terkait Bappeda dan Dinas Kelautan dan Perikanan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat, pada umunya memiliki komitmen untuk
mendukung program daerah perlindungan laut Pulau Sebesi. Namun demikian, sesuai dengan fungsi dan peran dari masing-masing lembaga akan memberikan
komitimen dan bantuan sesuai dengan fungsinya. Lembaga-lembaga pemerintah pada tingkat propinsi akan lebih fokus pada fungsi koordinasi, sedangkan pada
tingkat kabupaten akan memberikan bantuan melalui integrasi program-program lembaga yang mendukung program daerah perlindungan laut tersebut. Demikian
juga dengan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi akan membantu sesuai dengan fungsi dan peran, seperti bantuan teknis dan ilmiah oleh Perguruan
Tinggi dan penguatan keswadayaan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Hingga tahun 2007, beberapa lembaga telah memberikan dukungan
program pengelolaan sumberdaya laut Pulau Sebesi, seperti Telapak melaui program peningkatan kualitas sumberdaya manusia, Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung serta Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan melalui pengembangan program transplantasi karang.
c. Partisipasi
stakeholder utama
Indikator lainnya dari efektifitas pengelolaan DPL Pulau Sebesi adalah kepedulian dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam perlindungan
sumberdaya laut. Dalam konteks keterlibatan masyarakat dalam suatu program pengelolaan pesisir, terdapat tiga tingkatan partisipasi, yaitu partisipasi sebatas
pada memberi informasi tingkat informasi, partisipasi sebatas target konsultasi, dan partisipasi sebagai pemilik program. Dalam pengembangan daerah
perlindungan laut Pulau Sebesi, partisipasi tingkat informasi terjadi pada saat inisiator program akan memilih satu pulau dari beberapa pulau untuk dijadikan
lokasi implementasi program. Partisipasi tingkat konsultasi terjadi pada saat inisiator baru memulai menempatkan penyuluh lapangan di Pulau Sebesi,
sedangkan partisipasi tingkat pemilik terjadi pada saat inisiator sudah membentuk Kelompok Badan Pengelola. Setelah berjalan sekitar setahun, inisiator program
telah membentuk Badan Pengelola daerah perlindungan laut yang beranggotakan 22 orang yang berasal dari masyarakat Pulau Sebesi.
Semenjak dibentuk, Badan Pengelola inilah yang melaksanakan kegiatan- kegiatan yang berkaitan dengan program daerah perlindungan laut Pulau Sebesi.
Inisiator program melalui staf penyuluh lapangan hanya menjadi pendamping dalam meningkatkan kemampuan dari setiap anggota Badan Pengelola. Dengan
demikian, tingkat partisipasi dari stakeholder dalam program daerah perlindungan laut ini adalah sebagai pemilik dan diharapkan mampu menjalin kerjasama antar
lembaga yang ada di Pulau Sebesi sehingga tercipta sistem pengelolaan yang terpadu di antara komponen stakeholder.
4. Aspek kelembagaan
a. Peningkatan kapasitas institusi setempat
Kapasitas institusi setempat dapat dilihat dari institusi yang dibentuk khusus untuk mengelola DPL dan institusi yang sudah ada dan memiliki peran
terhadap pengelolaan pesisir Pulau Sebesi. Kapasitas institusi mencakup ketersediaan perangkat pengelola DPL, ketersediaan aturan pengelolaan DPL,
program monitoring dan evaluasi, serta kemampuan anggota badan pengelola menjaring bantuan. Sejak DPL Pulau Sebesi dibentuk, juga telah dilengkapi
perangkat pengelola yang disebut Badan Pengelola DPL Pulau Sebesi. Badan Pengelola ini juga dilengkapi dengan aturan-aturan pengelolaan dan pembagian
tugas seksi-seksi. Anggota badan pengelola ini melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi program DPL, bahkan secara aktif melakukan rehabilitasi terumbu
karang. Kemampuan Badan Pengelola DPL dalam mengusulkan program ke Pemerintah Daerah juga cukup baik. Berdasarkan usulan Badan Pengelola Dinas
Kelautan Kabupaten Lampung Selatan mengembangkan program konservasi dan rehabilitasi di Pulau Sebesi.
