19
B. Dakwah
1 Pengertian Dakwah
Dakwah berarti perh atian seorang Da’i kepada orang yang diserunya,
persahabatannya dan persaudaraanya karena Allah SWT. Dengan kata lain, dakwah adalah ajakan atau seruan ke jalan Allah yang dilakukan seorang Da’i penyeru kepada
orang lain secara perseorangan dengan tujuan memindahkan al mad’uw penerima
pada keadaan yang lebih baik dan diridhai Allah SWT. Perubahan atau perpindahan tersebut adakalanya dari kekafiran kepada keimanan, dari kesesatan dan kemaksiatan
kepada petunjuk dan ketaatan. Dakwah ialah usaha seorang da ’i yang berusaha lebih
dekat mengenal al mad’uw untuk dituntun ke jalan Allah. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran dakwah harus selalu menyertainya dan membina persaudaraan
dengannya karena Allah. 2
Tahapan Dakwah Tahapan atau fase dalam dakwah ada tiga, yaitu:
a. Mafhum Da’wah seruan atau ajakan
Seruan dan ajakan seperti ini memiliki dasar dan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
28
Firman Allah SWT: “Siapakah yang lebih baik perkataanya dari pada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amalan saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’ dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu
gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya
Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Fushshilat: 33-36.
28
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim,Jakarta: Gema Insani, 2004, h 30.
20
Ayat diatas mengisyaratkan akan seruan dalam dakwah fardiyah mengenai berapa hal: Dakwah Illallah dakwah ke jalan Allah seruan atau ajakan untuk menaati-
Nya dan menaati Rasulnya dengan melaksanakan semua ajaran yang dibawanya sebagai sistem dan undang-undang serta pedoman dalam kehidupan. Dakwah Illalah
memuat semua ucapan dan perkataan yang baik: tentang tauhid, keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir serta qadha dan
qadar. Dakwah Illalah dalam pengertian seperti ini adalah perkataan yang sangat baik yang diucapkan oleh juru dakwah. Karena da’i tidak mengatakan sesuatu kecuali
tentang ajaran Nabi Muhammad SAW. Dalam melakukan dakwah harus memiliki sifat- sifat khusus dan sikap hidup yang sesuai dengan tugasnya. Dari ayat diatas, didalamnya
memuat asas dan rukun dakwah yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Seorang Da’i harus melakukan amal saleh, Artinya, ia harus
melaksanakan seluruh kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar, selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan nafilah sunnah dan menjauhi perbuatan-
perbuatan yang hina dan dosa kecil. Kedua, Seorang Da’i harus menyatakan secara terus terang bahwa dia seorang muslim. Hal itu harus dinyatakan dengan perkataan dan
perbuatannya. Ketiga, Seorang Da’i harus bersikap sabar, mempergauli penerima dakwah dengan baik dan tabah.
b. Mafhum Haraki gerakan
Dakwah dalam mafhum haraki atau tahap haraki gerakan ialah menjalin hubungan dengan masyarakat umum, kemudia memilih salah seorang dari mereka
untuk membina hubungan lebih erat, karena da’i mengetahui bahwa orang tersebut
21
layak menerima kebaikan disebabkan keterkaitan dan komitmennya terhadap manhaj dan adab Islam.
29
Islam memberikan kebebasan kepada juru dakwah untuk bergaul dengan masyarakat umum untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjadikan
pergaulan tersebut sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat yang digunakannya untuk mengajak mereka ke jalan kebenaran, kebaikan dan petunjuk.
30
Pengertian haraki gerakan dalam dakwah ini adalah, Seorang Da’i harus mengarahkan keinginan
penerima dakwah dengan baik, Seorang Da’i harus memperhatikan kepentingan kaum muslimin dengan menyingkirkan gangguan dari mereka dan mengusahakan
kemaslahatan untuk mereka, memberi nasihat dan pertolongan kepada setiap muslim, mencintai dan menampakkan cintanya kepada al-m
ad’uw, dan bergaul dengan penerima dakwah secara bijak dan bertukar pikiran dengan cara yang baik. Semua ini
ada didalam firman Allah SWT: “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” An-Nahl: 125
Dari ayat diatas ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai pedoman seorang Da’i dalam membina hubungan dengan al-mad’uw yaitu, Dakwah harus
ditujukan kepada jalan Allah, bukan kepada jalan hidup yang lain. Tidak diperkenankan menyerukan dakwahnya dengan tujuan agar mengikuti sang pemimpin, orang yang
berjasa atau mengikuti pribadi Da’i itu sendiri. Dakwah seperti ini menghubungkan penerima dakwah dengan Allah, tauhid, aqidah, dan
mabda’ prinsip hidup, bukan dengan sang tokoh atau sang pemimpin. Karena aqidah bersifat kekal, sedangkan tokoh
29
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta: Gema Insani, 2004, h 34.
