Pengaruh Bladder Training Terhadap Minimalisasi Inkontinensia Urin Paska Kateterisasi Di RSUP Haji Adam Malik Medan.

(1)

Pengaruh Bladder Training Terhadap Minimalisasi Inkontinensia

Urin Paska Kateterisasi Di RSUP Haji Adam Malik Medan

Fransiska A. Sinaga

Skripsi

Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara


(2)

Judul :Pengaruh Bladder Training Terhadap Minimalisasi Inkontinensia Urin Paska Kateterisasi Di RSUP Haji Adam Malik Medan

Nama :Fransiska A. Sinaga

Jurusan :Fakultas Keperawatan USU

Tahun :2008/2009

Pembimbing Penguji 1

(Cholina T. Siregar, M.Kep Sp.KMB) (Cholina T. Siregar, M.Kep Sp.KMB) NIP. 1977072620012 2 001 NIP. 1977072620012 2 001

Penguji 2

(Dudut Tanjung S,Kp, M.kep Sp. KMB) NIP. 19731015200112 1 002

Penguji 3

(Fatwa Imelda., S.Kep, Ns)

Fakultas Keperawatan telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari persayaratan kelulusan Sarjana Keperawatan

(Erniyati, S.Kp, MNS) dr. Dedi Ardinata, M.Kes


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR SKEMA ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Pertanyaan Penelitian ... 4

3. Tujuan Penelitian ... 4

4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pemasangan kateter ... 6

1.1 Tipe Kateter ... 6

1.2 Indikasi Pemasangan Kateter ... 9

2. Inkontinensia Urin ... 9

2.1 Defenisi Inkontinensia Urin ... 9

2.2 Tipe Inkontinensia Urin ... 11

3. Bladder Training ... 14

3.1 Defenisi Bladder Training ... 14

3.2 Tujuan Bladder Training ... 15

3.3 Indikasi Bladder Training ... 16

3.4 Prosedur Bladder Training ... 17

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian ... 19

2. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 20

3. Hipotesis Penelitian ... 21

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 22

2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 22

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

4. Pertimbangan Etik ... 23

5. Instrumen Penelitian ... 24

6. Validitas ... 25

7. Pengumpulan Data ... 25


(4)

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian ... 28

1.1Deskripsi Karakteristik Responden ... 28

1.2Inkontinensia Kelompok intervensi dan kontrol ... 29

1.3Pengaruh Bladder training terhadap minimalisasi inkontinensia ... 30

2. Pembahasan ... 31

2.1 Karateristik Responden ... 31

2.2 Pengaruh Bladder Training Terhadap Minimalisasi Inkontinensia .. 33

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan ... 35

2. Rekomendasi ... 36 DAFTAR PUSTAKA


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Instrumen Penelitian

2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden 3. Surat Izin Penelitian

4. Table Frequencies 5. Chi square


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Defenisi operasional variabel penelitian ... 20 Tabel 5.1 Distribusi frekuensi kelompok intervensi dan kontrol berdasarkan

data demografi di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan

Juli-Agustus 2009 (N=30) ... ... 29 Tabel 5.2 Inkontinensia Urin Kelompok Intervensi Dan Kontrol di RSUP

Haji Adam Malik Medan bulan Juli-Agustus 2009 (N=30)... 30 Tabel 5.3 Analisa Perbedaan terjadinya inkontinensia pada kedua kelompok setelah dilakukan bladder training di RSUP Haji Adam Malik

Medan bulan Juli-Agustus 2009……….. 30


(7)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1 Kerangka penelitian pengaruh bladder training terhadap minimalisasi terjadinya inkontinensia urin pada klien post kateter di RSUP Haji Adam Medan……… 14


(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Kateter urin merupakan suatu tindakan dengan memasukkan selang ke dalam kandung kemih yang bertujuan untuk membantu mengeluarkan urin. Pemasangan kateter urin dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi. Tindakan pemasangan kateter juga dilakukan pada pasien dengan indikasi lain, yaitu: untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smelzter, 2001).

