commit to user
7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Status Gizi a. Definisi status gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan yang menggambarkan seberapa baik kebutuhan nutrisi esensial tubuh bisa terpenuhi dari berbagai macam
makanan yang dikonsumsi dan bagaimana penggunaannya secara optimal McLaren Frigg, 2001; Supariasa et al, 2002; Almatsier, 2003; Schlenker
Long, 2007; Wardlaw Smith, 2009. Dibedakan menjadi status gizi buruk, kurang, baik dan lebih Almatsier, 2003; Schlenker Long, 2007; Wardlaw
Smith, 2009. Status gizi baik atau status gizi optimal, terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang,
terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih, terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah
berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan Almatsier, 2003; Schlenker Long, 2007; Wardlaw Smith, 2009.
commit to user 8
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu 1 konsumsi makanan,
dipengaruhi oleh : a pendapatan, lapangan kerja, pendidikan dan kemampuan sosial, b kemampuan keluarga dalam mengolah makanan, c keterlibatan
bahan makanan dan kemudahan dalam memperoleh bahan makanan tersebut Graham, 2005 2 tingkat kesehatan, dipengaruhi oleh : a faktor pejamu,
meliputi faktor genetik, tinggi badan ibu Subramanian et al, 2009, umur, jenis kelamin, kelompok etnis, fisiologis, imunologis dan kebiasaan seseorang
misalnya kebersihan, makanan, kontak perorangan, pekerjaan, rekreasi, pemanfaatan pelayanan kesehatan, b faktor sumber penyakit, meliputi faktor
gizi, zat kimia dari luar tubuh, zat kimia yang dihasilkan oleh tubuh, faktor faali dalam kondisi tertentu, genetik, psikis, tenaga dan kekuatan fisik serta
faktor biologis dan parasit, c faktor lingkungan, meliputi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial ekonomi Supariasa et al, 2002;
Graham, 2005; Bawdekar Ladusingh, 2008. c. Penilaian status gizi
Penilaian status gizi didasarkan pada 1 data antropometri, 2 pengamatan klinis, 3 pemeriksaan biokimia dan 4 evaluasi diet Supariasa et
al, 2002; Almatsier, 2003; Schlenker Long, 2007; Wardlaw Smith, 2009. Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Data
antropometri dapat melihat ketidakseimbangan asupan energi dan protein, yang tercermin dari proporsi jaringan tubuh Supariasa et al, 2002; Fatimah et al,
2008. Data antropometri didapatkan dari pengukuran berat dan tinggipanjang
commit to user 9
badan, lingkar dan ketebalan dari bagian tubuh Wardlaw Smith, 2009. Indeks antropometri dinyatakan dengan berat badan banding umur BBU,
tinggipanjang badan banding umur TBU atau berat badan banding tinggipanjang badan BBTB, kemudian dibandingkan dengan standar median
World Health Organization, 2010. Status gizi dapat dilihat dari pengamatan klinis, pemeriksaan fisik,
melihat kemungkinan adanya tanda-tanda malnutrisi serta mengaitkannya dengan tanda-tanda vital dan pemeriksaan medis dan keperawatan Supariasa
et al, 2002; Schlenker Long, 2007. Pengukuran biokimia mengukur fungsi-fungsi biokimiawi yang terkait
dengan fungsi suatu zat gizi, misalnya mengukur konsentrasi zat gizi melalui produknya maupun aktivitas enzimnya di dalam darah dan jaringan tubuh
lainnya Supariasa, 2002; Wardlaw Smith, 2009. Dengan demikian pemeriksaan biokimia dapat mengetahui keadaan malnutrisi yang belum
tampak secara klinis subklinis Tanumihardjo, 2004; Graebner et al, 2007. Pemeriksaan biokimia meliputi pemeriksaan protein dalam plasma darah
seperti albumin serum, prealbumin, hemoglobin, thyroxin binding protein, transferin serum, atau total iron binding capacity TIBC. Pemeriksaan lain
yakni pemeriksaan metabolisme protein dengan menggunakan pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur kadar kreatinin urin dan urea nitrogen Schlenker
Long, 2007. Penilaian status gizi lewat evaluasi diet dilakukan dengan cara
pencatatan secara hati-hati makanan yang dikonsumsi beberapa hari
commit to user 10
sebelumnya Supariasa et al, 2002; Almatsier, 2003; Schlenker Long, 2007; Wardlaw Smith, 2009.
