Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Dengan Cv. Tri Putra Manunggal Di Medan)

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PEMBAYARAN DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN KERJA PENYEDIAAN MAKANAN

(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Dengan CV. Tri Putra Manunggal Di Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan Memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh : SHELA SUHANA

NIM : 100200250

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PEMBAYARAN DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN KERJA PENYEDIAAN MAKANAN

(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Dengan CV. Tri Putra Manunggal Di Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan Memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh : SHELA SUHANA

NIM : 100200250

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

Pembimbing I

NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum

Pembimbing II

NIP. 196602021991032002

Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan (Studi Pada Panti Sosial Parmardi Putra Insyaf Dengan CV. Tri Putra Manunggal Di Medan)”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukkan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Wakil


(4)

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH. MH. DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. O. K. Saidin, SH. M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini

3. Ibu Rabiatul Syariah, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Kepada ayahanda Edy Susanto, SE dan ibunda Tri Yuliani, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 8. Civitas Akademik Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera


(5)

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala keterbatasan, kesalahan dan kekurangan, saya bersedia untuk menerima teguran dan bimbingan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan,


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 4

E. Keaslian Penulisan ... 5

F. Metode Penelitian... 5

G. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN ... 9

A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan ... 9

B. Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan Pekerjaan... 37

C. Penyediaan Makanan Sebagai Perjanjian Pemborongan Pekerjaan... 38

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Di Dalam Perjanjian Pemborongan... 40 E. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Bagi Kedua


(7)

Belah Pihak... 43

BAB III PERJANJIAN PEMBORONGAN KERJA PENYEDIAN MAKANAN ... 46

A. Para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyedian Makanan ... 46

B. Bentuk Perjanjian Pemborongan Kerja Penyedian Makanan .... 48

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyedian Makanan ... 49

BAB IV ANALISIS PERJANJIAN PEMBORONGAN KERJA PENYEDIAAN MAKANAN ... 54

A. Pengaturan Hukum Penyedian Makanan Sebagai Perjanjian Pemborongan Kerja ... 54

B. Sistem Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyedian Makanan ... 60

C. Akibat Hukum Apabila Pembayaran Tidak Sesuai Dengan Perjanjian Pemborongan Kerja Penyedian Makanan ... 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK Hasim Purba * Rosnidar Sembiring **

Shela Suhana ***

Suatu hal yang menarik untuk dikaji dalam perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan antara Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan dengan CV. Tri Putra Manunggal Medan adalah perihal pelaksanaan pembayaran. Perihal pembayaran ini merupakan hal utama dalam suatu pemborongan pekerjaan, karena pembayaran adalah merupakan hajat dari perjanjian pemborongan pekerjaan dilakukan. Dengan adanya pembayaran maka pihak CV. Tri Putra Manunggal Medan dapat terus melakukan kegiatan usahanya untuk penyediaan makanan di Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain: Bagaimana pengaturan hukum penyediaan makanan sebagai perjanjian pemborongan kerja, Bagaimana sistem pembayaran dalam perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan dan bagaimana akibat hukum apabila pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui pengaturan hukum penyediaan makanan sebagai perjanjian pemborongan kerja menurut hukum positif Indonesia tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan seperti Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan lain sebagainya. Sistem pembayaran dalam perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan antara Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Dengan CV. Tri Putra Manunggal Medan dilakukan kepada Pihak Kedua setelah bahan makanan tersebut atau hasil pekerjaan lengkap/sesuai dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) Bahan Makanan melalui Kantor KPPN Medan ke Rekening Pihak Kedua Nomor: 0694-01-000031-15-5 pada PT. Bank Rakyat Indonesia Capem Krakatau Medan dan NPWP: 02.444.303.8-113.000 dengan mengikuti ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang berlaku termasuk pemotongan pajak-pajak dan lain-lain. Akibat hukum apabila pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan antara Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Dengan CV. Tri Putra Manunggal Medan maka kepada pihak yang lalai dikatakan sebagai perbuatan wanprestasi dan dapat dikenakan pembayaran denda, hutang pokok serta bunga.

Kata Kunci: Pembayaran, Perjanjian, Pemborongan Kerja.

* Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU ***Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU


(9)

ABSTRAK Hasim Purba * Rosnidar Sembiring **

Shela Suhana ***

Suatu hal yang menarik untuk dikaji dalam perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan antara Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan dengan CV. Tri Putra Manunggal Medan adalah perihal pelaksanaan pembayaran. Perihal pembayaran ini merupakan hal utama dalam suatu pemborongan pekerjaan, karena pembayaran adalah merupakan hajat dari perjanjian pemborongan pekerjaan dilakukan. Dengan adanya pembayaran maka pihak CV. Tri Putra Manunggal Medan dapat terus melakukan kegiatan usahanya untuk penyediaan makanan di Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain: Bagaimana pengaturan hukum penyediaan makanan sebagai perjanjian pemborongan kerja, Bagaimana sistem pembayaran dalam perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan dan bagaimana akibat hukum apabila pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui pengaturan hukum penyediaan makanan sebagai perjanjian pemborongan kerja menurut hukum positif Indonesia tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan seperti Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan lain sebagainya. Sistem pembayaran dalam perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan antara Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Dengan CV. Tri Putra Manunggal Medan dilakukan kepada Pihak Kedua setelah bahan makanan tersebut atau hasil pekerjaan lengkap/sesuai dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) Bahan Makanan melalui Kantor KPPN Medan ke Rekening Pihak Kedua Nomor: 0694-01-000031-15-5 pada PT. Bank Rakyat Indonesia Capem Krakatau Medan dan NPWP: 02.444.303.8-113.000 dengan mengikuti ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang berlaku termasuk pemotongan pajak-pajak dan lain-lain. Akibat hukum apabila pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan antara Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Dengan CV. Tri Putra Manunggal Medan maka kepada pihak yang lalai dikatakan sebagai perbuatan wanprestasi dan dapat dikenakan pembayaran denda, hutang pokok serta bunga.

Kata Kunci: Pembayaran, Perjanjian, Pemborongan Kerja.

* Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU ***Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian melibatkan sedikitnya dua pihak yang saling memberikan kesepakatan mereka. Para pihak ini berdiri berhadap-hadapan dalam kutub-kutub hak dan kewajiban. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut debitur, sedangkan pihak yang lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban itu disebut kreditur.

Salah satu bentuk perjanjian yang merupakan kajian penelitian ini adalah perjanjian pemborongan pekerjaan penyediaan makanan antara Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan dengan CV. Tri Putra Manunggal Medan. Perjanjian ini disebut perjanjian pemborongan karena terdapat pihak-pihak yang memiliki pekerjaan yaitu Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan dan pihak yang menerima pekerjaan CV. Tri Putra Manunggal Medan.

