Analisa kritis terhadap konsep pemikiran feminis tentang perkawinan beda Agama

(1)

ANALISA KRITIS TERHADAP KONSEP PEMIKIRAN FEMINIS

TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Anih Robbani NIM : 107044102426

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

i

ANALISA KRITIS TERHADAP KONSEP PEMIKIRAN FEMINIS TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Anih Robbani NIM: 107044102426

Dibawah Bimbingan Pembimbing

DR. Umar Al Haddad, MA NIP: 196809041994011001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ANALISA KRITIS TERHADAP KONSEP FEMINIS TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA

NIP. 196906102003122001

3. Pembimbing : Dr.Umar Al Haddad, MA NIP. 196809041994011001

4. Penguji I : Dr. H. Mamat Slamat Burhanudin, M. Ag NIP. 197006051998031004

5. Penguji II : Hj. Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001


(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Juni 2011


(5)

iv

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا ها مسب

Alhamdulillah penyusun panjatkan atas kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Baginda besar Nabi Muhammad saw, untuk keluarga, para sahabat, dan seluruh umat di segala penjuru dunia, khususnya kita semua.Amin.

Penyusun merasa bahwa skripsi dengan judul "Analisa Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis Tentang Perkawinan Beda Agama” ini bukan merupakan karya penyusun semata, tetapi juga merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penyusun juga merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa, untuk itu saran dan kritikan yang membangun sangat penyusun harapkan. Selanjutnya tidak lupa penyusun haturkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuan sehingga terselesainya skripsi ini, semoga amal baik tersebut mendapat balasan dari Allah swt. Amin Ya Rabbal Alamin.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

v

2. Drs. H. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku penasehat akademis.

3. Hj. Rosdiana, MA, Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Umar Al Haddad, MA. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, serta memberikan motivasi dan masukan pada penulis.

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.

6. Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta stafnya.

7. Orang tua tercinta Bapak H. Ahmad Dimyathi dan Umi Hj. Yuyun fatimah, yang telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan penuh keikhlasan membantu penulis baik moril maupun materi, kakak dan adik-adik tercinta Andi Junaidi S.Sos.I, Ayub Suhendar, Yusuf Jamaludin, Dasep Sopyan, si bontot Siti Annisa Fatimah dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mang Aam Aminudin, S.Sos. yang telah memberikan motivasi dan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan di Ciputat.

8. Andini Hafizhotin Nida, ketulusan dan perhatiannya yang menemani penulis saat menyusun skripsi ini tak pernah henti memberikan motivasi dan dukungan. Pancaran cintanya bersinar saat rasa malas datang, katulusan dan cinta tergambar


(7)

vi

dalam kasih sayang, terimakasih cinta semoga kita dapat bersama dalam situasi yang berbeda, semoga cinta yang ada terjalin saat ini esok dan selamanya.

9. Sahabat-sahabat penulis Utsman Affandy, S.E, Ahmad Akbarullah, S.Si, Royhan IM, S.Si, H. Debi Fajrin Habibi, Asep Dadan, S.Sy, Sholeh Afif, Syarif Hadi Saputra Lubis,S.Si, Nizham Arsalan S.Si, Hanifudin Mahfudz S.Sos.I, Ali Aziz, S.Si, M. Dahri, S.Si, Azwar Anaz SH.i, SH, Troy Yudistira S.Si. CHC, Muhammad Ramdani, Lc, Saefullah S. Si. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya kelas A, HMI KOMPAKSY dan juga seluruh teman-teman FDI angkatan 2006.

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima oleh Allah swt. Amin.

Jakarta, 21 Juni 2011


(8)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 12

D. Metode Penelitian... 13

E. Review Studi Terdahulu ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II: PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ... 19

A. Pengertian Perkawinan Beda Agama ... 19

B. Perkawinan Beda Agama dalam Islam ... 23

C. Perkawinanan Beda Agama dalam Hukum Positif ... 39

BAB III: DESKRIPSI UMUM TENTANG FEMINISME ... 46

A. Pengertian Feminisme ... 46

B. Sejarah Singkat Perkembangan Pemikiran Feminis ... 48

C. Macam-macam Aliran Feminisme ... 53


(9)

viii

BAB IV: KRITIK DAN APRESIASI TERHADAP PERKAWINAN BEDA

AGAMA ... 62

A. Konsep Perkawinan Beda Agama Kalangan Feminis ... 62

B. Beberapa Kritik Terhadap Konsep Perkawinan Beda Agama ... 87

C. Analisis Penulis ... 94

BAB V: PENUTUP ... 111

A. Kesimpulan ... 111

B. Saran-saran ... 114


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Perkawinan telah terjadi sejak manusia pertama diciptakan oleh Allah swt., sebagaimana yang telah terjadi pada Nabi Adam as, sebagai manusia pertama yang telah dikawinkan oleh Allah swt. dengan Siti Hawa. Proses kejadian itu adalah merupakan proses permulaan dan pertama kali dalam sejarah kehidupan manusia di bumi ini.1 Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antar anggota keluarga.2

Sebagai agama universal, Islam memandang manusia sebagai kesatuan umat, dalam hal perkawinan sama sekali tidak mempersoalkan faktor-faktor perbedaan keturunan bangsa atau kewarganegaraan, yang jadi persoalan hanyalah faktor perbedaan agama. Islam menentukan bahwa keselamatan keyakinan agama harus lebih diutamakan daripada kesenangan duniawi, apalagi dalam hubungan perkawinan yang merupakan batu dasar pembinaan rumah tangga, kekeluargaan, masyarakat, faktor keyakinan agama benar-benar ditonjolkan.3

1

Tamar Djaja, Tuntutan Perkawinan dan Rumah Tangga Islam 2 ( Bandung: al-Ma‟arif, 1982), h. 3

2

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet.III (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 8

3

Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam ( Bandung: al-


(11)

2

Allah tidak berkeinginan menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya tanpa suatu aturan. Kemudian, demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah menciptakan hukum sesuai martabatnya, sehingga hubungan antara pria dan wanita diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai.4

Hubungan saling meridhai ini pada dasarnya bermula dari adanya rasa suka antar lain jenis, yang kemudian dengan kesepakatan keduanya berlanjut untuk melangsungkan perkawinan. Tidak diragukan lagi, jika kedudukan antara pria dan wanita sama atau sebanding atau sederajat, maka akan membahagiakan kehidupan rumah tangga yang akan dibina. Persamaan itu antara lain adalah sama dalam kedudukan, tingkat sosial, sederajat dalam akhlak, kekayaan dan agama. hal yang seperti ini dalam ajaran agama Islam, seorang yang hendak ingin melakukan suatu hubungan rumah tangga maka diharuskan sederajat seperti yang telah dihimbau oleh Nabi Muhammad saw.

Rasulullah memberikan penjelasan, bahwa dalam memilih pasangan haruslah benar-benar teliti, jangan hanya melihat dari kecantikan saja, akan tetapi haruslah di lihat dari kesetaraan masing-masing agar tujuan pernikahan dapat terlaksana dengan baik. Adanya perbedaan dalam memilih pasangan suami atau istri yang tidak sekufu‟

4

As-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, cet.VI, Penerjemah Mohammad Thalib (Jakarta: PT al-Ma'arif, 1980), h. 8


(12)

3

(setara) baik dalam hal harta, status, keturunan, maupun agama seringkali menjadi penyebab tidak harmonisnya rumah tangga.5

Dalam hal perkawinan, masih terdapat perdebatan yang kontroversial mengenai permasalahan tersebut, salah satu bentuk perkawinan yang masih dalam kontroversi adalah perkawinan beda agama, perkawinan yang tidak sederajat dalam hal agama. Apabila dibagi, maka perkawinan beda agama ini terbagi menjadi empat bentuk:

1. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab

2. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik 3. Perkawinan antara wanita muslim dengan pria ahl al-kitab

4. Perkawinan antara wanita muslim dengan pria musyrik, yakni yang bukan ahl al-kitab.

Perkawinan bentuk pertama, sebagian ulama membolehkan dan sebagian lagi mengharamkannya. Ulama yang membolehkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Maidah (5) ayat 5, secara zahir ayat surat tersebut, dapat dipahami bahwa Allah membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kitab yang muhsanat, arti muhsanat dalam ayat itu adalah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, dari perbuatan zina. Selain arti itu, ada juga yang memahami kata muhsanat ketika

5

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk, cet. II (Bandung: al-Bayan, 1995), h. 43


(13)

4

dirangkaikan dengan utual-kitab dari surah al-Ma‟idah (5) ayat 5, dengan arti wanita-wanita merdeka atau wanita-wanita-wanita-wanita yang sudah kawin.6

Sedangkan yang mengharamkannya merujuk pada firman Allah, yang terdapat dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 221, ayat ini menunjukan bahwa Allah mengharamkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik, begitu juga sebaliknya, wanita muslim pun dilarang menikahi pria musyrik.

