b. Mastodinia
c. Mittelschmerz rasa nyeri pada ovulasi
d. Dismenore
2.3. Dismenore 2.3.1. Definisi dismenore
Menurut Merck Manual for Healthcare Professionals, dismenore didefinisikan oleh sebagai sensasi nyeri sekitar masa menstruasi. Onset nyeri
boleh terjadi semasa menstruasi atau 1 hingga 3 hari sebelum menstruasi. Nyeri biasanya mencapai puncak dalam masa 24 jam selepas onset dan hilang dalam
masa 2 hingga 3 hari. Rasa nyeri biasanya bersifat kram pada abdomen bawah sering bersamaan dengan gejala lain seperti keringat, takikardia, sakit kepala,
mual, muntah, diare dan tremor.
2.3.2. Epidemiologi
Prevalensi dismenore paling tinggi terdapat pada remaja wanita, dengan perkiraan antara 20-90, tergantung pada metode pengukuran yang digunakan.
Sekitar 15 remaja wanita dilaporkan menderita dismenore berat. Dismenore merupakan penyebab tersering ketidakhadiran jangka pendek yang berulang pada
remaja wanita di Amerika Serikat. Sebuah studi longitudinal secara kohort pada wanita Swedia ditemukan prevalensi dismenore adalah 90 pada wanita usia 19
tahun dan 67 pada wanita usia 24 tahun. Sepuluh persen dari wanita usia 24 tahun yang dilaporkan tersebut mengalami nyeri yang sampai mengganggu
kegiatan sehari-hari, dan 75-85 wanita yang mengalami dismenore ringan. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa 51 wanita tidak hadir di sekolah ataupun
pekerjaan paling tidak sekali dan 8 wanita tidak hadir di sekolah atau kerja setiap kali mengalami menstruasi. Lebih lanjut, wanita dengan dismenore
mendapatkan nilai lebih rendah di sekolah dan lebih susah beradaptasi dengan lingkungan sekolah daripada wanita tanpa dismenore Abbaspour et al, 2006.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Klasifikasi dismenore
Dismenore terbagi atas: 1.
Dismenore primer esensial, intrinsik, idiopatik, tidak terdapat hubungan dengan kelainan ginekologik. Dismenore primer terjadi beberapa waktu
setelah menarche biasanya setelah 12 bulan atau lebih, oleh karena siklus- siklus menstruasi pada bulan-bulan pertama setelah menarche umumnya
bersifat anovulatoar yang tidak disertai dengan rasa nyeri. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama dengan permulaan haid
dan berlangsung untuk beberapa jam sehari, walaupun pada beberapa kasus dapat berlangsung beberapa hari.
2. Dismenore sekunder ekstrinsik, yang diperoleh, acquired, disebabkan
oleh kelainan ginekologik seperti salpingitis kronika, endometriosis, stenosis servisis uteri dan lain-lain. Wiknjosastro, 2005
2.3.4. Patofisiologi Dismenorrhea
Banyak teori yang telah dikemukakan untuk menerangkan penyebab dismenore primer, tetapi patofisiologinya belum jelas dimengerti. Beberapa faktor
memegang peranan sebagai penyebab dismenore, antara lain: 1.
Faktor kejiwaan: Pada gadis-gadis yang secara emosional tidak stabil 2.
Faktor konstitusi: Faktor ini, yang erat hubungannya dengan faktor kejiwaan, dapat juga menurunkan ketahanan terhadap nyeri. Faktor-faktor
seperti anemia, penyakit menahun, dan sebagainya dapat mempengaruhi timbulnya dismenore.
3. Faktor obstruksi kanalis servikalis: Salah satu teori yang paling tua untuk
menerangkan terjadinya dismenore primer ialah stenosis kanalis servikalis. Pada wanita dengan uterus dalam hiperantefleksi mungkindapat terjadi
stenosis kanalis servikalis, akan tetapi hal ini sekarang tidak dianggap sebagai faktor yang penting sebagai penyebab dismenore. Banyak wanita
menderita dismenore tanpa stenosis kanalis servikalis dan tanpa uterus dalam posisi hiperantefleksi. Sebaliknya, terdapat banyak wanita tanpa
keluhan dismenore, walaupun ada stenosis servikalis dan uterus terletak
Universitas Sumatera Utara
dalam hiperantefleksi. Mioma submukosum bertangkai atau polip endometium dapat menyebabkan dismenore karena otot-otot uterus
berkontraksi keras dalam usaha untuk mengeluarkan kelainan tersebut. 4.
Faktor endokrin: Kejang yang terjadi pada dismenore primer terjadi disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan. Novak dan Reynolds
yang melakukan penelitian pada uterus kelinci berkesimpulan bahwa hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus, sedangkan hormon
progesteron menghambat atau mencegahnya. Penjelasan oleh Clitheroe dan Pickles menyatakan bahwa karena endometrium dalam fasa sekresi
memproduksi prostaglandin F2 yang menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika jumlah prostaglandin yang berlebihan dilepaskan ke peredaran
darah, maka selain dismenore, dijumpai efek umum seperti diare, nause, muntah, flushing.
5. Faktor alergi; Teori ini dikemukankan setelah memperhatikan adanya
asosiasi antara dismenore dengan urtikaria, migraine atau asma bronkhiale. Smith menduga bahwa sebab alergi adalah toksin menstruasi.
Penyelidikan dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan kadar prostaglandin memegang peranan penting dalam etiologi dismenore
primer. Wiknjosastro, 2005
2.3.5. Tingkat Keparahan Dismenore Kamonsak, 2004