palmivora Kajian genetika ketahanan tanaman kakao (Theobroma cacao L.) terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora Butl) di Indonesia

50 Tersedianya metode inokulasi dan uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora yang efektif dapat membantu identifikasi klon kakao yang resisten atau toleran terhadap infeksi patogen ini. Dalam penelitian sebelumnya telah diidentifikasi 24 isolat P. palmivora dari 13 kabupaten dan 8 provinsi di Indonesia dan telah dikarakterisasi patogenisitasnya Rubiyo et al., 2008; Sudarsono et al., 2008. Isolat P. palmivora tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi metode inokulasi dan uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora. Tujuan umum percobaan yang dilakukan adalah membakukan metode uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora, penyebab penyakit busuk buah kakao. Tujuan khusus penelitian antara lain: mengevaluasi 1 pengaruh jenis inokulum dan pelukaan jaringan buah, dan 2 pengaruh jenis inokulum dan pelukaan jaringan daun dan batang bibit kakao klon Sca 12 dan GC 7, serta 3 pengaruh latar belakang genetik bibit kakao terhadap infeksi P. palmivora . Bahan dan Metode Penyiapan Inokulum

P. palmivora

Isolat P. palmivora LBSBR dari Sumatera Barat digunakan untuk penelitian. Isolat dibiakkan pada media PDA dalam cawan Petri diameter 9 cm pada kondisi gelap dalam ruang kultur bersuhu 26 o C selama tujuh hari. Dalam penelitian digunakan dua macam inokulum P. palmivora yaitu: 1 potongan kultur berdiameter 0,5 cm yang mengandung miselia dan sporangia selanjutnya disebut miselia dan 2 suspensi zoospora. Hanya miselia yang sedang aktif tumbuh di bagian ujung koloni yang digunakan sebagai inokulum miselia dalam percobaan Gambar 8.b. Untuk menghasilkan suspensi zoospora, kultur P. palmivora yang ditumbuhkan dalam media PDA padat tersebut direndam dengan akuades steril dingin 4 o C selama 15 menit. Stok suspensi zoospora yang diperoleh dihitung kerapatannya di bawah mikroskop binokuler Gambar 8.c dengan menggunakan haemocytometer. Zoospora dengan kerapatan sekitar 10 4 - 10 5 zoosporaml diperoleh dengan pengenceran stok zoospora menggunakan akuades steril. 51 Inokulasi pada Buah Kakao. Percobaan 1. Percobaan dilakukan untuk menguji perbedaan respon buah kakao klon GC 7 rentan dan Sca 12 tahan Mawardi Sri-Sukamto, 1985; Sri- Sukamto Winarno, 1986 dengan menggunakan miselia P. palmivora. Sebelum diinokulasi, buah sehat yang telah berkembang sempurna tetapi belum masak umur + 4 bulan dicuci dengan air yang mengalir. Untuk inokulasi buah kakao dengan miselia, potongan media PDA diameter 8 mm dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh ditempelkan pada permukaan buah kakao yang diuji. Buah yang sudah diinokulasi diinkubasikan dalam kotak plastik yang di dalamnya diletakkan kertas tisu basah. Kotak inkubasi disungkup dengan plastik untuk menjaga kelembabannya 100 dan diletakkan dalam ruang gelap pada suhu kamar 28 o C selama 5 hari. Unit percobaan terdiri atas satu buah kakao dan setiap kombinasi perlakuan diulang empat kali total 4 buah kakao untuk setiap kombinasi perlakuan. Pengamatan dilakukan lima hari sesudah inokulasi terhadap jumlah buah yang menunjukkan gejala, masa inkubasi, dan diameter bercak pada permukaan buah sebagai gejala infeksi P. palmivora. Percobaan 2. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelukaan terhadap keberhasilan inokulasi. Sebagian dari buah klon GC 7 dan Sca 12 yang diuji diberi perlakuan pelukaan dan sebagian yang lain tanpa pelukaan. Untuk perlakuan pelukaan, pada buah kakao yang diuji dibuat lubang berdiameter 8 mm dan sedalam 5 mm dengan menggunakan bor gabus. Untuk inokulasi buah kakao dengan miselia, potongan media PDA diameter 8 mm dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh ditempelkan pada permukaan buah kakao yang diuji, dengan perlakuan tanpa pelukaan atau dimasukkan dalam lobang pada buah kakao yang diuji dengan perlakuan pelukaan. Inkubasi buah, rancangan percobaan dan pengamatan dilakukan seperti percobaan pertama. Percobaan 3. Percobaan bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis inokulum terhadap infeksi pada klon kakao. Buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 dilukai dengan bor gabus, kemudian diinokulasi dengan dua jenis inokulum yaitu miselia dan zoospora. Inokulasi buah kakao dengan zoospora dilakukan dengan menyemprotkan suspensi zoospora 10 4 -10 5 zoosporaml pada permukaan buah 52 kakao. Inkubasi buah, rancangan percobaan dan pengamatan dilakukan seperti percobaan pertama. Gambar 8 Inokulasi P. palmivora pada buah dan daun kakao. a Buah kakao terinfeksi P. palmivora dari lapangan yang digunakan sebagai sumber isolat; b Kultur P. palmivora dengan miselia yang aktif tumbuh; c Sporangia P. palmivora; d Gejala infeksi P. palmivora pada buah dan e pada daun kakao hasil inokulasi buatan. Inokulasi pada Bibit Percobaan dilakukan untuk menguji perbedaan respon bibit kakao akibat inokulasi P. palmivora pada jaringan daun atau batang dengan atau tanpa perlakuan pelukaan. Sebelum diinokulasi, sebagian daun pertama yang berwarna hijau muda dari bibit kakao klon GC 7 dan klon Sca 12 umur 2 bulan diberi pelukaan dengan menggores permukaannya menggunakan jarum dan sebagian yang lain tanpa pelukaan. Demikian juga untuk jaringan batang, sebagian batang 5 cm di atas permukaan tanah dari bibit kakao klon GC 7 dan klon Sca 12 umur 2 bulan diberi pelukaan dengan menggores permukaannya menggunakan jarum dan sebagian yang lain tanpa pelukaan. Inokulasi menggunakan miselia P. palmivora dilakukan dengan menempelkan potongan media PDA diameter 8 mm yang mengandung miselia 53 dan sporangia pada permukaan daun atau batang yang diuji. Sedangkan inokulasi dengan zoospora P. palmivora dilakukan dengan menyemprotkan suspensi zoospora dengan kerapatan 10 4 -10 5 zoosporaml pada permukaan daun dan batang. Untuk menjaga kelembaban agar tetap 80-100, pada daun atau batang yang diinokulasi ditempelkan kapas basah dan bibit dikerodong dengan kantong plastik. Unit percobaan terdiri atas lima bibit kakao dengan dua daun dan batang yang diinokulasi P. palmivora secara bersamaan. Setiap kombinasi perlakuan diulang empat kali sehingga didapat total 20 bibit kakao untuk setiap kombinasi perlakuan. Pengamatan dilakukan 7 hari sesudah inokulasi terhadap jumlah daun dan batang yang menunjukkan gejala, masa inkubasi, dan jumlah bercak untuk daun serta lebar bercak untuk batang yang muncul pada permukaan daun atau batang sebagai gejala infeksi P. palmivora. Pengaruh Genotipe Kakao Percobaan dilakukan untuk menguji perbedaan respon akibat infeksi P. palmivora dari bibit kakao dengan tiga latar belakang genetik yang berbeda. Genotipe kakao yang diuji terdiri atas: bibit umur dua bulan dari benih zuriat kakao klon Sca 12, dari benih hibrida F1 hasil silangan TSH 858 X Sca 12 serta F1 hasil silangan antara ICS 60 dan Sca 12. Daun pertama yang berwarna hijau muda dari bibit kakao yang diuji diberi pelukaan dengan menggores permukaannya menggunakan jarum. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan miselia P. palmivora sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Untuk menjaga kelembaban agar tetap 80-100, daun yang diinokulasi ditempel kertas tisu basah dan bibitnya dikerodong dengan kantong plastik. Unit percobaan terdiri atas lima bibit kakao dengan dua daun yang diinokulasi dan setiap kombinasi perlakuan diulang enam kali total 30 bibit kakao untuk setiap genotipe yang diuji. Pengamatan dilakukan 7 hari sesudah inokulasi terhadap jumlah daun yang menunjukkan gejala, masa inkubasi, dan jumlah serta lebar bercak yang muncul pada permukaan daun sebagai gejala infeksi P. palmivora. 54 Hasil dan Pembahasan Inokulasi pada Buah Inokulasi P. palmivora pada buah kakao dengan menggunakan miselia tanpa perlakuan pelukaan menyebabkan terjadinya gejala busuk buah sebagaimana disajikan pada Gambar 8.d. Persentase buah kakao yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran diameter bercak yang muncul pada buah yang diinokulasi disajikan pada Gambar 9. Buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi P. palmivora sebagian besar 69 mempunyai diameter bercak 8.2 cm dan sebagian kecil 31 mempunyai diameter bercak 8.2 cm, sedangkan buah kakao klon Sca 12 yang diinokulasi P. palmivora serta mempunyai diameter bercak 8.2 cm sebanyak 44 dan yang 8.2 cm sebanyak 56. Gambar 9. Persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 total yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan, hasil inokulasi dengan miselia tanpa pelukaan 7 hari sesudah inokulasi buah. Pengaruh Pelukaan dalam Uji Inokulasi Buah Hasil inokulasi miselia P. palmivora pada buah kakao tanpa atau dengan pelukaan disajikan pada Gambar 10. Buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi miselia P. palmivora tanpa pelukaan mempunyai kisaran diameter bercak 0 - 14.75 cm. Sedangkan buah kakao klon GC 7 dengan pelukaan yang diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak 0 – 18.25 cm. Sebaliknya, buah kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan yang diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak 0 – 18.0 cm. Sedangkan, buah kakao klon Sca 12 dengan pelukaan yang diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak 6.0 – 31 13 50 6 19 38 13 13 19 25 50 75 100 4.1 4.1 - 8.2