d. Klasifikasi status gizi Di Indonesia, ukuran baku hasil pengukuran status gizi belum ada
Supariasa, 2002. Sehingga, klasifikasi status gizi dalam penelitian ini mengacu nilai z – score BBU atau TBU pada baku rujukan WHO 2005, yaitu
sebagai berikut : 1 status gizi lebih, dengan kriteria: z – score lebih dari 2 SD, 2 status gizi normal, dengan kriteria: z – score antara – 2 SD dan 2 SD, 3
status gizi kurang, dengan kriteria: z – score antara – 3 SD dan – 2 SD, 4 status gizi buruk, dengan kriteria: z –score kurang dari – 3 SD World Health
Organization, 2006. Untuk memudahkan penghitungan z – score ini dapat menggunakan
suatu program aplikasi komputer yang dinamakan software WHO anthroversion 2.02 World Health Organization, 2005.
2. Perkembangan Anak a. Definisi perkembangan anak
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan. Proses ini melibatkan aspek biologis, yakni proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-
organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing- masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga aspek perkembangan
emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan
commit to user 11
lingkungannya Soetjiningsih, 1998; Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005; Kliegman et al, 2007; Narendra et al, 2008.
Perkembangan anak merupakan suatu proses dinamik yang terkadang sulit untuk diukur Sandler et al, 2001; Gupte, 2004. Aspek perkembangan ini
beraneka ragam, saling berhubungan satu sama lain dan sangatlah kompleks, meliputi kemampuan motorik halus, motorik kasar, bahasa, kognitif dan
penyesuaian sikap Sandler et al, 2001; Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005.
Perkembangan adalah suatu ukuran kematangan fungsi. Hal ini ditandai dengan dicapainya kemampuan mental dan kemampuan sosial Mansjoer et al,
2000; Gupte, 2004. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak yaitu : 1 faktor genetik atau keturunan atau bawaan, yang merupakan modal dasar dalam mencapai
hasil akhir proses tumbuh kembang anak, misalnya berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa
Soetjiningsih, 1998; Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005; Kliegman et al, 2007; Stutzman et al, 2009, 2 faktor
lingkungan, dimana lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan, mencakup lingkungan bio-fisiko-psiko-
sosial yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya Soetjiningsih, 1998; Departemen Kesehatan RI dan Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2005; Kliegman et al, 2007; Stutzman et al, 2009.
commit to user 12
c. Kebutuhan dasar anak untuk perkembangannya Kebutuhan dasar anak untuk perkembangannya meliputi : 1 kebutuhan fisik
biomedis asuh; yang terdiri dari nutrisi, perawatan kesehatan dasar, pemukiman yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang,
kesegaran jasmani, rekreasi, bermain, dan sebagainya, 2 kebutuhan emosi atau kasih sayang asih; yang meliputi perhatian, kasih sayang, rasa aman,
dilindungi, dibantu dan dihargai, yang akan menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan dasar, 3 kebutuhan akan stimulasi mental asah; meliputi
stimulasi dini pada semua indera pendengaran, penglihatan, sentuhan, pembau, pengecap, sistem motorik kasar dan halus, komunikasi, emosi –
sosial dan rangsangan untuk berpikir. Stimulasi mental ini merupakan cikal bakal dalam proses belajar pada anak yang berpengaruh terhadap
perkembangan kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral – etika, produktivitas dan sebagainya Soetjiningsih, 1998;
Departemen Kesehatan RI, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005. d. Tahap-tahap perkembangan anak
Tahap perkembangan anak balita adalah sebagai berikut Skala Yaumil Mimi cit Soetjiningsih, 1998; Kliegman et al, 2007 : 1 usia 0 – 3 bulan, pada
usia ini anak balita menunjukkan kemampuan : a belajar mengangkat kepala, b belajar mengikuti obyek dengan matanya, c melihat ke muka orang dengan
