Hal lain yang membuat Gereja Toraja ikut tertantang adalah masih mengentalnya semangat primordialisme kesukuan Toraja yang kurang menguntungkan bagi pengembangan
kehidupan bersama yang lebih luas, baik dalam lingkup kehidupan bergereja secara ekumenais, maupun dalam lingkup hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
7
4. Analisis Konteks Gereja Toraja
Berikut ini penulis akan menguraikan analisis konteks Gereja Toraja berdasarkan keputusan Sidang Sinode XXII di Jakarta.
8
a. Kekuatan dan Kelemahan
1 Kekuatan
Bentuk kelembagaan Gereja Toraja menerapkan sistem Presbiterial Sinodal yang terdiri dari 4 empat Wilayah yang membawahi 85 Klasis, 1001 jemaat dan 267 cabang
kebaktian, dan 56 tempat kebaktian yang tersebar di 13 propinsi di Pulau Sulawesi, Kalimantan dan Jawa. Warga Gereja Toraja kurang lebih 500.000 Jiwa yang tersebar di
berbagai wilayah di Indonesia, sejak tahun 2010 sudah ada satu jemaat di Kualalumpur Malaysia, dalam kerjasama dengan Geraja Presbiterian Malaysia. Hal ini merupakan
asset yang mampu memenuhi kebutuhan berbagai Sumber Daya yang diperlukan oleh Gereja Toraja dalam mencapai visi dan tujuan akhirnya
.
9
Kondisi medan pelayanan dengan letak geografis yang berbeda tersebut secara otomatis menggambarkan keragaman dan perbedaan potensi dari masing- masing
wilayah pelayanan. Perbedaan potensi dari setiap wilayah pelayanan yang ada niscaya
7
Ibid, Hlm. 8.
8
Keputusan Sidang Sinode Am XXII di Jakarta, hlm. 141-149
9
Laporan pertanggungjawaban Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Toraja Pada Sidang Majelis Sinode XXIII, tanggal 2-9 Juli di Tallunglipu, Hlm. 8
membutuhkan management pengelolaan yang kuat dan optimal, dengan tetap mempertimbangkan karakteristik masing-masing medan pelayanan.
Di bidang sarana dan prasarana yang merupakan asset pendukung persekutuan, pelayanan dan kesaksian misalnya rumah sakit, sekolah-sekolah, Perguruan Tinggi,
lembaga pelayanan sosial, membutuhkan peningkatan kapasitas baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.
Keberadaan lembaga Kelompok Pelayanan Kategorial KARGT, PPGT, PWGT dan PKB merupakan “asset” yang memiliki peran strategis dalam Gereja Toraja.
Keberadaan lembaga-lembaga ini jika difungsikan dengan baik, akan memiliki peran yang penting sebagai wadah untuk pembinaan mental dan spiritual, tetapi juga
mempersiapkan kader untuk berkarya dalam berbagai bidang termasuk bidang politik.
2 Kelemahan
Pada sisi fungsionaris pelayan presbiteroi Pendeta, Penatua, Syamas perlu mendapat perhatian khususnya keberadaan tenaga Pendeta yang prosentasenya belum
seimbang jika dibandingkan dengan kebutuhan jemaat dalam seluruh lingkup pelayanan Gereja Toraja. Jumlah Pendeta yang ada saat ini sekitar 500 orang dengan perbandingan
797 jemaat dan 290 lebih cabang kebaktian dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan.
