ulang secara


(33)

kognitif atau memperhatikan aspek-aspek positif dari diri dan situasi. EFC juga disebut sebagai strategi emosi atau kognitif yang mengubah bagaimana seseorang memandang situasi yang menekan (Huffman, Verno, Vernoy, 2000). Beberapa bentuk EFC melibatkan penilaian situasi dalam cara yang dapat mengurangi pengaruh emosi. Bentuk lainnya melibatkan penyangkalan, penghindaran, atau malah penerimaan situasi yang menekan (Passer, 2009).

Coping ini diarahkan pada pengontrolan respon emosi terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosi mereka melalui pendekatan perilaku dan kognitif. Contoh pendekatan perilaku adalah mencari dukungan sosial dari teman, menjalankan aktivitas yang menyenangkan yang membuat seseorang tidak memperhatikan masalahnya; sedangkan contoh pendekatan kognitif adalah bagaimana seseorang berpikir tentang situasi yang menekan, mengubah persepsi terhadap situasi yang dihadapi seperti melihat sesuatu yang baik dari masalah tersebut (Sarafino, 2011).

Salah satu proses kognitif adalah mekanisme pertahanan diri yang mengubah realitas ke arah yang lain (Cramer, 2000 dalam Sarafino, 2011). Walaupun mekanisme pertahanan diri mungkin


(34)

mengurangi perasaan cemas dan bersalah, tetapi tidak akan terjadi secara lama (Huffman, Verno, Vernoy, 2000).

Seseorang cenderung menggunakan EFC ketika mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat melakukan hal kecil untuk mengubah kondisi yang menekan (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Sarafino, 2011). EFC adalah bentuk coping yang tidak mengubah realita, tetapi memberikan penilaian kembali terhadap situasi yang menekan, dan hal tersebut dapat mengurangi stres. (Huffman, Verno, Vernoy, 2000)

3. Aspek Strategi Coping

Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) menyebutkan beberapa strategi

coping yang terdapat dalam: a. Problem Focused Coping

1) Active coping, suatu tindakan untuk mencoba menghilangkan penyebab stress atau memperbaiki akibatnya dengan cara langsung.

2) Planning, upaya seseorang untuk mengatasi tekanan dengan cara memikirkan bagaimana mengatasi penyebab stres antara lain dengan membuat strategi untuk bertindak, memikirkan tentang langkah upaya yang perlu diambil dalam menangani suatu masalah.


(35)

3) Suppresion of competing activities, usaha individu untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara mengurangi perhatian pada aktivitas lain.

4) Restrain coping, usaha individu menahan diri untuk menunggu waktu dan melihat kesempatan bertindak yang tepat atau tidak bertindak terburu-buru.

5) Seeking social support for instrumental reasons, yaitu usaha individu mencari dukungan sosial seperti nasihat, bantuan atau informasi untuk menyelesaikan masalah

b. Emotion Focused Coping

1) Seeking social support for emotional reasons, yaitu upaya individu untuk mencari dukungan sosial melalui dukungan moral, simpati atau pengertian.

2) Positive reinterpretation, artinya upaya individu untuk memaknai setiap kejadian atau permasalahan dengan berpikir positif.

3) Acceptance, sikap menerima suatu keadaan yang dihadapi. 4) Denial, usaha individu untuk menolak atau menyangkal sebuah

kenyataan.

5) Turning to religion, sikap individu dalam menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan.


(36)

6) Focusing on and venting emotion, kecenderungan untuk fokus pada tekanan apapun upaya individu untuk melepas atau menyalurkan perasaan ditandai dengan usaha meningkatkan kesadaran akan adanya tekanan emosional.

7) Behavioral disengagement, penurunan usaha oleh individu untuk menghadapi stressor atau masalah.

8) Mental disengagement, upaya alternatif individu untuk mengalihkan masalah dengan melakukan aktivitas lain seperti tidur, menonton tv, atau melamun.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Strategi Coping

Kemampuan seseorang untuk melakukan coping tergantung dari stresor itu sendiri mulai dari kompleksitas, intensitasnya, dan panjang durasinya, juga dari tipe strategi coping yang digunakan. Selain itu, tergantung pula dari faktor individu yang bersangkutan. Faktor-faktor personal yang mempengaruhi pemilihan strategi coping

terdiri dari kepribadian, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi (McCrae, 1984 dalam Miranda, 2013). Proses coping

juga melibatkan pengalaman atau proses berpikir seseorang (Herber, 2003 dalam Hasan & Rufaidah, 2013) serta pengalaman sosialnya (Pearlin dan Scroler dalam Hasan & Rufaidah, 2013). Selain itu, strategi coping juga dipengaruhi oleh faktor kepribadian, lingkungan,


(37)

jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, dan status ekonominya (Hasan & Rufaidah, 2013).

Lazarus dan Folkman (1984) membagi beberapa tipe faktor individu yang mempengaruhi coping, yaitu health and energy, positive beliefs, problem-solving skills, an internal locus of control, social skills, social support, and material resources (Huffman, Verno, Vernoy, 2000).

a. Health and Energy

Semua stresor menyebabkan beberapa tipe perubahan fisiologis. Padahal kesehatan individu mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan coping. Semakin kuat dan sehat seseorang, semakin baik kemampuan coping mereka.

b. Positive Beliefs

Citra diri yang positif dan sikap yang positif dapat menjadi sumber utama coping. Penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya harga diri seseorang dapat mengurangi sejumlah kecemasan yang disebabkan kejadian yang menekan (Greenberg et al., 1989). Selain itu, juga dapat membuat seseorang bertahan dalam menghadapi rintangan berat. Menurut Lazarus dan Folkman, harapan dapat berasal dari kepercayaan diri, yang dapat memungkinkan seseorang untuk merancang strategi coping sendiri; kepercayaan pada orang


(38)

lain, seperti dokter yang dirasa bisa mempengaruhi hasil positif; atau kepercayaan terhadap Tuhan.

c. Problem-Solving Skills (Lazarus & Folkman, 1984)

Kemampuan memecahkan masalah termasuk juga kemampuan untuk mencari informasi, menganalisis situasi untuk mengidentifikasi masalah sehingga menghasilkan program tindakan alternatif, mempertimbangkan program tindakan alternatif, mempertimbangkan alternatif sehubungan dengan hasil yang diinginkan atau diantisipasi, dan memilih serta mengimplementasikan rencana yang cocok untuk tindakan (Janis, 1974; Janis & Mann, 1977). Kemampuan memecahkan masalah berasal dari seberapa luas pengalaman seseorang, pengetahuan seseorang, kemampuan kognitif untuk menggunakan pengetahuan, dan kapasitas untuk mengontrol diri.