tersenyum, d bereaksi terhadap suara atau bunyi, e mengenal ibunya dengan penglihatan, penciuman, pendengaran dan kontak, f menahan barang yang
dipegangnya, g mengoceh spontan atau bereaksi dengan mengoceh; 2 usia 3 –
commit to user 13
6 bulan, pada usia ini anak balita menunjukkan kemampuan : a mengangkat kepala sembilan puluh derajat dan mengangkat dada dengan bertopang tangan,
b mulai belajar meraih benda-benda yang ada dalam jangkauannya atau di luar jangkauannya, c menaruh benda-benda di mulutnya, d berusaha memperluas
lapangan pandangan, e tertawa dan menjerit karena gembira bila diajak bermain, g mulai berusaha mencari benda-benda yang hilang; 3 usia 6 – 9
bulan, pada usia ini anak balita menunjukkan kemampuan: a dapat duduk tanpa dibantu, b dapat tengkurap dan berbalik sendiri, c dapat merangkak
meraih benda atau mendekati seseorang, d memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang lain, e memegang benda kecil dengan ibu jari dan jari
telunjuk, f bergembira dengan melempar benda-benda, g mengeluarkan kata- kata yang tanpa arti, h mengenal muka anggota-anggota keluarga dan takut
kepada orang asing orang lain, i mulai berpartisipasi dalam permainan tepuk tangan dan sembunyi-sembunyian; 4 usia 9 – 12 bulan, pada usia ini anak
menunjukkan kemampuan: a dapat berdiri sendiri tanpa dibantu, b dapat berjalan dengan dituntun, c menirukan suara, d mengulang bunyi yang
didengarnya, d belajar menyatakan satu atau dua kata, e mengerti perintah sederhana dan larangan, f memperhatikan minat yang besar dalam
mengeksplorasi sekitarnya, ingin menyentuh apa saja dan memasukkan benda- benda ke mulutnya, g berpartisipasi dalam permainan; 5 usia 12 – 18 bulan,
pada usia ini anak menunjukkan kemampuan: a berjalan dan mengeksplorasi rumah serta sekeliling rumah, b menyusun dua atau tiga kotak, c dapat
mengatakan lima sampai sepuluh kata, d memperlihatkan rasa cemburu dan
commit to user 14
bersaing; 6 usia 18 – 24 bulan, pada usia ini anak menunjukkan kemampuan: a naik turun tangga, b menyusun enam kotak, c menunjuk mata dan
hidungnya, d menyusun dua kata, e belajar makan sendiri, f menggambar garis di kertas atau pasir, g mulai belajar mengontrol buang air besar dan
kencing, h menaruh minat kepada apa yang dikerjakan oleh orang yang lebih besar, i memperlihatkan minat kepada anak lain dan bermain dengan mereka;
7 usia 2 – 3 tahun, pada usia ini anak menunjukkan kemampuan: a belajar meloncat, memanjat, dan melompat dengan satu kaki, b membuat jembatan
dengan tiga kotak, c mampu menyusun kalimat, d mempergunakan kata-kata saya, bertanya, mengerti kata-kata yang ditujukan kepadanya, e menggambar
lingkaran, f bermain bersama dengan anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain di luar lingkungannya; 8 usia 3 – 4 tahun, pada usia ini anak
menunjukkan kemampuan : a berjalan-jalan sendiri mengunjungi tetangga, b berjalan pada jari kaki, c belajar berpakaian dan membuka pakaian sendiri, d
menggambar garis silang, e menggambar orang terdiri dari kepala dan badan, f mengenal dua atau tiga warna, g berbicara dengan baik, h menyebut nama,
jenis kelamin, dan umurnya, i banyak bertanya, j bertanya bagaimana anak dilahirkan, k mengenal sisi atas, bawah, depan dan belakang, l mendengarkan
cerita-cerita, m bermain dengan anak lain, n menunjukkan rasa sayang kepada saudara-saudaranya, o dapat melakukan tugas-tugas sederhana; 9 usia
4 – 5 tahun, pada usia ini anak menunjukkan kemampuan: a melompat dan menari, b menggambar orang yang terdiri dari kepala, lengan dan badan, c
menggambar segi empat dan segi tiga, d pandai berbicara, e dapat
commit to user 15
menghitung jari-jarinya, f dapat menyebutkan hari-hari dalam seminggu, g mendengar dan mengulang hal-hal penting dan bercerita, h minat pada kata-
kata baru dan artinya, i memprotes bila dilarang apa yang diinginkannya, j mengenal 4 warna, k memperkirakan bentuk dan besarnya benda, l menaruh
minat kepada kegiatan orang dewasa Soetjiningsih, 1998; Mansjoer et al, 2000; Departemen Kesehatan RI, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005.