Perjanjian pemborongan kerja antara para pihak di atas adalah perjanjian pemborongan pekerjaan penyediaan makanan. Penyediaan makanan disini dimaksudkan adalah penyediaan makanan bagi individu-invidu yang dibina di Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan. Sebagai tempat rehabilitasi pencandu obat-obat terlarang maka Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan memiliki pertanggungjawaban terhadap warga yang direhabilitasi, termasuk penyediaan konsumsi bagi warga yang direhabilitasi di Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan. Disebabkan pekerjaan Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan adalah melakukan pembinaan dan rehabilitasi


(11)

terhadap pecandu obat-obat terlarang dapat lebih fokus dan terarah maka perihal penyediaan konsumsi berupa makanan diborongkan pekerjaannya kepada pihak lain di luar Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan.

Perjanjian penyediaan makanan yang dibuat oleh para pihak di atas termasuk dalam perjanjian pemborongan yang terdapat dalam KUHPerdata dan Pasal 1601, Pasal 1601b dan Pasal 1604 dan sampai dengan Pasal 1616 bahwa agar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif, efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan.

Secara garis besar, tatanan hukum perdata Indonesia memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk saling mengadakan perjanjian tentang apa saja yang dianggap perlu bagi tujuannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaimana undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menyikapi hal tersebut R. Subekti menjelaskan

Bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang. Atau dengan perkataan lain, dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.1

1


(12)

Suatu hal yang menarik untuk dikaji dalam perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan antara Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan dengan CV. Tri Putra Manunggal Medan adalah perihal pelaksanaan pembayaran. Perihal pembayaran ini merupakan hal utama dalam suatu pemborongan pekerjaan, karena pembayaran adalah merupakan hajat dari perjanjian pemborongan pekerjaan dilakukan. Dengan adanya pembayaran maka pihak CV. Tri Putra Manunggal Medan dapat terus melakukan kegiatan usahanya untuk penyediaan makanan di Kementerian Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan.

Pembayaran ini juga merupakan faktor yang acapkali menjadi sebab timbulnya persengketaan antara para pihak yang melakukan perjanjian. Pertanyaan pada pembahasan skripsi ini adalah untuk melihat bagaimana sistem hukum pembayaran yang dilakukan oleh para pihak. Karena diketahui dalam suatu perjanjian pemborongan pekerjaan, pembayaran dilakukan secara bertahap sehingga pekerjaan borongan kerja selesai dilakukan. Berlainan halnya dengan perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan tentunya memiliki waktu yang panjang.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan mengajukan judul penelitian yaitu “Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan (Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Dengan CV. Tri Putra Manunggal di Medan)”.


(13)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain:

a. Bagaimana pengaturan hukum penyediaan makanan sebagai perjanjian pemborongan kerja?

b. Bagaimana sistem pembayaran dalam perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan?

c. Bagaimana akibat hukum apabila pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum penyediaan makanan sebagai perjanjian pemborongan kerja.

2. Untuk mengetahui sistem pembayaran dalam perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan pada Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan.

3. Untuk mengetahui akibat hukum apabila pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan pada Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan.

D. Manfaat Penulisan

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:


(14)

a. Segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum bisnis khususnya dalam pelaksanaan perjanjian borongan kerja penyediaan makanan.

b. Segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak seperti dunia pendidikan, Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan yang berkepentingan sehingga didapatkan kesatuan pandangan tentang pelaksanaan pembayaran dalam suatu perjanjian pemborongan pekerjaan.

E. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan (Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Dengan CV. Tri Putra Manunggal di Medan)” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah deskriptif analisis yang mengarah penelitian hukum yuridis empiris, yaitu wujud atau penuangan hasil penelitian mengenai hukum yang berlaku di


(15)

masyarakat2

2. Sumber data

.

Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data primer dan sekunder. Sumber data primer didapatkan melalui penelitian lapangan pada Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan. Sumber data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah KUH Perdata, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Utara. b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang

diteliti.

a. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui wawancara dengan Bapak Pengalamen Surbakti pada Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan, studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,

2


(16)

studi dokumen, dan studi lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pemborongan

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan judul sub bab yaitu: Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan Pekerjaan serta Penyediaan Makanan Sebagai Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, Hak dan Kewajiban Para Pihak di Dalam Perjanjian Pemborongan kemudian Berakhirnya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Bagi Kedua Belah Pihak.


(17)

Bab III. Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang Pengaturan Para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan, Bentuk Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan serta Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan.

Bab IV. Analisis Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Pengaturan Hukum Penyediaan Makanan Sebagai Perjanjian Pemborongan Kerja, Sistem Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan serta Akibat Hukum Apabila Pembayaran Tidak Sesuai Dengan Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan. Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN

A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Subekti, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.3

Ada beberapa penulis yang memakai perkataan persetujuan yang tentu saja tidak salah, karena peristiwa termaksud juga berupa suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu dan perkataan persetujuan memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda

overeenkomst yang dipakai oleh BW, tetapi karena perjanjian oleh masyarakat

sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh hukum.4

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang,

3

R. Subekti, Op.Cit., hal. 1.

4

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung, Alumni, 1984, hal. 11


(19)

tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan, pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.5

Mengenai batasan pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan-kelemahan.6 Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga hukum ke III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.7

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda

Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi”.

Kalau demikian, perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/

rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara

perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.

5

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986, hal. 93

6

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Bandung, Mandar Maju, 1994, hal. 45

7


(20)

kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Suatu perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah satu pihak yang mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban, maka dikatakan tidak ada perjanjian yang mengikat.

Hubungan hukum yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena hukum, dinamakan perikatan karena hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat dipaksakan, secara hukum. Jadi, suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan (unenforceable) adalah bukan perikatan.8

Berdasarkan hal tersebut maka satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib

Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

8

Notaris Nurul Muslimah Kurniati. “Kontrak Dan Perikatan”. Melalui

http://notarisnurulmuslimahkurniati.blogspot.com/2009/04/kontrak-dan-perikatan.html, Diakses tanggal 11 Juli 2014.


(21)

menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.

Hukum kebendaan dikatakan bersifat tertutup, dan karenanya tidak boleh ditambah, diubah, dikurangi atau dimodifikasi oleh orang perorangan atas kehendak mereka sendiri, hukum kebendaan, seringkali juga disebut sebagai hukum yang memaksa .9

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai droit de suite.

Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde

persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht

dengan hukum perjanjian.

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas benda tersebut.

9

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kebendaan Pada Umumnya, Jakarta, Kencana, 2003, hal. 21


(22)

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.10

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu

(bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite, tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, Buku

II Burgelijk Wetboek (BW) tidak dinyatakan berlaku lagi.

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada

persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas

perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian:

10

Universitas Sumatera Utara. “Tinjauan Umum Tentang Kompensasi”. melalui

Diakses tanggal 17


(23)

tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan

Arrest (H.R. 10 Juni 1910).11

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam

perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa debitur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan. Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara:

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke

11Ibid


(24)

verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan

dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota masyarakat. Ini berarti bahwa unsur hukum baru dapat dianggap ada, apabila suatu tingkah laku seseorang sedikit banyak menyinggung atau mempengaruhi tingkah laku dengan kepentingan orang lain.