d. Internal Locus of Control

Orang yang merasa memiliki internal locus of control sepanjang hidupnya, lebih berhasil dalam melakukan coping dibanding orang yang merasa tidak memiliki kontrol sepanjang kejadian dihidupnya (Strickland, 1978). Penelitian sebelumnya di China (Hamid & Chan, 1998) dan Belgium (DeBrabander, Hellermans, Boone, and Gertis, 1996) menunjukkan hubungan antara psychological stress


(39)

pelajar yang memiliki internal locus yang tinggi memiliki

psychological stress yang rendah daripada yang memiliki external locus yang tinggi.

e. Social Skills

Situasi sosial seperti rapat, kelompok diskusi, kencan, pesta, dan yang lainnya seringkali menjadi sumber kesenangan seseorang, tetapi dapat juga menjadi sumber stres bagi seseorang. Contohnya saat bertemu orang baru dan seseorang mencoba mencari bahan pembicaraan, hal itu dapat menjadi sumber stres bagi beberapa orang. Namun, orang yang memiliki kemampuan sosial (mengetahui perilaku yang sesuai untuk situasi tertentu dan mengekspresikan diri dengan baik) mengalami kecemasan yang lebih rendah dibandingkan orang yang tidak memiliki kemampuan sosial. Kemampuan sosial membantu seseorang tidak hanya untuk berinteraksi dengan orang lain tetapi juga mengkomunikasikan kebutuhan dan hasrat diri, mendapatkan bantuan ketika seseorang membutuhkan, dan mengurangi permusuhan di situasi yang tegang. f. Social Support

Dukungan sosial dapat mendukung pada saat kejadian yang menekan terjadi, seperti perceraian, kehilangan orang yang dicintai, penyakit kronis, kehamilan, kehilangan pekerjaan, dan sedang banyak pekerjaan (Winnubst, Buunk, and Marcelissen, 1988).


(40)

Untuk beberapa orang dengan masalah yang spesifik, dukungan kelompok akan membantu seseorang melakukan coping tidak hanya karena mereka menyediakan sandaran, tetapi juga karena orang dapat mempelajari teknik untuk melakukan coping dari orang lain yang mengalami masalah yang mirip.

g. Material Resources

Uang dan barang yang dapat dibeli dengan uang dapat menjadi sumber yang nyata (Adler et al., 1994; Sobel, 1994). Uang meningkatkan sejumlah pilihan yang tersedia untuk menghilangkan sumber stres atau mengurangi efek stres. Ketika seseorang dihadapkan dengan kesulitan hidup, dengan stresor yang kronis, atau dengan bencana besar, orang yang memiliki uang yang memiliki kemampuan untuk menggunakan uang dan berpengalaman memiliki tingkat stres lebih rendah dibandingkan orang yang tidak memiliki uang (Lazarus dan Folkman, 1984).

B. MYASTHENIA GRAVIS

1. Definisi Myasthenia Gravis

Myasthenia Gravis (MG) adalah sebuah penyakit neuromuskular yang ditandai dengan kelemahan dan kelelahan otot skeletal (Drachman, 2012). Sumber lain menambahkan bahwa MG adalah salah satu bentuk dari penyakit autoimun yang masih jarang


(41)

terjadi dan tidak bisa disembuhkan, dengan kejadian 1/20.000 pada populasi umum (Kulaksizoglu, 2007). Istilah Myasthenia Gravis

berasal dari bahasa Latin yaitu myasthenia yang berarti kelemahan otot, dan gravis yang berarti berat atau serius (Schact, Edmund & Djalinusyah, 2001).

MG disebabkan karena adanya penurunan sejumlah

acetylcholine receptors (AChRs) yang tersedia pada neuromuscular junction disebabkan oleh antibody-mediated atuoimmune attack

(Drachman, 2012). Sistem kekebalan tubuh pada penderita memproduksi antibodi yang menghalangi kinerja atau menghancurkan sel-sel saraf pada otot. Acetylcholine adalah salah satu senyawa neurotransmitter yang dapat mengaktifkan reseptor otot untuk berkontraksi. Jika kinerjanya terhambat oleh antibodi, jalur sambungan saraf dan otot akhirnya terputus sehingga penderita akan mengalami kelemahan dan kelelahan otot (Myasthenia Gravis, 2015). Kelemahan otot ini menyebabkan tidak terjadinya proses pergerakan otot (Kulaksizoglu, 2007). Kelemahan meningkat selama penggunaan berulang (kelelahan) atau di akhir hari, dan mungkin bisa diatasi dengan istirahat atau tidur. Kondisi semakin memburuk atau malah menjadi cukup membaik mungkin akan terjadi setelah beberapa tahun pertama penyakit muncul. Infeksi lain atau penyakit sistemik dapat


(42)

memacu meningkatnya myasthenic weakness dan mungkin menimbulkan crisis (Drachman, 2012).

2. Gejala

Penderita MG memiliki ciri-ciri yang ditunjukkan adanya kelemahan yang berubah-ubah terutama bila sedang beraktivitas (.Juel, Vern C & Massey, Janice M, 2007). Otot kranial (yang berhubungan dengan tengkorak), khususnya otot kelopak mata dan ekstraokular, biasanya muncul awal pada penyakit MG; diplopia

(penglihatan ganda) dan ptosis (menurunnya kelopak mata)umumnya menjadi keluhan pertama (Drachman, 2012). Kelemahan otot mata ini menyebabkan kesulitan pada beberapa pasien seperti kesulitan menyetir, membaca, dan menonton televisi (Juel, Vern C & Massey, Janice M, 2007).

