87
B. Beberapa Kritik Terhadap Konsep Perkawinan Beda Agama
Kalangan feminisme yang dalam membentuk suatu aturan senantiasa menjunjung tinggi prinsip hak asisi manusia, demokrasi, gender, pluralisme dan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Aturan mengenai dibolehkannya perkawinan beda agama pun tidak terlepas dari prinsip-prinsip tersebut, maka tak
heran jika banyak kalangan atau ilmuan muslim yang tidak setuju dan memberikan kritikan yang sangat pedas terhadap konsep tersebut, berikut adalah berbagai kritikan
mengenai konsep perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminisme. Menurut Ali Musthofa Yakub, dalil-dalil atau ijma yang mengatur tentang
perkawinan beda agama menurutnya hal itu termasuk wilayah ijtihadi dengan dalil naqli yang jelas, termasuk perkawinan dengan wanita ahl al-kitab yang dibolehkan
dalam al-Quran, ia menjelaskan bahwasanya tidak ada ruang untuk berijtihad hal ini sesuai dengan kaidah
ِّّلا ْ م ىف ا تْجال غاسما
28
Artinya: “Tidak ada celah ijtihad dalam permasalahan yang telah ada nashnya”
Berdasarkan hal ini, asumsi rasio yang membolehkan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan muslimah atas dasar hak dan keberagaman pluralisme
tidak bisa dibenarkan. Pernikahan adalah bagian dari ibadah umat Islam yang
28
Abdul Aziz Azam. Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Cet. Pertama Mesir: Daar Al Hadits, 2005, h. 243
88 acuannya adalah al-Quran, hadis dan ijma konsensus sahabat, bukan berdasarkan
rasio dan selera semata. Menurutnya sejak masa nabi Islam sudah mengenal pluralitas agama, yaitu
kenyataan bahwa di jazirah arab saat itu memeluk berbagai agama, hal ini sama dengan di Indonesia yang masyarakatnya memeluk berbagai agama, tapi pada masa
nabi tidak ada pluralisme agama. Pluralisme merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa kebenaran agama-agama itu relatif. Masing-masing agama tidak
boleh meng-klaim bahwa ajaran agamanya saja yang benar, karena kebenaran adalah mutlak milik tuhan.
Islam tidak mengajarkan pluralisme, Islam hanya mengakui adanya pliralitas agama, bukan pluralisme. Hal ini sesuai yang telah ditetapkan dalam al-Quran:
نْي س ا ْلا نم خالا ىف ه ّْم ل ْقي ْملف اّْي اْسإْلا ْيغ غتْي ْنم ّا مع ا س
: ٥
Artinya: “Barang siapa yang mencari agama selain islam tidaklah akan diterima
agama itu daripadanya, dan dia di akhirat termasuk golongan-golongan yang merugi
”. Q.S Ali Imran 3: 85 Dalam ayat lain dijelaskan
اْسإْلا ها ّْع نْي لا َّا ّا مع ا س
: ١
Artinya: “Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah adalah Islam”.Q.S Ali
Imran 3: 19 Menurut Ali Musthafa Yakub, MA. bahwasanya perkawinan antara laki-laki
muslim dengan wanita ahl al-kitab hanyalah suatu kebolehan, bukan anjuran, apalagii
89 perintah. Ia-pun menentang pendapat yang dikemukan diatas yaitu konteks dakwah
pada saat dilarangnya perkawinan dengan wanita ahl al-kitab hal itu dikarenakan kuantitas umat Islam tidak sebesar saat ini, karenanya ketika umat Islam sekarang
sudah bertambah amat banyak maka menurut mereka dengan sendirinya perkawinan tersebut dibolehkan, apapun agama dan kepercayaannya. Menurutnya pendapat
seperti ini tidak dibenarkan, perkawinan yang aman dan benar yaitu mewujudkan keluarga yang sakinah, hal ini dapat terwujud dengan melakukan perkawinan dengan
seagama Islam.
29
Ayat al-Quran yang digunakan oleh kalangan feminis yaitu surat al-Baqoroh 2 ayat 221 dan surat al-Mumtahanah 60 ayat 10, secara zahir ayat dalil tersebut
melarang segala bentuk perkawinan dengan non muslim. surat al-Mumtahanah 60 ayat 10 yang artinya:
Apabila kamu bahwa wanita-wanita mukminah itu benar-benar beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada suami-suami mereka
yang kafir. Wanita-wanita muslimah tidak halal dinikahi oleh lelaki-lelaki kafir, dan lelaki-lelaki kafir itu tidak halal menikahi wanita-wanita
muslimah.