Wirjono Prodjodikoro, berpendapat: “Bahwa dalam hal gangguan oleh pihak ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga, adalah sifat lain dari hak benda yaitu sifat absolut. Sedangkan dalam hukum perjanjian seseorang yang berhak, dapat dibilang mempunyai hak tak mutlak yaitu hanya dapat melaksanakan haknya terhadap seorang tertentu yakni orang pihak lain yang turut membikin perjanjian itu ”.12

Suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, hukum perdata

12

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung, Mandar Maju, 2011, hal. 9


(25)

membedakan hak terhadap benda dan hak terhadap orang. Meskipun suatu perjanjian adalah mengenai suatu benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dengan orang, lebih tegasnya antara orang tertentu dengan orang lain tertentu. Artinya, hukum perdata tetap memandang suatu perjanjian sebagai hubungan hukum, di mana seorang tertentu, berdasarkan atas suatu janji berkewajiban untuk melakukan suatu hal, dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu. Misalnya, A dan B membuat perjanjian jual beli, yaitu A adalah penjual dan B adalah pembeli, dan barang yang dibeli adalah sebuah lemari tertentu yang berada di dalam rumah A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut jatuh ke tangan seorang ketiga (C). Dalam hal ini B hanya berhak menegur A supaya lemari diserahkan kepadanya, dan B tidak dapat langsung menegur C supaya lemari tersebut diserahkan kepadanya.

Sifat hukum perjanjian ini berbeda dengan sifat hukum kebendaan. Pada hukum benda, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan benda. Sedangkan pada hukum perjanjian, hubungan hukum itu terjadi antara orang dengan orang berdasarkan perjanjian yang dibuat orang-orang tersebut.

Dengan sifat hukum perjanjian, yakni sifat perorangan, maka para pihak dapat dengan bebas menentukan isi dari perjanjian yang mereka buat, asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, yang artinya hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian ini merupakan hukum pelengkap, yaitu pasal-pasal itu dapat dikesampingkan apabila dikehendaki, oleh para pihak yang


(26)

membuat perjanjian, mereka diperbolehkan mengatur sendiri sesuatu soal, namun tidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

KUH Perdata, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang mengatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Uraian di atas juga dikenal asas kebebasan berkontrak. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatar belakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 13

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu mempunyai coraknya yang tersendiri pula. Corak yang berbeda dalam bentuk perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian.

Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

13


(27)

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, pembeli mengingini sesuatu barang penjual .14

Contoh dari paksaan yang dapat mengakibatkan pembatalakan persetujuan ialah ancaman dengan penganiayaan, dengan pembunuhan atau dengan membongkar suatu rahasia. Dalam mempertimbangkan sifat ancaman ini harus diperhatikan kelamin serta kedudukan orang-orang yang bersangkutan.

Persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Persetujuan itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

15

Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaaan yang bersifat relatif,

14

R. Subekti, I, Op.Cit., hal. 17

15


(28)

dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada persetujuan dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa persetujuan yang telah diberikan itu adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaaan yang membuat persetujuan atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

Mengenai kekeliruan atau kekhilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan. Menurut pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui, seandainya orang tidak khilap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kekhilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kekhilapan itu


(29)

harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang khilap.

Misalnya sesorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanui yang tersohor, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama.16

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 Ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup jika seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini dikemukakan Pasal 1329 KUH Kekeliruan atau kekhilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya.

Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya.

16


(30)

Perdata, dimana kecakapan itu dapat dibedakan:

a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.

b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinayatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Perihal ketidak cakapan pada umumnya adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampunan c. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.

Melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4


(31)

Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam hal perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konskuensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah


(32)

orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyafi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 Ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu.

“Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.17

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Dalam pandangan saya, causa dalam hukum

17


(33)

perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu”.18

2. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang. Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang.

Berdasarkan Pasal 1601 KUH Perdata disebutkan pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan antara lain:

“Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan “.

Terdapat dua pihak di dalam perjanjian pemborongan pekerjaan tersebut yang saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu pekerjaan, dimana suatu pihak adalah yang memborongkan dan pihak lainnya adalah yang menerima pemborongan. Namun ada kalanya terdapat juga pihak-pihak lain yang turut serta dalam penyelenggaraan pekerjaan tersebut, yakni dalam suatu perjanjian pemborongan bangunan misalnya arsitek ahli bangunan atau pihak lain yang ditunjuk oleh pemborong atau yang memborongkan, akan tetapi pihak yang memborongkan tetap merupakan pihak yang utama dalam perjanjian pemborongan tersebut.

Dalam Pasal 1604 KUH Perdata menyebutkan 2 macam pemborongan

18


(34)

kerja yaitu :

1. Si pemborong hanya berjanji akan melakukan pekerjaan.

Pekerjaan yang dilakukan oleh pemborong, bukan saja pekerjaan pendirian suatu gedung atau bangunan-bangunan sipil belaka, melainkan juga meliputi pemasangan peralatan-peralatan listrik dan mesin.

2. Si pemborong juga berjanji menyediakan bahan-bahan dipergunakan untuk pekerjaan itu. Dalam hal ini pengadakan bahan-bahan itu meliputi pengadaan peralatan kerja, peralatan mesin, peralatan listrik, laboratorium, bahan bangunan dan sebagainya.

Pihak pemborong dalam hal ini berjanji melakukan akan adanya suatu pekerjaan dan adakalanya pula si pemborong di samping melakukan pekerjaan dia juga harus menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk pekerjaan tersebut, sedangkan dalam hal ia hanya melakukan pekerjaan itu saja, yang menyediakan bahan-bahan adalah pihak yang memborongkan.

Walaupun telah disebutkan di atas bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan bukan saja meliputi pembangunan gedung-gedung belaka, namun pembahasan penulis dalam skripsi ini adalah sekitar tentang masalah perjanjian pemborongan kerja penyedian makanan.

Jadi dalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak yang terlibat dalam perjanjian pemborongan yaitu, pihak kesatu disebut pihak yang memborongkan atau prinsipal dan pihak kedua disebut pemborong atau rekanan, kontraktor, annemer. 19

19


(35)

Pasal 1609 dan 1610 KUH Perdata mengatur tentang pemborongan bangunan, dimana bangunan tersebut tidak hanya meliputi rumah

melainkan juga dinding saja, atau suatu perigi atau sumur.

Bangunan disini ditafsirkan secara luas termasuk bangunan sipil yang pengertiannya telah disebutkan di atas.

Suatu perjanjian pemborongan bangunan itu terdapat para pihak yang saling mengikatkan diri untuk melaksanakan perjanjian yang mereka buat tersebut. Adapun para pihak tersebut yaitu pihak yang memborongkan dan pihak pemborong, karena di dalam prakteknya para pihak tersebut dapat lebih dari dua pihak. Antara lain di bawah ini penulis mengemukakan tentang para pihak tersebut.

Pihak-pihak yang menjadi peserta dalam perjanjian pemborongan bangunan terdiri dari:

1. Pemberi kerja (bouwheer)/yang memborongkan 2. Perencana/arsitek

3. Pelaksana/Pemborong

Ketiga peserta ini sepanjang memungkinkan harus dapat melaksanakan pekerjaannya masing-masing dan tidak boleh dirangkap, misalnya pemborong sebagai pelaksana pekerjaan tidak dapat merangkap sebagai pengawas terhadap pelaksanaan pekerjaan pemborongannya, demkian juga perencanaan/arsitek tidak dapat merangkap sebagai pelaksana pekerjaan.

