Tahap Perkembangan Moral Pendidikan Nilai Moralitas

28 Pendidikan nilai moral dalam kaitannya dengan proses pembelajaran tersebut, tentu saja mempunyai arti yang sangat penting khususnya di dalam pembinaan perilaku siswa yaitu agar peserta didik atau siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar mendapatkan hasil sebagai manusia yang berkualitas dan berperilaku positif atau berniali baik. Di dalam proses pendidikan nilai, peranan guru, dan keadaan sekolah serta masyarakat akan mempengaruhi tingkah laku guru dan siswa di dalam pencapaian tujuan pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu ditinjau dari misi pendidikan nilai moral siswa agar mencapai hasil yang baik, maka unsur kepribadian yang dimiliki oleh guru dan komponen yang terkait lainnya perlu mendapatkan perhatian yang utama. Dalam hal ini sekolah perlu memperhatikan aspek-aspek penanaman nilai-nilai moralitas di dalam proses belajar siswa, baik melalui kegiatan kurikuler dengan cara memasukkan nilai-nilai moral dalam setiap mata pelajaran, maupun melalui kegiatan ekstra-kurikuler seperti ceramah agama, diskusi, dan sejenisnya yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai siswa di sekolah.

2.2.3 Tahap Perkembangan Moral

Menurut Piaget I Wayan Koyan, 2009: 25, tahapan perkembangan moral dibagi dalam dua bagian, yaitu: tahap heterenomous morality dan tahapan aoutonomous morality. Pada tahapan 29 heterenomous morality, anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang- orang yang berkompeten dan aturan-aturan itu dipandang tidak bisa diubah. Oleh karena itu, pada setiap tahap ini disebut juga masa realisme moral. Sedangkan pada tahap otonomi anak sudah menyadari bahwa aturan-aturan itu dibuat oleh orang dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada atas dasar kesepakatan bersama dalam kelompok. Pembagian tahap perkembangan moral itu bersumber pada sikap yang dinyatakan oleh anak- anak yang berbeda usia terhadap sumber aturan, kebenaran, perubahan aturan-aturan dalam pemainan kelereng. Di samping itu, juga dari anggapan anak- anak terhadap cerita-cerita yang telah diketahui dengan baik, dan anak-anak diminta untuk menilai, siapa yang lebih nakal. Misalnya, seorang anak laki- laki yang secara kebetulan memecahkan beberapa cangkir, dan seorang laki-laki yang memecahkan satu cangkir. Pertama tahap heterenomous morality. Pada tahap hateronomi atau realisme moral, anak-anak merasa wajib mengikuti aturan-aturan, karena aturan itu adalah suci seperti undang-undang dewa, dan tak dapat diubah. Mereka cenderung memandang peraturan-peraturan itu secara total adalah benar atau salah, dan mengira bahwa setiap orang memandang aturan-aturan itu dengan cara yang 30 sama. Mereka memutuskan kesalahan atau kebenaran suatu tindakan atas dasar besar-kecilnya akibat- akibat yang ditimbulkannya, dan apakah tindakan- tindakan itu akan dihukum atau tidak. Mereka percaya bahwa keadilan akan lekas datang, seperti misalnya pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang diikuti oleh kecelakaan fisik atau ketidak beruntungan yang dikehendaki oleh Tuhan atau oleh suatu objek yang tidak berjiwa. Kedua tahap, aoutonomous morality. Bagi anak berada pada tingkat yang lebih maju, disebut moralitas otonom atau moralitas bekerjasama, di mana aturan-aturan dipandang sebagai persetujuan bersama, tepelihara dengan mantap melalui peersetujuan sosial secara timbal balik, serta dapat diubah atau dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan bersama. Mereka mengakui bahwa dalam hal ini kemungkinan ada perbedaan pandangan. Keputusan anak mengenai “benar dan salah”, ditekankan pada akibat-akibat yang ditimbulkan. Mereka percaya bahwa hukuman hendaknya berlaku secara timbal balik, dan dikaitkan dengan suatu tindakan tertentu. Misalnya, dengan pembayaran kembali atas tindakan yang dilakukan. Tugas dan kewajiban tidak selamanya dipandang sebagai keputusan terhadap penguasa, tetapi dilihat dari kesesuaian dengan harapan-harapan teman sejawat, dan mempertimbangkan kesejahteraan orang-orang lain, serta menyatakan rasa terima kasih atas dukungan-dukungannya di masa lalu, dan 31 menempatkan diri di antara orang-orang lain. Selanjutnya, apa yang dapat dilakukan oleh orang tua atau pendidik untuk memberi kemungkinan bagi perkembangan moral dari heterenomi ke otonomi dalam peraturan-peraturan moral? Heteronomi dan menjadi berkurang ketika anak mendapat pengalaman-pengalaman dalam lingkungan yang memiliki rasa saling hormat-menghormati. Rasa hormat timbal balik ini, sukar diciptakan dalam keluarga, karena adanya hubungan-hubungan yang bersifat positif dan negatif. Dalam hal ini harus ditekankan bahwa keluarga adalah merupakan suatu kelompok kooperatif, yang secara timbal balik menetapkan peraturan-peraturan demi keteraturan di dalam keluarga, yang secara timbal balik berkepentingan, dan terkena sanksi apabila perturan itu dilanggar. Apabila ada pelanggaran atau kesalahan, hendaknya orang tua duduk tenang bersama anak dan membicarakan akibat-akibat tindakannya, dan hal ini akan memancing timbulnya empati. Hal ini sangat esensial bagi perkembangannya rasa hormat yang bersifat timbal balik, dan esensial bagi perkembangan ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dalam perkembangan moral anak. Dalam perkembangan moral anak, perlu diusahakan penghentian sifat egosentris dan realisme, dan kemudian mengembangkan konsep diri mereka. Perubahan tersebut terjadi melalui proses interaksi anak dengan teman sejawat, yang dapat terjadi dengan 32 dua cara, yaitu: 1 Dalam perkembangan ke arah yang lebih tua, anak itu memiliki kesamaan pandangan yang relatif sama dengan orang-orang dewasa. Anak- anak yang lebih tua akan mengurangi rasa hormatnya, kepada mereka yang lebih muda, dan berlangsung sepihak saja, dan memberikan anak itu keyakinan untuk berpartisipasi dengan teman-teman sejawat dalam hal pengambilan keputusan-keputusan tentang perubahan dan aplikasi aturan-aturan atas dasar kemauan timbal balik. Cara berinteraksi seperti itu akan memberikan konsepsi permulaan kepada anak, bahwa aturan- aturan lama tidak bisa dipertahankan. Aturan-aturan lama yang dipandang pada masa lalu sebagai aturan yang tidak terbatas, dan bersumber dari Tuhan atau orang dewasa, tetapi sekarang aturan-aturan itu adalah hasil dari kerjasama dan atas persetujuan bersama, dan bisa diubah atas dasar persetujuan bersama. 