Mereka yang mengharamkan mengatakan bahwa Q.S. al-Ma'idah (5) ayat 5 telah dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syi'ah Imamiyyah dan Syi'ah Zaidiyyah. Seorang sahabat Nabi, Ibnu Umar r.a., ketika ditanya tentang perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab menjawab: Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik dikawini orang-orang Islam dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang-orang wanita yang berkata: Isa adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah.7Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Umar tidak membedakan antara ahl al-kitab dan musyrik, yakni karena ahl al-kitab berbuat syirik, ia juga masuk dalam kategori musyrik.

Sedangkan perkawinan bentuk kedua dan keempat, umumnya disepakati oleh jumhur ulama sebagai perkawinan yang diharamkan, berdasarkan Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221. Adapun perkawinan bentuk ketiga, meskipun tidak disebutkan dalam

6

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an,

cet.III, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 29

7

Muhammad 'Ali as-Sabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni. Penerjemah Mu'ammal Hamidy, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu), 1985, h. 232


(14)

5

Qur'an, menurut jumhur adalah juga diharamkan. Walaupun pandangan mayoritas ulama tidak memasukkan ahl al-kitab dalam kelompok yang dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria ahl al-kitab mengawini wanita muslimah.

Larangan perkawinan wanita muslimah dengan orang musrik diatur dalam Islam yaitu bersumber pada firman Allah swt. dalam surat al-Mumtahanah (60) ayat 10, ayat tersebut sekaligus menjadi dalil larangan perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab.

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, dalam melakukan perkawinan bagi orang muslim tentunya harus berpedoman pada hukum syar‟i, yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang dan dibolehkan, akan tetapi disamping aturan yang telah di tetapkan dalam hukum syar‟i, bagi setiap warga negara Indonesia dalam masalah perkawinan tidak bisa hanya terpaku pada ketentuan hukum syar‟i saja, mereka juga harus berpedoman kepada norma hukum yang bersumber kepada Undang-undang negara yang telah ditetapkan oleh suatu pemerintahan yang sah dan di sepakati oleh instansi terkait.

Adapun yang disebut Undang-undang ialah peraturan atau ketetapan yang dibentuk oleh perlengkapan negara yang mempunyai kewenangan membentuk Undang-undang, yakni Presiden dengan persetujuan DPR (UUD RI 1945 pasal 5 ayat (1) dan diundangkan sebagaimana mestinya.8

8

Kusumadi Pudjosewoyo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia (Jakarta: PT Penerbit Universitas, 1996), h. 74


(15)

6

Ini berarti dengan diundangkannya Undang-undang Perkawinan (UUP) merupakan suatu pedoman bagi seluruh warga negara Indonesia, baik muslim maupun non muslim. Undang-undang tersebut merupakan sumber hukum mengenai perkawinan, berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara Indonesia serta mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa dan ditetapkan dengan jelas sanksi bagi pelanggarnya.

Mengenai pernikahan beda agama, sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), semua bentuk perkawinan beda agama adalah dilarang, tak terkecuali perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, satu-satunya bentuk perkawinan beda agama yang dibolehkan oleh jumhur ulama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf (c) KHI yang melarang perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim dan pasal 44 KHI yang melarang perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim.9

Aturan yang telah di tetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ternyata dalam perkembangan pemikiran pada saat ini mendapat kritikan dari kalangan yang menghendaki peraturan tersebut direvisi, tentunya wajar saja jika aturan dalam Kompilasi Hukum Islam mendapat kritikan, akan tetapi kritikan tersebut harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh hukum Islam (syariah). Syariah itu sendiri memiliki dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal terkandung aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhan (ibadah),

9

Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan ) ,Bab IV tentang larangan kawin, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h.12-13


(16)

7

sementara pada dimensi horizontal syariah berisi aturan tentang hubungan antar manusia, yang kemudian dikenal dengan isitilah muamalah.10

Muamalah menurut Ibn Abidin terbagi menjadi lima bagian, yaitu: mu„awadah maliyah (hukum kebendaan), munakahat (hukum perkawinan),

muhasanah (hukum acara), amanah dan „aryah (pinjaman), dan tirkah (harta warisan).11

Berbicara tentang feminisme, maka pembahasan yang akan muncul yaitu penuntutan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, yang menjadi persoalan mendasar dalam membahas posisi kaum perempuan (muslimat) dalam Islam adalah posisi kaum perempuan dimasyarakat, dewasa ini telah merefleksikan inspirasi normatif kaum perempuan menurut ajaran Islam. Pernyataan ini umumnya dapat digolongkan menjadi dua golongan utama.

Pertama, mereka yang menganggap bahwa sistem hubungan laki-laki perempuan di masyarakat saat ini telah sesuai dengan ajaran Islam, karenanya tidak perlu di emansipasikan lagi. Kedua, mereka yang menganggap kaum muslimat saat ini berada dalam suatu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam. Kaum muslimat dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syariat.

10

Abd. Salam Arief. Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita, cet.I, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), h. 83

11


(17)

8

Mereka menganggap bahwa posisi kaum muslimat dalam kenyataan dimasyarakat saat ini tertindas oleh suatu sistem dan struktur gender, karenanya ketidakadilan tersebut harus dihentikan.12

Perhatian kalangan feminis dalam memperjauangkan hak-hak perempuan yang terjadi di Indonesia nampak jelas ketika ada seruan untuk merevisi aturan-aturan mengenai hukum keluarga, seperti yang dijelaskan diatas bahwa kaum perempuan diperlakukan tidak adil, hal ini yang mengakibatkan sebahagian aktivis pemerhati perempuan memperjuangkan yang mereka anggap merugikan kaum hawa. Salahsatu respon dari perjuangan mereka yaitu memperjuangkan aturan yang berkeadilan pada perempuan salah satunya mengenai aturan mengenai perkawinan. Aturan mengenai perkawinan yang berlaku saat ini yaitu berpedoman kepada Kompilasi Hukum Islam. Kalangan feminis menghendaki aturan tersebut harus direvisi karena menurutnya Kompilasi Hukum Islam sebagian besar isinya tidak mengakomodasikan kepentingan publik untuk membangun tatanan masyarakat yang egaliter, pluralis dan demokratis. Menurut Siti Musdah Mulia, Kompilasi Hukum Islam tidak sepenuhnya digali dari kenyataan empiris Indonesia, melainkan lebih banyak digali dari penjelasan normatif dari tafsir-tafsir ajaran keagamaan klasik dan sangat kurang mempertimbangkan bagi kemaslahatan umat Islam di Indonesia, kemudian menurutnya KHI bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, antara lain prinsip keadilan (al-Adl),

kemaslahatan (al-Mashlahah), kerahmatan (al-Rahmah), kebijaksanaan

12

Mansour Fakih, dkk, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, cet.II, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 38


(18)

9

Hikmaha),kesetaraan (al-Musawah) dan kebijaksanaan (al-Ikha), disamping itu menurut Musdah, pasal-pasal dalam KHI bersebrangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, bersebrangan dengan instrumen hukum Internasional bagi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), isi dalam KHI menurut Musdah sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan sosial yang ada, kenyataan budaya masyarakat Indonesia dan gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat berdasarkan berkeadaban (civil society) dan terakhir menurutnya perlunya membandingkan KHI dengan hukum keluarga (the family law) yang ada di berbagai negara muslim yang lain.13

Buah dari pemikiran tersebut yaitu lahirnya gagasan revisi terhadap KHI dengan merumuskan suatu rancangan tandingan Kompilasi Hukum Islam, yaitu

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam. Isi dari pasal yang termaktub didalamnya terdapat aturan dibolehkannya perkawinan beda agama. Menurutnya, larangan dalam KHI tentang perkawinan beda agama merepresentasikan secara utuh pandangan fikih tradisional, seperti dalam buku Fikih Perempuan, melarang perkawinan beda agama karena alasan kepemimpinan. Laki-laki berhak memimpin istrinya, dan istri wajib taat kepadanya. Tidak sepatutnya orang kafir atau musyrik memegang perwalian atau kekuasaan atas orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat. Sedangkan dalam buku Ilmu Fikih Islam lengkap melarang perkawinan beda agama dengan alasan tidak sekufu karena semua non-Islam

13

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung: Mizan, 2005), h. 383-384


(19)

10

dianggap musyrik atau mempersekutukan Tuhan. Sementara dalam CLD memperbolehkan perkawinan beda agama selama itu dimaksudkan untuk tujuan perkawinan.14

Dapat disimpulkan, aturan yang dirumuskan oleh para feminis yang memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini mengenai hukum keluarga Islam, sangat kental dengan pemikiran kalangan feminis yang beranggapan kaum perempuan tertindas oleh aturan yang diskriminatif, karenanya kalangan feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan apa yang mereka pahami.

