62
BAB IV KRITIK DAN APRESIASI TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Konsep Perkawinan Beda Agama Kalangan Feminis
Feminisme memulai gerakannya berawal dari adanya kesadaran bahwa kondisi perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun
kemudian terdapat banyak teori yang proposisinya saling tumpang tindih, namun ada kesamaan umum dari teori-teori tersebut, yaitu asumsi yang dipakai tentang sistem
patriarkhi. Secara tradisional, manusia diberbagai belahan dunia menata diri atau tertata
dalam bangunan masyarakat patriarkhi. Pada masyarakat seperti ini, laki-laki ditempatkan superior terhadap perempuan diberbagai sektor kehidupan, baik
domestik maupun publik.
1
Dikotomi domestik-publik juga nature dan culture yang terbentuk dalam konteks tertentu telah menempatkan perempuan mewakili sifat
nature pada kiprah-kiprah dalam sektor domestik, sementara laki-laki mewakili sifat culture ditempatkan sebagai kelompok yang berhak mengisi sektor publik.
Cara-cara seperti ini ikut mereproduksi realitas tentang stratifikasi bidang kegiatan, dimana bidang publik dinilai lebih tinggi daripada domestik. Peradaban pun
diasumsikan bergerak dari alam perempuan ke budaya laki-laki.
1
Irwan Abdullah. Sangkan Paran Gender Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997, h. 22
63 Dalam perspektif feminis, spesifikasi peran-peran manusia laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat dipandang timpang tidak egaliter. Artinya konstruksi sosial selama ini dianggap sangat berpihak kepada laki-laki, dan pada saat yang sama
sangat menyudutkan kaum hawa. Beberapa hal yang bisa dianggap tidak menguntungkan perempuan adalah Pertama, terjadi marginalisasi perempuan dengan
menganggap aktifitas perempuan sebagai tidak produktif dan bernilai rendah. Kedua, perempuan berada dalam kondisi tersubordinasi oleh laki-laki, terutama dalam
pengambilan keputusan. Ketiga, terjadi penindasan pada perempuan karena beban pekerjaan yang lebih panjang dan berat. Keempat, terjadinya kekerasan dan
penyiksaan violence terhadap perempuan baik secara fisik maupun mental.
2
Dalam konteks keindonesiaan feminisme sebenarnya merupakan hal yang baru di Indonesia, masyarakat Indonesia lebih akrap dengan sebutan emansipasi
ketimbang feminisme. Konsep feminisme yang berawal dari barat jika melihat kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam
tentunya menuai pro dan kontra mengenai feminisme itu sendiri. dikalangan umat Islam feminisme berkembang kedalam dua kelompok: Pertama, mereka yang
berargumen bahwa hubungan antara perempuan muslimah dan laki-laki muslim dalam masyarakat sekarang ini sesuai dengan nilai-nilai Islami. Kedua, mereka yang
berpendapat bahwa perempuan muslim sekarang hidup dalam diskriminasi dan dibawah sistem yang tidak adil, sehingga situasi ini tidak sesuai dengan prinsip dasar
2
Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, h. 35
64 nilai-nilai Islam. Perempuan muslim dapat dikatakan sebagai korban ketidakadilan
dalam berbagai situasi dimana korban dapat dijustifikasi, tetapi penafsiran hukum direkonstruksi untuk ketidak beruntungan mereka. Perempuan muslim dibawah
tekanan dan karena alasan didasarkan pada ideologi, berdasar agama, maka teks harus didekonstruksi.
3
Pergerakan para aktivis Islam yang pro terhadap feminisme nampaknya semakin gencar dilakukan, hal ini dapat ditelusuri dari beberapa cara antaralain:
Pertama, pembrdayaan kaum perempuan, yang dilakukan melalui pembentukan pusat stadi wanita diperguruan-perguruan tinggi, pelatihan-pelatihan gender, baik yang
dilakukan dalam seminar-seminar maupun konsultasi. Kedua, melalui buku-buku yang ditulis dalam aneka ragam tema yang membahas tentang perempuan. Ketiga,
melakukan kajian historis tentang kesetaraan laki-laki dan perampuan dalam sejarah masyarakat Islam yang berhasil menempatkan perempuan benar-benar sejajar dengan
laki-laki dan membuat mereka mencapai tingkat prestasi yang istimewa dalam berbagai bidang, baik politik, pendidikan maupun keagamaan. Keempat, melakukan
kajian-kajiana kritis terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Quran maupun hadis, yang secara literal menampakkan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan.
