TINJAUAN PUSTAKA Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Ginjal 2.2.1. Gambaran umum Gagal ginjal adalah sebuah kondisi ketika ginjal gagal dalam proses pembuangan produk akhir metabolisme dari darah dan dalam hal pengaturan cairan, elektrolit, dan keseimbangan pH cairan ekstraseluler. Gagal ginjal dapat terjadi secara akut dan kronik. Gagal ginjal akut adalah gagal ginjal dengan onset yang secara tiba-tiba dan umumnya bersifat reversibel jika cepat didiagnosis dan ditata laksana dengan baik. Sebaliknya, gagal ginjal kronik adalah hasil akhir dari kerusakan ginjal yang tidak dapat diperbaiki lagi Zhejiang University, 2013. 2.2.2 Patofisiologi Penyebab umum gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut Harrison, 2002: Tabel 2.1. Penyebab Umum Gagal Ginjal Kronik Harrison, 2002 Penyebab Umum Gagal Ginjal Kronik Diabetik nefropati Hipertensi nefrosklerosis Glomerulonefritis Penyakit renovaskular iskemik nefropati Penyakit ginjal polikistik Refluks nefropati dan penyakit ginjal kongenital lainnya Interstisial nefritis, termasuk analgesik nefropati Nefropati yang berhubungan dengan HIV Kegagalan transplantasi allograft Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan Universitas Sumatera Utara terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin- angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Hal-hal yang berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia IPD, 2009. Terdapat 5 tingkatan penyakit ginjal kronik yang dibuat berdasarkan perkiraan GFR Glomerular Filtration Rate. Tingkatan penyakit ginjal berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quality Initiative KDOQI adalah sebagai berikut The Renal Association, 2013. Tabel 2.2. Tingkatan Penyakit Ginjal The Renal Association, 2013 Tahap LFG Deskripsi Tata laksana 1 90+ Fungsi ginjal normal tetapi terdapat temuan urin atau struktur abnormal atau sifat genetik yang cenderung mengarah ke penyakit ginjal Observasi, kontrol tekanan darah 2 60-89 Penurunan fungsi ginjal ringan Observasi, kontrol tekanan darah dan faktor risiko 3A 3B 45-59 30-44 Penurunan fungsi ginjal moderat Observasi, kontrol tekanan darah dan faktor risiko 4 15-29 Penurunan fungsi ginjal berat Perencanaan untuk gagal ginjal tahap akhir 5 15 atau dialisis Sangat berat, atau gagal ginjal tahap akhir atau disebut juga gagal ginjal Pilihan pengobatan Semua nilai LFG ditetapkan berdasarkan rata-rata permukaan tubuh yaitu 1,73 m 2 Universitas Sumatera Utara Patofisiologi penyakit ginjal kronik berdasarkan tahapannya Andrew Levey, 2011: 1. Faktor risiko a. Rentan terhadap kerusakan ginjal. Faktor sosiodemografi: usia yang lebih tua, ras. b. Terpajan faktor pemicu. Faktor klinis: hipertensi, diabetes, riwayat keluarga mengalami penyakit ginjal kronik, penyakit autoimun, infeksi sistemik, kelainan saluran kemih infeksi, obstruksi, batu, refluks vesikouretra, keganasan, terpajan obat-obatan yang toksik terhadap ginjal, gagal ginjal akut. 2. Kerusakan ginjal tahap 1 dan 2 a. LFG yang normal atau sedikit mengalami penurunan. Pada penderita diabetes, LFG meningkat. b. Dicetuskan oleh berbagai faktor seperti faktor imunologi penyebab terbanyak glomerulonefritis, hemodinamik hipertensive nephrosclerosis, iskemik cortical necrosis, sindrom koagulasi hemolytic-uremic syndrome, metabolik diabetes, batu, genetik polycystic kidney disease, dan faktor-faktor lainnya. c. Fitur patologis dari kerusakan ginjal biasanya luas d. Marker mencerminkan lokasi kerusakannya e. Jika kerusakan awal berat dan bilateral, kerusakan ginjal akan semakin buruk dan terjadi penurunan LFG. 3. Penurunan LFG tahap 3-4 biasa disebut renal insufficiency Perubahan patologisnya merupakan proses yang heterogen seperti sklerosis glomerular yang lokal menjadi menyeluruh, atropi tubular dan fibrosis interstisial dapat ditemukan, hipertropi glomerular dan tubular berkembang, dan hipertensi dan terjadinya adaptasi tubular. Adaptasi tubular dan adaptasi dari organ lain adalah untuk mempertahankan zat terlarut karena penurunan LFG. Jumlah dan tingkat keparahan dari komplikasi klinis berbanding terbalik dengan nilai LFG. Risiko tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular. Universitas Sumatera Utara 4. Gagal ginjal tahap 5 biasa disebut end stage renal disease LFG menurun sampai kurang dari 15 mlmenit1,73m 2 , tanda dan gejala sindrom uremia muncul. Risiko tinggi menderita penyakit kardiovaskular. Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi beberapa tahapan Bruner and Sudarth, 2001 dalam Hardianti, 2014: 1. Fungsi renal menurun. Produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan memengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. 2. Gangguan klinis renal. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat penurunan laju glomerulus yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan kliren substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Menurunnya filtrasi glomerulus akibat tidak berfungsinya glomerulus klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. 3. Retensi cairan dan natrium. Ginjal juga tidak mampu mengonsentrasikan dan mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. 4. Asidosis metabolik. Dengan berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan H + yang berlebihan. 5. Anemia. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan mengalami perdarahan akibat status uremik pasien. 6. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat. Abnormalitas lain dari gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lainnya akan menurun. Universitas Sumatera Utara 2.2.3 Diagnosis Manifestasi klinis dari gagal ginjal meliputi perubahan cairan, elektrolit, dan keseimbangan asam basa; gangguan mineral dan tulang; anemia dan gangguan koagulasi; hipertensi dan perubahan fungsi kardiovaskular; kelainan gastrointestinal; komplikasi neurologis; kelainan kulit; dan gangguan sistem imun. Uremia yang berarti “urin di dalam darah” merupakan manifestasi klinis dari penyakit ginjal tahap akhir. Kadar urea dalam darah yang normalnya 20 mgdl dapat mencapai 800 mg dl. Uremia berbeda dengan azotemia, yang merupakan akumulasi buangan nitrogen di dalam darah dan dapat terjadi tanpa gejala dan merupakan tanda awal dari gagal ginjal Zhejiang University, 2013. Sedangkan menurut William et al. 2004 gejalanya berupa pruritus, malaise secara keseluruhan, lesu, demensia, hilang libido, nausea, dan mudah lelah. Pasien dengan gagal ginjal umumnya mengalami peningkatan tekanan darah karena volume overload atau karena hiperreninemia. Namun tekanan darah ini dapat menjadi normal atau menurun jika ginjal pasien cenderung mengeluarkan garam seperti pada penyakit kista medularis. Tekanan nadi dan laju pernapasan yang cepat adalah manifestasi dari anemia dan asidosis metabolik. Temuan klinis seperti perikarditis, temuan neurologi asteriksis, perubahan status mental, neuropati perifer sering ditemukan William et al., 2004. Menurut Pranay 2010 dalam Siregar 2014, manifestasi klinis gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut: a. Poliuria, terutama pada malam hari nokturia b. Edema pada tungkai dan sekitar mata retensi air c. Hipertensi d. Kelelahan dan lemah karena anemia atau akumulasi substansi buangan dalam tubuh e. Anoreksia, nausea, dan vomitus f. Gatal pada kulit dan kulit pucat g. Sesak nafas dan nafas yang dangkal karena akumulasi cairan di paru h. Neuropati perifer. Perubahan status mental karena ensefalopati akibat akumulasi bahan buangan atau toksikasi uremia Universitas Sumatera Utara i. Nyeri dada karena inflamasi di sekitar jantung pasien j. Perdarahan karena mekanisme pembekuan darah tidak berfungsi k. Libido menurun dan gangguan seksual. Pemeriksaan Laboratorium a. Komposisi urin Volume urin benar-benar dikatakan rendah ketika LFG mengalami penurunan di bawah 5 dari normalnya. Pembuangan garam yang