Selain itu, hal yang cukup mendasar yang menjadi masalah adalah adanya kesenjangan potensi antar jemaatwilayah pelayanan. Pada wilayah tertentu misalnya
wilayah IV yang umumnya tersebar di daerah perkotaan memiliki potensi Sumber Daya yang mampu menjawab kebutuhan pelayanan wilayah yang bersangkutan, sementara
pada wilayah pelayanan yang terletak di daerah pelosok dan pedesaan umumnya masih
mengalami kendala diseputar Sumber Daya untuk menjawab kebutuhan pelayanan di wilayah tersebut. Keberadaan Penatua dan Syamas di masing masing wilayah juga
mengalami kesenjangan kualitas SDM sehingga hal tersebut sangat berimplikasi pada kualitas persekutuan, pelayanan dan kesaksian pada masing-masing wilayah klasis dan
jemaat. Kondisi keimanan warga jemaat banyak mengalami dekadensi kemerosotan, hal ini dapat terlihat dari prilaku warga jemaat yang banyak terseret kedalam arus negatif
globalisasi dan modernisasi seperti gaya hidup hedonisme, pragmatis dan kurang berempati terhadap kondisi sosialkemasyarakatan yang berkembang disekelilingnya,
serta perilaku negatif lainnya. Salah satu faktor yang signifikan menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya
kualitas pembinaan mental spritual dalam pelayanan Gereja Toraja yang disebabkan oleh mutu pelayanan dari para pelayan yang tidak mampu mengubah pribadi anggota
jemaat. walaupun akhir-akhir ini setiap tahun Gereja Toraja Mengadakan kegiatan yang disebut Pekan Spiritual, tetapi menjadi pertanyaan sejauhmana kegiatan tersebut
membentuk karakter, mental dan spriritual warga jemaat, ataukah kegiatan tersebut hanya sebatas seremonial saja? Semantara itu, konsentrasi para Presbiteroi Pendeta,
Penatua, Diaken lebih banyak tersita untuk mengurus dan mengelola Gereja pada sisi kelembagaannya ketimbang berkonsentrasi pada tugas-tugas pembinaan mental-spiritual
warga jemaat selaku Gereja yang hakiki orang manusianya.
b . Peluang dan tantangan
Peluang
Gereja Toraja tumbuh dan berkembang dalam interaksi dengan budaya dan peradaban masyarakat Toraja. Tak bisa dipungkiri bahwa Gereja Toraja tak dapat
dipisahkan dengan masyarakat Toraja, hal merupakan peluang bagi gereja untuk mengemban misi, berteologi dalam konteks agar masyarakat Toraja dapat menikmati
Injil dalam budaya mereka sendiri. Pergeseran tatanan politik melalui penerapan otonomi daerah pada satu sisi
memberi ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat Toraja untuk mengekspresikan aspirasi mereka sesuai kepentingan dan masa depan yang diinginkan. Salah satu
perwujudan dari otonomi daerah adalah pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Pemilu Kada. Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Pemilu Kada bahwa
rakyat di daerah itulah yang akan memilih secara langsung siapa yang pantas menjadi pemimpin mereka. Pemilihan langsung tersebut merupakan sebuah kesempatan kairos
bagi masyarakat Toraja termasuk warga Gereja Toraja pada khususnya, untuk terlibat dalam proses demokrasi di tingkatan daerah.
Tantangan
Di samping menjadi peluang, perjumpaan antara gereja dengan kebudayaan toraja juga merupakan sebuah tatangan. Kondisi ini seringkali menghantarkan Gereja
Toraja dipersimpangan jalan untuk memutuskan apakah menarik garis demarkasi secara tegas untuk menyatakan “ tidak ” terhadap adat-istiadat yang bertentangan dengan
firman Tuhan, ataukah “ membungkus “ ketidakberdayaan pimpinan umat gereja terhadap eksistensi adat dan tradisi lokal dengan argumentasi “ bertheologi kontekstual
“ untuk melanggengkan adat sekaligus agar misi pelayanan pekabaran injil tertap berjalan di tengah masyarakat Toraja yang masih memegang kuat tradisi nenek
moyangnya. Menurut Christian Tanduk bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang toraja dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan
kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik-menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman, etos dan pandangan dunia yang lahir dalam budaya nenek
moyang mereka tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak nampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap dualisme dan
juga sering dikotomis. Pada satu sisi agama diakui Alkitab menjadi pegangan, namun di sisi lain petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan pemali.
10
Otonomi daerah pada satu sisi merupakan peluang, namun pada sisi lain akan menimbulkan pergeseran konflik dari pusat ke daerah yang berjalan secara alami,
situasi tersebut juga dipicu oleh ketidakmatangan mental para elit politik lokal dan pemimpin masyarakat yang dapat menimbulkan solidaritas sempit melalui semangat
primordial, sektarianisme yang bisa bermuara pada gesekan sosial politik di tingkat lokal. Berbagai praktik money politics politik uang yang mengiringi otonomi daerah
juga sangat berdampak buruk pada prilaku masyarakat yang semakin pragmatis dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidup. Fenomena tersebut juga
menjadi tantangan Gereja Toraja selaku pengawal moral masyarakat. Berbagai masalah sosial yang kini terjadi di Toraja yang notabene sebagai basis
utama pelayanan Gereja Toraja dan seluruh instrumen kelembagaan Gereja Toraja berkedudukan di sana mulai dari Jemaat, Klasis, Wilayah, hingga BPMS, semakin
mempertegas ketidakoptimalan fungsi pembinaan dan pelayanan mental spiritual Gereja Toraja terhadap lingkungan sekitarnya.