Smith (2003) melaporkan pemasangan kateter dilakukan lebih dari lima ribu pasien setiap tahunnya, dimana sebanyak 4 % penggunaan kateter dilakukan pada perawatan rumah dan sebanyak 25 % pada perawatan akut. Sebanyak 15-25% pasien di rumah sakit menggunakan kateter menetap untuk mengukur haluaran urin dan untuk membantu pengosongan kandung kemih (The Joanna Briggs Institute, 2000).

Tindakan pemasangan kateter membantu pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi. Namun tindakan ini bisa juga menimbulkan masalah lain seperti infeksi, trauma pada uretra, dan menurunnya rangsangan berkemih. Menurunnya rangsangan berkemih terjadi akibat pemasangan kateter dalam waktu yang lama mengakibatkan kandung


(9)

kemih tidak akan terisi dan berkontraksi sehingga pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Apabila hal ini terjadi dan kateter dilepas, maka otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran urinnya (Smelzter, 2001).

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).

Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk dunia mengalami inkontinensia urin. Di Amerika Serikat, jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 persen diantaranya perempuan. Jumlah ini sebenarnya masih sangat sedikit dari kondisi sebenarnya, sebab masih banyak kasus yang tidak dilaporkan (PDPERSI, 2001).

Di Indonesia sekitar 5,8 persen penduduk Indonesia menderita inkontinensia urin. Jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa, angka ini termasuk kecil. Hasil survey yang dilakukan di rumah sakit-rumah sakit menunjukkan, penderita inkontinesia di seluruh Indonesia mencapai 4,7 persen atau sekitar 5-7 juta penduduk dan enam puluh persen diantaranya adalah wanita. Meski tidak berbahaya, namun gangguan ini tentu sangat mengganggu dan membuat malu, sehingga menimbulkan rasa rendah diri atau depresi pada penderitanya (PDPERSI, 2002).


(10)

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

Penanganan inkontinensia urin sebagian besar tergantung kepada penyebabnya. Salah satu usaha untuk mengatasi kondisi ini berupa program latihan kandung kemih atau bladder training (Long, 1996). Bladder training atau latihan kandung kemih merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencegah kejadian ini. Bladder training atau latihan kandung kemih merupakan upaya mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan, ke keadaan normal atau fungsi optimalnya sesuai dengan kondisinya semula (Lutfie, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Fantl (1991) mengenai efektivitas bladder training didapatkan, bahwa sebanyak 50 % dari sampel percobaan menjadi mampu mengontrol kencing, dan 12 % menjadi total kontinen. Sedangkan penelitian yang dilakukan Hariyati (2000) mengenai pengaruh bladder training dengan proses pemulihan inkontinensia urin pasien stroke diperoleh lama inkontinensia urin rata-rata 13,11 hari pada pasien yang diberi bladder training sedangkan di ruangan kontrol 22,7 hari.

Melihat akibat yang dapat ditimbulkan, maka peneliti tertarik untuk melihat pengaruh bladder training terhadap minimalisasi terjadinya inkontinensia urin pada pasien post kateter urin.


(11)

2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas masalah yang dapat dirumuskan bagaimana pengaruh bladder training terhadap minimalisasi inkontinensia urin pada pasien paska kateterisasi di Rumah sakit Haji Adam Malik Medan.

3. Tujuan Penelitian 3.1Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh bladder training terhadap minimalisasi inkontinensia urin pada pasien paska kateterisasi di Rumah sakit Haji Adam Malik Medan.

3.2 Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah untuk:

1.Mengetahui karateristik pasien yang menggunakan kateter urin.

2.Mengetahui inkontinensia urin yang terjadi pada pasien setelah dilakukan bladder training.

3.Mengetahui inkontinensia urin yang terjadi pada pasien yang tidak dilakukan bladder training.

4.Membandingkan inkontinensia yang terjadi pada pasien yang dilakukan bladder training dan pada pasien yang tidak dilakukan bladder training.

4. Manfaat Penelitian

4.1Untuk Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi perawat dalam melakukan bladder training pada pasien yang dipasang kateter untuk meminimalkan terjadinya inkontinensia urin.


(12)

4.2 Untuk Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan atau sumber informasi mengenai latihan bladder training pada pasien dengan pemasangan kateter.

4.3 Untuk Penelitian Keperawatan

Dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau sumber data bagi penelti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai latihan bladder training.


(13)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pemasangan Kateter Urin

Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukan selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil (Potter dan Perry, 2002 ).

Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig, 2000).

1.1Tipe Kateterisasi

Menurut Hidayat pemasangan kateter dengan dapat bersifat sementara atau menetap. Pemasangan kateter sementara atau intermiten catheter (straight kateter) dilakukan jika pengosongan kandung kemih dilakukan secara rutin sesuai dengan jadwal, sedangkan pemasangan kateter menetap atau indwelling catheter (folley


(14)

kateter) dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus (Hidayat, 2006).

a. Kateter sementara (straight kateter)

Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi (Potter dan Perry, 2002 ).

Pemasangan kateter sementara dilakukan jika tindakan untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek samping dari penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat memasukkan kateter dan dapat menimbulkan infeksi (Thomas, 2007).

Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang dikemukakan oleh Japardi (2000) antara lain:

1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin

2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal.

3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara


(15)

Kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya bahaya distensi kandung kemih, resiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang, resiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal uretra (flora normal) (Japardi, 2000).

b. Keteter menetap (foley kateter)

Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama. Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter. Pemasangan kateter ini dilakukan sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran urin akurat dibutuhkan (Potter dan Perry, 2005).

Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter menetap ini banyak menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter menetap, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena kateterisasi menetap yang kontinu tidak fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih (Japardi, 2000).

Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen) dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen yang lain berfungsi untuk mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe triple lumen terdiri dari tiga lumen yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan (Potter dan Perry, 2005).


(16)

1.2Indikasi Kateterisasi

Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang klien yang mengalami cidera medulla spinalis, degenerasi neuromuscular, atau kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2005). Menurut Hidayat (2006) kateterisasi sementara diindikasikan pada klien yang tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi, retensi akut setelah trauma uretra, tidak mampu berkemih akibat obat sedative atau analgesic, cidera pada tulang belakang, degerasi neuromuscular secara progresif dan pengeluaran urin residual.

Kateterisasi menetap (foley kateter) digunakan pada klien paskaoperasi uretra dan struktur di sekitarnya (TUR-P), obstruksi aliaran urin, obstruksi uretra, pada pasien inkontinensia dan disorientasi berat (Hidayat, 2006).

2. Inkontinensia Urin

2.1Defenisi Inkontinensia Urin

Produksi urin pada setiap individu berbeda. Pada umumnya produksi urin seimbang dengan pemasukan cairan, namun ada beberapa faktor yang ikut mendukung jumlah urin dalam satu hari. Faktor yang mempengaruhi produksi urin adalah jumlah cairan yang masuk ketubuh, kondisi hormone, saraf sensori perkemihan, kondisi sehat sakit, tingkat aktivitas, sedangkan pola buang air kecil dapat dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang, usia, penggunaan obat-obatan dan pengaruh makanan (Hariyati, 2000).


(17)

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.

Inkontinensia tidak harus dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami setiap individu pada usia berapa pun walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia. Inkontinensia yang berkelanjutan memungkinkan terjadi kerusakan pada kulit. Sifat urin yang asam mengiritasi kulit. Pasien yang tidak dapat melakukan mobilisasi dan sering mengalami inkontinensia beresiko terkena luka dekubitus (Potter dan Perry, 2005).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

Penatalaksanaan inkontinensia dengan menggunakan tindakan non farmakologis dapat dilakukan dengan cara menggunakan terapi perilaku, pengaturan makanan dan minuman, bladder training, penguatan otot panggul. Pasien dengan inkontinensia harus memperhatikan intake cairan. Pengurangn


(18)

pemasukan cairan dapat menimbulkan dehidrasi dan konstipasi. Dengan mengubah jenis makanan dan minuman dapat membantu seperti membatasi minuman yang mengandung cafein, alcohol dan minuman. Kafein dapat mengiritasi kandung kemih dan meningkatkan frekuensi untuk berkemih yang akan memperburuk inkontinensia (Parker, 2007).

2.2 Tipe inkontinensia Urin

Ada beberapa tipe dari inkontinensia urin yaitu: inkontinensia dorongan, inkontinensia total, inkontinesia stress, inkontinensia refleks, inkontinensia fungsional (Hidayat, 2006).

a. Inkontinensia Dorongan

Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi. Inkontinensia tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita (Purnomo, 2008).