4
3
Mansour Fakih. dkk. Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; Tinjauan Dari Analisis Gender, dalam Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam. cet.II, Surabaya: Risalah
Gusti, 2000, h. 37
4
Ahmad Baidowi. Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Quran dan para Mufasir Kontemporer, Cet Ke-1 Bandung :Nuansa, 2005, h. 47-48
65 Kalangan feminisme muslim tampaknya lebih gencar melakukan kajian-
kajian mengenai teks-teks yang terdapat dalam al-Quran maupun hadits, yang mereka anggap banyak dari ayat-ayat al-Quran maupun hadits tidak memberikan keadilan
pada kalangan perempuan. Dapat kita perhatikan gerakan yang dilakukan oleh kalangan feminisme yang menafsir ulang mengenai ayat perkawinan beda agama,
meskipun tidak sedikit yang menentang pemikiran mereka namun aktivitas pemerhati feminisme masih melakukan perjuangan mereka dengan berbagai cara baik melalui
karangan yang berupa buku, jurnal, seminar, diskusi dan lain-lain. Para aktivis feminisme dalam pergerakannya melakukan berbagai usaha
dalam meraih apa-apa yang mereka anggap merugikan kaum perempuan, salah satu yang dijadikan sorotan oleh mereka yaitu menciptakan suatu aturan hukum yang
berkeadilan khusunya pada kaum perempuan, maka tak heran jika dalam pergerakannya mereka sempat menyodorkan suatu aturan baru mengenai hukum
perkawinan. aturan yang berlaku selama ini bagi umat muslim mengenai perkawinan segala aturan mengenai perkawinan telah diatur secara merinci dalam Kompilasi
Hukum Islam yang telah di sahkan dan menjadi pedoman bagi hakim pengadilan agama diseluruh Indonesia, aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
meliputi aturan mengenai perkawinan, waris dan perwakafan. Berbicara mengenai Kompilasi Hukum Islam, aturan yang terdapat
didalamnya sebelum disahkan ternyata tidak berjalan mulus, aturan tersebut mengalami beberapa keritikan dikalangan umat Islam sendiri, berbagai alasan
66 penolakanpu dilontarkan oleh berbagai elemen masyarakat pada saat itu. Kendati
demikian Kompilasi Hukum Islam dapat dijadikan suatu peraturan resmi dan berkekuatan hukum tetap bagi setiap orang Islam dalam bidang perkawinan, waris
dan wakaf. Pro-dan kontra tidak hanya terjadi sebelum Kompilasi Hukum Islam disahkan,
kritik dan usaha untuk melakukan perombakan pada aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam semakin gencar dilakukan, pada tahun 2001 sekelompok
kalangan yang menamakan dirinya sebagai kelompok kerja pengarusutamaan gebder POKJA PUG Departemen Agama Republik Indonesia, yang dipimpin oleh Siti
Musdah Mulia, melakukan suatu penelitian untuk merevisi aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, mereka menuntut bahwa aturan mengenai
perkawinan harus disesuaikan dengan karakter masyarakat Indonesia dan sebagai respon terhadap kebutuhan untuk menegakan nilai demokrasi dan pluralis di
Indonesia, karena mereka menilai aturan yang terdadpat dalam Kompilasi Hukum Islam tidak relevan lagi dan bertentangan dengan prinsip demokrasi, keadilan dan
bertentangan dengan hak asasi manusia. Setidaknya ada beberapa alasan yang menjadi argumentasi mereka untuk
merevisi Kompilasi Hukum Islam dengan aturan-aturan yang baru antara lain alasan mereka yaitu, Kompilasi Hukum Islam tidak sepenuhnya digali dari kenyataan
empiris Indonesia, melainkan lebih banyak digali dari penjelasan normatif dari tafsir- tafsir ajaran keagamaan klasik dan sangat kurang mempertimbangkan bagi
kemaslahatan umat Islam di Indonesia, disamping itu menurut mereka Kompilasi
67 Hukum Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam antaralain prinsip
keadilan al-Adl, kemaslahatan al-Mashlahah, kerahmatan al-Rahmah, kebijaksanaan al-Hikmaha, kesetaraan al-Musawah dan kebijaksanaan al-Ikha,
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal-pasal yang termaktub didalamnya, bersebrangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti aturan
Kompilasi Hukum Islam bersebrangan dengan instrumen hukum internasional bagi penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia, isi dalam Kompilasi Hukum Islam
sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan sosial yang ada,bersebrangan dengan kenyataan budaya masyarakat Indonesia, bersebrangan dengan gagasan dasar bagi
pembentukan masyarakat berdasarkan berkeadaban civil society dan terakhir perlunya membandingkan Kompilasi Hukum Islam dengan hukum keluarga the
family law yang ada diberbagai negara muslim yang lain lain.