2 Berinteraksi dengan teman-teman sejawat sering memerlukan pengambilan peran yang saling bergantian dan timbal baik di antara mereka, dan hal ini akan membangkitkan kesadaran bahwa seseorang dikoordinasikan oleh orang-orang lain dan bereaksi terhadap situasi-situasi yang sama dengan cara yang sama. Demikian juga akibat-akibat dari tindakan seseorang pada, teman sejawat dan tindakan mereka pada, dirinya, adalah sama. Anak itu akan menjadi peka terhadap keadaan-keadaaan internal, serta dapat memperhatikan dukungan atau pertimbangan- 33 pertimbangan orang lain. Kesalahan, hendaknya orang tua duduk tenang bersama anak dan membicarakan akibat-akibat tindakannya, dan hal ini akan memancing timbulnya empati. Hal ini sangat esensial bagi perkembangannya rasa hormat yang bersifat timbal balik, dan esensial bagi perkembangan ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dalam perkembangan moral. Dalam hubungan rasa hormat anak-anak kepada peraturan, ada beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu: 1 Anak mengembangkan pengertian mengenai tujuan dan asa-usul peraturan itu melalui aktivitas kerjasama. Pada saat anak mulai turut serta dengan teman-temannya dalam permainan yang bersifat kooperatif, ia mulai mengalami hubungan-hubungan yang mengandung rasa saling menghormati, ia melihat bahwa teman-teman sepermainannya itu sama seperti dirinya sendiri, dan ia mengalami bahwa anak lain menaruh hormat kepada dirinya. Sebelumnya, ia hanya mengenal rasa hormat yang unilateral, yaitu rasa hormat yang harus diberikan kepada otoritas orang dewasa. Karena orang itu lebih besar dan lebih kuat, maka anak tidak mengalami adanya unsur timbal balik dalam hubungan itu. Orang dewasa mengontrol, dia dapat mengizinkan atau melarangnya, menghukum atau memberi ganjaran. Anak tidak mempunyai persamaan rasa dengan orang dewasa. Justru hubungan rasa 34 hormat unilateral atau pembatasan dari orang dewasa inilah yang mengabadikan tahap heteronomi. Peraturan dianggap berasal dari orang-orang dewasa dan dipaksakan oleh mereka, dan hubungan antara anak dengan orang dewasa adalah hubungan rasa hormat, maka dari itu ia patuh. Dalam hubungan dengan teman-teman sejawat, unsur rasa hormat unilateral sudah tidak ada, dan anak-anak berkumpul sebagai sesama. Hal ini memberi suasana sosial untuk permainan kooperatif, dan untuk membentuk peraturan berdasarkan kesepakatan, dan untuk mengembangkan otonomi. 2 Anak pada usia tujuh atau delapan tahun menganggap sudah sepantasnyalah taat dengan pasrah kepada semua peraturan yang mengatur hidup mereka. 3 Anak heteronom, sementara masih menaruh hormat kepada peraturan, belum mempunyai pengertian dan motivasi yang memadai untuk bersikap konsisten dalam melaksanakan peraturan. 4 Hanya pada waktu anak sudah pada tahap otonomi dalam peraturan tertentu, maka pengertian dan hormat pada peraturan mendekati pelaksanaan peraturan. Adapun tahap-tahap perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg Mawardi Lubis, 2008: 13-15. Di mana dia membagi tahapan tersebut atas tiga kelompok yaitu Preconventional Level, Conventional Level, Post-conventional Level. 35 Tingkat pertama, prakonvesional level. Anak pada tingkat perkembangan moral ini mulai tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Namun, hal ini masih ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan. Pada tingkatan ini terdapat dua tahap, yaitu 1 orientasi hukuman dan kepatuhan dan 2 orientasi relativitas instrumental. Tingkat kedua, konvensional level. Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarganya, kelompok atau bangsa dan dipandang sebagai hal yang bernilai dari dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasi diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat. Tingkat kedua ini mempunyai dua tahap sebagai kelanjutan tahap awal, yaitu, 3 orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi, dan 4 orientasi hukum dan ketertiban. Pada tahap orientasi kesepakatan ini, anak memahami bahwa perilaku yang baik adalah menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Selanjutnya pada orientasi hukum dan ketertiban, anak memandang bahwa perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan 36 kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dari dalam dirinya. Tingkat ketiga, pascakonvensional. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral, yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Tingkat ketiga ini memiliki dua tahap, yaitu 5 orientasi kontrak sosial legalitas dan 6 orientasi prinsip etika universal. Pada tahap orientasi kontrak sosial legalitas, perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Selain itu terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, dan terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan.

