Perubahan gambaran darah seperti jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin dapat mencerminkan adanya perubahan status
fisiologis. Indeks hematologi domba normal tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Parameter Hematologi Domba Normal
Parameter Nilai kisaran
Satuan RBC eritrosit
8-16 10
6
µl WBC leukosit
4-12 10
3
µl Hb
8-16 g
PCV 24-50
MCV 33-48
fl MCH
8-13 pg
MCHC 27-38
gdl Sumber: Frandson 1996, Banks 1993, dan Kelly 1984
2.3. Sel Darah Merah Eritrosit
Istilah eritrosit berasal dari bahasa yunani yaitu eritro yang berarti darah dan sit yang berarti sel. Proses pembentukan sel-sel eritrosit berbeda tergantung
pada tahap perkembangan hewan. Pada masa fetus, sel eritrosit diproduksi oleh hati dan limpa, sedangkan pada saat hewan dewasa produksi eritrosit diambil alih
fungsinya oleh sumsum tulang merah Frandson 1996. Domba memiliki eritrosit berukuran sekitar 4,8 µ m dengan bentuk cakram bikonkaf dan pinggiran sirkuler
Swenson 1984. Eritrosit domba dapat bertahan aktif dalam sistem sirkulasi selama 146 ±
12,9 hari dilihat melalui uji serologis dan selama 137 hari melalui pengujian radioaktif Sherif dan Habel 1976. Secara umum, eritrosit mamalia termasuk
domba, memiliki karakteristik yang tidak berinti dan bersifat nonmotil Swenson 1984. Produksi eritrosit pada mamalia dipengaruhi oleh stimulasi EPO atau
erythropoietin yang dihasilkan oleh ginjal sebagai respon terhadap hipoksia yang terjadi di jaringan Guyton and Hall 1997. Penghancuran dan pembuangan sel-sel
darah merah dilakukan oleh makrofag atau sistem rerikuloendotelial, yang terdiri atas sel-sel khusus dalam hati, limfa, sumsum tulang, dan limfonodus. Sel akan
mengalami proses disintegrasi, melepaskan Hb ke dalam sirkulasi, dan menjadi
debris puing-puing sel rusak untuk selanjutnya dibuang dari sirkulasi Frandson 1996.
Pembentukan eritrosit terjadi di sumsum tulang. Eritrosit memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan sel-sel lain dalam jaringan. Kandungan utama
dalam eritrosit, yaitu hemoglobin, lipid, protein, dan enzim. Hemoglobin merupakan zat padat yang memberi warna merah pada eritrosit dan berfungsi
mengikat oksigen dalam fungsi respirasi. Lipid yang terdapat dalam eritrosit, diantaranya kolesterol, lesitin, dan sefalin. Protein dalam eritrosit, yaitu stromatin,
lipoprotein, dan elimin. Karbonat anhidrase, peptidase, kolinesterase, dan enzim- enzim dalam sistem glikolisis, merupakan enzim yang terdapat dalam eritrosit.
Bahan organik utama dalam eritrosit adalah ATP dan ADP yang berperan dalam produksi energi. Bahan organik lain yang terkandung dalam eritrosit, di antaranya
urea, asam amino, kreatinin, dan glukosa Schalm 1975. Struktur membran eritrosit tampak seperti gambar 1 dibawah ini,
Gambar 1. Struktur Membran Eritrosit Simplified diagram of the RBC membrane structure. A Rh complex; B protein
4.1 complex; C and D band 3 macrocomplex C band 3 tetrameric form and D band 3 dimeric form Oliveira dan Saldanha 2009.
Komposisi elektrolit dan konsentrasi glukosa dalam plasma sama dengan komposisi dan konsentrasi di dalam eritrosit dan memiliki tekanan osmolaritas
yang isotonis dengan osmosis larutan 0,9 NaCl dalam air. Jumlah eritrosit antara satu spesies dengan spesies lain berbeda-beda. Umumnya, jumlah normal
eritrosit dalam tubuh berkisar antara 4 juta hingga 5 juta sel dalam tiap 1 mm
3
.