Berdasarkan hal tersebut, aturan mengenai pekawinan di Indonesia di atur dalam Kompilasi Hukum Islam, aturan yang berlaku dan tertulis di dalamnya dengan tegas melarang perkawinan beda agama ternyata aturan tersebut oleh kalangan feminis dianggap tidak sesuai lagi dengan peperkembangan zaman dan melanggar hak asasi manusia, tentunya hal ini sangat bertentangan dan kontradiktif. Berdasarkan hal ini, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisa Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis Tentang Perkawinan Beda Agama.”

B.Batasan dan Rumusan Masalah a. Batasan Masalah

14

Siti Musdah Mulia,Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia,dalam Sulistiawati Irianto,ed. Perempuan dan Hukum menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,2008), Cet-Kedua,h. 168


(20)

11

Dalam penulisan skripsi ini, untuk lebih terarah maka fokus pembahasan yang hendak dijadikan suatu penelitian dalam bentuk skripsi yaitu dengan membatasi permasalahan pada pembahasan mengenai pemikiran kalangan feminis dalam bidang perkawinan, yaitu pembahasan mengenai perkawinan beda agama.

b.Rumusan Masalah

Perkawinan beda agama yang dengan jelas di larang dalam Kompilasi Hukum Islam, sebagai aturan mengenai perkawinan bagi umat Islam di Indonesia tentunya bersifat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Larangan tersebut termaktub dalam KHI pasal 40 huruf (c) dan pasal 44, kedua pasal dengan jelas dan tegas melarang perkawinan beda agama. Pada kenyataannya, kalangan feminis membolehkan perkawinan beda agama dan menginginkan aturan tersebut menjadi suatu aturan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Berdasarkan pada hal inilah yang menjadikan suatu ketertarikan penulis untuk membahasnya dalam sebuah skripsi. Dan untuk memperjelas pemasalahan, penulis merincinya dengan mengajukan beberapa rumusan masalah kedalam beberapa pertanyaan yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep perkawinan beda agama yang di gagas oleh kalangan feminis?

2. Apa yang melatar belakangi lahirnya pemikiran tersebut?

3. Apakah konsep pemikiran tersebut relevan dengan konteks perkembangan hukum keluarga di Indonesia?


(21)

12

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini tujuan yang hendak dicapai oleh penelus antara lain:

1. Untuk mengkaji lebih dalam tentang konsep perkawinan beda agama yang diusung oleh kalangan feminis.

2. Untuk mengetahui latar belakang mengenai pemikiran tersebut.

3. Untuk mengetahui relevansi pemikiran tersebut dengan konteks perkembangan hukum keluarga di Indonesia.

b. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan ilmiah

Dari sisi ilmiah, penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan dan memperkaya khasanah pengetahuan, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan perkawinan dalam hukum Islam.

2. Kegunaan praktis

Kegunaan praktis dari penyusunan skripsi ini, yakni agar menjadi bahan acuan dan bacaan bagi para segenap kalangan mahasiswa dan pembaca umum.


(22)

13

D.Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library recearh), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis dengan jalan mempelajari, menelaah dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi pembahasan.

Adapun sumber buku yang menjadi rujukan antara lain buku yang ditulis oleh Siti Musdah Mulia, ia merupakan tokoh yang berpengaruh dalam penegakan hak-hak wanita seperti yang telah dijelaskan diatas. Tujuan kalangan feminis yaitu penyamarataan hak antara laki-laki dan wanita, buku yang berjudul Muslimah Reformis Perempuan Pembaharu Keagamaan, kemudian buku Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, penulis Siti Musdah Mulia, dalam usaha melegalkan perkawinan beda agama, Siti Musdah Mulia membuat suatu draft tandingan Kompilasi Hukum Islam yaitu Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, dalam perumusan aturan yang terdapat pada draf tersebut terdapat aturan yang membolehkan perkawinan beda agama. Kemudian sumber lainnya yaitu hukum positif tentang perkawinan, dalam hal ini KHI.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis15

, yaitu memaparkan konsep perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminis, yang dimaksud feminis

15

Winamo Surakhmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik


(23)

14

dalam penulisan skripsi ini yaitu aliran yang memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Salah satu tuntutannya yaitu menghendaki dibolehkannya dan disahkannya perkawinan beda agama, selanjutnya pemikiran mengenai hal tersebut diteliti dan kritik terhadap pemikiran yang memperbolehkan perkawinan beda agama.

3. Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengkaji dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini. Adapun sumber primer penelitian ini adalah hasil karya kalangan feminis. Sedangkan literatur-literartur yang termasuk kategori sumber sekunder adalah kitab-kitab yang membahas tentang kajian hukum Islam, pemikiran hukum kontemporer dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan.

Sedangkan literatur lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan ini dapat dijadikan sebagai penunjang dalam penelitian ini baik yang berupa sumber dari internet, majalah, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya.

4. Pendekatan penelitian

penjelasan atas data. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan diinterpretasi sehingga metode ini sering disebut metode penelitian analitik. Ciri yang mendasar dari metode ini adalah bahwa ia lebih memusatkan diri pada pemecahan msalah-masalah aktual. Lihat Winarno Surakhmad, Cet.V, (Bandung: Arsito, 1994), h. 139-140


(24)

15

Pendekatan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan normatif16, artinya pendekatan yang berbasis pada teori-teori dan konsep-konsep hukum Islam.

5. Analisis data.

Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan, penyusun menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan cara berfikir induktif.17 Penyusun berusaha menganalisa konsep nikah beda agama yang diusung oleh kalangan feminis.

6. Pedoman Penelitian

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi tahun 2008” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:

a. Dalam daftar pustaka al-Qur‟an ditempatkan pada urutan pertama

b. Terjemahan al-Quran dan Hadis ditulis 1/2 spasi walaupun kurang dari enam baris.

16

Maksud pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal/formal dan atau normatifnya. Maksud legal-formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak. Dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2004), Cet Ke- I, h. 141

17

Analisis induktif dalam penelitian kualitatif digunakan karena beberapa alasan. Diantaranya adalah dengan proses induktif lebih dapat menggali kenyataan-kenyataan ganda yang terdapat dalam data; analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan objek menjadi lebih eksplisit; analisis lebih dapat meguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya. Lihat Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), Cet Ke-XVI h. 5


(25)

16

E.Review Studi Terdahulu

Review studi terdahulu berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan di teliti pada pembahasan ini sudah pernah di teliti sebelumnya atau belum sama sekali. Setelah penulis mencari dan menelaah skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa fakultas syariah dan hukum, terlebih khusus prodi Hukum Keluarga yang erat kaitannya dengan pembahasan yang akan diteliti penulis, ternyata bahasan yang telah ditulis oleh mahasiswa sebelumnya ditemukan pembahasan yang berbeda dengan pembahasan skripsi yang akan penulis ajukan, sehingga kecurigaan plagiasi dalam penulisan ilmiah dapat penulis pertanggung jawabkan. Untuk itu, paling tidak penulis mengemukakan beberapa skripsi yang pernah ditulis dan masuk dalam daftar skripsi perpustakaan Syariah dan Hukum, diantaranya sebagai berikut :

Pertama, Skripsi yang berjudul Kritik Feminisme Terhadap Aturan Poligami di Indonesia. Skripsi yang di tulis oleh Eri Prima (107044102065) Prodi Ahwal Syakhsiyyah Tahun 2007, dalam pembahasan yang dibahas dalam penulisan skripsi itu mengenai aturan yang digagas oleh kalangan feminis, apakah sesuai dengan Undang-undang No 1 tahun 1974 dan KHI. Perbedaan dengan pembahasan yang akan dibahas dalam skripsi ini, pembahasan yang akan difokuskan tentunya mengenai perkawinan beda agama, walaupun ada kesamaan dalam hal pembahasan mengenai pemikiran feminisme.

