PENGEMBANGAN METODE BERMAIN DENGAN PAPAN BUSA MATA PELAJARAN IPS KELAS IV SEKOLAH DASAR NEGERI KECAMATAN BANGUNREJO LAMPUNG TENGAH

(1)

PENGEMBANGAN METODE BERMAIN DENGAN PAPAN BUSA MATA PELAJARAN IPS KELAS IV SEKOLAH DASAR NEGERI

KECAMATAN BANGUNREJO LAMPUNG TENGAH

Oleh

AGUNG HERI PRASMANTO (Tesis)

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapat Gelar MAGISTER PENDIDIKAN

Pada

Jurusan Teknologi Pendidikan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

ABSTRACT

DEVELOPMENT OF STYROFOAM PLAY METHOD AT SOCIAL STUDIES AT FOURTH GRADE OF STATE ELEMENTARY SCHOOL OF

SUB BANGUN REJO CENTRAL LAMPUNG

By

Agung Heri Prasmanto

The objective of research are : (1) to describe potency and condition which is happened now, (2) to explain the development of styrofoam play process method, (3) to produce styrofoam play method (4) to explain the effectiveness, and (5) the interest of styrofoam play method.

This research is research and development. Population of research is student of fourth grade state elementary school at sub Bangunrejo Central Lampung. To taking sample used Purposive Sampling. To collecting the data used questionnaire, test and observation. Analyzed the data used t-test.

The result of research is: (1) there are objects around the school that could be used in the learning process and learning outcomes in elementary school in sub Bangunrejo is low, (2) early form method of playing with styrofoam beginning step to play puzzel with 3×3 models turned into a model puzzel 2×3 with a cardboard base that initially replaced with foam board intact, (3) playing with styrofoam method developed form of the game puzzel made from styrofoam and played in groups, (4) playing with styrofoam method is more effective -0,01 than conventional method (5) playing with styrofoam method attractive for students. Key word: activities, study result, play method, styrofoam.


(3)

ABSTRAK

PENGEMBANGAN METODE BERMAIN DENGAN PAPAN BUSA MATA PELAJARAN IPS KELAS IV SEKOLAH DASAR NEGERI

KECAMATAN BANGUNREJO LAMPUNG TENGAH

Oleh

Agung Heri Prasmanto

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan potensi dan kondisi pembelajaran yang telah berlangsung saat ini, (2) menjelaskan proses pengembangan metode bermain papan busa, (3) menghasilkan metode bermain dengan papan busa (4) menjelaskan efektivitas, dan (5) kemenarikan metode bermain dengan papan busa.

Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan. Populasi penelitian adalah siswa kelas IV SD Negeri Kecamatan Bangunrejo Lampung Tengah. Teknik pengambilan sempel dengan Purposive Sampling. Data dikumpulkan menggunakan angket, tes dan pedoman observasi. Data dianalisis menggunakan uji t.

Hasil penelitian ini adalah: (1) terdapat benda-benda di sekitar sekolah yang bisa dimanfaatkan dalam proses pembelajaran dan hasil belajar pada sekolah dasar di Kecamatan Bangunrejo masih rendah, (2) bentuk awal metode bermain dengan papan busa awal untuk bermain pazel dengan model 3×3, berubah menjadi model pazel 2×3 dengan alas yang awalnya berupa kardus di ganti dengan papan busa yang utuh, (3) metode bermain dengan papan busa yang dikembangkan berbentuk permainan pazel yang terbuat dari papan busa dan dimainkan secara berkelompok, (4) metode bermain dengan papan busa lebih efektif -0,01 dibandingkan dengan metode konvensional (5) metode bermain dengan papan busa menarik bagi siswa. Kata kunci : aktivitas, hasil belajar, metode bermain, papan busa.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL...xiii

DAFTAR GAMBAR...xiv

DAFTAR LAMPIRAN..,... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang... 1

1.2Fokus Penelitian... 7

1.3Perumusan Masalah... 8

1.4Tujuan Penelitian... 8

1.5Manfaat Penelitian... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Deskriptif Teori... 11

2.1.1 Aktivitas Belajar dan Pembelajaran... 11

2.1.1.1 Belajar dan Pembelajaran... 11

2.1.1.2 Teori Aktivitas Belajar... 15

2.1.1.3 Prestasi Belajar... 17

2.1.2 Media Pembelajaran Berbasis Pendekatan SAVI... 18

2.1.2.1 Media Pembelajaran... 18

2.1.2.2 Macam-Macam Media... 20

2.1.2.3 Media pembelajaran berbasis pendekatan SAVI.. 23

2.1.3 Teori Belajar dan Pembelajaran... 27

2.1.3.1 Teori Disiplin Mental... 27

2.1.3.2 Teori Behaviorisme... 29

2.1.3.3 Teori Cognitive Gestalt-Filed... 33

2.1.3.4 Teori Belajar Kontruktivisme... 37

2.1.3.5 Teori Deskriptif dan Preskriptif... 44

2.2Desain Pembelajaran Model ASSURE ... 46

2.3Metode Bermain dengan papan busa ... 49

2.2.1 Metode Bermain ... 49

2.2.2 Bermain dengan Papan Busa ... 50

2.4Penelitian yang Relevan ... 54

2.5Kerangka Berfikir... 57

2.6Hipotesis... 57

BAB III Metode Penelitian 3.1Jenis Penelitian... 59

3.2Tempat dan Subjek Penelitian...59


(8)

3.4.2 Kajian Empirik... 64

3.4.3 Analisis Kebutuhan Siswa... 65

3.4.4 Teknik Pengumpulan Data... 65

3.4.5 Kisi-kisi dan Instrumen Penelitian... 65

3.4.5 Teknik Analisis data... 66

3.5Metode Penelitian Tahap II Pengembangan Produk... 67

3.5.1 Model Rancangan Eksperimen... 67

3.5.2 Populasi dan Sempel... 67

3.5.3 Teknik Pengumpulan Data... 68

3.5.4 Kisi-kisi dan Instrumen Penelitian... 68

3.5.5 Teknik Analisis data... 73

3.6Uji Validasi Ahli... 75

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1Hasil Penelitian... 81

4.1.1 Potensi dan Kondisi Belajar... 81

4.1.2 Proses Pengembangan Metode Bermain dengan Papan Busa... 83

4.1.3 Produk Pengembangan... 88

4.1.4 Efektivitas Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa... 88

4.1.5 Kemenarikan Metode Bermain dengan Papan Busa... 105

4.2Pembahasan... 106

4.2.1 Potensi dan Kondisi Belajar... 106

4.2.2 Proses Pengembangan Metode Bermain dengan Papan Busa... 107

4.2.3 Produk Pengembangan... 108

4.2.4 Efektivitas Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa... 109

4.2.5 Kemenarikan Metode Bermain dengan Papan Busa... 112

4.3Keterbatasan Penelitian ... 112

BAB V Kesimpulan dan Saran 5.1Kesimpulan... 114

5.2Saran... 115 DAFAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan peserta didik sendiri adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Pengertian belajar menurut Meier (2002: 93) adalah proses mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman menjadi kearifan, dan kearifan menjadi tindakan. Sedangkan Miarso (2009: 528) mengungkapkan kegiatan pembelajaran dalam konsep teknologi pendidikan disebut juga intruksional, yaitu usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif tertentu dalam kondisi tertentu. Lingkungan pendidikan yang merupakan


(10)

tempat berlangsungnya proses pendidikan adalah bagian dari lingkungan sosial. Umar Tirtarahardja dan La Sula (dalam Sugiarto, 2012) mengemukakan bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah sebagai proses transformasi budaya yang berarti pendidikan berfungsi untuk mewariskan budaya dari generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, pendidikan disebut juga sebagai proses sosial budaya yang mewariskan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat. Trasformasi nilai-nilai budaya yang pelaksanaanya melalui proses sosial memerlukan wadah atau lembaga yang dapat memberikan tempat dan pelayanan agar nilai-nilai budaya tersebut dapat dicerna oleh peserta didik dengan optimal.

Lembaga Pendidikan menurut Abror (2012) merupakan sebuah institusi pendidikan yang menawarkan pendidikan formal mulai dari jenjang pra-sekolah sampai ke jenjang pendidikan tinggi, baik yang bersifat umum maupun khusus (misalnya sekolah agama atau sekolah luar biasa). Dalam penjelasannya, Abror (2012) menyatakan dalam pendidikan terdapat dua macam jenis lembaga pendidikan yaitu lembaga pendidikan formal dan pendididkan non-formal. Pendidikan formal terdiri dari rangkaian pendidikan misalnya Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT). Sedangkan pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat, kursus dan home schooling merupakan beberapa contoh dari pendidikan non-formal. Penton (2012) menambahkan adanya jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan


(11)

keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab. Kembali pembagian macam pendidikan menurut Abror (2012) SD merupakan serangkaian dari pendidikan formal, karena mengenyam pendidikan pada institusi pendidikan formaladalah lembaga pendidikan yang diakui oleh negara dan wajib dilakukan di Indonesia khususnya wajib belajar 9 tahun pada pendidikan dasar yaitu SD dan SMP. SD menurut Prawita (2012) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Lulusan sekolah dasar dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat), dan pelajar sekolah dasar di Indonesia umumnya berusia 7-12 tahun.

