7
2.2 BAHAN 2.2.1 Lemak Ayam
Ayam broiler pedaging merupakan salah satu hewan ternak yang dapat diproduksi dalam waktu singkat 35-45 hari dan peternakan ayam broiler dapat
dijumpai hampir di semua daerah di Indonesia [22]. Ayam broiler memiliki berat sekitar 1,5 kg per ekor [23]. Tabel 2.2 menunjukkan populasi unggas di Indonesia
dari tahun 2008 hingga 2012.
Tabel 2.2 Populasi Unggas 2008 – 2012 di Indonesia dalam ribu ekor [24]
No. Jenis
Tahun 2008
2009 2010
2011 2012
1 Ayam Buras
243.423 249.963
257.544 264.340
285.227 2
Ayam Ras Petelur 107.955
111.418 105.210
124.636 130.539
3 Ayam Ras Pedaging
902.052 1.026.379 986.872
1.177.991 1.266.903
4 Itik
39.840 40.676
44.302 43.488
46.990 5
Puyuh 6.683
7.543 7.054
7.357 7.841
6 Merpati
1.499 1.815
490 1.209
1.334 Lemak merupakan sumber makanan kaya energi kedua bagi manusia.
Konsumsi lemak dunia berkisar antara 10-45 dari total energi [25]. Kandungan lemak ayam dari daging ayam relatif tinggi yaitu sebesar 10,9 basis berat [26].
Bilangan asam dari lemak ayam umumnya di bawah 2 [27]. Pada lemak ayam segar, kadar FFA umumnya sebesar 0,4 [28]. Lemak ayam pedaging merupakan
lemak buangan yang dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan biodiesel dari lemak hewani, hanya saja pasokan bahan ini terbatas namun dapat menanggulangi
pencemaran lingkungan dan lebih bernilai ekonomis [22]. Komposisi lemak ayam dengan analisis GCMS dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Komposisi asam lemak ayam hasil analisis GCMS [4]
Jenis asam lemak Jumlah relatif asam lemak
Asam Kaproat C6:0 Tak terdeteksi
Asam Kaprrilat C8:0 Tak terdeteksi
Asam Kaprat C10:0 Tak terdeteksi
Asam Laurat C12:0 Tak terdeteksi
Asam Miristat C14:0 0,74
Asam Palmitoleat C16:1 7,01
Universitas Sumatera Utara
8 Asam Palmitat C16:0
27,24 Asam Margarat C17:0
Tak terdeteksi Asam Linolenat C18:3
1,2
Jenis asam lemak Jumlah relatif asam lemak
Asam Linoleat C18:2 16,36
Asam Oleat C18:1 38,35
Asam Stearat C18:0 5,56
Asam Arakidonat C20:4 0,87
Asam Arakidat C20:1 0,41
Asam Arakhat C20:0 Tak terdeteksi
Asam Behenat C24:0 Tak terdeteksi
Jumlah asam lemak jenuh SPA 33,54
Jumlah asam lemak tak jenuh tunggal MUFA
45,77 Jumlah asam lemak tak jenuh ganda
PUFA 18,43
Total MUFA + PUFA 64,20
Perbandingan asam lemak tak jenuh jenuh
1,91
2.2.2 Metanol
Alkohol yang dapat digunakan dalam reaksi transesterifikasi antara lain etanol, propanol, isopropanol, butanol, dan pentanol [3]. Etanol tidak biasa
digunakan karena memerlukan biaya tinggi dalam penghilangan 4 air yang terbentuk pada akhir reaksi [29].
Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber pemasok gugus alkil, metanol yang paling umum digunakan, karena harganya murah
dan reaktifitasnya paling tinggi [30]. Selain itu, metanol merupakan senyawa polar dan alkohol dengan rantai terpendek. Hal tersebut menyebabkan metanol cepat
bereaksi dengan trigliserida dan NaOH mudah larut dalam metanol [31]. Reaksi transesterifikasi dengan menggunakan metanol memerlukan suhu sebesar 60
o
C, sedangkan alkohol lain etanol dan butanol memerlukan suhu yang lebih tinggi 75
dan 114
o
C untuk memperoleh konversi optimum [32]. Sifat fisika metanol dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Sifat Fisika Metanol [33]
Sifat Fisika
Berwujud cair Berat Molekul : 32,04 gmol
Titik didih : 64,5
o
C Titik leleh : -97,8
o
C
Universitas Sumatera Utara
9 Tekanan uap : 12,3 kPa 20
o
C
2.2.3 Katalis Homogen NaOH
Katalis merupakan bahan yang ditambahkan untuk mempercepat laju reaksi tanpa mempengaruhi produk dari reaksi, mengarahkan jalannya reaksi sesuai dengan
jalur reaksi tertentu dan mengurangi terbentuknya produk samping untuk meningkatkan kemurnian produk yang dihasilkan [34].