8.2 - 12.3 12.3 - 16.81

16.81 Kisaran diameter bercak cm

P e rs e n tase GC7 Sca12 55 20.5 cm. Buah kakao klon GC 7 tanpa pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 50.5 menunjukkan diameter bercak 8.2 cm dan 49.5 menunjukkan diameter bercak 8.2 cm. Sedangkan buah kakao klon GC 7 dengan pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 87.5 menunjukkan diameter bercak 8.2 cm dan 12.5 menunjukkan diameter bercak 8.2 cm. Sebaliknya, buah kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 25 menunjukkan diameter bercak 8.2 cm dan 75 menunjukkan diameter bercak 8.2 cm. Sedangkan buah kakao klon Sca 12 dengan pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 62.4 menunjukkan diameter bercak 8.2 cm dan 37.5 menunjukkan diameter bercak 8.2 cm sebanyak 37.5. Gambar 10 Pengaruh pelukaan buah terhadap persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan hasil inokulasi dengan miselia. GC 7 – DPl dan Sca 12 – DPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 dengan pelukaan buah sebelum diinokulasi. GC 7 – TPl dan Sca 12 – TPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 tanpa pelukaan buah sebelum diinokulasi. Hasil inokulasi dengan dua jenis inokulum disajikan pada Gambar 11. Dari total 16 buah kakao klon GC 7 yang diuji dalam percobaan, empat buah 25 tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora sedangkan untuk klon Sca 50 13 38 38 38 13 13 25 50 75 100 4.1 4.1 - 8.2

8.2 - 12.3 12.3 - 16.81

16.81 Kisaran diameter bercak cm

P er sen tase b u ah GC7 - TPl Sca12 - TPl 13 13 63 13 38 25 13 25 25 50 75 100 4.1 4.1 - 8.2

8.2 - 12.3 12.3 - 16.81

16.81 Kisaran diameter bercak cm

P er s en tase b u ah GC7 - DPl Sca12 - DPl 56 12 - tiga buah 18.5 tidak menunjukkan gejala infeksi. Semua buah yang tidak bergejala tersebut merupakan buah yang diinokulasi dengan zoospora. Buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak 0 - 18.5 cm dan yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 9.5 – 16.0 cm. Sebaliknya, buah kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 17.0 cm, sedangkan yang diinokulasi dengan miselia mempunyai kisaran diameter bercak antara 4.5 – 20.5 cm. Gambar 11 Pengaruh jenis inokulum terhadap persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan dengan pelukaan, 7 hari sesudah inokulasi buah. GC 7 – M dan Sca 12– M: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan miselia. GC 7 – Z dan Sca 12 – Z: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora. 63 13 13 13 38 25 25 13 25 50 75 100 4.1 4.1 - 8.2

8.2 - 12.3 12.3 - 16.81

16.81 Kisaran diameter bercak cm

P er sen ta se b u ah GC7 - Z Sca12 - Z 13 88 50 25 25 25 50 75 100 4.1 4.1 - 8.2

