Stres dan koping lansia di panti werdha upt. Pelayanan sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan
STRES DAN KOPING LANSIA DI PANTI WERDHA UPT.
PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA DAN ANAK BALITA
WILAYAH BINJAI DAN MEDAN
SKRIPSI
Oleh
WILDANUL HUSNA KS
091121031
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
(2)
(3)
PRAKATA
Segala puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya yang telah dilimpahkan kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat selesai tepat waktu dengan judul “ Stres dan Koping Lansia di Panti Werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia & Anak Balita Wilayah Binjai & Medan ” Di dalam penyusunan skripsi ini, Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan
2. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp. MNS, selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis
3. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp. M.Kep. Sp.KMB, CWCC, selaku Pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan Penulis dalam penyusunan skripsi ini
4. Ibu Nur Afi Darti, S.Kp. M.Kep. selaku penguji dalam sidang skripsi ini 5. Seluruh staff dan dosen yang mengajar di Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
6. Kedua orangtua yang telah banyak memberikan dukungan moril dan materil dalam proses penyusunan skripsi ini
7. Seluruh rekan yang ada di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada Penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal penulisan maupun isi, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
Medan, Januari 2011 Penulis
(4)
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Prakata ... iii
Daftar Isi…………. ... iv
Daftar Tabel ... vi
Daftar Skema……… vii
Abstrak……….. viii
Bab 1. Pendahuluan ... 1
1. Latar belakang ... 1
2. Tujuan penelitian ... 5
3. Manfaat penelitian ... 5
Bab 2. Tinjauan Teoritis ... 6
1. Konsep Stres ... 6
2. Koping ... 18
3. Proses menua... 33
4. Aspek fisiologik……….. 43
5. Masalah pisiologik……….. 45
Bab 3. Kerangka Konseptual ... 49
1. Kerangka Konsep ... 49
2. Bagan kerangka konsep ... 49
3. Defenisi konseptual……….. 50
4. Definisi Operasional ... 52
Bab 4. Metodologi Penelitian ……….. 54
1. Desain Penelitian ... 54
2. Populasi Dan Sampel ... 54
3. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 55
4. Pertimbangan Etik ... 55
5. Instrumen Penelitian ... 56
6. Validitas Instrumen Penelitian ... 57
7. Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 57
(5)
Bab 5. Hasil dan Pembahasan……… 60
1. Hasil Penelitian ... 60
2. Pembahasan………. 65
Bab 6. Kesimpulan dan Saran ... 70
1. Kesimpulan ... 70
2. Saran ………71
Daftar Pustaka Lampiran-lampiran 1. Surat Persetujuan Menjadi Responden ... 74
2. Instrumen Penelitian ... 75
3. Daftar Riwayat Hidup ... 79
4. Daftar Distribusi Frekuensi Stres Lansia ... 80
5. Daftar Distribusi Frekuensi Koping Lansia ... 82
6. Surat Izin Penelitian ... 84
7. Surat Keterangan Penelitian dari Dinas Sosial ... 86
8. Distribusi Frekuensi Data Kuesioner ... 87
9. Master Data ... 90
10.Tabel Validitas ... 91
(6)
DAFTAR TABEL
Table 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik responden...…... 60 Table 5.1.2.1 Distribusi Frekuensi Stress Fisik Lansia……… 61 Table 5.1.2.2 Distribusi Frekuensi Stress Fisiologik Lansia……… 62 Table 5.1.2.3 Distribusi Frekuensi Stress Psikis atau Emosional Lansia……. 62 Table 5.1.3.1 Distribusi Frekuensi Koping Tindakan Langsung …..……….. 63 Table 5.1.3.2 Distribusi Frekuensi Koping Peredaan atau Peringanan…..….. 64
(7)
DAFTAR SKEMA
Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Stres Dan Koping Lanjut Usia di Panti Werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan ………...… 49
(8)
(9)
(10)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional, telah diwujudkan hasil yang positif diberbagai bidang yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang medis atau ilmu kedokteran sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup manusia. Akibat jumlah penduduk yang berusia lanjut meningkat dan bertambah cenderung lebih cepat (Bandiyah, 2009).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, seperti kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, gigi ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semangkin memburuk, gerakan lambat, dan gerakan tubuh yang tidak proporsional (Nogroho, 2008). Menurut Data Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 1980 diperoleh data jumlah penduduk berkisar 147,3 juta orang. Dari jumlah tersebut terdapat 16,3 juta orang (11%) berusia sekitar 50 tahun, dan 6,3 juta orang tergolong jompo, yaitu para lanjut usia yang memerlukan bantuan khusus sesuai undang-undang bahkan mereka harus dipelihara oleh negara. Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah lanjut usia meningkat menjadi 9,99% dari seluruh penduduk Indonesia dengan umur
(11)
harapan hidup 65-70 tahun dan pada tahun 2020 akan meningkat 11,09% dengan umur harapan hidup 70-75 tahun (Bandiyah, 2009).
Meningkatnya umur harapan hidup dapat dipengaruhi oleh majunya pelayanan kesehatan, menurunnya angka kematian bayi dan anak, perbaikan gizi dan sanitasi, dan meningkatnya pengawasan terhadap penyakit infeksi. Secara individu pada usia di atas 55 tahun terjadi peroses penuaan secara alamiah. Hal ini akan menimbulkan masalah fisik, mental, sosial, ekonomi, dan psikologis. Dengan bergesernya pola perekonomian dari pertanian ke industri maka pola penyakit juga bergeser dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (degeneratif). Faktor yang mempengaruhi ketuaan bisa dikarenakan hereditas (keturunan,genetik), nutrisi atau makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, dan stres (Nugroho, 2000).
Seringkali keberadaan lanjut usia dipersepsikan negatif, dianggap sebagai beban keluarga dan masyakat sekitarnya. Kenyataan ini mendorong semakin berkembangnya anggapan bahwa menjadi tua identik dengan semakin banyaknya masalah kesehatan yang dialami oleh lanjut usia. Lanjut usia cendrung dipandang masyarakat tidak lebih dari sekelompok orang yang sakit-sakitan. Persepsi ini muncul karena memandang lanjut usia hanya dari kasus lanjut usia yang sangat ketergantungan dan sakit-sakitan. Persepsi negatif seperti itu tentu saja tidak semuanya benar. Banyak pula lanjut usia yang justru berperan aktif, tidak saja dalam keluarganya, tetapi juga dalam masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, lanjut usia harus dipandang sebagai individu yang memiliki kebutuhan intelektual, emosional, dan spiritual, selain kebutuhan yang bersifat biologis.
(12)
Kurangnya perhatian yang memadai terhadap populasi lanjut usia ini menciptakan ruang kosong, yang kemudian diisi oleh dunia kedokteran atau medis. Di satu sisi, perhatian besar dari kalangan kedokteran ini harus disambut secara positif oleh dunia keperawatan sehingga masalah kesehatan lanjut usia dapat teratasi. Kesehatan merupakan aspek sangat penting yang perlu diperhatikan pada kehidupan lanjut usia. Semakin tua seseorang, cenderung semakin berkurang daya tahan fisik mereka. Dalam kaitan ini, kajian terhadap keperawatan lanjut usia (keperawatan gerontik dan geriatrik) perlu ditingkatkan (Nugroho, 2008).
Menurut Hans Selye (1950), stres merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan stres apabila seseorang mengalami beban atau tugas yang berat tetapi orang tersebut tidak dapat mengatasi tugas yang dibebankan itu, maka tubuh akan berespon dengan tidak mampu terhadap tugas tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stres. Sebaliknya apabila seseorang yang dengan beban tugas yang berat tetapi mampu mengatasi beban tersebut dengan tubuh berespon dengan baik, maka orang itu tidak mengalami stres. Maka dari itu lansia membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, agar lansia tidak mengalami stres, oleh karena itu dapat kita lihat dari penyebabnya, stres dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis seperti: stres fisik, stres kimiwi, stres mikrobiologi, stres proses tubuh kembang, stres fisiologis, dan stres psikologis atau emosional (Hidayat, 2008).
(13)
Dalam penelitian ini berdasarkan data dilapangan penyebab stres yang dapat diteliti hanya stres fisik, stres fisiologi, dan stres psikologi atau emosional. Stres merupakan sumber dari berbagai penyakit pada manusia. Apabila stres tidak cepat ditanggulangi atau diatasi dengan baik, maka akan dapat berdampak lebih lanjut seperti mudah terjadi gangguan atau terkena penyakit. Untuk mencegah dan mengatasi stres agar tidak sampai ketahap yang paling berat, maka dapat dilakukan dengan cara: pengaturan diet, istirahat dan tidur, olah raga dan latihan teratur, berhenti merokok, pengaturan waktu, dan lain-lain. Ada juga manajemen stres yang lain adalah dengan cara meningkatkan strategi koping yaitu koping yang berfokus pada emosi dan koping yang berfokus pada masalah (Hidayat, 2004).
Dari survey awal yang ada di panti werdha banyaknya lansia stres dikarenakan merasa tersisih atau dicampakkan di panti werdha, terlantar/ kurangnya perhatian dari keluarga, dan tidak siap karena pensiun dari pekerjaan. Berdasarkan dari data di atas tidak bisa dipungkiri bahwa banyak lansia yang stres dan tidak bisa menerima kalau mereka di tempatkan di panti werdha, kurang siap menerima karena kematian pasangan atau orang yang dia sayangi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang stres dan koping lansia di panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai.
1.2. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti bagaimana gambaran stres lansia di panti werdha Binjai dan koping pada lansia di panti werdha Binjai.
(14)
1.3. Pertanyaan Penelitian.
Adapun pertanyaan penelitian adalah : Bagaimana Stres Dan Koping Lansia di panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan.
1.4. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui Gambaran Stres Dan Koping Lansia di panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak yaitu:
1. Bagi peneliti
Memberi informasi, pengalaman dan menambah pengetahuan peneliti dalam melakukan penelitian, sehingga dapat menjadi pengalaman, dan pengetahuan lebih bagi peneliti.