Beberapa penyebab terjadinya inkontinensia urin dorongan disebabkan oleh penurunan kapasitas kandung kemih, iritasi pada reseptor rengangan kandung kemih yang menyebabkan spasme (inspeksi saluaran kemih), minuman alkohol


(19)

atau kafein, peningkatan konsentrasi urin, dan distensi kandung kemih yang berlebihan. (Hidayat, 2006).

b. Inkontinensia Total

Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).

c. Inkontinensia Stress

Menurut Hidayat (2006) inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker, 2007).

Keluar urin dari uretra pada saat terjadi tekanan intraabdominal, merupakan jenis inkontinensia yang paling banyak prevalensinya 8-33%. Pada pria kelainan uretra yang menyebabkan inkontinensia biasanya adalah kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatektomi (Purnomo, 2008). Inkontinensia stress jarang ditemukan pada laki-laki. Namun apabila hal ini ditemukan maka membutuhkan tindakan pembedahan untuk penanganannya (Parker, 2007).

Inkontinensia stress ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lain (Smeltzer, 2001).


(20)

d. Inkontinensia Refleks

Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006).

e. Inkontinensia Fungsional

Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin (Hidayat,2006).

Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi (Smeltzer, 2001).


(21)

3. Bladder Training

3.1 Defenisi Bladder Training

Bladder training merupakan latihan kandung kemih sebagai salah satu upaya mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan (Lutfie, 2008). Orzeck dan Ouslander (1987 dalam Hariyati 2000) mengatakan bahwa bladder training merupakan upaya mengembalikan pola buang air kecil dengan menghambat atau merangsang keinginan buang air kecil. Bladder training merupakan tindakan yang bermanfaat dalam mengurangi frekuensi dari inkontinensia. Bladder training banyak digunakan untuk menangani inkontinensia urin di komunitas. Latihan ini sangat efektif dan memiliki efek samping yang minimal dalam menangani masalah inkontinensia urin. Dengan bladder training diharapkan pola kebiasaan disfungsional, memperbaiki kemampuan untuk menekan urgensi dapat diubah dan secara bertahap akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan memperpanjang interval berkemih. (Glen, 2003).

Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), delay urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih) Suhariyanto (2008). Latihan kegel (kegel exercises) merupakan aktivitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara


(22)

refleks menghambat kontraksi kandung kemih. (Kane, 1996 dalam Nursalam 2006).

Metode bladder training dengan jadwal berkemih dapat dilakukan dengan cara membuat jadwal berkemih setiap bangun pagi, setiap dua jam pada siang dan sore hari, setiap empat jam pada malam hari dan sebelum tidur malam. Memberikan cairan sesuai kebutuhan 30 menit sebelum waktu berkemih, membatasi minum (150-200 cc) setelah makan malam. Kemudian secara bertahap periode waktu berkemih dapat ditambah. Dibutuhkan kerjasama dengan keluarga untuk keberhasilan metode ini (Hariyati, 2000).

Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang keteter, bladder training dapat dilakukan dengan mengklem atau mengikat aliran urin ke urin bag (Hariyati, 2000). Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot detrusor berkontraksi sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Smeltzer, 2001).

3.2 Tujuan Bladder Training

Tujuan dari bladder training (melatih kembali kandung kemih) adalah mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih (Perry dan Potter, 2005). Bladder training bertujuan untuk mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi optimal.


(23)

Latihan ini dilakukan pada pasien setelah kateter terpasang dalam jangka waktu yang lama (Suharyanto, 2008)

Karon (2005) menyatakan tujuan dilakukan bladder training adalah: a. Membantu klien mendapat pola berkemih rutin.

b. Mengembangkan tonus otot kandung kemih sehingga dapat mencegah inkontinensia.

c. Memperpanjang interval waktu berkemih. d. Meningkatkan kapasitas kandung kemih.

e. Melatih kandung kemih untuk mengeluarkan urin secara periodic

f. Mengontrol faktor-faktor yang mungkin meningkatakan jumlah episode inkontinensia.

3.3 Indikasi Bladder training

Bladder training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami inkontinensia, pada pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2008). Bladder training juga bisa dilakukan pada pasien stroke, bladder injury, dan pasien dengan pemasangan kateter yang lama (Orzeck dan ouslander, 1987 dalam Hariyati, 2000).