8.2 - 12.3 12.3 - 16.81

16.81 Kisaran diameter bercak cm

Per s ent ase buah GC7 - M Sca12 - M 57 Dari Gambar 11 dapat diketahui bahwa buah kakao klon GC 7 dan klon Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora sebagian kecil 37.5 mempunyai diameter bercak yang 8.2 cm sedangkan sebagian besar 62.5 8.2 cm. Dari Gambar 11 juga diketahui bahwa buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora semuanya 100 mempunyai diameter bercak yang 8.2 cm. Sedangkan buah kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora, 50 mempunyai diameter bercak 8.2 cm dan 50 mempunyai diameter bercak 8.2 cm. Penggunaan varietas kakao yang resisten merupakan cara efektif dan ekonomis untuk pengendalian busuk buah kakao Muller, 1974. Di Indonesia, pemuliaan kakao ditujukan untuk menemukan bahan tanam unggul dengan potensi hasil tinggi, kualitas biji baik, dan tahan terhadap busuk buah dan vascular streak dieback Iswanto Winarno, 1992. Kemajuan dalam pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap busuk buah kakao sering kali kurang berhasil antara lain diduga karena rendahnya keragaman plasma nutfah kakao, belum tersedianya metode uji ketahanan yang efisien, belum digunakannya strategi pemuliaan yang efektif, dan terbatasnya informasi genetik sifat resisten dan mekanisme ketahanan kakao terhadap infeksi P. palmivora. Tersedianya metode uji ketahanan yang efektif dan mudah dilakukan merupakan langkah awal bagi keberhasilan pemuliaan tanaman kakao untuk mendapatkan klon unggul yang resisten terhadap infeksi P. palmivora. Untuk itu, pembakuan metode uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora perlu dilakukan agar identifikasi plasma nutfah yang resisten dan yang rentan dapat dilakukan dengan akurat. Menggunakan metode baku yang dikembangkan, hasil uji ketahanan plasma nutfah dapat diperbandingkan antar peneliti. Hal ini sangat penting untuk kakao karena ketahanan buah kakao terhadap infeksi P. palmivora diduga merupakan ketahanan horizontal Simmonds, 1994, yang relatif sulit penanganannya dengan pemuliaan tanaman. Zedoks 1997 menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora dan patogen lainnya cenderung bersifat tidak lengkap partial resistance. Metode baku uji ketahanan yang dikembangkan harus mampu mengidentifikasi perbedaan respon yang ada di 58 antara koleksi plasma nutfah kakao. Dengan demikian, metode ujinya tidak boleh terlalu ketat sehingga semua plasma nutfah yang dievaluasi mengalami kematian dan tidak boleh terlalu ringan sehingga semua plasma nutfah tergolong resisten. Dalam pembakuan metode uji ketahanan, faktor yang perlu dievaluasi antara lain: tipe inokulum P. palmivora yang digunakan zoospora atau miselia, perlu tidaknya pelukaan jaringan sebelum diinokulasi dengan atau tanpa pelukaan, dan jaringan tanaman yang akan diinokulasi P. palmivora jaringan buah, batang, atau daun. Metode uji yang dikembangkan seharusnya juga mempertimbangkan aspek teknis pelaksanaannya, yaitu mudah dilakukan tetapi dapat menduga dengan akurat ketahanan tanaman yang diuji. Di lapangan, P. palmivora bertahan sebagai klamidospora dalam tanah dan miselium pada bantalan bunga, buah muda cherelle, batang pohon kakao, dan sisa-sisa tanaman yang tersebar di tanah. Oleh karena itu, dalam pengujian metode inokulasi perlu dievaluasi penggunaan zoospora dan miselia sebagai inokulum. Dalam percobaan ini, zoospora yang digunakan untuk meginfeksi buah kakao menghasilkan persentase buah tidak terinfeksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan miselia. Diameter bercak pada buah kakao yang diinokulasi dengan zoospora juga relatif lebih kecil dibandingkan miselia. Diduga inokulum yang berupa zoospora menurun viabilitasnya untuk menginfeksi buah, sehingga sebagaian besar buah GC 7 yang merupakan klon rentan tidak terinfeksi. Sedangkan kultur miselia yang digunakan sebagai sumber inokulum sebenarnya terdiri dari miselia dan sporangia yang terbungkus dalam agar sehingga viabilitasnya tetap terjaga karena media dalam agar mampu memberikan lingkungan tumbuh yang cocok sebelum memenetrasi buah kakao. Selain hal tersebut secara teknis inokulasi dengan menggunakan miselia lebih mudah dilakukan. Sebaran diameter bercak pada buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora sama dengan klon Sca 12. Sebaliknya untuk buah kakao yang diinokulasi dengan miselia, persentase buah dengan diameter bercak 8.2 cm lebih besar pada buah kakao klon GC 7 dibandingkan Sca 12. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan karena klon GC 7 merupakan klon kakao yang rentan dan Sca 12 merupakan klon kakao yang lebih resisten terhadap infeksi P. 59 palmivora . Sumber gen ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao akibat infeksi P. palmivora ditemukan antara lain pada klon kakao Sca 6 dan Sca 12 asal Ekuador serta TSH 565, TSH 516, dan TSH 774 asal Trinidad Soria, 1974. Berdasarkan hasil pengujian di beberapa negara, kakao klon Sca 6 dan Sca 12 mempunyai ketahanan mantap terhadap P. palmivora Iswanto Winarno, 1992; Philip-Mora, 1999. Klon lain yang juga tahan terhadap infeksi P. palmivora antara lain ICS 6 dan DRC 16; klon yang moderat antara lain GC 7, DR 2, DR 38, DRC 9, dan Sca 89, dan klon yang rentan antara lain DR 1 Iswanto Winarno, 1992. Sumber gen ketahanan terhadap P. palmivora dapat pula diintrogresikan dari spesies Theobroma lainnya seperti T. grandiflora yang buahnya tahan setelah diinokulasi dengan spora P. palmivora. Sedangkan T. bicolor, T. speciosa, T. simiarum dan T. mammosum dilaporkan rentan terhadap infeksi P. palmivora Soria, 1974. Namun demikian keberhasilan hibridisasi antar species di dalam genus Theobroma diduga sangat terbatas. Bibit hibrida F1 dari silangan antara T. cacao xT. grandiflora mempunyai pertumbuhan yang lambat, lemah dan fertilitas yang rendah Soria, 1974. Inokulasi pada bibit Infeksi P. palmivora pada daun kakao menyebabkan terjadinya gejala bercak daun seperti yang terlihat pada Gambar 8.e. Dari total 16 bibit kakao klon GC 7 yang diuji, lima bibit 31.25 tidak menunjukkan gejala sedangkan untuk klon Sca 12, tujuh bibit 43.75 tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora setelah diinokulasi batang atau daunnya. Semua bibit yang tidak bergejala tersebut merupakan bibit yang batang atau daunnya tidak diberi perlakuan pelukaan sebelum diinokulasi. Persentase bibit kakao yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran diameter bercak yang muncul pada bibit disajikan dalam Gambar 11. Dengan menggunakan zoospora, bibit kakao klon GC 7 yang diinokulasi mempunyai kisaran diameter bercak 0 - 1.4 cm. Persentase bibit kakao klon GC 7 yang diinokulasi zoospora dan mempunyai diameter bercak 0.52 cm sebanyak 62.5 dan yang mempunyai diameter bercak 0.52 cm sebanyak 37.5 Tabel 5. Bibit kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora 60 mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 1.6 cm. Persentase bibit kakao klon Sca 12 yang diinokulasi zoospora P. palmivora dan mempunyai bercak 0.52 cm sebanyak 50, sedangkan yang mempunyai diameter bercak 0.52 cm sebanyak 50 Tabel 5. Bibit kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 2.0 cm. Setelah diinokulasi dengan miselia P. palmivora, persentase bibit kakao GC 7 dengan diameter bercak 0.52 sebanyak 37.5 sedangkan yang mempunyai diameter bercak 0.52 cm sebanyak 62.5 Tabel 5. Sebaliknya, bibit kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 2.6 cm. Setelah diinokulasi dengan miselia P. palmivora, persentase bibit kakao Sca 12 dengan diameter bercak antara 0.52 sebanyak 75 dan yang 0.52 cm sebanyak 25 Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh jenis inokulum terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan 28 hari sesudah inokulasi batang dari bibit kakao yang diuji Persentase bibit pada berbagai kisaran panjang bercak pada batang Klon kakao Tipe inokulum 0.52 0.52-1.04 1.04-1.56 1.56-2.08 2.08 cm GC 7 Zoospora 62.5 37.5 Miselia 37.5 0 37.5 25.0 0 Sca 12 Zoospora 50.0 12.5 12.5 12.5 12.5 Miselia 75.0 12.5 0 12.5 0 Bibit kakao klon GC 7 tanpa perlakuan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak 0 – 2.0 cm. Persentase bibit kakao klon GC 7 tanpa pelukaan dan setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai diameter bercak 0.52 cm sebanyak 87.5 sedangkan yang dengan diameter bercak 0.52 cm sebanyak 12.5 Tabel 6. Sebaliknya bibit kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 0-2.6 cm. Persentase bibit kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan dan setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai diameter bercak 0.52 cm sebanyak 87.5 sedangkan yang dengan diameter bercak 0.52 cm sebanyak 12.5. 61 Bibit kakao klon GC 7 dengan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 0 – 1.6 cm. Dengan pelukaan bibit sebelum diinokulasi, persentase bibit kakao GC 7 yang mempunyai diameter bercak 0.52 cm sebanyak 12.5 dan yang dengan diameter bercak 0.52 sebanyak 87.5 Tabel 6. Sebaliknya, bibit kakao klon Sca 12 dengan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara 0.5 – 1.8 cm. Bibit kakao Sca 12 dengan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora dan mempunyai diameter bercak 0.52 cm sebanyak 37.5 dan yang 0.52 sebanyak 62.5. Tabel 6. Pengaruh pelukaan terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan 28 hari sesudah inokulasi bibit kakao yang diuji Persentase bibit pada berbagai kisaran panjang bercak Klon kakao Perlakuan pelukaan 0.52 0.52-1.04 1.04-1.56 1.56-2.08 2.08 cm GC 7 Tanpa pelukaan 87.5 12.5 Dengan pelukaan 12.5 0 75.0 12.5 Sca 12 Tanpa pelukaan 87.5 12.5 Dengan pelukaan 37.5 25.0 12.5 25.00 Perlakuan tanpa pelukaan dimaksudkan untuk mengevaluasi ada tidaknya mekanisme ketahanan pra-penetrasi P. palmivora. Sebaliknya, perlakuan pelukaan untuk mengevaluasi adanya mekanisme ketahanan pasca penetrasi. Pada buah kakao tanpa pelukaan, setelah diinokulasi dengan miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak yang lebih kecil dibandingkan dengan yang diberi pelukaan. Hal tersebut berlaku baik untuk kakao klon GC 7 yang rentan atau Sca 12 yang resisten. Menurut Iwaro et al. 1995 dan Iwaro et al. 1998, ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem multi komponen yang terekspresi dalam dua tahap, yaitu ketahanan pra-penetrasi dan pasca-penetrasi. Ketahanan pra- penetrasi berhubungan dengan faktor morfologis yang berpengaruh terhadap perkembangan patogen dan menentukan tingkat keparahan yang terjadi pada tanaman yang diuji. Ketahanan pasca-penetrasi berhubungan dengan mekanisme 62 biokimia yang berpengaruh terhadap luasnya jaringan yang terserang. Fry 1989 menyatakan bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali perkembangan selanjutnya terhambat oleh mekanisme ketahanan yang ada pada masing-masing tanaman. Buah kakao klon GC 7 dengan atau tanpa pelukaan memberikan persentase buah dengan diameter bercak 8.2 cm yang lebih tinggi dibandingkan dengan klon Sca 12. Hal ini mempertegas kembali perbedaan respon GC 7 yang rentan dan Sca 12 yang resisten terhadap infeksi P. palmivora. Hasil percobaan juga menunjukkan penggunaan zoospora untuk menginokulasi bibit kakao menyebabkan kisaran diameter bercak yang lebih sempit dibandingkan miselia. Dengan demikian, respon bibit kakao yang diinokulasi dengan zoospora atau miselia P. palmivora sejalan dengan respon buah kakao. Perlakuan pelukaan berperanan penting dalam hubungannya dengan respon bibit kakao yang diuji terhadap infeksi P. palmivora. Sebagian bibit yang tidak dilukai sebelum diinokulasi P. palmivora ada yang tidak menunjukkan gejala bercak pada daun atau batangnya. Sedangkan bibit yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora semuanya menghasilkan bercak pada daun atau batangnya. Seperti yang diharapkan, klon GC 7 yang diinokulasi dengan P. palmivora menghasilkan persentase bibit dengan diameter bercak 0.52 cm yang lebih tinggi dibandingkan dengan klon Sca 12. Hal tersebut diamati jika miselia P. palmivora digunakan sebagai inokulum dan jika bibit yang diuji diberi pelukaan. Untuk bibit yang diinokulasi dengan zoospora atau bibit yang tidak dilukai, respon yang diamati tidak sejalan dengan karakteristik ketahanan klon GC 7 dan klon Sca 12 terhadap infeksi P. palmivora. Meskipun demikian, respon bibit yang diinokulasi dengan P. palmivora tetap sejalan dengan respon buah yang diuji. Berdasarkan berbagai hasil yang didapat diusulkan bahwa metode baku uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora sebaiknya dilakukan dengan 1 menggunakan miselia sebagai inokulum, 2 memberikan pelukaan pada jaringan buah atau daun sebelum diinokulasi dengan miselia P. palmivora , dan 3 menggunakan buah dipetik umur empat bulan sesudah antesis atau daun bibit umur dua bulan setelah tanam. 