Gambaran Darah Merah Domba yang Dicekok Jamu Veteriner selama Kebuntingan.

(1)

ABSTRAK

RIKA FEBRI ANISA. Gambaran Darah Merah Domba yang Dicekok Jamu Veteriner selama Kebuntingan. Dibimbing oleh WASMEN MANALU dan

ANDRIYANTO

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran hematologi (jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit) domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL. Sebanyak 15 ekor domba betina yang dewasa kelamin dengan bobot badan mulai dari 15 sampai dengan 25 kg digunakan dalam penelitian ini. Domba penelitian dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu domba yang tidak diberi jamu (kontrol), domba yang diberi jamu veteriner dosis 15 mL, dan domba yang diberi jamu veteriner dosis 30 mL. Sampel darah diambil setiap bulan kebuntingan hingga induk melahirkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL memiliki jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit yang paling tinggi dibandingkan kelompok domba yang tidak dicekok jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL (kontrol) dan kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15 mL. Kelompok domba kontrol memiliki jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit yang paling rendah dibandingkan kelompok perlakuan lain. Jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan mengalami kenaikan pada awal kebuntingan dan mengalami penurunan pada akhir kebuntingan. Kadar hemoglobin tidak mengalami perubahan yang signifikan selama masa kebuntingan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL terbukti mampu meningkatkan nilai hematologis domba.


(2)

ABSTRACT

RIKA FEBRI ANISA. Hematological Profiles of Ewes Administered Jamu Veteriner during Pregnancy. Superviced by WASMEN MANALU dan

ANDRIYANTO

This research was conducted to study hematogical profiles (total erythrocyte, haemoglobin concentration, and packed cell volume) of pregnant ewes administered 15 and 30 mL of jamu veteriner during pregnancy. Fifteen ewes weighing between 15-25 kg were divided into 3 groups i.e., ewes without jamu veteriner administration (control), ewes administered with 15 and 30 mL of jamu veteriner. Jamu veteriner was administered after 1,5 month pregnancy until parturition. Blood samples were taken from the jugular vein monthly during the five months of pregnancy. The result showed that the ewes administered with dosage 30 mL of jamu veteriner had the highest total erythrocyte, haemoglobin concentration, and hematocrit value as compared to the other groups. The control groups had the lowest total erythrocyte, haemoglobin concentration, and hematocrit value as compared to the other groups. The number of total erythrocyte, haemoglobin concentration, and hematocrit value increased during the early pregnancy and decreased during late pregnancy. Haemoglobin concentration was not change significantly during pregnancy. It was concluded that the administration of jamu veteriner at the dosage 15 and 30 mL could improve the haematological conditions of ewes during pregnancy.


(3)

GAMBA

ARAN DA

VET

FA

ARAH M

TERINER

RI

AKULTA

INSTITU

MERAH D

R SELAM

IKA FEB

AS KEDOK

UT PERT

BOG

201

DOMBA Y

MA KEBU

RI ANISA

KTERAN

TANIAN B

GOR

12

YANG DI

UNTINGA

A

N HEWAN

BOGOR

ICEKOK

AN

N


(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Gambaran darah merah domba yang dicekok jamu veteriner selama kebuntingan adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing. Karya tulis ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Rika Febri Anisa B04080147

           


(5)

ABSTRAK

RIKA FEBRI ANISA. Gambaran Darah Merah Domba yang Dicekok Jamu Veteriner selama Kebuntingan. Dibimbing oleh WASMEN MANALU dan

ANDRIYANTO

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran hematologi (jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit) domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL. Sebanyak 15 ekor domba betina yang dewasa kelamin dengan bobot badan mulai dari 15 sampai dengan 25 kg digunakan dalam penelitian ini. Domba penelitian dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu domba yang tidak diberi jamu (kontrol), domba yang diberi jamu veteriner dosis 15 mL, dan domba yang diberi jamu veteriner dosis 30 mL. Sampel darah diambil setiap bulan kebuntingan hingga induk melahirkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL memiliki jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit yang paling tinggi dibandingkan kelompok domba yang tidak dicekok jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL (kontrol) dan kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15 mL. Kelompok domba kontrol memiliki jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit yang paling rendah dibandingkan kelompok perlakuan lain. Jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan mengalami kenaikan pada awal kebuntingan dan mengalami penurunan pada akhir kebuntingan. Kadar hemoglobin tidak mengalami perubahan yang signifikan selama masa kebuntingan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL terbukti mampu meningkatkan nilai hematologis domba.


(6)

ABSTRACT

RIKA FEBRI ANISA. Hematological Profiles of Ewes Administered Jamu Veteriner during Pregnancy. Superviced by WASMEN MANALU dan

ANDRIYANTO

This research was conducted to study hematogical profiles (total erythrocyte, haemoglobin concentration, and packed cell volume) of pregnant ewes administered 15 and 30 mL of jamu veteriner during pregnancy. Fifteen ewes weighing between 15-25 kg were divided into 3 groups i.e., ewes without jamu veteriner administration (control), ewes administered with 15 and 30 mL of jamu veteriner. Jamu veteriner was administered after 1,5 month pregnancy until parturition. Blood samples were taken from the jugular vein monthly during the five months of pregnancy. The result showed that the ewes administered with dosage 30 mL of jamu veteriner had the highest total erythrocyte, haemoglobin concentration, and hematocrit value as compared to the other groups. The control groups had the lowest total erythrocyte, haemoglobin concentration, and hematocrit value as compared to the other groups. The number of total erythrocyte, haemoglobin concentration, and hematocrit value increased during the early pregnancy and decreased during late pregnancy. Haemoglobin concentration was not change significantly during pregnancy. It was concluded that the administration of jamu veteriner at the dosage 15 and 30 mL could improve the haematological conditions of ewes during pregnancy.


(7)

 

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang – Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA YANG DICEKOK JAMU

VETERINER SELAMA KEBUNTINGAN

RIKA FEBRI ANISA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Disetujui, Dosen Pembimbing 1

Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu Dr. drh. NIP. 19571220 198312 1 001

Dosen Pembimbing 2

drh. Andriyanto, M.Si NIP. 19820104 2006040 1 006

Diketahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Drh. Agus Setiyono M. S., Ph.D. APVet. NIP. 19630810 198803 1 004

 

Tanggal Lulus :

Judul Skripsi : Gambaran Darah Merah Domba yang Dicekok Jamu Veteriner selama Kebuntingan.

Nama Mahasiswa : Rika Febri Anisa

NIM : B04080147


(10)

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Allah SWT serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Darah Merah Domba Yang Dicekok Jamu Veteriner Selama Periode Kebuntingan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari dari bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan ini, Penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Drh. Andriyanto M,Si dan Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi dari awal hingga tersusunnya skripsi ini.

2. Drh. Adi Winarto Ph.D, PAVet sebagai dosen pembimbing akademik yang turut memberi nasehat dan motivasi hingga tersusunya skripsi ini.

3. Orang tuaku tercinta dan adik-adikku tersayang atas doa dan dukungannya 4. Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi

(AFF), Fakultas Kedokteran Hewan beserta segenap staf. 5. Teman-teman sepenelitian atas kerjasamanya selama penelitian

6. Sahabat-sahabatku Avenzoar 45 yang tak akan terlupakan dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang turut membantu penyelesaian skripsi ini

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, dan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2012


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Februari 1990 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mukhlis dan Ibu Mardialis.

Penulis menempuh pendidikan yang dimulai dari pendidikan dasar (SD) dan lulus pada tahun 2003 di SDN 02 Tualang, Riau. Pendidikan lanjutan menengah pertama (SMP) diselesaikan Penulis pada tahun 2006 di SMPN 01 Perawang, Riau. Pendidikan lanjutan menengah atas (SMA) diselesaikan pada tahun 2009 di SMAN 01 Perawang, Riau. Penulis diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 melalui jalur Beasiswa Undangan Daerah (BUD) dan pada tahun berikutnya Penulis diterima sebagai mahasiswa kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif pada beberapa organisasi kemahasiswaan seperti organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Riau sebagai anggota, Himpro Hewan Kesayangan (HKSA) sebagai anggota, dan juga aktif dalam beberapa kepanitian seperti dalam pemilihan raya (PEMIRA) sebagai humas di FKH-IPB serta di beberapa kegiatan An-Nahl.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... .... vii

DAFTAR TABEL ... ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR GRAFIK ... xi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba ... 3

2.2. Sedian Jamu Veteriner 2.1.1. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) ... 5

2.1.2. Lempuyang (Zingiber zerumbet)... 6

2.2.3. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii). ... 7

2.2.4. Merica (Piper nigrum L.) ... 9

2.2.5. Jahe (Zingiber officinale R.) ... 10

2.3. Darah ... 11

2.4. Sel Darah Merah ... 12

BAB III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat ... 14

3.2. Alat dan Bahan ... 14

3.3. Tahap Persiapan ... 14

3.3.1. Hewan Percobaan ... 14

3.3.2. Aklimatisasi Domba ... 14

3.3.3. Kandang, Pakan, Minum ... 15

3.3.4. Sinkronisasi Domba ... 15

3.4. Tahap Pelaksanaan ... 15

3.4.1. Rancangan Percobaan ... 15

3.4.2. Pemberian Jamu Veteriner ... 15

3.4.3. Pengambilan Sampel ... 16

3.4.4. Penghitungan Eritrosit, Hematokrit, Hemoglobin ... 16

3.5. Variabel yang Diamati ... 17

3.6. Analisis Data ... 17

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Jumlah Eritrosit ... 18


(13)

4.3. Nilai Hematokrit ... 22

BAB V. PENUTUP 5.1. Simpulan ... 26

5.2. Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba bunting yang

dicekok jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL selama kebuntingan ... 18 2. Kadar hemoglobin (gr%) induk domba bunting yang dicekok

jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL selama kebuntinngan ... 21 3. Nilai hematokrit (%) induk domba bunting yang dicekok jamu

veteriner dosis 15 dan 30 mL selama kebuntingan ... 23


(15)

DAFTAR GAMBAR

                  Halaman

1. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)... 5

2. Lempuyang (Zingiber zerumbet)... 7

3. Kayu Manis (Cinnamomum burmannii). ... 8

4. Merica (Piper nigrum L.) ... 9


(16)

DAFTAR GRAFIK

Halaman 1. Jumlah sel darah merah induk domba kontrol ((♦), diberi jamu

veteriner dosis 15 mL (■), dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL

(∆) selama lima bulan kebuntingan ... 19 2. Kadar hemoglobin induk domba kontrol ((♦), diberi jamu

veteriner dosis 15 mL (■), dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL

(∆) selama lima bulan kebuntingan ... 22 3. Nilai hematokrit induk domba bunting kontrol ((♦), diberi jamu

veteriner dosis 15 mL (■), dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL

(∆) selama lima bulan kebuntingan ... 24


(17)

BAB

ǿ

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Domba tergolong ke dalam famili Bovidae. Di Indonesia, beberapa domba yang umum diternakkan petani di antaranya ialah domba ekor gemuk (domba gibas), domba ekor tipis dan domba garut. Domba merupakan ternak yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sehingga di lingkungan yang buruk sekalipun masih dapat hidup dan bersifat prolifik sehingga mampu melahirkan anak lebih dari satu, bahkan bisa mencapai empat ekor dalam satu kali kelahiran (Inonu & Iniguez 1991).