Bladder training efektif digunakan dalam menangani masalah inkontinesia dorongan, inkontinensia stress atau gabungan keduanya yang sering disebut inkontinensia campuran. Penelitian yang dilakukan oleh Fantl (1991) mengenai efektivitas bladder training didapatkan, bahwa sebanyak 50 % dari sampel percobaan menjadi mampu mengontrol kencing, dan 12 % menjadi total


(24)

kontinen. Sedangkan penelitian yang dilakukan Hariyati (2000) untuk melihat pengaruh bladder training dengan proses pemulihan inkontinensia urin pasien stroke diperoleh lama inkontinensia urin rata-rata 13,11 hari pada pasien yang diberi bladder training sedangkan di ruangan kontrol 22,7 hari.

3.4Prosedur Bladder Training

Prosedur kerja dalam melakukan bladder training menurut Suharyanto (2008) yaitu:

1) Melakukan cuci tangan 2) Mengucapkan salam

3) Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien

4) Menciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai ruangan.

5) Mengatur posisi pasien yang nyaman. 6) Memakai sarung tangan.

7) Melakukan pengukuran volume urin pada kantong urin dan kosongkan kantong urin.

8) Klem atau ikat selang kateter sesuai dengan program (selama 1-2 jam) yang memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi, supaya meningkatkan volume urin residual.

9) Anjurkan pasien untuk minum (200-250 cc)

10)Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam. 11)Buka klem atau ikatan dan biarkan urin mengalir keluar.


(25)

13)Mengukur volume urin dan perhatikan warna dan bau urin 14)Lepaskan sarung tangan dan merapikan semua peralatan.


(26)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian yang akan dilakukan pada penelitian ini menggambarkan pengaruh bladder training terhadap minimalisasi terjadinya inkontinensia urin pada pasien post kateter urin di Rumah sakit Haji Adam Malik Medan. Bladder training dalam penelitian ini menjadi variabel bebas sedangkan minimalisasi terjadinya inkontinensia urin menjadi variabel terikat. Secara skematis kerangka penelitian tersebut digambarkan sebagai berikut:

Skema 3.1 Kerangka penelitian pengaruh bladder training terhadap minimalisasi terjadinya inkontinensia urin pada klien post kateter di rumah sakit Haji Adam Malik Medan

Kelompok intervensi

pasien inkontinensia

dengan Bladder training inkontinensia kateter urin tidak inkontinensi

Kelompok Kontrol Pasien

dengan Tidak dilakukan inkontinensia inkontinensia kateter Bladder training urin tidak inkontinensia


(27)

2. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Table 3.1 Defenisi operasional variabel penelitian N

o

Variabel Defenisi operasional

Alat ukur Hasil ukur Skala

1. 2. Bladder training Inkontinensia urin

tindakan yang dilakukan untuk mencegah inkontinensia

urin dengan cara menjepit kateter urin dengan klem selama 1-2 jam Keadaan tidak dapat

mengontrol keluarnya urin secara sadar.

Format latihan bladder training Kuesioner inkontinensia urin 0=tidak dilakukan bladder training 1=dilakukan bladder training 0=inkontinensia dengan kriteria nilai 10-15 1=tidak inkontinensia dengan kriteria nilai 16-20 nomin al Nomi nal


(28)

3. Hipotesa

Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesa alternatif (Ha), yaitu ada pengaruh bladder training dalam minimalisasi inkontinensia urin pada pasien paska kateterisasi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.


(29)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimen. Penelitian diawali dengan membagi responden menjadi dua kelonpok. Satu kelompok (kelompok intervensi) diberi latihan bladder training dan kelompok yang lain (kelompok kontrol) tidak dilakukan latihan bladder training. Setelah pemberian intervensi akan dilakukan kembali pengukuran inkontinensia urin, selanjutnya hasil pengukuran kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Desain penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh bladder training terhadap minimalisasi terjadinya inkontinensia urin paska kateterisasi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

2. Populasi dan Sampel Penelitian 2.1Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah klien yang sedang di rawat di rumah sakit haji Adam Malik Medan yang sedang dipasang kateter.