Dengan mengetahui tahap-tahap perkembangan ini, maka akan memudahkan dalam menilai perkembangan seorang anak balita Soetjiningsih,
1998. Perhatian orang tua terhadap perkembangan anaknya sangat diperlukan dalam deteksi dini gangguan perkembangan American Academic of Pediatric,
2001; Theeranate et al, 2005. e. Penilaian perkembangan anak
Uji skrining untuk deteksi dini gangguan perkembangan anak ada bermacam-maam. Uji skrining ini sangat berguna dalam menegakkan diagnosis
dan terapi gangguan tumbuh kembang anak sehingga dapat kembali optimal Soetjiningsih, 1998; American Academic of Pediatrics, 2003. Adapun uji
skrining perkembangan anak yang paling sering digunakan adalah tes Denver II. Dinamakan Denver karena tes skrining ini dibuat di kota Denver, Amerika
Serikat Soetjiningsih, 1998. Tes Denver II ini merupakan hasil revisi dari DDST Denver Developmental Screening Test. Tes ini diperuntukkan untuk
anak-anak usia satu sampai enam tahun Soetjiningsih, 1998; Frankenburg Dodds, 2004.
commit to user 16
Tes Denver II ini memenuhi semua persyaratan yang diperlukan sebagai metoda skrining yang baik. Tes ini mudah dilakukan dan hanya
memerlukan waktu tiga puluh sampai empat puluh lima menit. Tes ini dapat mendeteksi gangguan neurologis, misalnya kelumpuhan serebral cerebral
palsy pada neonatus dan gangguan-gangguan perkembangan lainnya pada anak-anak Halpern et al, 2000; Needlmen, 2000.
Tes Denver II terdiri dari 125 item yang dibagi menjadi empat bagian sebagai berikut: 1 kepribadian tingkah laku sosial personal social; meliputi
aspek-aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya; 2 gerakan motorik halus fine motor
adaptive, meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian
tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat. Misalnya, kemampuan untuk menggambar, memegang
suatu benda, dan lain-lain; 3 bahasa language, meliputi kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan;
4 perkembangan motorik kasar gross motor adaptive; meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan pergerakan umum otot besar dan sikap tubuh,
misalnya duduk, berjalan dan melompat Soetjiningsih, 1998; Halpen et al, 2000, Denver Developmental Materials Inc, 2006; Departemen Kesehatan RI
dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005.
commit to user 17
f. Interpretasi dan kesimpulan pemeriksaan Denver II Interpretasi dan kesimpulan pemeriksaan Denver II Frankenburg Dodds,
2004. Interpretasi dari penilaian meliputi: 1 “lebih” bila anak “lulus” pada tugas perkembangan tes yang terletak di kanan garis umur, dinyatakan
perkembangan anak lebih pada tes tersebut, karena anak “lulus” pada tes dimana kebanyakan anak tidak lulus sampai umurnya lebih tua, 2 “normal”,
dimana tugas perkembangan yang gagal atau ditolak tidak menunjukkan keterlambatan dalam perkembangan, yang dikarenakan hanya 25 anak-anak
pada sampel baku tidak dapat “lewat” sampai umurnya lebih tua, 3 “peringatan” bila anak “gagal” atau “menolak” melakukan tugas
perkembangan tes dimana garis umur terletak pada atau antara 75 dan 90, yang menunjukkan lebih dari 75 anak lebih muda dapat “lewat”
dibandingkan usia anak yang sedang dites, 4 “terlambat” bila anak “gagal” atau “menolak” melakukan tugas perkembangan tes yang terletak jelas berada
di sebelah kiri garis umur, 5 “tidak ada kesempatan” bila anak tidak ada kesempatan untuk melakukan tugas perkembangan.
Kesimpulan tes Denver II meliputi : 1 normal, bila tidak ada “terlambat” dan sedikitnya satu “peringatan”, 2 diduga ada keterlambatan, bila terdapat ³ dua
“peringatan” dan atau ³ satu “terlambat” setelah diulang satu sampai dua minggu tetap menunjukkan hasil yang sama.