5
Menurut kalangan yang menuntut untuk merevisi Kompilasi Hukum Islam yang di pimpin oleh Siti Musdah Mulia, hal ikhwal mengenai peraturan yang terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam tak bisa disepadankan dengan ayat-ayat universal al- Quran yang kebenarannya melintasi ruang dan waktu sebagai tafsir terhadap agama,
hingga revisi Kompilasi Hukum Islam boleh saja dilakukan bahkan bisa menjadi wajib sekiranya memuat pasal diskriminatif atas seseorang sebab Kompilasi Hukum
Islam bukanlah kitab suci yang harus disakralkan. Dengan demikian, nampak jelas bahwa pergerakan dari sebagian kalangan yang mengatas namakan kelompok kerja
5
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan Bandung: Mizan, 2005, h. 383-384
68 pengurusutamaan gender Departemen Agama dalam menyodorkan suatu aturan
tandingan terhadap Kompilasi Hukum Islam bertumpu pada ayat universal al-Quran berupa keadilan al-adalah, kemaslahatan umat, pluralisme, Hak Asasi Manusia
HAM, dan kesetaraan al-musawah. Oleh karena isi dalam Kompilasi Hukum Islam tidak sesuai dengan poin-poin
yang telah dijelaskan diatas maka kalangan feminisme merancang suatu aturan tandingan yang dinamakan CLD-KHI Counter Legal Draft Kompilasi Hukum
Islam. Penulisan CLD-KHI dirancang oleh para penggagasnya dalam usaha menawarkan perubahan dan pembaharuan terutama dalam bidang perkawinan dan
waris. Khusus dalam seluruh pasal yang masuk kategori bias gender dan tidak memberi perlindungan memadai terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak harus
dihapuskan lewat kacamata pluralisme agama, disamping butuhnya bangsa ini dengan fikih dengan konteks keindonesiaan, sebab konstruksi hukum dalam Kompilasi
Hukum Islam belum dikerangkakan sepenuhnya dari sudut pandang masyarakat Islam Indonesia. Ia tidak lebih dari cerminan penyesuaian fikih Timur Tengah dan dunia
Arab. Isi dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang didalamnya
terdapat suatu gagasan baru yang sangat jauh berbeda dengan aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, aturan-aturan yang diajukan meliputi aturan mengenai
perkawinan yang lebih disoroti dan terjadi banyak perbedaan dengan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam. Salah satu perubahan mendasar adalah mengenai
perkawinan beda agama, Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan beda agama
69 terlarang. Akibatnya, banyak pasangan berbeda agama tak bisa menikah di Kantor
Urusan Agama. Tak aneh, pasangan seperti ini kemudian mencari alternatif hukum lain, misalnya melakukan perkawinan di luar negeri.
Kalangan feminisme berpandangan bahwa larangan perkawinan beda agama bertentangan dengan prinsip Islam yang menjunjung pluralisme, mereka berpendapat
tidaklah tepat jika perbedaan agama ikhtilaf al-din menjadi penghalang mani untuk berlangsungnya suatu perkawinan. Karena itu, dalam pasal 54 Counter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam, pasangan beda agama diizinkan menikah.
6
Kemudian dalam menjalankan perkawinan beda agama, maka dalam menjalankan hal tersebut haruslah saling menghargai dan menjunjung tinggi hak
kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan masing-masing. Tidak hanya sebatas itu sebelum melangsungkan perkawinan maka menurut kalangan penggagas
draf tersebut pemerintah berkewajiban memberi penjelasan mengenai perkawinan tersebut. Hal ini diharuskan agar mereka dapat memahami konsekuaensi dari hal-hal
yang akan terjadi akibat perkawinan semacam ini. Dalam CLD-KHI hal ini diatur dalam pasal 54 ayat 2 dan 3.
7
Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah bagaimana dengan agama yang dianut oleh anak dari pasangan beda agama. Dalam Kompilasi Hukum Islam, disebut
6
Lihat Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil:Memberdayakan Perempuan Indoneis. Dalam Sulistyowati Irianto ed Perempuan dan Hukum menuju hukum yang
berpersfektif kesetaraan dan keadilan.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, h. 167
7
Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil:Memberdayakan Perempuan Indoneis.. h. 168
70 bahwa anak dari pasangan beda agama harus mengikuti agama ayahnya. Namun,
dalam peraturan yang dibuat oleh kalangan feminisme dirumuskan suatu aturan baru yaitu jika sang anak belum dewasa, agama bagi sang anak diputuskan atas
persetujuan bersama ayah dan ibunya. Artinya, tidak mutlak lagi harus mengikuti agama sang ayah. Jika anak tersebut belum dewasa maka agama anak untuk
sementara ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua orang tuanya.
8
Pendapat kalang feminisme dalam memperbolehkan aturan mengenai perkawinan beda agama dalam hal tidak terlepas dari cara mereka manafsirkan ayat
mengenai dibolehkannya perkawinan dengan non-Islam ahl al-kitab, yang dalam al-Quran dibolehkan, sementara itu mereka menafsirkan pula mengenai larangan
perkawinan dengan orang musirik yang termaktub dalam surat al-Baqoroh 2 ayat 221 dan larangan perkawinan dengan orang kafir Q.S. al-Mumtahanah 60: 10, lalu
bagaimanakah mereka memahami ayat-ayat tersebut? berikut ini adalah cara pandang mereka dalam memahaminya.