2. Bagi panti werdha
Sebagai masukan dalam perawatan lansia dan penelitian ini dapat menjadi sumber data penelitian selanjutnya, sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi panti werdha Binjai.
(15)
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Konsep StresStres dapat didefenisikan sebagai,“respon adaptif, dipengaruhi oleh karakteristik individual dan proses psikologis, yaitu akibat dari tindakan, situasi, atau kejadian eksternal yang menyebabkan tuntutan fisik dan psikologis terhadap seseorang.”(Ivancevich dan Matteson, 1980 dalam kreitner dan kinicki, 2004).
2.1.1. Model-model stres
Akar dan dampak stres dapat dipelajari dari sisi medis dan model teori prilaku. Model stres ini dapat digunakan untuk membantu pasien mengatasi respon yang tidak sehat dan tidak produktif terhadap stresor.
a) Model berdasarkan respon
Model stres ini menjelaskan respon atau pola respon tertentu yang dapat mengindikasikan stresor. Model stres ini dikemukakan oleh Selye, 1976, menguraikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh terhadap tuntutan yang dihadapinya. Stres ditunjukkan oleh reaksi fisiologis tertentu yang disebut sindrom adaptasi umum (general adaptation syndrome-GAS).
b) Model berdasarkan adaptasi
Model ini menyebutkan empat faktor yang menentukan apakah suatu situasi menimbulkan stres atau tidak (Mechanic, 1962), yaitu:
(16)
1. Kemampuan untuk mengatasi stres, bergantung pada pengalaman seseorang dalam menghadapi stres serupa, sistem pendukung, dan persepsi keseluruhan terhadap stres.
2. Praktek dan norma dari kelompok atau rekan-rekan pasien yang mengalami stres. Jika kelompoknya menganggap wajar untuk membicarakan stresor, maka pasien dapat mengeluhkan atau mendiskusikan hal tersebut. Respon ini dapat membantu proses adaptasi terhadap stres.
3. Pengaruh lingkungan sosial dalam membantu seseorang menghadapi stresor. Seorang mahasiswa yang resah menghadapi ujian akhirnya yang pertama dapat mencari pertolongan dari dosennya. Dosen dapat memberikan penilaian dan selanjutnya memberikan refrensi kepada asisten dosen tertentu yang menurutnya mampu membantu kegiatan belajar mahasiswa tersebut. Dosen dan asisten dosen dalam contoh ini merupakan sumber penurun tingginya stresor yang dialami mahasiswa tersebut.
4. Sumber daya yang dapat digunakan untuk mengatasi stresor. Misalnya, seorang penderita sakit yang kurang mampu dalam hal keuangan dapat memperoleh bantuan tunjangan Askes dari perusahaan tempatnya bekerja untuk kemudian berobat di rumah sakit yang memadai. Hal ini mempengaruhi cara pasien
(17)
untuk mendapatkan askes ke sumber daya yang dapat membantunya mengatasi stresor fisiologis.
c) Model stres berdasarkan stimulus
Model ini berfokus pada karakteristik yang bersifat mengganggu atau merusak dalam lingkungan. Riset klasik yang mengugkapkan stres sebagai stimulus telah menghasilkan skala penyesuaian ulang sosial, yang mengukur dampak dari peristiwa-peristiwa besar dalam kehidupan seseorang terhadap penyakit yang dideritanya (Holmes dan Rahe, 1976). Topik ini akan di bahas lebih lanjut dibagian selanjutnya. Asumsi-asumsi yang mendasari model ini adalah:
1. Peristiwa-peristiwa yang mengubah hidup seseorang merupakan hal normal yang membutuhkan jenis dan waktu penyesuaian yang sama.
2. Orang adalah penerima stres yang pasif; persepsi mereka terhadap suatu peristiwa tidaklah relevan.
3. Semua orang memiliki ambang batas stimulus yang sama dan sakit akan timbul setelah ambang batas tersebut terlampaui. d) Model berdasarkan transaksi.
Model ini memandang orang dan lingkungannya dalam hubungan yang dinamis, resiprokal, dan interaktif. Model yang dikembangkan oleh lazarus dan folkman ini menganggap stresor sebagai respon prerseptual seseorang yang berakar dari proses
(18)
psikologis dan kognitif. Stres berasal dari hubungan antara orang dan lingkungannya.
2.1.2. Jenis stres
Di tinjau dari penyebabnya, stres dapat di bedakan ke dalam beberapa jenis berikut:
1. Stres fisik
Stres yang di sebabkan karena keadaan fisik seperti karena temperatur yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising sinar matahari atau karena tegangan arus listrik.
2. Stres kimiawi
Stres disebabkan karena zat kimia seperti adanya obat-obatan, zat beracun asam, basa, faktor hormon atau gas dan prinsipnya karena pengaruh senyawa kimia.
3. Stres mikrobiologi
Stres disebabkan karena kuman seperti adanya virus, bakteri atau parasit.
4. Stres fisiologik
Stres disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh diantaranya gangguan dan struktur tubuh, fungsi jaringan, organ dan lain-lain. 5. Stres proses pertumbuhan dan perkembangan
Stres disebabkan karena proses pertumbuhan dan perkembangan seperti pada pubertas, perkawinan dan proses lanjut usia.
(19)
6. Stres psikis dan emosional
Stres disebabkan karena gangguan situasi psikologis atau ketidak mampuan kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri seperti hubungan interpersonal, sosial budaya atau faktor keagamaan (Hidayat, 2008).
Kondisi stres psikologis yang terjadi pada seorang lansia dan berkelanjutan akan mengakibatkan depresi jika pertahanan koping seseorang tidak kuat. Menurut penelitian di Amerika, 1 dari 20 orang di Amerika setiap tahun mengalami depresi dan paling tidak 1 dari 5 orang pernah mengalami depresi sepanjang kehidupan mereka. Di Indonesia kasus depresi terjadi akibat adanya krisis ekonomi atau keuangan dan masalah pekerjaan.
2.1.3. Sumber stresor
Sumber stresor merupakan asal dari penyebab suatu stres yang dapat mempengaruhi sifat dari stresor seperti lingkungan, baik secara fisik, psikososial maupun spiritual. Sumber stresor lingkungan fisik dapat berupa fasilitas-fasilitas seperti air minum, makan, atau tempat-tempat umum sedangan lingkungan psikososial dapat berupa suara atau sikap kesehatan atau orang yang ada disekitarnya, sedangakan lingkungan spiritual dapat berupa tempat pelayanan keagamaan seperti fasilitas ibadah atau lainnya.
Sumber stresor yang lain adalah diri sendiri yang dapat berupa perubahan fisikologis dalam tubuh, seperti adanya operasi, obat-obatan
(20)
atau lainnya. Sedangkan sumber stresor dari pikiran adalah berhubungan dengan penilaian seseorang terhadap status kesehatan yang dialami serta pengaruh terhadap dirinya.
Selain sumber stresor di atas, stres yang dialami manusia dapat berasal dari berbagai sumber dari dalam diri seseorang, keluarga dan lingkungan.
a. Sumber stres di dalam diri
Sumber stres dalam diri sendiri pada umumnya dikarenakan konflik yang terjadi antara keinginan dan kenyataan berbeda, dalam hal ini adalah berbagai permasalahan yang terjadi yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu di atasi, maka dapat menimbulkan suatu stres.
b. Sumber stres di dalam keluarga
Stres ini bersumber dari masalah keluarga ditandai dengan adanya perselisihan masalah keluarga, masalah keuangan serta adanya tujuan yang berbeda diantara keluarga permasalahan ini akan selalu menimbulkan suatu keadaan yang dinamakan stres.
c. Sumber stres di dalam masyarakat dan lingkungan
Sumber stres ini dapat terjadi di lingkungan atau masyarakat pada umumnya, seperti lingkungan pekerjaan, secara umum disebut sebagai stres pekerja karena lingkungan fisik, dikarenakan kurangnya hubungan interpersonal serta kurangnya adanya
(21)
pengakuan di masyarakat sehingga tidak dapat berkembang (Hidayat, 2004).
2.1.4. Tahapan Stres
Menurut Robert J.Van Amberg,1979 (Hidayat, 2008), stres dapat di bagi kedalam enam tahap berikut:
a. Tahap pertama
Tahap ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya di tanadai dengan munculnya semangat yang berlebihan, penglihatan lebih “tajam”dari biasanya, dan biasanya (namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan dan timbulnya rasa gugup yang berlebihan).
b. Tahap kedua
Pada tahap ini, dampak stres yang semula menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan karena habisnya cadangan energi. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan antara lain merasa letih sewaktu bangun pagi dalam kondisi normal, badan (seharusnya terasa segar), mudah lelah sesudah makan siang, cepat lelah menjelang sore, sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar-debar, otot punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa santai.
c. Tahap ketiga
Jika tahap stres sebelumnya tidak ditanggapi dengan memadai, maka keluhan akan semakin nyata, seperti gangguan lambung dan
(22)
usus (gastritis atau maag, diare), ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur, atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kembali), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.
d. Tahap empat
Orang yang mengalami tahap-tahap stres di atas ketiga memeriksakan diri ke dokter sering kali dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Namun pada kondisi berkelanjutan, akan muncul gejala seperti ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas rutin karena perasaan bosan, kehilangan semangat, terlalu lelah karena gangguan pola tidur,kemampuan mengingat dan konsentrasi menurun, serta muncul rasa takut dan cemas yang tidak jelas penyebabnya.
e. Tahap kelima
Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang sangat, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan ringan dan sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, serta semakin meningkatnya rasa takut dan cemas.
f. Tahap keenam
Tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya ditandai dengan timbulnya rasa panik dan takut mati yang menyebabkan jantung
(23)
berdetak semakin cepat, kesulitan untuk bernapas, tubuh gemetar dan berkeringat, dan adanya kemungkinan terjadi kolaps atau pingsan.