Kedua, skripsi yang berjudul Perkawinan Beda Agama dan Pengaruhnya Terhadap Agama Anak. Skripsi ini di tulis oleh M. Fuad Hadziq (103044128076) Prodi Ahwal Syakhsiyyah Tahun 2003. Dalam penulisan skripsi ini, penulis skripsi


(26)

17

tersebut mengangkat dan membahas permasalahan mengenai pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang perkawinan beda agama, kemudian membahas mengenai status anak, kedudukan waris dan perwalian bagi anak menurut hukum Islam dan hukum positif, dan terakhir membahas tentang orang yang menentukan agama anak tersebut di tinjau dari hukum Islam dan hukum positif. Perbedaan dalam pembahasan dengan skripsi ini adalah, dalam skripsi ini membahas tentang latar belakang timbulnya konsep pernikahan beda agama yang di gagas oleh kalangan feminis kemudian dibahas pula konsep mengenai pernikahan tersebut.

Ketiga, hukum Perkawinan Beda Agama Tinjauan Agama-agama yang diakui

di Indonesia. Skripsi yang disusun oleh Jamaludin (101044222192) prodi Administrasi Keperdataan Islam Tahun 2000. Permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam skripsi ini yaitu maksud dan bagaimana kebebasan perkawinan beda agama di Indonesia menurut UUP No 1 tahun 1974, kemudian membahas tentang hukum perkawinan beda agama menurut agama-agama yang diakui di Indonesia, yang terakhir dalam skripsi ini membahas tentang problematika yang dihadapi dalam keluarga dan dampak hukum pada anak terhadap waris, nasab dan perkawinan. Dalam penulisan skripsi ini hanya membahas tentang pernikahan beda agama yang di gagas oleh kalangan feminis. Serta relevansi pemikiran tersebut dengan perkembangan hukum keluarga di Indonesia.

F.Sistematika Penulisan

Sebagai upaya menjaga keutuhan pembahasan dalam skripsi ini agar terarah, penyusun akan menggunakan sisitematika sebagai berikut:


(27)

18

BAB Pertama Berisi pendahuluan Memuat latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.

BAB Kedua Berisi tentang perkawinan dalam fikih dan hukum positif, pembahasan tersebut meliputi pengertian dan dasar hukum perkawinan, macam-macam perkawinan dalam Islam, rukun dan syarat perkawinan, tujuan perkawinan dalam Islam dan membahas tentang aturan perkawinan dalam hukum positif.

BAB Ketiga Dalam bab ini penulis akan memaparkan dan menjelaskan pembahasan mengenai feminisme itu sendiri. Pembahasan tersebut meliputi pengertian feminisme, sejarah singkat mengenai perkembangan pemikiran feminis, macam-macam aliran feminisme dan membahas pula mengenai feminisme dalam Islam.

BAB Keempat Berisi tentang pembahasan mengenai konsep perkawinan beda agama, isi dari bab ini membahas konsep perkawinan beda agama kalangan feminis, beberapa kritik terhadap konsep tersebut dan membahas tentang analisis penulis.

BAB Kelima Berisi penutup, dalam pembahasan ini memaparkan tentang kesimpulan pembahasan dan saran-saran.


(28)

19

BAB II

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A.Pengertian Perkawinan Beda Agama

Perkawinan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia, karena dengan adanya perkawinan akan tercipta suatu hubungan yang dapat melahirkan keturunan sebagai cikal bakal penerus sejarah kehidupan manusia. Dalam ajaran Islam, maksud utama dari perkawinan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzhan) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.

Perkawinan ditinjau dari segi bahasa (etimologi), berasal dari kata kawin yang mempunyai arti membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri, melakukan hubungan kelamin.1 Perkawinan dapat disebut pula dengan istilah nikah yang berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.2Kata nikah itu sendiri merupakan kata yang berasal dari

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 518

2


(29)

20

bahasa Arab yaitu

(

احاكّ

-

احْكّ

-

حكّْي

-

حكّ

)

yang berarti kawin.3 Secara harfiah,

annikah dapat diartikan dengan beberapa istilah yaitu al- wath'u

(

ءْط ْلا

),

adh-dhammu (

مَّلا

) dan

al-jam'u

)

عْمجْلا

(

.

Al-wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'a

)

ْط

-

طي

-

ط

(

artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.

Adh-dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma-yadhummu-dhamma

(

َمض

-مّي

-اًمض

)

secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan. Juga berarti bersikap lunak dan ramah.

Sedangkan al-jam'u yang berasal dari akar kata jama‟a - yajma'u -jam'an

(

اعْمج

-

عمْجي

-

عمج

)

berarti: mengumpulkan, menghimpun, menyatukan,

menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fikih disebut dengan al-jima' mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u.

Sebutan lain untuk perkawinan (pernikahan) ialah az-zawaj az-ziwaj dan az-zijah. Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan (

اجْ

-

ْ ي

-

ا

) yang secara

harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj, az-ziwaj di sini ialah at-tazwij yang

3

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1972), h. 467


(30)

21

mulanya terambil dari kata zawwaja- yuzawwijutazwijan (

اجْي ْ ت

-

ِ ي

-

َ

) dalam

bentuk timbangan "fa'ala-yufa'ilu taf'ilan

" (

لْيعْفت

-

لعافي

-

لَعف

)

yang secara harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.4

Secara istilah (terminologi), ulama mendefinisikan perkawinan dalam beberapa redaksi, antara lain:

Wahbah Al-Zuhaili medefinisikan perkawinan dengan redaksi:

أْ مْلا عاتْمتْسا َلح أْ مْلاب لجَ لا عاتْمتْسا ْلم ْيفيل ع اَشلا عض ْقع ه اعْ ش ا َ لا

لج َلاب

.

5

Artinya: “Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan untuk membolehkan bersenag-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.

Sementara itu Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri‟ al-Islami yang dikutip oleh Prof. Dr. Amir Syarifuddin, mendefinisikan perkawinan dengan redaksi:

لعْجي تايحلا م ّاسّْالا عْطلا اض اقتي ام قحي امب أْ مْلا لجَ لا نْيب ْسعلا لح ْيفي ْقع

ْيلع تا جا حاص لْق قح ام ّْم ِلكل

6

.

4

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h. 43-44

5

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, cet.III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 29


(31)

22

Artinya: “Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan

perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban”.

Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan yang Maha Esa.7

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalizan, untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.8

Dari beberapa pengertian diatas, tidak terdapat suatu pertentangan satu sama lain, hal ini dikarenakan yang menjadi sumber utama dalam mendefinisikan perkawinan bersumber pada syariat Islam, yang pada intinya dalam mendefinisikan perkawinan para ulama dalam merumuskan pengertian tersebut tak terlepas dari aturan syar‟i yang bersumber pada ketetapan dalam al-Quran ataupun hadis.

6

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet.II, (Jakarta; Kencana, 2007), h. 39

7

Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,Kewarisan Dan Perwakafan),dilengkapi dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,UU No.41Tahun 2004 Tentang wakaf,UU No.38 Tahun 1999 Tentang Penggunaan Zakat dan UU No.8 Tahun 2001 Tentang Badan Amil Zakat Nasional.(Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h.80

8


(32)

23

Setelah membahas tentang perkawinan ditinjau dari segi bahasa dan istilah seperti yang telah dijelaskan diatas, maka arti dari perkawinan beda agama itu sendiri adalah perkawinan antara orang yang memeluk agama yang berbeda. Perkawinan beda agama merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang berbeda agamanya serta melibatkan dua aturan yang berbeda mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan yang sesuai dengan agama masing-masing.9

Dari pengertian tersebut, nampak jelas bahwa yang dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh lelaki atau wanita yang masing-masing mempunyai keyakinan yang berbeda dan berlaku dua hukum yang harus dilaksanakan. Dalam penulisan ini, pembahasan yang akan difokuskan mengenai perkawinan beda agama, lebih lanjut penulis akan membahas permasalaahan tersebut dengan mengkaji lebih dalam bagaimana ajaran agama Islam dalam mengatur tentang perkawinan yang dilakukan oleh dua insan yang bersebrangan keyakinan, pembahasan ini akan diulas dan dibahas sebagai berikut.