Dalam al-Quran surat al-Baqoroh terdapat larangan mengawini wanita musyrik, dalam menentukan siapa saja yang tergolong kategori musyrik para ulama
berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Menyikapi permasalahan ini menurut Musdah Mulia, para ulama selama ini terlalu sempit dalam menafsirkan istilah
musyrik, arti musyrik sering diartikan dengan seseorang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, menyembah berhala, api dan lainnya. Menurutnya realitas dalam
8
Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil:Memberdayakan Perempuan Indoneis.. h. 168
71 masyarakat bahkan umat muslim itu sendiri telah terjadi pendewaan dan
penyembahan terhadap kekuasaan, harta, jabatan atau pada makhluk tuhan. Memakai terminologi musyrik hanya untuk kalangan diluar Islam adalah sungguh
menyesatkan. Menurutnya inilah yang sesungguhnya membuat umat Islam kehilangan untuk introspeksi atau mengoreksi diri sendiri dari bahaya syrik.
9
Dalam menyikapi permasalahan ini nampaknya Musdah mengutip pendapat Muhamad Abduh dan Rasid Ridha, kedua ulama ini berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan wanita musyrik dalam surat al-Baqoroh 2 ayat 221, terbatas pada perempuan arab pada masa nabi. Indikasi yang dikemukakan olehnya yaitu bahwa
dalam teks ayat tersebut disamping larangan menikahi orang musyrik juga diikuti dengan anjuran mengawini budak. Menurutnya ayat tersebut jelas konteksnya adalah
orang-orang musyrik pada masa nabi, dan mereka sudah tidak ada lagi sekarang, sebagaimana kelompok budak. Surat al-Baqoroh 2 ayat 221 telah di
naskh dibatalkan oleh surah al-
Ma’idah 5 ayat 5 hal ini dikarenakan bahwa surat al- Baqoroh 2 ayat 221 diturunkan lebih awal.
10
Larangan perkawinan beda agama yang ditetapkan dalam al-Quran, disamping perkawinan dengan wanita musyrik terdapat juga larangan perkawinan
dengan orang kafir, yaitu dalam surat al-Mumtahanah 60 ayat 10. Musdah Mulia
9
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis..h.64
10
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis ..h 62. Lihat pula Zainun Kamal, Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama,dalam Mariah Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga ed. Tafsir
Ulang Perkawinam Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Cet Pertama, Jakarta: Yayasan Obor, 2004, h. 156
72 berpendapat bahwa larangan muslimah menikah dengan laki-laki kafir dalam al-
Quran terkait konteks waktu turunnya ayat itu QS. Al Mumtahanah 60: Ayat 10 pada kondisi perang. Sehingga baginya jika konteksnya sudah tidak ada peperangan
lagi maka larangan tercabut dengan sendirinya.
11
Pendapat Musdah sejalan dengan pendapat Abdul Muqsith Ghazali, yang turut aktif menggagas konsep tentang dibolehkannya perkawinan beda agama ia
berpendapat bahwa larangan seorang muslim mengawini orang kafir di zaman Rasulullah saw, lebih bersifat politis dari pada teologis. Bahkan, tanpa tanggung-
tanggung ia beralasan dengan menuduh bahwa Nabi saw, tidak pernah mempersoalkan keyakinan pamannya Abu Thalib. Berangkat dari hal tersebut Abdul
Muqsith Ghazali menyimpulkan bahwa pelarangan pernikahan dengan orang-orang kafir Mekah tersebut bukan karena argumen teologis-keyakinan, melainkan lebih
sebagai argumen politik. Menurutnya kalau larangan itu bersifat teologis, maka bukan hanya perkawinan yang akan dilarang, melainkan seluruh jenis komunikasi
dengan orang kafir harus ditutup, termasuk komunikasi dengan Abu Thalib paman Nabi yang masih kafir. Menurutnya, fakta sejarah menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad bukan hanya tak mempersoalkan keyakinan Abu Thalib, melainkan
11
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis.. h. 63
73 justru Abu Thalib orang yang paling gigih melindungi Nabi Muhammad dan
pengikutnya.
12
Selain itu Abdul Muqsith Ghazali berpendapat bahwa perkawinan beda agama diperbolehkan karena dalam menafsirkan ayat mengenai hal tersebut ia meng-
qiyaskannya dengan hadis tentang kewajiban menuntut ilmu. Dalam hadits tersebut tidak ditemukan kata, Muslimatin namun pada kenyataannya waniita juga
diwajibkan menuntut ilmu. Di dalam al-Quran tidak dicantumkan hukum perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. hal ini dikaranakan bermakana al-
ikhtifa. Karena itu berlaku hukum sebaliknya Mafhumm al mukhalafah. Selain itu dalam teks-teks agama tidak ditemukan dalil yang melarang perkawinan perempuan
Muslimah dengan laki-laki non- muslim. Menurut Abdul Moqsith Ghazali, tidak ada dalil yang melarang, itu adalah dalil diperbolehkannya perkawinan diantara mereka.
la menyebutkan salah satu kaidah ushuliyah, adam al-dalil huwa aldalir. Karena tidak ada dalil aI-Quran yang melarang, maka berarti sudah menjadi dalil
diperbolehkannya, sehingga pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non- Muslim diperbolehkan.