2.1.5. Manajemen Stres
Adapun beberapa manajemen stres menurut ( Hidayat, 2004 ) terdiri dari: a. Pengaturan Diet dan Nutrisi
pengaturan diet dan nutrisi merupakan cara yang efektif dalam mengurangi atau mengatasi stres melalui makan dan minum yang halal dan tidak berlebihan, dengan mengatur jadwal makan secara teratur, menu bervariasi, hindari makan dingin dan monoton karena dapat menurunkan kekebalan tubuh.
b. Istrahat dan Tidur
Istrahat dan tidur merupakan obat yang baik dalam mengatasi stres karena dengan istrahat dan tidur yang cukup akan memulihkan keletihan fisik dan akan memulihkan keadaan tubuh. Tidur yang cukup akan memberikan kegairahan dalam hidup dan memperbaiki sel-sel yang rusak.
c. Olah Raga atau Latihan Teratur
Olah raga dan latihan teratur adalah salah satu cara untuk meningkatkan daya tahan dan minimal dua kali seminggu dan tidak perlu lama-lama yang penting menghasilkan keringat setelah itu mandi dengan air hangat untuk memulihkan ke bugaran.
(24)
d. Berhenti Merokok
Berhenti merokok adalah bagian dari cara menanggulangi stres karena dapat meningkatkan status kesehatan dan mempertahankan ketahanan dan kekebalan tubuh.
e. Tidak Mengkonsumsi Minuman Keras
Minuman keras merupakan faktor pencetus yang dapat mengakibatkan terjadinya stres. Dengan tidak mengkonsumsi minuman keras, kekebalan dan ketahanan tubuh akan semakin baik, segala penyakit dapat dihindari karena minuman keras banyak mengandung alkohol.
f. Pengaturan Berat Badan
Peningkatan berat badan merupakan faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stres karena mudah menurunkan daya tahan tubuh terhadap stres. Keadaan tubuh yang seimbang akan meningkatkan ketahanan dan kekebalan tubuh terhadap stres. g. Pengaturan waktu
Pengturan waktu merupakan cara yang tepat dalam mengurangi dan menanggulangi stres. Dengan pengturan waktu segala pekerjaan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dapat dihindari. Pengaturan waktu dapat dilakukan dengan cara menggunakan waktu secara efektif dan efisien serta melihat aspek produktifitas waktu. Seperti menggunakan waktu untuk
(25)
menghasilkan sesuatu dan jangan biarkan waktu berlalu tanpa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
h. Terapi psikofarmaka
Terapi ini dengan menggunakan obat-obatan dalam mengatasi stres yang dialami dengan cara memutuskan jaringan antara psiko neuro dan imunologi sehingga stresor psikososial yang dialami tidak mempengaruhi fungsi kognitif afektif atau psikomotor yang dapat mengganggu organ tubuh yang lain. Obat-obatan yang biasanya digunakan adalah anti cemas dan anti depresi.
i. Terapi somatik
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat stres yang di alami sehingga diharapkan tidak dapat menggangu sistem tubuh yang lain.
j. Psikoterapi
Terapi ini dengan menggunakan tehnik psikologis yang disesuaikan dengan kebutuhan seseorang. Terapi ini dapat meliputi psikoterapi suportif dan psikoterapi reedukatif dimana psikoterapi suportif ini memberikan motivasi atas dukungan agar pasien mengalami percaya diri, sedangkan psikoterapi reduktif dilakukan dengan memberikan pendidikan secara berulang. Selain itu ada psikoterapi rekonstruktif, psikoterapi kognitif dan lain-lain.
(26)
k. Terapi psikoreligius
Terapi ini dengan menggunakan pendekatan agama dalam mengatasi permasalahan psikologis mengingat dalam mengatasi atau mempertahankan kehidupan seseorang harus sehat secara fisik, psikis, sosial dan sehat spiritual sehingga stres yang dialami dapat diatasi.
Adapun manajemen stres yang lain adalah dengan cara meningkatkan strategi koping yaitu koping yang berfokus pada emosi dan koping yang berfokus pada emosi dan koping yang berfokus pada masalah. Penggunaan koping yang berfokus pada emosi dengan cara pengaturan respon emosional dari stres melalui prilaku individu seperti cara meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, control diri, membuat jarak, penilaian secara positif, menerima tanggung jawab, lari dari kenyataan (menghindar). Sedangkan strategi koping berfokus pada masalah dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan yang dapat menyelesaikan masalah seperti merencanakan problem solving dan meningkatkan dukungan sosial, teknik lain dalam mengatasi stres adalah relaksasi, restrukturisasi kognitif, meditasi, terapi multi model dan lain-lain (sumber: Dadang Hawari, 2002) (Hidayat, 2004).
(27)
2.2 KOPING
Akibat stres yang berkepanjangan adalah terjadinya kelelahan baik fisik maupun mental, yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam keluhan/gangguan. Individu menjadi sakit, namun sering kali penyebab sakitnya tidak diketahui secara jelas karena individu yang bersangkutan tidak menyadari lagi tekanan/stres yang dialaminya. Tanpa disadari, individu menggunakan jenis penyesuaian diri yang kurang tepat dalam menghadapi stresnya. Teori sindrom adaptasi umum yang dijelaskan pada bab sebelumnya memberikan pemahaman mengenai mekanisme tersebut.
Sebaliknya, bila individu mampu menggunakan cara-cara penyesuaian diri yang sehat/baik/sesuai dengan stres yang dihadapi, meskipun stres/tekanan tersebut tetap ada, individu yang bersangkutan tetaplah dapat hidup secara sehat. Bahkan tekanan-tekanan tersebut akhirnya justru akan memungkinkan individu untuk memunculkan potensi-potensi manusiawinya dengan optimal. Penyesuaian diri dalam menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental di kenal dengan istilah koping.
2.2.1. Pengertian Dan Jenis-jenis koping
Koping termasuk konsep sentral dalam memahami kesehatan mental. Koping berasal dari kata coping yang bermakna harfiah pengatasan/penanggulangan (to cope with = mengatasi, menanggulangi). Namun karena istilah coping merupakan istilah yang sudah jamak dalam psikologi serta memiliki makna yang kaya, maka penggunaan istilah
(28)
tersebut di pertahankan dan langsung di serap ke dalam bahasa Indonesia untuk membantu memahami bahwa coping (koping) tidak sederhana makna harafiahnya saja. Koping sering disamakan dengan adjustment (penyesuaian diri). Koping juga sering dimaknai sebagai cara untuk memecahkan masalah (problem solving). Pengertian koping memang dekat dengan kedua istilah di atas, namun sebenarnya agak berbeda. Pemahaman adjustment biasanya merujuk pada penyesuaian diri dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Pemecahan masalah lebih mengarah pada proses kognitif dan persoalan yang juga bersifat kognitif. Koping itu sendiri dimaknai sebagai apa yang di lakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/luka/kehilangan/ ancaman. Jadi koping lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Atau dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stress/tekanan.
Kaitan antara koping dengan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism), ada ahli yang melihat defense mechanism sebagai salah satu jenis koping (Lazarus, 1976). Ahli lain melihat antara koping dan mekanisme pertahanan diri sebagai dua hal yang berbeda (Harber & Runyon, 1984).
(29)
Lazarus membagi koping menjadi dua jenis, yaitu: 1.Tindakan langsung (Direct Action)
Koping jenis ini adalah setiap setiap usaha tingkah laku yang dijalankan oleh individu untuk mengatasi kesakitan atau luka, ancaman atau tantangan dengan cara mengubah hubungan yang bermasalah dengan lingkungan. Individu menjalankan koping jenis direct action atau tindakan langsung bila dia melakukan perubahan posisi terhadap masalah yang dialami.
Ada 4 macam koping jenis tindakan langsung: a. Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka
Individu melakukan langkah aktif dan antisipatif (beraksi) untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya dengan cara menempatkan diri secara langsung pada keadaan yang mengancam dan melakukan aksi yang sesuai dengan bahaya tersebut. Misalnya, dalam rangka menghadapi ujian, Tono lalu mempersiapkan diri dengan mulai belajar sedikit demi sedikit tiap-tiap mata kuliah yang diambilnya, sebulan sebelum ujian dimulai. Ini dia lakukan supaya prestasinya lebih baik dibanding dengan semester sebelumnya, karena dia hanya mempersiapkan diri menjelang ujian saja. Contoh dari koping jenis ini lainnya adalah imunisasi. Imunisasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh orang tua supaya
(30)
anak mereka menjadi lebih kebal terhadap kemungkinan mengalami penyakit tertentu.
b. Agresi
Agresi adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan menyerang agen yang dinilai mengancam atau akan melukai. Agresi dilakukan bila individu merasa/menilai dirinya lebih kuat/berkuasa terhadap agen yang mengancam tersebut. Misalnya, tindakan penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah Jakarta terhadap penduduk yang berada dipemukiman kumuh. Tindakan tersebut tergolong ke dalam agresi, dan tindakan tersebut bisa dilakukan karena pemerintah memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding dengan penduduk setempat yang digusur.
c. Penghindaran (avoidance)
Tindakan ini terjadi bila agen yang mengancam dinilai lebih berkuasa dan berbahaya sehingga individu memilih cara menghindari atau menghindari atau melarikan diri dari situasi yang mengancam tersebut. Misalnya, penduduk yang melarikan diri dari rumah-rumah mereka karena takut akan menjadi korban pada daerah-daerah konflik seperti Aceh. d. Apati
Jenis koping ini merupakan pola orang yang putus asa. Apati dilakukan dengan cara individu yang bersangkutan tidak
(31)
bergerak dan menerima begitu saja agen yang melukai dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan ataupun melarikan diri dari situasi yang mengancam tersebut. Misalnya, pada kerusuhan Mei. Orang-orang China yang menjadi korban umumnya tutup mulut, tidak melawan dan berlaku pasrah terhadap kejadian biadab yang menimpa mereka. Pola apati terjadi bila baik tindakan mempersiapkan diri menghadapi luka, agresi maupun avoidance sudah tidak memungkinkan lagi dan situasinya terjadi berulang-ulang. Dalam kasus diatas, orang-orang China sering kali dan berulang kali menjadi korban ketika menjadi kerusuhan sehingga menimbulkan reaksi apati di kalangan mereka.