Secara umum, domba yang melahirkan anak lebih dari tiga ekor biasanya memiliki bobot lahir yang rendah dan memiliki tingkat kematian yang tinggi (Sumaryadi 1997; Sutama et al. 1999; Andriyanto & Manalu 2011). Keadaan ini akan berdampak buruk terhadap efisiensi reproduksi ternak serta berpengaruh besar terhadap status fisiologis dan kesehatan induk itu sendiri. Adanya perubahan keadaan fisiologis dan kesehatan induk ini dapat diketahui dengan mengamati hasil dari gambaran darah.

Upaya peningkatan kesehatan dan performans induk domba dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan pemberian pakan yang tepat dan memenuhi kebutuhan zat gizinya. Upaya lain yang tidak kalah penting adalah dengan memberikan sediaan ramuan tanaman obat atau ramuan tradisional selama hewan pada periode kebuntingan. Ramuan tradisional merupakan media pengobatan yang menggunakan tanaman dengan kandungan bahan-bahan alamiah sebagai bahan baku (Agromedia 2008). Ramuan tradisional yang digunakan di antaranya adalah sambiloto, lempuyang, kayu manis, jahe, dan merica.

Sambiloto, lempuyang, kayu manis, jahe, dan merica merupakan tanaman obat yang memiliki banyak khasiat. Sambiloto mengandung senyawa andrographolide yang berfungsi sebagai pelindung hati (hepatoprotektor), dapat menekan pertumbuhan sel kanker, dan meningkatkan kekebalan tubuh (Dalimartha 2004). Lempuyang dapat digunakan sebagai obat batu ginjal, dapat menetralkan dan


(18)

membersihkan darah, mengobati batuk rejan serta dapat menambah nafsu makan (Arif 2009). Kayu manis mengandung minyak atsiri (sinamaldehid) yang berfungsi sebagai antioksidan dalam melawan bahaya radikal bebas dalam membran sel (Jayaprakasha 2003). Sementara itu, penggunaan jahe dan merica juga telah banyak dikenal sebagai tanaman obat. Secara farmakologi jahe bermanfaat sebagai karminatif, antimuntah, pereda kejang, antipengerasan pembuluh darah, antiinflamasi, dan dapat meningkatkan kekebalan tubuh (Hariana 2004). Merica juga memiliki manfaat sebagai obat sesak napas, analgesik, melancarkan peredaran darah, serta dapat menghangatkan badan (Paimin 2002).

Formulasi dari ekstrak jamu veteriner yang diberikan terdiri atas sambiloto, lempuyang, kayu manis, merica, dan jahe. Pemberian ekstrak jamu veteriner ini diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan status fisiologis serta performans induk domba, sehingga mampu menghasilkan anak domba yang berkualitas. Selain itu, dengan tercapainya kondisi tersebut tingkat kematian anak menjadi rendah sehingga efisiensi reproduksi akan meningkat.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pemberian ekstrak jamu veteriner terhadap status fisiologis dan kesehatan induk domba yang dapat dilihat dari hasil gambaran darah merah domba selama periode kebuntingan.

1.3. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan status fisiologis domba guna menghasilkan anak yang berkualitas sehingga populasi domba di Indonesia juga akan turut meningkat. Peningkatan populalsi domba ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan daging domestik dan dapat memberikan konstribusi pada swasembada daging nasional.

     


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Domba

Salah satu ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan protein hewani di berbagai negara, termasuk Indonesia ialah domba. Sekarang ini, ternak domba yang ada merupakan hasil dosmetikasi domba liar yang dilakukan dalam kurun waktu yang panjang (Purnomo 2009). Klasifikasi ilmiah domba menurut Damron (2006), yaitu Kingdom (Animalia), Phylum (Chordata), Subphylum (Vertebrata), Class (Mammalia), Ordo (Artiodactyla), Family (Bovidae), Genus (Ovis), Species (Ovis aries).

Domba yang umum diternakan oleh petani di Indonesia adalah domba ekor gemuk, domba ekor tipis, dan domba garut. Domba ekor gemuk sering disebut domba gibas. Domba ini banyak tersebar di Provinsi Jawa Timur (terutama di pulau Madura, daerah Donggala), Sulawesi Tengah, dan Lombok. Ciri khas dari domba ekor gemuk terlihat pada bentuk ekornya yang membesar akibat timbunan lemak yang berfungsi sebagai cadangan energi pada musim kering saat pakan alami berkurang, tetapi bagian ujung ekornya mengecil. Keunggulan dari domba ini ialah memiliki postur tubuh yang cukup besar. Bobot badan jantan mencapai 50 sampai dengan 70 kg, sedangkan domba betina 30 sampai dengan 40 kg. Pertumbuhan domba relatif cepat dengan rata-rata pertambahan bobot 100 sampai dengan 200 g per hari. Domba ekor gemuk ini juga mampu beranak sepanjang tahun.

Domba ekor tipis sering disebut sebagai domba lokal. Domba ini banyak tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,dan Sumatera Utara. Ukuran tubuhnya relatif kecil dan warna bulu barvariasi, namun bulu dominan putih dengan warna hitam dibeberapa bagian tubuh seperti di seputar mata, hidung dan beberapa bagian tubuh lainnnya. Domba ekor tipis jantan bertanduk relatif kecil sedangkan betina tidak bertanduk. Pertambahan bobot badan domba ini agak lambat, sekitar 90 sampai dengan 100 g per hari. Bobot badan jantan berkisar 30 sampai dengan 50 kg, sedangkan betina berkisar 15 sampai dengan 35 kg. Di samping itu, jumlah kelahiran


(20)

anak cukup tinggi bisa mencapai 1 sampai dengan 4 ekor anakan dalam sekali kelahiran sehingga digolongkan dalam kelas domba prolifik. Ukuran tubuh yang relatif kecil menolong ternak ini untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang kurang baik.

Domba garut merupakan salah satu domba unggulan. Postur tubuhnya yang besar dan kuat menjadikannya sebagai domba aduan. Ciri khas domba ini di antaranya daun telinga berukuran kecil dan berbentuk meruncing, bahkan ada yang sangat kecil. Bulu domba garut ini berupa wol kasar sehingga bisa dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan. Domba garut jantan memiliki bobot badan sekitar 60 sampai dengan 80 kg, sedangkan domba betina sekitar 30 sampai dengan 40 kg. Angka reproduksi cukup tinggi dan mampu beranak sepanjang tahun. Domba garut dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan. Keunggulan domba ini adalah kualitas kulitnya yang bagus. Kulit domba garut merupakan salah satu kulit berkualitas di dunia (Sutama 2008).

Domba adalah perumput yang selektif, lebih menyukai rumput yang pendek dan berbagai jenis legum. Sifat adaptasi domba terhadap pakan baru sangat baik. Domba dapat tumbuh baik pada daerah yang kering dengan pemberian pakan yang berkualitas secara fluktuatif. Domba yang dipelihara secara semi intensif dan diberi pakan konsentrat ditambah monensin dan hijauan rumput gajah dapat tumbuh dengan pertambahan bobot badan harian sekitar 100 sampai 150 g/ekor/hari (Astuti et al. 1988).

Domba termasuk ternak yang dapat kawin sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi musim. Pertumbuhan dan reproduksi domba dipengaruhi oleh kerja hormon. Mekanisme kerja hormon ini sangat kompleks serta dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti iklim dan pakan (Webb 2005).

Pada ternak mamalia dewasa fluktuasi berbagai hormon reproduksi dikenal sebagai siklus estrus yang terdiri atas proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Siklus estrus pada domba berkisar antara 14 sampai dengan 18 hari atau rata-rata sekitar 17 hari dengan tipe siklus estrus yaitu polyestrus. Umur estrus pertama pada tiap individu berbeda-beda tergantung breed, biasanya pada domba 6 sampai dengan 12


(21)

bulan. Waktu kawin yang optimal 24 sampai dengan 36 jam setelah estrus. Lama estrus 36 jam. Ovulasi 12 sampai dengan 24 jam setelah estrus dan lama kebuntingan rata-rata 150 hari (Davis 2004).

2.2. Sediaan Jamu Veteriner

Sediaan jamu veteriner yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah sambiloto, lempuyang, kayu manis, jahe, dan merica.

2.2.1. Sambiloto

Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) adalah tumbuhan semusim yang termasuk dalam famili Acanthaceae. Sambiloto merupakan herba tegak yang tumbuh secara alami di daerah dataran rendah hingga ketinggian sekitar 1600 m dpl. Habitat sambiloto ialah di tempat terbuka seperti ladang, pinggir jalan, tebing, saluran atau sungai, semak belukar, di bawah tegakan pohon jati atau bambu (Winarto 2003).

Sambiloto dapat berkembang pada berbagai topografi dan jenis tanah sehingga banyak tersebar diseluruh dunia. Tanaman ini tumbuh baik pada curah hujan 2000 sampai dengan 3000 mm per tahun, kelembaban yang dibutuhkan antara 70 sampai dengan 90% dan tumbuh optimal pada pH tanah 6 sampai dengan 7 (netral). Kedalaman perakaran sambiloto dapat mencapai 25 cm dari permukaan tanah (Anonimous 2003). Tanaman sambiloto ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Sambiloto (Mahendra 2005).

Taksonomi dari sambiloto menurut Prapanza dan Marianto (2003), dapat diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu tergolong dalam Divisi (Angiospermae), Kelas (Dycotyledoneae), Ordo (Personales), Famili (Acanthaceae), Genus (Andrographis), Spesies (Andrographis paniculata Ness).


(22)

Sambiloto mengandung senyawa andrographolide, neonandrographolide, homoandrographolide, andrographin, paniculid A, B, dan C, kalmagenin, serta senyawa kalium. Andrographolide adalah komponen utama pada tanaman sambiloto. Andrographolide merupakan senyawa lakton diterpenoid bisiklik dan tergolong ke dalam senyawa kimia yang memiliki rasa pahit. Menurut Dalimartha (2004), senyawa andrographolide ini berfungsi sebagai pelindungi hati (hepatoprotektor), dan terbukti mampu melindungi hati dari efek negatif galaktosamin dan parasetamol. Andrographolide dapat menekan pertumbuhan sel kanker dengan cara menurunkan ekspresi enzim CDK4 (cyclin dependent kinase 4) serta memiliki khasiat meningkatkan kekebalan tubuh, dengan cara meningkatkan pembelahan limfosit dan produksi interleukin-2. Selain itu, senyawa ini juga memiliki efektivitas sebagai antimalaria (Dwi 2005).