63 Besar kecilnya diameter bercak akibat infeksi P. palmivora pada buah atau bibit yang diuji diduga mencerminkan ada tidaknya sifat resisten pada klon yang diuji. Klon GC 7 yang dilaporkan rentan mempunyai sebaran bibit atau buah dengan diameter bercak yang lebih besar dibandingkan dengan klon Sca 12 yang dilaporkan resisten. Meskipun infeksi P. palmivora pada buah atau bibit kakao klon Sca 12 tetap menimbulkan bercak kecoklatan nekrosis, nekrosis yang diamati relatif tidak berkembang secepat yang diamati pada klon GC 7. Gejala awal infeksi P. palmivora pada klon kakao tahan sama dengan yang rentan, yaitu adanya sel yang mempunyai granula berwarna kecoklatan Tarjot, 1974. P. palmivora tetap mempenetrasi buah kakao dari klon yang resisten dan yang rentan. Namun demikian penyebaran lateral patogen dalam perikarp buah kakao yang rentan berbeda dengan yang resisten Tarjot, 1974. Pada buah kakao yang rentan, P. palmivora tidak bertahan lama dalam sel, sel yang terinfeksi menjadi rusak dengan cepat dan terlihat adanya granula kecoklatan. Pada buah rentan, patogen menyebar dengan cepat dari satu ke sel lain sehingga perkembangan busuk buah berlangsung cepat. Pada buah kakao yang tahan, P. palmivora bertahan lama di dalam sel sebelum munculnya gejala nekrosis. Perpindahan patogen antar sel menjadi terhambat sehingga perkembangan busuk buah juga melambat Tarjot, 1972 Pengaruh Genotipe Kakao Hasil yang didapat menunjukkan hibrida F1 hasil silangan antara ICS 60 x Sca 12 mempunyai rataan jumlah bercak tertinggi 2,75, diikuti oleh zuriat Sca 12, 1,28 dan hibrida F1 antara TSH 858 x Sca 12 0,67. Sedangkan panjang bercak tertinggi dihasilkan oleh F1 ICS 60 x Sca 12 10,55 cm kemudian disusul Sca 12 6,14 cm terkecil dihasilkan oleh TSH 858 x Sca 12 2,76 cm Tabel 7. Persentase bibit kakao yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran diameter bercak daun yang muncul setelah 28 hari sesudah inokulasi disajikan pada Tabel 8. Sebagian besar bibit kakao zuriat Sca 12 dan hibrida F1 TSH 858 x Sca 12 yang diinokulasi P. palmivora dan mempunyai luas bercak 4.58 cm 2 sedangkan bibit hibrida F1 ICS 60 x Sca 12 mempunyai luas bercak 4.58 cm Tabel 8. Dari data pada Tabel 8 dapat diduga bahwa dalam kondisi penelitian ini bibit 64 hibrida F1 TSH 858 x Sca 12 lebih resisten dibandingkan dengan bibit hibrida F1 ICS 60 x Sca 12 atau bibit zuriat Sca 12. Tabel 7. Jumlah dan lebar bercak pada daun bibit kakao hibrida F1 ICS 60 x Sca 12 dan hibrida F1 TSH 858xSca 12 serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora, pada 7, 14 dan 21 hari sesudah inokulasi HSI Jumlah bercak Lebar bercak cm Genotipe bibit Seedling 7 HSI 14 HSI 21 HSI 7 HSI 14 HSI 21 HSI F1ICS 60xSca 12 1.68 1.68 2.75 7.33 10.15 10.55 F1TSH 858xSca 12 0.58 0.67 0.67 1.93 2.48 2.76 Sca 12 0.95 1.28 1.28 5.00 5.82 6.14 Tabel 8. Persentase bibit kakao hibrida F1 ICS 60 x Sca 12 dan hibrida F1 TSH 858 x Sca 12 serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran panjang bercak pada daun yang dihasilkan. Pengamatan lebar bercak dilakukan 14, 21, dan 28 hari sesudah inokulasi daun bibit kakao yang diuji Persentase bibit dengan kisaran panjang bercak cm Pengamatan hari sesudah inokulasi Genotipe bibit 4.58 4.58- 9.16 9.16- 13.74 13.74- 18.32 18.32 14 ICS 60 x Sca 12 33.0 16.8 16.8 16.8 16.8 TSH 858 x Sca 12 82.5 16.8 Sca 12 66.8 16.8 16.8 21 ICS 60 x Sca 12 16.8 33.0 16.8 16.8 16.8 TSH 858 x Sca 12 82.5 16.5 Sca 12 50.0 33.0 17.0 28 ICS 60 x Sca 12 16.8 33.0 16.8 33.0 TSH 858 x Sca 12 82.5 16.8 Sca 12 50.0 33.0 16.8 Dalam pengujian pengaruh latar belakang genetik kakao terhadap infeksi P. palmivora menggunakan metode baku yang telah dikembangkan dapat diketahui bahwa hibrida F1 TSH 858 x Sca 12 lebih resisten dibandingkan dengan tetua donor Sca 12 atau hibrida F1 ICS 60 x Sca 12. Hal tersebut memperkuat dugaan sebelumnya bahwa Sca 12 mempunyai mekanisme ketahanan terhadap infeksi P. palmivora. Namun demikian, hibrida F1 hasil persilangan antara ICS 60 x Sca 12 dan TSH 858 x Sca 12 mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keragaan hibrida F1 hasil silangan antara Sca 12 sebagai tetua jantan dan donor sifat resisten terhadap P. palmivora dipengaruhi oleh latar 65 belakang genetik induk betinanya. Menurut Winarno Sri-Sukamto 1986, Sca 6 dan Sca 12 dapat digunakan sebagai tetua donor sifat resisten terhadap infeksi P. palmivora. Hibrida F1 hasil silangan antara DR 1 x Sca 12, DRC 16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12 ketika diinokulasi dengan P. palmivora menghasilkan luas bercak yang sama dengan klon Sca 6 dan Sca 12. Tetapi jika dibandingkan dengan klon DR 1 yang rentan terhadap infeksi P. palmivora, maka ketiga hibrida kakao tersebut lebih tahan terhadap infeksi P. palmivora. Dari penelitian ini diketahui bahwa sifat ketahanan diwariskan lewat Sca 12 sebagai tetua jantan, terbukti bahwa ICS 60 yang tergolong rentan terhadap P. palmivora bila disilangkan dengan Sca 12 yang tahan akan menghasilkan hibrida yang tahan. Sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora dilaporkan diwariskan lewat tetua jantan Jacop Toxopeus, 1971. Klon TSH 858 sebagai induk betina lebih baik jika digunakan untuk menghasilkan hibrida F1 dengan Sca 12 sebagai induk jantan. Hibrida F1 TSH 858 x Sca 12 diharapkan selain tahan infeksi P. palmivora juga mempunyai daya hasil tinggi mengingat sifat daya hasil galur hibrida kakao mengikuti karakteristik induk betinanya. Sebaliknya, meskipun galur hibrida F1 ICS 60 x Sca 12 juga berpotensi berdaya hasil tinggi sesuai dengan sifat ICS 60 sebagai induk betina, dalam hal ketahanan terhadap P. palmivora lebih rendah dibandingkan dengan hibrida F1 TSH 858 x Sca 12. Menurut Jacop Toxopeus 1971, pewarisan sifat bobot biji ditentukan oleh tetua betinanya. Oleh karena itu pemuliaan tanaman untuk peningkatan ukuran dan bobot biji kakao dilakukan dengan persilangan antara induk betina yang berdaya hasil tinggi dan berbiji besar dengan induk jantan yang resisten. Selain itu perlu dipilih induk jantan dengan karakter ukuran serbuk sari yang besar. Iswanto dan Junianto 1987 menyatakan bahwa tetua jantan dengan ukuran serbuk sari yang besar cenderung menghasilkan hibrida F1 dengan biji yang besar dan berat. Simpulan Inokulasi dengan menggunakan miselia lebih efektif dibandingkan 66 zoospora dan perlakuan lebih akurat untuk menduga ketahanan bibit kakao terhadap infeksi P. palmivora. Hasil pendugaan ketahanan menggunakan buah yang dipetik sejalan dengan bibit kakao sehingga pengujian bibit dapat dipergunakan sebagai alternatif pengujian ketahanan terhadap P. palmivora . Jika menggunakan buah yang dipetik, uji ketahanan dilakukan dengan 1 menggunakan buah kakao umur empat bulan setelah antesis, 2 memberi pelukaan sebelum diinokulasi, 3 menggunakan miselia P. palmivora sebagai inokulum, dan 4 mengamati diameter bercak. Sedangkan jika menggunakan bibit kakao, dilakukan dengan: 1 menggunakan bibit kakao umur dua bulan, 2 memberi pelukaan pada daun sebelum diinokulasi, 3 menggunakan miselia P. palmivora sebagai inokulum, dan 4 mengamati lebar bercak yang muncul pada daun yang diinokulasi. Pengamatan diameter bercak pada buah dilakukan 3 hari sedangkan pada daun 14 hari sesudah inokulasi. Kakao klon GC 7 sebaiknya digunakan sebagai pembanding yang rentan dan klon Sca 12 sebagai pembanding yang tahan. Klon TSH 858 lebih baik untuk digunakan sebagai induk betina dan disilangkan dengan Sca 12 sebagai induk jantan untuk menghasilkan populasi hibrida F1 yang resisten terhadap infeksi P. palmivora dan berpotensi berdaya hasil tinggi. Daftar Pustaka Fry WE. 1989. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 376p. Iswanto A Winarno H. 1992. Cocoa breeding at RIEC Jember and the role of planting material resistant to VSD and black pod. In P.J. Keane C.A.J. Putter Eds. Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australasia: 163-169. FAO Plant Production and Protection Paper No. 112. Iswanto A Yunianto D. 1987. Pengaruh ukuran bakal biji dan serbuk sari terhadap bentuk dan berat biji kakao. Pelita Perkebunan 3: 185-188. Iwaro DA, Sreenivasan TN Umaharan P. 1995. Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies, Trinidad : 79-85. Iwaro DA, Sreenivasan TN, Umaharan P. 1997. Phytophthora palmivora resistance in cocoa Theobroma cacao: Influence of pod morphological characteristics. Plant Pathology 46: 557-565. 67 Iwaro DA, Sreenivasan TN, Umaharan P. 1997a. Foliar resistance to Phytophthora palmivora as an indicator of pod resistance in Theobroma cacao. Plant Disease, 81: 619-624. Jacob VJ Toxopeus. 1971. The effect of pollinator parent on the pod value of hand pollinated pod of Theobroma cacao L. Int. Cacao Res. Conf., Tafo, Ghana, 556-564. Toxopeus H. 1999. Search for Phytophthora Pod Rot resistance and Escape at the Cocoa Research Institute of Nigeria during the 1960s. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 159-166. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26 th November. Muller RA. 1974. Integrated Control Methods. In P.H. Gregory Eds. Phytophthora Disease of Cocoa : 259-265. Longman, London. Philips-Mora W. 1999. Studies on Resistance to Black Pod Disease Phytophthora palmivora Butler at CATIE. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement : 41-50. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26 th November. Prawirosoemardjo S Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora Butl. Butl. pada buah dan batang beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60:67-72. Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto Sudarsono. 2008. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49. Sudarsono, Purwantara A, Suhendi D. 2007. Teknik Molekuler dan Pemuliaan Tanaman untuk Percepatan Pengembangan Klon Kakao Theobroma cacao L. yang Resisten terhadap Busuk Buah Akibat Infeksi Phytophthora palmivora Butl. Laporan Penelitian KKP3T, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. 122 hlm. Soria J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory ed. Phytophthora Disease of cocoa: 197-202. Longman London. Tarjot M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf. p:379-397. St Augustine, Trinidad. 8-18 th January. Tarjot M. 1974. Physiology of Fungus. In P.H. Gregory Ed Phytophthora Disease of cocoa : 103-116. Longman London. Winarno H Sri-Sukamto. 