Siswa kelas IV SD Negeri Kecamatan Bangunrejo Kabupaten Lampung Tengah adalah objek lembaga atau sekolah dalam penelitian ini. Adapun objek penelitian ini adalah siswa kelas IV di beberapa sekolah dasar, antara lain yaitu SD Negeri 1 Cimarias, SD Negeri 2 Sidorejo dan SD Negeri Inti Sinar Seputih. Sebagian besar sekolah dasar di Kecamatan Bangunrejo belum memiliki alat atau media untuk mengaplikasikan TIK seperti kelengkapan komputer belajar siswa, OHP maupun LCD proyektor. Tanpa alat atau media tersebut bukan berarti proses pembelajaran tidak bisa dilaksanakan secara optimal, karena pendidik bisa memanfaatkan potensi yang ada di sekitar sekolah tersebut seperti papan busa baik yang baru atau bekas, lingkungan sosial maupun benda-benda nyata sekitar


(12)

sekolah. Untuk murid kelas IV SD Negeri 1 Cimarias adalah yang berjumlah 18 orang, dengan murid laki-laki yaitu 10 orang dan murid perempuan berjumlah 8 orang dalam satu kelas dan satu rombongan belajar. Sedangkan kelas IV SD Negeri 2 Sidorejo muridnya berjumlah 29 orang, dengan murid laki-laki yaitu 15 orang dan murid perempuan berjumlah 14 orang. Terakhir kelas IV SD Negeri Inti Sinar Seputih jumlah muridnya berjumlah 22 orang, dengan murid laki-laki berjumlah 9 orang dan murid perempuan berjumlah 13 orang. Data yang menjadi sumber awal penelitian ini adalah nilai ujian tengah semester ganjil tahun pelajaran 2012–2013, untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

Tabel 1.1 Hasil Ujian Mid Semester Ganjil Mata Pelajaran IPS Kelas IV SD Negeri Kecamatan Bangunrejo Tahun Pelajaran 2012-2013 No Nama Sekolah KKM Kriteria Ketuntasan

Tuntas Belum Tuntas 1. SD Negeri 1

Cimarias ≥ 65 16,67 % 83,33 %

2. SD Negeri 2

Sidorejo ≥ 65 10,34 % 89,66 %

3. SD Negeri Inti

Sinar Seputih ≥ 70 40,91 % 59,09 %

Rata-Rata 22,64% 77,36%

Sumber: Nilai Ujian Mid Semester Ganjil Mata Pelajaran IPS Kelas IV. Data tersebut menunjukan bahwa dari ketiga lembaga sekolah yang dalam hal ini sebagai sampel penelitian, menunjukkan bahwa tingkat ketuntasan pada mata pelajaran IPS kelas IV masih rendah yaitu mencapai 22,64%.


(13)

Selain data nilai ujian tengah semester yang telah disebutkan, hasil penelitian pendahuluan tentang kebutuhan murid dilihat dari hal yang diinginkan siswa melalui lembar kuisioner (Terlampir dalam lampiran 1).

Berdasarkan hasil kuisioner tersebut terdepat poin-poin yang sangat mencengangkan bagi peneliti, diantaranya sebanyak murid menyatakan lebih senang mendengarkan penjelasan guru, hal ini terjadi karena sejak awal masuk sekolah khususnya sekolah dasar murid sudah dibiasakan hanya sebagai pendengar setia dari ceramah seorang guru. Pembelajaran hanya diibaratkan sebagai tranfer ilmu atau informasi dari guru ke siswa. Kemudian banyak murid juga menyatakan senang bergerak atau ada permainan dalam pembelajaran. Hal ini sesuai umur dan perkembangannya yaitu senang bermain, karena hakekatnya anak-anak adalah pembelajar yang hebat karena mereka menggunakan seluruh tubuh dan semua indra untuk belajar (Meier, 2002: 91). Sebagian besar murid menyatakan lebih senang bila guru dalam mengajar menggunakan media pembelajaran. Karena media tersebut digunakan untuk membantu guru dalam menyampaikan materi ajar dalam proses pembelajarannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Heinich, dkk (dalam Hermawan, dkk 2007: 3) mengungkapkan bahwa media merupakan alat saluran komunikasi untuk menyampaikan bahan atau materi ajar. Dari poin-poin inilah yang menjadi perhatian bagi peneliti, walaupun sangat mencengangkan bagi peneliti namun itulah data faktual yang terjadi.


(14)

Jika dilihat secara umum, sebenarnya di sebagian sekolah proses pembelajaran sudah dilaksanakan dengan berbagai strategi diantaranya yaitu sudah presentasi materi dengan menggunakan berbagai media seperti menggunakan gambar dan radio type, namun penggunaan media tersebut belum dapat melibatkan peserta didik secara aktif. Sehubungan masalah yang telah dipaparkan, seorang tenaga pendidik perlu mengefektifkan aktivitas pembelajaran dengan berbagai cara, seperti penggunaan media papan busa yang dalam pelaksanaanya menggunakan pendekatan somatis auditori visual intelektual atau disingkat dengan SAVI. Penggunaan media papan busa dengan pendekatan SAVI diharapkan mampu melibatkan semua indra peserta didik dalam proses belajar setidaknya SAVI itu sendiri yaitu somatif, auditori, visual dan intelektuannya. Penggunaan media papan busa dengan pendekatan SAVI dapat menjadi salah satu alternatif baru untuk menjembatani kegiatan pembelajaran yang sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi yang terjadi.

Berdasarkan latar belakang di atas, pendidik seharusnya tidak hanya menggunakan media dalam pembelajaran, namun harus mampu mengoptimalkan potensi yang ada di sekitar sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Diharapkan media papan busa yang dalam pembelajarannya dilaksanankan dengan pendekatan SAVI dapat berperan penting dalam memberikan pengalaman secara nyata kepada peserta didik melalui penelitian pengembangan dalam proses pembelajaran agar tujuan


(15)

pembelajaran IPS dapat diserap secara optimal oleh peserta didik kelas IV SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

1.2Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah pengembangan metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS Kelas IV SD Negeri Kecamatan Bangunrejo Lampung Tengah.

Sub fokus penelitian ini adalah :

1. Potensi dan kondisi pembelajaran pada mata pelajaran IPS Kelas IV SDN kecamatan Bangunrejo.

2. Proses pengembangan metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS Kelas IV SDN kecamatan Bangunrejo.

3. Produk metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS Kelas IV SDN kecamatan Bangunrejo.

4. Efektivitas aktivitas dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS Kelas IV SDN kecamatan Bangunrejo.

5. Kemenarikan metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS Kelas IV SDN kecamatan Bangunrejo.


(16)

1.3Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian pengembangan ini adalah:

1. Bagaimanakah potensi dan kondisi belajar yang selama ini digunakan pada mata pelajaran IPS kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

2. Bagaimana mengembangkan metode bermain papan busa yang akan digunakan pada mata pelajaran IPS kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

3. Bagaimanakah produk yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

4. Bagaimanakah efektivitas metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS bagi siswa kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

5. Bagaimanakah kemenarikan metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS bagi siswa kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

1.4Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, Tujuan penelitian adalah:

1. Mendeskripsikan potensi dan kondisi pembelajaran yang telah berlangsung saat ini pada mata pelajaran IPS kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.


(17)

2. Menjelaskan proses pengembangan metode bermain papan busa yang akan digunakan pada mata pelajaran IPS kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

3. Menghasilkan produk metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

4. Menjelaskan efektivitas hasil belajar dari metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS bagi siswa kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

5. Menjelaskan hasil kemenarikan metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS bagi siswa kelas IV di SD Negeri Kecamatan Bangunrejo.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.6.1 Manfaat Teoritis

Manfaat secara yaitu untuk mengembangkan konsep, teori, prinsip dan prosedur teknologi pendidikan dalam kawasan desain dan pemanfaatan media belajar, khususnya metode bermain dengan papan busa pada mata pelajaran IPS.


(18)

1.6.2 Manfaat Praktis

Manfaat secara praktis ditujukan pada beberapa sasaran, antara lain yaitu:

1. Siswa, yaitu untuk mengoptimalkan aktifitas peserta didik kelas IV Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Bangunrejo pada mata pelajaran IPS.

2. Tenaga pendidik, yaitu untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan profesionalnya dalam menyelenggarakan pembelajaran di kelas.

3. Sekolah, yaitu untuk menghasilkan lulusan yang cerdas dan terampil serta lulusan yang mampu melanjukan ke jenjang sekolah selanjutnya.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Deskriptrif Teori

2.1.1 Aktivitas Belajar dan Pembelajaran. 2.1.1.1Belajar dan Pembelajaran

Skinner (dalam Wahyudin, 2004: 3.24) berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan perilaku, Dalam belajar, Skinner (dalam Sagala, 2012: 14) menemukan tiga hal yang perlu diperhatikan yakni: (1) kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respon belajar; (2) respons si pelajar; (3) konsekuensi yang bersifat menggunakan respon tersebut, baik konsekuensinya sebagai hadiah maupun teguran atau hukuman. Langkah-langkah pembelajaran menurut teori ini terdapat empat langkah, yakni: (1) mempelajari keadaan kelas; (2) membuat daftar penguat positif; (3) memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatannya; (4) yang terakhir adalah membuat program pembelajaran (Dimyati, 2006: 9).

Selanjutnya Gagne (dalam Sagala, 2012: 14) berpendapat bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan


(20)

manusia yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Menurutnya pembelajaran merupakan proses yang komplek, dan hasil belajarnya berupa kapabilitas. Kapabilitas tersebut berupa informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik dan sikap (Dimyati, 2006: 11).

Timbulnya kapabilitas disebabkan stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar (Sagala, 2012: 17). Gagne (dalam Wahyudin, 2004: 3.25) juga berpendapat bahwa belajar merupakan proses dari yang sederhana ke yang kompleks. Hal ini sesuai dengan delapan tipe belajar menurut Gagne (dalam Sagala, 2012:20) yang membentuk suatu hirarki dari paling sederhana sampai paling komplek, yakni : (1) belajar tanda-tanda isyarat (signal learning); (2) belajar hubungan stimulus-respon (stimulus response-learning); (3) belajar menguasai rantai atau rangkaian suatu hal (changing learning); (4) belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal (verbal association); (5) belajar membedakan atau diskriminasi (discrimination learning); (6) belajar konsep-konsep (concept learning); (7) belajar aturan atau hukum-hukum (rule learning); (8) belajar memecahkan masalah (problem solving). Jadi seseorang dapat belajar dari pengalaman sendiri


(21)

atau dari pengalaman orang lain untuk mengubah perilakunya ke arah yang kompleks.