3. Anak Balita Teori-teori klasik psikologi seperti psikoanalisa dari Freud, psikososial
dari Erickson, kognitif dari Piaget dan moral dari Kohlberg, pentahapan
commit to user 18
perkembangan anak meliputi : 1 bayi berusia 0 – 1 tahun, 2 toddlerhood berusia 2 – 3 tahun, 3 prasekolah berusia 3 – 6 tahun, 4 masa sekolah berusia
6 – 12 tahun dan 5 remaja berusia 12 – 20 tahun Kliegman et al, 2007. Standar-standar pertumbuhan yang dikeluarkan oleh WHO untuk kelompok
anak child menunjukkan suatu kelompok usia dari 0 bulan sampai 5 tahun World Health Organization, 2006. Demikian juga KMS kartu menuju sehat
yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI mengikuti WHO hanya memuat usia anak dari 0 – 60 bulan 0 – 5 tahun Departemen Kesehatan RI,
2009. Alasan pengelompokan anak balita bawah lima tahun menjadi
kelompok tersendiri dan memerlukan perhatian yang lebih khusus, karena perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional
dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Pada usia ini juga dibentuk perkembangan moral serta dasar-dasar
kepribadian. Sehingga, setiap kelainan atau penyimpangan sekecil apapun apabila tidak terdeteksi apalagi tidak tertangani dengan baik akan mengurangi
kualitas sumber daya manusia di kemudian hari Soetjiningsih, 1998. Pada penelitian ini, pengolompokkan usia anak dengan mengacu dari
WHO dan Departemen Kesehatan RI yaitu anak balita bawah lima tahun adalah anak yang berusia 0 – 60 bulan 0 – 5 tahun.
commit to user 19
4. Perceraian a. Definisi perceraian
Secara hukum
perceraian didefinisikan
sebagai penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu setelah gagal dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak
Achmad, 1990. Dari kepustakaan, selain pernikahan yang mendahului perceraian dalam definisi hukum perceraian tersebut, juga ada istilah kohabitasi
yang merujuk pada bentuk lain keluarga yang hubungan suami istrinya tanpa adanya status hukum yang sah Ono Yeilding, 2009; Bradatan Kulcsar,
2008. Hubungan kohabitasi bisa pula berakhir perceraian Ono Yeilding, 2009, dengan risiko yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pernikahan
resmi Wilson, 2004. Secara umum, perceraian adalah berakhirnya unit keluarga, merupakan
peristiwa yang menyakitkan biasanya diikuti dengan penyesuaian psikologis, sosial dan keuangan Atwater, 1983; Cohen, 2002. Banyak pernikahan yang
tidak mendatangkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian karena pernikahan tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi
dan alasan lainnya, tetapi banyak juga pernikahan yang diakhiri dengan perpisahan dan pembatalan secara hukum maupun dengan diam-diam dan ada
juga yang salah satu suamiistri meninggalkan keluarga Amato Marriott, 2007.
commit to user 20
b. Penyebab perceraian Perceraian diawali dengan ketidakharmonisan pernikahan Murtagh, 1998;
Amato Cheadle, 2008. Penyebab ketidakharmonisan Murtagh, 1998 meliputi : 1 mementingkan diri sendiri, 2 harapan yang tidak realistik, 3
masalah keuangan Grabel et al, 2007, 4 tidak saling dengar satu sama lainnya, 5 adanya penyakit yang berlarut-larut seperti depresi, 6 kecanduan
obat atau alkohol, Amato Cheadle, 2008 7 cemburu, terutama pada pria, 8 cerewet tidak toleran terhadap kesalahan-kesalahan kecil, 8 “ada main”
satu sama lain, 9 dorongan ambisi, 10 tidak matang Grabel et al, 2007; Amato Marriott, 2007, 11 komunikasi yang buruk.
c. Dampak perceraian Peristiwa perceraian akan diikuti dengan keadaan-keadaan yang tidak
menguntungkan bagi anak yakni, transisi perkawinan seperti tidak hadirnya orang tua yang tidak memiliki hak asuh ayah tanpa alasan yang sejelas
kematian, berlanjutnya perselisihan orang tua, menurunnya standar kehidupan, anak berhadapan dengan orang tua sambung dan berubahnya pola hubungan
anggota keluarga besar. Keseluruhan keadaan ini merupakan peristiwa yang menegangkan bagi anak dan juga orang tua Nelson Israel, 2006; Amato
Cheadle, 2007. Dampak perceraian bagi anak-anak secara umum adalah anak-anak berisiko
tinggi dengan permasalahan emosional dan perilaku depresi dan prestasi akademik yang menurun di sekolah karena ketidakmampuan dalam
melakukan penyesuaian Nelson Israel, 2006; Amato Cheadle, 2007.