Semakin maraknya peredaran narkoba, premanisme kelompok pemuda, sex bebas prostitusi terselubung, kriminalitas, pencurian, perjudian, gaya hidup pragmatis
10
Christian Tanduk, Ketegangan Budaya Nenek Moyang dan Agama masyarakat Toraja, dalam Toraja menggugat, Budaya Toraja: di tengah Kepungan Agama dan Birokrasi, majalah sureq seni dan budaya, La Galigo Press, hlm. 13
dan hedonis serta rentan terhadap money politic adalah gambaran penyakit sosial masyarakat yang tumbuh karena semakin menipisnya kualitas keimanan masyarakat.
Kehadiran Gereja Toraja yang tersebar dibeberapa propinsi di tanah air membuka ruang dan kesempatan yang strategis untuk turut berperan serta secara
signifikan bagi partsipasi penataan kebangsaan yang sedang membutuhkan gagasan- gagasan pencerahan dan pemikiran yang bernas dalam upaya pencarian jati diri ke-
Indonesiaan yang tengah berada dalam masa transisi nilai dibidang politik, social, ekonomi dan relasi antar umat beragama.Konflik horizontal ditengah masyarakat akibat
penggunaan simbol-simbol agama dan etnis telah memformat pola pikir masyarakat dalam bingkai rumah kaca primordialitas. Sementara para elit politik juga seringkali
melakukan politisasi agama dan agamaisasi politik demi kepentingan sesaat dan tujuan kelompok sempit yang dapat menghantarkan relasi keagamaan kejurang perpecahan
dan kekerasan agama. Realitas ini menjadi tantangan Gereja Toraja untuk turut membangun kontrol yang signifikan bagi cara-cara yang pragmatis seperti itu.
Di balik maraknya orang menjalani kehidupan ritual keagamaan, termasuk masyarakat kristiani, justru pada sisi lain terjadi arus balik di mana kehidupan
keagamaan itu menjadi terasing dari kehidupan. Inilah yang disebut sebagai irrelevansi agama dan idolatri agama, karena dibalik bangkitnya semangat kegamaan dalam wujud
ritualisme, formalisme, dan vertikalisme, maka bersamaan dengan itu telah terjadi keruntuhan moral dan etika para pengikut umat dari masing-masing agama. Bahkan
yang lebih tragis adalalah munculnya berbagai benturan antar umat agama diberbagai pelosok di tanah air yang semakin melegitimasi sisi buruk kehidupan keagamaan di
Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa ajaran moral, etika dan kasih yang diajarkan
Gereja belum mampu menuntun gereja dan warganya untuk memasuki kehidupan bermasyarakat secara baik dalam kehidupan majemuk.
Tragedi sosial dalam lingkup Nasional yang begitu beruntun bencana alam seperti: tsunami, gempa, longsor, banjir,dll yang merenggut ribuan nyawa telah
menyinggung perasaan kemanusiaan seluruh komponen bangsa Indonesia. Kejadian ini harus dilihat sebagai sebuah waktu Illahi chairos Allah untuk mengaktualisasikan
solidaritas kemanusiaan Gereja sekaligus mengembangkan sensitifitas dan solidaritas sosial gereja sebagai lembaga pelayanan dalam arti luas untuk menegaskan
keberpihakan gereja bagi orang yang tengah menghadapi kesulitan tanpa memandang latar belakang perbedaan sosial, agama, dan etnis.