Berbeda dengan teori-teori belajar sebelumnya yang menyatakan bahwa respons anak untuk belajar dipengaruhi oleh adanya stimulus atau rangsangan dari lingkungan, Piaget (dalam Dimyati, 2006: 13) menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu itu sendiri. Pengetahuan merupakan putusan yang mendapat pengakuan terhadap sesuatu hal. Jadi Piaget (dalam Wahyudin, 2004: 3.25) berpendapat bahwa belajar sifatnya individual, artinya proses belajar merupakan interaksi individu dengan lingkungan. Sebab individu selalu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan, dalam hal ini bukan individu yang mengalami perubahan akibat lingkungan tetapi lingkungan tersebut yang mengalami perubahan akibat perkembangan intelaktual. Piaget (dalam Dimyati, 2006: 14) membedakan tingkat intelektual menjadi empat tahap, yakni (1) sensori motor pada rentang umur 0 – 2 tahun; (2) pra-operasional pada rentang umur 2 – 7 tahun; (3) operasional kongkrit pada rentang umur 7 – 11 tahun; (4) operasi formal pada rentang umur 11 tahun ke atas.

Dalam teorinya, Piaget (dalam Sagala 2012: 24) berpendapat ada dua proses yang terjadi dalam perkembangan dan


(22)

pertumbuhan kognitif anak yaitu proses asimilasi (assimilation) dan akomodasi (accomodation). Jelasnya asimilasi merupakan proses menyesuaikan atau mencocokkan informasi yang baru dengan informasi yang telah diketahui dengan mengubahnya bila perlu. Sedangkan akomodasi merupakan proses menyusun dan membangun kembali atau mengubah informasi yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang beru tersebut dapat disesuaikan dengan lebih baik. Menurutnya akomodasi adalah hasil dari yang ditambahkan dan diciptakan oleh lingkungan, pengamatan yang tidak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipikirkan (Sagala, 2012: 24). Ada tiga aspek perkembangan yang diteliti yaitu: (1) struktur, yakni ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental, dan perkembangan berfikir logis anak; (2) isi, yakni pola perilaku khas anak yang tercermin pada respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya; (3) fungsi, yakni cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Jadi bentuk pembelajaran teori ini dihubungkan dengan asas-asas perkembangan yang menitikberatkan pada aspek perkembangan pikiran secara alami dari lahir hingga dewasa.

Sejalan dengan teori kognitf, Bruner (dalam Sagala, 2012: 34) menyatakan inti dari belajar ialah cara-cara bagaimana orang


(23)

memilih, mempertahankan, dan mentranformasi informasi secara efektif. Bruner membedakan proses belajar menjadi tiga fase, yakni informasi, transformasi dan evaluasi. Teori ini lahir karena fenomena sekitar tahun 1960-an praktek pendidikan disekolah menitikberatkan pada pengajaran bukan pada siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang dominan dan siswa hanya menghafalkan pelajaran.

Selain dari para pakar sebelumnya, Hermawan, dkk (2005: 11.3) menyatakan pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, maupun antara siswa dengan siswa, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional adalah bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami, dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran. Hamalik (dalam Wahyudin, 2004: 3.24) juga menyebut pembelajaran sebagai sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.

2.1.1.2Teori Aktivitas Belajar

Belajar Berdasar-Aktivitas (BBA) menurut Meier (2002: 90) berarti bergerak aktif secara fisik ketika belajar, dengan


(24)

memanfaatkan indra sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh/pikiran terlibat dalam proses belajar. Dalam hal ini, Meier (2002: 91) juga mengungkapkan anak kecil adalah pembelajar yang hebat karena mereka menggunakan seluruh tubuh dan semua indra untuk belajar. Menggabungkan gerakan fisik dengan aktifitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran.

Dalam konsep teknologi pembelajaran, Miarso (2009: 528) membedakan istilah pembelajaran (instruction) dan pengajaran (teaching). Pembelajaran adalah usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif tertentu dalam kondisi tertentu. Sedangkan pengajaran adalah usaha membimbing dan mengarahkan pengalaman belajar kepada peserta didik yang biasanya berlangsung dalam situasi resmi/formal. Reigeluth dan Merrill (dalam Miarso 2009: 529) berpendapat bahwa pembelajaran sebaiknya didasarkan pada teori pembelajaran yang bersifat preskriptif, yaitu teori yang memberikan resep untuk mengatasi masalah belajar.

Strategi pembelajaran menurut Miarso (2009: 530) adalah pendekatan menyeluruh pembelajaran dalam suatu sistem pembelajaran, yang berupa pedoman umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan pembelajaran, yang dijabarkan


(25)

dari pandangan falsafah dan atau teori belajar tertentu. Romiszowski (dalam Miarso 2009: 530) membedakan strategi dasar dalam pembelajaran menjadi dua, yaitu ekspositori (penjelasan) dan diskonveri (penemuan). Strategi ekspositori didasarkan pada teori pemrosesan informasi, sedangkan strategi diskonveri didasarkan pada teori pemrosesan pengalaman.

Dari berbagai pendapat para pakar di atas, jadi pengertian aktivitas belajar merupakan kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik untuk mengubah prilakunya melalui pengalaman yang diperoleh secara langsung dalam proses belajar dan pembelajaran. Sedangkan aktivitas pembelajaran adalah usaha yang dilakukan pendidik untuk mengelola lingkungan belajar dengan sengaja agar peserta didik mengubah prilaku dan membentuk diri secara positif dalam kondisi tertentu.

2.1.1.3Prestasi Belajar

Darmadi (dalam Elni, 2012) menyatakan bahwa “prestasi belajar adalah sebuah kecakapan atau keberhasilan yang diperoleh seseorang setelah melakukan sebuah kegiatan dan proses belajar sehingga dalam diri seseorang tersebut mengalami perubahan tingkah laku sesuai dengan kompetensi belajarnya”. Sedangkan menurut Nurkencana (dalam Elni, 2012), “prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai atau diperoleh anak berupa nilai


(26)

mata pelajaran. Ditambahkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar”.

Lanawati (dalam Elni, 2012) berpendapat bahwa “prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan instruksional yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku yang diharapkan oleh siswa”. Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah sesuatu yang merupakan hasil dari proses belajar yang mengakibatkan perubahan tingkah laku sesuai dengan kompetensi belajarnya

2.1.2 Media Pembelajaran Berbasis Pendekatan SAVI 2.1.2.1Media Pembelajaran

Keberhasilan pembelajaran tidak lepas dari dukungan media yang tepat dalam proses belajar. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar. Pendidik dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang dapat disediakan oleh sekolah, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa alat-alat tersebut sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Selain mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut untuk


(27)

mengembangkan keterampilan membuat media pembelajaran yang akan digunakan apabila media tersebut belum tersedia. Smaldino, dkk (2011: 7) menyatakan media merupakan bentuk jamak dari perantara (medium), yang merupakan sarana komunikasi, istilah ini merujuk pada apa saja yang membawa informasi antara sebuah sumber dan sebuah penerima.

Sedangkan menurut Arsyad (2004: 3) istilah media berasal dari bahasa Latin yaitu madius yang secara harafiah berarti tengah, perantara atau penghantar. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau penghantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Kemudian Heinich, dkk (dalam Hermawan, dkk 2007: 3) mengungkapkan bahwa media merupakan alat saluran komunikasi untuk menyampaikan bahan atau materi ajar.

Hermawan, dkk (2007: 5) menyatakan media pembelajaran terdiri atas dua unsur penting, yaitu unsur peralatan atau perangkat keras (hardware) dan unsur pesan yang dibawanya (message/software). Perangkat lunak (software) adalah informasi atau bahan ajar itu sendiri yang akan disampaikan kepada siswa, sedangkan perangkat keras (hardware) adalah sarana atau peralatan yang digunakan untuk menyajikan pesan/bahan ajar tersebut. Untuk itu Hamalik (dalam Arsyad 2004: 2) menyatakan guru harus memiliki pengetahuan dan


(28)

pemahaman yang cukup tentang media pembelajaran yang meliputi: 1) media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar mengajar; 2) fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan; 3) seluk-beluk proses belajar; 4) hubungan antara metode mengajar dan media pendidikan; 5) nilai atau manfaat media pendidikan dalam pengajaran; 6) pemilihan dan penggunaan media pendidikan; 7) berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan; 8) media pendidikan dalam setiap mata pelajaran; 9) usaha inovasi dalam media pendidikan. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah sebuah alat bantu yang digunakan sebagai perantara atau penghantar pesan dalam kegiatan pembelajaran.

2.1.2.2Macam – Macam Media

Jika dilihat dari berbagai sudut pandang media dapat digolongkan menjadi beberapa jenis atau macam. Smaldino, dkk (2011: 7) membagi enam kategori dasar media, yaitu teks, audio, visual, video, perekayasa (benda-benda manipulasi) dan orang-orang. Tujuan media itu sendiri adalah untuk memudahkan komunikasi dan belajar. Kemudian Hermawan, dkk (2007: 22) juga mengelopokkan media pembelajaran kedalam tiga jenis, yaitu Media Visual, Media Audio, dan Media Audio-Visual. Media visual adalah media yang hanya


(29)

dapat dilihat dengan menggunakan indra penglihatan. Media visual ini terdiri atas media yang dapat diproyeksikan (projected visual) dan media yang tidak dapat diproyeksikan ( non-projected visual). Media visual tidak diproyeksikan mencangkup gambar fotografik, grafis, dan media tiga dimensi. Gambar fotografik ini termasuk kedalam gambar diam/mati (still pictures), misalnya gambar tentang manusia, binatang, tempat, atau objek lainya yang ada kaitannya dengan isi/bahan pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Sedangkan media grafis (graphic) merupakan media pandang dua dimensi (bukan fotografik) yang dirancang secara khusus untuk mengkomunikasikan pesan pembelajaran. Unsur-unsur yang terdapat pada media grafis ini adalah gambar dan tulisan. Cukup banyak jenis media grafis ini, namun yang sering dipergunakan dalam kegiatan pembelajaran di antaranya : grafik (graph), bagan (chart), diagram, poster, kartun/karikatur, dan komik.