13
Sementara itu pendapat lain mengenai perkawinan beda agama dalam Fikih Lintas Agama yang ditulis oleh Nurcholis Madjid dan kawan-kawan mereka
12
Abd Moqsith Ghazali. Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al- Quran, h. 345-346
13
Imam Hurmain. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal: Analisis terhadap pemikiran JIL tentang Pernikahan beda Agama, artikel diakses pada
uinsuska.infoushuluddinattachments074_Pernikahan Lintas Agama.
74 menguraikan pendapat, bahwa perkawinan wanita muslim dengan laki-laki non-
Muslim dibolehkan sebagaimana dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani ahl al-kitab. bila perkawinan laki-laki Muslim dengan
wanita non-Muslim Kristen dan Yahudi diperbolehkan, bagaimana dengan yang sebaliknya?, yaitu pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, baik
Kristen, Yahudi atau agama-agama non-semitik lainnya. Menyikapi permasalahan ini menurutnya terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik al-
Qur‟an, hadis atau kitab fikih sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti itu.
Menurutnya hal seperti itu menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah
saw. bersabda, kami menikahi wanita-wanita ahl al-kitab dan laki-laki ahl al-kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami Muslimah. Khalifah Umar ibn Khatthab
dalam sebuah pesannya, Seorang Muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki- laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah
.”
14
Menurut kalangan yang membolehkan perkawinan beda agama, bagi mereka hukum pernikahan seorang wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim adalah
termasuk ijtihad yang bersifat kontekstual, oleh karena itu, persoalan pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat
dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama
14
Mun‟im A. Sirry ed. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, cet. V Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004, h.163
75 merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir
atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda
agama secara lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.
15
Dalam kaitannya dengan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab dalam KHI secara tegas dilarang, menyikapi permasalahan ini menurut
Musdah Mulia bahwa, jenis perkawinan tersebut dibolehkan untuk sebaliknya, alasan yang ia kemukakan adalah dalam literatur bahasa arab dikenal dengan namanya al-
iktifa, yakni cukup menyebutkan sebagian saja dan dari situ dipahami bagian lainnya. Ia bependapat bahwa ayat tersebut membolehkan perkawinan dengan wanita ahl al-
kitab, maka mafhum mukhalafah-nya perempuan muslimpun tidak dilarang menikahinya.
16
Mengenai siapa saja yang termasuk golongan ahl al-kitab pendapat yang dikemukakan oleh kalangan feminis, penentuan siapa sajakah yang termasuk kedalam
golongan ahl al-kitab nampaknya mereka sependapat dengan Muhammad Abduh dan Rasid Ridha yang menganggap bahwa yang termasuk kedalam golongan ahl al-kitab
yaitu Majusi, Sabian, Hindu Brahmanisme, Budha, Konfucius, Shinto, dan agama- agama lain dapat dikategorikan sebagai ahl al-kitab. Menurutnya dalam ajaran kitab
15
Mun‟im A. Sirry ed. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. h.164
16
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis. Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 63
76 mereka mengandung paham monotheisme tauhid sampai sekarang karena itu halal
menikahi perempuan-perempuan mereka. Menurut Ridha, agama-agama tersebut pada mulanya memiliki kitab suci dan berpaham monotheisme tauhid. Karaena
perjalanan waktu yang begitu panjang, agama tersebut kerasukan paham-paham syirik.
17
Penjelasan dan konsep yang ditawarkan oleh kalangan feminisme mengenai dibolehkannya perkawinan beda agama, seperti yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa permasalahan mengenai perkawinan beda agama merupakan permasalahan klasik yang telah ada sejak lama, namun jika kita kaitkan dengan
semakin berkembangnya hukum Islam di Indonesia maka timbul suatu pertanyaan apakan konsep tersebut relevan dengan konsep perkembangan hukum yang terjadi
saat ini?. Untuk mengetahui hal tersebut lebih lanjut maka dalam hal ini penulis perlu kiranya menelusuri konsep ini lebih jauh lagi.
Perkembangan hukum merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang hidup di negara hukum, hal ini bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi anggota
masyarakat yang menghuni pada suatu negara, perkembangan hukum sangatlah penting dilakukam. Menurut Saifullah dalam bukunya y
ang berjudul “Refleksi Sosiologi Hukum” berpendapat, jika hukum tidak mengalami perubahan maka akan
menemui banyak kendala baik yang berhadapan langsung dengan rasa keadilan
17
Zainun Kamal. Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama,dalam Mariah Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga ed, Tafsir Ulang Perkawinam Lintas Agama Perspektif Perempuan
dan Pluralisme,h. 154
77 masyarakat maupun persoalan penegakan hukum law enforcement. Selama
perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti koridor hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, maka hukum akan selalu selaras dengan kehidupan
masyarakat.