1986. Uji Laboratorium Ketahanan Tongkol Beberapa Hibrida Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah Phytopthora palmivora Butler. Pelita Perkebunan 2:115-119. Zadoks JC. 1997. Disease Resistance Testing in Cocoa. INGENIC. UK. 58p. JUDUL 3. UJI KETAHANAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH Phytophthora palmivora Butler DI LAPANGAN DAN LABORATORIUM Abstrak Penyakit busuk buah merupakan salah satu penyakit terpenting pada tanaman kakao. Di Indonesia busuk buah disebabkan oleh Phytophthora palmivora. Keberhasilan pengendalian ini salah satunya tergantung dari keberhasilan penekanan kuantitas patogen di lapang antara lain dengan menggunakan bahan tanam kakao yang diusahakan. Uji ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah P. palmivora di laboratorium dan lapangan perlu dilakukan, hal ini untuk mengetahui konsistensi ketahanan klon tersebut, sehingga mekanisme ketahanan tanaman kakao terhadap patogen ini dapat diketahui. Penelitian berlangsung pada bulan Juni 2008 hingga Februari 2009, bertempat di Laboratorium Penyakit dan Kebun Percobaan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi untuk mengetahui ketahanan klon kakao di Laboratorium maupun di Lapangan menghasilkan ketahanan yang sama. Klon kakao yang rentan di laboratorium juga rentan di Lapangan seperti klon GC7. Perkembangan bercak pada buah kakao hasil inokulasi di Laboratorium lebih cepat dari pada di Lapangan. Kata kunci:Kakao, inokulasi laboratorium, inokulasi lapangan, P. Palmivora, Ketahanan CACAO Theobroma cacao L. RESISTANCE EVALUATION AGAINST BLACK POD DISEASE Phytophthora palmivora Butler IN THE FIELD AND LABORATORY Abstract Black Pod Disease is one of the important diseases of cacao. In Indonesia black pod disease is caused by Phytophthora palmivora. The effectiveness of controlling the disease depends on reducing pathogen population in the field, such as using resistant cacao plant materials. Cacao resistance evaluation against black pod disease caused by P. palmivora in the field and laboratory needs to be conductedto know the consistency of the resistant clones. Hence the cacao resistance mechanism against this pathogen can be determined. The research took place in June 2008 till February 2009 in Disease Laboratory and Experiment Garden at Indonesian Coffee and Cacao Research Institute in Jember, East Java. The results indicated that laboratory inoculation and field inoculation to test the cacao clone resistance showed the consistent results. Cacao clone which was susceptible in the laboratory, such as GC 7, was also susceptible in the field. Keywords: cacao, laboratory inoculation, field inoculation , P. palmivora, resistance 70 Pendahuluan Kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan dan merupakan komoditas ekspor penting di Indonesia, namun pengembangannya secara luas masih menghadapi hambatan antara lain oleh adanya serangan hama dan penyakit. Diantara beberapa jenis penyakit pada tanaman kakao, yang sangat penting dan penyebarannya sangat luas adalah penyakit busuk buah atau pod rot yang disebabkan oleh P. palmivora. Seluruh bagian tanaman kakao dapat terinfeksi oleh patogen tersebut mulai dari akar, batang, bunga, buah dan daun. Namun kerugian yang sangat tinggi disebabkan oleh serangan pada buah Darmono et al., 2006. Survei yang dilakukan di Jawa menunjukkan bahwa penyakit busuk buah dapat menurunkan hasil sekitar 26-56 Pawirosoemardjo Purwantara, 1992. Penanaman varietas tahan merupakan cara pengendalian penyakit yang paling bermanfaat karena cara ini ramah lingkungan Akrofi Opoku, 2000. Varietas dengan tingkat ketahanan tertentu yang lebih mudah ditemukan di antara bahan tanam yang ada atau yang dihasilkan melalui hibridisasi merupakan cara terbaik untuk mengatasi busuk buah kakao Muller, 1974. Bahan tanam tahan terhadap penyakit ini merupakan pemecahan masalah untuk jangka panjang. Ketahanan horizontal diperlukan untuk perbaikan tanaman tahunan, seperti kakao, namun sukar penanganannya untuk pemuliaan tanaman. Simmonds 1994 menyatakan bahwa ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora diperkirakan lebih bersifat horizontal daripada vertikal. Menurut Agrios 1997 ketahanan tanaman dapat bersifat pasif terbentuk tanpa rangsangan dari patogen atau aktif ekspresinya diimbas oleh serangan patogen, melibatkan mekanisme struktural dan biokimia. Zadoks 1997 menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora dan patogen lain cenderung bersifat tidak lengkap partial resistance yang didasarkan pada satu atau lebih komponen ketahanan yang dapat atau tidak dapat berkorelasi satu sama lain. Duniway 1983 menyatakan bahwa ketahanan tanaman terhadap Phytophthora spp. meliputi ketahanan struktural, penghalang struktural terimbas, reaksi hipersensitif, dan produksi senyawa antimikrobia. Mekanisme ketahanan struktural dapat berupa sifat morfologi dan anatomi. Menurut Fry 1982 walaupun sering kali mekanisme ketahanan bekerja setelah jaringan terpenetrasi, 71 karakteristik struktural dapat mempengaruhi ketahanan inang. Fulton 1989 memperkirakan morfologi buah kakao berpengaruh pada deposisi dan penyebaran efektif inokulum P. palmivora. Permukaan buah kakao dapat menjadi inkubator mikro yang baik bagi pertumbuhan spora P. palmivora. Karena spora patogen ini bersifat hidrofilik, spora berada dalam lapisan air permukaan buah dan biasanya menempel pada bagian ujung buah. Tarjot 1974 menyatakan bahwa lengas di permukaan buah berpengaruh besar pada perkecambahan spora. Ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem multikomponen yang terekspresi dalam dua tahap, dinyatakan sebagai ketahanan prapenetrasi dan pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi berhubungan dengan faktor morfologi yang mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan penetrasi patogen, dan menentukan jumlah bercak yang terjadi. Ketahanan pasca penetrasi berhubungan dengan mekanisme biokimia yang dapat mempengaruhi luasnya jaringan yang diserang patogen Irwaro et al., 1995. Fry 1982 menyatakan bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali perkembangan selanjutnya terhambat. Pengujian ketahanan tanaman kakao terhadap patogen ini telah dilakukan dengan menggunakan beberapa metode inokulasi buatan. Efron Blaha 1998 telah mengembangkan inokulasi buatan menggunakan metode potongan daun kakao, sedangkan uji ketahanan dengan menggunakan buah di laboratorium juga dilakukan oleh Iwaro et al. 2000, Rubiyo et al. 2000 melakukan inokulasi dengan menggunakan buah untuk uji lapang ketahanan beberapa hibrida kakao. Oleh karena itu penelitian untuk mengetahui korelasi antara ketahanan genotipe kakao di laboratorium dan di lapang perlu diketahui. Apabila korelasinya positif maka cukup dilakukan uji ketahanan di laboratorium sehingga akan sangat membantu dalam siklus pengujian dan seleksi genotipe kakao. Arah dan strategi pemuliaan ketahanan tanaman kakao dititikberatkan pada penggunaan metode seleksi. Hal ini disebabkan tanaman kakao merupakan tanaman tahunan yang berdaur hidup panjang sehingga kurang efisien bila digunakan metode persilangan berulang di dalam program pemuliaannya. Persilangan antar tanaman kakao akan melibatkan tetua yang bukan galur murni sehingga pada turunannya akan terjadi 72 segregan-segregan dalam keanekaragaman sifat yang tinggi Wood, 1973. Oleh karena itu seleksi ketahanan tanaman tetua akan sangat menentukan hasil akhir dari hibrida F1 yang akan diperoleh. Bahan dan Metode A. Penelitian Uji Ketahanan Buah Kakao di Laboratorium dan Lapangan Penyiapan Inokulum P. palmivora . Isolat P. palmivora indigenus yang diketahui sangat patogenik dari penelitian sebelumnya Rubiyo et al., 2008a digunakan sebagai inokulum. Isolat P. palmivora terpilih LbSbr ditumbuhkan dalam cawan Petri berdiameter 9 cm yang berisi media PDA padat. Kultur patogen diinkubasikan selama tujuh hari pada kondisi gelap dalam ruang kultur bersuhu 26 o C. Hanya miselia patogen yang sedang aktif tumbuh di bagian ujung koloni yang digunakan sebagai inokulum miselia dalam percobaan. Uji Detached Pod di Laboratorium . Buah kakao sehat yang telah berkembang penuh tetapi belum masak dari 13 klon diambil dari lapang untuk digunakan dalam percobaan di laboratorium. Sebelum diinokulasi dalam uji detached pod , buah sehat yang telah dipanen dicuci dengan air yang mengalir. Buah kakao dilukai dengan cara membuat lubang berdiameter 8 mm dan sedalam 5 mm dengan menggunakan bor gabus. Potongan media PDA diameter 8 mm dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh sebagaimana telah disiapkan sebelumnya ditempelkan pada permukaan buah kakao yang telah dilukai. Buah yang sudah diinokulasi diinkubasikan dalam kotak yang dilapisi dengan aluminium foil. Di dalam kotak diletakkan busa yang telah dibasahi dengan air steril untuk menjaga kelembaban udara di dalam kotak 100. Kotak inkubasi disungkup dengan plastik dan diletakkan dalam ruang gelap pada suhu kamar 28 o C. Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap. Unit percobaan terdiri atas 3 buah kakao dan untuk setiap klon kakao yang diuji diulang tiga kali. Dalam percobaan yang dilakukan, sembilan buah kakao 3 buahunit x 3 ulangan diinokulasi untuk setiap klon kakao. Total klon kakao yang diuji sebanyak 13 klon. 73 Uji ketahanan di lapangan . Bahan dan metode yang digunakan sama dengan inokulasi di laboratorium. Inokulasi buah di lapang dilakukan terhadap buah yang masih menempel di pohon. Buah yang telah diinokulasi dengan miselia ditempel dengan kapas basah untuk menjaga kelembaban, kemudian dikerodong dengan kantong plastik transparan agar kelembaban tetap terjaga dan untuk menghindari adanya patogen lain yang menginfeksi. Umur dan kriteria buah yang digunakan penelitian di lapangan sama dengan yang di laboratorium. Penelitian di lapangan menggunakan 3 buah kakao sebagai ulangan, sehingga digunakan 3 pohon untuk tiap klon sebagai perlakuan. Pengelompokan Respon Ketahanan terhadap Infeksi P. palmivora . Respon buah yang diinokulasi diamati sejak tiga hari hingga tujuh hari sesudah inokulasi HSI. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah yang menunjukkan gejala dan terhadap panjang bercak p serta lebar bercak l yang muncul di permukaan buah kakao yang diuji, sebagai gejala infeksi P. palmivora. Luas bercak L di permukaan buah kakao yang diuji ditentukan dengan menggunakan rumus L=3.14[p+l]4 2 . Luas bercak yang muncul selanjutnya digunakan untuk mengelompokkan respon ketahanan buah yang diuji terhadap infeksi P. palmivora . Buah yang diuji dikelompokkan sebagai imun - jika setelah diinokulasi tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora tidak menghasilkan bercak; tahan – jika luas bercak 25 cm 2 , agak tahan – jika antara 25 – 50 cm 2 , agak rentan – jika antara 50 - 75 cm 2 , rentan jika antara 75 - 100 cm 2 , dan sangat rentan jika 100 cm 2 Iwaro et al, 1997 Hasil dan Pembahasan Uji Ketahanan Kakao di Laboratorium Berdasarkan hasil pengamatan luas bercak pada hari ke-7 setelah inokulasi di Laboratorium, klon GC 7 menunjukkan luas bercak tertinggi akibat inokulasi P. palmivora Tabel 9. Klon klon kakao yang lainnya TSH 858 dan PBC 123 menghasilkan luas bercak yang cukup tinggi namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan GC 7. Klon PA 300 menghasilkan luas bercak terkecil dibandingkan dengan klon yang lainnya 86,47 cm 2 dan mengalami perkembangan bercak yang lamban Gambar 12. 74 Tabel 9 Rata-rata luas bercak cm 2 beberapa klon kakao hasil inokulasi P. palmivora di laboratorium, 7 hari setelah inokulasi No Klon Rata-rata luas bercak cm 2 hari ke - 7 setelah inokulasi 1 GC 7 326,20 a 2 TSH 858 292,22 ab 3 PBC 123 247,63 ac 4 ICS 60 224,78 bd 5 DR2 220,19 bd 6 RCC70 210,77 cd 7 KKM 22 197,47 cd 8 SCA 12 180,86 cd 9 DRC16 183,30 cd 10 PA7 173,10 ce 11 ICS 13 154,36 ce 12 SCA 6 143,28 de 13 PA 300 86,47 e Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT aras 5. Hasil analisis statistik berdasarkan rata-rata luas bercak hari ke-7 sangat berbeda nyata bila dibandingkan dengan GC 7 klon rentan tetapi tidak berbeda nyata dengan klon Sca 6 yang digunakan sebagai klon kontrol yang tahan Tabel 9. Luas bercak klon yang lain berkisar antara 154,36 hingga 224,78 cm 2 . Berdasarkan hasil uji laboratorium terdahulu yang dilakukan oleh Sri-Sukamto Winarno 1986 dan Suhendi et al. 2005, klon Sca 6 diketahui selalu menghasilkan tingkat ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan klon yang lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama walaupun klon Sca 6 menghasilkan luas bercak yang terkecil setelah klon PA 300. Besarnya luas bercak yang dihasilkan tersebut sangat dimungkinkan karena kondisi lingkungan optimum suhu dan kelembaban khususnya dapat terkontrol dengan baik. Kondisi seperti ini sangat sesuai dengan lingkungan yang diinginkan oleh P. palmivora untuk tumbuh dan berkembang, sehingga akan mampu menginfeksi dengan baik pada buah kakao tersebut. 