Jumlah eritrosit dalam tubuh memiliki nilai yang cenderung tetap. Hal ini menunjukkan adanya kesesuaian kecepatan pembentukan eritrosit baru dengan
kecepatan rusaknya eritrosit lama. Proses pembentukan darah yang terdiri atas eritrosit, leukosit, dan platelet
disebut hemopoiesis. Sel darah hewan dewasa berasal dari satu sumber, yaitu sel- sel batang primordial di dalam sumsum tulang. Eritropoiesis adalah proses
pembentukan eritrosit yang dipengaruhi oleh respon tubuh terhadap kadar oksigen dalam jaringan. Bila jaringan dan sel mengalami kondisi hipoksia atau kurangnya
kadar oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme optimum, maka renal akan melepaskan hormon eritropoietin ke plasma darah untuk merangsang
eritropoiesis. Eritropoietin akan berada dalam plasma satu jam setelah mulai terjadinya hipoksia. Hipoksia dapat terjadi karena rendahnya kadar oksigen dalam
darah yang dapat disebabkan oleh hipoventilasi, maupun karena afinitas hemoglobin yang rendah terhadap oksigen sehingga suplai oksigen ke jaringan
menurun. Sumsum tulang tidak menunjukkan respon langsung terhadap hipoksia dan umumnya produksi eritrosit baru akan terjadi tiga hari kemudian hingga
kondisi hipoksia dapat dihilangkan. Setelah kondisi hipoksia berakhir, eritrosit yang berlebih dalam sirkulasi akan dieliminasi melaui mekanisme atrisi
pelemahan dan degenerasi normal setelah kurang lebih bersirkulasi selama 120 hari tanpa pergantian Frandson 1996.
Kondisi kelainan klinis berupa menurunnya jumlah eritrosit dibawah batas normal disebut anemia. Anemia dapat terjadi karena infeksi maupun kelainan
kongenital. Menurunnya jumlah eritrosit berakibat pada menurunnya suplai oksigen ke jaringan dan terhambatnya penyaluran bahan organik ke sel yang
secara tidak langsung menggangu metabolisme tubuh. Jumlah eritrosit yang meningkat hingga diatas ambang normal juga merupakan suatu kondisi kelainan
yang disebut polisitemia Guyton dan Hall 1997. Menurut Palazzuoli et al. 2011, anemia adalah tanda klinis penyakit yang
sering dikaitkan dengan kegagalan fungsi jantung dan insufisiensi renal. Hubungan antara ketiga kondisi kelainan ini disebut sebagai penyakit cardio-
renal-anemia syndrome CRS. Anemia dapat muncul sebagai hasil dari interaksi kompleks antara kemampuan jantung, homeostasis sumsum tulang, disfungsi
renal, dan efek samping dari berbagai jenis obat-obatan. Aktivitas neurohormonal dan antiinflamasi seringkali menjadi kunci awal munculnya penyakit yang bersifat
progresif hingga akhirnya berujung pada anemia. Menurut Silverberg 2011, penyebab utama anemia pada kondisi gagal jantung kongesti, adalah penyakit
ginjal kronis yang mengakibatkan terjadinya depresi produksi eritropoietin di ginjal diikuti produksi sitokin yang berlebihan dan berakhir dengan terjadinya
depresi produksi eritropoietin di ginjal maupun di sumsum tulang. Kelebihan produksi sitokin pada gagal jantung kongesti juga menyebabkan defisiensi besi
karena sitokin akan meningkatkan produksi hepcidin dari hati yang menyebabkan penurunan absorpsi besi di gastrointestinal dan mengurangi pelepasan besi dari
depositnya di makofag dan hepatosit. Polisitemia didefinisikan sebagai kenaikan hematokrit dan hemoglobin
berturut-turut. Penyebab utamanya dapat karena penyakit neoplastik seperti polisitemia vera dengan proliferasi sel klon. Beberapa kondisi polisitemia dapat
terjadi sebagai hasil dari hipoksia kronis. Polisitemia fisiologis dapat ditemukan di penduduk dataran tinggi dan atlit yang berlatih di daerah tinggi Kohler dan
Dellweg 2010.
2.4. Hemoglobin