B.Perkawinan Beda Agama Dalam Islam

Dalam ajaran agama Islam, segala perbuatan dan tingkah laku manusia diatur dengan sedemikian rupa, hal ini di karenakan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri baik di dunia maupun akhirat, perkawinan adalah salah satu perbuatan manusia yang diatur dalam syariat Islam, hal ini bertujuan sebagai penghormatan dan penghargaan

9

Rumonda Nasution, Penelitian Hukum Tentang Pelaksanaan Hukum dan Praktek Perkawinan Antar Agama dalam Harta Perkawinan dan Status Anak (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994), h. 42


(33)

24

yang tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya.10

Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang penting dalam ajaran Islam, oleh karena itu aturan mengenai hal tersebut dengan jelas diatur dalam al-Quran maupun hadis, aturan mengenai pelaksanaan perbuatan tersebut tentunya ada rambu-rambu tersendiri yang harus dipatuhi oleh setiap individu umat Islam, baik yang berupa larangan ataupun kewajiban. Dalam urusan perkawinan, ternyata masih terdapat beberapa kontroversi dalam melaksanakannya, salah satunya yaitu perkawinan beda agama, perkawinan semacam itu merupakan salah satu permasalahan yang selalu menjadi perdebatan dan menjadi suatu permasalahan yang tak kunjung usai, sebenarnya perkawinan beda agama merupakan persoalan klasik yang terjadi semenjak masa Rasullullah saw., sepeninggalnya Rasul permasalahan tersebut berlanjut pada masa sahabat-sahabat Nabi, diantaranya pada masa Khulafaurrasyidin dan pada masa shahabat-shahabat.

Pada masa Kekhalifahan Umar Ibn Khattab, perkawinan beda agama mengalami sedikit perubahan ketika Umar berpendapat bahwa perkawinan tersebut menjadi haram dengan sebab hal-hal yang terjadi pada waktu itu, Umar mengharamkan perkawinan tersebut dikarenakan untuk menghindari fitnah bagi umat Islam dengan kekhawatiran beliau dengan anak yang di hasilkan dari perkawinan

10

Mahmud asy-Syubbag, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, cet.III, Penerjemah Bahruddin Fanani (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. 23


(34)

25

beda agama.11 Memasuki zaman yang semakin pesat yang diwarnai berbagai kebebasan dalam hal berpikir ataupun disebabkan karena pengaruh barat yang begitu marak merasuki setiap aspek kehidupan, tidak menutup kemungkinan perkawinan beda agama sangat mudah untuk dilakukan.

Dalam menyikapi pengaruh dan maraknya pemikiran mengenai perkawinan beda agama, maka dalam penulisan skripsi ini dibahas pula mengenai perkawinan beda agama dalam Islam, untuk mempermudah pembahasan maka dalam skripsi ini penulis memfokuskan pembahasan mengenai perkawinan beda agama kedalam dua garis besar. Yaitu perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, termasuk membahas tentang perkawinan antara wanita muslim dengan pria ahl al-kitab.

Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik dan dibahas pula mengenai perkawinan antara wanita muslim dengan pria musyrik yang bukan ahl al-kitab.

1. Perkawinan Pria Muslim dengan Wanita Ahl Al-Kitab

Umumnya para ulama sepakat membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab. Bagi yang memperbolehkan perkawinan semacam ini argumentasi mereka mengacu pada al-Quran yaitu surat al-Maidah (5) ayat (5) yaitu:

نم ـّصْحمْلا ْم َل ٌلح ْمكماعط ْمكل ٌلح بتكْلاا تأ نْي َلا اعط ِيَطلا مكل َلحأ ْ يْلا

ْيغ نْيّصْحم َنه جا َنه متْيتاء ا ا ْمكلْق ْنم بتكْلااْ ت ا نْي َلا نم ّصْحمْلا ّمْؤمْلا

11

Ali Mustofa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadist. (Jakarta: Pustaka Darussunah, 2005), h. 29


(35)

26

نْي س ْلا نم خ ْلا ىف ه لمع ط ح ْ قف ّامْيإْلاب ْ فْكَي ْنم ّا ْخا ْ

َتم ال نْيحفاسم

(

ئاملا س

:

٥

)

Artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”. (QS. Al-Maidah (5): 5)

Secara zahir ayat yang termaktub diatas bahwasanya al-Quran telah memperbolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab.

Dalam ayat ini yang dimaksud ahl al-kitab adalah kelompok atau komunitas pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang di wahyukan oleh Allah kepada Nabi dan Rasulnya.12Yahudi dan Nasrani adalah dua kelompok agama yang diakui mempunyai

kitab suci, karena kepada keduanya diturunkan kitab suci, yakni Taurat dan Injil. Pengungkapan term atau istilah ahl al-kitab di dalam al-Qur'an selalu menunjuk kepada Yahudi dan atau Nasrani. Dikatakan demikian, karena pengungkapan ini kadang menunjuk kepada keduanya, dan kadang pula menunjuk kepada salah satu dari keduanya. Term atau istilah ahl al-kitab yang menunjuk kepada kedua komunitas agama ini, Yahudi dan Nasrani, kadang bernada kecaman, dan kadang bernada pujian. Salah satu kecaman terhadap ahl al-kitab adalah

12

M. Galib M, Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya, cet.Pertama, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 20


(36)

27

disebabkan prilaku mereka yang mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan. Sedangkan pujian al-Qur'an yang diberikan kepada ahl al-kitab adalah karena ada diantara mereka yang membaca ayat-ayat Allah, mengikuti ajaran Nabi, dan juga dapat dipercaya. Adapun term atau istilah ahl al-kitab yang ditujukan kepada Yahudi, selalu bernada kecaman disebabkan prilaku mereka yang selalu memusuhi Islam. Sedangkan term atau istilah ahl al-kitab yang hanya menunjuk kepada Nasrani, kadang bernada negatif atau kecaman, dan ada pula yang bernada positif atau pujian.13

Al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw., menamakan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ahl al-kitab untuk membedakan mereka dengan para penyembah berhala, yakni orang-orang musyrik, dan orang-orang kafir lainnya.14 walaupun kitab suci mereka diyakini oleh umat Islam telah diubah, namun hal tersebut minimal disepakati oleh para ulama sebagai golongan ahl al-kitab.15 Agama Islam merupakan agama yang memiliki kitab suci akan tetapi, walaupun Islam mempunyai kitab suci

13

Ayat yang bernada negatif misalnya kecaman al-Qur'an terhadap mereka yang sangat berlebihan dalam mengkultuskan Nabi 'Isa as. Pengkultusan ini pada gilirannya menempatkan Nabi 'Isa sebagai tuhan. Lihat Q. S. al-Maidah (5): 77. Sedangkan yang bernada pujian misalnya, Q.S. 'Ali Imran (3): 199, yang menyatakan bahwa di antara Ahl al-Kitab itu ada yang konsisten terhadap ajaran agamanya, yang pada gilirannya menerima ajaran Nabi Muhammad saw, karena demikianlah ajaran yang ada dalam kitab sucinya.

14

Departemen Agama Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam, cet.Pertama, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1987/1988), h.62

15

Sa'di Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam. Pnerjemah Sahal Machfudz, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 19


(37)

28

sebagaimana halnya Yahudi dan Nasrani, al-Qur'an tidak menunjuk penganut agama Islam sebagai ahl al-kitab.16

Dalam penentuan siapa sajakah yang termasuk kedalam golongan ahl al-kitab, para ulama berbeda pendapat tentang hal itu, ulama yang sering diambil pendapatnya mengenai siapakah yang dikhitab oleh al-Qur'an sebagai ahl al-kitab adalah Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida. Keduanya berpendapat bahwa ahl al-kitab tidaklah sebatas pada orang-orang Yahudi dan Nasrani saja. Kedua ulama besar asal Mesir itu menyebutkan bahwa orang-orang Majusi, Sabi'in, penyembah berhala di India, China dan Jepang, seperti penganut agama Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan Shinto, yang percaya pada Tuhan YME, percaya adanya hidup sesudah mati dan sebagainya adalah termasuk ahl al-kitab yang diduga dahulu mempunyai kitab suci dan kitab mereka mengandung ajaran tauhid sampai sekarang.17

Menurut Rasyid Rida, agama-agama tersebut pada mulanya berpaham monoteisme (tauhid) dan memiliki kitab suci. Akan tetapi karena perjalanan waktu yang begitu panjang, agama-agama tersebut berbaur dengan paham-paham syirik.