2.Peredaan atau peringanan (Palliation)
Jenis koping ini mengacu pada mengurangi/menghilangkan/ menoleransi tekanan-tekanan kebutuhan/fisik, motorik atau gambaran afeksi dari tekanan emosi yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Atau bisa diartikan bahwa bila individu menggunakan koping jenis ini, posisinya dengan masalah relatif tidak berubah, yang berubah adalah diri individu, yaitu dengan cara merubah persepsi atau reaksi emosinya.
(32)
Ada 2 macam koping jenis peredaran/palliation : a. Diarahkan Pada Gejala (Sympton Directed Modes)
Macam koping ini digunakan bila gangguan gejala-gejala gangguan muncul dari diri individu, kemudian individu melakukan tindakan dengan cara mengurangi gangguan yang berhubungan dengan emosi-emosi yang disebabkan oleh tekanan atau ancaman tersebut. Penggunaan obat-obat terlarang, narkotika, merokok, alkohol merupakan bentuk koping dengan cara diarahkan pada gejala. Namun tidak selamanya cara ini bersifat negatif. Melakukan relaksasi, meditasi atau berdoa untuk mengatasi ketegangan juga tergolong ke dalam symptom directed modes tetapi bersifat positif.
b. Cara Intrapsikis (Intrapsychic Modes)
Koping jenis peredaran dengan cara intrapsikis adalah dengan cara-cara yang menggunakan perlengkapan psikologis kita, yang biasa dikenal dengan istilah Defense mechanism (mekanisme pertahanan diri).
Macam-macam Defense Mechanism : 1) Identifikasi
Yaitu menginternalisasi ciri-ciri yang dimiliki oleh orang lain yang berkuasa dan dianggap mengancam. Identifikasi biasanya dilakukan oleh anak terhadap orang tua mereka.
(33)
2) Pengalihan
Yaitu memindahkan reaksi dari objek yang mengancam ke objek yang lain karena objek yang asli tidak ada atau berbahaya bila diagresi secara langsung. Misalnya, seorang bawahan dimarahi oleh atasannya di kantor. Bawahan tersebut kemudian memarahi istrinya dirumah karena tidak berani membantah atasannya. Istri kemudian memarahi anaknya. Ini merupakan contoh klasik dari displacement. 3) Represi
Impuls-impuls tersebut tidak dapat diekspresikan secara sadar/langsung dalam tingkah laku. Misalnya, dorongan seksual karena dianggap tabu lalu ditekan begitu saja kedalam ketidaksadaran. Dorongan tersebut lalu muncul dalam bentuk mimpi.
4) Denial
Yaitu melakukan blocking atau menolak terhadap kenyataan yang ada karena kenyataan yang ada dirasa mengancam integritas individu yang bersangkutan. Istri yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya secara mendadak, merasa suaminya masih hidup sehingga tiap sore dia masih membuatkan kopi untuk suaminya seperti biasanya, ini merupakan contoh denial. Fanatisme agama dengan menganggap agama/kepercayaan lain merupakan sesuatu
(34)
yang salah, sedangkan agama/kepercayaan yang dijalani merupakan satu-satunya yang benar merupakan contoh lain mekanisme denial, karena sebenarnya individu yang fanatik tersebut merasa terancam dengan adanya keyakinan lain, yang berpotensi mengancam integritas keyakinannya sendiri.
5) Reaksi Formasi
Yaitu dorongan yang mengancam diekspresikan dalam bentuk tingkah laku secara terbalik. Contoh klasik dari pertahanan diri jenis ini adalah orang yang sebenarnya mencintai, namun dalam tingkah laku memunculkan tindakan yang seolah-olah membenci orang yang dicintai. 6) Proyeksi
Yaitu mengatribusikan/menerapkan dorongan-dorongan yang dimiliki pada orang lain karena dorongan-dorongan tersebut mengancam integritas. Misalnya, A mencintai B, namun karena cinta yang dirasakan itu mengancam harga dirinya, lalu A menyatakan bahwa B-lah yang mencintainya.
7) Rasionalisasi/intelektualisasi
Yaitu dua gagasan yang berbeda dijaga supaya tetap terpisahkan karena bila bersama-sama akan mengancam. Misalnya semua orang sepakat bahwa kesejahteraan umat
(35)
manusia hanya bisa terjadi lewat cara-cara damai, namun tidak sedikit pula orang yang mengakui hal di atas, mendukung jalan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. 8) Sublimasi
Yaitu dorongan atau impuls yang ditransformasikan menjadi bentuk-bentuk yang diterima secara sosial sehingga dorongan atau impuls tersebut menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda dari dorongan atau impuls aslinya. Contoh sublimasi adalah orang yang memiliki dorongan seks yang kuat lalu menggunakan energi tersebut untuk menjadi sumber dari dorongan religiusnya, sehingga dia mengalami pengalaman mistik dan mampu bekerja bagi kemanusiaan, karena pada dasarnya religiusitas memiliki persamaan/kaitan dengan seksualitas yaitu dalam hal pengalaman penyatuan/peleburan.
Pada dasarnya mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) terjadi tanpa disadari dan bersifat membohongi diri sendiri terhadap realita yang ada, baik realita yang ada diluar (fakta/kebenaran) maupun realita yang yang ada didalam (dorongan/impuls/nafsu). Defense mechanism bersifat menyaring realita yang ada sehingga individu yang bersangkutan tidak bisa memahami hakekat dari keseluruhan realita yang ada. Ini membuat sebagian besar
(36)
ahli menyatakan bahwa koping jenis defense mechanism merupakan koping yang tidak sehat (kecuali sublimasi).
Defense mechanism yang tidak disadari, akan dapat disadari melalui refleksi diri yang terus menerus. Dengan cara begitu individu bisa mengetahui jenis mekanisme pertahanan diri yang biasa dilakukan dan kemudian menggantinya dengan koping yang lebih konstruktif.
2.2.2. Jenis-Jenis Koping Yang Konstruktif Atau Positif (Sehat)
Harber & Runyon (1984) menyebutkan jenis-jenis koping yang dianggap konstruktif, yaitu:
1. Penalaran (Reasoning)
Yaitu penggunaan kemampuan kognitif untuk mengeksplorasi berbagai macam alternatif pemecahan masalah dan kemudian memilih salah satu alternatif yang dianggap paling menguntungkan. Individu secara sadar mengumpulkan berbagi informasi yang relevan berkaitan dengan soal yang dihadapi, kemudian membuat alternatif-alternatif pemecahannya, kemudian memilih alternatif yang paling menguntungkan dimana resiko kerugiannya paling kecil dan keuntungan yang diperoleh paling besar.
2. Objektifitas
Yaitu kemampuan untuk membedakan antara komponen-komponen emosional dan logis dalam pemikiran, penalaran
(37)
maupun tingkah laku. Kemampuan ini juga meliputi kemampuan untuk membedakan antara pikiran-pikiran yang berhubungan dengan persoalan yang tidak berkaitan. Kemampuan untuk melakukan koping jenis objektifitas mensyaratkan individu yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk mengelola emosinya sehingga individu mampu memilah dan membuat keputusan yang tidak semata didasari oleh pengaruh emosi.
3. Konsentrasi
Yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh pada persoalan yang sedang dihadapi. Konsentrasi memungkinkan individu untuk terhindar dari pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Pada kenyataanya, justru banyak individu yang tidak mampu berkonsentrasi ketika menghadapi tekanan. Perhatian mereka malah terpecah-pecah dalam berbagai arus pemikiran yang justru membuat persoalan menjadi semakin kabur dan tidak terarah.
4. Humor
Yaitu kemampuan untuk melihat segi yang lucu dari persoalan yang sedang dihadapi, sehingga perspektif persoalan tersebut menjadi lebih luas, terang dan tidak dirasa sebagai menekan lagi ketika dihadapi dengan humor. Humor memungkinkan individu yang bersangkutan untuk memandang persoalan dari sudut
(38)
manusiawinya, sehingga persoalan diartikan secara baru, yaitu sebagai persoalan yang biasa, wajar dan dialami oleh orang lain juga.
5. Supresi
Yaitu kemampuan untuk menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada sehingga memberikan cukup waktu untuk lebih menyadari dan memberikan reaksi yang lebih konstruktif. Koping supresi juga mengandaikan individu memiliki kemampuan untuk mengelola emosi sehingga pada saat tekanan muncul, pikiran sadarnya tetap bisa melakukan kontrol secara baik. Berhitung sampai sepuluh ketika mulai merasakan emosi marah, sehingga kepala menjadi dingin kembali sehingga mampu memikirkan alternatif tindakan yang lebih baik, merupakan contoh supresi.
6. Toleransi terhadap Kedwiartian atau Ambiguitas
Yaitu kemampuan untuk memahami bahwa banyak hal dalam kehidupan yang bersifat tidak jelas dan oleh karenanya perlu memberikan ruang bagi ketidak jelasan tersebut. Kemampuan melakukan toleransi mengandaikan individu sudah memiliki perspektif hidup yang matang, luas dan memiliki rasa aman yang cukup.
7. Empati
Yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu dari pandangan orang lain. Empati juga mencakup kemampuan untuk menghayati dan
(39)
merasakan apa yang dihayati dan dirasakan oleh orang lain. Kemampuan empati ini memungkinkan individu mampu memperluas dirinya dan menghayati perspektif pengalaman orang lain sehingga individu yang bersangkutan menjadi semakin kaya dalam kehidupan batinnya.
APA (1994) yang menerbitkan DSM-IV juga menyebutkan sejumlah koping yang sehat yang merupakan bentuk penyesuaian diri yang paling tinggi dan paling baik (high adaptive level) dibandingkan dengan jenis koping lainnya. Selain supresi, sublimasi, dan humor seperti yang telah disebutkan di muka, jenis koping yang sehat lainnya adalah:
1. Antisipasi
Antisipasi berkaitan dengan kesiapan mental individu untuk menerima suatu perangsang. Ketika individu berhadap dengan konflik-konflik emosional atau pemicu stres baik dari dalam maupun dari luar, dia mampu mengantisipasi akibat-akibat dari konflik atau stres tersebut dengan cara menyediakan alternatif respon atau solusi yang paling sesuai.