30
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h. 35.
22
dan pemimpin masyarakat bersifat fana. Dakwah harus dilakukan dengan bijak, yang dimaksud ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya proporsional.
31
Dalam bergaul dengan al-
mad’uw sang Da’i harus melihat dan mempertimbangkan kondisi penerima dakwah, seperti kondisi kebudayaan dan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian,
Da’i tidak boleh memberikan beban kepada penerima dakwah dengan tugas yang tidak mampu dilakukannya. Da’i harus bergaul dengan penerima dakwah secara lemah
lembut dan bijak. Dakwah harus dilakukan dengan nasihat atau pengajaran yang baik. Nasihat yang dapat masuk ke dalam hati. Hal ini hanya akan tercapai jika dilakukan
dengan lemah lembut, tanpa kekerasan dan tanpa mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya. Dakwah dapat menggunakan metode diskusi atau tukar pikiran dengan
cara yang paling baik, yang dapat membawa kepada pencapaian kebenaran. Tukar pikiran dengan cara yang baik dalam pengertian tidak boleh memaksakan kehendak
kepada al- mad’uw yang berbeda pendapat dengan Da’i. Tidak boleh membebaninya
diluar kemampuannya dan tidak boleh mencaci pendapat atau pemikirannya meskipun lamban dalam menerima k
ebenaran. Dan Da’i harus memahami dan menyadari keadaan al-
mad’uw serta bersabar dalam menghadapinya. Tidak boleh berputus asa dan harus berlapang dada.
32
c. Mafhum Tanzhimi pengorganisasian
Pengorganisasian yang dilaksanakan da’i dalam dakwah meliputi tiga hal: pengarahan taujih, penugasan tauzhif dan penggolongan tashnif. Pengarahan
taujih bimbingan yang diberikan da’i kepada al maduw dalam rangka berdakwah ke
jalan Allah untuk membantu memahami keadaan dirinya, memahami persoalan dan
31
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h. 42.
32
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h. 43.
23
hambatan-hambatan yang dihadapinya.
33
Menunjukkannya dengan cara yang halus tentang kemampuan dan kelebihan yang dia miliki. Dan juga membantunya agar
penerima dakwah bisa dengan baik mengenal lingkungan, baik yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, kebudayaan dan ekonomi. Sehingga
al mad’uw dapat melaksanakan tugas-tugasnya sesuai kondisi yang diketahuinya. Dengan demikian, ia
tidak akan membebani dirinya di luar batas kemampuannya dan tidak pula meninggalkan amalan yang sebenarnya mampu dilaksanakannya.
Dalam peng arahan ini da’i harus membantu al mad’uw dalam memecahkan
kesulitahan-kesulitan yang dihadapinya, agar ia bertambah percaya diri dan kemampuannya sehingga tidak selalu menjadi beban dan menggantungkan diri pada
da’i dalam setiap urusan. Pengarahan dari seorang da’i kepada al mad’uw ialah mencurahkan seluruh kemampuannya agar penerima dakwah dapat mengatakan
kesulitan-kesulitannya ketika melaksanakan tugas, dapat melaksakan amalan secara kontinu dan tidak berbalik haluan.
34
Sementara itu di dalam penugasan tauzhif seorang da’i harus cermat dalam
memilih tugas yang akan diberikan kepada al mad’uw sesuai dengan kemampuan dan
kondisinya.
35
Hal ini karena dakwah bertujuan agar penerima dakwah dapat melakukan amalan yang sesuai dan tidak memberatinya. Dan dilihat dari segi lain, penerima
dakwah dapat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Penerima dakwah dalam dakwah harus aktif melaksanakan amaliah demi Islam hingga ia memiliki andil dalam
menolak mafsadah dan menarik mashalahah.
33
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h.48.
34
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h.49.
35
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h.49.