Lalu media tiga dimensi dalam hal ini terdiri atas media realia dan media model. Media Audio adalah media yang menggandung pesan dalam bentuk auditif (hanya dapat didengar) yang dapat merangsang pikiran, perhatian dan kemauan para siswa untuk mempelajari bahan ajar. Jenis media audio terdiri atas program kaset suara (audio cassette), CD audio, dan program radio. Kemudian Media Audio-Visual


(30)

merupakan kombinasi audio dan visual atau sering disebut media pandang-dengar. Selain itu, Bretz (dalam Muthoharoh 2009) menggolongkan media menjadi tiga unsur pokok, yaitu suara, visual dan gerak, namun diperinci menjadi media audio, media cetak, media visual diam, media visual gerak, media audio semi gerak, media visual semi gerak, media audio visual diam dan media audio visual gerak.

Kemudian Anderson (dalam Muthoharoh 2009) menggolongkan menjadi 10 macam media yakni: (1) audio, seperti kaset audio, siaran radio, CD, telepon; (2) cetak, seperti buku pelajaran, modul, brosur, leaflet, gambar; (3) audio-cetak, seperti kaset audio yang dilengkapi bahan tertulis; (4) proyeksi visual diam, seperti Overhead transparansi (OHT), film bingkai (slide); (5) proyeksi audio visual diam , seperti film bingkai slide bersuara; (6) visual gerak, seperti film bisu; (7) audio visual gerak, seperti film gerak bersuara, Video/VCD, Televisi; (8) obyek fisik, seperti Benda nyata, model, specimen; (9) manusia dan lingkungan, seperti guru, pustakawan, laboran; (10) komputer, seperti CAI. Schramm (dalam Muthoharoh 2009) menggolongkan media berdasarkan kompleksnya suara, yaitu: media kompleks (film, TV, Video/VCD,) dan media sederhana (slide, audio, transparansi, teks). Selain itu menggolongkan media berdasarkan jangkauannya, yaitu media masal (liputannya


(31)

luas dan serentak / radio, televisi), media kelompok (liputannya seluas ruangan / kaset audio, video, OHP, slide, dll), media individual (untuk perorangan / buku teks, telepon, CAI)

Dari beberapa pendapat para ahli yang telah diutarakan, maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran media dibagi menjadi tiga yaitu visual, audio dan audio-visual. Media visual terdiri atas media yang dapat diproyeksikan (projected visual) dan media yang tidak dapat diproyeksikan (non-projected visual). Media audio merupakan media yang menggandung pesan dalam bentuk auditif (hanya dapat didengar) yang dapat merangsang pikiran, perhatian dan kemauan para siswa untuk mempelajari bahan ajar, sedangkan media audio-visual merupakan gabungan dari audio dan visual.

2.1.2.3Media Pembelajaran Berbasis Pendekatan SAVI

Pendekatan pembelajaran diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu. Kemudian Meier (2002: 91) menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Pembelajaran yang menggunakan fisik, intelektual dan indra


(32)

tersebut dinamakan belajar SAVI yang terdiri dari empat unsur yaitu Somatis, Auditori, Visual dan Intelektual.

Untuk lebih jelasnya rincian keempat unsur SAVI adalah sebagai berikut:

a. Belajar Somatis

Somatis berasal dari bahasa Yunani yang berarti tubuh-soma (seperti dalam Psikotubuh-somatis). Belajar tubuh-somatis berarti belajar dengan indra peraba, kinestetis, praktis melibatkan fisik dan menggunakan serta menggerakan tubuh sewaktu belajar. Meier (2002: 93) mengungkapkan bahwa tubuh adalah pikiran, dan pikiran adalah tubuh. Kedua hal tersebut merupakan satu sistem elektris kimiawi-biologis yang terpadu. Untuk merangsang hubungan pikiran dan tubuh, ciptakanlah suasana belajar yang dapat membuat orang bangkit dan berdiri dari tempat duduk dan aktif secara fisik dari waktu ke waktu. Jadi belajar somatis adalah belajar dengan bergerak dan berbuat, seperti melakukan simulasi tentang beredarnya bumi pada matahari, menentukan bilangan pecahan, memasang gambar, dan lainnya.

b. Belajar Auditori

Sebenarnya aspek auditori jauh lebih kuat daripada yang disadari. Telinga terus-menerus menangkap dan menyimpan


(33)

informasi, dan ketika berbicara beberapa area penting di otak menjadi aktif untuk befikir hal yang akan diungkapkan. Namun dalam proses pembelajaran secara umum peserta didik lebih cenderung mendengarkan dari pada berbicara. Oleh karena itu, Meier (2002: 97) mengatakan dalam merancang pembelajaran yang menarik bagi saluran auditori yang kuat dalam diri peserta didik, carilah cara untuk mengajak peserta didik berbicara tentang hal yang sedang mereka pelajari. Mengajak peserta didik berbicara saat mereka memecahkan masalah, membuat model, mengumpulkan informasi, membuat rencana, atau menciptakan makna-makna pribadi bagi mereka sendiri merupakan langkah dari belajar auditori. Jadi belajar auditori adalah belajar dengan berbicara dan mendengar, seperti menyebutkan teman-teman dalam kelompoknya, memberikan tanggapan terhadap alasan orang atau kelompok lainnya, memfokuskan pendengarannya pada salah satu suara atau bunyi.

c. Belajar Visual

Setiap orang akan lebih termotivasi belajarnya jika dapat melihat apa yang sedang dibicarakan seorang penceramah atau sebuah buku. Pembelajar visual belajar paling baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta


(34)

gagasan, ikon, gambar, dan gambaran dari segala macam hal ketika mereka sedang belajar. Inti pembelajaran ini yaitu belajar dengan mengamati dan menggambarkan atau mengimplikasikan, seperti memperhatikan gambar pada papan tulis, memperhatikan salah satu kelompok yang sedang mendemonstrasikan hasil kerja kelompoknya, menggambarkan hal yang ada dalam pikirannya, dan lainnya.

d. Belajar Intelektual

Kata intelektual menunjukkan apa yang dilakukan pembelajar dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. Intelektual adalah pencipta makna dalam pikiran, sarana yang digunakan manusia dalam berpikir, menyatukan pengalaman, menciptakan jaringan saraf baru, dan belajar. Jadi belajar intelektual adalah belajar dengan berfikir dan menghubungkan atau menyatukan pengalaman untuk memecahkan suatu masalah. Misalnya menjawab pertanyaan dengan benar, menjelaskan hasil kerja dirinya atau kelompoknya, menyatukan dua pendapat yang bertentangan, dan lainnya.


(35)

Jadi secara umum media berbasis pada pedekatan SAVI merupakan media dengan menggunakan pendekatan SAVI yang dalam proses belajarnya didasarkan pada aktivitas peserta didik dengan memanfaatkan indra sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh atau pikiran terlibat dalam proses belajar. Media ini harus mampu melibatkan peserta didik dengan utuh, yaitu dengan melibatkan somatis, auditori, visual dan intelektualnya secara keseluruhan.

2.1.3 Teori Belajar dan Pembelajaran 2.1.3.1Teori Disiplin Mental

Sebelum abad ke-20 telah berkembang beberapa teori belajar yaitu teori disiplin mental, teori pengembangan alamiah (natural unfoldment) atau self actualization dan tori apersepsi. Teori ini dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen, ini berarti dasar orientasnya adalah filosofis atau spekulatif. Teori belajar disiplin mental awal mulanya adalah pandangan dari seorang filsuf dari yunani yang bernama Plato, yang kemudian pandangan-pandangan tersebut disusun menjadi definisi tentang belajar. Menurut Gredler (dalam Saputra, 2012) belajar dilukiskan sebagai pengembangan oleh fikiran yang bersifat keturunan. Kepercayaan ini kemudian dikenal sebagai konsep disiplin mental.


(36)

Dalam teori disiplin mental menurut Plato (dalam Sagala, 2012: 38) yang menganggap bahwa dalam belajar mental siswa didisiplinkan atau dilatih. Dalam pembelajaran seperti ini siswa-siswa mereka dilatih lalu di beri tes setiap harinya, dan siswa-siswa yang belum pandai harus kembali selepas jam sekolah untuk dilatih kembali. Menurut teori disiplin mental ini individu memilki kekuatan, kemampuan, atau potensi-potensi tertentu.

Gagasan utama dalam toeri disiplin mental adalah pada otak (mind), yang diangankan sebagai benda nonfisik, yang terbaring tidak aktif (dorman) lalu ia dilatih (Shermis dalam Zain, 2012). Kemudian Herbart (dalam Sagala 2012: 40) yang melanjutkan gagasan Pestalozzi tentang mempsikologikan pendidikan, dengan jalan menyusun pedagogik yang memadukan filsafat dan psikologi dalam menerangkan peristiwa pendidikan. Herbart menyebut teorinya sebagai teori Vorstellungen yang dapat diterjemahkan sebagai tanggapan-tanggapan yang tersimpan dalam kesadaran. Tanggapan ini meliputi tiga bentuk yaitu: (1) impresi indra; (2) tanggapan atau bayangan dari impresi indra yang lalu; dan (3) perasaan senang atau tidak senang.

Jadi belajar menurut teori ini adalah mengusahakan adanya tanggapan sebanyak-banyaknya dan sejelas-jelasnya pada


(37)

kesadaran individu. Dari teori ini orang dapat menyimpulkan dan mengatakan jika kita bisa karena biasa.

2.1.3.2Teori Behaviorisme

Rumpun teori ini dikatakan behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Ada beberapa ciri dari teori ini yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil; (2) bersifat mekanistis; (3) menekankan peranan lingkungan; (4) mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan (5) menekankan pentingnya latihan menurut Sukmadinata (dalam Sagala, 2012: 42).