Manfaat lain dari herba sambiloto secara empirik sudah banyak diketahui oleh masyarakat di antaranya adalah untuk mengatasi hepatitis, infeksi saluran empedu, tifoid, diare, influenza, radang amandel (tonsillitis), abses paru, radang paru-paru (pneumonia), radang saluran pernapasan (bronkhitis), radang usus buntu, sakit gigi, demam, malaria, kencing manis (diabetes), batuk rejan (pertusis), sesak napas, hipertensi, keracunan jamur, singkong, tempe bongkrek, dan makanan laut (Bown 2001).

2.2.2. Lempuyang

Lempuyang (Zingiber zerumbet) adalah salah satu tanaman tradisional Indonesia yang memiliki banyak manfaat. Lempuyang merupakan tanaman berbatang semu yang terdiri atas helaian kelopak daun yang saling membungkus. Daun lempuyang berbentuk bulat memanjang dengan ujung runcing dan pangkal mengecil. Rimpangnya berukuran besar dan dagingnya bewarna kuning pucat, memiliki rasa yang cukup pahit dan bau yang spesifik. Tanaman ini banyak tumbuh liar ditempat yang disukainya dengan ketinggian 0-1200 m dpl. Selain itu, tanaman ini juga merupakan gulma di perkebunan teh yang cukup sulit untuk diberantas (Laminanti & Triratnawati 2003).


(23)

Taksonomi dari lempuyang dapat diklasifikasikan sebagai berikut yaitu Divisi (Magnoliophyta), Kelas (Liliopsida), Ordo (Policarpicea), Famili (Zingiberales), Genus (Zingiber), Spesies (Zingiber Zerumbet). Tanaman lempuyang ini disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Lempuyang (Anonim 2011).

Sebagian besar famili Zingiberaceae mengandung senyawa kurkuminoid yang berfungsi sebagai antikanker. Zat aktif yang terdapat pada lempuyang adalah minyak atsiri berupa limonen yang bersifat dapat mengeluarkan gas (karminatif) dan zerumbon yang berfungsi sebagai zat antikejang.

Secara empirik, lempuyang dapat dimanfaatkan sebagai obat sakit perut, asma, disentri, obat cacing, obat diare, dan bersifat karminatif (Hanafi 2001). Khasiat lain lempuyang menurut Arif (2009), tanaman ini dapat digunakan sebagai obat batu ginjal, menetralkan dan membersihkan darah, mengobati batuk rejan serta dapat menambah nafsu makan.

2.2.3. Kayu Manis

Kayu manis (Cinnamomun spp) adalah tanaman tahunan yang tumbuh tegak, dengan tinggi dapat mencapai sekitar 15 m. Tanaman ini berbentuk pohon dan bercabang. Daunnya tunggal, berbentuk lanset, ujung dan pangkalnya meruncing serta letak daun berseling. Bunga dari tanaman ini berbentuk majemuk malai, panjang tangkai bunga 4 sampai dengan 12 mm, berambut halus, dan mahkota bunganya bewarna kuning.


(24)

Kayu manis merupakan tanaman yang tumbuh di dataran tinggi. Tingkat pertumbuhannya relatif lambat dibandingkan yang tumbuh di daratan rendah. Namun, kualitas kulit kayu manis yang tumbuh di dataran tinggi lebih baik dibandingkan yang tumbuh di dataran rendah. Tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 1500 m dpl, dengan iklim yang lembab dan banyak hujan sepanjang tahun serta tanahnya kaya akan humus dengan drainase baik. Di Indonesia, sebagian besar kayu manis tumbuh pada tanah andosol, latosol, dan organosol. Ada empat jenis kayu manis yang dikenal diantaranya Cinnamomum zeylanicum, Cinnamomum burmanii, Cinnamomum cassiavera, dan Cinnamomum aromaticum. Keempat tanaman ini mempunyai perbedaan dari segi aroma (Houdret 2000).

Toksonomi dari kayu manis menurut Rismunandar (2001), ialah Divisi (Gymnospermae), Subdivisi (Angiosperma), Kelas (Dycotyledoneae), Ordo (Policarpicea), Famili (Lauraceae), Genus (Cinnamomum), Spesies (Cinnamomum burmanii). Tanaman kayu manis ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Kayu Manis (Anonim 2011).

Zat aktif yang terkandung dalam kayu manis adalah minyak asiri berupa sinamaldehid, eugenol, safrole, tanin, kalsium oksalat, damar dan zat penyamak. Senyawa sinamaldehid ini dapat berfungsi sebagai antioksidan dalam melawan bahaya radikal bebas dalam membran sel (Jayaprakasha 2003). Selain itu, kayu manis juga dimanfaatkan sebagai obat antidiare, kejang perut, tekanan darah tinggi, dan sariawan.


(25)

2.2.4. Merica

Merica (Piper nigrum) adalah tanaman yang memanjat, dengan akar pelekat, ketinggian batang sekitar 5 sampai dengan 15 m. Daunnya merupakan daun tunggal yang berbentuk bulat telur hingga bulat panjang dengan ujung yang meruncing. Bunganya termasuk bunga sempurna dan majemuk yang berbentuk bulir serta bergantung (Rismunandar 2001). Tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 3 sampai dengan 1000 m dpl, disertai dengan kelembaban tinggi dan curah hujan yang tinggi antara 2200 sampai dengan 3000 mm/tahun. Merica terbagi atas dua jenis yaitu merica panjat dan merica perdu. Sekarang ini merica perdu lebih digemari oleh masyarakat dibandingkan merica panjat. Hal ini karena penanamannya lebih praktis tidak perlu penjajaran, ukurannya lebih kecil dan pemanenannya lebih mudah (Anonim 2000).

Taksonomi merica menurut Suwarto (2002), yaitu termasuk dalam Divisi (Spermatophyta), Class (Angiospermae), SubClass (Dycotyledoneae), Ordo (Piperales), Family (Piperaceae), Genus (Piper), Species (Piper nigrum L.). Tanaman merica ini disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Merica (Puslitbang 2007).

Sifat kimiawi merica bersifat pedas, berbau khas, dan aromatik. Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada merica adalah saponin, flavonoida, minyak atsiri, kavisin, resin, zat putih telur, amilum, piperine, piperiline, piperoleine, poperanine, piperonal, dihdrokarveol, kanyo-fillene oksida, kariptone, tran piocarrol, dan minyak lemak. Piperin merupakan senyawa amida basa lemah yang dapat membentuk garam dengan asam mineral kuat. Piperin juga merupakan alkaloid yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas serta bau dari merica itu sendiri. Konsentrasi piperin dalam


(26)

merica berkisar antara 5 sampai dengan 9%. Kandungan dari piperine ini dapat merangsang cairan lambung dan air ludah (Septiatin 2008).

Merica merupakan salah satu rempah penting yang memiliki berbagai khasiat, di antaranya adalah sebagai karminatif, diaforetik, analgesik, bahan penyegar, menghangatkan badan, merangsang semangat, mengatasi perut kembung, merangsang keluarnya keringat, dan obat sesak napas (Paimin 2002).

2.2.5. Jahe

Jahe (Zingiber officinale) merupakan tanaman kuno yang berasal dari daerah sekitar Asia dan India bagian selatan. Jahe sudah digunakan semenjak abad IX oleh orang-orang Eropa sebagai tanaman rempah-rempah yang dibutuhkan, karena iklim di benua tersebut sangat dingin (di bawah 0°C). Jahe tumbuh berumpun dan tingginya dapat mencapai 1 m. Tanaman ini tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan antara 2500 sampai dengan 4000 mm dalam setahun dan terletak 350 sampai dengan 600 m dpl.

Tanaman jahe berbatang semu, tidak bercabang, berbentuk bulat, tegak, dan tersusun dari lembaran pelepah daun. Batang bewarna hijau pucat dengan warna pangkal batang kemerahan, terdiri dari upih dan helaian daun, dan berdaun tunggal. Rimpang jahe (akar tongkang) tumbuh mendatar, dekat permukaan tanah, dan bercabang. Rimpang jahe mempunyai bau yang sangat spesifik, yaitu pahit, langu sampai aromatis. Bunga jahe berbentuk majemuk dengan susunan bunga berbentuk mayang dengan panjang 4 sampai dengan 7 cm dan lebar 1,5 sampai dengan 2 cm. Selain itu, bunganya berbentuk tabung dan setiap bunga dilindungi oleh daun pelindung. Buah jahe berbentuk bulat panjang seperti kapsul, dengan tiga ruang biji yang berukuran kecil dan berwarna hitam (Anonim 2002).

Klasifikasi taksonomi dari tanaman jahe yaitu Divisi (Pteridophyta), Subdivisi (Angiospermae), Class (Monocotyledonae), Ordo (Scitamineae), Family (Zingiberaceae), Genus (Zingiber), Species (Zingiber offienalle Rose). Tanaman jahe ini disajikan pada Gambar 5.


(27)

Gambar 5 Jahe (Alden 2009).

Jahe dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpang, di antaranya adalah jahe putih atau kuning besar, jahe putih atau kuning kecil dan jahe merah. Jahe putih besar ini bisa dikonsumsi baik saat masih muda maupun sudah tua. Jahe putih kecil dipanen setelah tua, dan kandungan minyak asirinya lebih besar dibandingkan jahe gajah. Jahe merah merupakan jahe yang paling cocok untuk ramuan obat-obatan karena kandungan minyak asirinya paling tinggi (Paimin & Farry 2004).

Kandungan senyawa kimia dari jahe ialah gingerol, zingeron, dan shogaol yang menimbulkan rasa pedas. Rimpang jahe mengandung minyak atsiri berkisar 1,12 sampai dengan 3,92%, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Rimpang jahe ini banyak digunakan sebagai obat gosok untuk penyakit encok dan sakit kepala (Hariana 2004).

Secara farmakologi jahe bermanfaat sebagai karminatif, antimuntah, pereda kejang, antipengerasan pembuluh darah (antiaterosklerosis), peluruh keringat, antiinflamasi, antimikroba dan parasit, antipiretik, antirematik, serta merangsang pengeluaran getah empedu, meningkatkan kekebalan tubuh, menghangatkan badan, merangsang regenerasi kulit, menghambat terjadinya ejakulasi dini dan antiradang (Hariana 2004). Selain itu, jahe dapat juga digunakan sebagai bahan obat, bumbu masak, penyedap, minuman penyegar, manisan dan lain sebagainya.