Reaksi transesterifikasi dapat dikatalis dengan katalis homogen ataupun heterogen [35]. Katalis homogen cukup sensitif dengan kadar asam lemak bebas
FFA dan air dalam bahan baku minyak dan alkohol [36]. Ada dua jenis katalis, katalis basa dan katalis asam. Katalis basa lebih efektif
[37]. Walaupun asam sulfat dapat mengkatalis reaksi transesterifikasi, transesterifikasi dengan katalis asam sangat lambat bila dibandingkan dengan
transesterifikasi katalis basa [38]. Katalis basa homogen memiliki beberapa kelebihan seperti aktivitas katalis yang tinggi konversi sempurna dalam waktu 1
jam, dan kondisi reaksi ringan 65
o
C dan 1 atm [39]. Transesterifikasi dengan katalis basa biasanya menggunakan logam alkali
alkoksida, NaOH, KOH, dan NaHCO
3
sebagai katalis [40]. Laju reaksi transesterifikasi dengan katalis basa lebih cepat jika dibandingkan dengan katalis
asam. Karena dalam larutan basa, suatu karbonil dapat diserang langsung oleh nukleofilik tanpa protonasi sebelumnya [41].
Katalis berbasis kalium memberikan yield yang lebih tinggi daripada katalis berbasis natrium, dan katalis metoksida memberikan yield yang lebih tinggi dari
katalis hidroksida [29]. Logam alkali metoksida merupakan katalis yang paling aktif, karena memberikan yield tertinggi dan waktu reaksi yang singkat. Namun, katalis
metoksida memerlukan reaksi bebas air yang menyebabkannya kurang sesuai digunakan dalam proses industri [42]. Selain itu, harga dari katalis metoksida lima
hingga enam kali lebih mahal daripada harga katalis hidroksida [29]. Mekanisme reaksi katalis basa homogen dapat dilihat pada gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
10 Gambar 2.1 Mekanisme Reaksi Katalis Basa Homogen pada Transesterifikasi
Trigliserida : 1 Produksi sistem aktif, RO
-
; 2 Serangan nukleofilik dari RO
-
ke gugus karbonil pada trigliserida, membentuk intermediat tetrahedral; 3 Pemecahan
intermediat; 4 Regenerasi dari sistem aktif RO
-
. Proses ini diulangi dua kali. [43]
Logam alkali hidroksida KOH dan NaOH lebih diminati sebagai katalis basa [44]. Namun, katalis berbasis kalium memungkinkan terbentuknya sabun lebih
banyak daripada katalis berbasis natrium [29]. Biaya yang rendah dan kinetika reaksi yang baik menjadikan NaOH sebagai katalis yang paling diminati dalam industri
[45]. Jumlah NaOH yang diperlukan lebih sedikit daripada jumlah CH
3
ONa atau KOH untuk konversi asam lemak metil ester yang sama karena NaOH memiliki
massa molar yang lebih rendah 40 gmol, dibandingkan dengan CH
3
Ona 54 gmol dan KOH 56 gmol [46].
2.2.4 Co-solvent Dietil Eter
Proses transesterifikasi memiliki banyak masalah seperti reaktan minyak dan alkohol yang tidak saling larut yang disebabkan struktur kimia mereka. Dispersi
minyak dalam medium metanol, sehingga kemungkinan terjadinya benturan antara
B : katalis basa R
1
, R
2
, R
3
: rantai karbon dari asam lemak R : gugus alkil dari alkohol
ROH + B RO
-
+ BH
+
Universitas Sumatera Utara
11 molekul gliserida dan metoksida campuran metanol dan katalis alkali KOH atau
NaOH semakin sedikit. Hal ini menurunkan laju benturan antar molekul dan juga
laju reaksi sehingga menyebabkan lamanya waktu reaksi [47].
Untuk meningkatkan efisiensi transesterifikasi, sangat penting untuk menemukan cara mencampur reaktan cair dengan baik, terutama minyak dan
alkohol, dimana minyak dan alkohol sangat berbeda dalam polaritas dan densitas [7]. Penambahan pelarut lain dalam sistem reaksi dapat membantu pencampuran reaktan
yang tidak saling melarut tersebut. Ada tujuh kelompok pelarut hidrofilik dan hidrofobik, yaitu alkana dan sikloalkana, keton, eter, ester, alkohol, nitril dan
derivatif [48]. Co –solvent, misalnya dari golongan eter, seperti tetrahidrofuran
THF, dietil eter, diisopropil eter, metil tetiari butil eter, dapat digunakan sebagai cara untuk membuat reaksi menjadi satu fasa [7].