2.2 Sampel penelitian

Penentuan jumlah sampel menggunakan tabel power analysis karena populasi tidak diketahui. Dalam penelitian ini ditetapkan level of significance (α) sebesar 0,05, dengan effect size (γ) sebesar 0,80 sehingga didapat besar sampel pada masing-masing kelompok penelitian ini yaitu 15 (Polit & Hungler, 1995).


(30)

Tehnik pengambilan sampel pada penelitian adalah dengan menggunakan non probability sampling dengan metode purposive sampling, yaitu suatu tehnik penetapan sampel dengan yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karateristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2003). Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah:

a) Pasien berumur 18-70 tahun b) Pasien sedang dipasang kateter c) Bersedia menjadi responden

d) Pasien dapat berkomunikasi dengan baik e) Pasien yang diarawat di RA dan RB

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat yang menjadi lokasi penelitian adalah Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dengan alasan rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit untuk pendidikan, dan merupakan rumah sakit rujukan dengan jumlah pasien yang besar sehingga yang dapat mendukung penelitian. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2009.

4. Pertimbangan Etik

Sebelum dilakukan penelitian, diajukan surat permohonan izin penelitian kepada instansi dari PSIK FK USU dan Rumah Sakit Adam Malik Medan. Surat persetujuan juga diberikan kepada responden penelitian.

Responden yang menjadi sampel diberitahukan tentang tujuan penelitian, manfaat dan kemungkinan resiko bila berpartisipasi dalam penelitian. Dan untuk


(31)

menjaga kerahasiaan responden maka pada lembar kuesioner tidak dicantumkan nama responden.

Data yang diperoleh akan digunakan semata-mata demi perkembangan ilmu pengetahuan dan tidak akan dipublikasikan ke pihak lain. Selanjutnya setelah penelitian dilakukan, peneliti akan menyerahkan satu eksemplar hasil penelitian yang telah dilakukan pada instansi tempat penelitian dilakukan.

5. Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data berupa kuesioner data demografi, format latihan bladder training dan kuesioner inkontinensia urin. Kuesioner data demografi memuat data mengenai diri pribadi responden, antara lain jenis kelamin, umur, penyakit yang diderita oleh responden. Instrumen inkontinensia urin disusun dimodifikasi dari instrumen dari Long Island Center for Inkontinence and Voiding Dysfunction. Kuesioner inkontinensia urin terdiri dari sepuluh pertanyaan dengan pilihan jawaban ya dan tidak (dichotomy). Untuk jawaban Tidak diberi nilai 1 dan untuk jawaban Ya diberi nilai 2. Sehingga didapat nilai tertinggi 20 dan nilai terendah 10. Semakin tinggi skor yang didapat semakin menunjukkan kecenderungan terhadap terjadinya inkontinensia urin. Berdasarkan rumus Sudjana (1992):

Panjang kelas (P)= rentang kelas =10 =5 banyak kelas 2

Maka berdasarkan perhitungan maka 10-15 tidak inkontinensia, dan 16-20 terjadi inkontinensia.


(32)

Format bladder training berisikan tahapan-tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan bladder training pada pasien yang dipasang kateter urin dengan menggunakan prosedur bladder training dari Suharyanto (2008).

6. Validitas Instrumen

Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang relatif sama bila digunakan beberapa kali pada kelompok subjek yang sama (Azwar, 2003). Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Uji validitas ini merujuk pada sejauh mana sebuah instrumen penelitian memuat rumusan-rumusan sesuai dengan isi yang dikehendaki menurut tujuan tertentu (Setiadi, 2007).

7. Pengumpulan Data

Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti menjalankan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengajukan surat permohonan izin untuk melakukan penelitian kepada institusi pendidikan yakni program studi ilmu keperawatan.

2. Mengirim surat izin penelitian yang diperoleh ke tempat dimana akan dilakukan penelitian.

3. Setelah mendapat izin dari rumah sakit yang bersangkutan, peneliti melakukan pengambilan data.

4. Peneliti meminta kesediaan calon responden untuk mengikuti penelitian secara sukarela. Kerahasiaan informasi mengenai responden dijaga oleh


(33)

peneliti. Selama kegiatan penelitian nama responden tidak dicantumkan dan sebagai gantinya peneliti menggunakan nomor responden.