18
Perubahan dan perkembangan pemikiran hukum Islam yang berpijak pada kemaslahatan akan berubah sesuai dengan waktu dan ruang bukan saja dibenarkan,
tetapi merupakan suatu kebutuhan, khususnya bagi umat Islam yang mempunyai kondisi dan budaya yang berbeda dengan Timur Tengah, seperti Indonsia. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan: Pertama, banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berlaku di Indonesia merupakan produk ijtihad yang didasarkan pada kondisi
dan kultur Timur Tengah. Padahal, apa yang cocok dan baik bagi umat Islam di Timur Tengah, belum tentu baik dan cocok bagi umat Islam di Indonesia. Kedua,
kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini terus berkembang dan semakin beragam
.
19
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat
18
Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007, h. 26
19
Abdul Halim. Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia, dalam Ainurrofiq ed., Mazhab Jogja: Menggagas Paradigam Ushul Fiqh
Kontemporer , cet. I Yogyakarta: Fakults Syari„ah UIN Sunan Kalijaga dan ar-Ruzz Press, 2002, h.
231
78 kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial,
ekonomi, dan politik dimasa depan. Indonesia yang mayoritas penduduknya negara muslim terbesar, tentunya
kebutuhan akan hukum Islam menjadi salah satu yang sangat penting, jika hukum itu disandarkan dengan kata Islam berarti hukum Islam adalah hukum yang dibangun
berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Quran maupun al-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia, yang berlaku secara universal relevan pada setiap
zaman waktu dan makan ruang manusia.
20
Dalam memahami aturan yang terdapat dalam al-Quran maupun al-Sunnah dalam menentukan suatu aturan maka peran para
ilmuan atau ulama sangatlah penting, hal ini untuk menunjang suatu prodak hukum yang dapat memberikan kemaslahatan yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan dalam al-Quran maupun al-Sunah. Dalam upaya legalisasi hukum, terlebih lagi hukum Islam peran pemerintah
merupakan salah satu pern penting dalam upaya positivasi hukum, sambutan baikpun nampaknya sejalan dengan cita-cita umat muslim mengenai penegakan hukum Islam
itu sendiri. Jika ditinjau dalam kebijakan pembangunan nasional sebagaimana diuraikan dalam GBHN tahun 1999, hukum agama mendapatkan tempat yang
penting, hukum Islam dengan sarat nilai yang universal dan merupakan bagian dari ajaran agama yang dipeluk oleh sebahagian besar rakyat Indonesia mempunyai
peluang yang lebih besar dibanding dengan agama lalin. Dengan demikian positivasi
20
Said Agil Husin Al-Munawar. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. Ke-1, Jakarta: Penamadina,2004, h.6
79 hukum Islam menjadi sebuah keniscayaan sosial. Untuk menjawab tuntutan akan
kebutuhan umat Islam terhadap hukum Islam, dalam rangka mewujudkan hal tersebut perlu melewati proses pembentukan hukum yang telah ditetapkan.
Adapun proses terlahirnya suatu hukum terlebih lagi hukum Islam, cara yang digunakan untuk menggali sumber-sumber hukum yaitu dengan cara ijtihad. Ijtihad
jika ditinjau dari segi obyek kajiannya, dibedakan menjadi dua bentuk yaitu ijtihad ishtinbati dan ijtihad thatbiqi. Ijtihad istinbathi, yaitu ijtihad yang dilakukan
berdasarkan pada nash-nash syariat dalam menyimpulkan ide hukum yang terkandung didalamnya, hasil ijtihad yang diperoleh berasal dari penelitian suatu
masalah hukum yang dihadapi. Secara teori untuk melakukan ijtihad isthinbathi diperlukan cara khusus seperti penguasaan terhadap ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan al-Quran, hadist Rosullullah dan lain-lain. Sedangkan ijtihad tathbiqi ialah ijtihad yang dilakukan berdasar pada suatu permasalahan yang terjadi dilapangan,
dalam hal ini seorang mujtahid harus langsung berhadapan dengan obyek hukum yang terhadapnya ide atau substansi hukum Islam produk ijtihadnya akan
diterapkan.
21
Proses ijtihad ini nampaknya menjadi proses positivisme hukum Islam di Indonesia, ijtihad yang dilakukan hemat penulis telah menghantarkan perkembangan
hukum Islam di Indonesia menjadi su atu hukum yang mewakili penegakan syari‟at
Islam di tanah air. Perkembangan hukum Islam nampaknya semakin menuju pada
21
Samsul Bahri. Membumikan Syariat Islam Strategi Positivism Hukum Islam Melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung, Semarang: Pustaka Rizki Putra,2007, h.146
80 titik terang kendati tidak secara menyeluruh diterapkan dalam berbagai bidang,
akantetapi nampaknya lambat laut aturan itu menjadi kebutuhan yang diharapkan oleh berbagai kalangan muslim tanah air.