Co-solvent yang dipilih sebaiknya memiliki titik didih dekat dengan alkohol yang digunakan, agar setelah reaksi selesai, alkohol dan co-solvent dapat didaur-
ulang untuk digunakan kembali. Hal paling utama yang harus diperhatikan dalam pemilihan co-solvent adalah pemulihan sempurna co-solvent di akhir reaksi dan
penggunaan kembali co-solvent, yang dapat dilakukan dengan pemilihan co-solvent bertitik didih dekat dengan alkohol yang digunakan. Hal lain yang harus diperhatikan
adalah mengenai tingkat bahaya co-solvent [47]. Co-solvent yang lebih diutamakan adalah yang berasal dari golongan cyclic ether seperti tetrahidrofuran THF, dietil
eter, metiltertiaributileter, diisopropil eter, dan 1,4-dioxane. Co-solvent yang dipakai hendaknya anhidrat [6].
Eter merupakan nonhidrosiklik dan tidak dapat membentuk ikatan hidrogen dalam keadaan murninya. Eter juga biasanya tidak reaktif terhadap basa kuat. Eter
siklik dengan berat molekul rendah saling larut dengan air dalam banyak perbandingan dan menjadikannya sebagai co-solvent dalam sistem metanlminyak.
Metanol seperti air yang memiliki sifat polar dan hidrofilik. Contoh eter siklik adalah tetrahidrofuran THF dan 1,4-dioxan. THF lebih dipilih sebab memiliki titik didih
dekat dengan titik didih metanol dan dapat di ko-destilasi sehingga dapat diperoleh kembali di akhir reaksi [41].
Dietil eter termasuk dalam jenis co-solvent asiklik. Dietil eter sangat tidak larut dalam air dalam semua perbandingan, tetapi saling larut dengan metanol. Dalam
eter siklik pasangan elektron bebas lebih mampu untuk berikatan hidrogen dibanding
Universitas Sumatera Utara
12 asiklik. Hal ini menjadi alasan bahwa ruangan gugus alkil dalam eter siklik
menghalangi pembentukan ikatan hidrogen dengan molekul air yang memiliki sifat saling larut yang rendah [41].
Lin dan Hsiao menambahkan pengaruh penggunaan microwave dengan daya 300 W pada produksi biodiesel dari minyak jelantah dengan proses transesterifikasi
dua tahap dengan penambahan co-solvent memberikan hasil yang baik. Co-solvent yang digunakan adalah tetrahidrofuran THF. Penambahan THF meningkatkan
efisiensi reaksi. Reaksi pertama bertujuan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas, sedangkan reaksi kedua bertujuan untuk mengubah minyak menjadi metil
ester. Percobaan Lin dan Hsiao menghasilkan biodiesel dengan yield 97,4 pada perbandingan alkohol : minyak pada reaksi pertama 9 : 1, perbandingan alkohol :
minyak pada reaksi kedua 12 : 1, jumlah katalis basa 1 berat, dan temperatur 333 K [7].
Setyopratomo, dkk. menggunakan dietil eter sebagai co-solvent dan memvariasikan suhu reaksi serta perbandingan CPO : Metanol dalam menguji
karakteristik biodiesel turunan CPO. Dari berbagai alternatif metode pembuatan biodiesel dari CPO, transesterifikasi satu fasa adalah salah satu alternatif yang dapat
dipilih. Beberapa keberhasilan dari metode ini telah ditunjukkan dari keunggulan produk biodiesel yang dihasilkan pada perbandingan dietil eter : metanol 2 : 1,
waktu reaksi 1 jam, dan penggunaan katalis sebanyak 0,5 berat [5]. Rachmaniah, dkk. menambahkan THF sebagai co-solvent pada produksi
biodiesel dari CPO dengan proses satu fasa. Dengan penambahan co-solvent THF memberi perolehan kadar metil ester lebih tinggi daripada metode konvensional
dengan persentase kenaikan sebesar 5 . Kadar metil ester tertinggi yang diperoleh adala 98,42 , dicapai pada perbandingan THF : Metanol 2 : 1, perbandingan
molar minyak : metanol 1 : 6, dan penggunaan katalis NaOH sebanyak 0,5 berat [9].