2. Afiliasi
Afiliasi berhubungan dengan kebutuhan untuk berhubungan atau bersatu dengan orang lain dan bersahabat dengan mereka. Afiliasi membantu individu pada saat menghadapi konflik baik dari dalam dan luar, dia mampu mencari
(40)
sumber-sumber dari orang lain untuk mendapatkan dukungan dan pertolongan. Koping afiliasi ini meliputi kemampuan untuk dapat membagikan masalah yang dihadapi dengan orang lain sehingga secara tidak langsung membuat orang lain turut merasa bertanggung jawab terhadap persoalan/konflik/stres yang dihadapi.
3. Altruisme
Altruisme merupakan salah satu bentuk koping dengan cara mementingkan kepentingan orang lain. Konflik-konflik yang memicu timbulnya stres baik dari dalam maupun dari luar diri dialihkan dengan melakukan pengabdian pada kebutuhan orang lain. Altruisme berbeda dengan tindakan pengorbanan diri yang menjadi ciri-ciri mekanisme bela ego reaksi formasi, dimana individu mengalami kepuasan bila dia mengalami sendiri apa yang dialami oleh orang lain, atau dilakukan untuk orang lain. Pada berbagai kepercayaan/agama, altruisme mendapatkan nilai yang tinggi sebagai perwujudan kedewasaan spiritual manusia. Berkorban, memberikan diri bagi sesama menjadi nilai universal yang sangat duhargai oleh umat manusia. Manusia-manusia yang mampu membuktikan tindakan altruism, mereka dianggap sebagai pahlawan kemanusiaan. Gandhi, Suster Theresa, Martin Luther King, dan berbagai tokoh lain bisa menjadi personifikasi dari tindakan altruisme ini.
(41)
4. Penegasan diri (self assertion)
Individu berhadapan dengan konflik emosional yang menjadi pemicu stres dengan cara mengekspresikan perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya secara lengsung tetapi dengan cara yang tidak memaksa atau memanipulasi orang lain. Menjadi asertif tidak sama dengan tindakan agresi. Asertif adalah menegaskan apa yang dirasakan, dipikirkan oleh individu yang bersangkutan, namun dengan menghormati pemikiran dan perasaan orang lain. Dewasa ini pelatihan-pelatihan dibidang asertifitas mulai banyak dilakukan untuk memperbaiki relasi antar manusia.
5. Pengamatan diri (Self observation)
Pengamatan diri sejajar dengan introspeksi, yaitu individu melakukan pengujian secara objektif proses-proses kesadaran diri atau mengadakan pengamatan terhadap tingkah laku, motif, ciri, sifat sendiri, dan seterusnya untuk mendapatkan pemahaman mengenai diri sendiri yang semakin mendalam. Pengamatan diri mengandaikan individu memiliki kemampuan untuk melakukan transendensi, yaitu kemampuan untuk membuat jarak antara diri yang diamati dengan diri yang mengamati. Perkembangan kognitif dan latihan-latihan melakukan introspeksi yang dilakukan sejak remaja, akan mempertajam keterampilan untuk melakukan pengamatan diri ini (Siswanto, 2007).
(42)
2.3. Proses Menua
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup tidak hanya di mulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis, maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan-gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proforsional (Nugroho, 2008).
Dalam buku keperawatan gerontik dan geriatrik, H. Wahyudi Nugroho,BSc., SKM (2008) mengatakan bahwa”menua”(menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan, jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang di derita. Dari pernyataan tersebut, dapat di simpulkan bahwa manusia secara perlahan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi ini
(43)
dapat mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia, termasuk kehidupan seksualnya.
Proses menua merupakan proses yang terus menerus/berkelanjutan secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Misalnya, dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain, hingga tubuh “mati” sedikit demi sedikit. Kecepatan proses menua setiap individu pada organ tubuh tidak akan sama. Adakalanya seseorang belum tergolong lanjut usia/masih muda, tetapi telah menunjukkan kekurangan yang mencolok (deskripansi). Adapula orang yang sudah lanjut usia, penampilannya masih sehat, segar bugar, dan badan tegap. Walaupun demikian, harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering dialami lanjut usia. Manusia secara lambat dan progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menempuh semakin banyak distorsi meteoritik dan struktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif (mis: hipertensi, arteriosklerosis, diabetes militus dan kanker) yang akan menyebabkan berakhirnya hidup dengan episode terminal yang dramatis, misalnya stroke, infark miokard, koma asidotik, kanker metastatis dan sebagainya.
Proses menua merupakan kombinasi bermacam-macam faktor yang saling berkaitan. Sampai saat ini, banyak definisi dan teori yang menjelaskan tentang proses menua yang tidak seragam.
(44)
Secara umum, proses menua didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif, dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan untuk dapat bertahan hidup. Berikut akan dikemukakan bermacam-macam teori proses menua yang penting.
2.3.1. Teori Proses Menua
Proses menua bersifat individual: 1.
2.
Tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda.
3.
Setiap lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda.
a.
Tidak ada satu faktor pun yang ditemukan dapat mencegah proses menua.
1.
Teori Biologis Teori Genetik
Teori genetik clock. Teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menetukan proses penuaan. Teori ini menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Setiap spesies didalam inti selnya memiliki suatu jam genetik/jam biologis sendiri dan setiap spesies mempunyai batas usia yang berbeda-beda yang telah diputar menurut replikasi tertentu sehingga bila jenis ini berhenti berputar, ia akan mati.
(45)
Manusia mempunyai umur harapan hidup nomor dua terpanjang setelah bulus. Secara teoretis, memperpanjang umur mungkin terjadi, meskipun hanya beberapa waktu dengan pengaruh dari luar, misalnya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit dengan pemberian obat-obatan atau tindakan tertentu.
2.
Teori mutasi somatik Menurut teori ini, penuaan terjadi
karena adanya mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi keselahan dalam proses transkripsi DNA atau RNA dan dalam proses translasi RNA protei/enzim. Kesalahan ini terjadi terus-menerus sehingga akhirnya akan terjadi penurunan fungsi organ atau perubahan sel menjadi kanker atau sel menjadi penyakit. Setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh yang khas adalah mutasi sel kelamin sehingga terjadi penurunan kemampuan fungsional sel (Suhana, 1994; Constantinides, 1994).
Teori nongenetik
Teori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune theory).
Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan siste imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi yang merusak membran sel, akan menyebabkan sistem imun tidak mengenalinya sehingga
(46)
merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan penyakit auto-imun pada lanjut usia (Goldstein, 1989). Dalam proses metababolisme tubuh, diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh, tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa berinvolusi dan sejak itu terjadi kelainan autoimun.
Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory).
1.
Teori radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas atdan di dalam tubuh karena adanya proses metabolisme atau proses pernapasan di dalam mitikondria. Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif mengikat atom atau molekul lain yang menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik, misalnya karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak dapat bergenerasi (Halliwel, 1994). Radikal bebas dianggap sebagai penyabab penting terjadinya kerusakan fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat dilingkungan seperti:
2.
Asap kendaraan bermotor Asap rokok
(47)
3. 4.
Zat pengawet makanan
5.
Radiasi
Sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses menua.
Teori menua akibat metabolisme. Telah dibuktikan dalam
berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur (Bahri dan Alem, 1989; Boedhi Darmojo, 1999).
Teori rantai silang (cross link theory). Teori ini menjelaskan
bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua.
Teori fisiologis. Teori ini merupakan teori intrinsik dan
ekstrinsik. Terdiri atas teori oksidasi stres, dan teori dipakai-aus (wear and tear theory). Disini terjadi kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel tubuh lelah terpakai (regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal).
(48)
b. Teori Sosiologis
1.
Teori Sosiologis tentang proses menua yang dianut selama ini antara lain :
Teori Interaksi Sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuannya bersosialisasi.
1.
Pokok-pokok social exchange theory antara lain:
2.
Masyarakat terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya masing-masing.
3.
Dalam upaya tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan waktu.
2.
Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang actor mengeluarkan biaya.
1.
Teori aktivitas atau kegiatan
Ketentuan tentang semakin menurunnya jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut-serta dalam kegiatan sosial.
(49)
2.
3.
Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin.
4.
Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup lanjut usia.
3.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan sampai lanjut usia.
Teori kepribadian berlanjut (continuity theory)
4.
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan teori yang disebutkan sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia. Dengan demikian, pengalaman hidup seseorang suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah lanjut usia.
Teori pembebasan/penarikan diri (disangagement theory) Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya.
(50)
1.
Teori yang pertama diajukan oleh Cumming dan Henry (1961). Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambah lanjutnya usia, apalagi ditambah dengan adanya kemiskinan, lanjut usia secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering lanjut usia mengalami kehilangan ganda (triple loss):
2.
Kehilangan peran (loss of role).
3.
Hambatan kontak sosial (restriction of contact and relationship).
Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social mores and values)
Menurut teori ini, seorang lanjut usia dinyatakan mengalami proses menua yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi dan mempersiapkan diri menghadapi kematiannya.
Dari penyebab terjadinya proses menua tersebut, ada beberapa peluang yang memungkinkan dapat diintervensi agar proses menua dapat diperlambat.
1.
Kemungkinan yang terbesar adalah mencegah: Meningkatnya radikal bebas.
(51)
2. 3.
Memanipulasi sistem imun tubuh.
Melalaui metabolism/makanan, memang berbagai “misteri kehidupan masih banyak yang belum bisa terungkap, proses menua merupakan salah satu misteri yang paling sulit dipecahkan”. Selain itu, peranan faktor resiko yang datang dari luar (eksogen) tidak boleh dilupakan, yaitu faktor lingkungan dan budaya gaya hidup yang salah. Banyak faktor yang memengaruhi proses menua (menjadi tua), antara lain herediter/genetik, nutrisi/makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, dan stres. Jadi, proses menua/menjadi lanjut usia bukanlah suatu penyakit, karena orang meninggal bukan karena tua, orang muda pun bisa meniggal dan bayi pun bisa meninggal. Banyak mitos mengenai lanjut usia yang sering merugikan atau bernada negatif, tetapi sangat berbeda dengan kenyataan yang dialaminya (Nugroho, 2008).