Selain, kelemahan otot mata, gangguan pada oropharyngeal

dan kelemahan anggota tubuh biasa juga terjadi. Gangguan pada

oropharyngeal ini menyebabkan penderita mengalami dysathria

(penderita mengalami sulit berbicara/celat) dan dysphagia (sulit menelan) (Juel, Vern C & Massey, Janice M, 2007). Kesulitan menelan mungkin terjadi sebagai hasil dari kelemahan langit-langit mulut, lidah, atau faring, sehingga menimbulkan regurgitasi (naiknya makanan dari kerongkongan atau lambung tanpa disertai oleh rasa


(43)

mual maupun kontraksi otot perut yang sangat kuat) atau aspirasi (saat menghembus) yang berupa keluarnya bentuk cairan atau makanan dari hidung. Adanya gangguan pada otot rahang juga sering terjadi pada penderita MG. Penderita mengeluhkan adanya kesulitan mengunyah permen atau daging yang keras (Juel, Vern C & Massey, Janice M, 2007). Cara berbicara mungkin juga akan menjadi sengau karena disebabkan kelemahan langit-langit di daerah mulut.

Pada 85% pasien, kelemahan menjadi umum, mempengaruhi otot tungkai (Drachman, 2012). Kelemahan pada anggota tubuh pada MG menyebabkan penderita mengalami kesulitan dan rasa lemas pada anggota gerak seperti tangan dan kaki (Juel, Vern C & Massey, Janice M, 2007). Selain itu pula, penderita juga mengalami kesulitan dalam mengekspresikan wajah dan tersenyum. (Juel, Vern C & Massey, Janice M, 2007). Gejala-gejala ini umumnya terjadi secara kambuhan

dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda pada tiap penderitanya (Myasthenia Gravis, 2015). Timbulnya gejala-gejala ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti infeksi, sakit fisik, stres, suhu panas atau dingin, dan penggunaan obat tertentu (Kohler, 2007 dalam Arpandy & Halim, 2013).

3. Pengobatan

Hampir semua pasien Myasthenia Gravis dapat memiliki kehidupan yang produktif dengan diberikan treatment yang tepat. Ada


(44)

beberapa jenis treatment untuk penderita MG. Treatment yang banyak digunakan termasuk anticholinesterase medications, immunosuppresion, thymectomy, dan plasmapheresis atau intravenous immunoglobulin.

a. Anticholinesterase Medications

Obat ini berfungsi memperbaiki komunikasi antara saraf dan otot dengan hasil kekuatan otot menjadi lebih baik (Myasthenia Gravis, 2015). Pyridostigmine adalah salah satu obat

anticholisnesterase yang paling sering digunakan. Manfaat dari

pyridostigmine dirasakan dalam 15-30 menit dan bertahan hingga tiga sampai empat jam, dengan respon yang bervariasi dari individu. Jumlah dosis disesuaikan kepada kebutuhan individu (Drachman, 2012).

b. Thymectomy

Bukti yang ada menunjukkan bahwa 85% pasien mengalami peningkatan setelah thymectomy. Treatment ini memiliki keuntungan jangka panjang yaitu pada beberapa kasus pasien dapat mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk melanjutkan pengobatan. Thymectomy harus dilakukan hanya pada pasien yang berada di usia pubertas sampai usia 55 tahun (Drachman, 2012).


(45)

c. Immunosuppresion

Glucocorticoids, azathioprine, dan obat lain yang termasuk

immunosuppresion efektif pada hampir semua pasien MG.

Treatment ini akan menekan kinerja sistem kekebalan tubuh sehingga mengendalikan produksi antibodi yang abnormal (MyastheniaGravis, 2015).

d. Plasmapharesis (Drachman, 2012

Plasmapharesis adalah treatment jangka pendek untuk mencapai peningkatan kekuatan secara cepat pada penderita

myasthenia crisis, untuk menyiapkan pasien menghadapi

thymectomy atau prosedur bedah lainnya. Selama plasmapharesis, plasma yang terdiri dari antibodi AchR dipisahkan dari keseluruhan darah dan diganti oleh albumin atau plasma beku yang masih segar.

4. Dampak Myasthenia Gravis

Salah satu permasalahan yang dialami oleh penderita MG ditemukan oleh Rohr (1991, dalam Twork et al., 2010) dalam penelitian mengenai Quality of Life and Life Circumstances in German Myasthenia Gravis Patients, 30% dari pasien yang ia teliti memiliki kondisi bekerja kurang ideal. Kondisi ini terjadi terutama karena kerusakan fisik sehingga menyebabkan tujuan pekerjaan tidak dapat tercapai. Dalam penelitian yang


(46)

dilakukanKohler (2007), beberapa pasien yang menderita MG mengalami kesulitan dalam aktivitas sekolah atau bekerja serta masalah dalam menghadapi kehidupan sehari-hari mereka.

Penelitian yang dilakukan Kulaksizoglu (2007) mengatakan bahwa semua penyakit kronis, termasuk MG, memiliki konsekuensi psikologis seperti gangguan kecemasan, meliputi gangguan panik, serta gangguan depresif. Selain itu, menurut Paradis, Friedman, Lazar, et al. (1993, dalam Kulaksizoglu, 2007), perubahan karakteristik pada penderita MG menyebabkan pasien menjadi cepat marah, tegang, dan khawatir. Dalam penelitian yang dilakukan oleh dr. Yudith Rachmadiah (2012, dalam Arpandy & Halim, 2013) diketahui bahwa sebagian besar penderita MG memiliki masalah dalam melakukan aktivitas sehari-hari karena kemampuan otot yang terbatas, seperti berjalan jauh, menaiki tangga, mengangkat barang, berolahraga, memasak, dan lainnya. Masalah-masalah tersebut memunculkan banyak tekanan bagi penderita MG. Kondisi fisik tersebut memunculkan pandangan yang keliru dari orang lain terhadap penderita MG dan menyebabkan dampak psikologis pada penderita.

C. DINAMIKA ANTAR TEORI

Myasthenia Gravis adalah salah satu bentuk penyakit autoimun yang masih jarang terjadi dan tidak bisa disembuhkan (Kulaksizoglu, 2007). Penyakit ini menyebabkan kelemahan otot pada penderitanya.