2.3. Darah

Darah adalah pembawa berbagai zat nutrisi yang dipompakan oleh jantung melalui suatu sistem pembuluh darah yang tertutup (Guyton 1997). Darah berperan penting dalam sistem sirkulasi. Sistem sirkulasi merupakan sistem transport yang


(28)

mensuplai zat-zat yang diabsorpsi dari saluran pencernaan dan oksigen ke jaringan, kemudian mengembalikan karbondioksida ke paru-paru dan produk metabolisme lainnya menuju ginjal (Meyer dan Harvey 2004). Selain itu, darah juga berfungsi dalam mengatur keseimbangan asam basa, sebagai pertahanan tubuh dari infeksi kuman serta mengatur stabilitas suhu tubuh (Anonim 2009a).

Darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), keping darah dan trombosit (Frandson 1992; Kern 2002). Eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah. Leukosit merupakan unit yang bersifat aktif dari sistem pertahanan tubuh dan mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam menjalankan fungsinya (Anonim 2009b). Volum darah bervariasi tergantung pada umur, ukuran fisik, aktivitas fisik, kesehatan, makanan, status reproduksi (laktasi, bunting) dan fator-faktor lingkungan. Persentase sel darah terhadap total volum darah adalah sekitar 40% (Samuelson 2007).

Keadaan darah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ras (breed), emosi, serta latihan yang berlebihan. Oleh karena itu, darah dapat dijadikan suatu indikator dalam menilai atau mengetahui status kesehatan hewan. Apabila hewan mengalami perubahan fisiologis maka keadaan darah juga mengalami perubahan. Ada dua faktor perubahan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Perubahan yang disebabkan oleh faktor internal di antaranya adalah pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, siklus stress, proses pembentukan darah kebuntingan, kesehatan dan suhu tubuh. Sedangkan perubahan yang disebabkan oleh faktor eksternal di antaranya adalah perubahan suhu lingkungan, infeksi bakteri, virus, jamur, parasit serta fraktura (Guyton 1997).

2.4. Sel Darah Merah

Sel darah merah atau eritrosit merupakan sel darah yang berbentuk cakram bikonkaf dengan pingiran sirkuler, diameter rata-rata sekitar 7-8 µm, memiliki tebal 1,5 µ dan jika dilihat dibawah mikroskop, sel darah merah terlihat seperti lingkaran yang memiliki pusat ditengah dengan diameter kira-kira 1-3 µm. Cakram bikonkaf ini mempunyai permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen melintasi membran sel (Kern 2002).


(29)

Bentuk sel darah merah yang abnormal atau menyimpang dari normal disebut poikilositosis. Penyimpangan ini dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi transport oksigen dan menyebabkan terjadinya kerusakan sel membran atau osmotik shock (Smith 1996). Kondisi poikilositosis ini menyebabkan eritrosit berkurang sehingga masa hidupnya pun tidak lama dalam sirkulasi darah. Masa hidup dari sel darah merah ini adalah sekitar 120 hari. Oleh karena itu, kira-kira sekitar 1% dari sel darah merah selalu diganti setiap harinya (Kern 2002).

Pembentukan sel darah merah di dalam tubuh disebut dengan eritropoiesis. Pembentukan sel darah merah ini dirangsang oleh anemia dan hipoksia. Faktor yang menentukan laju eritropoiesis diantaranya adalah eritropoietin, yaitu hormon yang secara langsung mempengaruhi aktifitas sumsum tulang. Eritropoietin akan merangsang diferensiasi sel induk menjadi rubiblast, mempercepat pematangan rubiblast dan pelepasan retikulosit ke dalam sirkulasi. Eritropoietin ini juga sangat peka terhadap perubahan kadar oksigen di dalam jaringan (Kahn 2005).

Pembentukan sel-sel darah merah pada hewan dewasa secara normal terjadi di dalam sumsum tulang merah. Sementara itu, pada fetus sel-sel darah merah dihasilkan oleh hati, limfa dan nod limfa. Sel darah merah berperan dalam mengangkut hemoglobin (Hb). Hemoglobin merupakan senyawa organik yang kompleks yang terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing – masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari empat rantai asam amino. Hemoglobin berfungsi sebagai pembawa O2

dari paru - paru ke jaringan (Douglas & Jane 2010). Akibat adanya hemoglobin ini, darah dapat mengangkut sekitar 60 kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama. Selain itu, hemoglobin juga menyebabkan timbulnya warna merah pada sel darah (Ganong 2002).


(30)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2011. Penelitian ini dilakukan di kandang Mitra Tani Farm yang beralamat di Jalan Manunggal Baru No. 1, Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian di antaranya adalah tabung reaksi, spuid, mikroskop cahaya, kamar hitung, gelas objek, cover glass, alat USG (ultrasonographi), selotip, marker, kertas label, hemositometer (alat penghitungan jumlah sel darah merah), Adam Mikrohematokrit Reader (alat pengukuran hematokrit), spektrofotometer (alat pengukuran hemoglobin), pipet eritrosit.

Bahan yang digunakan dalam penelitian diantaranya adalah 15 ekor domba betina yang dewasa kelamin, prostaglandin F2α, antikoagulan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acid), larutan NaCl fisiologis 0,9%, metil alkohol, antibiotik, anthelmintik dan vitamin B kompleks, dan sedian ekstrak jamu veteriner.

3.3. Tahap Persiapan

3.3.1. Hewan Percobaan

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 domba betina ekor tipis yang telah dewasa kelamin dengan kisaran bobot badan sekitar 15 sampai 25 kg dan hewan coba ini diperoleh dari Mitra Tani Farm.

3.3.2. Aklimatisasi Domba

Domba penelitian dipelihara selama dua minggu untuk diaklimatisasikan sebelum diberi perlakuan. Selama masa aklimatisasi, domba diberi antibiotik, anthelmintik, dan vitamin B kompleks yang bertujuan agar domba bebas dari penyakit dan parasit.


(31)

3.3.3. Kandang, Pakan, dan Minum

Kandang yang digunakan dalam penelitian adalah kandang kelompok dengan konstruksi kandang panggung yang berukuran luas 1 x 1 m per ekor. Pakan yang diberikan adalah hijauan pada pagi dan sore hari serta ampas tahu pada siang hari. Air minum tersedia ad libitum.

3.3.4. Sinkronisasi Domba

Tahap pembuntingan domba diawali dengan sinkronisasi estrus yang dilakukan dengan menyuntikkan Prostaglandin F2α secara intramuscular. Dosis Prostaglandin F2α yang digunakan ialah sekitar 7,5 mg/ekor. Penyuntikan Prostaglandin F2α ini dilakukan sebanyak dua kali dengan selang waktu 11 hari dari penyuntikan pertama.

Domba betina yang sudah menunjukkan gejala estrus dicampurkan dengan pejantan unggul selama dua hari. Pencampuran ini dilakukan dengan perbandingan 5:1 yaitu setiap dua ekor domba betina dikawinkan dengan satu pejantan. Sekitar 40 hari setelah pencampuran, dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan menggunakan peralatan USG (ultrasonographi).

3.4. Tahap Pelaksanaan 3.4.1. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap (RAL). Domba penelitian dibagi ke dalam 3 kelompok perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Perlakuan I : Domba bunting yang tidak dicekok ekstrak jamu veteriner

Perlakuan II : Domba bunting yang dicekok ekstrak jamu veteriner dengan dosis 15 mL/ekor.

Perlakuan III : Domba bunting yang dicekok ekstrak jamu veteriner dengan dosis 30 mL/ekor.

3.4.2.Pemberian Ekstrak Jamu Veteriner

Ekstrak jamu vateriner diperoleh dari Laboratorium Farmakologi FKH-IPB. Ekstrak jamu veteriner ini terbuat dari bahan-bahan herba yang terdiri dari sambiloto, lempuyang, kayu manis (kayu legi), merica, dan jahe. Pencekokan jamu veteriner


(32)

mulai diberikan pada domba setelah kebuntingan berumur kurang lebih 1,5 bulan dan dilakukan sekali seminggu. Pencekokan diberikan per oral dengan dosis 15 mL per ekor pada kelompok domba dosis pertama dan 30 mL per ekor pada kelompok domba dosis kedua.

3.4.3. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena jugularis menggunakan spuid 5 mL kemudian langsung dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diberi antikoagulan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acid). Selanjutnya sampel darah dianalisis di laboratorium fisiologi.

3.4.4. Perhitungan Eritrosit, Hematokrit, dan Hemoglobin

Perhitungan eritrosit dilakukan secara manual dengan metode hemositometer. Sampel darah diambil dengan pipet eritrosit sampai skala 0,5, kemudian noda darah diujung pipet dibersihkan dengan tissue bersih. Setelah itu diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis 0,9% sampai batas tera 101. Aspirator dilepas kemudian ujung pipet ditutup dengan jempol dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Campuran pada pipet tersebut dihomogenkan dengan membuat gerakan angka 8. Setelah homogen, hasil pengenceran dituangkan ke dalam kamar hitung pada tepi kaca penutup. Kamar hitung didiamkan selama beberapa menit agar sel-sel darah merah mengendap pada dasar kamar hitung. Jumlah sel darah merah dihitung pada lima kotak dalam kamar hitung yaitu pada pojok kanan atas dan bawah, pojok kiri atas dan bawah serta satu kotak yang berada ditengah. Penghitungan tersebut menggunakan mikroskop dengan perbesaran objektif 40 kali. Hasil penghitungan dari lima kotak tersebut dikalikan dengan 10.000 per mm3.

Perhitungan nilai hematokrit atau Pack Cell Volume (PCV) dilakukan dengan menggunakan Adam Microhematocrit Reader. Tabung mikro yang digunakan adalah tabung mikro dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Sampel darah diambil dengan menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam darah. Posisi ujung tabung mikro hampir mendatar dan bagian ujung tabung yang lain dikosongkan kira-kira 1cm kemudian bagian ujung tabung disumbat. Setelah itu, sampel tadi disentrifuse selama 4-5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm.


(33)

Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin, memakai alat spektrofotometer yaitu sebuah alat penghitung otomatis yang memberikan hasil lebih objektif. Pada metode ini digunakan campuran reagen larutan kalium ferrosianida dan kalium sianida. Campuran reagen ini dimasukkan sebanyak 2,5 mL ke dalam tabung reaksi, kemudian sampel darah diambil sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sama, selanjutnya dihomogenkan dan dimasukkan ke dalam cuvet. Setelah itu hasil dibaca dengan spektrofotometer.

3.5.Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas jumlah sel darah merah, nilai hematokrit (PCV), dan kadar hemoglobin.

3.6. Analisis Data

Data yang telah diperoleh selama penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan.