Selain Badan Pengelola DPL Pulau Sebesi, institusi lainnya yang ada di Pulau Sebesi adalah terdiri dari intitusi formal dan non formal. Institusi formal
yang ada antara lain adalah Rukun Nelayan, Karang Taruna, Koperasi Tani dan Nelayan, dan Seksi Keamanan, sedangkan institusi non formal adalah Sikam
Salamban, Sikam Muahi, dan Risma. Rukun Nelayan Mina Bahari Pulau Sebesi merupakan organisasi nelayan yang ada di Pulau Sebesi yang beranggotakan
sekitar 100 orang nelayan. Organisasi ini merupakan organisasi yang melakukan pembinaan akan arti penting lingkungan dan wadah aspirasi bagi anggotanya.
Karang Taruna merupakan organisasi pemuda yang ada di Desa Tejang. Koperasi Tani dan Nelayan merupakan koperasi yang ada di Desa Tejang yang saat ini
belum aktif dan hanya mengelola hasil Nilam dengan modal dari investor yang berasal dari Jakarta. Keamanan Laut merupakan organisasi yang dibentuk oleh
desa di tiap-tiap dusun pada tahun 1999 atas dasar kesadaran masyarakat akan arti pentingnya penjagaan lingkungan dari pengrusakan. Organisasi ini bertugas
untuk menjaga laut dari pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh nelayan luar atau pun nelayan Pulau Sebesi itu sendiri.
b. Penguatan sumberdaya manusia
Pengembangan daerah perlindungan laut Pulau Sebesi juga diikuti program peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, pendampingan dan
penyediaan bantuan teknis. Program peningkatan kapasitas sumberdaya manusia yang telah dilaksanakan adalah 1 pengiriman anggota masyarakat ke Sulawesi
Utara untuk studi banding tentang Pengelolaan Terumbu Karang di Desa Blongko, Talise, dan Taman Nasional Bunaken; 2 pelatihan pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat untuk penyiapan kader di Desa Tejang Sebesi dan Pematang Pasir; 3 pelatihan pengolahan hasil perikanan tradisional;
dan 4 pelatihan monitoring manta tow. Program-program di atas, secara langsung atau tidak langsung telah meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia
di Pulau Sebesi, terutama dalam hal a terbentuknya Badan Pengelola daerah perlindungan laut; b kemampuan masyarakat membuat aturan pengelolaan
daerah perlindungan laut; dan c kemampuan memahami permasalahan pengelolaan terumbu karang monitoring terumbu karang.
Program lain yang dilakukan adalah program pendampingan masyarakat yang akan membantu masyarakat setempat dalam mempersiapkan upaya-upaya
pengelolaan sumberdaya pesisir, yaitu 1 penempatan Extension Officer penyuluh lapangan dari luar Pulau Sebesi satu orang mulai dari awal sampai
akhir; dan 2 pengangkatan asisten penyuluh lapangan dari masyarakat setempat dua orang. Penyuluh lapangan berfungsi sebagai jembatan antara manajemen
proyek dan masyarakat desa. Tugas penyuluh lapangan adalah a fasilitator dan mediator antara proyek pesisir, pemerintah dan masyarakat; b membantu proses
pelaksanaan proyek dengan bantuan asisten dan tanggungjawab terhadap proyek; dan c membangun motivasi masyarakat desa dalam upaya pengelolaan pesisir.
Selain program pendampingan, peningkatan kapasitas SDM juga dilakukan melalui penyediaan bantuan teknis. Bantuan teknis yang telah
dilakukan adalah a tenaga asistensi monitoring terumbu karang Mahasiswa IPB; b pelatihan pengolahan ikan dan c pelatihan tentang organisasi.