Perjanjian pemborongan bangunan dari pemerintah, pemerintah bertindak selaku bouwheer (pemberi kerja) yang terdiri dari ahli-ahli yang bertindak


(36)

merancang bangunan sesuai dengan bestek (selaku kuasa dari bouheer) dan pelaksana bertindak melaksanakan bangunan sesuai dengan suatu bestek, yang dilaksanakan oleh perusahaan pemborongan bangunan (Kontraktor).

Adapun perencana dapat bertindak sebagai pengawas, tetapi dengan orang-orang yang berbeda. Salah satu keuntungannya dengan adanya konsultan perencana yang tidak sama dengan konsultan pengawas adalah terdapatnya kontrol dari konsultan pengawas, sehingga bila ada hal-hal yang meragukan dapat dibicarakan dapat diambil keputusan yang paling menguntungkan bagi yang memborongkan.

Dari uraian di atas maka kita dapat melihat ada tiga pihak yang saling berbeda tugasnya masing-masing sehingga tidak dapat tumpang tindih pekerjaan, dan dengan demikian diharapkan pekerjaan tersebut dapat berlangsung dengan baik.

Semua pihak-pihak yang ikut serta dalam perjanjian pemborongan pekerjaan itu harus disebutkan dan diuraikan satu persatu tugas dan kewajibannya di dalam perjanjian yang merek buat tersebut, dengan jelas agar tidak terjadi salah tafsir.

Perjanjian pemborongan memiliki ciri bersifat konsensuil artinya perjanjian pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya dan harga borongan/kontrak.

Dengan adanya kata sepakat tersebut, perjanjian pemborongan mengikatkan kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan


(37)

perjanjian pemborongan tanpa persetujuan pihak lainnya. Jika perjanjian pemborongan dibatalkan atau diputuskan secara sepihak maka lainnya dapat menuntutnya.

Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian pemborongan dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam prakteknya, apabila perjanjian pemborongan yang menyangkut harga borongan kecil bisanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian menyangkut harga borongan yang agak besar maupun yang besar, biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara tertulis baik dengan akta di bawah tangan atau dengan akta autentik (akta notaris).

Perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk model-model formulir tertentu yang isinya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan berdasarkan pada peraturan standar/ buku yaitu A.V. 1941.

Di dalam Keppres 16 Tahun 1994 dikenal adanya 3 (tiga) bentuk perjanjian pemborongan yaitu:

1. Akad di bawah tangan yaitu perjanjian pemborongan yang dibuat atas cara memborongkan proyek dengan pengadaan langsung, bernilai Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 2. Surat Perintah Kerja (SPK) yaitu perjanjian pemborongan yang dibuat atas

cara memborongkan proyek dengan pengadaan langsung di atas Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dan pemilihan langsung.


(38)

3. Surat Perjanjian Pemborongan/Kontrak yaitu perjanjian pemborongan yang dibuat atas cara memborongkan proyek dengan pemilihan langsung dan pelelangan.

Dalam Bab VII bagian I ketentuan-ketentuan umum pada Pasal 1601 KUH Perdata disebutkan mengenai persetujuan-perjanjian untuk melakukan pekerjaan itu:

“Selain persetujuan-persetujuan untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika tidak ada oleh kebiasaan, maka adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak lainnya dengan menerima upah, perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan”.

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian untuk melakukan pekerjaan ada tiga macam yaitu:

1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu. 2. Perjanjian perburuhan

3. Perjanjian pemborongan pekerjaan.

Pembuat undang-undang lalai untuk memberikan kepada kita suatu patokan untuk membedakan antara perikatan untuk memberikan dan untuk melakukan sesuatu, karena memberikan sesuatu sebenarnya juga melakukan sesuatu.20

Biasanya pihak lawan adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan

20

J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni, 1999, hal. 51-52


(39)

tersebut dan biasanya memasang tarif untuk jasanya itu yang dinamakan honorarium. Contohnya: Hubungan antara pasien dengan dokter, juga hubungan antara seorang pengacara/advocat dengan kliennya, hubungan antara notaris dengan orang yang meminta membuatkan akta dan sebagainya.

Sedangkan pengertian dari perjanjian perburuhan, adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu (buruh) mengikatkan dirinya untuk bekerja pada pihak yang lain (majikan), selama suatu waktu tertentu dengan cara menerima upah (Pasal 1601 a KUH Perdata).

Dalam hal ini dimaksudkan perjanjian antara buruh dengan majikan, karena adanya suatu ciri-ciri yaitu terdapatnya upah dan gaji tertentu yang diperjanjikan dan suatu hubungan berdasarkan mana pihak majikan berhak memerintah pihak buruh yang harus ditaati oleh pihak yang belakangan ini.

Perjanjian pemborongan yang memborongkan dengan pihak yang menerima borongan, dimana pihak yang pertama itu akan menghendaki dilaksanakannya suatu pekerjaan oleh pihak kedua yang disanggupi oleh pihak kedua dengan menerima sesuatu yang ditentukan harganya.

Namun terdapat juga perbedaan diantara ketiganya dalam hal antara perjanjian perburuhan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu dalam hubungan antara pihak yang memberi pekerjaan dengan pihak yang menerima pekerjaaan.

Dalam perjanjian perburuhan terdapat hubungan kedinasan/perburuhan antara pihak yaitu hubungan antara atasan (majikan) dengan bawahan (buruh) sedangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan tidaklah demikian


(40)

karena pihak-pihak yang memborong bukanlah sebagai buruh seperti dalam perjanjian perburuhan. Namun pihak pemborong bekerja secara mandiri menurut ketentuan surat perjanjian yang mereka buat, pihak yang memborongkan berhak memberi petunjuk atau kebijaksanaan, kepada pemborong demi kelancaran pekerjaan tersebut.

Jadi kedua perjanjian di atas dibandingkan dengan perjanjian dalam melakukan jasa-jasa tertentu, maka perbedaannya pada soal imbalan yang diberikan dan diterima para pihak tersebut, kalau dalam perjanjian pempemborongan pekerjaan imbalan yang diberikan dan diterima para pihak tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu sedangkan dalam perjanjian melakukan jasa tidak diperjanjikan/dipersetujukan terlebih dahulu melainkan ditentukan berdasarkan tarif yang layak.

Di dalam melakukan pekerjaan, baik pekerjaan apapun itu, kita selalu berhadapan kepada resiko yang mungkin terjadi akibat pelaksanaan pekerjaan tersebut Resiko yang terjadi baik besar maupun kecil itu sebelumnya sudah harus kita perhitungkan dan kita telah mempersiapkan diri untuk menghadapinya dan juga berusaha menanggulanginya sedaya mampu kita.

Namun adakalanya kita tidak mampu menghindarinya sehingga kita harus menanggungnya sesuai dengan ketentuan siapa yang wajib menanggungnya. Demikian juga dengan resiko dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan pembangunan pasar, terdapat berbagai resiko yang harus ditanggung, baik oleh pihak pemborong maupun oleh pihak yang memborongkan pekerjaan itu, dan setiap resiko itu merupakan kerugian yang harus ditanggung para pihak.