(47)

Penderita tidak boleh kelelahan, kepanasan, dan stress karena dapat memicu kambuhnya penyakit. MG menimbulkan kondisi ptosis

(menurunnya kelopak mata), binocular diplopia (penglihatan ganda), dysathria (penderita mengalami sulit berbicara/celat), dysphagia (sulit menelan), kelemahan pada tangan dan kaki, kesulitan mengunyah permen karet atau daging yang keras, serta kesulitan dalam mengekspresikan wajah dan tersenyum (Juel, Vern C & Massey, Janice M, 2007). Kondisi-kondisi ini menyebabkan timbulnya permasalahan pada penderita, misal pada aktivitas sehari-hari, kegiatan sekolah, dan pekerjaan. Permasalahan-permasalahan tersebut bisa menyebabkan timbulnya dampak psikologis pada penderitanya, seperti cepat marah, tegang, dan khawatir. Raggi, Leonardi, Mantegazza, Casale, dan Fioravanti (2010, dalam Arpandy & Halim, 2013) mengatakan kondisi stress dapat memicu tingkat keparahan penderita. Untuk itulah untuk mengelola permasalahan-permasalahan yang menimbulkan dampak psikologis, dibutuhkan sebuah cara atau metode. Cara atau metode inilah yang disebut dengan strategi coping. Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa ada dua jenis strategi coping, yaitu

problem focused coping dan emotion focused coping. Untuk pemilihan strategi coping yang akan digunakan biasanya seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik itu dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Jika penderita MG bisa menghadapi permasalahannya dengan menggunakan strategi coping yang dimiliki, maka dapat mencegah atau mengurangi


(48)

kambuhnya MG. Dengan demikian, melalui penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan bagaimana strategi coping yang dilakukan penderita

Myasthenia Gravis dalam mengelola permasalahan yang dialami akibat kondisi dirinya.


(49)

Gambar 1: Skema Dinamika Antar Teori

Problem Focused Coping

Strategi Coping

Timbul permasalahan Kondisi penderita

Myasthenia Gravis

Emotion-Focused Coping

Faktor yang


(50)

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS DAN DESAIN PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif melibatkan usaha penting seperti mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data yang spesifik dari partisipan, menganalisis data secara deduktif, dan menginterpretasikan makna sebuah data (Creswell, 2014). Secara umum, penelitian kualitatif lebih mengandalkan data berupa ungkapan subjek penelitian untuk mengeksplorasi fenomena atau permasalahan pokok yang terdapat dalam sebuah penelitian (Supratiknya, 2015).

Peneliti menggunakan pendekatan deduktif dengan directed content analysis atau analisis isi terarah karena menurut Hsieh dan Shannon (2005, dalam Supraktiknya 2015), analisis isi terarah bertujuan untuk memvalidasi atau menguji ulang sebuah kerangka teoritis atau bahkan sebuah teori. Pendekatan ini cocok diterapkan jika sudah ada teori atau hasil-hasil penelitian tertentu tentang suatu fenomena dan ingin diuji kembali dalam sebuah konteks baru dengan menggunakan kelompok subjek yang baru pula. Hsieh dan Shannon (2005, dalam Supraktiknya,


(51)

2015) menyatakan juga bahwa pada pendekatan ini, teori atau hasil penelitian sejenis dipakai untuk membantu merumuskan pertanyaan penelitian atau membantu menentukan skema awal pengodean atau skema awal hubungan antar kode. Miles et al. (2014, dalam Willis, Sullivan-Bolyai, Knafl, & Zichi-Cohen, 2016) juga mengatakan bahwa kerangka atau skema konsep yang dikembangkan dari literatur dan membantu dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Hsieh dan Shannon (2005, dalam Supraktiknya, 2015) menggunakan istilah deductive category application

atau penerapan kategori secara deduktif untuk menyebut penggunaan teori hasil penelitian terdahulu untuk menyusun skema awal pengodean.

Peneliti mengganti penelitian ini dari fenomenologi menjadi analisis isi terarah karena menurut Husserl (dalam Willis, Sullivan-Bolyai, Knafl, & Zichi-Cohen, 2016). berdasarkan filosofinya, hasil fenomenologi harus terdiri dari embodiment, waktu, spatial, dan relasi dengan orang lain. Selain itu, alasan lain, peneliti mengganti jenis penelitian ini karena fenomenologi bertujuan mendeskripsikan makna dan esensi dari sebuah pengalaman atau fenomena (Willis, Sullivan-Bolyai, Knafl, & Zichi-Cohen, 2016), sedangkan penelitian yang dilakukan hanya melakukan deskripsi atau penggambaran tanpa melihat maknanya.


(52)

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini berfokus bagaimana strategi coping penderita

myasthenia gravis. Peneliti akan melihat bagaimana penderita MG mengelola permasalahan-permasalahan yang dialami akibat dari kondisinya.

C. SUBJEK PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposeful sampling untuk memilih subjek. Peneliti memilih individu yang sesuai dengan masalah penelitian dan fenomena yang ada pada penelitian ini. Pemilihan ini terkait siapa atau apa yang akan diteliti, tujuan penelitian, dan berapa banyak subjek yang dibutuhkan.

Dalam penelitian ini, subjek yang dipilih oleh peneliti adalah penderita Myasthenia Gravis. Penderita Myasthenia Gravis mengalami permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya akibat kondisi yang disebabkan penyakit MG. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti strategi coping yang digunakan penderita Myasthenia Gravis untuk mengatasi permasalahan yang dialami. Subjek penelitian yang dipilih adalah penderita yang sudah bisa melalui permasalahan-permasalahan yang dialami.


(53)

D. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

Peneliti mengumpulkan data dengan metode wawancara. Wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 1998). Wawancara membantu para partisipan bisa lebih leluasa untuk bisa memberikan informasi historis dan memungkinkan peneliti mengontrol alur tanya jawab. (Creswell, 2014).

Jenis wawancara yang dipilih adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan mendalam tergantung dengan topiknya. Penggunaan wawancara semi terstruktur ini memungkinkan peneliti dan partisipan melakukan dialog, dan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya dapat dimodifikasi menurut respon partisipan. Dengan demikian, peneliti dapat menyelidiki lebih jauh hal-hal menarik dan penting yang muncul (Smith, 2009).

Selain itu, pertanyaan yang diberikan adalah pertanyaan terbuka yang merefleksikan konsep dari kerangka yang sudah dibuat. Respon dari partisipan akan mempengaruhi apakah pertanyaan akan diubah, dihilangkan, atau ditambah pertanyaan baru (Wills, Sullivan-Bolyai, Knafl, & Zichi-Cohen, 2016). Berikut ini adalah panduan wawancara yang berdasarkan pada pertanyaan penelitian:


(54)

Tabel 3.1

Panduan pertanyaan wawancara

Pertanyaan Tujuan Pertanyaan

Gambaran penyakit Sejak kapan Anda menderita MG? Menurut Anda pribadi, apa itu MG? Bagaimana gejala awal yang Anda alami?