Tokoh yang sangat terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike (1874-1949), dengan eksperimennya belajar pada binatang yang juga berperilaku bagi manusia yang disebutnya dengan trial and error. Thorndike (dalam Sagala, 2012: 42) menghasilkan teori belajar connectionism karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Dalam wacananya, Thorndike (dalam Riezcha, 2012) mengatakan, bahwa belajar dengan trial and error itu dmulai dengan adanya beberapa motif yang mendorong keaktivan. Dengan demikian, untuk mengaktifkan anak dalam belajar dibutuhkan motivasi.


(38)

Dalam teorinya, Thorndike (dalam Sagala, 2012: 42) mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar, yaitu: (1) law of readines, artinya belajar akan berhasil apabila individu memeliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut; (2) law of exercise, yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan; dan law of effect, yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.

Teori pengkondisian (conditioning), merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme. Teori ini dilatar belakangi oleh percobaan Ivan Pavlov (1849-1936) terhadap seekor anjing. Pavlov (dalam Sagala, 2012: 42) melakukan percobaan terhadap seekor anjing dengan melihat air liurnya. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Dalam percobaannya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah diulang berkali-kali teryata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun mekannya tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa prilaku individu dapat dikondisikan. Artinya belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu prilaku atau respons terhadap sesuatu. Pavlov menghasilkan teori belajar yang disebut classical conditioning atau stimulus substitution.


(39)

Teori penguatan atau reinforcement merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori pengkondisian. Kalau pada pengkondisian (conditioning) yang diberi kondisi adalah perangsangnya (stimulus), maka pada teori penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah responnya. Kelemahan dari teori conditioning ini menurut Thohir (2012) adalah teori ini mengangaap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan latihan atau kebiasaan terlalu ditonjolkan, padahal dalam bertindak dan berbuat sesuatu manusia tidak semata-mata tergantung kepada pengaruh dari luar.

Seorang anak akan belajar dengan giat jika mendapatkan penghargaan dari guru, seperti nilai yang tinggi, pujian atau hadiah. Prinsip-prinsip teori behaviorisme ini adalah teori yang dikemukakan Harley dan Davis (dalam Sagala, 2012: 43). Jadi respon diperkuat oleh penghargaan berupa nilai yang tinggi dari kemampuannya menyelesaikan soal-soal ujian. Pemberian nilai adalah penerapan teori penguatan yang disebut juga operant conditioning dengan tokoh utamanya adalah Skinner yang mengembangkan program pengajaran dengan berpegang pada teori penguatan tersebut. Skinner (dalam Sagala, 2012: 43) memperkenalkan program pembelajaran yang terkenal yaitu programmed intruction dengan menggunakan media buku atau


(40)

mesin pengajaran. Dalam praktiknya anak belajar dengan cara membaca informasi dan soal, lalu memberikan atau memilih jawaban yang tersedia. Jawaban anak segera dicocokkan dengan kunci jawaban, dan segera diketahui hasilnya yang dinyatakan dengan kualifikasi nilai tertentu. Nilai yang baik akan mendapatkan pujian, sedangkan nilai yang kurang baik akan mendapatkan peringatan.

Skinner adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses conditioning yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku itu karena adanya hubungan antara stimulus dengan respons. Namun pada pertengahan 1950 dan 1960-an menurut Herley dan Davis (dalam Sagala, 2012: 44) timbul kritik-kritik tajam terhadap prinsip-prinsip belajar yang diterapkan untuk sistem intruksional terutama menyangkut teori behaviorisme, kritik-kritik tersebut yaitu: (1) apakah hasil penelitian tentang proses belajar, terutama yang menyangkut hubungan S-R yang diperoleh dengan memakai binatang sebagai subyek, karakteristik ini sama atau dapat diterapkan pada manusia?; (2) apakah hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium akan relevan dengan situasi belajar sesungguhnya?; (3) apakah faktor-faktor sosial juga diperhatikan dalam penelitian-penelitian eksperimental di laboratorium?; (4) kecuali faktor-faktor sosial, nampaknya


(41)

penelitian di laboratorium juga mengesampingkan faktor perkembangan lainnya seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya; (5) prinsip-prinsip tersebut lebih mengutamakan pernyataan yang bersifat deskriptif dan tidak preskriptif.

Untuk menanggulangi kritik-kritik tersebut, Sagala (2012: 45) menyatakan dalam pengembangan sistem intruksional diterapkan prinsip-prinsip teori psikologi seperti teori kepribadian dan psikologi sosial, hal ini dikarenakan: (1) belajar merupakan proses ilmiah dengan prosedur yang ilmiah pula; (2) sikap orang mempunyai kebutuhan dan tujuan yang merupakan keinginan untuk belajar tanpa dapat dibendung oleh orang lain; (3) belajar akan lebih lancar bila materi yang dipelajarinya relevan dengan pribadi orang yang belajar, dan ia diberi kesempatan untuk bertanggungjawab atas proses belajarnya sendiri; (4) proses belajar jarang sekali merupakan proses yang terjadi dalam keadaan menyendiri; dan (5) proses belajar dengan pengikutsertaan emosi dan perasaan siswa akan memberikan hasil yang lebih baik.

2.1.3.3Teori Cognitive Gestalt-Filed

Teori kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif, teori ini berbeda dengan behaviorisme, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui (knowing) dan bukan


(42)

respons (Sagala: 2012: 45). Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil (Diah, 2011). Psikologi Gestalt dipandang sebagai anak dari aliran strukturalisme dengan pelopornya yaitu Wiliam Max Wundt sebagai bapak psikologi eksperimen dan Edrward Bradfred Titchner. Aliran struktural ini memandang pengalaman manusia dari sudut pandang pribadi, sedangkan psikologi Gestalt memandang kejiwaan mausia terikat kepada pengamatan yang berwujud kepada bentuk menyeluruh.

Teori belajar Gestalt lahir di Jerman tahun 1912 dipelopori dan dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving, dari pengamatannya ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis. Kohler (dalam Sagala, 2012: 46) menyatakan bahwa belajarserta mencapai hasil adalah proses proses yang didasarkan insight, pengamatan menurut psikologi elemen berlangsung dari bagian-bagian menuju keseluruhan. Sedangkan psikologi Gestalt berpendapat bahwa pengamatan adalah


(43)

bersifat totalitas, kesan pertama pengamatan adalah totalitas atau keseluruhan, bagian-bagian barulah muncul kemudian secara analisis. Lewin (dalam Sagala, 2012: 46) berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Lewin (dalam Sagala, 2012: 46) juga menyatakan belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Dalam teorinya, Lewin memberikan peranan yang lebih penting pada motivasi dari reward (Sagala, 2012: 46). Penelitian-penelitian ini menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman.

Jika rumpun psikologi behaviorisme bersifat molekular atau menekankan unsur-unsur, maka rumpun kognitif Gestalt bersifat molar yaitu menekankan keseluruhan yang terpadu, alam kehidupan manusia dan perilaku manusia selalu merupakan suatu keseluruhan atau suatu keterpaduan. Gestalt dalam bahasa Jerman berarti whole configuration atau bentuk yang utuh, pola, kesatuan dan keseluruhan, artinya Gestalt adalah keseluruhan


(44)

lebih berarti dari bagian-bagian (Sagala, 2012: 47). Menurut psikologi Gestalt tingkat kejelasan atau keberartian diari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada hukuman dan ganjaran.

Konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang insight yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam teori Gestalt ini Sagala (2012: 47) mengungkapkan bahwa pengamatan manusia pada awalnya berfisat global terhadap objek-objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indra-indra seperti mata dan telinga.

Hukum pengamatan menurut teori Gestalt menurut Sagala (2012: 48) meliputi: (1) hukum keterdekatan, artinya yang terdekat merupakan Gestalt; (2) hukum ketertutupan, artinya yang tertutup merupakan Gestalt; dan (3) hukum kesamaan, artinya yang sama merupakan Gestalt. Belajar bukanlah aktivitas reaktif belaka, tetapi juga adanya pemahaman terhadap perangsang yang datang yang tengah dihadapi diwaktu sesorang melakukan aktivitas belajar. Menurut teori ini perbuatan belajar


(45)

itu tidak berlangsung seketika, tetapi berlangsung berproses kepada hal-hal yang esensial, sehingga aktivitasbelajar itu akan menimbulkan makna yang berarti (Sagala, 2012: 49). Rasyad (dalam Sagala, 2012: 49) berpendapat hendaknya timbul rasa kebutuhan akan belajar dalam diri, bahwa belajar itu perlu dan harus dilakukan untuk memperoleh sesuatu dengan memahami bagian dan hubungan antar bagian sehingga terjadi proses penguraian (analysis) dan pemaduan (intesis).

Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Gestalt merupakan teori yang lahir dari teori strukturalisme, namun dalam teori ini pengamatan bersifat totalitas atau menyeluruh dari satu bagian yang utuh lalu berkembang dan muncul bagian-bagian secara analitis. Dalam proses berkembangnya belajar terjadi karena adanya perubahan struktur kognitif yang dipengaruhi dua kekuatan, yaitu kekuatan kognisi itu sendiri dan adanya kebutuhan dan motivasi internal dalam individu tersebut.

2.1.3.4Teori Belajar Kontruktivisme

Teori kostruktivistik merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori gestalt. Perbedaanya yaitu pada gestalt permasalahan yang dimunculkan berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada konstruktivistik permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang direkonstruksi oleh siswa. Glaserfeld (dalam


(46)

Haryanto, 2012) menyatakan kontruktif kognitif muncul pada abad 20 dalam tulisan Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Piaget. Namun bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivistik sebenarnya telah dimulai oleh Vico, seorang epistemolog dari Italia.