2.3.2. Aspek Fisiologik Dan Patologik Akibat Proses Menua
Perubahan akibat proses menua dan usia biologis
Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik (dan fungsional) atas organ-organnya makin besar. Peneliti Andres dan Tobin (seperti di kutip oleh Kane et al) mengintroduksi “Hukum 1%”yang menyatakan bahwa fungsi organ-organ akan menurun sebanyak satu persen setiap tahunnya setelah usia 30 tahun
(52)
walaupun penelitian oleh svanborg et al menyatakan bahwa penurunan tersebut tidak sedramatis seperti di atas, tetapi memang terdapat penurunan yang fungsional yang nyata setelah usia 70 tahun. Sebenarnya lebih tepat bila di katakan bahwa penurunan anatomik dan fungsi organ tersebut tidak di kaitkan dengan umur kronologik akan tetapi dengan umur biologiknya. Dengan perkataan lain, mungkin seseorang dengan usia kronologik baru 55 tahun, tetapi sudah menunjukkan berbagai penurunan anatomik dan fungsional yang nyata akibat ”umur biologik”nya yang sudah lanjut sebagai akibat tidak baiknya faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan, dan kurangnya aktivitas.
•
Penurunan anatomik dan fungsional dari organ-organ tersebut akan menyebabkan lebih muda timbulnya penyakit pada organ tersebut (predileksi). Batas antara penurunan fungsional dan penyakit seringkali para ahli lebih suka menyebutnya sebagai suatu perburukan gradual yang manifestasinya pada organ tergantung pada ambang batas tertentu dari organ tersebut dan pada dasarnya tergantung atas:
•
Derajat kecepatan terjadinya perburukan atau deteriorisasi Tingkat tampilan organ yang dibutuhkan
Dari pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa pada seorang lanjut usia, perbedaan penting dengan perkataan lain: pertanda penuaan adalah bukan pada tampilan organ atau organisme saat istrahat, akan tetapi bagaimana organ atau organisme tersebut dapat beradaptasi terhadap stres dari luar (Kane et al, 1994, 1997). Sebagai contoh, seorang lansia
(53)
mungkin masih menunjukkan nilai gula darah normal pada saat puasa, akan tetapi mungkin menunjukkan nilai gula darah normal pada saat puasa, akan tetapi mungkin menunjkkan nilai yang abnormal tinggi dengan pembebanan glukosa. Oleh karena itu pengguna tes darah 2 jam post pradial kurang memberikan arti ketimbang nilai gula darah puasa.
Perubahan yang terjadi pada lanjut usia kadang bekerja bersama-sama untuk menghasilkan nilai fungsional yang terlihat normal pada lansia. Sebagai contoh, walaupun filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal sudah menurun, banyak lansia menunjukkan nilai kreatinin serum dalam batas normal. Ini disebabkan karena masa otot “bersih”dan produksi kreatinin yang sudah menurun pada usia lanjut. Oleh karena itu pada usia lanjut kreatinin serum tidak begitu tepat uuntuk dijadikan sebagai indikator fungsi ginjal dibanding dengan pada usia muda. Oleh karena fungsi ginjal sangat penting untuk menentukan berbagai hal (pemberian obat, nutrisi, dan prognosis penyakit), maka diperlukan cara lain untuk menentukan parameter fungsi ginjal. Pada lansia oleh karenanya dianjurkan memakai formula Cocroft-gault.
2.3.3.Tinjauan masalah psikologik pada lansia
Masalah psikologik yang dialami oleh golongan lansia ini pertama kali mengenai sikap mereka sendiri terhadap proses menua yang mereka hadapi, antara lain kemunduran badaniah atau dalam kebingungan untuk memikirkannya. Dalam hal ini dikenal apa yang disebut disengagement theory, yaitu berarti ada penarikan diri dari masyarakat dan diri pribadinya
(54)
satu sama lain. Dulu hal ini diduga dapat mensukseskan proses menua. Anggapan ini bertentangan dengan pendapat-pendapat sekarang, yang justru menganjurkan masih tetap ada social involvement (keterlibatan sosial) yang dianggap lebih penting dan meyakinkan. Masyarakat sendiri menyambut hal ini secara positif. Contoh yang dapat dikemukakan umpama dalam bidang pendidikan, yang masih tetap ditingkatkan pada usia lanjut ini untuk menaikkan intelegensi dan memperluas wawasannya (Broklehurst dan allen, 1987). Dinegara-negara industri maju bahkan didirikan apa yang disebut university of the thrird age. Pemisahan diri (disengagement) baru dilaksanakan hanya pada masa-masa akhir kehidupan lansia saja. Pada lansia yang realistic dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya yang baru.
Karena telah lanjut usia mereka seringkali dianggap terlalu lamban, dengan daya reaksi yang lamabat dan kesigapan dan kecpatan bertindak dan berfikir yang menurun. Meskipun kinerja mereka banyak yang masih baik. Banyak contoh-contoh historis, seperti antara lain: G.Verdi, Goethe, Andre Topolev, Galilei, Laplace, Eisenhower, Churchill, R.Reagan yang masih Berjaya dan sangat produktif pada bidangnya masing-masing pada usia yang sangat lanjut (lebih dari 70 tahun).
Daya ingat (memori) mereka memang banyak yang menurun dari lupa samapai pikun dan demensia. Biasanya mereka masih ingat betul peristiwa-peristiwa yang telah lama terjadi, malahan lupa mengenai hal-hal yang baru terjadi. Pada lansia yang masih produktif justru banyak
(55)
yang menggunakan waktu menulis buku ilmiah, maupun memorinya sendiri.
Stereotype psikologik orang lanjut usia
1.
Biasanya sifat-sifat streotipe para lansia ini sesuai dengan pembawaanya pada waktu muda. Beberapa tipe yang dikenal adalah sebagai berikut:
2.
Tipe konstruktif: orang ini mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidupnya, mempunyai toleransi tinggi, humoristic, fleksibel (luwes) dan tahu diri. Biasanya sifat-sifat ini dibawanya sejak muda. Mereka dapat menerima fakta-fakta proses menua, mengalami pension dengan tenang, juga dalam menghadapi masa akhir.
3.
Tipe ketergantungan (dependent): orang lansia ini masih dapat di terima ditengah masyarakat, tetapi selalu pasif, tak berambisi, masih tahu diri, tak mempunyai inisiatif dan bertindak tidak praktis. Biasanya orang ini di kuasai istrinya. Ia senang mengalami pension, malahan biasanya banyak makan dan minum, tidak suka bekerja dan senang untuk berlibur.
Tipe defensif: orang ini biasanya dulunya mempunyai pekerjaan/jabatan tak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, sering kali emosinya tak dapat di kontrol, memegang teguh pada kebiasaanya, bersifat konfulsif aktif. Anehnya mereka takut menghadapi “menjadi tua” dan tak menyenangi masa pensiun.
(56)
4.
5.
Tipe bermusuhan (hostility): mereka menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalanya, selalu mengeluh, bersifat agresif, curiga. Biasanya pekerjaan waktu dulunya tidak stabil. Menjadi tua dianggapnya tidak ada hal-hal yang baik, takut mati, iri hati pada orang yang muda, senang mengadu untung pada pekerjaan-pekerjaan aktif untuk menghindari masa yang sulit/buruk.
Tipe membenci/menyalahkan diri sendiri (selfhaters): orang ini bersifat kritis terhadap dan menyalahkan diri sendiri, tak mempunyai ambisi, mengalami penurunan kondisi sosio-ekonomi. Biasanya mempunyai perkawinan yang tak bahagia, mempunyai sedikit “hobby”merasa menjadi korban dari keadaan, namun mereka menerima fakta pada proses menua, tidak iri hati pada yang berusia muda, merasa sudah cukup mempunyai apa yang ada. Mereka menganggap kematian sebagai suatu kejadian yang membebaskannya dari penderitaan. Statistic kasus bunuh diri menunjukkan angka yang lebih tinggi persentasenya pada golongan lansia pada golongan lansia ini, apalagi pada mereka yang hidup sendirian (Darmojo, 2009).
(57)
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL 3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana gambaran stres dan koping lansia dipanti werdha binjai. Kerangka konseptual penelitian ini menjelaskan adanya stres dan koping lansia di panti werdha Binjai, yang mempunyai sub variabel dari stres yaitu: stres fisik, stres fisiologik, stres psikis atau emosional yang akan di teliti. Dan koping yang mempunyai sub variabel terdiri dari: tindakan langsung (direct action), dan peredaan atau peringanan (palliation).
3.2 Bagan Kerangka Konsep
Skema : Kerangka konsep penelitian
Keterangan :
: Tidak diteliti
: : Yang diteliti Lansia di panti werda
Stres
4.stres kimiawi 5.stres mikrobiologi
6.stres proses pertumbuhan dan perkembangan
Koping
1.Tindakan langsung (Direct Aktion)
2.Peredaan atau Peringanan (palliation)
1.stres fisik 2. stres fisiologik
(58)
3.3 Defenisi Konseptual
Stres adalah Respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena yang universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat di hindari, setiap orang mengalaminya, stres memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual, stres dapat mengancam keseimbangan fisiologis. Stres emosi dapat menimbulkan perasaan negatif atau destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain. Stres intelektual akan mengganggu persepsi dan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah, stres sosial akan mengganggu hubungan individu terhadap kehidupan (Hans Selye, 1956; Davis, at all. 1989; Barbara Kozier, et all, 1989) sumber (hidayat, 2006).
1. Stres fisik
Stres yang disebabkan karena keadaan fisik seperti karena temperatur yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising sinar matahari atau karena tegangan arus listrik.
