12 secara bertubi-tubi dari jarak jauh sekitar 100mtr sampai 200mtr bertujuan untuk
memukul mundur lawan. Pada tahun 1274, bangsa Mongol melakukan penyerangan terhadap
Jepang. Dalam peperangan tersebut pasukan pemanah berkuda Jepang lah yang mempunyai peranan penting dikarenakan para samurai berpedang Jepang tidak
terbiasa bertempur secara berkelompok. Dalam pertempuran tersebut, terbukti kikuchi Takefusa salah satu pemanah berkuda Jepang mampu memanah wajah
seorang panglima Mongol,sehingga mendorong pasukan Mongol untuk melakukan penarikan mundur.
Pada zaman modern sekarang ini, Yabusame menjadi olah raga tradisional di Jepang yang mmerperlihatkan tekhnik memanah, ketepatan sasaran dan
keindahan lari sebagai acuan penilaian. Untuk melestarikan Yabusame maka dibentuk lah asosiasi panahan berkuda Jepang dan sekolah panahan berkuda
Takeda.
2.3 Perlengkapan Bertempur
a. Kuda
Cerdas, independen, dan keras kepala, kuda jepang dipuja karena sikap otonominya, sama seperti pejuang yang menungganginya. Seorang penunggang
yang terbiasa dengan tunggangan yang lebih patuh menggambarkannyanya sebagai makhluk ganas yang keras kepala, karena kuda-kuda Jepang tidak selalu
mematuhi perintah tuannya. Begitu pentingnya kuda sehingga daerah perumputan khusus didirikan di
seluruh Jepang, dimana kuda-kuda terbaik berasal dari padang rumput di timur
Universitas Sumatera Utara
13 dan utara Jepang. Kuda sangat berharga, karena harganya mencapai sekitar
setengah harga sebuah baju zirah. Pada abad ke-14, harganya berkisar antara tiga hingga empat kan 36-48 juta rupiah. Namun, kuda tetap merupakan sebuah aset,
dan beberapa pejuang dilaporkan menjual kuda mereka disaat-saat kesusahan. Para pemilik kuda lainnya mewarnai tunggangannya dengan warna merah
tua, ungu, hijau muda kekuningan dan biru langit atau menambahkan garis-garis agar membuat kuda tunggangannya terlihat gagah. Para panglima lainnya memilih
memamerkan tunggangannya dengan pelana yang terbuat dari kulit macan, yang sangat mahal karena harus didatangkan dari daratan Asia.
Kuda Jepang merupakan keturunan kuda Mongol, sekalipun beberapa ahli percaya bahwa kuda-kuda itu lebih mirip kuda primitif, yang kini sudah punah,
seperti Tarpan. Kuda mungkin merupakan istilah yang tidak cocok, karena menurut klasifikasi modern, semua hewan jenis ini yang tidak bertubuh besar dan
hanya memiliki tinggi 140 cm akan disebut sebagai kuda poni. Penggalian terhadap kuburan kuda yang berasal dari abad ke-14, menunjukkan kebanyakan
kuda hanya memiliki ketinggian 130 cm di bagian bahu sementara kuda terkecil hanya setinggi 109 cm yang merupakan ketinggian standar keledai. Sebaliknya,
kebanyakan kuda Arab memiliki tinggi 152,4 cm di bagian atas pundaknya, sementara kuda campuran rata-rata memiliki tinggi 162,56 cm.
Pendeknya rata-rata kuda Jepang juga menjelaskan alasan mengapa tidak ada tradisi memperlengkapi hewan ini dengan plat baja, sebagaimana yang
muncul di Eropa. Karena kakinya pendek dan gemuk, kuda Jepang tidak mampu berlari kencang. Sekalipun kuda poni modern Jepang mungkin tidak memiliki
kondisi sama dengan leluhurnya, kelambanan seekor kuda harus diperhatikan
Universitas Sumatera Utara
14 dalam merekonstruksi adegan pertempuran. Berlari cepat hanya mencakup lari
kencang dalam jarak pendek, atau dalam keadaan putus asa, tetapi selain itu kuda tunggangan pejuang masuk ke medan laga dengan berderap atau berlari kecil.