Rapport, mengetahui kondisi awal mula subjek menderita penyakit MG.

Ketika mengetahui kalau Anda

menderita MG, bagaimana perasaan Anda? Pikiran Anda? Apa yang Anda lakukan?

Mengetahui respon awal penderita dan apa yang dilakukan.

Pengobatan seperti apa saja yang pernah Anda lakukan?

Mengetahui sudah sampai tahap mana pengobatan yang dijalani

Permasalahan yang dihadapi Bagaimana aktivitas Anda sebelum

sakit?

Apa dampak MG bagi aktivitas Anda?

Melihat perubahan dan dampak aktivitas sosial penderita

Bagaimana relasi anda dengan orang-orang di sekitar anda sebelum sakit? Apa dampak MG bagi relasi Anda?

Mengetahui bagaimana relasi sosial subjek sebelum dan sesudah MG.

Ketika menjalani pengobatan, apa yang Anda rasakan dan pikirkan?

Melihat bagaimana subjek dalam menjalani pengobatan

Hal apa yang membuat Anda

down/tertekan terkait MG?

Mengetahui hal yang membuat penderita tertekan

Berkaitan dengan tugas utama (misal

mahasiswa), bagaimana Anda

mengatasi masalah yang timbul

berkaitan dengan tugas utama?

Melihat strategi coping terkaitan tugas utama

Coping Apa yang Anda lakukan untuk

menghadapi

permasalahan-permasalahan yang dialami?

Melihat strategi coping yang digunakan

Faktor yang mempengaruhi coping

Apakah Anda mengikuti komunitas

penderita MG? Apakah Anda

merasakan manfaatnya?

Melihat apakah dukungan sosial mempengaruhi strategi coping penderita MG.

Bagaimana juga respon orang-orang

terdekat? (keluarga, teman,

pasangan)

Mengetahui respon orang-orang disekitarnya.


(55)

E. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang bisa saja melibatkan proses pengumpulan data, interpretasi, dan pelaporan hasil secara bersama-sama. Langkah-langkah yang akan digunakan untuk melakukan analisis isi terarah berbasis penerapan kategori secara deduktif mencangkup langkah-langkah berikut ini (Supraktiknya, 2015):

1. Langkah pertama adalah menyusun sebuah matriks kategorisasi (Elo & Kyngas, 2008). Jika pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, maka kepada para partisipan, akan diajukan pertanyaan utama yang bersifat terbuka tentang aneka pengalaman yang dialami oleh partisipan, serta diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang lebih terarah sekitar kategori-kategori yang sudah ditentukan sebelumnya (Hsieh & Shannon, 2005).

2. Langkah kedua adalah melakukan coding atau pengodean. Tujuan penelitian dengan analisis isi terarah adalah mengidentifikasi dan mengkategorikan semua bentuk manifestasi dari fenomen tertentu yang sedang diteliti. Menurut Hsieh dan Shannon (2005), ada dua kemungkinan cara untuk melakukan pengodean. Cara pertama dimulai dari peneliti membaca keseluruhan transkip, kemudian menandai setiap bagian teks yang merepresentasikan fenomen yang sedang diteliti. Setelah itu, peneliti menentukan kode dari semua bagian teks yang sudah ditandai dengna menggunakan kode-kode yang sudah


(56)

ditentukan dalam matriks kode; setiap bagian teks yang dipandang merepresentasikan fenomen yang diteliti tetapi tidak cocok dimasukkan ke dalam salah satu kode pada matriks kode diberik kode baru atau tambahan. Cara kedua dimulai juga dengan membaca keseluruhan transkip wawancara, kemudian langsung dilakukan pengodean dengan kode-kode yang sudah ditentukan di matriks kode. Data-data yang tidak bisa segera dimasukkan ke dalam salah satu kode akan ditandai. Selesai pengodean, bagian-bagian teks yang belum bisa dimasukkan ke dalam salah satu kode, dianalisis untuk menentukan apakah bagian-bagian tersebut merepresentasikan satu atau lebih kategori baru atau hanya merupakan subkategori dari salah satu kode yang sudah tersedia (Hsieh & Shannon, 2005).

F. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas penelitian terdiri atas validitas kualitatif dan reliabilitas kualitatif. Validitas kualitatif dimaknai sebagai upaya pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitan dengan menerapkan prosedur-prosedur tertentu. (Gibbs, 2007 dalam Creswell, 2014). Salah satu metode validasi yang digunakan peneliti adalah melakukan member checking. Peneliti akan mengecek kembali ke partisipan untuk memastikan keakuratan rumusan tema yang telah dibuat oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara. Selain itu, metode lainnya adalah dengan external auditor.


(57)

Peneliti akan mengajak seorang auditor, yaitu dosen pembimbing skripsi, untuk mereview keseluruhan penelitian yang telah dilakukan. (Creswell, 2014).


(58)

BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

1. Persiapan Penelitian dan Perizinan

Dalam penelitian ini, subjek yang diteliti adalah penderita

Myasthenia Gravis. Untuk menentukan partisipan ini, peneliti menggunakan purposeful sampling. Pada awalnya, peneliti mencari subjek di komunitas Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia yang berada di salah satu media sosial. Kemudian secara spesifik, peneliti mencari penderita yang berada di Yogyakarta dan sekitarnya. Setelah menemukan beberapa subjek, peneliti menghubungi secara langsung untuk menanyakan kesediaan para subjek. Kemudian peneliti dan subjek menentukan jadwal dan tempat untuk melakukan wawancara.

Sebagai bentuk kebersediaan, subjek diminta untuk mengisi

informed consent yang sudah disediakan oleh peneliti pada hari wawancara. Sebelum mengisi informed consent, peneliti menjelaskan secara singkat tentang tujuan wawancara dan juga sekaligus perijinan untuk menggunakan alam perekam berupa handphone. Wawancara dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda yang sudah disepakati sebelumnya. Sebelum melakukan wawancara, peneliti membuat panduan wawancara berdasarkan teori-teori yang ada.