Encinar, dkk. menguji kinerja berbagai co-solvent dalam pembuatan biodiesel dari rapeseed oil. Co-solvent yang digunakan antara lain tetrahidrofuran THF, dietil
eter DEE, dibutil eter diBE, tersier butil metil eter tBME, diisopropil eter diIPE, dan aseton. Pada kondisi reaksi yang sama yaitu pada perbandingan metanol
: minyak 9 : 1, perbandingan metanol : co-solvent 1 : 1, temperatur reaksi 303 K, jumlah katalis 0,7 berat, dan laju pengadukan 700 rpm, dietil eter dan THF
Universitas Sumatera Utara
13 memberikan yield tertinggi yaitu 97,6 dan 98,3 . Namun, di antara berbagai co-
solvent yang digunakan, dietil eter adalah yang paling efektif. THF memberikan hasil yield yang serupa, namun pemulihannya lebih sulit [10]. Tabel 2.5 menunjukkan sifat
fisika dietil eter.
Tabel 2.5 Sifat Fisika Dietil Eter [49]
Sifat Fisika
Berwujud cair Tak berwarna
Titik didih : 34
o
C Titik leleh : -116
o
C Tekanan uap : 400 mmHg
Titik nyala : -45
o
C 2.3 TRANSESTERIFIKASI
Ada beberapa proses yang dapat digunakan untuk memproduksi biodiesel [20].
1. Transesterifikasi dengan katalis basa.
2. Transesterifikasi dengan katalis asam.
3. Pre-esterifikasi terhadap FFA dengan katalis asam terintegrasi dan
transesterifikasi dengan katalis basa. 4.
Transesterifikasi dengan katalis enzim. 5.
Hidrolisis dan esterifikasi dengan katalis asam. 6.
Pirolisis. 7.
Transesterifikasi dengan alkohol superkritik. Biodiesel pada umumnya disentesis melalui transesterifikasi dengan alkohol
ringan menggunakan katalis basa konvensional [50]. Transesterifikasi biasa disebut dengan alkoholisis adalah tahap konversi dari trigliserida menjadi alkil ester,
melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping berupa gliserol [30]. Reaksi transesterifikasi ditunjukkan oleh gambar 2.2.
Universitas Sumatera Utara
14 H
2
C – O – CO – R
1
R
1
COOR H
2
C - OH HC
– O – CO – R
2
+ 3ROH R
2
COOR + HC – OH
H
2
C – O – CO – R
3
R
3
COOR H
2
C – OH
Trigliserida Alkohol Alkil Ester Gliserol Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi
[32]
Reaksi transesterifikasi terdiri dari tiga tahap. Trigliserida bereaksi dengan alkohol membentuk digliserida, dan kemudian digliserida bereaksi membentuk
monogliserida. Monogliserida bereaksi dengan alkohol menghasilkan gliserol sebagai produk samping [51]. Monogliserida MG dan Digliserida DG merupakan
zat intermediat yang terbentuk dalam reaksi transesterifikasi [52]. Tahapan-tahapan reaksinya adalah sebagai berikut [51].
1. TG + ROH
DG digliserida + RCO
2
R 2.
DG + ROH MG monogliserida + RCO
2
R 3.
MG + ROH RCO
2
R + Gliserol Faktor kritik untuk menunjang produksi biodiesel dengan reaksi
transesterifikasi yang baik sebagai berikut : 1.
Kualitas Bahan Baku Kualitas bahan baku termasuk dalam faktor internal reaksi transesterifikasi.
Sedangkan kondisi reaksi dan tipe katalis termasuk faktor eksternal reaksi transesterifikasi [53]. Minyak nabati ataupun lemak hewani dapat digunakan untuk
produksi biodiesel. Bahan baku minyak yang digunakan harus memenuhi dua hal : harga biaya bahan baku dan produksi rendah dan ketersediaan volume produksi
besar dan konstan Sivasamy, dkk., 2009. Lemak hewan bersifat lebih kompleks daripada minyak nabati murni. Kadar
asam lemak bebas FFA terkandung dalam minyak buangan dapat bereaksi dengan katalis alkali yang menyebabkan terjadinya reaksi penyabunan. Oleh karena itu,
teknologi transesterifikasi konvensional menggunakan reagen yang bebas air dan kadar FFA bahan baku tidak melebihi 0,1
– 0,5 berat [29]. katalis
Universitas Sumatera Utara
15 2.