(41)

Menurut Djaja S. Meliala, bahwa: persoalan risiko adalah akibat dari overmacht sebagaimana ganti rugi adalah akibat dari wanprestasi.21

Subekti, mengemukakan resiko adalah: “Kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”.22

Tetapi jika ternyata resiko tersebut memang ada dan kemudian karena kesalahan salah satu pihak, disini yang menanggung resiko tersebut adalah pihak yang telah membuat kesalahan tersebut. Dalam hal ini di luar kesalahan salah satu pihak sering merupakan kejadian yang tidak disangka-sangka terlebih dahulu, yang merupakan suatu keadaan yang memaksa yang disebut juga dengan force

majeur. “Persoalan resiko itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadaan

memaksa, suatu kejadian yang tidak disengaja dan tidak dapat diduga”.

Dari beberapa pengertian tersebut di atas ternyata resiko itu sama sekali disebutkan kejadian yang ada di luar kesalahan salah satu pihak atau dengan perkataan lain keadaan memaksa.

23

- Bencana alam, gempa bumi, banjir, taufan dan lainnya

Di dalam perjanjian pemborongan kerja, yang termasuk force majeur yang akibat-akibatnya di luar kesalahan para pihak baik langsung maupun tidak langsung yaitu:

- Kegoncangan moneter nasional/internasional yang mengakibatkan kecelakaan ekonomi secara umum, berobah dengan pengumuman resmi dari pemerintah.

Selanjutnya secara umum masalah resiko dalam perjanjian timbal balik

21

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang benda dan Hukum Perikatan, Bandung, Nuansa Aulia, 2007, hal. 104

22

R. Subekti, Op.Cit., hal. 59

23Ibid..


(42)

tidak ada diatur dalam KUH Perdata untuk mencegah penyelesaiannya adalah menurut kepantasan (billijk haid).

Azas kepantasan ini di dalam KUH Perdata dituangkan dalam ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata yang menyebutkan: Jika suatu barang tertentu yang telah diperjanjikan untuk ditukar, musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang diberikannya dalam tukar-menukar “.

Pasal 1553 KUH Perdata menyebutkan “ Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak sengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum “.

Adapun Pasal 1545 KUH perdata ini adalah mengenai suatu perjanjian tukar menukar sedangkan Pasal 1553 KUH Perdata adalah mengenai perjanjian sewa-menyewa. Kedua Pasal ini menyebutkan bahwa akibat suatu kejadian yang tidak disengaja atau di luar kesalahan para pihak maka suatu perjanjian menjadi gugur, dan Pasal 1553 KUH perdata lebih menekankan lagi yang menyatakan perjanjian tersebut gugur demi hukum.

Kedua peraturan mengenai resiko ini ditujukan bagi perjanjian timbal balik terutama Pasal 1545 KUH Perdata yaitu peraturan resiko terhadap perjanjian tukar-menukar.

Dari ketentuan Pasal 1553 KUH Perdata perkataan gugur demi hukum menyatakan bahwa masing-masing pihak sudah tidak lagi menuntut suatu apa dari pihak lawannya, hal mana bahwa kerugian akibat musnahnya barang yang


(43)

dipersewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan.

Sedangkan Pasal 1545 KUH Perdata tersebut meletakkan resiko pada pundak masing-masing pihak.

Sebagaimana disebut di atas bahwa mengenai ketentuan resiko dalam Pasal 1545 KUH Perdata dapat diperlakukan pula pada perjanjian timbal balik lainnya, maka dalam hal ini termasuk juga perjanjian pemborongan pekerjaan.

Dalam perjanjian pempemborongan pekerjaan, harus disebutkan mengenai masalah resiko ini dan siapa yang harus menanggungnya. Dalam KUH Perdata terdapat ketentuan yang mengatur mengenai masalah resiko ini, yaitu Pasal 1605 sampai dengan Pasal 1610, dan Pasal-Pasal mengenai resiko ini masih tetap berlaku dalam perjanjian pemborongan yang mereka buat.

Suatu perjanjian pemborongan pekerjaan dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut:

1. Apabila masa yang diperjanjikan itu telah berakhir.

Kalau dalam perjanjian kerja terdapat ketentuan batas waktu tertentu, baik batas waktu tertentu tadi dimuat dalam persetujuan, reglemen, undang-undang maupun berdasarkan adat kebiasaan, maka dalam hal seperti ini hubungan kerja akan berakhir apabila jangka waktu yang ditentukan sampai berakhirnya hubungan yang memuat ketentuan batas waktu tertentu adalah otomatis . Asal batas waktu tertentu tadi telah sampai, dengan sendirinya hubungan kerja berakhir. Para pihak tidak memerlukan adanya prosedur pernyataan pemutusan hubungan kerja. Kecuali persetujuan, reglemen, undang-undang atau adat kebiasaan menentukan adanya keharusan menyampaikan pernyataan


(44)

pemutusan hubungan kerja secara tertulis. Jika tidak ada ditentukan, hubungan kerja otomatis berakhir pada saat habisnya waktu yang telah ditetapkan.

2. Masa berakhirnya tanpa batas waktu.

Jika dalam perjanjian kerja maupun dalam reglemen kerja, undang-undang dan kebiasaan tidak menentukan batas waktu tertentu, pemutusan atau mengakhiri hubungan kerja, harus didahului dengan pernyataan pemutusan hubungan kerja. Dalam hubungan kerja tanpa batas waktu tertentu masing-masing pihak berhak mengakhiri hubungan kerja dengan prosedur menyampaikan pernyataan pemutusan atau pengakhiran kerja kepada pihak lainnya. Adapun pemberitahuan pernyataan pemutusan hubungan kerja hanya boleh dimajukan pada hari berakhirnya pada permulaan Januari. perjanjian yang memperbolehkan memajuan pernyataan pemutusan hubungan kerja di luar akhir kalender, dianggap batal oleh hukum dianggap tidak pernah berlaku. 3. Menurut Pasal 1661 KUH Perdata, pihak yang memborongkan dapat

mengakhiri pemborongannya secara sepihak dengan membayar ganti rugi kepada pihak pemborong.

Menurut azas hukum perdata, suatu perjanjian tidak boleh ditarik kembali secara sepihak, dan siapa yang diterima pihak lawannya sebagai akibat penarikan kembali perjanjian itu.

Juga pihak pemborong dapat menghentikan pekerjaan jika dia bersedia mengganti semua kerugian yang diderita oleh pihak yang memborongkan akibat penghentian pekerjaan tersebut.


(45)

menghentikan perjanjian pemborongan pekerjaan, melainkan pihak pemborong juga dapat menghentikan perjanjian tersebut dengan alasan dikemukakan mereka sendiri. Karena disini tidak ada kesalahan dari pihak lainnya atau pihak yang mereka putuskan hubungan perikatannya, maka wajib pihak yang memutuskan perikatan itu mengganti kerugian pihak yang diputuskan perikatannya itu. Adapun alasan mereka memutuskan perikatan secara sepihak itu adalah satu sama lainnya, jadi hanya mereka sendiri yang mengetahui alasan sebenarnya.