5. Sebelum meminta calon responden mengisi kuesioner penelitian, peneliti menjelaskan terlebih dahulu manfaat penelitian dan cara pengisian kuesioner dan meminta responden yang bersedia untuk menandatangani informed concert.

6. Setelah mendapat persetujuan, pengumpulan data dimulai. Peneliti menjelaskan tujuan manfaat, prosedur pengumpulan data pada calon responden. Pasien yang sesuai kriteria dan bersedia menjadi responden diberikan inform consent. Kuesioner data demografi diisi oleh peneliti dengan melakukan wawancara pada responden atau keluarganya. Kemudian peneliti membagi responden menjadi dua kelompok. Selanjutnya kelompok intervensi diberikan bladder training sedangkan satu kelompok lagi tidak diberi bladder training. Bladder training dilakukan dengan mengklem kateter selama 1-2 jam. Peneliti melakukan bladder training 4 kali sehari selama 6 hari. Kemudian dilakukan evaluasi inkontinensia urin setelah intervensi dilakukan.

8. Analisa Data

Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, peneliti melakukan pengolahan data atau analisa data dengan mengecek kelengkapan data dan memastikan semua data telah diisi sesuai dengan petunjuk. Kemudian dilakukan coding yaitu mengubah data dalam bentuk huruf menjadi angka untuk mempermudah pada saat melakukan analisa data.


(34)

Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan tehnik komputerisasi. Hasil pengolahan data demografi berupa umur, jenis kelamin, dan penyakit yang diderita disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Metode statistik untuk analisa data yang digunakan untuk melihat pengaruh bladder training terhadap minimalisasi terjadinya inkontinensia urin adalah: uji chi squre . Uji chi square digunakan untuk membandingkan inkontinensia yang terjadi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputerisasi.

Menurut Hastono (2001), dari kedua uji tersebut diperoleh nilai p, yaitu nilai yang menyatakan besarnya peluang hasil penelitian. Peluang hasil penelitian selanjutnya akan dianalisa dengan membandingkannya dengan nilai alpha (α=0,05). Maka kesimpulanya hasil diiterpretasikan dengan membandingkan nilai p dengan nilai α. Bila nilai p < α maka keputusannya adalah Ha gagal ditolak.


(35)

BAB 5 PEMBAHASAN

1.Hasil Penelitian

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai pengaruh bladder training terhadap minimalisasi inkontinensia urin paska kateterisasi. Pengumpulan data dilakukan dari tanggal 27 Juli sampai dengan 27 Agustus 2008 dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Responden dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok intervensi yang dilakukan latihan bladder training dan kelompok kontrol yang tidak dilakukan bladder training.

1.1Deskripsi Karateristik Responden

Hasil data karateristik responden pada tabel 5.1 menunjukkan dari 15 orang kelompok intervensi sebanyak 6 orang (40%) berada pada umur 40-60 tahun. Responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 9 orang (60%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (40%). Responden menderita penyakit stroke sebanyak 10 orang (66,7%).

Sedangkan hasil penelitian pada kelompok kontrol menunjukkan 7 orang (46,7%) berada pada umur 18-40 tahun. Responden dengan jenis kelamin perempuan 8 orang (53,3%) dan responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 7 orang (46,7%). Responden menderita penyakit stroke sebanyak 9 orang (60%).


(36)

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi kelompok intervensi dan kontrol berdasarkan data demografi di RSUP Haji Adam Malik Medan bulan Juli-Agustus 2009 (N=30)

Intervensi Kontrol

Karateristik frekuensi (%) frekuensi (%)

Umur

18-40 tahun 5 33,3 5 33,3 41-60 tahun 6 40,0 7 46,7 >60 tahun 4 26,7 3 20,0

Jenis Kelamin

Laki-laki 9 60 7 46,7 Perempuan 6 40 8 53,3

Penyakit

Stroke 10 66,7 9 60,0 Gagal ginjal 4 26,7 4 26,7 Ca servik 1 6,7 2 13,3

1.2Inkontinensia Urin Kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Tabel 5.2 menunjukkan dari 15 orang responden kelompok intervensi sebanyak 3 orang mengalami inkontinensia dan 12 orang tidak mengalami inkontinensia. Sedangkan pada kelompok kontrol dari 15 orang responden 13 orang mengalami inkontinensia dan 2 orang tidak mengalami inkontinensia.