16

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban:Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 61

17

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2003), h.367-368


(38)

29

Kitab-kitab suci mereka telah mengalami intervensi dari tangan-tangan manusia sehingga isinya menyimpang jauh dari aslinya, sebagaimana Yahudi dan Nasrani.18

Pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Rida ini berbeda dengan pendapat Imam syafi‟i, menurutnya istilah ahl al-kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan bani Israil. Alasannya, Nabi Musa as dan Nabi Isa as, hanya diutus pada bani Israil bukan pada bangsa-bangsa lain. Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan orang-orang beragama yahudi dan nasrani yang berada di negara-negara lain termasuk kalangan Kristen yang berada di Indonesia tidak termasuk kedalam golongan ahl al-kitab.19

Walaupun sama-sama membatasi makna ahl al-kitab sebatas pada Yahudi dan Nasrani saja, pendapat Yusuf Qardawi berbeda dengan pendapat Imam Syafi'i yang memaknakan ahl al-kitab hanya kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan Israel. Menurut Yusuf Qardawi, Yahudi dan Nasrani dimanapun mereka berada termasuk kedalam golongan ahl al-kitab. Pendapat Imam Syafi'i ini lebih mengacu pada tataran etnis, sedangkan pemaknaan ahl al-kitab menurut Yusuf Qardawi lebih pada tataran teologis.20

18

Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur'an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 166

19

Ali Mustofa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadist, h.22-23

20

Lihat Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Mutakhir Dr.Yusuf Qardawi, alih bahasa H.M.H. al-Hamid al-Husaini (Jakarta: Yayasan al-al-Hamidy, 1996), h. 580. Lihat juga Sa'di Abu Habieb,


(39)

30

Perbedaan pendapat mengenai siapa sebenarnya ahl al-kitab para ulama berbeda pendapat juga tentang al-mukhsanat dalam QS.Al Ma‟idah (5) ayat 5. Kata tersebut berakar kata dari huruf-huruf Ha, Shad dan Nun yang secara literal berarti kokoh, kuat, suci dari perbuatan tercela.21

Dalam menafsirkan makna al-muhsanat dalam al-muhsanat min al-ladzina utu al-kitab, dalam hal ini Muhammad Najib ar-Rifa‟i dalam buku Tafsir Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wanita-wanita yang menjaga diri dan kesuciannya dari perbuatan zina.22

Mengenai perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab para sahabat Nabi yang sepakat mengenai perkawinan dengan wanita ahl al-kitab

umumnya mengacu pada dalil atau argumen diatas, mereka yang sepakat dengan perkawinan macam ini adalah Umar, Utsman, Talhah, Hudzaifah, Salman, Jabir dan sahabat-sahabat lainnya. Para sahabat ini membolehkan pernikahan tersebut bahkan diantara mereka ada yang melakukannya seperti Talhah dan Hudzaifah, sementara tidak ada satupun sahabat Nabi yang menentangnya dengan perkawinan semacam itu, dibolehkannya perkawinan ini sudah merupakan ijma shahabat. Dalam menyikapi permasalahan ini, Ibnu al-Mundzir berpendapat, bahwa jika ada riwayat dari ulama

21

M. Galib M, Ahl al-Kitab.. h. 166

22

Muhammad Najib ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid II, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h.39


(40)

31

salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut diatas, maka riwayat itu dinilai tidak shahih.23

Mengenai pro dan kontra tentang perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, dalam kaitannya dengan permasalahan perkawinan dengan ahl al-kitab, pendapat yang melarang tentang perkawinan tersebut antara lain pendapat Abdullah Ibnu Umar, menurut Abdullah Ibnu Umar, salah seorang sahabat Nabi, seorang pria muslim tidak diperbolehkan kawin dengan wanita ahl al-kitab. Imam Bukhari meriwayatkan dari beliau bahwa apabila beliau ditanya tentang hukum mengawini wanita Yahudi dan Nasrani, beliau menjawab, "sesungguhnya Allah telah mengharamkan kaum muslimin mengawini wanita musyrik, dan saya tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada orang yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal Isa itu hanyalah salah seorang dari hamba-hamba Allah". Dari pernyataannya ini dapat disimpulkan bahwa Ibnu Umar tidak membedakan antara ahl al-kitab dan musyrik, bahwa ahl al-kitab itu termasuk dalam cakupan musyrik karena mereka menyembah Isa selain menyembah Allah, yang berarti menyekutukan Allah, padahal Isa yang mereka sembah itu adalah salah seorang dari hamba-hamba Allah.24

Senada dengan pendapat Ibnu Umar, Syi'ah Imamiyyah dan sebagian Syi'ah Zaidiyyah berpendapat bahwa pria muslim diharamkan kawin dengan wanita ahl

23

Ali Mustofa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadits, h. 28-29

24


(41)

32

kitab. Sebagaimana pendapat Ibnu Umar, mereka berpendapat bahwa ahl al-kitab itu termasuk musyrik, karena menuhankan Isa as bagi umat Nasrani, dan menuhankan Uzair as bagi umat Yahudi. Sebagai penguat argumentasinya, mereka kemudian merujuk pada salah satu firman Allah yang melarang orang-orang muslim berpegang pada tali perkawinan dengan orang orang-orang kafir,25 ayat tersebut menyatakan:

فا كْلا اصعبا كسْمتال

(

ّحتمملا س

:

١

)

Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan

perempuan-perempuan kafir”. (QS. Al-Mumtahanah (60): 10)

Adapun tentang Q.S. al-Maidah (5): 5, mereka mengatakan bahwa ayat ini dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah (2): 221 dalam bentuk naskh al-khas bi al-am.26

Dari kedua pendapat diatas jelas bahwa segala bentuk perkawinan beda agama dengan tegas diharamkan termasuk perkawinan dengan pria ahl al-kitab yang kebanyakan ulama memperbolehkannya.

Menurut Yusuf Qardawi, dengan merujuk kepada pendapat jumhur bahwa hukum asal mengawini wanita ahl al-kitab adalah mubah. Menurutnya, hal ini sesuai dengan Q.S. al-Maidah (5): ayat 5 yang memang membolehkannya. Setelah menguraikan beberapa pendapat ulama tentang perkawinan ini, ia berkesimpulan bahwa pendapat jumhur tentang kebolehan pria muslim mengawini wanita ahl

25

Muhammad Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 12-13

26

Muhammad Ali as-Sabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni, cet.Pertama. Penerjemah Mu'ammal Hamidy, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), h. 232


(42)

33

kitab itulah yang tepat. Qardhawi mengemukakan tiga alasan, Pertama, Q.S. al-Maidah (5): ayat 5 itu turun belakangan daripada Q.S. al-Baqarah (2): ayat 221, oleh karenanya tidak mungkin Q.S. Maidah (5): ayat 5 dinasakh oleh oleh Q.S. al-Baqarah (2): ayat 221, Kedua, Q.S. al-al-Baqarah (2): ayat 221 dan Q.S. al-Mumtahanah (60): ayat 10 adalah umum dan ditakhsis oleh Q.S. al-Maidah (5): ayat 5, Ketiga, lafaz musyrik dalam Q.S. al-Baqarah (2): ayat 221 tidak mencakup lafaz ahl al-kitab

sama sekali dalam bahasa al-Qur'an. Untuk menguatkan pendapatnya yang ketiga ini, ia mengemukakan dalil dalam al-Qur'an yang memang membedakan keduanya seperti Q.S. al-Bayyinah (98): ayat 1. Akan tetapi, meskipun Yusuf Qardhawi membolehkan bentuk perkawinan ini, ia kemudian memberikan syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya ialah dipastikan tidak terdapat fitnah dan madarat akibat dari perkawinan ini. Menurutnya, apabila dapat menimbulkan madarat bagi umum, maka perkawinan itu terlarang secara umum, dan apabila menimbulkan madarat

secara khusus pada orang atau kondisi tertentu, maka ia juga terlarang untuk orang atau kondisi tertentu.27

Setelah membahas tentang perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, kemudian bagaimanakah jika perkawinan tersebut dilakukan oleh wanita muslim? mengeni perkawinan jenis ini umumnya para ulama mazhab yaitu Imam

27


(43)

34

Malik bin Anas, Imam Syafi‟i, Imam Ahmad Hambali dan Imam Hanafi mereka mengharamkan pernikahan tersebut.28

Dalam penetapan tentang keharaman wanita muslim menikahi pria ahl al- kitab yaitu berdasarkan pada Qs Al-Baqoroh (2) ayt 221 yaitu:

ْمكْت جْعأ ْ ل ك ْشم نِم ْيخ ّمْؤم م ل َنمْؤي ىَتح ك ْشمْلا اْ حكّْتال

(

ق لا س

:

١

)

Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan Musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari- pada perempuan musyrik walaupun dia menarik hatimu”. (Q.S. Al-Baqoroh (2): 221)

Penjelasan ayat diatas ditunjukan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki yang bukan Islam. Keharaman perkawinan antara wanita Islam dengan laki-alaki bukan Islam mutlak keharamannya, artinya wanita Islam secara mutlak haram kawin dengan laki-laki yang bukan beragama Islam, baik laki-laki musrik atau ahl al-kitab.29

Dalil lain yang menyatakan keharaman perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki ahl al-kitab yaitu sabda Nabi Muhammad saw., hadis Nabi dari Jabir ibn Abdillah bahwa Nabi bersabda:

28

Muhammad Jawad Mughiyah, Fiqih Lima Mazhab, cet.XV. Penerjemah Maskur A.B, dkk (Jakarta: Lentera, 2005), h. 336

29

Chuzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, ed., Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.V, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 15


(44)

35

اق ْيب لا ْيبأ ْنع ْي ج نْب اّ ْخأ اق ا َ لا ْع اّ ْخأ

:

ْ قي ها ْع نْبا باج ْعمس

:

ا ح م ْيلع اّءاسّ ٌلح اّل اتكْلا لْهأ ءاسّ

.