24
Penggolongan tashnif mengelompokkan sesuatu agar mudah membedakan antara satu yang lainnya. Tashnif mengelompokkan kekuatan dan kemampuan
penerima dakwah agar dapat diketahui kemampuannya. Hal ini memudahkan pemberian latihan dan pembinaan untuk mencapai derajat yang lebih baik dalam
menunaikan tugas-tugasnya.
36
Dalam dakwah, juru dakwah harus mengklarifikasikan penerima dakwah berdasarkan pola fikir dan kebudayaan mereka agar ia mengetahui
bekal pemikiran dan kebudayaan apa yang sesuai dengan mereka. Da’i harus mengelompokkan
al mad’uw berdasarkan segi rohaniah. Hal ini untuk mengetahui ibadah dan riyadhah ruhiyah latihan rohaniah yang sesuai dengan
al mad’uw agar jiwanya menjadi bersih dan hubungannnya kepada Allah semakin dekat hingga ia akan
selalu menghadap kepada-Nya dan merasa tenang dengannya. Pengelompokkan penerima dakwah juga berdasarkan segi kepribadiaannya agar
da’i mengetahui cara menempatkan penerima dakwah dalam lingkungan pergaulan dan mengetahui amalan serta pengetahuan apa yang sesuai. Pengelompokkan selanjutnya
ditinjau dari segi sosial kemasyarakatan untuk mengetahui sampai seberapa kemampuannya berperan dalam amal sosial, sampai seberapa kemauannya menolong
dan mencintai orang lain.
37
Taujih, tauzhif dan tashnif merupakan unsur-unsur pengorganisasian dakwah yang m
enyempurnakan tugas dan pekerjaan seorang da’i. 3
Ruang Lingkup Mualaf a.
Pengertian Mualaf Mualaf adalah seorang yang masuk Islam karena pilihan, yang telah mengalami
pergulatan batin dan pertimbangan yang matang. Dia harus menundukkan hatinya
36
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h 50.
37
Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h 51.
25
untuk dapat menerima dan meyakini kebenaran baru. Selanjutnya dia harus mempertimbangkan aspek sosial ekonomi sebagai konsekuensi atas pilihannya itu.
Seperti kehilangan pekerjaan atau bisa dikucilkan dari keluarga bahkan diasingkan dari komunitas lamanya. Melihat berapa kompleksnya dampak pilihan ini, apabila dia tetap
merasa yakin dengan kebenaran Islam, dia harus berserah diri dan pasrah dengan risiko apapun.
38
Mualaf dari bahasa Arab yang berarti tunduk, menyerah, dan pasrah. Sedangkan, dalam pengertian Islam, mualaf digunakan untuk menunjuk seseorang yang
baru masuk agama Islam.
39
Dalam ensiklopedi dasar Islam, muallaf ialah seseorang yang semula kafir dan baru memeluk islam
40
Kata mualaf yang berasal dari bahasa Arab merupakan maf’ul dari kata alifa
yang artinya menjinakkan, mengasihi. Sehingga kata muallaf dapat diartikan sebagai orang yang dijinakkan atau dikasihi. Seperti tertera dalam firman Allah surat at-taubah
ayat 60 “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk oranng-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Mengetahui lagi Maha Bijaksan
a” Dalam ayat diatas terdapat kata muallafah qulubuhum yang artinya orang-orang
yang sedang digunakan atau dibujuk hatinya. Mereka dibujuk adakalanya karena merasa baru memeluk agama Islam dan imannya belum teguh. Karena belum teguhnya
iman seorang mualaf, maka mereka termasuk golongan yang berhak menerima zakat. Hal ini dimaksudkan agar lebih meneguhkan iman para mualaf terhadap agama Islam.
38
http:www.mualafcenter.comtujuanpengertian-mualaf di akses 18 Agustus pada pukul 09.46
39
http:www.mualafcenter.comtujuanpengertian-mualaf di akses 31 juli pada pukul 21.37
40
Achmad Roestandi, Ensiklopedia Dasar Islam, Jakarta: PT. Pradaya Paramitia, 1993, h 173.
26
b. Kedudukan Mualaf dalam Islam
Berdasarkan pengertian mualaf yang telah dijelaskan diatas bahwa mualaf ialah orang yang hatinya dibujuk dan dijinakkan hatinya agar cenderung kepada Islam.