(59)

2. Pelaksanaan Penelitian

Sebelum pelaksanaan wawancara, peneliti memulai dengan

rapport kepada setiap subjek agar subjek merasa nyaman. Setelah subjek mulai merasa nyaman, peneliti mulai melakukan wawancara. Berikut ini merupakan waktu dan tempat pelaksanaan penelitian

Tabel 4.1

Waktu dan Tempat Penelitian

No Keterangan Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

1. Wawancara partisipan

Wawancara 1: Kamis, 14 April 2016 (10.00 WIB) di Fakultas

Ekonomi UMY Wawancara 2: Jumat, 24 Juni 2016

(17.00 WIB) di rumah partisipan

Wawancara 1: Kamis, 11 Juni 2016 (21.00 WIB) di rumah partisipan

Wawancara 2: Kamis, 4 Agustus 2016 (20.00 WIB) di rumah partisipan

Wawancara 1: Senin, 27 Juni 2016 (14:41 WIB) di rumah

partisipan Wawancara 2: Senin, 01 Agustus 2016 (09.45 WIB) di rumah partisipan

B. PARTISIPAN PENELITIAN

1. Data partisipan

Tabel 4.2 Data Partisipan

No. Keterangan Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

1 Nama Inisial P1 P2 P3 2 Usia 21 tahun 20 tahun 37 tahun 3 Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki 4 Pekerjaan Mahasiswi Mahasiswi -


(60)

menikah 6 Pendidikan

terakhir

SMA SMA SMA


(61)

42

2. Latar Belakang Partisipan

Berikut ini adalah tabel yang berisi latar belakang gambaran penyakit partisipan.

Tabel 4.3

Latar Belakang Partisipan

Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

Lama sakit 15 tahun 5 tahun 3 tahun

Diagnosis awal Tahun 2013 (ketika akan

masuk kuliah karena butuh surat dari dokter untuk ospek)

Tahun 2011 Tahun 2013

Gejala Awal Terjatuh saat menari dan

terjatuh saat berjalan akibat kelelahan.

Sering jatuh, mendadak seluruh tubuh lemas saat basket.

Saat beraktivitas band tiba-tiba mata kiri menutup (ptosis), kelelahan saat aksi panggung, nafas yang tidak kuat saat bernyanyi, dan tidak kuat vokal tinggi.

Gejala lain yang

pernah dialami

Sulit menelan, barang yang dipegang terjatuh, ptosis, dan diplopia, suara yang sering hilang

Diplopia, ptosis, kesulitan berjalan, kesulitan mengangkat gayung, mata terasa berat, sulit mengunyah, dan tersedak makanan, kesulitan tersenyum, kesulitan berekspresi muka, kadang-kadang sesak nafas

Pelo, sengau, tidak bisa menelan makanan, lemas

Penyebab kambuh Kelelahan, musim dingin,

dan minum es dalam porsi

Kelelahan, stress, kepanasan, kedinginan, sakit.


(62)

43 yang banyak, batuk, serta panas matahari.

Pengobatan yang

pernah/sedang dijalani

Terapi listrik, pengobatan alternatif Jepang, Cina, pengobatan tradisional, mestinon

Mestinon, plasmapharesis Mestinon

C. ANALISIS DATA PENELITIAN

Tabel 4.4

Strategi Coping Penderita Myasthenia Gravis

Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

Gambaran

Kondisi Penderita MG

Gejala awal - Terjatuh saat menari dan berjalan (12-14)

- Jatuh dan tubuh lemas saat basket (line 2-9)

- Ptosis, kelelahan saat di panggung, nafas tidak kuat, vokal tinggi tidak kuat saat menyanyi (line 2-5; 5-13) Diagnosis awal - Diagnosis awal diketahui

tahun 2013 (line 1-7) - Perasaan sedih dan tidak

adil (27-31; 115-118)

- Diagnosis awal diketahui tahun 2011 (line 9-15)

- Menerima diagnosis September 2014; muncul perasaan kacau dan sedih, sempat menyalah Tuhan (line 109-113)

Gejala lain yang dialami

- Gejala lain yang dialami adalah sulit menelan,

- Gejala lain yang dialami adalah diplopia, ptosis,

- Gejala lain yang dialami adalah pelo,


(63)

44

Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

barang yang dipegang terjatuh, ptosis, dan diplopia, suara yang sering hilang (line 53-62; 291-299)

- Kondisi saat haid (74-75)

kesulitan berjalan, kesulitan mengangkat gayung, mata terasa berat, sulit mengunyah, dan tersedak makanan, kesulitan tersenyum, kesulitan berekspresi muka, kadang-kadang sesak nafas (line 20-23; 66-72; 75-76)

sengau, tidak bisa menelan makanan, lemas (line 50-59; 22-37)

- Terjatuh dari tetangga akibat lemas (line 348-355)

Penyebab terpicunya MG muncul

(kambuh)

- kelelahan, musim dingin, dan minum es dalam porsi yang banyak, batuk, serta panas matahari. (line 69-73; 135-138

- kelelahan, stress, kepanasan, kedinginan, sakit. (line 94-97; 431-438)

- Penyebab kondisi menurun (line 440-442)

- Panas matahari (line 40-46; 150-178)

Perasaan yang muncul pada penderita MG

- Perasaan takut, sedih, kecewa (line 63-65; 83-85; 321-324)

- Perasaan sedih, stress, takut, perasaan tidak berguna, tidak memiliki harapan (line 245-248; 324-328; 331-334; 399-403)

Pengobatan - Terapi listrik, pengobatan alternatif Jepang, Cina, pengobatan tradisional, mestinon (302-311)

- Kondisi terparah (line 230-244)

- Mestinon, plasmapharesis (line 251-253; 256-294; 310-316; 324-334; 396-307)

- Mestinon (line 183-184; 193-104)

Permasalahan-Permasalahan Yang Dihadapi

- Gambaran aktivitas tidak berdampak

(line 187-192) berdampak (line

83-85; 97-103;

- Gambaran aktivitas (line 32-38; 61-65; 153-173; 176-180)

- Gambaran aktivitas (line 132-134; 142-148;342-344)


(64)

45

Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

242-244; 266-268) - Gambaran relasi dengan

orang sekitar (line 93-95; 97-103)

- Gambaran relasi dengan orang sekitar

tidak berdampak (line 203-207)

berdampak (line 207-211)

- Gambaran relasi dengan orang sekitar (line 243-248;254-264; 264-271; 271-272; 281; 285-289; 295-296; 296-301; 301-303; 312-317; 380-383; 385-388)

- Gambaran sebagai pelajar

tidak berdampak (line 187-192; 286-287)

berdampak (line 244-251; 253-263; 266-268; 282-284; 341-350)