Pelatihan monitoring terumbu karang dimaksudkan untuk memberikan keterampilan kepada masyarakat dan pengelola daerah perlindungan laut
bagaimana melakukan monitoring terumbu karang. Pelatihan organisasi dilaksanakan oleh Yayasan Mitra Bentala yang bertujuan untuk memberikan
pengetahuan kepada masyarakat tentang berorganisasi dan pemahaman tentang posisi kekuatan dari suatu organisasi, sedangkan pelatihan pengolahan ikan
dilaksanakan oleh Jurusan Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan
keterampilan bagi ibu-ibu bagaimana mengolah ikan dengan mutu yang baik.
c. Hubungan dengan donor lain
Sejak fasilitator DPL Sebesi Proyek Pesisir berakhir, maka diperlukan bantuan atau sumber-sumber pendanaan lainnya untuk membantu pengembangan
DPL ini. Salah satu sumber pendanaan yang diharapkan adalah adanya hubungan kerja dengan pihak Swasta. Upaya ini pernah direalisasikan namun berhenti
karena kendala teknis. Sumber pendanaan lainnya yang diharapkan adalah bantuan dari lembaga donor baik LSM internasional maupun lokal. Bantuan
pendanaan pernah diberikan oleh Yayasan Telapak kepada badan pengelola, dimana bantuan ini hanya berjalan selama satu tahun. Ringkasan penilaian
keberlanjutan DPL Sebesi disajikan pada Lampiran 6.
5.3.1.3 APL Pulau Harapan
1. Aspek ekologi dan lingkungan
a. Dampak terhadap kualitas terumbu karang
Sejak dua tahun lalu APL Pulau Harapan ditetapkan sebagai kawasan konservasi di Kelurahan Pulau Harapan, namun belum memberikan perubahan
yang signifikan terhadap perbaikan kualitas terumbu karang. Bahkan berdasarkan data tahun 2006 dan 2007, terlihat adanya penurunan kualitas tutupan karang.
Data tahun 2006, kualitas tutupan karang hidup di kawasan APL berkisar antara 55- 60, sedangkan data tahun 2007 menunjukkan kualitas tutupan karang hanya
sekitar 51. Hal ini menunjukkan bahwa program APL belum memberikan dampak signifikan bagi perbaikan kualitas terumbu karang.
Pengembangan APL juga belum memberikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas yang merusak ekosistem terumbu karang. Aktivitas
penambangan karang di sekitar Pulau Harapan masih terus dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat mengganggap bahwa karang yang ditambang adalah
karang mati, yang menurut mereka tidak menjadi masalah untuk ditambang. Anggota Badan Pengelola APL Pulau Harapan tidak dapat memberhentikan atau
melarang masyakat untuk melakukan kegiatan penambangan karang ini. Aktivitas lainnya yang masih dilakukan oleh masyarakat adalah penggunaan potas atau
sianida. Meskipun ada kecenderungan aktivitas ini sudah berkurang. Namun masuh sering dilakukan oleh masyarakat di tempat-tempat tertentu.
Penggunaan alat tangkap dasar di sekitar Pulau Harapan juga banyak dilakukan, meskipun alat tangkap dasar yang digunakan bersifat pasif, yaitu alat
tangkap bubu. Berbeda dengan alat tangkap dasar yang digunakan oleh nelayan di sekitar Pulau Sebesi, yang menggunakan alat tangkap dasar aktif yaitu gardan.
Secara keseluruhan, pengembangan APL Pulau Harapan ini belum memberikan dampak yang signifikan bagi perbaikan kualitas terumbu karang.
b. Dampak terhadap sumberdaya ikan karang
Sama halnya dengan dampak terhadap perbaikan kualitas terumbu karang, dampak APL Pulau Harapan terhadap peningkatan ikan karang belum
memberikan hasil yang signifikan. Pengembangan APL Pulau harapan belum mampu menghentikan aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan dengan teknik-
teknik yang merusak lingkungan, seperti penggunaan sianida, penggunaan alat tangkap dasar dan juga penambangan karang.
c. Dampak terhadap perbaikan lingkungan
Pengembangan APL Pulau Harapan juga belum memberikan dampak yang berarti bagi perbaikan kualitas lingkungan. Meskipun sudah ada program-
program perbaikan lingkungan yang dilakukan seperti penanaman mangrove dan transplantasi karang, namun belum merupakan program terpadu dari
pengembangan APL Pulau Harapan ini. Maraknya aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, mencerminkan dampak program ini terhadap perbaikan
lingkungan masih rendah. Masyarakat menambang karang untuk dijadikan bahan bangunan dan juga diperjual belikan dengan harga sekitar Rp. 60 000,-m
3
.