Pandangan konstruktivistik dilandasi oleh teori Piaget tentang skema, asimilasi, akomodasi, dan equilibration, konsep Zone of Proximal Development (ZPD) dari Vygotsky, teori Bruner tentang discovery learning, teori Ausubel tentang belajar bermakna, dan interaksionisme semiotik. Berikut ini akan dideskripsikan beberapa teori yang melandasi pendekatan konstruktivistik (Haryanto, 2012). Skema menurut Wadsworth (dalam Haryanto 2012) adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan naluri. Dari hal tersebut Haryanto (2012) menyatakan skema merupakan suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema itu akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan mental anak.

Sedangkan asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman


(47)

baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya (Haryanto, 2012). Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan skema.

Ketika seseorang dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru, tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu (a) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru atau (b) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Haryanto, 2012).

Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif seseorang. Dalam perkembangan intelek seseorang diperlukan keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Proses ini disebut equilibrium, menurut Haryanto (2012) equi-librium yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Sedangkan disequilibrium adalah keadaan tidak seimbang antara asimilasi


(48)

dan akomodasi. Equilibration adalah proses dari disequilibrium ke equilibrium (Haryanto, 2012). Proses tersebut berjalan terus dalam diri individu melalui asimilasi dan akomodasi. Equilibration membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skema). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka seseorang terpacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi atau akomodasi. Teori tersebut dikembangkan oleh Piaget yang dalam pembehasan sebagian telah dijelaskan sebelumnya.

Piaget memandang pentahapan kognitif anak berdasarkan umur yang kaku dan menekankan pada perkembangan kognitif anak sebagai manusia individu yang mandiri, yaitu sensori motor pada rentang umur 0 – 2 tahun; (2) pra-operasional pada rentang umur 2 – 7 tahun; (3) operasional kongkrit pada rentang umur 7 – 11 tahun; (4) operasi formal pada rentang umur 11 tahun ke atas. Semestara Vygotsky menyatakan bahwa dalam setiap tahapan itu terdapat perbedaan kemampuan anakdan mementingkan perkembangan kognitif anak sebagai makhluk sosial, dan merupakan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu skema oleh Vygotsky disebut sebagai “Zone of Proximal Development”. Menurut konsep Zone of Proximal Development (ZPD), perkembangan psikologi bergantung pada kekuatan sosial luar sekaligus pada kekuatan batin (inner


(49)

resources). Asumsi konsep dasar ini adalah bahwa perkembangan psikologis dan pembelajaran tertanam secara sosial, dan untuk memahaminya kita harus menganalisis masyarakat sekitar dan hubungan-hubungan sosialnya (Haryanto, 2012).

Vygotsky (dalam Haryanto 2012) mendefinisi-kan ZPD sebagai jarak antara tingkat perkembangan aktual anak sebagaimana ditentukan oleh kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial sebagaimana ditentukan oleh pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kerjasama dengan sebaya yang mampu.

Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada seorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut serta memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan (Fadilah, 2012). Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, serta menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.


(50)

Masih dalam konteks kontruktivisme, selanjutnya Bruner (dalam Haryanto, 2012) membedakan dua tipe model mengajar, yaitu model expository dan model hypothetical (atau discovery learning). Discovery learning adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa menggunakan informasi untuk mengkonstruksi pemahamannya sendiri. Menurut Bruner (dalam Haryanto, 2012), ada empat manfaat yang dapat diperoleh siswa dengan penerapan metode discovery learning ini, yaitu; 1) meningkatkan potensi intelektual, 2) mengubah dari reward ekstrinsik ke reward intrinsik, 3) mempelajari secara heuristik atau pengerjaan strategi guna melakukan penemuan di masa yang akan datang, dan 4) membantu dalam melakukan retensi dan retrival (memperoleh kembali informasi). Ada dua tipe discovery, yaitu; unstructured discovery dan guided discovery. Unstructured discovery timbul dalam setting alami dimana siswa mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri, seperti seorang ilmuwan yang melakukan penemuan unik dalam proyek penelitian, sedangkan guided discovery timbul manakala guru memberikan gambaran tentang tujuan yang hendak dicapai, menyusun informasi sehingga pola-polanya dapat ditemukan, dan membimbing siswa ke arah tujuan (Haryanto 2012).


(51)

Kemudian Ausubel, Novak, and Hanesian (dalam Haryanto, 2012) menyatakan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua demensi. Dimensi pertama, berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengkaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Menurut mereka pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengkaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa fakta, konsep, dan generalisasi) yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi “belajar bermakna”.

Ausubel (dalam Haryanto 2012) menyatakan, bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuannya. Belajar bermakna menurutnya merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar


(52)

menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman (Wibawa, 2013). Pengetahuan bukanlah hasil pemberian dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontruktivisme merupakan pengembangan dari teori belajar Gestalt yang menekankan struktur kognitif dalam proses belajar seseorang. Mamun perbedaan dari keduanya yaitu jika dalam Gestelt stimulus atau pancingan masih dari luar diri orang yang belajar sedangkan dalam teori kontruktivisme pembelajar mengontruksi sendiri struktur kognitif dalam dirinya melalui asimilasi dan akomodasi.

2.1.3.5Teori Deskriptif dan Preskriptif

Bruner (dalam Darkrainysky, 2011) menyata-kan teori pembelajaran adalah preskriptif dan teori belajar adalah deskriptif. Preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Kemudian Reigeluth (dalam dalam Darkrainysky, 2011) menyatakan teori preskriptif adalah goal oriented, sedangkan teori deskriptif adalah goal free. Maksudnya adalah bahwa teori pembelajaran preskriptif


(53)

dimaksudkan untuk mencapai tujuan, sedangkan teori pembelajaran deskriptif dimaksudkan untk memberikan hasil. itulah sebabnya, variabel yang diamati dalam teori-teori pembelajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan (Ardi, 2011).

Menurut Reigeluth (dalam Ardi, 2011). teori-teori dan prinsip pembelajaran yang deskriptif menempatkan variabel kondisi dan metode pembelajaran sebagai givens dan memerikan hasil pembelajaran sebagai variabel yang diamati. Dengan kata lain kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung. Sebaliknya dalam teori-teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang preskriptif menempatkan kondisi dan hasil sebagai givens sedangkan metode yang optimal ditetapkan sebagai variabel yang bisa diamati. Jadi metode pembelajaran sebagai variabel tergantung. Budiningsih (dalam Ardi, 2011) menjelaskan bahwa upaya dari Bruner untuk membedakan antara teori belajar yang deskriptif dan teori pembelajaran yang perspektif dikembangkan lebih lanjut oleh Reigeluth.teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang deskriptif menempatkan variable kondisi dan metode pembelajaran sebagai givens dan menempatkan hasil belajar sebagai varibael yang diamati. Dengan kata lain, kondisi dan metode pembelajaran sebagai variable bebas dan hasil


(54)

pembelajaran sebagai variable tergantung. Jadi pembelajaran deskriptif adalah menciptakan siswa belajar dengan langkah dan prosedur yang telah disiapkan, sedangkan pembelajaran preskriptif lebih mempertimbangkan vareabel-vareabel yang dapat mendukung maupun menghambat siswa dalam belajar.

2.2Desain Pembelajaran Model ASSURE

Desain secara bahasa adalah kerangka atau bentuk rancangan (Mushlihin, 2012). Jika dikaitkan antara desain dengan pembelajaran maka dikenal dengan istilah desain pembelajaran. Desain pembelajaran dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang, misalnya sebagai disiplin, sebagai ilmu, sebagai sistem, dan sebagai proses (Zuhairi, 2009). Sedangkan Prawiradilaga (dalam Mushlihin, 2012) mengatakan desain pembelajaran adalah kisi-kisi dari penerapan teori belajar dan pembelajaran untuk memfasilitasi proses belajar seseorang. Jadi dapat disimpulkan bahwa desain pembelajaran kerangka atau bentuk rancangan yang sengaja dibuat untuk memfasilitasi proses pembelajaran dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Secara umum desain pembelajaran dapat diklasifikasikan kedalam model yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu model berorientasi kelas, model berorientasi sistem, model berorientasi produk, model prosedural dan model melingkar (Shimpel, 2012). Model berorientasi kelas biasanya ditujukan untuk mendesain pembelajaran level mikro (kelas) yang hanya dilakukan setiap dua jam pelajaran atau lebih. Contohnya adalah model ASSURE.


(55)

Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran untuk menghasilkann suatu produk, biasanya media pembelajaran, misalnya video pembelajaran, multimedia pembelajaran, atau modul. Contoh modelnya adalah model hannafin and peck. Model beroreintasi sistem yaitu model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran yang cakupannya luas, seperti desain sistem suatu pelatihan, kurikulum sekiolah, dll. contohnya adalah model ADDIE. Selain itu ada pula yang biasa kita sebut sebagai model prosedural dan model melingkar. Contoh dari model adalah model Dick and Carrey sementara contoh model melingkar adalah model Kemp (Shimpel, 2012).

Dalam penelitian ini peneliti mengambil salah satu model dalam pelaksanaannya, karena berorentasi pada kelas jadi peneliti menggunakan model ASSURE dalam proses pelaksanaanya. Model ASSURE adalah salah satu petunjuk dan perencanaan yang bisa membantu untuk bagaimana cara merencanakan, mengidentifikasi, menentukan tujuan, memilih metode dan bahan, serta evaluasi (Wahyono, 2012). Dikatakan ASSURE karena sebenarnya merupakan singkatan dari beberapa tahapan, yaitu A adalah Analyze Learner, S adalah State Objectives, S adalah Select Methods, Media and Materials, U adalah Utilize Media and Materials, R adalah Require Learner Participation dan E adalah Evaluate and Revise. Jadi dari beberapa singkatan yang telah dipenjelasan di atas ASSURE merupakan sebuah model desain pembelajaran yang dalam prosesnya harus dilakukan secara tahap pertahap.