Menurut Ali Mustafa Yakub ayat ini dengan jelas melarang perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita kafir dan sebaliknya beliau beralasan dengan mengutip
pendapat Ibnu Katsir dalam kitabnya tafsir al-Quran al-Adzim beliau mengatakan.
29
Ali Mustafa Yakub. Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadist, cet.ke-2, Jakarta: Pustaka Firdaus:2007, h. 53-56
90
نيك شملا ىلع تاملسملا م ح ىتلا يه يأا ه
30
Artinya: “Ayat inilah yang mengharamkan pernikahan perempuan muslimah
dengan lelaki musyrik ”.
Selain pendapat Ibnu Katsir, beliaupun mengemukakan pendapat Imam al- Saukani dalam kitabnya Fath al-Qadir yaitu:
فاكل لحت ا ّمؤملا ّأ ىلع ليل يف
31
Artinya: “Dalam firman Allah ini terdapat dalil bahwa wanita mukminah tidak halal dinikahi orang kafir
”. Dari beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh Ali Mustafa Yakub
tampak jelas penolakannya terhadap setiap argumentasi dibolehkannya perkawinan beda agama. Beliaupun menentang keras hasil karya para feminis yang menyodorkan
draf tandingan terhadap KHI, ia berpendapat bahwa Conter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum iblis, jika mengikuti segala aturan yang terdapat
didalamnya termasuk mengenai perkawinan beda agama akan sesat. Menurutnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sudah sangat epektif
dalam menjawab persoalan di Indonesia.
32
Selain Ali Musthafa Yakub, Guru besar hukum Islam Universitas Indonesia, Tahir Azhari, dengan terang-terangan menganggap beberapa poin dalam CLD-KHI
30
Al Imam Al Jalil al Hafiz Imaduddin Abul Fida Ismail Ibn Katsir Al Kursy Ad Dimaski. Tafsir Al Quran Al ‘Azim, Juz IV Mesir: Daar Misr Lithaba‟ah, 1988, h. 350
31
Muhammad bin Ali bin Muhammad As Saukani. Fath Al Qadir, Juz V, Cet. Ke-III Beirut: Daar Al Ma‟rifah: 1997, h. 264
32
Muhammad Latif Fauzi. “Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum
Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada tanggal 8 april 2011 dari http:ern.pendis.kemenag.go.idDokPdfern-v-01.pdf.
91 itu mengada-ada. Tentang perkawinan dengan perjanjian jangka waktu tertentu,
misalnya, dia menyebut bahwa nikah harus berlandaskan hukum, bukan semata-mata atas kesepakatan layaknya kontrak. Kritik terhadap CLD-KHI juga dikemukakan oleh
Nabilah Lubis, Profesor UIN Jakarta. Ia menyatakan bahwa UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
masih sangat relevan dan tetap mampu mengakomodir kepentingan umat. Ketentuan yang termuat dalam undangundang itu sudah sejalan dan sesuai dengan syariat Islam.
Jika menelaah apa yang diajukan dalam CLD-KHI, misalnya mengenai pembagian waris yang sama rata antara laki-laki dan perempuan, penetapan iddah bagi laki-laki,
larangan poligami, dan sebagainya bertentangan dengan kaidah Islam.
33
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Yarsi pada tanggal 29 Oktober 2004, Rifyal Ka‟bah, Hakim Agung yang aktif dalam
Muhammadiyah,menekankan bahwa Pokja, sebagai kelompok reformis, melanggar batasan-batasan yang telah diajarkan dalam al-
Qur‟an, hadis dan menyerang pendapat para ulama terkenal, seperti al-Sh
afi‟i. Ka‟bah mengkritik beberapa istilah yang digunakan, seperti fikih padang pasir untuk menyebut pemikiran hukum klasik.
Dalam buku yang berjudul Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Pembaruan Hukum Islam di Indonesia yang ditulis oleh Huzaemah Tahido
Yanggo, profesor perbandingan mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan lulusan Universitas al-Azhar. Buku tersebut ditulis untuk menjawab
33
Muhammad Latif Fauzi. “Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum
Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada tanggal 8 april 2011 dari http:ern.pendis.kemenag.go.idDokPdfern-v-01.pdf.