(34)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sel Darah Merah (Eritrosit)

Jumlah sel darah merah (eritrosit) domba penelitian selama lima bulan, dari setiap kelompok perlakuan memberikan hasil yang berbeda. Hasil penghitungan sel darah merah ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL selama kebuntingan

Waktu (Bulan)

Dosis Jamu Veteriner

0 (kontrol) 15 mL 30 mL 1 9,33 ±1,86a 9,48 ±1,64a 9,53±1,65a 2 9,85 ±1,48a 10,09 ±1,71a 11,74 ±1,95a 3 10,04±2,57 a 10,81 ±2,36a 10,47 ±2,17a 4 11,13 ±1,73a 11,30 ±1,23 a 12,26 ±1,99 a 5 9,72 ±1,98a 9,57 ±1,24a 9,91 ±1,25 a Keterangan: Huruf superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata

(p<0,05)

Selama lima bulan pengamatan, kenaikan jumlah sel darah merah (eritrosit) tertinggi didapatkan pada kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL. Jumlah sel darah merah terendah didapatkan pada kelompok domba kontrol. Secara uji statistik, faktor pemberian jamu veteriner pada perbedaan jumlah sel darah merah tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Secara keseluruhan, jumlah sel darah merah tertinggi dari setiap kelompok domba penelitian adalah sebesar 12,26±1,99 x 106/mm3. Jumlah sel darah merah hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987) dan Maheshwari et al. (2001). Penelitian Ginting (1987) pada domba bunting, diperoleh jumlah sel darah merah sebesar 10 x 106/mm3. Sementara itu, dari penelitian Maheshwari et al. (2001) pada kambing bunting diperoleh jumlah sel darah merah sebesar 11,45±0,80 x 106/mm3.


(35)

Peningkatan jumlah sel darah merah pada setiap kelompok domba perlakuan terjadi sampai dengan bulan keempat kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Maheswari et al. (2001), yang menyatakan bahwa jumlah sel darah merah pada kambing akan terus meningkat sampai dengan usia kebuntingan 4,5 bulan. Peningkatan jumlah sel darah merah ini dapat terjadi karena domba mengalami peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh dan kebutuhan energi yang tinggi sehingga banyak oksigen yang dibutuhkan (Andriyanto et al. 2010).

Pada bulan kelima kebuntingan, terjadi penurunan jumlah eritrosit pada setiap kelompok domba perlakuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Iriadam (2007), yang menyatakan bahwa jumlah sel darah merah pada masa akhir kebuntingan akan menurun. Penurunan ini diduga terjadi akibat kondisi stress menjelang kelahiran (Khan & Ludri 2002).

Pengamatan jumlah sel darah merah tiap bulan selama lima bulan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan. Profil dari kenaikan dan penurunan pada setiap kelompok domba perlakuan disajikan pada Grafik 1.

 

Grafik 1 Jumlah sel darah merah induk domba kontrol (♦), diberi jamu veteriner dosis 15

mL (■), dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL (∆) selama lima bulan kebuntingan.

Pada Grafik 1 terlihat bahwa peningkatan jumlah sel darah merah pada kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan

8.5 9 9.5 10 10.5 11 11.5 12 12.5

1 2 3 4 5

Jum

lah Sel Darah

Merah

(x10juta/m

m

³)


(36)

senyawa yang terdapat pada ekstrak jamu veteriner yang merupakan formulasi dari merica, lempuyang, kayu manis, sambiloto, dan jahe diduga dapat mempengaruhi peningkatan jumlah sel darah merah.

Menurut Septiatin (2008), merica memiliki kandungan senyawa piperine yang dapat berfungsi dalam melancarkan peredaran darah. Kandungan zat besi pada kayu manis berperan penting dalam pembentukan dan mempertahankan sel darah merah. Kecukupan sel darah merah dalam tubuh akan memperlancar oksigenasi jaringan ke seluruh tubuh sehingga dapat meningkatkan proses metabolisme tubuh untuk memperoleh energi sehingga suplementasi kayu manis ini diduga mampu mencegah anemia pada hewan yang sedang bunting, menurunkan risiko kematian saat melahirkan, dan dapat meningkatkan bobot badan anak yang dilahirkan (Jayaprakasha 2003).

Menurut Arif (2009), suplementasi lempuyang dapat menetralkan dan membersihkan darah. Sementara itu, menurut Bown (2001) sambiloto berkhasiat dalam menurunkan tekanan darah tinggi. Suplementasi sambiloto ini diduga mampu mengontrol peningkatan jumlah sel darah merah di luar batas normal akibat terganggunya oksigenasi jaringan. Jahe dilaporkan memiliki kemampuan antioksidan yang berasal dari kandungan sejumlah senyawa fenolik (Kikuzaki & Nakatani 1993). Suplementasi jahe ini diduga kuat mampu menambah status antioksidan dalam tubuh serta dapat menghambat proliferasi sel kanker (Agustinasari 1998).

4.2. Hemoglobin

Fungsi hemoglobin adalah sebagai pembawa oksigen (O2) dari paru - paru ke

jaringan dengan tujuan untuk memperoleh energi (Douglas & Jane 2010). Kadar hemoglobin dalam darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah pakan, musim, aktivitas tubuh, ada tidaknya kerusakan eritrosit dan penanganan darah saat pemeriksaan (Andriyanto et al. 2010). Data kadar hemoglobin domba penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.


(37)

Tabel 2 Kadar Hemoglobin (g%) induk domba bunting yang dicekok jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL selama kebuntingan

Waktu (Bulan)

Dosis Jamu Veteriner

0 (kontrol) 15 mL 30 mL 1 8,37 ±1,15a 9,01 ±0,50a 8,99±1,98a 2 10,50 ±1,85a 10,64 ±1,30a 11,38 ±1,76a 3 10,58±0,77 a 10,35 ±0,72a 11,29 ±1,20 a 4 10,40 ±1,13a 10,60 ±0,89 a 10,78 ±1,04 a 5 10,03 ±1,87a 10,23 ±1,36a 10,63 ±0,39 a Keterangan: Huruf superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata

(p<0,05)

Kadar hemoglobin setiap kelompok perlakuan berdasarkan Tabel 2 menunjukkan hasil yang fluktuatif. Kadar hemoglobin tertinggi ada pada kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL. Kadar hemoglobin terendah ada pada kelompok domba kontrol. Selama lima bulan pengamatan, kadar hemoglobin kelompok domba yang diberi jamu veteriner dosis 15 mL dan 30 mL selalu meningkat dibanding kelompok kontrol. Peningkatan tersebut merupakan respons konpensasi tubuh untuk meningkatkan transpor oksigen ke jaringan (Puspitasari & Harimurti 2010). Selain itu, penurunan juga terjadi di akhir bulan kebuntingan dari setiap kelompok domba perlakuan. Penurunan ini diduga terjadi akibat proses homeostasis tubuh.

Hasil pengukuran kadar hemoglobin tertinggi pada domba penelitian diperoleh sebesar 11,38 ±1,76 g%. Kadar hemoglobin yang diperoleh ini sama dengan hasil penelitian yang dilaporkan Ginting (1987), yaitu sebesar 11 g%. Namun, sedikit lebih tinggi jika dibandingkan hasil penelitian Maheswari et al. (2001) yang melaporkan kadar hemoglobinnya adalah sebesar 8,47 g%.

Pengamatan jumlah kadar hemoglobin tiap bulan selama lima bulan pengamatan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan. Profil dari kenaikan dan penurunan pada setiap kelompok domba perlakuan disajikan pada Grafik 2.


(38)

Grafik 2 Kadar Hemoglobin induk domba kontrol (♦), diberi jamu veteriner dosis 15 mL (■), dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL (∆) selama lima bulan kebuntingan. Setiap kelompok domba perlakuan, memperlihatkan pola kenaikan dan penurunan yang sama. Meningkat pada awal kebuntingan dan menurun pada akhir kebuntingan. Pola peningkatan dan penurunan kadar hemoglobin sama dengan pola peningkatan dan penurunan jumlah sel darah merah. Hal ini karena, hemoglobin memiliki hubungan yang erat dengan sel darah merah.

Faktor pemberian ekstrak jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL, tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada perbedaan kadar hemoglobin dari setiap kelompok perlakuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iriadam (2007), yang menyatakan bahwa kadar hemoglobin dalam darah tidak mengalami perubahan yang signifikan selama masa kebuntingan.

4.3. Hematokrit (PCV)

Nilai hematokrit (PCV) adalah konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit dalam 100 ml (1 dL) darah lengkap (Gandasoebrata 2004; Sutedjo 2007). Pada ternak domba nilai hematokrit normal adalah sekitar 32% (Frandson 1996). Data nilai hematokrit domba penelitian disajikan pada Tabel 3.

8 8.5 9 9.5 10 10.5 11 11.5 12

1 2 3 4 5

Kad

ar He

m

o

glo

b

in

(g

%)


(39)

Tabel 3 Nilai Hematokrit (%) induk domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL selama kebuntingan

Waktu (bulan)

Dosis Jamu Veteriner

0 (kontrol) 15 mL 30 mL 1 21,00±1,69a 21,80±1,30a 20,00±1,58a 2 20,80±1,78a 22,40±2,50a 23,08±1,91a 3 25,40±1,91a 23,30±1,44ab 25,80±1,60c 4 25,08±1,69a 25,54±1,99a 26,74±1,72a 5 22,60±2,43a 22,70±1,92a 23,80±1,68a Keterangan: Huruf superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata

(p<0.05)

  Nilai hematokrit berdasarkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15 mL dan 30 mL mengalami peningkatan sampai dengan bulan keempat kebuntingan. Pada bulan kelima kebuntingan, nilai hematokrit dari setiap kelompok domba perlakuan menurun. Nilai hematokrit tertinggi ada pada kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL dan nilai hematokrit terendah ada pada kelompok domba kontrol.

Nilai hematokrit sangat dipengaruhi oleh kandungan darah, viskositas darah, tekanan osmotik plasma, dan pembentukan sel darah merah dalam tubuh. Secara uji statistik, faktor pemberian ekstrak jamu veteriner berbeda nyata hanya pada bulan ketiga kebuntingan. Kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada bulan pertama sampai dengan bulan kelima, berada dalam rentang normal. Kenaikan nilai hematokrit tertinggi didapatkan sebesar 26,74±1,72%. Nilai hematokrit yang diperoleh ini, menunjukkan hasil yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kozat et al. (2003) dan Ginting (1987), yang melaporkan bahwa nilai hematokrit domba bunting masing-masing adalah sebesar 28,60±1,4% dan 30%. Namun, dalam penelitian Maheshwari et al. (2001), didapatkan nilai hematokrit sebesar 26,13±1,03%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan nilai hematokrit domba hasil penelitian.