commit to user 21
Perceraian merupakan pengalaman menegangkan bagi anak dan kedua orang tuanya Bryner, 2001; Cohen, 2002. Lebih lanjut dampak perceraian meliputi
4 reaksi atau dampak. 1 Reaksi segera anak; manifestasi klinik perceraian pada anak tergantung pada beberapa variabel, meliputi usia anak, tingkat fungsi
psikososial keluarga, kemampuan orang tua dalam mengendalikan kemarahan, kehilangan dan ketidaknyamanan serta memusatkan perhatian pada perasaan
dan kebutuhan anak dan kecocokan temperamen antara orang tua dan anak Bryner, 2001; Cohen, 2002; Nelson Israel, 2006. Bayi dan anak yang
berusia kurang dari 3 tahun akan berbeda reaksinya dengan anak yang berusia 4 – 5 tahun, demikian juga dengan anak usia sekolah dan remaja. Bayi berumur
3 tahun mengalami regresi perkembangan, sementara anak umur 4 – 5 tahun menjadi keras kepala, pada anak usia sekolah menunjukkan penurunan prestasi
belajar, sedangkan pada remaja menunjukkan perilaku asusila dan sebagainya. Secara umum anak cenderung merasa bersalah dan bertanggung jawab
terhadap perpisahan dan merasa bahwa mereka harus mencoba memulihkan perkawinan orang tuanya Cohen, 2002; Amato Cheadle, 2007. 2 Reaksi
segera orang tua; orang tua menderita efek merusak akibat dari perceraian dan berwujud pada bermacam reaksi yang negatif dan tidak nyaman. Ibu cenderung
reaktif terhadap stresor harian dan peristiwa-peristiwa besar yang tidak diinginkan dengan mengonsumsi lebih banyak alkohol, lebih banyak
memanfaatkan layanan kesehatan untuk depresi, kecemasan, atau perasaan terhina; dan merasa sangat terbebani dan kurang mampu berperan sebagai
orang tua Cohen, 2002. Ayah merasa dikesampingkan, kurang mendapat
commit to user 22
penerimaan oleh anak-anaknya, dan juga bisa menderita depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat. Kakek dan nenek juga sering menerima penurunan
kualitas hubungan dengan cucu-cucu mereka, tetapi dengan pengaturan pemeliharaan akan lebih punya pengaruh saat jadwal kunjungan walaupun
dengan jarak geografis jauh Cohen, 2002. 3 Terjadinya hambatan peran orang tua pada perceraian; dari aspek teoretis dalam menjelaskan kaitan antara
perceraian dengan hasil yang negatif pada anak didasarkan pada 2 komponen dasar tumbuh kembang anak : fungsi keluarga dan lingkungan sosioekonomis.
Dari perspektif keluarga menekankan asumsi bahwa kompetensi menjadi orang tua harus bisa berkompromi dengan distress psikologis orang tua sebagai akibat
perpisahan dalam perkawinan atau kesulitan keuangan, sedangkan dari perspektif investasi berpendapat bahwa kesejahteraan anak akan menurun
dengan kemungkinan penurunan yang drastis dibandingkan standar hidup setempat dari orang tua yang mendapatkan hak asuh, setelah terjadinya
perceraian Cohen, 2002. Di tahun 1990 sekitar 10 anak-anak di Skandinavia tinggal dengan keluarga ibu tunggal dengan kondisi rumah tangga
yang memrihatinkan, dimana gambaran yang serupa di Amerika Serikat terjadi sebesar sekitar 60 Roustit et al, 2007. Orang tua dapat memberikan bantuan
pada saat perceraian dengan menyiapkan anak-anak mereka mengenai apa yang terjadi. Penyiapan harus sesuai usia dan tingkat perkembangan si anak.
Orang tua harus menunjukkan komitmen yang kuat pada anak-anak mereka. Anak-anak akan melakukan coping lebih bagus pada perceraian bila orang tua
bisa bekerja sama satu sama lain dan mau menerima perilaku “bersama untuk
commit to user 23
anak kita walaupun kita berpisah” Cohen, 2002. 4 Dampak perceraian pada masing-masing anggota keluarga yakni a suami; beresiko menjadi sakit,
perokok, pecandu obat dan alkohol, pola makan tidak sehat Ikeda et al, 2007; Fukuda et al, 2005; Fukuda et al, 2005; Eng et al, 2005; b istri; beresiko
menjadi sakit, perokok, pecandu obat dan alkohol, penurunan status finansial, dukungan jejaring sosial, harapan sehat Weitoft et al, 2002; Ikeda et al, 2007;
Fukuda et al, 2005; Fukuda et al, 2005; Lee et al, 2005; c Anak; beresiko menjadi perokok dan peminum dini sebelum usia 14 tahun Anda et al, 1999;
Kestila et al, 2006; Rothman et al, 2008, alami depresi dan gangguan psikiatri lain Gilman et al, 2003; Schilling et al, 2007, lakukan percobaan bunuh diri
Dube et al, 2001, menderita ADHD Strohschein, 2007, menunjukkan perilaku rivalry dengan saudara kandung Setiawati Zulkaida, 2007,
lakukan aktivitas sex pranikah Wong et al, 2009, mendertia DM tipe 1 autoimun Sepa et al, 2005, menderita sindrom metabolik Thomas et al,
2008. Tidak jelas pengaruh pada perkembangan motorik halus maupun kasar Sacker et al, 2006
maupun pada kejadian wasting dan stunting saat diare Engebretsen et al, 2008. Adanya pengaruh bermakna pada perkembangan
kognitif dan tinggi badan anak laki-laki saat berusia pra remaja Li et al, 2004; Richards Wadsworth, 2004. Sebagai faktor risiko gagal tumbuh Block et
al, 2005, sedangkan yang lain tidak Blair et al, 2004. d Ibu menyusui; tidak berpengaruh terhadap pola inisiasi ASI Rosem et al, 2009.