Mereka adalah orang yang baru mengetahui dan belum memahami ajaran Islam. Oleh karena itu mereka berada pada posisi yang membutuhkan pembinaan, bimbingan
seputar agama Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW para mualaf tersebut diposisikan sebagai
penerima zakat untuk menjamin kelestarian mereka kepada Islam dengan terus meberikan pembinaan dan pengajaran tentang agama Islam. Salah satu alasan Nabi
Muhammad SAW memberikan zakat kepada mereka adalah menyatukan hati mereka pada Islam. Oleh karena itu mereka dinamakan al-Mualafah Qulubuhum.
41
Mualaf itu adalah orang yang baru memeluk agama Islam dan dirangkul serta diteguhkan hati mereka pada keislaman. Karena mereka baru memeluk Islam dan baru
mengetahui agama Islam, maka mereka berada pada posisi yang membutuhkan pembinaan dan bimbingan agama Islam. Agar mereka dapat mengetahui syariat agama
Islam untuk kemudian dapat mengamalkan syariat itu dalam sehari-hari. Islam memiliki perlakuan khusus atau perlakuan yang berbeda untuk mualaf
seperti, melindungi mualaf. Menjadi seorang mualaf merupakan suatu hal yang tidak mudah, karena mereka akan menghadapi konsekuensi misalnya dikucilkan dan
ditinggalkan keluarga maupun teman-temannya yang tidak menerima keputusan tersebut. Bahkan hilangnya mata pencaharian, harta dan juga nyawa termasuk dalam
konsekuensi tersebut.
41
Syarif Hade Masyah, Hikmah di Balik Hukum Islam, Jakarta: Mustaqim, 2002, cet ke-1 h 306-307
27
Islam juga memberikan bantuan ekonomi zakat bagi para mualaf yang membutuhkan, dengan tujuan untuk menumbuhkan kemandirian bagi para mualaf.
42
Setiap muslim yang mampu, wajib memberikan perlindungan kepada mualaf. Pemberian hak tersebut bukanlah sebagai imbalan karena mereka telah telah memeluk
agama Islam. Akan tetapi, untuk melindungi mualaf tersebut dari kufur nikmat Allah SWT, sehingga mereka dapat melangsungkan kehidupannya secara wajar. Ketentuan
memasukkan mualaf sebagai salah satu golongan yang berhak menerima zakat telah secara mutlak ada didalam Al-
Qur’an. Sekaya apapun mualaf tersebut tetap masuk ke dalam golongan mustahiq. Pemberian zakat tersebut juga untuk lebih meneguhkan
jiwanya terhadap agama Islam. Selain pemberian zakat, mualaf diberikan berbagai bentuk pengetahuan Islam
atau kegiatan lainnya guna meningkatkan pengetahuan mualaf tentang ajaran agama Islam. Sehingga di harapkan hal tersebut akan semakin memperteguh imannya kepada
Allah SWT. Islam menganjurkan dan mewajibkan bagi setiap muslim untuk memberikan perlindungan kepada mualaf, sebab jika keislaman yang mereka lakukan
justru membuat kehidupan semakin menderita, maka hal tersebut dapat menimbulkan kesan yang tidak baik bagi Islam.
Menurut syariah, untuk menjadi muslim itu adalah sangat mudah, yaitu hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Pengucapan dua kalimat syahadat
akan lebih baik jika dilakukan dihadapan orang lain yang bertindak sebagai saksi. Karena hal ini bertujuan agar orang lain bisa mengetahui identitas keislamannya, dan
hal itu nantinya akan berkaitan dengan hak-hak orang yang telah menjadi mualaf, seperti hak warisan, hak untuk menikah, pemakaman dan lain sebagainya.
42
http:dalamislam.comdasar-islammualaf diakses pada 18 Agustus pukul 17.28
28
Dalam kegiatan pemberdayaan atau pembinaan mualaf, menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena sebagai orang yang menjalani keyakinan baru haruslah
memahami prinsip-prinsip ajaran Islam seperti menjalankan shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadan, menunaikan ibadah haji, membayar zakat dan lain
sebagainya serta menjauhi segala larangannya.
43
43
Anwar R. Prawira, Petunjuk Praktis Bagi Calon Pemeluk Agama Islam, Jakarta:YPI Al-Izhar, 2001, h 3.
29
BAB III GAMBARAN UMUM