(40)

Pengamatan nilai hematokrit tiap bulan selama lima bulan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan. Profil dari kenaikan dan penurunan pada setiap kelompok domba perlakuan disajikan pada Grafik 3.

Grafik 3 Nilai Hematokrit induk domba kontrol (♦ ), diberi jamu veteriner dosis 15 mL (■), dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL ( ∆) selama lima bulan kebuntingan.

Peningkatan nilai hematokrit terjadi pada masa-masa awal kebuntingan dan menurun pada akhir kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Azab (1999), yang menyatakan bahwa nilai hematokrit akan menurun pada masa-masa akhir kebuntingan hingga periode setelah kelahiran.

Kenaikan dan penurunan nilai hematokrit ini dipengaruhi oleh hemokonsentrasi. Hemokonsentrasi merupakan suatu parameter dari nilai hematokrit. Peningkatan nilai hematokrit di awal kebuntingan tersebut terjadi akibat hemokonsentrasi tinggi, karena peningkatan sel darah atau penurunan kadar plasma darah. Sebaliknya nilai hematokrit yang menurun, terjadi akibat hemokonsentrasi rendah karena kadar sel darah menurun atau kadar plasma darah meningkat.

Gambaran darah dari nilai hematokrit, kadar hemoglobin, dan sel darah merah, secara umum selalu mengalami peningkatan pada masa awal kebuntingan dan menurun pada masa akhir kebuntingan. Kondisi tersebut diakibatkan oleh perubahan faktor internal dan faktor eksternal. Perubahan yang disebabkan oleh faktor internal di antaranya adalah pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, siklus stress, proses

19.5 20.5 21.5 22.5 23.5 24.5 25.5 26.5

1 2 3 4 5

Ni

lai Hem

atokrit

(

%)


(41)

pembentukan darah kebuntingan, kesehatan dan suhu tubuh. Perubahan yang disebabkan oleh faktor eksternal di antaranya adalah perubahan suhu lingkungan, infeksi bakteri, virus, jamur, parasit, serta fraktura (Guyton 1997).

Pemberian ekstrak jamu veteriner selama kebuntingan, terbukti dapat meningkatkan nilai hematologi domba (jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit). Peningkatan nilai hematologi domba tersebut, berkorelasi dengan anakan yang dilahirkan. Anakan domba yang dihasilkan memiliki bobot badan yang cenderung lebih besar dan lebih lincah dibandingkan domba yang tidak diberi jamu veteriner.


(42)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pemberian jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL terbukti mampu memperbaiki gambaran darah dan status fisiologis induk domba selama masa kebuntingan yang diindikasikan dengan meningkatnya jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit.

5.2. SARAN

Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai profil biokimiawi darah domba yang dicekok ekstrak jamu veteriner.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

AgroMedia. 2008. 273 Ramuan Tradisional Untuk Mengatasi Aneka Penyakit. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Hlm1.

Agustinasari I. 1998. Pengaruh Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Segar dan Bertunas Terhadaap Proliferasi Beberapa Alur Sel Kanker dan Normal. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Alden B, Ryman S, Hjertson M. 2009. Stockholm ( Handbook on Swedish cultivated and utility plants, their name and origin).

Andriyanto, Rahmadani YS, Satyaningtijas AS, Abadi S. 2010. Gambaran hematologi domba selama transportasi : peran multivitamin dan meniran. J Ilmu Pertan Indones. Hlm.172-177.

Andriyanto, Manalu W. 2011. Potency of ethanol extract Curcuma xanthriza as a natural growth promotor in pregnant ewes with superovulation. Globalization of Jamu Brand Indonesia. The 2nd International Symposium on Temulawak. The 40th Meeting of National Working Group on Indonesia Medical Plant. BCC, Bogor. Hlm. 134-136

Anonim. 2000. Budidaya Tanaman Lada Bergambar. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan.

Anonim. 2002. Budi Daya Tanaman Obat Rimpang Secara Organik. Jakarta: Penebar Swadaya. Martha Tilaar Innovation Center

Anonim. 2003. Andrographis paniculata, Ness. http  : /  www. hartwick. edu. diakses pada (16 Januari 2012)

Anonim. 2009a. UPT- Balai Informasi Teknologi LIPI. http : // www. wordpress.com (19 Januari 2012)

Anonim. 2009b. Hewan Spons, Porifera. http://kamuspengetahuan.blogspot

.com/2009/ 03/hewan-sponsporifera. ( 16 Januari 2012) Anonim. 2011. Berbagai Khasiat Tanaman Obat. Jakarta: Kompas.

Arif F. 2009. Aneka Tanaman Obat dan Khasiatnya.Yogyakarta : Media Pressindo Astuti DA, Sastradipradja D, Djajanegara A. 1988. Penggunaan monensin pada

ransum tunggal untuk penggemukan domba. Seminar Nasional Ruminansia, Cisarua, Bogor, Indonesia.

Azab ME, Abdel-Maksoud HA. 1999. Changes in some hematological and biochemical parameters during prepartum and postpartum period in female baladi goat.Small Rumin Res 34(1)77-85

Bown D. 2001. New Encyclopedia of Herb & Their Uses, The Herb Society of America, first American Edition (New York: Dorling Kindersley Limited).


(44)

Dalimartha S. 2004. Ramuan Tradisional Untuk Pengbatan Hepatitis. Seri Agri Sehat. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 65.

Damron WS. 2006. Introduction to animal sience Global, Biological, Social and Industry Perspectives. 3rd Ed. Oklahoma State University, Ohio.

Davis GH. 2004. Fecundity genes in sheep. Animal Reproduction Science, 82-83, 247-53

Dwi KA, Idha K. 2005. Efek antimalaria ekstrak sambiloto terstandar (Parameter Kadar Aandrografolida) pada mencit terinfeksi plasmodium berghei. UNAIR, 5:1

Douglas JW, Jane K. 2010. Schalm Veterinary Hematology Ed6. USA, Blackwell Publishing

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Gandasoebrata R. 2004. Penuntun Laboratorium Klinik. cet.11. Jakarta: Dian Rakyat, pp. 39-40.

Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). Jakarta. EGC

Ginting N. 1987. Gambaran darah ruminansia di Pulau Jawa. Penyakit Hewan 19(33): 30-37

Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiologi. Ed ke 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hanafi ML, Sutedja RM, Braybook C. 2001. Isolation and identification of chemical constituents from the rhizome of Zingiber zerumbet. Proceeding International Seminar on Natural Products Chemistry and Utilization of Natural Resources. VI-Depok: 173-177.

Hariana A. 2004. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya, Seri1. Jakarta: Penebar Swadaya Houdret J. 2000. The Ultimate Book & Herb Gardening. (USA: Lorenz Book) Inonu I, Iniguez LC. 1991. Sheep performance at RIAP’s Bogor Research Fasility, In

: Sheep Proliferacy Small Ruminan. CRSP Progress Report

Iriadam M. 2007. Variation in certain hematological and biochemical parameters during the peri-partum period in Kilis does. Small Rumin Res 73:54-57.

Jayaprakasha GK, Rao LJ, Sakariah KK. 2003. Volatil Constituents from Cinnamomun zeylonicum Friut Stalks and Their Antioxidant Activities. J. Agric. Food Chem. 51(15):4344-4348


(45)

Kahn CM. 2005. The Merck Veterinary Manual Ed9. Philadelphia, Nutrional Publishing

Khan JR, Ludri RS. 2002. Hormone profile of crossbred goats during the periparturient period. Trop Anim Health andProduct 34:151-162.

Kern W. 2002. PDQ Hematology. Hamilton : BC Decker.

Kikuzaki H, Nakatani N. 1993. Antioxidant effect of some ginger constituents. J of food science-1497. volume 58, No 6.

Kozat S, YYksek N, AltuU N, AUaoUlu TZ, Er in F. 2003. Studies onthe effect of iron (Fe) preparation in addition to babesiosis treatment on the hematological and some mineral levels in sheep naturally infected with Babesiosis ovis. Y Y Vet Fark Derg 14: 18-21.

Laminanti A, Triratnawati A. 2003. Ramuan Jamu Cekok sebagai penyembuhan kurang nafsu makan pada anak : suatu kajian etnomedisin. Makara, kesehatan, vol. 7, no 1, juni 2003.

Mahendra B. 2005. ’13 Jenis Obat Ampuh’. Halaman 106. Jakarta: Penebar Swadaya Maheshwari H, Isdoni B, Satyaningtijas AS, Ekastuti DR, Kusumorini N. 2001.

Gambaran darah kambing yang bunting tunggal dan kembar. Med Pet 24(3):77-82.

Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine. Interpretation and diagnosis. Ed ke-3. Philadhelpia, USA: Saunders.

Paimin FR. 2002. Tanam Lada Tetap Untung. Jakarta: Trubus,388

Paimin, Farry B. 2004. Budidaya, Pengelolaan dan Perdagangan Jahe. Jakarta: Penebar Swadaya

Prapanza I, Marianto LA. 2003. Khasiat dan Manfaat sambiloto: Raja Pahit Penakluk Penyakit. Cetakan Pertama, Jakarta: Agromedia Pustaka.

Puslitbang Perkebunan. 2007. Teknologi Unggulan Lada. Budidaya Pendukung varietas Unggul. Hal 28

Purnomo AJ, Zufkifli S, Prayitno A, Sudrajat dan Rahayu Y. 2009. “Pelatihan Aplikatif Peternakan Domba Kambing Angkatan XIII”, makalahkampoeng Ternak Dompet Dhuafa Republika, Komplek STTP, Cinagara, Caringin, Bogor.

Puspitasari F, Harimurti GM. 2010. Hyperviscoucity in cyanotic congenitalheart disease. J Kardiol Indones 31:41-47

Rismunandar. 2001. Kayu Kulit Manis, Budi Daya dan Pengolahan. Depok: Penebar Swadaya.


(46)

Septiatin E. 2008. Apotek Hidup dari Rempah-Rempah, Tanaman Hias, dan Tanaman Liar, CV.YRAMA WIDYA, Bandung.

Smith RP. 1996. Toxic respons of blood. In “Cassarett and Duoll’s Toxicology,’ (CD Klassen ed), 5th ed., pp. 335-354.McGraw-Hill, New York

Sumaryadi MY. 1997. Prediksi banyaknya Anak, Bobot Lahir, Komponen Kimia Kelenjar Susu, dan produksi Susu Kaitannya dengan Bobot Sapih Berdasarkan Profil Hormon dan Metabolit Darah Selama Kebuntingan Pada Domba (Ovis aries) [Disertasi].

