Sikap Pemerintahan terhadap Agama-agama

umat yang beragama Islam. Tidak seperti warga di banyak negara maju lainnya, yang cenderung bersikap diskriminasi terhadap umat Islam.

C. Sikap Pemerintahan terhadap Agama-agama

Hakikat asli dari agama Shinto adalah ajaran akan adanya dewa-dewa dan makhluk halus, baik dalam alam keliling maupun pada mereka yang sudah mati. Adapun Jepang dipuja sebagai negara dewa-dewa dan bangsa Jepang ditanggapi sebagai berasal dari Dewa Matahari atau Amaterasu Ohmikami, nenek moyang Kaisar Jepang. Kemudian ajaran ini berkembang menjadi pemujaan terhadap pahlawan maupun leluhur. Jadi kehidupan kelompok-kelompok yang kemudian bertumbuh menjadi clan, selalu meminta restu para pahlawan yang telah didewakan maupun para leluhur. Setelah Jepang tumbuh menjadi suatu bangsa kesatuan yang dilambangi oleh Kaisar, maka sebagai ”Kepala Keluarga”, Kaisar selalu mengadakan pemujaan pada kuil Ise, dimana bersemayam leluhur keluarga Kaisar. 38 Ajaran Konfusianisme memperkuat sistem kekaisaran dan faham bangsa Jepang sebagai keluarga besar. Tetapi Jepang tidak memperkenalkan faham Konfisianisme yang memberikan hak kepada rakyat untuk menumbangkan Kaisar, apabila ”mandat dari langit” telah di tarik kembali dan negara mengalami kekacauan dan penderitaan. Budhisme dari waktu ke waktu berhasil mengungguli pengaruh-pengaruh Shinto maupun Konfusianisme, tetapi kedua ajaran itu tetap merupakan unsur- unsur dalam kehidupan manusia Jepang. Pada sektor-sektor tertentu, ajaran agama 38 Arifin Bey, Peranan Jepang ; Dalam Pasca Abad Amerika Jakarta: C.V. Antar Karya, 1990, h. 147. Budha bahkan memperkuat unsur-unsur dari ajaran Shinto. Bahkan secara tidak langsung, tanggapan tentang peranan agama Nasrani dalam tatanan politik Barat, telah dijadikan alasan untuk memberikan posisi mutlak bagi Kaisar dalam tatanan politik Meiji. Ito Hirobumi, penyusun undang-undang Meiji, pada waktu melewat ke Eropa mengambil kesimpulan bahwa agama Nasrani merupakan landasan teguh bagi undang-undang dasar negara-negara di benua itu. Ito mengemukakan bahwa di Jepang tidak ada suatu landasan agama yang cukup umum dan kuat yang kiranya dapat menjalankan peranan demikian itu, terkecuali kepercayaan rakyat terhadap lembaga kekaisaran. Oleh sebab itu perlu memberikan kedudukan yang ”kudus dan tidak dapat diganggu gugat” pada lembaga kekaisaran. 39 Maka, dapat dikatakan bahwa Jepang dengan tangan terbuka menerima ajaran-ajaran asing, baik ajaran tersebut berasal dari Timur maupun dari Barat. Namun, ajaran-ajaran itu diterima hanya kalau tidak merugikan kerangka kepercayaan yang telah ada. Sejak dimulainya masa Meiji 1868-1912 sampai dengan meletusnya perang di tahun 1945, kehidupan agama di Jepang sangat erat hubungannya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Pada masa ini Shinto menjadi agama negara dengan maksud mengobarkan semangat nasionalisme dan Chauvinisme Jepang. Selama masa tersebut ada emapat hal utama yang menjadi ciri pokok dalam kehidupan agama di Jepang terutama yang bersangkutan dengan agama Shinto, yaitu : 1. Usaha-usaha pemerintah untuk menciptakan sebuah negara teokrasi 39 Arifin Bey, Peranan Jepang ; ..., h. 147. 2. Penataan sistem Jinja 3. Campur tangan pemerintah terhadap agama 4. Militerisme dalam agama 40 Pemerintah Meiji berusaha untuk mendirikan sebuah negara yang didasarkan atas konsep saisei itchi yaitu konsep kesatuan antara upacara-upacara keagamaan dan politik. Oleh karena itu banyak langkah-langkah pembaharuan drastis yang diambil oleh pemerintah, terutama yang ada hubungannya dengan agama, yang semuanya dimaksudkan untuk mendirikan sebuah negara teokrasi yang didasarkan atas kultus agama Shinto. Sebuah upacara Shinto yang diadakan oleh Kaisar Meiji pada tanggal 25 April 1869 menunjukkan bahwa kekuasaan Kaisar tidak terpisahkan dari agama Shinto. Bahkan pada tahun 1875, pemerintah mempersiapkan doa-doa standar yang harus digunakan dalam berbagai ritual di semua kuil. Sepanjang Perang Dunia II, karakter nasionalis Shinto diperkuat untuk mencapai kepentingan- kepentingan militer. 41 Dalam pengembangan tempat-tempat suci seperti Jinja, pemerintah membuat suatu penataan yang tepat dan sistem administrasi yang terkontrol. Dan membuat suatu kesatuan ideologi yang dapat mengikat tempat-tempat suci agama Shinto melalui sebuah Piagam Pemerintah mengenai kependidikan yang dikeluarkan pada tahun 1890. Piagam tersebut memberi penekanan pada kesetiaan terhadap kaisar dan keharusan menghormati ”jalan para dewa”. Diantara isi dari program kependidikan yang terdapat dalam piagam itu ialah dihapuskannya pengajaran agama di sekolah-sekolah, pengembangan teknik- 40 Djam’annuri, Agama ..., h. 39. 