terus menerus hingga sampai pada keadaan rendah akan menyebabkan retensi natrium. Proteinuria dapat bervariasi, protein uria yang berat 3,5 g dl, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan edema cenderung mengarah ke sindrom nefrotik Harrison, 2002. Urinalisis dapat menunjukkan sel darah putih mononuklear leukosit dan kadang-kadang ditemukan broad waxy casts, tetapi biasanya urinalisis merupakan metode yang tidak spesifik dan tidak aktif William et al., 2004. b. Darah Beberapa abnormalitas pada serum elektrolit dan metabolisme mineral muncul ketika LFG jatuh di bawah 30 ml menit. Hiperkalemia tidak selalu nampak kecuali jika LFG di bawah 5 ml menit William et al., 2004. Hiperkalemia dan asidosis metabolik menonjol pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal interstisial Harrison, 2002. Banyak faktor-faktor yang mencetuskan peningkatan serum fosfat dan penurunan serum kalsium. Hiperfosfatemia meningkat sebagai konsekuensi dari penurunan klirens prosfat oleh ginjal. Ditambah, aktivitas vitamin D menurun karena penurunan konversi vitamin D2 menjadi bentuk aktif vitamin D3 di ginjal. Perubahan- perubahan ini dapat menyebabkan hiperparatiroid sekunder dengan perubahan skeletal seperti osteomalasia dan kista fibrosa osteitis. Asam urat sering meningkat yang dapat menyebabkan kalkuli atau gout selama uremia kronis William et al., 2004. c. Pemeriksaan X-Ray Universitas Sumatera Utara Pasien dengan penurunan fungsi ginjal tidak harus secara rutin melakukan pemeriksaan dengan kontras. USG berguna untuk mengetahui ukuran ginjal dan ketebalan korteks serta untuk melokalisasi jaringan untuk biopsi ginjal secara perkutan William et al., 2004. d. Biopsi Renal Biopsi renal tidak terlalu banyak menunjukkan temuan kecuali fibrosis interstisial non spesifik dan glomerulosklerosis William et al., 2004. Biopsi renal lebih dipercaya untuk menentukan tingkat kronisitas Harrison, 2002. 2.2.4 Penatalaksanaan Tata laksana dilakukan secara konservatif ketika pasien sudah tidak mampu lagi melakukan kegiatan sehari-harinya. Tata laksana konservatif meliputi pembatasan asupan kalium, fosfor, dan pertahankan keseimbangan natrium. Berat badan pasien harus dimonitor secara berkala. Bikarbonat dapat berguna pada pasien dengan asidemia moderat. Anemia ditata laksana dengan eritropoietin rekombinan. Pencegahan terjadinya uremik osteodistrofi dan hiperparatiroid sekunder dengan mempertahankan jumlah kalsium dan fosfor William et al., 2004. Penatalaksanaan anemia dengan eritropoietin rekombinan, 2000-6000 unit subkutan satu sampai dua kali per minggu dapat meningkatkan konsentrasi Hb pasien menuju normal pada kebanyakkan pasien Harrison, 2002. Strategi untuk memperlambat progresi dari penyakit ginjal lebih difokuskan pada kontrol tekanan darah secara optimum dan kontrol proteinuria sampai 500 mg hari. Tekanan darah yang menjadi target pada pasien penyakit ginjal kronik adalah 130 80 mmHg dan 125 75 mmHg untuk pasien dengan proteinuria yang siknifikan 1 g hari. Proteinuria menjadi penanda progresi dari penyakit ginjal dan skrining rutin proteinuria diindikasikan untuk pasien yang berisiko menderita penyakit ginjal kronik. Kontrol proteinuria dapan menunda progresi penyakit ginjal kronik menjadi penyakit ginjal tahap akhir serta menurunkan risiko kardiovaskular. Target proteinuria adalah 500 mg hari Lisa M. Antes Joel A. Gordon, 2007. Universitas Sumatera Utara 2.2 Hemodialisis Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang bertujuan mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisat melalui membran semipermeabel Gatot, 2003. Hemodialisis adalah cara terpilih pada pasien yang mempunyai laju katabolisme tinggi dan secara hemodinamik stabil Stein, 2011 dalam Hardianti, 2014. Hemodialisis untuk pasien penyakit ginjal tahap akhir dapat dilakukan dengan short daily ≥5 hari per minggu, 3 jam per sesi, long 3-4 hari per minggu, ≥5,5 jam per sesi, atau