(

ا

:

ا لا ع

)

30

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdur Razak ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraiz dari Abi Jubair ia berkata: Aku mendengar Jabir Ibn Abdillah berkata wanita ahl al-kitab bagi kami (laki-laki muslim) itu halal dan wanita (muslimah) bagi mereka (laki-laki ahl al-kitab) haram”. (H.R. Abdur Razaq).

Pendapat lain yang mengharamkan perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitab yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, redaksi hadis mengenai keharaman perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitab

yaitu:

اق ْيعس بأ اّ ْخأ

:

اق ساَعْلا بأ اّثَح

:

ْيب لا ىبأ ْنع ْي ج ىبأ نع ْيجمْلا ْع اّ ْخأ

اقف َيّا ْصَّلا َي يْلا ملْسمْلا اكّ ْنع ْسي للا ْع نْب باج عمس َّأ

:

نم َنه اّْجَ ت

اق َنهاّْقَلط اّْعج اَملف ا ْيثك تاملْسملا جّ كّال نْحّ صاق يْبأ نْب عس عم فْ كْلاب حْتفْلا

ا ح م ْيلع اّ اسّ ٌلح اّل ْم ئاسّ َنهْ ث ي ال املْسم نْث ي ال

(

ا

:

يق ي لا

)

31

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Said, telah mengatakan kepada kami Abu Abbas, telah mengabarkan kepada kami Abdul Majid dari ibnu Zuraij dari Ibnu Abi Jubair bahwasnya beliau mendengar Jabir Bin Abdullah ditanya mengenai

pernikahan wanita yahudi dan nasrani. Dia berkata: “Kami menikahi mereka pada

saat pembebasan negeri Irak, bersama dengan Sa‟ad bi Abi Waqas dan ketika itu hampir tidak ada wanita muslimah yang kami temukan, maka setelah kita kembali kami talak mereka : dan dia berkata seorang muslim tidak mewariskan dan

30

Abu Bakar Abdur Razaq bin Hammam As-San‟ani, Musannaf Abdur Razak, Cet. II (Beirut: Al Maktabah Al Islam, 1976), h. 176

31

Ahmad bin Husain al-Baihaqi. Ma‟rifat as-Sunah wal Atsar, Cet-Ke I, (Damaskus: Dar an-Nasr,1991), h.120


(45)

36

merekapun tidak mewariskan dan wanita dari kalangan mereka bagi kita halal sedangkan wanita kita (kaum muslimah)haram bagi (laki-laki) mereka”. (H.R: Baihaqi)

Untuk konteks ke-Indonesiaan, perkawinan beda agama yang didalamnya mencakup perkawinan dengan ahl al-kitab telah difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tanggal 1 Juni 1980 yang isi fatwa itu mengharamkan semua jenis pekawinan beda agama, lebih lanjut isi dari fatwa itu sendiri adalah sebagai berikut:

1) Perkawinan wanita muslimah dengan pria non muslim adalah haram hukumnya;

2) Seorang laki-laki muslim di haramkan mengawini wanita bukan muslim Tentang antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.32

Dari beberapa penjelassan diatas, hemat penulis melakukan segala perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kitab sebisa mungkin untuk dihindarkan dan lebih menjaga kemaslahatan, walaupun ahl al-kitab itu mempunyai ajaran yang jika mereka indahkan dimungkinkan juga kepada terciptanya perkawinan yang tidak otomatis buruk, tetapi tetap saja ia dinamakan sebagai kelompok "yang berbeda agama". Dari sini, sebagaimana yang ditakutkan banyak kalangan perkawinan justru akan berdampak pada perselisihan karena perbedaan prinsip keimanan, dan oleh karenanya bertentangan dengan tujuan perkawinan, yakni menciptakan keluarga yang sakinah.

32

Majlis Ulama Indonesia, Himpunan dan Keputusan Fatawa Majlis Ulama Indonesia


(46)

37

Tak hanya itu, yang lebih berbahaya kemadaratan dari perkawinan tersebut ditakutkan akan terpengaruhnya suami dan anak-anaknya kepada ajaran istrinya yang

ahl al-kitab.

Sedangkan bagi wanita muslim yang hendak menikahi laki-laki ahl al-kitab, perkawinan tersebut jelas dan tegas keharamannya, oleh karenanya sebisa mungkin perkawinan itu di hindarkan, selain disinyalir akan menimbulkan konflik dan ketidak jelasan bagi agama anak-anaknya, kelak lebih penting lagi rasa tunduk dan patuh terhadap aturan yang telah ditetapkan Allah yang dapat membawa kita kepada kebahagiaan dihari setelah kematian.

2. Perkawinan Pria Muslim dengan Wanita Musyrik

Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik dalam kaitannya dengan hal ini, para ulama klasik ataupun kontemporer umumnya melarang perkawinan jenis ini, dalil yang digunakan diantaranya dalam surah al-Baqoroh (2) ayat 221 yaitu:

ا حكّْتال ْمكْت جْعا ْ ل ك ْشم نِم ْيخ ّم ْؤم م ل َنم ْؤي ىَتح ك ْشمْلا ْا حكّْتال

ها اَّلا ىلا ّْ عْ ي لْ أ ْمك جْعأ ْ ل ْشم نِم ْيخ نمْؤم ْعل ْا ّمْؤي ىَتح نْيك ْشمْلا

ّ َك تي ْم َلعل ساَّلل تياء نِي ي ّْ إب فْغمْلا َّجْلا ىلا ْا عْ ي

(

قلا س

:

١

)

Artinya: "Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya, sesungguhnya hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang


(47)

38

beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran"." QS. Al-Baqoroh (2): 221)

Sebab turunnnya ayat ini yaitu Ibn Abi Mursyd al Ghanawi, ketika dia meminta izin kepada Nabi saw. untuk menikahi seorang wanita muda musirykah yang memiliki kekayaan dan kecantikan, maka turunlah ayat ini.

Dalam riwayat lain disebutkan, al-Wahidi meriwayatkan dari jalur as-Suddi dari Abu Malik dari Ibnu Abbas, dia berkata, ayat ini turun pada Abdullah bin Rawahah, yang ketika itu memiliki seorang budak wanita berkulit hitam. Pada suatu hari dia marah kepada budaknya dan menamparnya. Kemudian dia mendatangi Nabi saw. dan memberi tahu beliau tentang hal itu, lalu dia berkata sungguh saya akan memerdekakannya dan menikahinya. Lalu dia melakukan apa yang dikatakannya itu, sebagian orang muslim mencelanya. Mereka berkata, dia menikahi seorang budak wanita, maka Allah menurunkan ayat 221 surat al-Baqoroh.33

Dalam menafsirkan surat al-Baqoroh (2) ayat 221, dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, melalui ayat ini Allah mengharamkan atas orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala. Kemudian jika yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk kedalam pengertian musyrik kitabiah dan

33

Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnnya Ayat al-Quran, cet.Pertama. Penerjemah Tim Abdul Hayyie, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 92


(48)

39

wasaniah. Akan tetapi dikecualikan dalam hal tersebut wanita ahl al- kitab, dalam firmannya dalam surah al-Ma‟idah ayat (5) ayat 5.34

Perkawinan antara laki-laki muslim dan wanita musyrikah dan sebaliknya jelas keharamnnya dengan menjadikan ayat tersebut sebagai landasan hukum. Perkawinan yang dilakukan dengan laki-laki atau wanita yang tidak memiliki kitab samawi (ahl al kitab) mereka disebut kaum musyrikin baik mereka yang beragama Majusi, Shabi‟ah, Animisme, dan lain-lain.35

C.Perkawinan dalam Hukum Positif

Pada dasarnya, agama-agama yang secara hukum diakui di negara Republik Indonesia, dalam ajaran-ajarannya tidak membenarkan perkawinan beda agama secara sah.36 Aturan mengenai perkawinan yang berlaku di Indonesia telah diatur dalam Undang No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 2 ayat (1), dalam Undang-Undang tersebut tidak secara tegas melarang perkawinan beda agama melalui pasal-pasalnya. Akan tetapi sebagian pakar hukum ada yang berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini secara implisit melarang perkawinan beda agama.