commit to user 24
5. Perbedaan status gizi dan perkembangan antara anak balita dari orang tua lengkap dengan orang tua bercerai.
Dari kepustakaan didapatkan bahwa faktor lingkungan biopsikososial berpengaruh pada status gizi Supariasa et al, 2002; Graham, 2005; Bawdekar
Ladusingh, 2008 dan perkembangan anak Soetjiningsih, 1998; Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005; Kliegman et al, 2007;
Stutzman et al, 2009. Sedangkan peristiwa perceraian merupakan peristiwa yang didahului dengan ketidakharmonisan keluarga, konflik, dan ketegangan,
Murtagh, 1998; Amato Cheadle, 2008 dilanjutkan dengan proses-proses penyesuaian yang melibatkan aspek emosional, psikologis, sosial dan ekonomi
keluarga adalah peristiwa yang menegangkan bagi semua anggota keluarga. Nelson Israel, 2006; Amato Cheadle, 2007. Pada saat yang sama anak
sedang menjalani proses tumbuh kembang Stutzman, 2009. Penelitian-penelitian yang mengaitkan perceraian dengan status tumbuh
kembang anak relatif lebih sedikit dijumpai ketimbang yang mengaitkannya dengan aspek perilaku dan psikologis anak Stutzman, 2009.
Richard dan Wadsworth 2004 melakukan penelitian yang menghubungkan perceraian dengan perkembangan kognitif anak di Inggris.
Dalam penelitian ini didapatkan bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai, skor kemampuan kognitifnya pada usia 8 tahun lebih rendah. Sedangkan pada
anak-anak yang orang tuanya bercerai antara usia 8 – 15 tahun secara signifikan lebih lambat perkembangan kognitifnya
commit to user 25
Masih dari negara Inggris, Li et al 2004, melakukan penelitian longitudinal pada keluarga yang orang tuanya bercerai saat anak berusia dini,
secara signifikan berhubungan dengan tinggi badan saat anak-anak. Dalam penelitian ini didapatkan anak laki-laki yang orang tuanya bercerai pada usia
antara 4 – 7 tahun, secara signifikan lebih pendek daripada anak laki-laki seusianya. Mereka yang orang tuanya bercerai sebelum usia 4 tahun tidak
berbeda tinggi badannya dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak bercerai. Anak perempuan tidak menunjukkan adanya hubungan dengan
perbedaan tinggi badan. Engebresten et al 2008 di Uganda, telah melakukan penelitian cross-
sectional di Kabupaten Mbale, Uganda Timur pada 723 ibu yang memiliki bayi yang berusia di bawah 1 tahun. Engebresten et al bermaksud meneliti faktor-
faktor determinan yang mempengaruhi pertumbuhan anak-anak di bawah 1 tahun, dengan menggunakan pengukuran berat badan dibanding panjang badan
WLZ, berat badan dibandingkan umur WAZ serta tinggi atau panjang badan berbanding umur LAZ dan dinilai kesesuaiannya dengan Baku
Pertumbuhan WHO. Kriteria wasting dalam penelitian ini bila WLZ - 2 dan stunting bila LAZ -2. Secara umum disimpulkan bahwa kejadian wasting
lebih berkaitan dengan faktor diare itu sendiri. Anak laki-laki lebih mudah mengalami stunting daripada anak perempuan, memiliki saudara perempuan
atau laki-laki bagi anak merupakan faktor protektif terhadap stunting dan wasting. Makanan pengganti ASI bukan merupakan faktor protektif. Faktor
sosial ekonomi rendah merupakan faktor yang menonjol pengaruhnya.
commit to user 26
Walaupun status orang tua tunggal, cerai atau menjanda sudah dimasukkan dalam penelitian ini, ternyata secara statistik tidak bermakna sebagai faktor
yang mempengaruhi kejadian wasting atau stunting wasting OR 0,33 ; CI 95 0,04 – 2,60 pada stunting OR 1,91 ; CI 95 0,99 – 3,66.