long-frequent ≥5 hari per minggu, ≥5,5 jam per sesi Canadian Society of Nephrology, 2013. Tindakan hemodialisis dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purnawaktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Kadar kreatinin serum biasanya diatas 6 mg dl pada laki-laki 4 mg dl pada perempuan dan GFR kurang dari 4 ml menit. Lorraine M. Wilson, Sylvia Price, 2006. Komposisi cairan dialisis adalah Na + 138-145 mEq L, K + 0-4 mEq L, Ca ++ 2,5-3,5 mEq L, Mg ++ 0,4-1 mEq L, Cl - 100-107 mEq L, asetat 30-37 mEq L, dan glukosa 100-250 mg dL Lorraine M. Wilson, Sylvia Price, 2006. Gambar 2.1. Hemodialisis Shalini Bumb, 2013 Universitas Sumatera Utara 2.2.1 Prosedur Hemodialisis Perawatan sebelum hemodialisis Hardianti, 2014: a. Sambungkan selang air dari mesin hemodialisis b. Kran air dibuka c. Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk keluar atau saluran pembuangan d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak e. Hidupkan mesin f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit g. Matikan mesin hemodialisis h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat i. Sambungkan selang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis j. Hidupkan mesin dengan posisi normal siap. Menyiapkan sirkulasi darah a. Bukalah alat-alat dialisat dari setnya b. Tempatkan dialiser pada holder tempatnya dan posisi inset tanda merah di atas dan posisi outset tanda biru di bawah c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung inset dari dialiser d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung outset dari dialiser dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah e. Set infus ke botol NaCl 0,9, 500 cc f. Hubungkan infus set ke selang arteri g. Bukalah klem NaCl 0,9. Isi selang arteri sampai ke ujung selang lalu klem h. Memutarkan letak dialiser dengan posisi inset di bawah dan outset di atas, tujuannya agar dialiser bebas dari udara i. Tutup klem dari selang untuk tekanan arteri, vena, heparin j. Bukalah klem dari infus set ABL, UBL k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai 200 ml menit Universitas Sumatera Utara l. Isi buble tap dengan NaCl 0,9 sampai ¾ cairan m. Memberikan tekanan secara intermiten pada UBL untuk mengalirkan udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan dialiser bebas udara tekanan tidak lebih dari 200 mmHg n. Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9 sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol kalf. Sisanya ditampung pada gelas ukur o. Ganti kalf NaCl 0,9 yang kososng dengan kalf NaCl 0,9 yang baru p. Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor q. Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru 15-20 menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml menit r. Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana, inset di atas dan outset di bawah s. Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit siap untuk dihubungkan dengan pasien soaking. Persiapan pasien a. Menimbang berat badan b. Mengatur posisi pasien c. Observasi KU d. Observasi TTV Transfusion Transmitted Virus e. Melakukan kamulasi fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya menggunakan salah satu jalan darah blood access seperti di bawah ini: 1. Dengan interval A-V Shunt fistula simino 2. Dengan eksternal A-V Shunt schungula 3. Tanpa 1-2 vena pulmonalis. Universitas Sumatera Utara Akses yang digunakan untuk hemodialisis adalah sebagai berikut Shalini Bumb, 2013: 1. Arteriovenous fistula AVF Akses yang paling poten. Risiko untuk terkena infeksi sangat rendah. Risiko untuk terbentuknya trombus juga rendah. Lama maturasi 3-4 bulan. Gambar 2.2. AVF Mukerji, 2011 2. Arteriovenous graft AVG Mudah dibuat. Lama maturasi 3-6 minggu. Kurang poten sering dilakukan trombektomi atau angioplasti. Berisiko terkena infeksi dan aneurism. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3. AVG Shalini Bumb, 2013 3. Tunneled Catheter Digunakan segera. Penghubung antara AFG AVG. Alirannya buruk menurunkan efisiensi hemodialisis. Risiko infeksi tinggi serta berisiko untuk terbentuknya trombus. Gambar 2.4. Tunneled Catheter Shalini Bumb, 2013 Universitas Sumatera Utara 2.2.2 Indikasi Hemodialisis Canadian Society of Nephrology merekomendasikan pasien-pasien penyakit ginjal kronik tanpa gejala untuk menunda dilakukannya hemodialisis sampai laju filtrasi glomerulus LFG 6 mLmin1,73m 2 atau sampai onset awal dari indikasi klinis gejala uremia, kelebihan cairan, dan hiperkalemia atau acidemia. Indikasi hemodialisis dibagi menjadi hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. A. Indikasi hemodialisis segera antara lain Daurgirdas et al., 2007 dalam Kandarini, 2013: 1. Kegawatan ginjal a. Klinis: keadaan uremia berat, overhidrasi b. Oliguria produksi urin 200ml 12 jam c. Anuria produksi urin 50 ml 12 jam d. Hiperkalemia terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K 6,5 mmol l e. Asidosis berat pH 7,1 atau bikarbonat 12 mEfq l f. Uremia BUN 150 mg dl g. Ensefalopati uremikum h. Neuropati miopati uremikum i. Perikarditis uremikum j. Disnatremia berat Na 160 atau 115 mmol l k. Hipertermia. 2. Keracunan akut alkohol, obat-obatan yang bisa melewati membran dialisis. B. Indikasi hemodialisis kronik Hemodialisis baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal-hal berikut Daurgirdas et al., 2007 dalam Kandarini, 2013: a. LFG 15 ml menit, tergantung gejala klinis b. Gejala uremia meliputi; letargi, anoreksia, mual, dan muntah Universitas Sumatera Utara c. Adanya malnutrisi atau hilang massa otot d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan e. Komplikasi metabolik yang refrakter. Hemodialisis diindikasikan pada keadaan gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik, intoksikasi obat dan zat kimia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat, serta sindrom hepatorenal Hudakk, 2010 dalam Siregar, 2014. 2.2.3 Prinsip dan cara kerja hemodialisis Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1 kompartemen darah, 2 kompartemen cairan pencuci dialisat, dan 3 ginjal buatan dialiser. Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di dalam tubuh. Proses dialisis pemurnian darah terjadi dalam dialiser Daurgirdas et al., 2007 dalam Kandarini, 2013 Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute bahan terlarut suatu larutan kompartemen darah akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan lain kompartemen dialisat melalui membran semipermeabel dialiser. Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan ultrafiltrasi UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, ultrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air akan ikut berpindah secara bebas bersama molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air transmembrane pressure atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsenstrasi larutan Daurgirdas et al., 2007 dalam Kandarini, 2013. Dalam menjalani hemodialisis, jumlah cairan yang dapat dikonsumsi harus dibatasi karena ginjal tidak dapat bekerja dengan baik. Cairan yang berlebihan pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis akan menumpuk di dalam darah, jaringan, dan paru-paru. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas, Universitas Sumatera Utara hipertensi, dan penyakit arteri koroner yang merupakan suatu kondisi ketika darah ke jantung dibatasi. Jumlah cairan yang dapat dikonsumsi tergantung ukuran dan berat badan pasien. Rata-rata pasien hemodialisis dianjurkan untuk mengonsumsi 1000-1500 ml cairan per hari NHS, 2011. Ginjal juga harus mengatur jumlah mineral dalam tubuh seperti natrium, kalium, dan fosfor. Mineral-mineral ini dibuang selama hemodialisis, sehingga asupan mineral tersebut harus dibatasi ataupun dihindiari. 