Salah satu dampak negatif dari kebijakan desentralisasi otonomi daerah dalam tatanan politik di tanah air menempatkan eksistensi Gereja pada posisi yang terjepit,
yang disebabkan adanya kepentingan-kepentingan sempit dari kelompok tertentu yang tidak menghendaki Gereja tumbuh dan berkembang dibumi Indonesia. Kelompok
tersebut adalah para “ petualang-petualang ideology” yang sejak NKRI berdiri sudah
memaksakan kehendak mereka untuk mendirikan Negara Indonesia berdasarkan platform agama tertentu. Mereka adalah golongan Islam radikal misalnya KPPSI
Komite Persiapan dan Penegakan Syriat Islam di Sulawesi Selatan pimpian Andi Aziz Kahar Muzakkar, Front Pembela Islam FPI dll . Melalui media otonomi daerah, kini
gerakan tersebut kembali muncul ke permukaan dengan strategi regulasi di tingkat lokal lewat PERDA, dan aturan lokal lainnya yang merupakan turunan dan reinkarnasi SKB
tahun 1969, bahkan lebih jauh dari itu kelompok-kelompok tersebut kini secara terang- terangan berjuang untuk penerapan syariat agama tertentu di beberapa daerah. Realitas
ini sungguh merupakan pengingkaran terhadap NKRI dan sangat rentan menimbulkan konflik beragama. Secara khusus gerakan ini sangat meresahkan dan menjadi hambatan
bagi pertumbuhan gereja ke depan. Mengemukanya berbagai gerakan radikalfundamentalis dari kelompok tertentu
yang terekspresi melalui gerakan teroris merupakan persoalan yang harus diantisipasi secara bijak oleh Gereja.
Pada satu sisi implikasi dari prilaku terorisme ini menimbulkan kewaspadaan sekaligus phobia ketakutan dalam melakukan ritual keagamaan bagi umat Kristen,
namun pada sisi lain Gereja juga dituntut untuk berani melakukan perlawanan moral terhadap tindakan-tindakan yang tidak manusiawi tersebut, sekaligus juga menjadikan
hal tersebut sebagai moment untuk menginstropeksi, re-stropeksi dan otokritik terhadap strategi, mekanisme, bentuk-bentuk kehadiran Gereja di tengah -tengah masyarakat
majemuk di Indonesia. Situasi dan kecenderungan umum yang akan banyak mewarnai perjalanan umat
manusia termasuk Gereja di awal abad 21 akan diwarnai dengan issu-issu besar seperti : globalisasi dan tingginya penghargaan akan nilai-nilai hak asasi manusia HAM,
perjuangan terhadap nilai demokratisasi, perhatian terhadap lingkungan hidup seperti pembangunan berkelanjutan, kebangkitan agama-agama dan kesetaraan Gender.
terhadap berbagai kondisi tersebut diperlukan apresiasi secara professional dalam rangka memahami perubahan tanda-tanda jaman yang sedang berlangsung. Fenomena
Globalisasi tersebut berlangsung begitu cepat dan tanpa disadari kita gereja telah berada di dalam pusarannya. Globalisasi di bidang politik ditandai dengan kemenangan
ideologi dengan pendekatan sistem demokrasi atas komunisme, dibidang ekonomi
melalui kemenangan ekonomi liberal-kapitalisme, dibidang sosial-budaya ditandai dengan perjuangan civil society, dibidang teknologi dengan akselerasi teknologi
informasi, komunikasi dan transportasi. Globalisasi juga ditandai dengan adanya apresiasi dan penghargaan yang tinggi
terhadap ilmu pengetahuan knowledge based society. Melalui berbagai kemajuan tersebut, sekat ruang dan waktu terasa semakin maya dan membuka kemungkinan bagi
seluruh komponen umat manusia untuk bias berinteraksi secara langsung tanpa adanya kendala. Kemajuan ini akan memungkinkan setiap manusia dari berbagai latar belakang
social-budaya-ekonomi-geografis dapat berinteraksi dan bekerjasama bagai pencapaian tujuan bersama, namun pada sisi lain persaingan dalam situasi yang bebas ini dapat
berdampak pada kesenjangan kehidupan yang makin besar di bidang ekonomi dan penguasaan sumber daya strategis lainnya oleh kelompok-kelompok tertentu yang
mampu menguasai faktor-faktor determinan dalam globalisasi tersebut. Dampak negatif lain dari arus globalisasi adalah pola hidup masyarakat yang cenderung pragmatis
karena fasilitas yang serba instan, dampak kebebasan informasi yang mengarah pada prilaku sex bebas, gaya hidup hedonis, dan penggunaan modernisasi teknologi untuk
kegiatan negatif dan kriminalitas. Berbagai fenomena ini harus menjadi faktor yang perlu diantisipasi Gereja Toraja dalam menata pola persekutuan, pelayanan dan
kesaksian di tengan warga gereja dan warga masyarakat yang lebih luas.
5. Warisan Teologis