2. Aspek sosial ekonomi dan budaya
a. Kesesuaian dengan aspek sosial masyarakat
Kesesuaian program APL Pulau Harapan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat dilihat dari kondisi sosial ekonomi dan juga kaitannya dengan mata
pencaharian masyarakat. Secara umum, masyarakat Pulau Harapan adalah masyarakat yang memiliki ketergantungan kepada sumberdaya pulau-pulau kecil
khususnya sumberdaya ikan dan terumbu karang. Upaya pengembangan kawasan konservasi melalui program APL Pulau Harapan sangat sesuai dengan kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Ditinjau dari kesesuaian dengan mata pencaharian masyarakat, sekitar 80 masyarakat Pulau Harapan adalah nelayan yang sangat
tergantung pada sumberdaya ikan dan ekosistem pesisir. Masyarakat menyadarai bahwa keberadaan sumberdaya ikan memiliki hubungan yang erat dengan kondisi
kualitas terumbu karang. Oleh karena itu, upaya-upaya perlindungan terumbu kaang pada prinsipnya dipahami sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan
pemanfaatan sumberdaya ikan. Dengan demikian, program APL ini memiliki kesesuaian yang sangat erat dengan kondisi sosial masyarakat Pulau Harapan.
b. Dampak terhadap peningkatan pendapatan
Dampak pengembangan APL Pulau Harapan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dilihat dari tiga artibut, yaitu kontribusi terhadap
peningkatan pendapatan masyarakat, kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja dan dampak terhadap efek ganda. Sejak pengembangan APL Harapan dua tahun
lalu, sampai saat ini APL Pula Harapan tidak memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Meskipun pada awalnya, masyarakat
memahami bahwa pengembangan APL ini akan berdampak pada peningkatan sumberdaya ikan, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan hasil
tangkapan. Namun sejauh ini, masyarakat belum merasakan adanya peningkatan atau dampak dari APL ini terhadap peningkatan pendapatan mereka.
Dampak pengembangan APL Harapan terhadap penyerapan tenaga kerja juga tidak dirasakan oleh masyarakat. Pembentukan badan pengelola APL Pulau
Harapan pada saat pembentukan APL tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan karena program pengelolaan APL tidak berjalan dengan baik.
Akibatnya para pengurus APL tidak menjalankan program yang telah disusun. Efek ganda yang diharapkan dapat ditimbulkan dari adanya program APL ini juga
sampai saat ini tidak ada.
c. Dampak terhadap peningkatan usaha lain
Pengembangan APL Pulau Harapan, seyogyanya juga didukung oleh kegiatan lain yang bersinergi dengan program APL ini. Hal ini dimaksudkan
untuk mendukung keberlanjutan program ini. Namun sampai saat ini, tidak ada program lain yang dikembangkan untuk mendukung pengembangan APL. Pada
tahun pertama APL dikembangkan, Suku Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu sebenarnya telah membuat pos jaga, namun
pembuatan pos jaga ini tidak berjalan dengan baik. Upaya pengembangan mata pencaharian alternatif juga tidak berkembang dengan baik. Diharapkan bahwa
pengembangan mata pencaharian akan meningkatkan keterlibatan masyarakat atau nelayan dalam pengelolaan APL ini. Dinas Peternakan, Kelautan dan
Perikanan DKI Jakarta membuat fish shelter sebagai salah satu upaya membantu masyarakat untuk memanfaatkan potensi perikanan di sekitar Pulau Harapan
namun program ini tidak diintegrasikan dengan program pengembangan APL. Akibatnya, masyarakat Pulau Harapan tidak merasakan manfaat dari program ini.
d. Introduksi teknologi
Pengembangan APL Pulau Harapan sampai saat ini belum banyak mendapatkan bantuan, baik dari instansi pemerintah maupun lembaga lainnya.
Hal ini menyebabkan program APL Pulau Harapan belum optimal dalam mendukung pencapaian tujuan konservasi ekosistem terumbu karang. Demikian
juga, tidak ada introduksi teknologi ramah lingkungan ke dalam program APL ini.