2.2.4 Komplikasi Hemodialisis Komplikasi hemodialisis diuraikan sebagai berikut Harrison, 2002: Tabel 2.3. Komplikasi hemodialisis Harrison, 2002 Komplikasi hemodialsis Hipotensi Penyakit vaskular dipercepat Penurunan cepat residual fungsi ginjal Access thrombosis Access or catheter sepsis Amiloidosis yang berhubungan dengan dialisis Malnutrisi protein dan kalori Perdarahan Dispnea hipoksemia a Leukopenia a a khususnya pada pasien yang pertama kali menggunakan dialiser selulosa konvensional yang dimodifikasi Sedangkan komplikasi akut yang biasanya didapatkan setelah hemodialisis adalah Mukerji, 2011: 1. Hypotension 25-55 2. Cramps 5-20 3. Nausea and vomiting 5-15 4. Headache 5 5. Chest pain 2-5 6. Back pain 2-5 Universitas Sumatera Utara 7. Itching 5 8. Fever and chills 1 2.3 Interdialytic Weight Gain IDWG Interdialytic weight gain adalah peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik Arnold, 2007 dalam Shoumah, 2013. IDWG adalah parameter pengukuran pada proses dialisis, yang secara rutin dinilai mulai dari awal sesi dialisis. Usaha yang dilakukan untuk mengontrol IDWG adalah dengan meminta pasien untuk mengurangi asupan cairan dan diet garamnya Sarkar et al., 2006 dalam Welas Riyanto, 2011. Yetti, 2001 dalam Welas Riyanto, 2011 mengelompokkan pertambahan berat badan di antara dua waktu dialisis menjadi 3 kelompok , yaitu: penambahan 4 adalah penambahan ringan, penambahan 4-6 adalah penambahan sedang, dan 6 adalah penambahan berat. 2.3.1 Pengukuran IDWG IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan. IDWG diukur berdasarkan dry weight berat badan kering pasien dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak lebih dari 1,0-1,5 kg Lewis, Stabler, Welch, 2000 dalam Welas Riyanto, 2011 atau tidak lebih dari 3 dari berat kering Smeltzer Bare, 2001 dalam Welas Riyanto, 2011. Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat terendah yang aman dicapai setelah dilakukan dialisis Kallenbach, 2005 dalam Shoumah, 2013. Cara yang efektif dan sering terabaikan dalam mengontrol dan mempertahankan normotensi pada pasien-pasien hemodialisis yang hipertensi adalah dengan mencapai dan mempertahankan berat badan kering Clin J Am Soc Nephrology, 2010 dalam Kandarini, 2013. Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah hemodialisis. IDWG diukur dengan cara menghitung berat badan pasien setelah Universitas Sumatera Utara post HD pada periode hemodialisis pertama pengukuran I. Periode hemodialisis kedua, berat badan pasien ditimbang lagi sebelum pre HD pengukuran II, selanjutnya menghitung selisih antara pengukuran II dikurangi pengukuran I dibagi pengukuran II dikalikan 100. Misalnya BB pasien post HD ke-1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke-2 adalah 58 kg, presentase IDWG 58-54 : 58 x 100 = 6,8 Istanti, 2009 dalam Shoumah, 2013. Peningkatan berat badan yang banyak menunjukkan terjadinya penumpukkan cairan. Setiap peningkatan berat badan 1 kg berarti terjadi penambahan 1 liter air yang tertahan di dalam tubuh Gomez, Maite, Rosa, Patrocinio, Rafael, 2003 dalam Welas Riyanto, 2011. 2.3.2 Komplikasi IDWG Peningkatan berat badan pasien-pasien yang menjalani hemodialisis mengundang banyak komplikasi. Sebanyak 60-80 pasien meninggal akibat kelebihan intake cairan dan makanan pada periode interdialitik Istanti, 2009 dalam Shoumah, 2013. Selain itu juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti: hipertensi yang semakin berat, gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema pulmonal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan hemodialisis, meningkatnya risiko dilatasi, hipertropi ventrikuler dan gagal jantung Smeltzer Bare, 2002 dalam Shoumah, 2013. 2.4 Kepatuhan pasien GGK dengan Hemodialisis Kepatuhan adherence secara umum didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan WHO, 2003 dalam Husna, 2014. 