Blair et al 2004 melakukan penelitian kohor longitudinal pada orang tua dan anak dengan melibatkan 11.718 bayi yang lahir aterm di tahun 1991 –
1992. Penelitian ini menghubungkan antara gagal tumbuh dengan faktor sosioekonomi dan prenatal. Kriteria gagal tumbuh yang digunakan yakni, berat
badan di bawah persentil 5 dengan mengacu rujukan negara Inggris atau z – score dibawah –1,645 dalam dua periode waktu pengukuran; lahir sampai 6 –
8 minggu, 6 – 8 minggu sampai 9 bulan. Dari penelitian ini didapatkan bahwa faktor prenatal dan faktor sosio ekonomi termasuk perceraian tidak
mempunyai pengaruh terhadap gagal tumbuh. Pengaruh signifikan berasal dari aspek fisik seperti tinggi orang tua dan pada paritas keempat atau lebih.
Hal ini bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Block et al 2005 bahwa faktor psiko sosial perlu diperhatikan oleh dokter terhadap
kemungkinan terjadinya gagal tumbuh. Selengkapnya seperti yang Block et al tulis: Faktor-faktor resiko yang harus diperhatikan oleh dokter anak terhadap
kemungkinan pengabaian pada anak sebagai penyebab dari gagal tumbuh failure to thrive yaitu : a orang tua depresi, stress, percekcokan perkawinan,
perceraian, b riwayat kekerasan pada anak di keluarga, c orang tua menderita retardasi mental dan kelainan psikologis, d ibu muda dan tunggal tanpa
dukungan sosial, e kekerasan dalam rumah tangga, f penyalahgunaan obat
commit to user 27
dan alkohol, g kekerasan pada anak sebelumnya dalam keluarga, h isolasi sosial dan atau kemiskinan, i orang tua yang skill sosial dan adaptasinya
tidak adekuat, j orang tua yang terlalu fokus pada karier dan atau aktivitas di luar rumah, k gagal untuk mendapatkan bantuan-bantuan medis, l kekurang
pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan normal dan atau, m bayi dengan berat badan lahir rendah atau masuk rumah sakit dalam waktu
lama. 6. Penelitian mengenai penentu status gizi dan perkembangan balita di
Surakarta dan sekitarnya. Lestari 2006 melakukan penelitian yang menghubungkan antara status
gizi dengan skor perkembangan psikomotor pada anak berusia enam bulan sampai dengan duapuluh empat bulan di kecamatan Kartasura. Dari penelitian
tersebut didapatkan bahwa faktor yang memungkinkan peningkatan perkembangan psikomotor adalah tingkat pendidikan ibu, dimana tingkat
pendidikan SLTPSMA dan perguruan tinggi mempunyai peluang lebih baik pencapaian skor perkembangan psikomotor pada anak baduta mereka.
Trimanto 2006 melakukan penelitian yang menghubungkan antara tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan modal sosial dengan status
gizi anak balita di kabupaten Sragen. Penelitian tersebut mendapatkan kesimpulan bahwa tingkat pendidikan ibu berpengaruh pada status gizi anak
balita. Semakin tinggi pendidikan ibu, semakin baik status gizi anak balita mereka. Demikian juga pada pendapatan keluarga, semakin tinggi pendapatan
keluarga, semakin baik status gizi balita. Lingkungan tempat tinggal dengan
commit to user 28
modal sosial tinggi juga berpengaruh dalam meningkatkan status gizi anak balita.
Ariani 2009 meneliti korelasi pola hubungan orangtua – anak dan keberfungsian keluarga dengan perkembangan anak usia prasekolah di
Jombang Jawa Timur. Dari penelitian ini didapatkan bahwa, semakin baik pola hubungan orangtua – anak dan keberfungsian keluarga, semakin baik
perkembangan anak usia prasekolah.
commit to user 29
B. Kerangka Pemikiran