92 kegelisahan masyarakat Muslim atas kontroversi CLD-KHI. Merujuk kepada al-
Qur‟an, hadis, dan pendapat ulama, ia mengkritik delapan poin utama dalam CLD- KHI. Ia menuduh CLD-KHI telah mengganti makna tekstual ayat-ayat al-
Qur‟an dengan pendekatan yang didasarkan pada Maqasid Syariah yang bertujuan
memelihara keadilan sosial dan kearifan lokal. Menurutnya, kelompok kerja pengurus utamaan gender tidak menyadari bahwa jalan yang mereka tempuh untuk melakukan
pembaruan hukum Islam adalah salah.
34
Kritik terhadap CLD-KHI berhubungan dengan bagaimana Muslim selayaknya menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Penentang CLD-KHI menuduh
CLD-KHI menyimpang dari norma-norma ideal Islam. Bahasa yang digunakan juga mengandung makna bahwa mereka menuntut autentisitas, yaitu bahwa cara dan
metode mereka yang paling benar dalam memahami Islam, bukan yang diterapkan kelompok kerja pengurus utamaan gender.
Penentangan terhadap CLD-KHI tidak hanya dilakukan oleh ilmuan muslim yang kompeten dibidang hukum Islam organisasi muslimpun turut serta menolak
perumusan draft tersebut. Dari organisasi Majelis Mujahidin Indonesi MMI, melalui juru bicaranya mereka menentang keras aturan yang termaktub didalmnya, Fauzan al-
Anshari selaku juru bicara MMI memberikan protes keras terhadap Mentri Agama terkait perumusan KHI tandingan.
34
Huzaemah Tahido Yanggo. Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam Jakarta: Adelina, 2005,h.12
93 Penolakan terhadap CLD-KHI juga muncul dari Al-Majlis al-Alami lil-Alimat
al-Muslimat MAAI atau Majelis Ilmuwan Muslimah Internasional yang mendiskusikan permasalahan mengenai CLD-KHI. Dalam diskusi tersebut, beberapa
rekomendasi terumuskan. MAAI mengharap pemerintah melindungi produk hukum yang telah ditetapkan, untuk menghindari hilangnya kepercayaan publik pada
ketentuan hukum Islam yang telah diberlakukan secara resmi dan dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. MAAI juga menghimbau agar masyarakat Muslim
Indonesia meningkatkan kewaspadaan terhadap pemikiran liberalsekuler yang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam. MAAI juga mengharap lembaga kajian
yang sudah ada seperti MUI untuk lebih mempertimbangkan dan dapat memberdayakan serta lebih mensosialisasikan hasil-hasil fatwanya supaya lebih
dikenal masyarakat dan cepat menanggapi masalah-masalah yang penting. MAAI mengingatkan kepada para pemikir bahwa kebebasan penggunaan
rasio hendaknya tetap dalam koridor al-Quran dan hadis, agar tidak menyesatkan masyarakat awam serta terpeliharanya generasi muda, termasuk pemahaman tentang
isu-isu kontemporer seperti demokrasi, pluralisme, dan kesetaraan gender. MAAI berpendapat bahwa CLD-KHI merupakan satu grand strategi untuk menghancurkan
Islam di Indonesia. Untuk ini, MAAI menganjurkan Muslim untuk mengacu pada ayat al-
Qur‟an, surat al-Jatsiyah 45 ayat 18: “Kemudian Kami jadikan kamu berada
94 di atas suatu syariat peraturan dan urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui .”
35
Pendekatan gender, pluralisme, maupun HAM dan demokrasi, tidak mesti „menabrak‟ kaidah-kaidah hukum yang memang sudah mempunyai derajat kepastian
tinggi qat’iyul wurud dalam syariah Islam. Mereka harus banyak belajar,
sebagaiama telah dilakukan oleh Ismail Faruqi dan Naquib al-Attas meng „create‟
Islamisasi ilmu pengetahuan, yang di Indonesia dikenal dengan Islam untuk disiplin ilmu. Menurut kedua orang tersebut, tak ada satu pun ilmu pengetahuan di dunia ini,
yang tidak sinergi dengan sunatullah. Demikian pula, gagasan „mewarnai‟ syariah
Islam dengan pendekatan gender, pluralisme maupun HAM dan demokrasi, mestinya bukan syariah Islam yang dipaksakan untuk menyesuaikan diri dengan keempat
pendekatan tersebut, justru sebaliknya. Karena memang keempat pendekatan tersebut telah terakomodasikan dalam syariah Islam. Kalau gagasan tersebut tetap dipaksakan,
maka dapat dikatakan, bahwa para intelektual muslim tersebut belum dapat memahami apa yang dikatakan ruh syariah Islam itu sendiri.
C. Analisis Penulis