(56)

Dalam penerapan desain pembelajaran model ASSURE ini, Smaldino, dkk (2011: 110) menjelaskan langkah-langkah secara bertahap. Langkah pertama adalah Analyze Learner, yaitu menganalisis karakteristik pembelajar, informasi ini akan memandu dalam mengambil keputusan saat merancang pembelajaran. Langkah selanjutnya adalah State Objectives yang menyatakan standar dan tujuan belajar, tujuannya untuk menetapkan tingkat pengetahuan atau kemampuan yang harus dikuasai siswa, kondisi serta prilaku dan kinerja yang diamati. Setelah menganalisis karakteristik pembelajar dan telah menyatakan standar dan tujuan belajar, langkah selanjutnya yaitu Select Methods, Media and Materials yang merupakan tahap membangun jembatan antara pengetahuan, kemampuan dan sikap siswa dengan tujuan belajar. Kemudian tahap menggunakan media dan materi yang telah dipilih atau Utilize Media and Materials, tahap ini melibatkan perencanaan dan kemampuan guru dalam menggunakannya untuk membantu siswa mencapai tujuan belajar yang ditetapkan. Selanjutnya agar pembelajaran menjadi efektif sebaiknya diwajibkan ada partisipasi dari pembelajar atau Require Learner Participation, hal ini memungkinkan siswa menerapkan pengetahuan atau kemampuannya dan menerima umpan balik dari kesesuaian usaha mereka. Terakhir adalah tahap Evaluate and Revise, kegiatan mengevaluasi sangat penting untuk melihat kesesuaian antara metode, media dan materi yang diterapkan dengan tujuan belajar. Setelah dievaluasi dan jika terdapat ketidakcocokan, kelemahan dan kekurangan maka dilakukan pertimbangan revisi.


(57)

2.3Metode Bermain dengan Papan Busa 2.3.1 Metode Bermain

Metode merupakan suatu prosedur atau suatu cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sestematis (Senn dalam Suriasumantri, 2009: 119). Sedangkan menurut Brooks & Elliot (dalam Latif, 2013: 77) menyatakan bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang lebih tepat ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, dan tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Jadi metode bermain merupakan langkah-langkah bermain yang disusun secara sistematis, sehingga langkah-langkah tersebut dapat membawa anak untuk mengetahui sesuatu.

Proses pelaksanaan metode bermain biasanya menggunakan alat atau media yang dapat merangsang minat anak untuk ikut bermain. Karena metode bermain ini menuntut anak mampu belajar dalam proses bermainnya, maka untuk itu diperlukan alat permainan edukatif yang mampu membawa anak dalam proses belajar. Alat permainan edukatif merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana atau peralatan untuk bermain yang mengandung nilai edukatif (pendidikan) dan dapat mengembangkan seluruh kemampuan anak (Wahyuni, 2013)


(58)

Metode bermain di sini ialah salah satu metode dalam belajar. Dengan metode bermain ini diharapkan anak-anak dapat belajar banyak melalui pemainan yang ia mainkan. Ketika bermain anak melakukan kegiatan secara sukarela tanpa paksaan atau tekanan dari luar. Dalam bermain tidak ada peraturan lain kecuali yang ditetapkan permainan itu sendiri.

2.3.2 Bermain dengan Papan Busa

Seperti pembahasan sebelumnya bahwa bermain adalah kebutuhan penting bagi seorang anak, dan bermain dapat membuat hati anak menjadi senang ketika memainkannya. Sedangkan papan busa adalah benda yang bentuknya lebar dan pipih dan terbuat dari busa. Papan busa menjadi salah satu pilihan dijadikannya sebuah media untuk bermain karena mudah dirubah bentuknya (dipotong) dan aman bagi anak-anak namun dalam pengawasan orang dewasa. Salah satu permainan yang bisa menggunakan papan busa sebagai bahan permainan adalah permainan pazel (puzzle).

Pazel adalah permainan teka-teki yang merupakan media gambar yang termasuk ke dalam media visual karena hanya dapat dicerna melalui indera penglihatan (Abdulloh, 2012). Permainan pazel bermanfaat untuk perkembangan mental anak, karena kepuasan yang didapat saat ia menyelesaikan pazel pun merupakan salah satu pembangkit motivasi untuk mencoba hal-hal yang baru baginya. Tujuan bermain pazel adalah agar anak-anak mampu menghubungkan pengetahuan


(59)

yang sudah diketahui dengan pengetahuan baru yang diperolehnya, dan fungsinya adalah melatih motorik halus (tangan), melatih daya ingat dan melatih konsentrasi (Yudhistira, 2011). Pazel biasanya berupa gambar dua dimensi yang dimainkan perseorangan dan sekarang bisa dimainkan dalam komputer, handphone, atau alat lainnya yang mendukung aplikasi permainan ini secara software, namun mereka hanya bisa memainkannya sendiri sehingga sikap kerjasama sangat jarang didapat dari permainan tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut maka dibuatlah pazel yang diharapkan mampu menumbuhkan sikap kerjasama, jadi salah satu solusinya adalah membuat pazel dengan papan busa sehingga dapat menjadi ukuran yang besar dan perlu kerjasama dalam membuat maupun memainkannya.

Berikut ini adalah salah satu contoh langkah-langkah metode bermain yaitu Games Puzzle disertai Keyword ( Kata Kunci ) dengan Pola Duduk Siswa yang diterapkan pada Mata Pelajaran IPS (Geografi). Langkah-langkah dalam permainan tersebut terdiri dari dua sesi, yaitu langkah membuat dan langkah penerapannya (Wati, 2012). Adapun sesi pertama yaitu langkah-langkah dalam membuat media tersebut adalah sebagai berikut:

1. Gambar yang sudah diperoleh disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan guru, agar sebuah ilustrasi gambar puzzle geografi dapat menunjukkan materi pelajaran.


(60)

2. Berikut cara yang dapat ditempuh dalam pembuatannya, pertama guru langsung mengambil gambar dari peta atlas yang kemudian di fotocopy (warna). Kemudian guru juga menyiapkan gambar peta buta yang sama, yang diambil dari Internet kemudian di edit melalui adobe photoshop atau bisa juga di fotocopy warna, sebagai tempat puzzle yang telah dipotong-potong oleh siswa nanti saat menjalankan tantangan games tersebut.

3. Selanjutnya gambar tesebut diambil dengan cara digunting, lalu ditempelkan oleh siswa pada saat games berlangsung sesuai dengan ukuran gambar pada gambar peta buta yang sudah disiapkan oleh guru tersebut.

Selanjutnya yaitu langkah-langkah penerapan metode tersebut adalah sebagai berikut:

1. Terlebih dahulu siswa diatur pola duduknya sehingga menarik untuk dilihat, lalu bentuk juga beberapa kelompok didalamnya. Misalnya, aturlah pola duduk siswa berbentuk liter U, kemudian bentuk kelompok di tengah-tengah liter U tersebut, karena selain kelihatan menarik, siswa yang bermain games tersebut juga akan terlihat oleh siswa yang lain. Dan guru akan lebih mudah dalam menerangkan jika games tersebut sudah selesai, serta memudahkan guru dalam mengelola kelas.


(61)

2. Lalu siswa yang sudah dibentuk kelompoknya tadi diberi tantangan untuk menyusun kepingan-kepingan puzzle, yang terlebih dahulu dipotong-potong dari suatu gambar yang utuh ( berbentuk peta ) menjadi beberapa bagian puzzle . Yang kemudian ditempelkan pada peta buta yang telah disediakan oleh guru, untuk masing-masing kelompok dengan puzzle peta yang sama. Sehingga menjadi rangkaian sebuah gambar peta yang menarik.

3. Setelah selesai menyusun dengan waktu yang telah ditentukan, maka selanjutnya masing-masing kelompok akan diberi keyword yang berbeda secara acak, selanjutnya mereka akan ditantang untuk mencari jawaban dari keyword tersebut, dengan waktu yang telah ditentukan oleh guru. Apabila salah satu kelompok tersebut ada yang paling rapi, cepat, dan tepat, dalam tantangan games ini maka akan diberi hadiah dan sebaliknya.

4. Terakhir, setelah permainan games puzzle tersebut selesai guru lalu mengambil alih perannya, yaitu menjelaskan materi yang telah dipelajari melalui games puzzle tersebut secara keseluruhan dan memberikan kesimpulan tentang materi yang dipelajari tersebut. Hal ini bertujuan agar guru tersebut tidak berkurang perananya didalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian akan terciptanya proses pembelajaran yang diinginkan.


(62)

Dalam pelaksanaan metode bermain dengan papan busa sebaiknya dilaksanakan secara preskriptif, artinya menggunakan cara-cara tersendiri dengan melihat situasi dan kondisi yang sesuai dengan konteks yang ada. Bersifat preskriptif karena tujuan metode bermain berorentasi pada proses. Jadi dapat disimpulkan bahwa bermain dengan papan busa diharapkan dapat menumbuhkan rasa kepuasan dan kerjasama bagi anak yang memainkannya. Salah satu metode bermain dengan papan busa yang diharapkan mampu menjawab masalah itu salah satunya adalah bermain pazel.

2.4Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan yang pernah dilakukan dan dapat menjadi sumber bagi penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.4.1 Pengaruh Penerapan Pendekatan SAVI Bervisi Sets pada Pencapaian Kompetensi Terkait Reaksi Redoks.

Jurnal ini di kemukakan oleh Muhamad Afrian, Achmad Binadjab dan Latifah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh penerapan pendekatan SAVI bervisi SETS terhadap kompetensi siswa kelas X SMAN 1 Bawang pada pokok materi reaksi redoks. Populasi penelitian ini adalah seluruh kelas X SMAN Negeri 1 Bawang. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan berupa penerapan metode pembelajaran pendekatan SAVI bervisi SETS dilanjutkan dengan post


(63)

test. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh ratarata nilai post test kelas eksperimen 79 dan kelas kontrol 73. Nilai posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan mempunyai varians yang sama, sedangkan pada uji perbedaan dua rata-rata thitung (3,63) > tabel (1,99) yang berarti ratarata hasil belajar kognitif kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Uji hipotesis menggunakan koefisien korelasi biserial dan koefisien determinasi menunjukkan bahwa metode

pembelajaran dengan pendekatan SAVI bervisi SETS berpengaruh

terhadap hasil belajar siswa pada pokok materi reaksi redoks. Dari hasil analisis diperoleh rb 0,52 dengan besarnya kontribusi 27%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh metode dengan pendekatan SAVI bervisi SETS terhadap kompetensi siswa kelas X SMAN 1 Bawang pada pokok materi reaksi redoks, yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi (rb) sebesar 0,52 dengan pengaruh 27 %.