- Gambaran sebagai mahasiswa

tidak berdampak (line 184-195; 221-228; 348-349)

berdampak(line 192-193; 214-219; 349-361; 366-368)

- Gambaran sebagai seorang anak dan saudara:

tidak berdampak (line 200-203)

berdampak (line 129-132)

- Gambaran tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga (line 102-107;115-137; 379-380; 388-394) - Gambaran tanggung

jawab sebagai seorang ayah (line 409-416)

- Gambaran ketakutan akan masa depan (line 410-412)

- Gambaran ketakutan akan masa depan (line 456-459)

Strategi Coping

Problem Focused

- - Active coping (line 18-23; 66-68; 410-412)

- Active coping (line40-43; 460-462)

- Active coping (line 15-18)


(65)

46

Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

Coping - Suppresion of competing

activites (line 87-89; 93-95; 287-288)

- Planning (line 87-89; 92-95; 375-382; 387-397) - Seeking social support for

instrumental reasons (line 194-197)

- Suppresion of competing activities (line 161-169) - Planning 369-372)

- Seeking social support for instrumental reasons (line 336-342)

- Suppresion of competing activities (line 102-107) - Planning (line

35-37; 68-70)

- Seeking social support for instrumental reasons (line 396-407)

Strategi Coping

Emotion Focused Coping

- Turning to religion (line 180-185; 311-315)

- Turning to religion (line 54-57; 89-90; 319-320; 395-397)

- Turning to religion (line 38-40; 100-101;384-385; 443-448)

- Acceptance (line 120-122; 163-164; 266-268)

- Acceptance (line 38; 80-82; 87-89; 176-180)

- Acceptance (line 59-62; 62-70; 70-76; 92-96; 137-140; 261-264; 423-424) - Positive Reinterpretation

(line 123-137)

- Positive

reinterpretation (line 15-16; 113-115; 286-287;320-328; 331-335)

- Denial (line 27-33; 106-113)

- Denial (line 9-12; 28-29; 43-50)

- Proyeksi (line 164-169; 173-175)

- Seeking social support for emotional reasons (line 336-342)

- Focusing on and venting emotion (207-220; 272-281) - Behavioral


(66)

47

Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

344-348; 355-359)

Faktor Yang

Mempengaruhi

Strategi Coping

- Social support (line 89-92; 113-114; 127-129; 142-148; 151-160; 190-191; 199-211; 214-221; 237-239; 271-276; 350-357; 358-363; 401-407)

- Social support (line 10-13; 57-59; 85-103; 121-123; 134-140; 141-144; 146-149; 200-203; 203-207; 320-322; 375-382)

- Social support (line 84-85; 167-178; 248-252; 270-271; 293-294; 303-308; 337-342; 352-354; 384-385 416-420; 431-434; 438-440; 442-452)

- Positive Beliefs (line 180-185)

- Positive beliefs (line 40-43; 89-90; 319-320)

- Positive beliefs (line 62-70; 76-81; 96-98; 103-112; 204-206; 457-471)

- Problem solving skills (line 375-382; 387-397)

- Problem solving skills (line 369-372)

- Problem solving skills (line 68-70) - Internal locus of control

(line 123-127)

- Internal locus of control (line 248-250)

- Internal locus of control (line 218-220; 437-438) - Social skills (line 211-213) - Social skills (line


(67)

48 1. Analisis P1

a. Gambaran Kondisi Penderita MG

Hasil penelitian menunjukkan bahwa P1 bahwa sudah mengalami gejala MG sejak kecil tetapi baru mengetahui penyakitnya ketika akan masuk kuliah. Saat mengetahui diagnosis dari dokter, P1 merasa sedih dan juga tidak adil karena ia mengalami kondisi seperti itu.

“Sebenernya aku tu ngalamin gejalanya itu dari kecil, tapi divonis sama dokternya itu waktu mau masuk kuliah karna waktu itu kan butuh surat itu kan buat ospek. Nah dokternya tu baru vonis itu. Tapi sebelumnya tu dokter tu udah ngasih tanda-tanda ga boleh ini ga boleh itu..” (line 1-7)

“Perasaannya sedih dong kan aku sebelumnya sudah searching-searching akibatnya nanti matanya kelopak matanya akan semakin menurun. Ya pasti perasaannya sedih kok kayak ga adil aja.... Ya soalnya ga adilnya kok harus aku gitu, kok enggak yang lain.” (line 27-31; 115-118)

Gejala awal yang dialami P1 adalah sering terjatuh saat menari dan saat berjalan karena kelelahan. P1 juga mengalami gejala lain seperti susah menelan, barang yang dipegang terjatuh, ptosis, dan

diplopia. Selain itu, P1 juga mengalami gejala suara yang sering hilang. Kemudian jika P1 sedang batuk bisa terjadi berminggu-minggu karena batuk adalah musuh utama penderita MG

.

“Tapi gejalanya tu dari kecil ee kecil TK tu dulu waktu nari di panggung tu sering jatuh, trus jalan kalau kelelahan jatuh juga kayak gitu.” (line 12-14)


(1)

262 P3 suka ke sana juga beliau juga nasihatin.

Kebetulan beliau juga yang ngajarin bioenergi reiki. Beliau tempat curhat P3. (line 396-407) 408

409 410 411 412 413 414 415 416 417 418

Terus bagaimana sebagai seorang suami, seorang ayah ada hambatannya ga selama sakit ini? Ya paling ketika lemah itu aku ga bisa gendong anakku, ketika anakku “ayah gendong”, kan anakku masih usia dua tahun, masih satu, anakku satu usia dua tahun, “yah gendong ayah gendong”, aduh aku pingin gendong tapi ga pas lemah, mungkin habis kepanasan atau kecapean aku harus istirahat dulu kan, ga bisa paling. Terus ee tapi senyumnya anakku yang bikin secara psikologi itu menyemangati terus tu loh, memotivasi aku untuk gimana caranya aku

Hambatan yang dialami P3 sebagai seorang ayah adalah ketika ga bisa menggendong anak, P3 pingin gendong tapi ga bisa karena pas lemah, mungkin habis kepanasan

P3 mengalami hambatan sebagai seorang ayah. (line 409-416)

Gambaran tanggung jawab sebagai seorang ayah (line 409-416)

Permasalahan yang dihadapi (line 409-416)


(2)