75 Hari Ke Setelah Inokulasi di Laboratorium Gambar 12. Representasi perkembangan luas bercak cm 2 5 klon kakao hasil inokulasi di Laboratorium. Uji Ketahanan Kakao di Lapangan Berdasarkan luas bercak pada hari ke-9 setelah inokulasi di lapangan, klon Sca 6, Pa 7 dan PA 300 menghasilkan luas bercak terkecil berturut-turut 4,78 , 7,02 dan 18,57 cm 2 Tabel 10. Tabel 10. Rata-rata luas bercak cm 2 beberapa klon kakao hasil inokulasi P. palmivora di lapangan, 9 hari setelah inokulasi No Klon Rata-rata luas bercak cm 2 1 GC 7 63,14 ad 2 TSH 858 62,52 ad 3 PBC 123 20,93 cd 4 ICS 60 43,59 ad 5 DR 2 74,76 ac 6 RCC70 102,70 a 7 KKM 22 99,66 a 8 SCA 12 37,34 bd 9 DRC16 74,69 ac 10 PA7 7,02 d 11 ICS 13 91,81 ab 12 SCA 6 4,78 d 13 PA 300 18,57 cd Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT aras 5. Luas bercak terbesar dihasilkan oleh klon klon RCC 70 dan KKM 22 masing-masing 102,70 dan 99,66 cm 2 . Klon yang lain menghasilkan luas bercak berkisar 20,93 - 91,81 cm 2 . Klon Sca 6 yang digunakan sebagai kontrol klon tahan secara konsisten menghasilkan luas bercak terkecil. Dengan demikian 100 200 300 3 4 5 6 7 8 9 PA 300 ICS 13 DR 2 TSH 858 GC 7 Luas Be rcak c m 2 76 semakin menguatkan bahwa klon Sca 6 dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan dalam perakitan kultivar kakao untuk penelitian selanjutnya. Luas bercak di lapang yang dihasilkan beberapa klon kakao yang diuji, walaupun lingkungan dikondisikan sama dengan di laboratorium, tetap lebih kecil dibandingkan dengan hasil uji di laboratorium. 100 200 300 4 5 6 7 8 9 PA 300 ICS 13 DR 2 TSH 858 GC 7 U j i d i L a b v s . d i L a p a n g a n P e r k e m b a n g a n l u a s b e r c a k p a d a b u a h h a s i l u j i d i L a p a n g 100 200 300 4 5 6 7 8 9 PA 300 ICS 13 DR 2 TSH 858 GC 7 Gambar 13 Representasi perkembangan luas bercak cm 2 5 klon kakao hasil inokulasi di lapangan Gambar 14. Representasi perkembangan luas bercak tiga klon kakao PA 300, DR 2 dan GC7 hasil inokulasi P. palmivora di lapangan dan laboratorium 100 200 300 3 4 5 6 7 8 9 PA300 Lb PA300 Lp GC7 Lb GC7 Lp DR2 Lb DR2 Lp Hari Ke Setelah Inokulasi di Laboratorium Lb dan Lapangan Lp Luas Be rcak c m 2 77 Luas Bercak di Laboratorium dan Lapangan 85,48 173,10 247,63 224,78 292,22 154,36 197,47 326,20 180,85 143,28 210,77 183,30 220,20 18,57 7,02 20,93 43,59 62,52 91,81 99,65 99,00 37,34 4,78 102,57 74,68 74,76 - 50 100 150 200 250 300 350 PA 300 PA7 PBC 123 ics 60 TSH 858 ICS 13 KKM 22 GC 7 SCA 12 SCA 6 RCC 70 DRC 16 DR 2 Klon Lu as B er c a k c m 2 Lab Lapangan Gambar15. Luas bercak cm 2 hasil inokulasi di Lapangan dan Laboratorium beberapa klon kakao terhadap penyakit busuk buah P. palmivora Dalam penelitian ini inokulasi di laboratorium maupun di lapang dilakukan dengan pelukaan jaringan. Cara inokulasi demikian dimaksudkan untuk menguji tingkat ketahanan pascapenetrasi Iwaro et al., 1995. Beberapa klon yang sebelumnya dilaporkan tahan seperti Sca 6, PA 7, PA 300 menunjukkan luas bercak yang kecil dibandingkan klon lain pada uji di lapang. Namun pada uji di laboratorium, klon – klon tersebut menunjukkan luas bercak yang sebanding atau bahkan lebih besar dari pada luas bercak klon rentan hasil uji lapangan. Diduga pemetikan buah untuk diuji di laboratorium menjadi faktor predisposisi yang memacu perkembangan bercak. Meskipun uji di laboratorium dapat membedakan klon kakao tahan dan rentan, uji laboratorium mempunyai potensi untuk keliru misleading karena klon yang mempunyai ketahanan cukup di lapang dapat terserang patogen di laboratorium dengan menunjukkan bercak yang luas. Perbedaan hasil inokulasi di laboratorium dan di lapangan selain masa inkubasi yang lebih lambat 2 hari dibandingkan dengan laboratorium, juga perbedaan luas bercak yang dihasilkan Gambar 14 dan 15. Umumnya luas bercak yang dihasilkan inokulasi di laboratorium cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi di lapang untuk klon yang sama. Perbedaan perkembangan bercak tersebut, selain kondisi lingkungan yang utamanya suhu dan kelembaban diduga ada faktor lain yang berperan dalam mengatur mekanisme ketahanan beberapa klon kakao tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mekanisme yang mengatur ketahanan kakao seperti enzim atau bahan kimia yang ada dalam buah atau daun kakao. 78 Umumnya seleksi ketahanan kakao terhadap penyakit busuk buah dilakukan dengan inokulasi alami ataupun buatan, yang didasarkan pada jumlah organ sakit dan keparahan penyakit Rocha, 1974. Indikator ini menunjukkan reaksi jaringan terhadap serangan patogen, tetapi tidak mengungkapkan secara tepat mekanisme ketahanan yang bekerja pada satu atau beberapa tahap dari daur penyakit busuk buah. Pengujian ketahanan dilakukan pada buah yang dipetik detached pod maupun buah di pohon attached pod. Uji pertama banyak diminati, namun hasilnya kurang sesuai dengan kondisi lapangan karena uji ini mengabaikan pengaruh lingkungan. Menurut Toxopeus Jacob 1970 cit. Wood, 1985 ada perbedaan ketebalan kulit buah dan tingkat lignifikasinya antar kultivar kakao sehingga dimungkinkan dapat berperan sebagai faktor ketahanan terhadap penyakit busuk buah. Simpulan 1. Klon Sca 6 dan Pa 300 secara konsisten menghasilkan luas bercak terkecil dibandingkan dengan klon yang lainnya baik di laboraorium maupun di lapangan. Klon kakao yang menunjukkan tingkat ketahanan yang rentan di laboratorium juga rentan di lapangan seperti klon GC7, 2. Hasil inokulasi di lapangan menghasilkan perkembangan luas bercak yang lebih kecil dan masa inkubasinya lebih lamban dibandingkan dengan inokulasi di laboratorium dengan masa inkubasi di lapang lebih lambat rata-rata 2 hari. 3. Penelitian ini menunjukkan bahwa uji ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora terbaik dilakukan pada buah di lapang. Pengujian di laboratorium dengan buah yang dipetik dapat dilakukan apabila dalam setiap pengujian disertakan klon tahan dan rentan sebagai pembanding, seperti Sca 6 dan GC 7. 79 Daftar Pustaka Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Academic Press.New York.4 th Ed.803.p. Akai S Fukutomi M. 1980. Preformed internal Physical Defenses.In J.A. Bailey B.J. Deverall Eds. Dynamic of Host Defence: Academic Press. Sydney. Akrofi AY Opoku IY. 2000. Managing Phytophthora megakarya pod root disease. Ghana experience. Proc. 3 rd Int. Seminar of International Permanent Working Group for Cocoa Pests and Diseases. Kota Kinabalu, Sabah Malaysia. 16-17 th October. Chittor JM, Leach JE, White FF. 1999. Induction of peroxidase during defense against pathogens In Datta SK, Muthukrishnan S Eds. Pathogenesis- Related Proteins in Plants . p.171-188. Science Darmono TW, Jamil I Santoso DA. 2006. Pengembangan penanda molekuler untuk deteksi Phytophthora palmivora pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 74: 86-95. Duniaway JM. 1983. Role of Physical Factors in Development of Phytophthora Diseases. In D.C.Erwin SB Gracia, PH Tsao Eds Phytophtora Its Biology, Taxonomy, Ecology and Pathology. 175-188. APS. St. Paul. El-Katatny MH, Gudelj M, Robra KH, Elnaghy MA, Gobitz GM. 2001. Characterzation of chitinase and endo-beta-1,3-glucanase from Trichoderma harzianum Rifai T24 involved in control of phytopathogen Sclerotium rolfsii . Appl Microbiol Biotechnol. 56: 137-143. Fry WE. 1989. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 376p. Goodwin T.W. Mercer EI. 1990. Introduction to Plant Biochemistry. Pergamon Press, Oxford. 677p. Iwaro DA, Sreenivasan TN Umaharan P. 1995. Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ. West Indies, Trinidad : 79-85. Iwaro DA, Sreenivasan TN Umaharan P. 1997. Phytophthora palmivora resistance in cocoa Theobroma cacao: Influence of pod morphological characteristics. Plant Pathol 46: 557-565. Iwaro DA, Sreenivasan TN Umaharan P. 1998. Cocoa resistance to Phytophthora : effects of pathogen spesies, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol 46: 557-565. Jacob VJ Toxopeus. 1971. The effect of pollinator parent on the pod value of hand pollinated pod of Theobroma cacao L. Int. Cacao Res. Conf., Tafo, Ghana, 556-564. Lagrimini LM, Joly RJ, Dunlap JR, Liu T-TY. 1997. The consequence of peroxidase overexpression in transgenic plants on root growth and development. Plant. Mol. Biol. 33: 887-895. 80 Muller RA.1974. Integrated Control Methods. In P.H. Gregory Eds. Phytophthora Disease of Cocoa : 259-265. Longman, London. Neuhaus JM. 1999. Plant chitinase PR-3, PR-4, PR-8, PR-11 In: Datta SK, Muthukrishnan S Eds. Pathogenesis-Related Proteins in Plants. London:CRC Pr. p. 77-105. Oku H. 1994. Plants Pathogenesis and Disease Control. Lewis Pub. CRC Press. Tokyo. 119p. Philips-Mora W. 1999. Studies on Resistance to Black Pod Disease Phytophthora palmivora Butler at CATIE. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement : 41-50. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26 th November. Pudjihartati E, Ilyas S Sudarsono, 2006 b . Aktivitas pembentukan secara cepat spesies oksigen aktif perosidase, dan kandungan lignin kacang tanah terinfeksi Sclerotium rolsfii. Hayati 13:166-172. Pudjihartati E, Siswanto, Ilyas S Sudarsono. 2006. Aktivitas Enzim Kitinase pada kacang tanah yang sehat dan yang terinfeksi Sclerotium rolsfii. Hayati 13: 73-78. Rocha HM. 1974. Breeding Cacao for resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory Ed Phytophthora Disease of Cocoa: 211-218 Longman London. Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto Sudarsono. 2008. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49. Rubiyo, Sri-Sukamto Iswanto A. 2000. Uji lapang ketahanan hibrida kakao terhadap penyakit busuk buah Phytophthora palmivora Butler. Jurnal Stigma 1: 57-59. Saikia R, Kumar R, Arora DK, Gogoi DK, Azad P. 2006. Psedomonas aeruginosa inducing rice resistance against Rhizoctonia solani Folia: production of salicylic acid and peroxidase. Microbiol 51: 375-380. Soria J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory Ed. Phytophthora Disease of Cocoa: 197-202. Longman London. Simmonds NW. 1994. Horizontal resistance to cocoa disease. Cocoa Growers Bul 47:42-52. Toxopeus H. 1999. Search for Phytophthora Pod Rot Resistance and Escape at the Cocoa Research Institute of Nigeria during the 1960s. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 159-166. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26 th November. Tarjot M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf. p:379-397. St Augustine, Trinidad. 8-18 th January. Tarjot M. 1974. Physiology of Fungus. In P.H. Gregory Ed Phytophthora Disease of cocoa : 103-116. Longman London. 81 Wood. 1985. Establishment. In G.A.R. Wood R.A. Lass Eds. Cocoa: 119- 165. Longman, London. Wirianata H. 2004. Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah. Disertasi S3 UGM Yogyakarta tidak diterbitkan, 130p. Wang S, Wu J, Rao P, Ng TB Ye X. 2005. A chitinase with antifungal activity from the mung bean. Protein Expr. Purif . 40:230-236. Zhang M, Melouk HA, Chenault K, El Rassi Z. 2001. Determination of cellular carbohydrates in peanut fungal pathogens and bakers yeast by capillary electrophoresis and electrochromatography. J Agric Food Chem. 49:5265- 5269. Zedooks. 1997. Disease Resistance Testing in Cocoa. INGENIC. UK. 58p. JUDUL 4. RESISTENSI KLON KAKAO TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl: RESPON 35 KLON KAKAO BERDASARKAN UJI DETACHED POD Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respon koleksi kakao terhadap infeksi penyakit busuk buah P. palmivora. Tujuan penelitian yang dilakukan antara lain: i menguji ketahanan 35 klon kakao terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod, ii menentukan ada tidaknya hubungan antara tipe kakao dan bentuk buahnya dengan sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora, dan iii mengetahui klon kakao yang rentan pada koleksi plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora. Penelitian menggunakan buah kakao dari 35 klon umur 4 bulan setelah antesis yang dipetik dari pohon dan diinokulasi dengan miselia P. palmivora di laboratorium. Pengamatan dilakukan terhadap panjang dan lebar bercak yang diakibatkan oleh infeksi P.palmivora pada buah kakao yang diuji. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa klon ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, Sca 6, TSH 858 dan ICS 60 merupakan 10 klon kakao yang mempunyai tingkat resistensi tinggi terhadap infeksi P. palmivora. Klon kakao yang sangat rentan adalah RCC 73, KKM 22, NIC 7, DRC 16, RCC 71, BL 300, BL 301, KEE 2, TSH 908 dan DRC 15. Klon kakao yang dapat digunakan sebagai tetua untuk proses seleksi lebih lanjut adalah: ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, TSH 858, NIC 4, DR 38, ICS 13, dan Sca 6. Kata kunci : Busuk buah, pemuliaan kakao, evaluasi plasma nutfah, uji ketahanan di laboratorium RESISTANCE OF CACAO CLONES AGAINST PHYTOPHTHORA PALMIVORA BUTL. INFECTION: RESPONSE OF 35 CACAO BASED ON DETACHED POD ASSAYS Abstract This research was conducted to evaluate the response of cacao collection against infection of black pod disease due to Phytophthora palmivora. The objectives of this experiment were i to evaluate the response of 35 cacao clones against infection of P. palmivora using detached pod assay, ii to determine the most resistance cacao clones, and iii to determine the most susceptible cacao clones among evaluated cacao germplasm collection against infection of P. palmivora . In the experiment, pods of 35 cacao clones at 4 months after anthesis were harvested and inoculated with mycelia of P. palmivora in the laboratory. Observations were conducted on length and width of necrotic symptoms because of P. palmivora infection on the surface of the tested pods. Results of the experiment showed that clones ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, TSH 858, SCA 6, and ICS 60 were the ten most resistant clones. On the other hand, clones RCC 733, KKM 22, NIC 7, DRC 16, RCC71, BL 300, BL 301, KEE 2, TSH 908, and DRC 15 were the ten most susceptible clones. Key words: Black pods, cacao breeding, germplasm evaluation, laboratory resistance tests 84 Pendahuluan Strategi yang efektif untuk mengatasi permasalahan busuk buah kakao di lapangan adalah dengan menanam klon kakao yang resisten terhadap Phytophthora palmivora Butl. Sebagai patogen penyebab busuk buah kakao, infeksi P. palmivora merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya kakao rakyat di Indonesia Prawirosoemardjo Purwantara, 1992. Serangan penyakit busuk buah kakao menyebabkan terjadinya penurunan hasil kakao hingga mencapai 45.5 Prawirosoemardjo Purwantara, 1992. Di perkebunan kakao rakyat, kehilangan hasil akibat serangan penyakit busuk buah kakao diduga lebih tinggi lagi karena kurang intensifnya pemeliharaan tanaman yang dilakukan. Pengembangan klon kakao yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora perlu dilakukan untuk mengurangi penurunan hasil kakao akibat infeksi P. palmivora di Indonesia. Klon kakao unggul yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora dapat dirakit melalui hibridisasi terkontrol antara tetua yang resisten atau toleran dengan yang berdaya hasil tinggi. Untuk itu, identifikasi plasma nutfah kakao yang resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora perlu dilakukan. Dalam penelitian sebelumnya, isolat P. palmivora indigenus Indonesia telah diisolasi dari buah kakao sakit dari lapangan Rubiyo et al., 2008a. Isolat P. palmivora yang mempunyai sifat patogenisitas tinggi telah diidentifikasi dan dapat digunakan untuk menguji respon plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora . Selain itu, metode yang efektif untuk identifikasi klon kakao yang resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora juga telah dikembangkan Rubiyo et al., 2008b. Selanjutnya, metode tersebut dapat digunakan untuk menguji respon klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia terhadap infeksi P. palmivora dan mengidentifikasi klon yang resisten atau toleran. Kegiatan Penelitian telah dilakukan untuk pengembangan klon kakao yang meningkat resistensinya terhadap infeksi P. palmivora dan berdaya hasil tinggi Sudarsono et. al. 2007. Keberhasilan pengembangan klon kakao unggul yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora sangat tergantung pada tersedianya klon kakao yang resisten terhadap infeksi P. palmivora sebagai tetua donor. 85 Klon-klon kakao di Kakao Indonesia umumnya termasuk ke dalam dua tipe kakao, yaitu tipe forastero atau trinitario Las and Wood, 1985; Alvim,1997; Opeke, 1982 dan Mawardi, 1982. Sementara jika dilihat dari bentuk buahnya maka klon-klon kakao tersebut mempunyai bentuk buah amilado, angoleta, calabasilo, atau candomaur Engels, 1986; Cheesman, 1944 dan Ostendorf, 1956. Ada tidaknya hubungan antara tipe kakao dan bentuk buah klon-klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia dengan respon ketahanan terhadap infeksi P. palmivora merupakan hal yang menarik untuk diketahui karena dapat dijadikan dasar pengembangan idiotipe klon-kakao unggulan. Analisis komponen varian genetik untuk sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora dapat menghasilkan informasi yang berguna dalam mendukung kegiatan pemuliaan tanaman Begum Sobhan, 1991, termasuk pemuliaan tanaman kakao. Dengan didapatkannya nilai komponen varian genetik akan dapat diduga pola penurunan sifat heritabilitas resistensi terhadap infeksi P. palmivora pada kakao. Sifat tanaman terekspresi sebagai pengaruh faktor genetik dan lingkungan yang bertindak secara simultan Allard, 1960. Parameter genetik digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahuai peranan genetik terhadap penotipik sifat tanaman. Oleh karena itu, pengukuran parameter genetik motlak harus dilakukan dalam tahapan suatu kegiatan pemuliaan tanaman kakao. Untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan identifikasi klon kakao yang tahan atau toleran terhadap infeksi P. palmivora , yang dapat digunakan sebagai donor sifat ketahanan. Tujuan penelitian yang dilakukan antara lain: i menguji ketahanan 35 klon kakao terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod, ii menentukan ada tidaknya hubungan antara tipe kakao dan bentuk buahnya dengan sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora, dan iii menghitung komponen varian genetik dan melakukan pendugaan nilai heritabilitas sifat ketahanan kakao terhadap infeksi P. palmivora .. 86 Bahan dan Metode Bahan Tanaman . Ketahanan klon kakao terhadap infeksi busuk buah diuji dengan menggunakan uji detached pod di laboratorium. Dalam pengujian ini digunakan buah kakao 35 klon - Tabel 11 yang berumur kurang lebih 4 bulan sesudah antesis buah telah berkembang sempurna tetapi belum masak. Buah yang terbebas dari infeksi busuk buah dipanen dan digunakan untuk uji detached pod di laboratorium. Penyiapan Inokulum P. palmivora . Isolat P. palmivora indigenus LBSBR yang diketahui sangat patogenik dari penelitian sebelumnya Rubiyo et al., 2008a digunakan sebagai inokulum. Kultur patogen diinkubasikan selama tujuh hari pada kondisi gelap dalam ruang kultur bersuhu 26 o C. Hanya miselia patogen yang sedang aktif tumbuh di bagian ujung koloni yang digunakan sebagai inokulum miselia dalam percobaan. Uji Detached Pod di Laboratorium . Sebelum diinokulasi dalam uji detached pod , buah sehat yang telah dipanen dicuci dengan air yang mengalir. Buah kakao dilukai dengan cara membuat lubang berdiameter 8 mm dan sedalam 5 mm dengan menggunakan bor gabus. Potongan media PDA diameter 8 mm dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh sebagaimana telah disiapkan sebelumnya ditempelkan pada permukaan buah kakao yang telah dilukai. Buah yang sudah diinokulasi diinkubasikan dalam kotak yang dilapisi dengan aluminium foil. Di dalam kotak diletakkan busa yang telah dibasahi dengan air steril untuk menjaga kelembaban udara di dalam kotak. Kotak inkubasi disungkup dengan plastik untuk menjaga kelembabannya 100 dan diletakkan dalam ruang gelap pada suhu kamar 28 o C selama tujuh hari. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap. Unit percobaan terdiri atas 3 buah kakao dan untuk setiap klon kakao yang diuji diulang tiga kali. Dalam percobaan yang dilakukan, sembilan buah kakao 3 buahunit x 3 ulangan diinokulasi untuk setiap klon kakao. Total klon kakao yang diuji sebanyak 35 klon sehingga total buah yang diinokulasi dalam percobaan sebanyak 315 buah 3 buahunit x 3 ulangan x 35 klon. 87 Tabel 11. Material genotipe kakao yang digunakan dalam evaluasi respon plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora. No Nama Klon Kelompok kakao Keterangan Bobot 1 biji kering Warna Biji Segar 1 DR1 Mulia Indonesia 1 g Putih 2 DR2 Mulia Indonesia 1 g Putih 3 DRC16 Mulia Indonesia 1 g Putih 4 DR38 Mulia Indonesia 1 g Putih 5 ICS60 Lindak Introduksi 1 g Ungu 6 TSH 858 Lindak Introduksi 1 g Ungu 7 GC7 Lindak Introduksi 1 g Ungu 8 SCA 12 Lindak Introduksi 1 g Ungu 9 UIT1 Lindak Introduksi 1 g Ungu 10 Sca 6 Lindak Introduksi 1 g Ungu 11 Sca 8 Lindak Introduksi 1 g Ungu 12 SCA 12 Lindak Introduksi 1 g Ungu 13 Sca 89 Lindak Introduksi 1 g Ungu 14 KEE2 Lindak Introduksi 1 g Ungu 15 KEE 52 Lindak Introduksi 1 g Ungu 16 NW 6261 Lindak Introduksi 1 g Ungu 17 ICS13 Lindak Introduksi 1 g Ungu 18 NIC7 Lindak Introduksi 1 g Ungu 19 NIC 4 Lindak Introduksi 1 g Ungu 20 PA 300 Lindak Introduksi 1 g Ungu 21 PA7 Lindak Introduksi 1 g Ungu 22 PA 303 Lindak Introduksi 1 g Ungu 23 UF 667 Lindak Introduksi 1 g Ungu 24 DRC 15 Lindak Indonesia 1 g Ungu 25 RCC 70 Lindak Indonesia 1 g Ungu 26 RCC 71 Lindak Indonesia 1 g Ungu 27 RCC 72 Lindak Indonesia 1 g Ungu 28 RCC 73 Lindak Indonesia 1 g Ungu 29 ICRI 01 Lindak Indonesia 1 g Putih 30 ICRI 02 Lindak Indonesia 1 g Putih 31 ICRI 03 Lindak Indonesia 1 g Ungu 32 ICRI 04 Lindak Indonesia 1 g Ungu 33 TSH 908 Lindak Introduksi 1 g Ungu Pengelompokan Respon Ketahanan terhadap Infeksi P. palmivora . Respon buah yang diinokulasi diamati sejak tiga hari hingga tujuh hari sesudah inokulasi HSI. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah yang menunjukkan gejala dan terhadap panjang bercak p serta lebar bercak l yang muncul di permukaan buah kakao yang diuji, sebagai gejala infeksi P. palmivora. Luas bercak L di permukaan buah kakao yang diuji ditentukan dengan menggunakan rumus L=3.14[p+l]4 2 . Luas bercak yang muncul selanjutnya digunakan untuk 88 mengelompokkan respon ketahanan buah yang diuji terhadap infeksi P. palmivora . Buah yang diuji dikelompokkan sebagai imun - jika setelah diinokulasi tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora tidak menghasilkan bercak; tahan – jika luas bercak 25 cm 2 , agak tahan – jika antara 25 – 50 cm 2 , agak rentan – jika antara 50 - 75 cm 2 , rentan jika antara 75 - 100 cm 2 , dan sangat rentan jika 100 cm 2 . Hubungan antara Tipe Kakao dan Bentuk Buah dengan Respon Ketahanan . Tiga puluh lima klon kakao yang diuji dikelompokkan ke dalam dua tipe kakao, yaitu tipe forastero atau trinitario berdasarkan informasi yang didapat dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Selain itu, bentuk buah masing- masing klon yang diuji dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu amilado, angoleta, calabasilo, atau candomaur. Selanjutnya, analisis dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tipe kakao, bentuk buah, dan respon ketahanan buah kakao terhadap infeksi P. palmivora yang diuji dengan menggunakan uji detached pod di laboratorium. Ragam Genetik Kerentanan Kakao Berdasarkan Luas Bercak . Di samping itu, dilakukan analisis sidik ragam dan nilai duga ragam genetik. Identitas tetua yang menunjukkan hasil resisten akan digunakan sebagai calon tetua donor P1 sedangkan yang rentan terhadap infeksi P. palmivora akan digunakan sebagai tetua recurrent P2. Nilai luas bercak digunakan sebagai tolak ukur ketahanan terhadap P. palmivora. Berdasarkan peubah tersebut dapat dihitung nilai duga parameter genetik antara lain: daya waris arti luas h 2 bs , kovarian ragam genetik KVG, respon seleksi R dan kemajuan genetik KG sesuai rumus Singh Chauddary, 1979 2 2 2 e g p δ δ δ + = ............................................................................................ 1 2 2 2 p g bs h δ δ = ............................................................................................... 2 p bs h i R δ . . 2 = ............................................................................................ 3 100 2 x X KVG g ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = δ .......................................................................................................................... 4 100 x X R KG ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ = ................................................................................. 5 89 Keterangan: X = rerata; i = intensitas seleksi; 2 bs h = heritabilitas arti luas; R = respon seleksi 2 g δ = ragam genetik; 2 p δ = ragam penotip; KVG = kovarian ragam genetik Hasil dan Pembahasan Ketahanan Klon Kakao Terhadap Infeksi