2.4.1 Faktor-faktor yang memengaruhi Kepatuhan pasien Hemodialisis Dalam menjalani hemodialisis, terdapat berbagai faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan pasien untuk melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut Universitas Sumatera Utara menurut Model Perilaku Green 1980, Notoatmojo, 2007 dalam Husna, 2014 dan Model Kepatuhan Kamerrer, 2007 adalah: a. Faktor Pasien Predisposing factors Faktor pasien meliputi karakteristik pasien usia, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pendidikan, lamanya sakit, tingkat pengetahuan, status bekerja, sikap, keyakinan, nilai-nilai, persepsi, motivasi, harapan pasien, kebiasaan merokok. b. Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan Enabling factors Faktor pelayanan kesehatan meliputi: fasilitas unit hemodialisis, kemudahan mencapai pelayanan kesehatan termasuk didalamnya biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan, dan keterampilan petugas. c. Faktor Petugas provider Reinforcing factors Faktor provider meliputi: keberadaan tenaga perawat terlatih, ahli diet, kualitas komunikasi, dan dukungan keluarga. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien Gagal Ginjal Kronik dengan hemodialisis seperti dikemukakan di atas akan diuraikan sebagian sebagai berikut Husna, 2014: a. Usia Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau maturitas, yang berarti bahwa semakin meningkat usia seseorang, semakin meningkat pula kedewasaan atau kematangannya baik secara teknis, psikologis, maupun spiritual, serta akan semakin meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain termasuk pula keputusannya untuk mengikuti program-program terapi yang berdampak pada kesehatannya Siagian, 2001 dalam Syamsiah, 2011. b. Pendidikan Pendidikan merupakan pengalaman yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan kualitas pribadi seseorang, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin besar kemampuannya untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilannya Siagian, 2001 dalam Syamsiah, 2011. Universitas Sumatera Utara c. Lamanya hemodialisis Periode sakit dapat memengaruhi kepatuhan. Beberapa penyakit yang tergolong penyakit kronik, banyak mengalami masalah kepatuhan. Pengaruh sakit yang lama, belum lagi perubahan pola hidup yang kompleks serta komplikasi-komplikasi yang sering muncul sebagai dampak sakit yang lama memengaruhi bukan hanya pada fisik pasien, namun juga emosional, psikologis, dan sosial. Pada pasien hemodialisis didapatkan hasil riset yang menunjukkan perbedaan kepatuhan pada pasien yang sakit kurang dari 1 tahun dengan yang lebih dari 1 tahun. Semakin lama sakit yang diderita, maka risiko penurunan tingkat kepatuhan semakin tinggi Kamerrer, 2007 dalam Syamsiah, 2011. d. Kebiasaan merokok Merokok merupakan masalah kesehatan yang utama di banyak negara yang berkembang termasuk Indonesia. Rokok mengandung lebih dari 400 jenis bahan kimia yang diantaranya bersifat karsinogenik atau memengaruhi sistem vaskular. e. Status ekonomi Individu yang status sosial ekonominya berkecukupan akan mampu menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, individiu yang status sosial ekonominya rendah akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya Sunaryo, 2004 dalam Husna, 2014. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

Dokumen yang terkait

Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

33 241 118

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

3 23 81

Dukungan Keluarga Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di RSUP.H.Adam Malik Medan

2 24 83

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

0 0 11

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

0 0 2

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

0 0 5

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

0 0 19

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014 Chapter III VI

0 0 15

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

0 1 4

Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler dalam Menjaga IDWG Normal di RSUP H. Adam Malik Medan September-Oktober 2014

0 0 10