Proses perkembangan hukum Islam, mengenai hukum keluarga nampaknya para ulama atau mujtahid telah berhasil melakukan suatu trobosan pembaruan hukum
Islam. Usaha mereka untuk menjadikan peraturan yang bernuansa Islami mulai menuai hasil yang positif, langkah nyata dari para ulama Islam yang melakukan
ijtihad didukung baik oleh pemerintah. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika
akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab
fikih yang dianggap representatif telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir, merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib
legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi
umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung subtansi hukumnya.
81 Sehingga pada tahun 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991, yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam KHI. Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI, nantinya diproyeksikan
sebagai Undang-Undang resmi negara hukum materiil yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir,
sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang kini kembali direvisi
menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek berantai pada
Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
22
Lahirnya Undang-Undang di atas membawa lompatan besar hukum Islam dalam perkembangan hukum nasional. Sebab unsur-unsur hukum positif yang berupa
nilai, norma, peraturan, pengadilan, penegakan hukum, dan kesadaran hukum masyarakat menjadi sempurna. Dengan demikian hukum Islam yang telah menjadi
bagian hukum nasional dengan sempurna ialah hukum perkawinan, hukum waris,
22
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia,Jakarta: Rajawali Pers: 2006, h. 181
82 hukum hibah serta wasiat, hukum wakaf, hukum zakat dan hukum bisnis Islam
eko nomi syari‟ah.
Dari berbagai peratuaran diatas dalam penulisan skripsi ini tidak akan membahas secara keseluruhan mengeni perkembangan hukum Islam di Indonesia,
dalam pembahasn ini lebik difokuskan mengeni aturan perkawinan. Aturan mengenai perkawinan secara khusus diberikan kepad umat muslim tanah air dengan lahirnya
Kompilasi Hukum Islam melalui instruksi presiden No.1 Tahun 1991, tanggal 10 juni 1991, menurut Ismail Suny bagi umat Islam sudah jelas bahwa dalam bidang
perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi umat Islam hukum yang berlaku adalah hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
23
Sebelum adanya aturan mengenai perkawinan para hakim menggunakan rujukan 13 kitab fikih untuk memutus dan mengadili perkara dipengadialan agama
yang sebahagian kitab itu berlaku dikalangan Mazhab Syafi‟I. keputusan ini sesuai dengan edaran Departemen Agama Biro Pengadialan Agama Nomor. B1735 tanggal
18 Februari 1958 yang ditunjukan kepada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia.
24
Dengan adanya keputusan seperti ini berakibat terhadap putusan hakim yang berbeda-beda disetiap daerah, menyadari hal itu maka para pakar hukum Islam telah
berusaha membuat hukum Islam yang lebih komprehensif agar hal ini bertujuan agar
23
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet-ke 5 Jakarta: CV. Akademika Pressindo,2007, h. 53
24
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia,h.178
83 hukum Islam tetap eksis dan dapat dipergunakan untuk menyelesaikan segala
masalah umat dalam era globalisasi saat ini. Langkah awal yang dilakukan para pembaharu hukum Islam adalah mendongkrak paham ijtihad telah tertutup, dan
membuka kembali kajian-kajian hukum Islam dengan metode komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Para pembaharu juga harus berusaha agar
hukum Islam tetap eksis sepanjang zaman. Para pembaharu harus mengusahakan agar hukum Islam menjadi salah satu sumber hukum Nasional dan dapat menjadi pedoman
dalam berbangsa dan bernegara. Menurut Nourrozzaman, Hasbi as-Shidiqi adalah orang pertama yang
mengeluarkan gagasan agar fikih yang ditetapkan di Indonesia harus berkeperibadian Indonesia, untuk mewujudkan hal itu maka menurutnya perlu dibuat Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. menurut Hasbi dalam rangka pembaharuan hukum Islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfiq dan secara selektif memilih pendapat
mana yang cocok dengan kondisi Indonesia. disamping itu menurutnya, perlu juga digunakan metode komparasi, yaitu metode memperbandingkan suatu pendapat
dengan pendapat lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau yang pernah ada dan memilih yang lebih baik dan mendekati kebenaran, serta didukung oleh dalil yang
kuat.