4. Dalam Pasal 1612 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian pempemborongan pekerjaan berhenti bekerja karena meninggalnya pemborong.

Namun pihak yang memborongkan wajib membayar kepada ahli waris pemborong seharga pekerjaan yang telah dikerjakan menurut imbangan terhadap harga pekerjaan yang telah diperjanjikan dalam persetujuan, serta harga-harga bangunan yang telah disediakan, sepanjang pekerjaan atau bahan bangunan tersebut dapat mempunyai sesuatu akan manfaat baginya. Dengan demikian suatu perjanjian pemborongan pekerjaan bukanlah termasuk suatu hal yang dapat diwariskan kepada ahli waris, jika para pihak tersebut meninggal dunia. Dan sebagai bahan perbandingan untuk itu, dapat diperhatikan Pasal 1318 KUH Perdata yang menyatakan: Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli warisnya, dan orang – orang yang memperoleh hak dari padanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan, bahwa


(46)

tidak sedemikian maksudnya.

B. Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Sebagai bentuk perjanjian tertentu, maka perjanjian pemborongan tidak terlepas dari dasar hukum yang merupakan ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam title I sampai dengan IV Buku III KUH Perdata. Dalam Buku III KUH Perdata, diatur mengenai ketentuan-ketentuan umum yang berlaku terhadap semua perjanjian yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata maupun jenis perjanjian baru yang belum ada aturannya dalam Undang-undang.

Sebagai dasar perjanjian pemborongan bangunan KUHPerdata mengatur dalam Pasal 1601 butir (b) yang berbunyi: “Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”.

Menurut Subekti, pemborongan pekerjaan (aanneming van werk) ialah suatu perjanjian, dimana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula.24

24

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Bandung, 1987, hal.174

Pemborongan pekerjaan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak yang menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan. Disini tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang memborong pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil


(47)

dari pekerjaan tersebut, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan kwalitas/kwantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup, yaitu antar pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan umum atau tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah dimana harus diadakan pelelangan. Kontrak kerja bangunan dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu:

1. Kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, sedangkan bahan-bahannya disediakan oleh pemberi tugas.

2. Kontraktor melakukan pekerjaan dan juga menyediakan bahan-bahan bangunan.

Dalam hal kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, jika barangnya musnah sebelum pekerjaan diserahkan, maka ia bertanggung jawab dan tidak dapat menuntut harga yang diperjanjikan kecuali musnahnya barang itu karena suatu cacat yang terdapat di dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1606 dan 1607 KUH Perdata.

C. Penyediaan Makanan Sebagai Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Penyediaan makanan dalam penelitian ini adalah suatu kewajiban kepada pihak pemborong untuk menyediakan makanan dalam peruntukan jumlah tertentu, jam tertentu serta menu tertentu. Sebagai suatu bentuk perjanjian maka perjanjian penyediaan makanan ini digolongkan kepada perjanjian pemborongan pekerjaan.,


(48)

yaitu adanya pekerjaan penyediaan makanan yang diborongkan kepada pemborong.

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan pekerjaan penyediaan makanan mirip dengan perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan pihak lain berupa pekerjaan penyediaan makanan dengan pembayaran tertentu. 25

Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dengan majikan. Pada pemborongan pekerjaan penyediaan makanan dan perjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya secara mandiri.26

Pemborong bertanggungjawab dalam jangka waktu tertentu, pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti adanya cacat ataupun

Ketentuan pemborongan pada umumnya diatur dalam Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617 KUH Perdata. Perjanjian pemborongan pekerjaan penyediaan makanan juga memperhatikan berlakunya ketentuan-ketentuan perjanjian untuk melakukan pekerjaan, khususnya bagi bangunan yang diatur dalam KUH Perdata yang berlaku sebagai hukum pelengkap peraturan tersebut pada umumnya mengatur tentang hak-hak dan kewajiban pemborong yang harus diperhatikan baik pada pelaksanaan perjanjian, dan berakhirnya perjanjian.

25

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Alumni, 1985, hal. 57

26

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan, Yogyakarta, Liberty, 1982, hal. 52


(49)

kegagalan pekerjaan penyediaan makanan. Dalam prakteknya pemborong bertanggungjawab sampai masa pemeliharaan sesuai dengan yang tertulis dikontrak.

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Di Dalam Perjanjian Pemborongan

Mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan pekerjaan ini adalah meliputi:

1. Pihak Pemberi Pekerjaan Pemborongan:

Hak pemberi tugas dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu :

a. Hak utama yaitu menerima hasil pekerjaan secara utuh dan sesuai ketentuan yang dibuat dalam perjanjian diterima sesuai dengan keinginan pihak pemberi tugas dan diselesaikan sesuai jadwal waktunya.

b. Hak tambahan adalah :

- Mengetahui jalannya pekerjaan pemborongan di lapangan

- Mengecek jalannya pelaksanaan pekerjaan di lapangan apakah sudah sesuai dengan perjanjian atau tidak.

- Memperoleh laporan bulanan mengenai hasil kemajuan pekerjaan Kewajiban pihak pemberi kejera (owner) dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu :

a. Kewajiban utama adalah melakukan pembayaran sesuai dengan nilai kontrak dari pihak pemborong jika pemborong telah menyelesaikan pekerjaannya.


(50)

- Membayar uang maka pekerjaan (down payment) kepada pihak pemborong setelah menerima jaminan pelaksanaan dari pihak pemborong.

- Memberikan pengarahan dan bimbingan apabila dalam pelaksanaan pekerjaan lapangan terdapat hal-hal menyimpang di luar isi perjanjian. - Memberikan biaya tambahan atas kenaikan harga atau jasa sehubungan

dengan pekerjaan tersebut. 2. Pihak Pemborong

1) Hak pihak pemborong dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu:

a. Hak utama adalah menerima pembayaran sebesar nilai kontrak dari pihak pemberi tugas

b. Hak tambahan adalah :

- Hak mendapatkan uang muka (down payment) dari pihak pemberi borongan pekerjaan bangunan sesuai dengan yang diperjanjikan. - Berhak menuntut tambahan biaya atas kenaikan harga barang atau

jasa sehubungan dengan perkerjaan itu dengan syarat telah mendapat ijin dari pemberi borongan pekerjaan tentang klaim yang diajukan pihak pemborong

- Mendapat pengarahan dan bimbingan dari pemberi tugas dalam melaksanakan pekerjaan pemborongan bangunan

- Mencari tambahan dana dari pihak ketiga

2) Kewajiban pihak pemborong pekerjaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu :


(51)

a. Kewajiban utama adalah menyelesaikan pekerjaan pemborongan pekerjaan bangunan yang diberikan pihak pemberi borongan pekerjaan.

b. Kewajiban tambahan, antara lain meliputi :

- Menaati dan melaksanakan ketentuan umum yang berlaku di Indonesia termasuk ketentuan mengenai hubungan ketenagakerjaan dan keselamatan kerja.