2.2.3 Pendekatan Pendidikan Nilai Moral

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah dan Motivasi Berprestasi dengan Kinerja Guru SD di Kecamatan Bandungan T2 942008125 Bab II

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pembelajaran Ips Berbasis Multimedia di SD Negeri Batursari 6 UPTD Dikpora Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak T2 942012072 BAB II

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Nilai Moralitas Siswa Melalui Pembelajaran IPS di SD Negeri Sidomukti 3 Kecamatan Bandungan

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Nilai Moralitas Siswa Melalui Pembelajaran IPS di SD Negeri Sidomukti 3 Kecamatan Bandungan T2 942008142 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Nilai Moralitas Siswa Melalui Pembelajaran IPS di SD Negeri Sidomukti 3 Kecamatan Bandungan T2 942008142 BAB IV

0 0 83

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Nilai Moralitas Siswa Melalui Pembelajaran IPS di SD Negeri Sidomukti 3 Kecamatan Bandungan T2 942008142 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Model Manajemen Pembelajaran Berbasistik di SD Kristen Satya Wacana Salatiga T2 942014014 BAB II

0 0 38

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Kinerja Mengajar Guru Melalui Supervisi Akademik Kepala Sekolah Di SD Negeri Sumurboto Banyumanik Semarang T2 BAB II

0 0 20

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Kelas Berbasis Untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran Tematik Di SD Negeri Kebongung 3 Demak T2 BAB II

0 0 17

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Pembelajaran Melalui Manajemen Biaya Operasional Sekolah Di Sekolah Dasar Negeri Mijen ebonagung Demak T2 BAB II

0 2 43