25
Langkah yang ditempuh oleh Hasbi as-Shidiqi, mendapat sambutan hangat dari ahli hukum Islam Indonesia, langkah yang ia tempuh merupakan langkah menuju
25
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 179-180
84 perkembangan hukum Islam di Indonesia. Dalam proses perkembangan hukum Islam
langkah yang dibentuk untuk keseragaman putusan ditempuh dengan membuat suatu aturan yang dirumuskan menjadi kedalam suatu Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam aturan yang ditetapkan didalmnya mengacu kedalam berbagai kajian fikih klasik, sebelum peraturan itu disahkan terlebih dahulu
dilakukan beberapa proses sebelum aturan yang terdapat didalmnya dijadikan suatu aturan tetap dan mengikat. Adapun proses yang dilakukan adalah mencakup beberapa
tahap antaralain: tahap pertama adalah persiapan, kedua tahap pengumpulan data yang dilakukan melalui 1. Jalur ulama, 2. Jalur kitab-kitab fikih, 3. Jalur
yurisprudensi pengadilan agama, 4. Jalur studi perbandingan di negara-negara lain khususnya di negara-negara timur tengah, tahap ketiga, tahap penyusunan rancangan
Kompilasi Hukum Islam dari data-data tersebut, dan tahap keempat, tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-masukan akhir dari para ulama
cendikiawan muslim seluruh Indonesia yang ditunjuk melalui lokakarya.
26
Setelah tahap-tahap tersebut dilakukan maka KHI pun terrangkum menjadi suatu peraturan bagi umat muslim pencari keadilan dan merupakan keseragaman
yang menjadi pedoman bagi hakim pengadilan agama diseluruh Indonesia. aturan mengenai perkawinan telah diatur melalui Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam dalam bentuk impres, aturan didalamnya melarang tentang
26
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet-ke 5 Jakarta: CV. Akademika, 2007, h. 37
85 perkawinan beda agama yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini akan tetapi
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas perkawinan tersebut dilarang hal ini menjadi perdebatan mengenai hal tersebut.
Aturan yang terkait larangan perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam, dilarang sepenuhnya tak terkecuali perkawinan dengan ahl al-kitab
yang dalam al-Quran perkawinan semacam ini dibolehkan, KHI secara tegas melarang segala perkawinan beda agama dengan menuangkannya dalam bentuk
peraturan yang termaktub dalam pasal 44 dan pasal 40 huruf C. Aturan yang termaktub dalam KHI bahwasanya isi dari pasal 44 KHI yang
sesuai dengan Q.S. al-Baqarah 2: 221 dan ijma ulama, yaitu melarang perkawinan wanita muslim dengan pria non-muslim termasuk ahl al-kitab, dan isi sebagian dari
pasal 40 huruf C KHI yang sesuai dengan Q.S al-Baqarah 2: 221, yaitu melarang pria muslim menikah dengan wanita musyrik, tidaklah menjadi persoalan. Karena
sudah sesuai dengan yang termaktub dalam al-Quran dan ijma ulama. Dalam pembentukan aturan mengenai larangan semua jenis perkawinan beda
agama KHI lebih menitik beratkan pada konsep maslahat yang berasaskan keadilan dan dan kemanfaatan. Prinsip ini merupakan prinsip gabungan yang dipegang para
Imam Mazhab, khususnya aliran ar-Ra ’yu dan al-Hadits yang telah terbukti
membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat. Tidak ada perselisihan dalam dikalangan ahli hukum islam tentang masalah ini, bahkan mereka sepakat
86 bahwa dalam pembaharuan hukum Islam segala sesuatu yang telah ditetapkan
hendaknya melahirkan kemaslahatan bagi manusia yang bersifat dharuriyat, hajiyat dan takhsiniat.
27
Dari penjelasan diatas perkembangan hukum Islam yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam hukum perkawinan prinsip yang digunakan dalam membuat suatu
peraturan hukum berpijak pada prinsip maslahat, yang didalamnya bertumpu pada keadilan dan kemanfaatan. Disamping itu KHI dibentuk berdasarkan sumber aturan
hukum Islam yang disepakati oleh para ulama terdahulu dan melakukan kajian komparasi terhadap kajian-kajian mengenai hukum Islam yang ada dan memilih yang
lebih baik dan mempunyai dalil yang kuat. Berdasrkan penjelasan tersebut maka konsep perkawinan yang di gagas oleh
kalangan feminis tidak relevan untuk konteks perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesi, prinsip yang digunakan dalama pembentukan peraturan yang digagas
oleh kalangan feminis, bertentangan denga mayoritas ahli hukum Islam klasik ataupun kontemporer dan bertentangan dengan ijma, tidak hanya itu dalil-dalil yang
mereka gunakan tidak sepenuhnya berdasarkan ketentuan dalam al-Quran yang menjadi dalil yang sangat kuat dalam membentuk hukum Islam.
Konsep yang ditawarkan mengenai perkawinan beda agama sangat bertentangan dengan prinsip kemaslahatan dan maqasid syari
’ah yang menjadi pondasi pembentukan hukum keluarga Islam Indonesia.
27
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia,h. 178-179
87
B. Beberapa Kritik Terhadap Konsep Perkawinan Beda Agama