263 419

420

sehat lagi gitu loh. Kadang senyum yang membuat bahagia. Punya kebahagiaan tersendiri juga sih.

atau kecapean sehingga P3 harus istirahat dulu. (line 409-416)

Senyumnya anak P3 yang bikin secara psikologi itu menyemangati terus, memotivasi untuk gimana caranya P3 sehat lagi. Kadang senyum yang membuat bahagia. Punya

kebahagiaan tersendiri juga sih. (line 416-420)

P3 merasa senyum anaknya menjadi penyemangat dan membuat

kebahagiaan

untuknya. (line 416-420)

Social support (line 416-420)

Faktor yang mempengaruhi strategi coping (line 416-420)


(3)

264 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 Tambahan:

Bagaimana mas yorfi mengatasai rasa sedih karena kesulitan menggendong anak karena lemas? Ya, aku kembalikan ke penyakitku, ya aku sakit gini mau gimana, ya kadang aku juga sedih tapi dua minggu ini aku udah bisa gendong anakku, ga tau mudah-mudahan bisa seterusnya. Dua minggu ini sejak Lebaran kemarin, udah bisa gendong anakku, udah bisa ajak keliling-keliling anakku, tapi panas belum berani, mulai jam segini aku udah di dalam rumah, tapi biasanya pagi atau sore ajak jalan-jalan anak. Mungkin itu salah satu obat juga sih, lihat senyumnya anakku tu udah seneng banget aku. Dulu jaman pacar liat senyum pacar, waktu nikah senyum istri, sekarang senyum anak.

P3 kembalikan ke penyakit karena sakit gini mau gimana, (line 423-424)

Mungkin itu salah satu obat juga sih, lihat senyumnya anakku tu udah seneng banget aku. (line 431-434)

P3 berusaha menerima kondisi yang menyebabkan ia kesulitan menggendong

anaknya. (line 423-424)

Senyuman anak adalah obat bagi P3 (line 431-434) Acceptance (line 423-424) Social support (line 431-434) Emotion Focused Coping (line 423-424)

Faktor yang mempengaruhi strategi coping (line 431-434)

435 436 437 438

Trus sampai saat ini yang paling berpengaruh sama mas yorfi untuk menjalani kehidupan mas yorfi saat ini itu apa? Ya, motivasi untuk sehat aja sih, untuk sehat lagi. Terus keluarga, anak istri itu

Hal yang paling berpengaruh yaitu motivasi untuk sehat. Terus

Hal yang paling mempengaruhi hidup P3 adalah motivasi untuk sehat, istri,

Social support (line 438-440;442-452)

Faktor yang mempengaruhi strategi coping (line


(4)

438-265 439

440 441 442 443 444 445 446 447 448 449 450 451 452 453 454

juga, soalnya kan istriku tulang punggung juga kan sekarang, otomatis bapakku juga ga bisa ngopeni aku, beliau udah pensiun dari UGM, stroke juga, ya istriku lah yang sekarang, anak istriku lah yang mbuat aku pingin sehat lagi. Kalau aku tidur malam, lihat wajah istriku, wajah anakku, kecapean, kita merenung juga, ngomong sama Tuhan juga, “ya Tuhan kok aku pingin sehat lagi, kasihan istriku, kasihan anakku”, kadang ga sengaja nangis, sampe nangis juga, sampe sesenggukan gitu kadang, istriku bangun, “ngopo mas”, ya aku cerita, paling dia cuman “yaudah masih dikasih kayak gini, udah istirihat dulu mas, istirahat lagi”, istriku ambilin air, aku tidur udah. Ya yang bikin aku semangat ya mereka berdua ini. hehe Keluarga Cemara, (nyanyi) harta yang paling terindah adalah keluarga, gitu kan.

keluarga, anak istri itu juga, soalnya kan istri menjadi tulang punggung

sekarang, bapak P3 juga ga bisa ngopeni P3 karena beliau udah pensiun dari UGM, stroke juga. Anak istri P3 yang mbuat ia pingin sehat lagi. Kalau tidur malam, lihat wajah istri, wajah anak, kecapean, P3 merenung juga, ngomong

dan anak (keluarga). (line 437-453)

P3 berdoa kepada Tuhan untuk

Internal locus of control (line 437-438)

Turning to religion line

440;442-452)

Faktor yang mempengaruhi strategi coping (line 437-438)

Emotion focused coping


(5)

266 sama Tuhan juga, “ya Tuhan kok aku pingin sehat lagi, kasihan istriku, kasihan anakku”, kadang ga sengaja nangis. (line 437-453)

menenangkan diri (line 443-448)

443-448) line 443-448)

455 456 457 458 459 460 461 462 463 463 464 465

Apa sih yang menyebabkan Mas Yorfi bisa mengambil sisi positif ataupun berpikir positif? ya soalnya, apa ya kalau kita berpikir yang negatif itu, hal-hal negatif tu malah lebih cepet datang. Kalau kita berpikiran negatif malah cepet datang daripada yang positif. Tapi kalau kita berpikiran positif agak lama sih tak akuinlah, kadang-kadang lama datangnya tapi kalau lama itu kita nikmati prosesnya itu sama aja kayak kata orang Katolik, aku kan sering diskusi dengan pendeta Katolik, itu seolah-olah kita hidup di lingkaran kasih Tuhan, jadi kita selalu diberi kedamaian oleh Tuhan dan aku

P3 mengatakan kalau berpikir yang negatif itu, hal-hal negatif malah lebih cepat datang. Tapi kalau berpikir positif memang datangnya agak lama tapi kalau dinikmati

prosesnya itu

P3 memiliki kepercayaan

terhadap Tuhan (line 457-471)

Positive beliefs (line 457-471)

Faktor yang mempengaruhi strategi coping (line 457-471)


(6)

267 466

467 468 469 470 471

sambungkan ke Islam, Innallaha Ma'ana, sesungguhnya Allah beserta kita, Tuhan bersama kita, kalau katoliknya Immanuel, ada yang berkah dalem dan lain-lain, ternyata itu sama semua hakikatnya, makanya aku ambil positifnya, biar Tuhan selalu sama aku gitu loh.

sama aja seolah-olah kita hidup di lingkaran kasih Tuhan, jadi kita selalu diberi kedamaian oleh Tuhan makanya

P3 ambil

positifnya, biar Tuhan selalu bersama P3. (line 457-471)