2. Stres fisiologik
Stres disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh di antaranya gangguan dan struktur tubuh, fungsi jaringan, organ dan lain-lain. 3. Stres psikis dan emosional
Stres disebabkan karena gangguan situasi psikologis atau ketidak mampuan kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri seperti hubungan interpersonal, sosial buadaya atau faktor keagamaan (Hidayat, 2008)
(59)
Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi penuh dengan tekanan. Koping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik, maupun psikologik. Secara alamiah baik disadari ataupun tidak, individu sesungguhnya telah menggunakan strategi koping dalam menghadapi stres. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang dirasakan/dihadapi. Koping diartikan sebagai usaha perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk menyelesaikan stres yang dihadapi (Rasmun, 2004).
1.Tindakan langsung (Direct Action)
Koping jenis ini merupakan usaha tingkah laku yang dilakukan oleh lansia yang berada di panti werdha UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai untuk mengatasi masalah, ancaman atau tantangan dengan cara mempersiapkan diri menghadapi masalah yang akan datang, menghadapi masalah yang ada, menghindari masalah, menerima masalah tanpa ada respon.
2. Peredaan atau peringanan (Palliation)
Jenis koping ini mengacu pada mengurangi/ menghilangkan/ menoleransi tekanan-tekanan kebutuhan/ fisik, motorik atau gambaran afeksi dari tekanan emosi yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah.
(60)
3.4 Defenisi Oprasional
Lansia adalah seseorang yang sudah tua yang berada di panti werdha yang mengalami perubahan cara berfikir, perubahan daya tahan tubuh yang semakin melemah, pola hidup/cara bergaul (berteman) dengan seusianya.
Stres adalah gangguan kejiwaan yang bersifat sementara yang terjadi pada setiap orang karena rasa tertekan, tersisih (terbuang), dan mempunyai masalah yang tidak dapat terselesaikan sehingga menjadi beban fikiran.
Stres fisik adalah setres yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak nyaman, suara yang bising, sinar matahari yang terlalu sangat menyengat, dan lain-lain.
Stres fisiologis adalah stres yang disebabkan oleh gangguan pencernaan, gangguan organ tubuh di karenakan oleh penyakit yang sedang di derita, dan lain-lain.
Stres psikis atau emosional adalah stres yang disebabkan rasa takut, cemas, proses penyesuaian diri dengan lingkungan, dan spiritual keagamaan.
Koping adalah suatu cara seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, dengan cara menyesuaikan diri terhadap lingkungan, berbicara kepada orang yang di percaya/curhat, mencari informasi tentang masalah tersebut, dan mencari kesibukan agar tidak terpokus ke permasalahan tersebut.
Tindakan langsung (Direct Action)
Koping jenis ini adalah salah satu bentuk usaha seseorang dalam bentuk tingkah laku untuk mengatasi setiap masalah, kesakitan, luka, ancaman, dan tantangan yang dihadapi dengan cara merubah hubungan yang bermasalah dengan lingkungan. Seperti mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah,
(61)
menyerang sesuatu yang dinilai dapat mengancam atau akan melukai, penghindaran, atau putus asa.
Peredaan atau peringanan (Palliation)
Koping jenis ini adalah salah satu bentuk usaha yang bertujuan untuk mengurangi, menghilangkan, menoleransi tekanan-tekanan tubuh, saraf, maupun tekanan emosi yang di bangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Seperti mengidentifikasi, pengalihan, melakukan bloking atau menolak, setiap masalah muncul.
Dalam penelitian ini semua akan aspek dibahas, hanya saja peneliti berfokus kepada stres fisik, stres fisiologis,dan stres psikologis atau emosional. fokus dalam penelitian ini adalah stres dan koping lansia dimana kategorinya yaitu stres diterlantarkan, sakit, kurang menerima, tersisih / kurang perhatian dan pekerjaan.
(62)
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain penelitian
Desain yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran stres lansia di Panti Werdha Binjai dan koping lansia di Panti Werdha Binjai.
4.2. Populasi dan sampel 4.2.1.Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Aziz Alimul,2003). Seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek tersebut juga dipelajari, bukan hanya objek atau subjek saja (Hidayat, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di Panti Werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai sebanyak 157 orang yang terdiri dari 77 orang pria dan 80 orang wanita .
4.2.2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti dengan karakteristik yang ada di dalam populasi (Aziz Alimul, 2003, 35). Sampel penelitian ini adalah lansia yang berada di panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai, lansia yang tidak mengalami gangguan emosi seperti mudah marah, tersinggung, dan suka menyendiri. Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan ketentuan yang dinyatakan oleh Polit dan Hungler (1993) yaitu : jika besar populasi ≤ 1000,
(63)
maka sampel dapat diambil 20 – 30 % dari populasi (Nursalam, 2003). Besarnya sampel adalah sebanyak 47 orang.
Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan jenis probabilitas yang paling sederhana, yaitu dengan menggunakan teknik simple random sampling. Tehnik random sampel yang di gunakan yaitu pengambilan sampel secara acak (Notoatmodjo, 2002). Caranya dengan mengundi seluruh populasi yang ada kemudian mengambil sebanyak sampel yang telah ditentukan , sehingga seluruh populasi memiliki kesempatan yang sama.
4.3. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut
Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. Peneliti hanya mengambil pada bagian lanjut usia saja sesuai populasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Lokasi ini dipilih karena wilayah ini memiliki populasi lanjut usia yang sesuai dengan cangkupan judul penelitian sehingga memudahkan dalam pengambilan responden penelitian. Waktu pengambilan data penelitian pada bulan Agustus – Nopember 2010.
4.4. Pertimbangan etik
Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapat persetujuan dari Fakultas Keperawatan dan izin dari Dinas Sosial Panti Werdha UPT. Pelayanan lanjut usia Binjai. Setelah diberi ijin selanjutnya peneliti memberikan penjelasan kepada responden tentang maksud, tujuan, manfaat dan efek serta prosedur penelitian. Tindakan selanjutnya responden diberikan penjelasan tentang cara pengisian kuisioner dan apabila bersedia
(64)
menjadi responden dipersilahkan untuk menandatangani surat persetujuan. Responden berhak untuk menolak terlibat dalam penelitan ini, atau menarik kesediaannya pada proses pengumpulan data. Peneliti tidak akan memaksa dan akan tetap menghormati haknya.
Selama pengambilan data tidak ada efek yang merugikan terhadap para lansia yang menjadi responden. Penelitian tidak menimbulkan sakit secara fisik dan tekanan psikologi pada responden yang akan diteliti. Kerahasiaan responden, akan dijaga oleh peneliti dengan tidak mencantumkan nama lengkap, tetapi hanya mencantumkan inisial nama responden atau memberi kode pada masing-masing lembar pengumpulan data. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian. Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti (Nursalam, 2003).
4.5. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner, kuesioner disusun dengan menggunakan skala Likert, disediakan 4 jawaban untuk setiap pertanyaan dan responden memilih satu diantaranya: kuesioner ini terdiri dari 3 bagian, yaitu instrumen berisi data demografi lansia, dan pertanyaan yang berkaitan tentang stres dan koping lansia. Kuesioner tentang data demografi responden meliputi: inisial, umur, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan, pekerjaan.
Bagian kedua adalah kuesioner tentang stres lansia yang berada di panti werdha yang terdiri dari 10 pertanyaan, Setiap pertanyaan tentang stres fisik ada 4
(65)
pertanyaan, stres fisiologis ada 4 pertanyaan, stres psikologis atau emosional ada 2 pertanyaan. Dengan alternatif jawaban sangat setuju sekornya 4, setuju sekornya 3, kurang setuju sekornya 2, dan tidak setuju sekornya 1.
Bagian ketiga instrumen ini adalah mengenai koping lansia yang ada di panti werdha yang terdiri dari 4 pertanyaan. Setiap pertanyaan tentang tindakan langsung ada 5 pertanyaan, dan peredaan atau peringanan ada 5 pertanyaan, dengan alternatif jawaban tidak pernah sekornya 1, kadang-kadang sekornya 2 , sering sekornya 3 , dan selalu sekornya 4.
4.6. Validitas penelitian
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah (Arikunto, 2006). Uji validitas instrumen diuji oleh orang yang ahli dalam penelitian ini.
4.7. Reliabilitas penelitian
Uji reliabilitas instrumen bertujuan untuk mengetahui seberapa besar derajat atau kemampuan alat ukur untuk mengukur secara konsisten sasaran yang akan diukur. Uji reliabilitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji reliabilitas konsistensi internal karena memiliki kelebihan yaitu pemberian instrumen hanya untuk satu kali dengan satu bentuk instrumen kepada subjek studi (Dempsey & Dempsey, 2002). Uji reliabilitas dilakukan terhadap keseluruhan hasil penelitian. Hasil uji reliabilitas untuk mengetahui gambaran stress dan koping lansia dengan uji reliabilitas instrument adalah suatu uji yang
(66)
dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari instrument sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama.
Menurut Nursalam (2008), uji reliabilitas dilakukan terhadap 10-30 orang yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebagai sampel tetapi tidak akan menjadi sampel pada penelitian. Uji reliabilitas dalam penelitian ini akan dicari dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas untuk instrumen setres lansia Cronbach Alfa = 0,918 dan koping lansia Cronbach Alfa = 0,891. Hal ini dapat diterima sesuai dengan pendapat Polit & Hungler (1995) yang menyatakan bahwa sesuatu instrumen dikatakan reliabel jika nilai reliabilitasnya lebih dari 0,70. Menurut Sekaran (1992 dalam Priyatno 2008), reliabilitas kurang dari 0,6 adalah kurang baik, sedangkan 0,7 dapat diterima dan diatas 0,8 adalah baik.
4.8. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut, mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan (program studi ilmu keperawatan) kemudian mengajukan surat permohonan izin pelaksanaan kepada pihak panti werdha yang akan dilakukan penelitian. Setelah mendapatkan izin penelitian melaksanakan pengumpulan data. Peneliti menentukan responden sesuai dengan kriteria yang telah dibuat sebelumnya. Apabila peneliti menemukan calon responden yang menurut kriteria cukup banyak, maka calon responden tersebut dipilih sesuai dengan keinginan peneliti.