Kelambanan ini kelihatannya membuat adegan pertempuran tidak dramatis, tetapi hal itu memampukan dilepaskannya anak panah secara akurat.
Kuda-kuda yang lamban ini memiliki segi keuntungannya sendiri. Mereka mampu mengatasi daerah yang tidak rata, sesuatu yang penting di Jepang, yang 80
persen wilayahnya terdiri atas pegunungan. Keuntungan yang kedua adalah seperti kerabatnya, kuda pendek Mongol, kuda-kuda ini berlari dengan mantap
dan tidak menyentak penunggangnya, sehingga memampukan penembakan panah dengan akurat.
Sekalipun berlari kecil tidaklah secepat berlari cepat, hal itu terbukti lebih menopang sehingga lebih cocok untuk memanah daripada lari cepat yang
melonjak-lonjak. Kecepatan lamban ini juga menghindari kuda terperosok kedalam lumpur di kawasan tanah yang buruk, seperti sawah. Sekalipun demikian,
mereka bukannya tidak sempurna. Selama operasi militer di musim dingin, beberapa kuda yang berjalan diatas salju bisa terperosok dalam pecahan es dan
terjebak di lumpur atau sungai. Kuda dan tambahannya yang disebut pelana, dimaksudkan untuk
menyediakan suatu landasan tidak bergerak bagi para pemanah untuk menembak lawan-lawannya. Pelana dibuat sebagai alat kestabilan di atas kuda. Pelana
memampukan sedikit gerak yang membantu ketepatan memanah tetapi tidak membantu kecepatan dari kuda poni Jepang yang lamban. Papan igi ditempatkan
di atas selimut pelana dan di bagian depannya ada maewa yang berfungsi sebagai
Universitas Sumatera Utara
15 sebuah papan kepala pelana, sementara yang ada dibagian belakang disebut
shizuwa. Selain pelana, ada juga peralatan berkuda terkenal lainnya, yang disebut
sanggurdi, memiliki sejarah panjang di Jepang, dengan cicncin logam sederhana digunakan sejak abad ke-4. Sanggurdi militer mirip seperti cangkir, terbuat dari
kayu pernis, dimana bagian bawahnya dipanjangkan agar sebagian besar kaki, jika tidak semuanya, dapat masuk. Sanggurdi ini memampukan pemakainya mudah
berdiri, dan jarang sekali seorang penunggang tersangkut kakinya saat hendak turun atau ditarik oleh kuda yang ketakutan. “Dara Burung” hato mune
mencegah jari atau bagian depan kaki terluka. Sanggurdi yang merupakan pijakan kaki saat menunggangi hewan,
tergantung di pinggiran pelana dengan seutas pita atau tali yang disebut tali sanggurdi. Biasanya sanggurdi dibuat berpasangan kanan-kiri dan digunakan
untuk membantu seseorang menaiki hewan tunggangannya atau sebagai pijakan selama mengendarai hewan tunggangan khususnya kuda atau hewan sebangsa
kuda lainnya. Sanggurdi membantu pengendara mempertahankan kedudukannya di pelana dan mempermudah pengendalian hewan tunggangannya, sehingga
meningkatkan faedah hewan tersebut dalam hal komunikasi, transportasi dan perang.
Pada Era Klasik, para pengendara meletakkan kakinya pada tali pelana atau simpul sederhana sebagai pijakan kaki. Kemudian, sanggurdi tunggal dibuat
sebagai alat bantu menaiki hewan tunggangan , dan sanggurdi berpasangan dibuat setelah pelana dimutakhirkan. Penggunaan sanggurdi berpasangan dapat dilacak
sejak masa Dinasti Jin di Cina dan menyebar ke Eropa selama Abad Pertengahan
Universitas Sumatera Utara
16
b. Mata panah