2.4.2 Peningkatan Kualitas Pembelajaran Soal Cerita Metematika SD Melalui Penggunaan Bahan Manipulatif

Penelitian ini dikemukakan oleh Suharjo. Dalam penelitiannya tertulis salah satu kesulitan yang dihadapi siswa SD dalam mempelajari matematika adalah dalam mengerjakan soal cerita. Penggunaan bahan manipulatif dalam pembelajaran soal cerita diharapkan dapat membantu mengatasi masalah tersebut serta meningkatkan kualitas hasil belajar siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) ada tidaknya peningkatan pemahaman murid di SD kelas rendah terhadap


(1)

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang diperoleh, maka penulis menyampaikan saran kepada:

1. Guru, untuk memudahkan penggunakan metode bermain dengan papan busa dalam proses pembelajarannya, diharapkan dapat mempelajari dan memahami langkah-langkah metode bermain dengan papan busa dengan cara berdiskusi bersama peneliti maupun bersama teman sesama guru. Selain itu, diharapkan untuk melihat dan membaca reverensi lainnya untuk membandingkan dan menambah pengetahuan baik dari makalah, majalah pendidikan, internet maupun sumber pendukung lainnya.

2. Siswa, akan lebih mudah menggunakan metode bermain dengan papan busa jika sudah ada pengetahuan awal siswa tentang langkah-langkah metode tersebut. Untuk itu sebelum pembelajaran berlangsung sebaiknya siswa diberi penjelasan terlebih dahulu tentang langkah-langkah metode bermain dengan papan busa dengan cara berdiskusi di dalam kelas antara siswa, guru dan peneliti.

3. Sekolah, diharapkan kesediaannya untuk dapat menambah sarana dan prasarana yang dapat menunjang proses penelitian yang berkaitan dengan metode bermain dengan papan busa. Karena hasil penelitian ini dapat menjadi sumber untuk meningkatkan mutu sekolah.


(2)

4. Dinas pendidikan setempat, karena penelitian ini dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan nantinya dapat menghantarkan pada peningkatan mutu sekolah, diharapkan Dinas pendidikan setempat dapat menyampaikan dan memberi wawasan kepada seluruh tenaga pendidik di sekolah-sekolah lain khususnya sekolah dasar yang ada di lingkup Kecamatan Bangurejo.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulloh, Muchammad, 2012. Puzzle. http://aaps10.blogspot.com/2012-/11/puzzle.html. (Jumat, 18 Oktober 2013 pukul 22:46 WIB) Abror, Ulil. 2012.Artikel Lembaga Perndidikan.

http://ulilabror.blog-spot.com/2012/04/artikel-lembaga-pendidikan.html. (Rabu, 31 Oktober 2012 pukul 13:23 WIB)

Ardi, Sucipto. 2011. Teori Belajar Deskriptif dan Preskriptif.

http://suciptoardi.word-press.com/2011/04/12/-tentang-teori-belajar-deskriptif-dan-pres-kriptif/ (Jumat, 05 April 2013 pukul 20:35 WIB) Arsyad, Azhar. 2004. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

Borg, Walter R, Meredith D Gall & Joyce P Gall. 2003. Educational Research An Introduction Seventh Edition. New York: Pearson Education. Inc.

Darkrainysky. 2011. Teori Belajar Deskriptif dan Preskriptif.

http://darkrainysky.wordpress-.com/2011/11/01/teori-belajar-deskriptif-dan-preskriptif (Jumat, 11 Januari 2013 pukul 22:10 WIB) Diah, Ricky. 2011. Teori Belajar Kognitif Gestalt.

http://ricky-diah.blogspot.com/2011/10/teori-belajar-kognitif-teori-gestalt.html. (Jumat, 18 Oktober 2013 pukul 22:46 WIB)

Dimyati & Mujiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Elni, 2012. Prestasi Belajar.

http://elnicovengeance.wordpress.-com/2012/09/30/prestasi-belajar/ (Kamis, 21 Maret 2013 pukul 13:29 WIB)

Fadila, dkk. 2012. Teori Perkembangan Lev Vigotsky Sosial dalam dunia pendidikan. http://utak-atik-psikologi.blogspot.com/2012/03/ teori-perkembangan-konstruktivisme.html (Sabtu, 3 November 2012 pukul 10:57 WIB)


(4)

Haryanto. 2012. Teori yang Melandasi Pembelajaran Kontruktivistik. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/TEORI%20KONS TRUKTIVISTIK.pdf. (Jumat, 30 November 2012 pukul 09:15 WIB) Hermawan, Asep Heri, dkk. 2005. Pengembangan Kurikulum dan

Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka

Hermawan, Asep Heri, dkk. 2007. Media Pembelajaran Sekolah Dasar. Bandung: UPI Press.

Latif, Mukhtar, dkk. 2013. Orientasi Baru Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana.

Meier, Dave. 2002. The Accelerated Learning Handbook. Bandung: Kaifa. Miarso, Yusufhadi. 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta:

Kencana.

Mushlihin. 2012. Referensi. Pengertian Desain Pembelajaran.

http://www.referensimakalah.com/2012/06/pengertian-desain-pem-belajaran.html (Kamis, 21 Maret 2013 pukul 13:42 WIB)

Muthoharoh, Hafiz. 2009. Macam-macam media Pembelajaran.

http://alhafizh84.wordpress.com/2009/12/20/macam-macam-media-pembelajaran/ (Jumat, 02 November 2012 pukul 13:23 WIB) Putra, Nusa. 2011. Research & Development. Jakarta. Raja Grafindo

Persada.

Prawita, Novi. 2011. Pengertian Sekolah. http://noviprawita2011.student. umm.ac.id. (Jumat, 30 November 2012 pukul 09:05 WIB)

Penton, Raditya. 2012. Pendidikan Formal, Non-formal dan Informal. http://radityapenton.blogspot.com/2012/11/pendidikan-formal-informal-dan-nonformal.html. (Rabu, 15 Januari 2014 Pukul 17:31 WIB)

Riezcha, Kaka. 2012. Teori Belajar Adward Lee Thorndike.

http://penembushayalan.wordpress.com/kuliah/tokoh-dan-teori-belajar/teori-belajar-adward-lee-thorndike/ (Kamis, 10 Oktober 2013 pukul 15:20 WIB)

Sagala, Syaiful. 2012. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta


(5)

Saputra, Trio Redo. 2012. Teori Disiplin Mental. http://trioredosaputra-tp-unbara.blogspot.com/2012/12/teori-disiplin-mental.html. (Kamis, 10 Oktober 2012 pukul 14:20 WIB)

Setyosari, Punaji. 2012. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana

Shimpel. 2012. Model-model Desain Pembelajaran.

http://shimpel.blogspot.com/2012/04/model-model-desain-pembelajar-an.html (Kamis, 21 Maret 2013 pukul 14:02 WIB) Sugiarto, Icha. 2012. Proses Sosial Budaya dalam Pendidikan.

http://ichasugiarto.blogspot.com/2012/03/proses-sosial-budaya-dalam-pendidikan.html (Rabu, 31 Oktober 2012 pukul 19:23WIB)

Sugiyono. 2011. Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Smaldino, Sharon E, dkk. 2011. Instructional Technology & Media For

Learning. Jakarta: Kencana.

Thohir, Muhammad. 2013. Teori Behaviorisme Pavlov. http://thohir.sunan-ampel.ac.id/2013/04/17/teori-behaviorisme-pavlov/

(Kamis, 10 Oktober 2013 pukul 23:34 WIB)

Wahyudin, dkk. 2004. Penghantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka Wahyono, Budi. 2012. Definisi Model Assure.

http://www.pendidikanekonomi.com/2012/04/definisi-model-assure.html (Kamis, 4 April 2013 pukul 10:17 WIB)

Wahyuni, Sri, dkk. 2013. Penggunaan Alat Permainan Edukatif (APE) dalam Proses Belajar.

http://www.slideshare.net/Ayunie90/penggunaan-alat-permainan-edukatif-ape-dalam. (Selasa, 21 Januari 2014 Pukul 13:32 WIB) Wati, Widna. 2012. Games Puzzle disertai Keyword dengan Pola Duduk

Siswa. http://wiednawatii.blogspot.com/2012/12/media-pembelajaran-ips-geografi-dengan.html (Selasa, 21 Januari 2014 pukul 14:51 WIB) Wibawa, Wigih Adi. 2013. Teori Belajar Kontruktivisme.

http://wiare.-blogspot.com/2013/02/teori-belajar-konstruktivisme.html (Sabtu, 19 Oktober 2013 pukul 10:47 WIB)


(6)

Yudhistira, Devi. 2011. Tips Bermain Puzzle.

http://yudhistira31.wordpress.com/2011/10/10/ape-tips-bermain-puzzle/ (Rabu, 23 Oktober 2013 pukul 20:21 WIB)

Zain. 2012. Teori Belajar Disiplin Mental.

http://teoribelajarzain.blogspot.com/2012/01/teori-belajar-disiplin-mental.html (Kamis, 10 Oktober 2012 pukul 14:45 WIB)

Zuhairi. 2009. Pengertian Desain Pembelajaran. http://zuhairistain.-blogspot.com/2009/04/pengertian-desain-pembelajar-an_16.html (Kamis, 21 Maret 2013 pukul 15:12 WIB)