Kondisi Reaksi -
Suhu optimum yang digunakan pada reaksi didasarkan pada suhu yang paling mendekati titik didih alkohol yang digunakan untuk reaksi transesterifikasi
tanpa co-solvent [54]. Reaksi transesterifikasi dengan penambahan co-solvent dilakukan di bawah titik didih dari pelarut metanol dan co-solvent dietil eter
[6]. Encinar, dkk. pada tahun 2010 membuktikan bahwa suhu optimum transesterifikasi minyak dengan menggunakan co-solvent dietil eter adalah
sebesar 300 – 303 K 23 – 30
o
C [10]. -
Secara teoritis, dari stokiometri reaksi transesterifikasi, diperlukan perbandingan metanol-minyak sebesar 3 : 1 untuk reaksi transesterifikasi [47].
Digunakan alkohol yang berlebih untuk memperoleh konversi reaksi yang baik [54]. Penggunaan perbandingan metanol-minyak yang terlalu besar tidak akan
meningkatkan yield, tetapi menambah biaya pemulihan metanol dan menyebabkan kesulitan pemisahan gliserol yang menyebabkan penurunan yield
[47]. Tanpa adanya co-solvent, reaksi transesterifikasi dapat dilakukan dengan kisaran perbandingan molar metanol : minyak antara 6 : 1 hingga 12 : 1 [55].
Menurut Todorovic, dkk. pada tahun 2012, metanolisis minyak berkatalis basa homogen dan heterogen dengan kehadiran co-solvent menggunakan
perbandingan molar metanol : minyak sebesar 6 : 1 [17]. -
Kecepatan pengadukan setinggi mungkin untuk membantu pencampuran reaktan. Hal ini disebabkan sistem dua fasa yaitu antara minyak dengan alkohol
di mana katalis terlarut dalam alkohol [54]. Pengadukan yang kuat memperbesar perpindahan massa dengan mendispersikan alkohol sebagai
butir-butir dalam fasa trigliserida, dengan demikian akan menambah luas kontak antara dua zat yang tidak melarut satu dengan lainnya. Produksi metil
ester bertambah ketika kecepatan impeller ditingkatkan dari 300 hingga 600 rpm [56]. Pengadukan sebenarnya hanya diperlukan untuk menghasilkan reaksi
satu fasa, ketika hal ini telah dapat diwujudkan, pengadukan tidak lagi diperlukan. Dalam transesterifikasi menggunakan co-solvent, co-solvent
digunakan untuk mengatasi laju reaksi yang lambat dan karena itu, pengadukan menjadi tidak penting. Kecepatan pengadukan sebesar 100
– 200 rpm untuk beberapa menit pertama telah cukup [47].
Universitas Sumatera Utara
16 -
Waktu reaksi transesterifikasi selama ini cukup lama, yaitu sekitar 1 jam untuk reaksi tanpa co-solvent [5]. Sedangkan dengan adanya penambahan co-solvent
waktu reaksi yang diperlukan sangat singkat, sekitar 10 menit untuk mendapatkan konversi reaksi yang hampir sempurna [47].
- Semakin meningkatnya perbandingan metanol : minyak, maka penggunaan co-
solvent akan semakin sedikit. Perbandingan volume co-solvent : metanol yang diperlukan untuk beberapa variasi perbandingan netabol : minyak seperti
berikut ini 0,8 pada 6 : 1, 0,91 pada 9 : 1, 0,94 pada 12 : 1, 0,98 pada 13 : 1, 1,02 pada 14 : 1, 1,03 pada 15 : 1, dan 1,06 pada 18 : 1 [57]. Dari hasil
penelitian Encinar, dkk. 2010 banyaknya co-solvent yang diperlukan dengan adanya penambahan 0,7 berat katalis adalah 1 : 1 perbandingan molar
metanol : co-solvent untuk mendapatkan konversi reaksi yang hampir sempurna [10].
3. Konsentrasi Katalis
Biasanya produksi biodiesel konvensional melalui reaksi transesterifikasi dari minyak dengan katalis basa kuat yang homogen [58]. Katalis asam seperti asam
sulfat juga dapat digunakan untuk reaksi transesterifikasi namun berlangsung lambat [44]. Reaksi dengan menggunakan katalis basa homogen relatif cepat dan
memberikan konversi reaksi yang tinggi [59]. Banyaknya jumlah katalis yang digunakan dalam reaksi transesterifikasi tanpa adanya co-solvent berkisar antara 0,2
hingga 2 berat [54]. Dengan adanya penambahan co-solvent, jumlah katalis yang diperlukan menjadi lebih sedikit. Dari penelitian Dabo, dkk. 2012 yang
memvariasikan konsentrasi katalis 0,5 sampai 2 , diperoleh yield tertinggi pada penggunaan konsentrasi katalis 0,5 [47].
2.4 POTENSI EKONOMI BIODIESEL DARI LEMAK AYAM