Setelah mendapatkan responden, peneliti menjelaskan pada responden tentang tujuan, manfaat dan proses pengisian kuesioner. Kemudian responden
(67)
diminta untuk menanda tangani surat persetujuan atau dengan memberikan persetujuan secara verbal atau lisan. Selanjutnya, responden diminta untuk mengisi kuesioner yang di berikan oleh peneliti dan di berikan kesempatan untuk bertanya bila ada yang tidak di mengerti. Saat responden mengisi lembaran kuesioner, peneliti mendampingi responden sehingga tidak terjadi manipulasi atas jawaban responden. Setelah semua responden mengisi kuesioner yang di bagikan, maka peneliti mengumpulkan data untuk dianalisa.
4.9. Analisa Data
Semua data yang terkumpul, maka analisa data dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain tahap pertama editing, yaitu mengecek nomor responden dan kelengkapannya serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa, tahap ketiga processing yaitu memasukkan data dari kueisoner ke dalam program komputer, tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah dientry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak. Langkah selanjutnya pengolahan data statistik deskriptif, data demografi akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil analisa data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi untuk melihat bagaimana stres dan koping lansia dipani werdha Binjai.
(68)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Stress Dan Koping Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia dan anak dan balita wilayah binjai dan medan” sebanyak 47 orang didapat hasil distribusi responden berdasarkan usia, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, dan pekerjaan sebelumnya yang diuraikan sebagai berikut :
5.1.1. Karakteristik Responden
Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010
Karakteristik Responden Jumlah Persentase 1. Usia
• 45-59 tahun 1 2,1
• 60-74 tahun 19 40,4
• 75-90 tahun 25 53,2
• > 90 tahun 2 4,3
2. Jenis Kelamin
• Laki-laki 12 25,5
• Perempuan 35 74,5
3. Suku Bangsa
• Batak 13 27,7
• Minang 8 17,0
• Jawa 22 46,8
• Melayu 4 8,5
4. Agama
• Islam 43 91,5
• Protestan 4 8,5
5. Pendidikan
• Tidak Sekolah 23 36,2
• SD 17 14,9
• SMA 7 48.9
6. Pekerjaan sebelumnya
• PNS 7 14,9
• Wiraswasta 16 34,1
(69)
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar lansia berusia antara 75-90 tahun (53,2%), berjenis kelamin perempuan (74,5%), bersuku Jawa (31,9%), beragama Islam (91,5%), tidak bersekolah (48,9%), dan pekerjaan sebelumnya ibu rumah tangga (51,0%).
5.1.2. Stress Pada Lansia
Stress pada lansia dapat dirinci berdasarkan stress yang terjadi yaitu stress fisik, stress fisiologik dan stress psikis atau emosional yang dijelaskan sebagai berikut :
5.1.2.1. Stress Fisik Pada Lansia
Distribusi Frekuensi Stress Fisik Pada Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010
No Stress Fisik Pada Lansia Pilihan
terbanyak
% 1 Merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru di
panti ? SS ( 25 ) 53,2
2 Pernah mengeluh karena perubahan cuaca yang anda alami, dimana sewaktu di rumah dan di panti suhu berbeda drastis?
SS ( 17 ) 36,2
3 Nyaman dengan lingkungan baru dipanti? TS (15 ) 31,9 4 Tidak pernah mengeluh dengan perubahan cuaca
yang anda alami selama dipanti?
KS ( 29 ) 61,7
Stress fisik pada lansia di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai dapat dilihat Berdasarkan hasil, diketahui bahwa stress fisik pada lansia paling banyak menyatakan tidak nyaman dengan lingkungan panti yaitu 25 orang (53,2%) dan paling sedikit menyatakan tidak pernah mengeluh dengan perubahan cuaca yang dialami selama di panti yaitu 4 orang (8,5%).
(70)
5.1.2.2. Stress Fisiologik
Distribusi Frekuensi Stress Fisiologik Pada Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010
No Stress Fisiologik Pada Lansia Pilihan
terbanyak
%
1. Harus menyesuaikan diri dengan makanan di panti, karena gangguan pencernaan?
KS ( 17 ) 36,2 2. Tidak mengalami gangguan pencernaan, dan
harus memilih makanan selama dipanti?
S ( 27 ) 57,4 3. Tidak nyaman, karena merasa kurang percaya
dengan makanan dan minuman yang di sediakan di panti?
KS ( 24 ) 51,1
Stress fisiologik pada lansia di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai dapat dilihat Berdasarkan hasil, diketahui bahwa stress fisiologik pada lansia paling banyak dari pernyataan mengenai adanya gangguan pencernaan karena harus menyesuaikan diri dengan makanan di panti yaitu 10 orang (21,3%) dan paling sedikit menyatakan merasa nyaman, karena anda percaya dengan makanan dan minuman yang di sediakan dipanti yaitu 2 orang (4,3%).
5.1.2.3. Stress Psikis Atau Emosional
Distribusi Frekuensi Stress Psikis Atau Emosional Pada Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010
No Stress Psikis Atau emosional Pilihan terbanyak
%
1. Takut dan cemas, keluarga anda akan melupakan anda dan tidak pernah menjenguk anda selama di panti werdha?
KS ( 18 ) 38,3
2. Takut dengan lingkungan barunya di panti, tidak di terima penghuni panti lainnya
KS ( 19 ) 40,4
Stress psikis atau emosional pada lansia di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai dapat dilihat Berdasarkan hasil, diketahui bahwa stress psikis atau emosional pada lansia paling banyak yang menyatakan takut dan
(71)
cemas karena keluarga akan melupakannya yaitu 8 orang (17,0%) dan paling sedikit pernyataan mengenai merasa takut dengan lingkungan barunya di panti, takut tidak di terima penghuni panti lainnya yaitu 9 orang (19,1%).
Stress pada lansia yang dapat diketahui dari rata-rata skor yang diperoleh sebesar 25,77 dan mempunyai skor terendah yaitu 17 dan skor tertinggi yaitu 38.
5.1.3. Koping Pada Lansia
Koping pada lansia yang di rinci berdasarkan koping dengan tindakan langsung dan koping dengan peredaan di jelaskan sebagai berikut :
5.1.3.1. Koping Dengan Tindakan Langsung Pada Lansia
Distribusi Frekuensi Koping Dengan Tindakan Langsung Pada Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010
N o
Koping Dengan Tindakan Langsung Pilihan
terbanyak
%
1. Menangis salah satu cara untuk menenangkan diri disaat anda sedang ada masalah ?
TP ( 20 )
42,5 2. Masalah yang muncul segera anda selesaikan,
tanpa menunda-nunda waktu?
SL ( 21 ) 44,7 3. Sebelum masalah datang anda sudah
mempersiapkan diri untuk menghadapinya?
SL ( 22 ) 46,8 4. Anda selalu menerima masalah tanpa ada respon
setiap anda mendapat masalah?
SS ( 13 ) 27,7 5. Anda menghindari masalah yang sedang anda
hadapi?
SS ( 21 ) 44,7
Koping dengan tindakan lansgung pada lansia di Panti werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai dapat dilihat Berdasarkan hasil, diketahui bahwa koping dengan tindakan langsung pada lansia paling banyak yang menyatakan sebelum masalah datang sudah mempersiapkan diri yaitu 22 orang
(1)
s7
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak Setuju 9 19.1 19.1 19.1
Kurang
Setuju 24 51.1 51.1 70.2
Setuju 8 17.0 17.0 87.2
Sangat Setuju 6 12.8 12.8 100.0
Total 47 100.0 100.0
s8
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak Setuju 2 4.3 4.3 4.3
Kurang Setuju 7 14.9 14.9 19.1
Setuju 30 63.8 63.8 83.0
Sangat Setuju 8 17.0 17.0 100.0
Total 47 100.0 100.0
s9
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid Tidak Setuju 11 23.4 23.4 23.4
Kurang
Setuju 18 38.3 38.3 61.7
Setuju 10 21.3 21.3 83.0
Sangat Setuju 8 17.0 17.0 100.0
(2)
s10
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak Setuju 9 19.1 19.1 19.1
Kurang
Setuju 19 40.4 40.4 59.6
Setuju 11 23.4 23.4 83.0
Sangat Setuju 8 17.0 17.0 100.0
(3)
Reliability
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's
Alpha N of Items
.918 10
Item Statistics
Mean
Std.
Deviation N
s1 3.17 .950 30
s2 2.93 1.015 30
s3 2.90 .923 30
s4 2.73 .944 30
s5 2.93 .944 30
s6 2.97 .928 30
s7 2.90 .995 30
s8 2.87 1.008 30
s9 2.87 .819 30
(4)
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
s1 26.00 44.759 .581 .916
s2 26.23 43.771 .614 .914
s3 26.27 46.409 .460 .922
s4 26.43 43.426 .701 .909
s5 26.23 42.461 .787 .904
s6 26.20 41.407 .902 .898
s7 26.27 42.340 .750 .906
s8 26.30 42.838 .696 .909
s9 26.30 46.493 .526 .918
s10 26.27 39.651 .917 .895
Scale Statistics
Mean Variance
Std.
Deviation N of Items
(5)
Reliability
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's
Alpha N of Items
.891 10
Item Statistics
Mean
Std.
Deviation N
k1 2.90 1.094 30
k2 3.10 .995 30
k3 3.03 .964 30
k4 2.87 1.137 30
k5 2.97 .964 30
k6 2.67 1.093 30
k7 3.10 .885 30
k8 2.97 1.033 30
k9 3.17 .834 30
(6)
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
k1 26.47 39.085 .733 .873
k2 26.27 40.754 .674 .878
k3 26.33 39.885 .779 .871
k4 26.50 37.914 .793 .868
k5 26.40 43.076 .498 .889
k6 26.70 42.769 .444 .895
k7 26.27 42.340 .624 .881
k8 26.40 38.731 .817 .867
k9 26.20 43.959 .511 .888
k10 26.77 43.909 .448 .892
Scale Statistics
Mean Variance
Std.
Deviation N of Items