Sutama IK, Budiarsana IGM, Setijanto H, Priyanto A. 1999. Productive and reproductive perfomance of young Etawah-cross does. J Ilmu Ternak da Vet 1(2):81-85

Sutama IK. 2008. Pemanfaatan sumberdaya ternak lokal sebagai ternak perah mendukung peningkatan produksi susu nasional. Wartazoa, 18 (4):207-217 Sutedjo AY. 2007. Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.

Yogyakarta: Amara Books, pp. 27-8, 125-6.

Suwarto. 2002. Lada (Piper nigrum Linn.). Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas pertanian. IPB.

Webb R, Stubbings L, Gregson K et al. 2005. Yield of Sheep: physiological and technological limitations. In:Sylvester-Bradley, R., Wiseman, J.(eds) Yieldsof Fram Species. Nottingham University Press, pp. 463-94.

Winarto WP. 2003. Sambiloto : Budidaya dan Pemanfaatan Untuk Obat. Jakarta: Penebar Swadaya. pp. 71.


(47)

LAMPIRAN

1. Analisis Sel Darah Merah

Oneway

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

satu 1 5 9.3360 1.86704 .83496 7.0178 11.6542 6.48 11.18

2 5 9.4880 1.64790 .73696 7.4419 11.5341 7.85 11.52

3 5 9.5380 1.64905 .73748 7.4904 11.5856 6.77 10.84

Total 15 9.4540 1.59897 .41285 8.5685 10.3395 6.48 11.52

dua 1 5 9.8580 1.48370 .66353 8.0157 11.7003 8.26 12.07

2 5 10.0940 1.71379 .76643 7.9660 12.2220 8.69 13.08

3 5 11.7460 1.95820 .87573 9.3146 14.1774 9.55 14.65

Total 15 10.5660 1.82197 .47043 9.5570 11.5750 8.26 14.65

tiga 1 5 10.0420 2.57693 1.15244 6.8423 13.2417 6.42 13.31

2 5 10.8140 2.36829 1.05913 7.8734 13.7546 8.18 13.78

3 5 10.4780 2.17260 .97161 7.7804 13.1756 8.02 13.85

Total 15 10.4447 2.22609 .57477 9.2119 11.6774 6.42 13.85

empat 1 5 11.1300 1.73951 .77793 8.9701 13.2899 9.30 13.58

2 5 11.3060 1.23834 .55380 9.7684 12.8436 9.76 13.16

3 5 12.2660 1.99597 .89262 9.7877 14.7443 8.93 14.29

Total 15 11.5673 1.64559 .42489 10.6560 12.4786 8.93 14.29

lima 1 5 9.7240 1.98275 .88671 7.2621 12.1859 8.17 12.80

2 5 9.5700 1.24726 .55779 8.0213 11.1187 8.36 11.30

3 5 9.9180 1.24797 .55811 8.3684 11.4676 9.15 12.10


(48)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

satu Between Groups .111 2 .055 .019 .982

Within Groups 35.683 12 2.974

Total 35.794 14

dua Between Groups 10.582 2 5.291 1.769 .212

Within Groups 35.892 12 2.991

Total 46.474 14

tiga Between Groups 1.498 2 .749 .132 .877

Within Groups 67.878 12 5.657

Total 69.376 14

empat Between Groups 3.738 2 1.869 .656 .536

Within Groups 34.173 12 2.848

Total 37.911 14

lima Between Groups .304 2 .152 .065 .938

Within Groups 28.177 12 2.348


(49)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

satu

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 9.3360

2 5 9.4880

3 5 9.5380

Sig. .863

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

dua

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 9.8580

2 5 10.0940

3 5 11.7460

Sig. .126


(50)

tiga

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 10.0420

3 5 10.4780

2 5 10.8140

Sig. .634

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

empat

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 11.1300

2 5 11.3060

3 5 12.2660

Sig. .331

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

lima

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

2 5 9.5700

1 5 9.7240

3 5 9.9180

Sig. .739


(51)

2. Analisis Kadar Hemoglobin

Oneway

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

satu 1 5 8.3740 1.15909 .51836 6.9348 9.8132 6.92 10.08

2 5 9.0160 .50367 .22525 8.3906 9.6414 8.39 9.79

3 5 8.9980 1.98541 .88790 6.5328 11.4632 6.22 11.11

Total 15 8.7960 1.29539 .33447 8.0786 9.5134 6.22 11.11

dua 1 5 10.5000 1.85153 .82803 8.2010 12.7990 8.02 12.62

2 5 10.6380 1.30394 .58314 9.0189 12.2571 9.25 12.33

3 5 11.3860 1.76961 .79139 9.1887 13.5833 10.16 14.35

Total 15 10.8413 1.58818 .41007 9.9618 11.7208 8.02 14.35

tiga 1 5 10.5800 .77891 .34834 9.6129 11.5471 9.46 11.63

2 5 10.3500 .72512 .32428 9.4496 11.2504 9.20 11.00

3 5 11.2940 1.20506 .53892 9.7977 12.7903 10.04 12.66

Total 15 10.7413 .95475 .24652 10.2126 11.2701 9.20 12.66

empat 1 5 10.4000 1.13642 .50822 8.9889 11.8111 9.16 11.48

2 5 10.6080 .89932 .40219 9.4914 11.7246 9.72 11.67

3 5 10.7820 1.04011 .46515 9.4905 12.0735 9.27 12.18

Total 15 10.5967 .96710 .24970 10.0611 11.1322 9.16 12.18

lima 1 5 10.0300 1.87790 .83982 7.6983 12.3617 8.02 12.35

2 5 10.2380 1.36102 .60867 8.5481 11.9279 8.21 11.59

3 5 10.6320 .39871 .17831 10.1369 11.1271 10.16 11.15


(52)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

satu Between Groups 1.336 2 .668 .362 .704

Within Groups 22.156 12 1.846

Total 23.493 14

dua Between Groups 2.273 2 1.136 .413 .671

Within Groups 33.040 12 2.753

Total 35.312 14

tiga Between Groups 2.423 2 1.212 1.406 .283

Within Groups 10.339 12 .862

Total 12.762 14

empat Between Groups .366 2 .183 .172 .844

Within Groups 12.728 12 1.061

Total 13.094 14

lima Between Groups .935 2 .467 .253 .780

Within Groups 22.151 12 1.846


(53)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

satu

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 8.3740

3 5 8.9980

2 5 9.0160

Sig. .491

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

dua

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 10.5000

2 5 10.6380

3 5 11.3860

Sig. .438

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(54)

tiga

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

2 5 10.3500

1 5 10.5800

3 5 11.2940

Sig. .151

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

empat

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 10.4000

2 5 10.6080

3 5 10.7820

Sig. .587

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

lima

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 10.0300

2 5 10.2380

3 5 10.6320

Sig. .518


(55)

3. Analisis Nilai Hematokrit

Oneway

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

satu 1 5 21.0000 1.69558 .75829 18.8947 23.1053 19.50 23.50

2 5 21.8000 1.30384 .58310 20.1811 23.4189 20.00 23.00

3 5 20.0000 1.58114 .70711 18.0368 21.9632 18.00 22.00

Total 15 20.9333 1.61319 .41652 20.0400 21.8267 18.00 23.50

dua 1 5 20.8000 1.78885 .80000 18.5788 23.0212 19.00 23.00

2 5 22.4000 2.50998 1.12250 19.2834 25.5166 18.00 24.00

3 5 23.0800 1.91983 .85857 20.6962 25.4638 21.30 26.00

Total 15 22.0933 2.17854 .56250 20.8869 23.2998 18.00 26.00

tiga 1 5 25.4000 1.91703 .85732 23.0197 27.7803 22.00 26.50

2 5 23.3000 1.44049 .64420 21.5114 25.0886 21.50 25.00

3 5 25.8000 1.60468 .71764 23.8075 27.7925 24.00 28.00

Total 15 24.8333 1.91485 .49441 23.7729 25.8937 21.50 28.00

empat 1 5 25.0800 1.69765 .75921 22.9721 27.1879 22.70 26.60

2 5 25.5400 1.99700 .89308 23.0604 28.0196 22.70 28.00

3 5 26.7400 1.72714 .77240 24.5955 28.8845 24.80 29.10

Total 15 25.7867 1.82751 .47186 24.7746 26.7987 22.70 29.10

lima 1 5 22.6000 2.43413 1.08858 19.5776 25.6224 19.00 25.00

2 5 22.7000 1.92354 .86023 20.3116 25.0884 20.00 25.00

3 5 23.8000 1.68077 .75166 21.7130 25.8870 21.00 25.50


(56)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

satu Between Groups 8.133 2 4.067 1.724 .220

Within Groups 28.300 12 2.358

Total 36.433 14

dua Between Groups 13.701 2 6.851 1.559 .250

Within Groups 52.743 12 4.395

Total 66.444 14

tiga Between Groups 18.033 2 9.017 3.249 .075

Within Groups 33.300 12 2.775

Total 51.333 14

empat Between Groups 7.345 2 3.673 1.118 .359

Within Groups 39.412 12 3.284

Total 46.757 14

lima Between Groups 4.433 2 2.217 .534 .599

Within Groups 49.800 12 4.150


(57)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

satu

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

3 5 20.0000

1 5 21.0000

2 5 21.8000

Sig. .103

Means for groups in homogeous subsets are displayed.

dua

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 20.8000

2 5 22.4000

3 5 23.0800

Sig. .127


(58)

tiga

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1 2

2 5 23.3000

1 5 25.4000 25.4000

3 5 25.8000

Sig. .069 .711

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

empat

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 25.0800

2 5 25.5400

3 5 26.7400

Sig. .193

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

lima

Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1

1 5 22.6000

2 5 22.7000

3 5 23.8000

Sig. .393


(59)

BAB

ǿ

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Domba tergolong ke dalam famili Bovidae. Di Indonesia, beberapa domba yang umum diternakkan petani di antaranya ialah domba ekor gemuk (domba gibas), domba ekor tipis dan domba garut. Domba merupakan ternak yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sehingga di lingkungan yang buruk sekalipun masih dapat hidup dan bersifat prolifik sehingga mampu melahirkan anak lebih dari satu, bahkan bisa mencapai empat ekor dalam satu kali kelahiran (Inonu & Iniguez 1991).

Secara umum, domba yang melahirkan anak lebih dari tiga ekor biasanya memiliki bobot lahir yang rendah dan memiliki tingkat kematian yang tinggi (Sumaryadi 1997; Sutama et al. 1999; Andriyanto & Manalu 2011). Keadaan ini akan berdampak buruk terhadap efisiensi reproduksi ternak serta berpengaruh besar terhadap status fisiologis dan kesehatan induk itu sendiri. Adanya perubahan keadaan fisiologis dan kesehatan induk ini dapat diketahui dengan mengamati hasil dari gambaran darah.