Harus menyelesaikan pekerjaannya sendiri, tidak boleh menyerahkan atau menguasakan secara keseluruhan kepada pihak ketiga

- Mengadakan tindakan preventif agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan cara yang benar dan tidak membahayakan keselamatan, baik bagi para pekerja atau yang berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.

- Pemborong wajib mengasuransikan tenaga kerjanya dan harus melaporkan pada pemberi tugas.

- Melakukan pekerjaan pemeliharaan pekerjaan selama 30 (tiga puluh) hari sejak penyerahan pertama dilakukan

- Membuat laporan setengah harian dan setengah bulan atas kemajuan fisik yang dicapai dalam pelaksanaan pekerjaan

- Mengadakan pemberitahuan secara tertulis apabila terjadi force majeure pada pihak pemberi tugas.


(52)

pemborong wajib memberitahukan pada pemberi tugas dan pemborong wajib bertanggung jawab atas kekurangan serta keamanan dan konstruksi hasil pekerjaan, sehingga jika pekerjaan yang tidak baik, pemborong masih berkewajiban memperbaiki atas biaya pemborong sampai baik dan diterima pihak pemberi tugas.

E. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Bagi Kedua Belah Pihak

Suatu perjanjian pemborongan pekerjaan dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut :

1. Apabila masa yang diperjanjikan itu telah berakhir.

Kalau dalam perjanjian kerja terdapat ketentuan batas waktu tertentu, baik batas waktu tertentu tadi dimuat dalam persetujuan, reglemen, undang-undang maupun berdasarkan adat kebiasaan, maka dalam hal seperti ini hubungan kerja akan berakhir apabila jangka waktu yang ditentukan sampai berakhirnya hubungan yang memuat ketentuan batas waktu tertentu adalah otomatis . Asal batas waktu tertentu tadi telah sampai, dengan sendirinya hubungan kerja berakhir. Para pihak tidak memerlukan adanya prosedur pernyataan pemutusan hubungan kerja. Kecuali persetujuan, reglemen, undang-undang atau adat kebiasaan menentukan adanya keharusan menyampaikan pernyataan pemutusan hubungan kerja secara tertulis. Jika tidak ada ditentukan, hubungan kerja otomatis berakhir pada saat habisnya waktu yang telah ditetapkan.27

27

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Penerbit Alumni, 1986, hal. 255


(53)

2. Masa berakhirnya tanpa batas waktu.

Jika dalam perjanjian kerja maupun dalam reglemen kerja, undang-undang dan kebiasaan tidak menentukan batas waktu tertentu, pemutusan atau mengakhiri hubungan kerja, harus didahului dengan pernyataan pemutusan hubungan kerja. Dalam hubungan kerja tanpa batas waktu tertentu masing-masing pihak berhak mengakhiri hubungan kerja dengan prosedur menyampaikan pernyataan pemutusan atau pengakhiran kerja kepada pihak lainnya. Adapun pemberitahuan pernyataan pemutusan hubungan kerja hanya boleh dimajukan pada hari berakhirnya pada permulaan Januari. perjanjian yang memperbolehkan memajuan pernyataan pemutusan hubungan kerja di luar akhir kalender, dianggap batal oleh hukum dianggap tidak pernah berlaku. 3. Menurut pasal 1661 KUH Perdata, pihak yang memborongkan dapat

mengakhiri pemborongannya secara sepihak dengan membayar ganti rugi kepada pihak pemborong.

Menurut azas hukum perdata, suatu perjanjian tidak boleh ditarik kembali secara sepihak, dan siapa yang diterima pihak lawannya sebagai akibat penarikan kembali perjanjian itu.

Juga pihak pemborong dapat menghentikan pekerjaan jika dia bersedia mengganti semua kerugian yang diderita oleh pihak yang memborongkan akibat penghentian pekerjaan tersebut.

Jadi disini tidak melulu pihak yang memborongkan saja yang dapat menghentikan perjanjian pemborongan pekerjaan, melainkan pihak pemborong juga dapat menghentikan perjanjian tersebut dengan alasan


(54)

dikemukakan mereka sendiri. Karena disini tidak ada kesalahan dari pihak lainnya atau pihak yang mereka putuskan hubungan perikatannya, maka wajib pihak yang memutuskan perikatan itu mengganti kerugian pihak yang diputuskan perikatannya itu. Adapun alasan mereka memutuskan perikatan secara sepihak itu adalah satu sama lainnya, jadi hanya mereka sendiri yang mengetahui alasan sebenarnya.

4. Dalam Pasal 1612 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian pempemborongan pekerjaan berhenti bekerja karena meninggalnya pemborong.

Namun pihak yang memborongkan wajib membayar kepada ahli waris pemborong seharga pekerjaan yang telah dikerjakan menurut imbangan terhadap harga pekerjaan yang telah diperjanjikan dalam persetujuan, serta harga-harga bangunan yang telah disediakan, sepanjang pekerjaan atau bahan bangunan tersebut dapat mempunyai sesuatu akan manfaat baginya. Dengan demikian suatu perjanjian pemborongan pekerjaan bukanlah termasuk suatu hal yang dapat diwariskan kepada ahli waris, jika para pihak tersebut meninggal dunia. Dan sebagai bahan perbandingan untuk itu, dapat diperhatikan Pasal 1318 KUH Perdata yang menyatakan :

Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli warisnya, dan orang–orang yang memperoleh hak dari

padanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan, bahwa tidak sedemikian maksudnya.


(55)

BAB III

PERJANJIAN PEMBORONGAN KERJA PENYEDIAAN MAKANAN

A. Para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan

Kementerian Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara adalah suatu panti sosial yang memiliki tugas dan peran dalam hal melakukan rehabilitasi terhadap masyarakat pemakai dan kecanduan penggunaan narkotika dan obat terlarang. Sebagai suatu panti sosial maka selain memberikan rehabilitasi terhadap masyarakat pemakai dan kecandungan penggunaan narkotika dan obat terlarang maka panti sosial juga harus menyediakan sarana dan prasana lainnya yang dapat menopang pelaksanaan rehabilitasi tersebut.

Salah satu sarana dan prasarana lainnya tersebut adalah pengadaan bahan makanan untuk masyarakat yang direhabilitasi di panti sosial tersebut. Disebabkan fokus dari pekerjaan Kementerian Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara adalah pelaksanaan rehabilitasi maka pengadaan makanan untuk masyarakat yang direhabilitasi disediakan oleh pihak lain yang dioverkontrakkan oleh panti sosial yang pada penelitian ini dilakukan oleh CV. Tri Putra Manunggal.

Disebabkan pekerjaan pengadaan bahan makanan untuk penerima manfaat antara Kementerian Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara dengan CV. Tri Putra Manunggal adalah merupakan suatu perjanjian, maka diaturlah oleh para pihak isi perjanjian yang dapat menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak


(56)

dalam perjanjian kerja pengadaan bahan makanan untuk penerima manfaat.