41 Catrien Ross, Mistik Jepang Yogyakarta: Pinus, 2007, h. 64. teknik pemujaan yang tepat terhadap kaisar dan pemeliharaan tempat-tempat suci agama Shinto. Disamping itu pemerintah juga menetapkan suatu sistem pengaturan tempat-tempat suci tersebut secara bertingkat, mulai dari desa, kota dan seterusnya sampai pada tingkat pusat yaitu pada Kementerian Dalam Negeri. Setiap tempat suci diawasi sehingga praksis tempat-tempat suci tersebut lebih merupakan lembaga-lembaga pemerintah dari pada lembaga-lembaga keagamaan. Sampai berakhirnya Perang Dunia II prinsip dasar kebijaksanaan pemerintah dalam bidang agama adalah pengawasan dan pengarahan semua organisasi agama menurut keinginan dan selera pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan yang diakui oleh pemerintah memperoleh bantuan dan dukungan, sedangkan yang tidak diakui maka tidak memiliki kebebasan dalam menyiarkan ajaran-ajarannya dan tidak memperoleh bantuan apapun. Kebijaksanaan seperti ini tetap dipertahankan meskipun pada masa Meiji telah diberikan hak kemerdekaan beragama yang dicantumkan dalam undang-undang Meiji tahun 1889. Pada tanggal 4 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan sebuah ketetapan yang berjudul ”Removal of Restrictions on Political, Civil and Religious Liberties” atau Penghapusan Pembatasan-pembatasan Kemerdekaan Politik, sipil dan Agama 42 . Sesuai dengan namanya, ketetapan tersebut mengharuskan dihapuskannya semua undang-undang, ketentuan, peraturan ataupun ketetapan yang memberikan pembatasan-pembatasan terhadap hak kemerdekaan beragama, berfikir, bersyarikat dan berbicara. Ketetapan ini merupakan campur tangan dari Amerika Serikat yang menuntut pemerintah Jepang untuk bersikap “netral” terhadap agama. Semua bentuk perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan 42 Djam’annuri, Agama ..., h. 48. yang membatasi kebebasan beragama bagi warga negaranya dicabut dan dihapuskan. Sikap netral tersebut mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya berbagai macam agama di Jepang, dengan berbagai ragam alirannya. Mulai dari agama Shinto, Budha, Kristen, Kepercayaan Rakyat, Agama Baru bahkan sampai kepada agama Islam. Masing-masing agama tersebut mendirikan berbagai organisasi atau lembaga keagamaan yang umumnya identik dengan tempat-tempat suci untuk beribadah dan tempat-tempat pertemuan bagi para pemeluknya, yang tersebar diseluruh pelosok Negara Jepang. Dan pada tanggal 15 Desember 1945 dikeluarkan sebuah ketetapan lain yang disebut “Abolition of Govermental Sponsorship, Support, Perpetuation, Control and Disseminition of State Shinto atau Pencabutan Bantuan, Dukungan, Pembakuan, Pengawasan dan Pengembangan Pemerintah terhadap Agama Shinto Negara yang kemudian dikenal dengan istilah Pedoman Shinto 43 . Ketetapan ini merupakan pengukuhan dari ketetapan yang dikeluarkan pada tanggal 4 Oktober 1945. Di samping tujuan pokok dari Pedoman Shinto adalah untuk meniadakan sifat nasionalisme agama Shinto, pedoman tersebut juga didasarkan atas tiga prinsip yaitu ; 1. mengikis habis segala faham militerisme dan ultranasionalisme di Jepang dalam segala bentuk dan manifestasinya 2. mengukuhkan hak kebebasan beragama bagi seluruh warga Negara Jepang 3. memisahkan agama dari negara 44 43 Djam’annuri, Agama ..., h. 49. 44 Hori Ichiro, ed., Japanese Religion Tokyo: Kodansha Internasional, 1972, h. 165. Oleh karena itu penyalahgunaan agama untuk tujuan-tujuan politik tidak diperbolehkan dan semua agama ditempatkan pada kedudukan yang sama. Sikap pemerintah tersebut merupakan dasar utama akan adanya kemerdekaan beragama dan pemisahan agama dari negara di Jepang Dengan adanya Pedoman Shinto maka agama Shinto tidak lagi menjadi agama nasional yang dapat dipaksakan; kewajiban untuk memberikan bantuan kepada agama Shinto juga sudah ditiadakan; ajaran dan peribadatan agama tersebut juga sudah dihapuskan dari sistem pendidikan; dan Jinja Shinto hanya diakui sebagai sebuah agama yang sama kedudukannya dengan agama-agama lainnya di Jepang. Selain Pedoman Shinto diatas yang memberikan kebebasan beragama, kebebasan beragama juga terdapat dalam konstitusi Jepang pasal 20, yang menegaskan secara terperinci bahwa ”Kebebasan agama dijamin bagi semua orang. Organisasi keagamaan tidak akan mendapat hak-hak istimewa dari negara dan tidak melakukan kekuasaan politik apa pun”. ”Tidak seorangpun dapat dipaksa untuk ikut serta dalam tindakan, perayaan, upacara ataupun praktek keagamaan”. ”Negara beserta organ-organnya harus tidak melakukan pendidikan keagamaan atau kegiatan keagamaan lainnya.” 45 Selain kebebasan beragama, pasal 20 dari Konstitusi Jepang tersebut juga meniadakan campur tangan pemerintah dalam persoalan agama, apapun jenisnya. 45 Jepang: Sebuah Pedoman Saku Jakarta: Kedutaan Besar Jepang, 1984, h. 155.

BAB III Awal Kedatangan dan Perkembangan Islam di Jepang