Upaya peningkatan kesehatan dan performans induk domba dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan pemberian pakan yang tepat dan memenuhi kebutuhan zat gizinya. Upaya lain yang tidak kalah penting adalah dengan memberikan sediaan ramuan tanaman obat atau ramuan tradisional selama hewan pada periode kebuntingan. Ramuan tradisional merupakan media pengobatan yang menggunakan tanaman dengan kandungan bahan-bahan alamiah sebagai bahan baku (Agromedia 2008). Ramuan tradisional yang digunakan di antaranya adalah sambiloto, lempuyang, kayu manis, jahe, dan merica.

Sambiloto, lempuyang, kayu manis, jahe, dan merica merupakan tanaman obat yang memiliki banyak khasiat. Sambiloto mengandung senyawa andrographolide yang berfungsi sebagai pelindung hati (hepatoprotektor), dapat menekan pertumbuhan sel kanker, dan meningkatkan kekebalan tubuh (Dalimartha 2004). Lempuyang dapat digunakan sebagai obat batu ginjal, dapat menetralkan dan


(60)

membersihkan darah, mengobati batuk rejan serta dapat menambah nafsu makan (Arif 2009). Kayu manis mengandung minyak atsiri (sinamaldehid) yang berfungsi sebagai antioksidan dalam melawan bahaya radikal bebas dalam membran sel (Jayaprakasha 2003). Sementara itu, penggunaan jahe dan merica juga telah banyak dikenal sebagai tanaman obat. Secara farmakologi jahe bermanfaat sebagai karminatif, antimuntah, pereda kejang, antipengerasan pembuluh darah, antiinflamasi, dan dapat meningkatkan kekebalan tubuh (Hariana 2004). Merica juga memiliki manfaat sebagai obat sesak napas, analgesik, melancarkan peredaran darah, serta dapat menghangatkan badan (Paimin 2002).

Formulasi dari ekstrak jamu veteriner yang diberikan terdiri atas sambiloto, lempuyang, kayu manis, merica, dan jahe. Pemberian ekstrak jamu veteriner ini diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan status fisiologis serta performans induk domba, sehingga mampu menghasilkan anak domba yang berkualitas. Selain itu, dengan tercapainya kondisi tersebut tingkat kematian anak menjadi rendah sehingga efisiensi reproduksi akan meningkat.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pemberian ekstrak jamu veteriner terhadap status fisiologis dan kesehatan induk domba yang dapat dilihat dari hasil gambaran darah merah domba selama periode kebuntingan.

1.3. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan status fisiologis domba guna menghasilkan anak yang berkualitas sehingga populasi domba di Indonesia juga akan turut meningkat. Peningkatan populalsi domba ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan daging domestik dan dapat memberikan konstribusi pada swasembada daging nasional.

     


(61)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Domba

Salah satu ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan protein hewani di berbagai negara, termasuk Indonesia ialah domba. Sekarang ini, ternak domba yang ada merupakan hasil dosmetikasi domba liar yang dilakukan dalam kurun waktu yang panjang (Purnomo 2009). Klasifikasi ilmiah domba menurut Damron (2006), yaitu Kingdom (Animalia), Phylum (Chordata), Subphylum (Vertebrata), Class (Mammalia), Ordo (Artiodactyla), Family (Bovidae), Genus (Ovis), Species (Ovis aries).

Domba yang umum diternakan oleh petani di Indonesia adalah domba ekor gemuk, domba ekor tipis, dan domba garut. Domba ekor gemuk sering disebut domba gibas. Domba ini banyak tersebar di Provinsi Jawa Timur (terutama di pulau Madura, daerah Donggala), Sulawesi Tengah, dan Lombok. Ciri khas dari domba ekor gemuk terlihat pada bentuk ekornya yang membesar akibat timbunan lemak yang berfungsi sebagai cadangan energi pada musim kering saat pakan alami berkurang, tetapi bagian ujung ekornya mengecil. Keunggulan dari domba ini ialah memiliki postur tubuh yang cukup besar. Bobot badan jantan mencapai 50 sampai dengan 70 kg, sedangkan domba betina 30 sampai dengan 40 kg. Pertumbuhan domba relatif cepat dengan rata-rata pertambahan bobot 100 sampai dengan 200 g per hari. Domba ekor gemuk ini juga mampu beranak sepanjang tahun.

Domba ekor tipis sering disebut sebagai domba lokal. Domba ini banyak tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,dan Sumatera Utara. Ukuran tubuhnya relatif kecil dan warna bulu barvariasi, namun bulu dominan putih dengan warna hitam dibeberapa bagian tubuh seperti di seputar mata, hidung dan beberapa bagian tubuh lainnnya. Domba ekor tipis jantan bertanduk relatif kecil sedangkan betina tidak bertanduk. Pertambahan bobot badan domba ini agak lambat, sekitar 90 sampai dengan 100 g per hari. Bobot badan jantan berkisar 30 sampai dengan 50 kg, sedangkan betina berkisar 15 sampai dengan 35 kg. Di samping itu, jumlah kelahiran


(62)

anak cukup tinggi bisa mencapai 1 sampai dengan 4 ekor anakan dalam sekali kelahiran sehingga digolongkan dalam kelas domba prolifik. Ukuran tubuh yang relatif kecil menolong ternak ini untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang kurang baik.

Domba garut merupakan salah satu domba unggulan. Postur tubuhnya yang besar dan kuat menjadikannya sebagai domba aduan. Ciri khas domba ini di antaranya daun telinga berukuran kecil dan berbentuk meruncing, bahkan ada yang sangat kecil. Bulu domba garut ini berupa wol kasar sehingga bisa dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan. Domba garut jantan memiliki bobot badan sekitar 60 sampai dengan 80 kg, sedangkan domba betina sekitar 30 sampai dengan 40 kg. Angka reproduksi cukup tinggi dan mampu beranak sepanjang tahun. Domba garut dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan. Keunggulan domba ini adalah kualitas kulitnya yang bagus. Kulit domba garut merupakan salah satu kulit berkualitas di dunia (Sutama 2008).

Domba adalah perumput yang selektif, lebih menyukai rumput yang pendek dan berbagai jenis legum. Sifat adaptasi domba terhadap pakan baru sangat baik. Domba dapat tumbuh baik pada daerah yang kering dengan pemberian pakan yang berkualitas secara fluktuatif. Domba yang dipelihara secara semi intensif dan diberi pakan konsentrat ditambah monensin dan hijauan rumput gajah dapat tumbuh dengan pertambahan bobot badan harian sekitar 100 sampai 150 g/ekor/hari (Astuti et al. 1988).

Domba termasuk ternak yang dapat kawin sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi musim. Pertumbuhan dan reproduksi domba dipengaruhi oleh kerja hormon. Mekanisme kerja hormon ini sangat kompleks serta dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti iklim dan pakan (Webb 2005).

Pada ternak mamalia dewasa fluktuasi berbagai hormon reproduksi dikenal sebagai siklus estrus yang terdiri atas proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Siklus estrus pada domba berkisar antara 14 sampai dengan 18 hari atau rata-rata sekitar 17 hari dengan tipe siklus estrus yaitu polyestrus. Umur estrus pertama pada tiap individu berbeda-beda tergantung breed, biasanya pada domba 6 sampai dengan 12


(1)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

satu Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05 1

1 5 8.3740

3 5 8.9980

2 5 9.0160

Sig. .491

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

dua Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05 1

1 5 10.5000

2 5 10.6380

3 5 11.3860

Sig. .438

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(2)

tiga Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05 1

2 5 10.3500

1 5 10.5800

3 5 11.2940

Sig. .151

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

empat Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05 1

1 5 10.4000

2 5 10.6080

3 5 10.7820

Sig. .587

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

lima Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05 1

1 5 10.0300

2 5 10.2380

3 5 10.6320

Sig. .518


(3)

3.

Analisis Nilai Hematokrit

Oneway

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

satu 1 5 21.0000 1.69558 .75829 18.8947 23.1053 19.50 23.50

2 5 21.8000 1.30384 .58310 20.1811 23.4189 20.00 23.00

3 5 20.0000 1.58114 .70711 18.0368 21.9632 18.00 22.00

Total 15 20.9333 1.61319 .41652 20.0400 21.8267 18.00 23.50

dua 1 5 20.8000 1.78885 .80000 18.5788 23.0212 19.00 23.00

2 5 22.4000 2.50998 1.12250 19.2834 25.5166 18.00 24.00

3 5 23.0800 1.91983 .85857 20.6962 25.4638 21.30 26.00

Total 15 22.0933 2.17854 .56250 20.8869 23.2998 18.00 26.00

tiga 1 5 25.4000 1.91703 .85732 23.0197 27.7803 22.00 26.50

2 5 23.3000 1.44049 .64420 21.5114 25.0886 21.50 25.00

3 5 25.8000 1.60468 .71764 23.8075 27.7925 24.00 28.00

Total 15 24.8333 1.91485 .49441 23.7729 25.8937 21.50 28.00

empat 1 5 25.0800 1.69765 .75921 22.9721 27.1879 22.70 26.60

2 5 25.5400 1.99700 .89308 23.0604 28.0196 22.70 28.00

3 5 26.7400 1.72714 .77240 24.5955 28.8845 24.80 29.10

Total 15 25.7867 1.82751 .47186 24.7746 26.7987 22.70 29.10

lima 1 5 22.6000 2.43413 1.08858 19.5776 25.6224 19.00 25.00

2 5 22.7000 1.92354 .86023 20.3116 25.0884 20.00 25.00

3 5 23.8000 1.68077 .75166 21.7130 25.8870 21.00 25.50


(4)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

satu Between Groups 8.133 2 4.067 1.724 .220

Within Groups 28.300 12 2.358

Total 36.433 14

dua Between Groups 13.701 2 6.851 1.559 .250

Within Groups 52.743 12 4.395

Total 66.444 14

tiga Between Groups 18.033 2 9.017 3.249 .075

Within Groups 33.300 12 2.775

Total 51.333 14

empat Between Groups 7.345 2 3.673 1.118 .359

Within Groups 39.412 12 3.284

Total 46.757 14

lima Between Groups 4.433 2 2.217 .534 .599

Within Groups 49.800 12 4.150


(5)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

satu Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05 1

3 5 20.0000

1 5 21.0000

2 5 21.8000

Sig. .103

Means for groups in homogeous subsets are displayed.

dua Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05 1

1 5 20.8000

2 5 22.4000

3 5 23.0800

Sig. .127


(6)

tiga Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05

1 2

2 5 23.3000

1 5 25.4000 25.4000

3 5 25.8000

Sig. .069 .711

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

empat Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05 1

1 5 25.0800

2 5 25.5400

3 5 26.7400

Sig. .193

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

lima Duncan

kelomp

ok N

Subset for alpha = 0.05 1

1 5 22.6000

2 5 22.7000

3 5 23.8000

Sig. .393