Adapun para pihak dalam perjanjian kerja pengadaan bahan makanan untuk penerima manfaat tersebut adalah:

1. Drs. Ahd. Sulaiman, NIP: 19650813991031004, selaku Kasubbag Tata Usaha selaku Pejabat Pembuat Komitmen Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara yang beralamat di Jalan Berdikari No. 37 Desa Lau Bakeri, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan surat keputusan KPA Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara Nomor: 23/TU-PSPP/1/2013 tanggal 31 Januari 2013 tentang penunjukan pejabat pembuat komitmen Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara Tahun Anggaran 2013, dalam hal ini bertindak atas nama dan Pemerintah Republik Indonesia/Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.

2. Pihak lainnya dalam perjanjian kerja pengadaan bahan makanan untuk penerima manfaat adalah Faisal P. Simatupang, SE, selaku Wakil Direktur CV. Tri Putra Manunggal, alamat Jl. Pelita IC Gg. Pelita No. 1-B Medan, Yang didirikan berdasarkan hukum Republik Indonesia dengan akta Notaris Nomor 06 tanggal 05 Januari 2006, Notaris Farida Hanum, SH, SpN, dan akta perubahan No. 33 tanggal 11 Juni 2009, oleh Notaris Farida Hanum, SH, SpN, di Medan di Medan, bertindak untuk dan atas nama CV. Tri Putra Manunggal, yang selanjutnya dalam hal ini disebut sebagai Pihak kedua.


(57)

B. Bentuk Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan

Bentuk perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan yang dilakukan oleh para pihak dilakukan secara tertulis. Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah piha, yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai suatu karya dan harga borongan/kontrak.

Dengan adanya kata sepakat tersebut, perjanjian pemborongan mengikat kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lainnya.

Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian pemborongan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Dalam prakteknya, apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil, biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan dengan biaya agak besar maupun besar, perjanjian pemborongan dibuat secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik (akta notaris).

Perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak menjamin adanya kepastian bahwa kesepakatan yang telah disepakati bersama dapat ditepati dengan sebaik-baiknya. Perjanjian bisa dibuat secara lisan maupun tulisan, namun kekuatan perjanjian lisan sangatlah lemah sehingga apabila terjadi sengketa diantara kedua pihak yang berjanji akan sulit membuktikan kebenarannya.

Untuk hal-hal yang sangat penting orang lebih memilih perjanjian secara tertulis atau dengan surat perjanjian sebagai bukti hitam diatas putih demi


(58)

keamanan. Dalam surat perjanjian biasanya berisi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling mengikatkan diri untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Selain kedua belah pihak, dalam surat perjanjian kadang melibatkan pihak ke tiga untuk menguatkan perjanjian tersebut.

Secara klasifikasi surat perjanjian dibagi 2 jenis yaitu :

1. Perjanjian autentik, yaitu perjanjian yang disaksikan oleh pejabat pemerintah. 2. Perjanjian dibawah tangan, yaitu perjanjian yang tidak disaksikan oleh pejabat

pemerintah.

Namun demikian klasifikasi diatas tidak ada hubungannya dengan keabsahan sebuah surat perjanjian. Surat perjanjian tanpa notaris tetap sah selama memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Dalam surat perjanjian selain mencantumkan persetujuan mengenai batas-batas hak dan kewajiban masing-masing pihak, surat tersebut juga menyatakan jalan keluar yang bagaimana, yang akan ditempuh, seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Jalan keluar disini bisa pemberian sanksi, ganti rugi, tindakan administrasi, atau gugatan ke pengadilan.

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan

Sebagaimana telah ditentukan sebelumnya di dalam Pasal 1320 KUH Perdata bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.


(1)

perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian, yang perlu diperhatikan ialah bahwa risiko dibagi dua antar kedua belah pihak.

Kecuali apabila perubahan keadaan itu praktis sangat berat bagi salah satu pihak untuk memenuhi perjanjiannya kita selalu berhadapan dengan dengan keadaan memaksa (overmacht).


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan hukum penyediaan makanan sebagai perjanjian pemborongan kerja tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan seperti Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahan serta Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan yang terakhir KUH Perdata.


(3)

antara dilakukan kepada Pihak Kedua setelah bahan makanan tersebut atau hasil pekerjaan lengkap/sesuai dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) Bahan Makanan melalui Kantor KPPN Medan ke Rekening Pihak Kedua Nomor: 0694-01-000031-15-5 pada PT. Bank Rakyat Indonesia Capem Krakatau Medan dan NPWP: 02.444.303.8-113.000 dengan mengikuti ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang berlaku termasuk pemotongan pajak-pajak dan lain-lain.

3. Akibat hukum apabila pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian pemborongan kerja penyediaan makanan maka kepada pihak yang lalai dikatakan sebagai perbuatan wanprestasi dan dapat dikenakan pembayaran denda, hutang pokok serta bunga.

B. Saran

1. Dalam melakukan perjanjian pengadaan bahan makanan untuk penerima manfaat PSPP Insyaf Sumut untuk tahun-tahun berikutnya hendaknya pihak penerima pekerjaan janganlah terlalu memandang nilai dari pekerjaan yang akan dilaksanakan tetapi memandang dari segi kepuasan pihak pemberi pekerjaan apabila pekerjaan tersebut telah diselesaikan. Dengan hal tersebut maka saling mempercayai akan terpupuk dengan baik.

2. Kepada pihak pemberi pekerjaan juga disarankan hendaklah pembayaran dapat dilakukan sesegera mungkin apabila pekerjaan perjanjian pengadaan bahan makanan untuk penerima manfaat PSPP Insyaf Sumut telah selesai dilaksanakan seperti yang diperjanjikan, sehingga dengan dana yang telah


(4)

dibayarkan secepatnya tersebut pihak pelaksana kerja dapat dengan cepat melakukan efisiensi bagi pengembangan perusahaan.

3. Apabila terjadi perselisihan hendaknya para pihak dapat menyelesaikannya secara musyawarah dan mufakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur:

Muhammad Abdulkadir, 1986, Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni.

Wijayanti Asri, 2011, Strategi Penulisan Hukum, Bandung, Lubuk Agung. Nasional Pendidikan Departemen, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,

Balai Pustaka.

Meliala S Djaja, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang benda dan Hukum Perikatan, Bandung, Nuansa Aulia.

Djumiladi FX, 1995, Perjanjian pemborongan, Jakarta, Rineka Cipta. Darmawi Herman, 2000, Manajemen Asuransi, Jakarta, Bumi Aksara.

Satrio J, 1999, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni. Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Yang Lahir Dari

Perjanjian, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

___________. 2003. Kebendaan Pada Umumnya. Jakarta, Kencana.

Badrulzaman Darus Mariam, 2005, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Alumni. Patrik Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir

Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Bandung, Mandar Maju. Subekti R, 2005, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa.

_________. 1984, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung, Alumni. ProdjodikoroWirjono, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung, Mandar

Maju.

B. Peraturan Perundang-Undangan:


(6)

C. Internet/Jurnal/Putusan

Notaris Nurul Muslimah Kurniati. “Kontrak Dan Perikatan”. Melalui

Universitas Sumatera Utara. “Tinjauan Umum Tentang Kompensasi”. melalui