P. palmivora

Dokumen yang terkait

APLIKASI KONSENTRASI BUBUR CALIFORNIA DALAM BIOCOATING TERHADAP TINGKAT SERANGAN BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.) PADA TIGA KLON KAKAO (Theobroma cacao Lin.)

0 3 17

APLIKASI KONSENTRASI BUBUR CALIFORNIA DALAM BIOCOATING TERHADAP TINGKAT SERANGAN BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.) PADA TIGA KLON KAKAO (Theobroma cacao Lin.)

0 3 17

APLIKASI KONSENTRASI BUBUR CALIFORNIA DALAM BIOCOATING TERHADAP TINGKAT SERANGAN BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.) PADA TIGA KLON KAKAO (Theobroma cacao Lin.)

0 3 17

APLIKASI KONSENTRASI BUBUR CALIFORNIA DALAM BIOCOATING TERHADAP TINGKAT SERANGAN BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.) PADA TIGA KLON KAKAO (Theobroma cacao Lin.)

0 3 17

APLIKASI KONSENTRASI BUBUR CALIFORNIA DALAM BIOCOATING TERHADAP TINGKAT SERANGAN BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.) PADA TIGA KLON KAKAO (Theobroma cacao Lin.)

0 5 17

APLIKASI KONSENTRASI BUBUR CALIFORNIA DALAM BIOCOATING TERHADAP TINGKAT SERANGAN BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.) PADA TIGA KLON KAKAO (Theobroma cacao Lin.)

0 5 17

APLIKASI KONSENTRASI BUBUR CALIFORNIA DALAM BIOCOATING TERHADAP TINGKAT SERANGAN BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.) PADA TIGA KLON KAKAO (Theobroma cacao Lin.)

0 3 18

PENGARUH UKURAN PLASTIK UNTUK PENYARUNGAN BUAH KAKAO (Theobroma cacao) TERHADAP INTENSITAS PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora)

2 40 42

UJI LAPANG KETAHANAN HIBRIDA KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butler).

0 0 3

UJI KETAHANAN BEBERAPA KLON KAKAO (Theobromae cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthorah palmivora butl)

0 0 8