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:

34

Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, juz II, (Kairo: Dar Ihya‟ al-Kutub al-Arabiyah, t.th), h. 417

35

Chuzaemah Tahido. Yanggo dan Hafiz Anshary, ed., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 18

36

Usman Suparman, Perkawinan antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.Pertama, (Semarang: Saudara, 1995), h. 50


(49)

40

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Dari ketentuan pasal ini lebih menitikberatkan sahnya suatu perkawinan pada agama dan kepercayaannya masing-masing, hal ini berpijak pada dasar peraturan yang terdapat dalam pasal 1 ayat 2 jo pasal 8 huruf F Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang bserbunyi “Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”.37

Ketidak tegasan mengenai aturan dibolehkan atau tidaknya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menuai beberapa perdebatan diantaranya, menurut Bismar Siregar, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang Perkawinan Beda Agama, menurutnya perkawinan Beda Agama tidak dibenarkan.38Diantara yang berpendapat bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang sahnya perkawinan beda agama berpendapat bahwa perkawinan ini sah karena telah tercakup dalam perkawinan campuran.39

Selanjutnya mengenai perkawinan, aturan pelaksanaannya diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dan

37

Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, cet.I, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), h. 141

38

Bismar Siregar, Perkawinan Antar Agama Tidak Dibenarkan (Jakarta: Pelita, 1992), h. 4

39


(1)

114

DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Al-Karim.

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2007. Cet. Ke-V.

Al-Jurjawi, Syeikh 'Ali Ahmad, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, alih bahasa Hadi Mulyo dan Shobahussurur, Semarang: CV Asy-Syifa, 1992.

Al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadina, 2004, Cet. Ke-I.

Al-Zarqa, Ahmad Ibn Muhammad. Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1989, Cet. Ke-II.

Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, Cet. Ke-III.

Amalia, Euis, dkk. Pengantar Kajian Gender, Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayattullah, 2003.

Al-Baihaqi, Ahmad bin Husain. Ma’rifat as-Sunah wal Atsar, Damaskus: Dar an-Nasr, 1991, Cet. Ke-I.

Ad Dimaski, Al Imam Al Jalil al Hafiz Imaduddin Abul Fida Ismail Ibn Katsir Al Kursy. Tafsir Al Quran Al ‘Azim, Mesir: Daar Misr Lithaba‟ah, 1988. Juz IV

Arief, Abd. Salam. Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita, Yogyakarta, Lesfi, 2003, Cet. Ke-I.

As-Sabuni, Muhammad Ali. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni, alih bahasa Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985.

As-San‟ani, Abu Bakar Abdur Razaq bin Hammam, Musannaf Abdur Razak, Beirut:

Al Maktabah Al Islam, 1976, Cet. Ke-II.

As Saukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Fath Al Qadir, Beirut: Daar Al

Ma‟rifah: 1997. Juz V, Cet. Ke-III.

Asy-Syubbag, Mahmud. Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih bahasa Bahruddin Fanani, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994, Cet. Ke-III.


(2)

115

Astuti, Ngudi. Feminisme Muslimah Exsistensi Perempuan dalam Pentas Politik dan Penegakan Peradaban Islam, Jakarta: Media Bangsa, 2010. Cetakan Pertama.

Ar-Rifa‟I, Muhammad Najib. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,

alih bahasa Syihabuddini, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Jilid II.

Azam, Abdul Aziz. Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Mesir: Daar Al Hadits, 2005, Cet. Pertama.

Baidowi, Ahmad. Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Quran dan para Mufasir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005, Cet. Ke-I.

Bahri, Samsul. Membumikan Syariat Islam Strategi Positivism Hukum Islam Melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007. Basyir, Ahmad Azhar. Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam.

Bandung: Al- Ma‟arif, 1972.

Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam al-Qur'an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik , Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Dadang, Anshori. Membincang Feminisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Departemen Agama Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1987/1988, Cet. Ke-I.

, al-Quran dan Terjmemahannya.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, Edisi ketiga.

Djaja, Tamar. Tuntutan Perkawinan dan Rumah Tangga Islam. Bandung, al-Ma‟arif, 1982.

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. Ke-I.

Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos Publishing House, 1995.


(3)

116

Fakih, Mansour, dkk. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam,Surabaya, Risalah Gusti, 2000, Cet. Ke-II.

Analisis Gender& Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Habieb, Sa'di Abu. Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam,

alih bahasa: Sahal Machfudz dan Mustofa Bisri. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Halim, Abdul. “Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia,” dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigam Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Fakults

Syari„ah UIN Sunan Kalijaga dan ar-Ruzz Press, 2002, Cet. Ke-I.

Hasan, Muhammad Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998. Handrianto, Budi. Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, Jakarta: Khairul

Bayan, 2003. Cet. Ke-I.

Harahap, M. Yahya. Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Hubies, Aida Fitalaya. Feminisme dan pemberdayaan Perempuan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Irwan, Abdullah. Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Kamal, Zainun. Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama, dalam Mariah Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinam Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Jakarta: Yayasan Obor, 2004, Cet. Ke-I.

Katsir,Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail ibn. Tafsir al-Qur’an al -‘Azhim, Dar Ihya‟ al-Kutub al-Arabiyah, Cairo, tth, Juz II.

Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,Kewarisan Dan Perwakafan),dilengkapi dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,UU No.41Tahun 2004 Tentang wakaf,UU No.38 Tahun 1999 Tentang Penggunaan Zakat dan UU No.8 Tahun 2001 Tentang Badan Amil Zakat Nasional, Bandung: Nuansa Aulia, 2008.


(4)

117

Ilyas, Yuhanar. Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

M. Galib M. Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina, 1998, Cet. Ke-I.

Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah , Jakarta: Paramadina, 2000.

Majlis Ulama Indonesia. Himpunan dan Keputusan Fatawa Majlis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekertariat Majlis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1995.

Marbun, Bn. Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Mas‟udi, Masdar. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan,

1998.

Moleong, Lexi, J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2002, Cet. Ke-XVI.

Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis perempuan pembaru keagamaan, Bandung: Mizan, 2005.

Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, dalam Sulistiawati Irianto,ed. Perempuan dan Hukum menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, Cet. Ke-II.

Mudzhar, Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993.

Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-III.

Muhdlor, Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk. Bandung: al-Bayan, 1995, Cet. Ke-II.

Mughiyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, alih bahas Maskur A.B, Afif Muhamad dan Idrus Al-Kaff, Jakarta: Lentera, 2005, Cet. Ke-XV.

Muslikhati, Siti. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.


(5)

118

Muttaqim, Abdul. Tafsir Feminis Versus Tafsir Ptriarki, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.

Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta, Academia Tazzafa, 2004, Cet. Ke-I.

Nasution, Rumonda. Penelitian Hukum Tentang Pelaksanaan Hukum dan Praktek Perkawinan Antar Agama dalam Harta Perkawinan dan Status Anak. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994.

Suparman, Usman. Perkawinan anatar Aagama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, Serang: Saudara, 1995.

Pudjosewoyo, Kusumadi. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PT Penerbit Universitas, 1966.

Poetri, Arimbi Hereo. Percakapan Tentang Feminisme Vs Neoliberalisme, Jakarta: Watch, 2004.

Qardawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Mutakhir Dr.Yusuf Qardawi, alih bahasa H.M.H. al-Hamid al-Husaini, Jakarta: Yayasan Al-al-Hamidy, 1996.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998. Romli, Muhammad Guntur. Muslim Feminis Polemik Kemunduran dan Kebangkitan

Islam, Jakarta: Preedom Institute, 2010.

Sabiq, As-Sayyid. Fikih Sunnah, alih bahasa Mohammad Thalib. Jakarta: PT al-Ma'arif, 1980.

Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-I.

Sirry, Mun‟im A. (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004, Cet. Ke-V.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004.


(6)

119

Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik. Bandung: Tarsito, 1994, Cet. Ke-V.

Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, 2001.

Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2003.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, Cet Ke-2.

Siregar, Bisamar. Perkawinan Antar Agama Tidak Dibenarkan, Jakarta: Pelita, 1992. Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam

di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Yanggo, Chuzaimah T. dan Hafiz Anshary, ed. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus: 2008, Cet. Ke-V.

Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Adelina, 2005.

Yaqub, Ali Mustofa. Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadist. Jakarta: Pustaka Darussunah, 2005.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1972.

Jurnal dan Internet

Muhammad Latif Fauzi, “Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan

Hukum Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses dari http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.

Hurmain,Imam, Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal: Analisis terhadap pemikiran JIL tentang Pernikahan beda Agama, artikel diakses pada http://uinsuska.info/ushuluddin/attachments/074_Pernikahan Lintas Agama.