(37)

Tabel 5.2 Inkontinensia Urin Kelompok Intervensi Dan Kontrol di RSUP Haji Adam Malik Medan bulan Juli-Agustus 2009 (N=30)

Intervensi Kontrol Frekuensi % Frekuensi % Inkontinensia 3 20 13 86,7 Tidak inkontinensia 12 80 2 13,3

1.3Pengaruh Bladder Training terhadap Minimalisasi Inkontinensia

Tabel 5.3 Analisa Perbedaan terjadinya inkontinensia pada kedua kelompok setelah dilakukan bladder training di RSUP Haji Adam Malik Medan bulan Juli-Agustus 2009 (N=30)

Kelompok

Hasil Total

OR 95 %

p value Inkontinensia Tidak

inkontinensia N %

N % N %

Intervensi 3 20 12 80 15 100 0,038

(0,005-0,271)

0,00

Kontrol 13 86,7 2 13,3 15 100

Jumlah 16 53,3 14 46,7 30 100

Dari tabel 5.3 dapat dianalisa bahwa ada sebanyak 3 orang (20%) kelompok intervensi mengalami inkontinensia, sedangkan kelompok kontrol yang mengalamai inkontinensia 13 orang (86,7%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,00 maka disimpulkan terdapat pengaruh bladder training terhadap minimalisasi inkontinensia urin. Dari hasil analisa diperoleh pula nilai OR= 0,038


(38)

artinya kelompok kontrol mempunyai peluang 0,038 untuk mengalami inkontinensia dibandingkan dengan kelompok intervensi.

2. Pembahasan

2.1 Karateristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 15 orang kelompok intervensi sebanyak 5 orang (33,3%) berada pada umur 18-40 tahun, 40-60 tahun sebanyak 6 orang (40,0%) dan sebanyak 4 orang (26,7%) berada pada umur >60 tahun, sedangkan hasil penelitian pada kelompok kontrol menunjukkan 5 orang (33,3%) berada pada umur 18-40 tahun, 7 orang (46,7%) berumur 40-60 tahun dan sebanyak 3 orang berumur >60 tahun . Menurut Smeltzer (2001) inkontinensia dapat mengenai individu dari segala usia meskipun sering dijumpain pada lansia. Inkontinensia bukan konsekuensi normal dari proses penuaa, namun perubahan traktus urinarius yang berkaitan dengan usia merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia. Hasil penelitian di Amerika juga menjelaskan bahwa dua puluh lima persen wanita antara usia 30-59 tahun mengalami inkontinensia urin, sementara pada individu berusia 60 tahun atau lebih sebesar 15%-30% menderita inkontinensia urin (Vitriana, 2002). Penelitian tahun 1995 terhadap kelompok usia 60-an atau lebih menunjukkan, 18 persen pria dan 38 persen wanita tidak dapat mengendalikan kebocoran urinnya. Hal ini menunjukkan, prevalensi inkontinensia urin semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usia (PDPERSI, 2001).

Responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 9 orang (60%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang sedangkan pada kelompok kontrol


(39)

responden dengan jenis kelamin perempuan 8 orang (53,3%) dan responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 7 orang (46,7%). Menurut Smeltzer (2001) inkontinensia urin merupakan kondisi yang sering dijumpain pada wanita. Usia, jenis kelamin serta jumlah persalinan per vaginam pada wanita yang pernah dialami sebelumnya merupakan faktor risiko yang sudah dipastikan secara parsial menyebabkan peningkatan insiden inkontinensia pada wanita. Marcell (2003) menambahkan bahwa wanita dua kali lebih sering menderita inkontinensia dibandingkan dengan laki-laki. Robert (2006) berpendapat bahwa kejadian inkontinensia bertambah dengan peningkatan usia namun inkotinensia dapat ditemukan pada wanita muda dan usia dewasa madia. Sebanyak 20-50% wanita dewasa madia menderita inkontinensia. Menurut Budi (2001) ada beberapa faktor risiko inkontinensia urin, salah satunya yaitu jenis kelamin. Inkontinensia urin biasanya terjadi dua sampai tiga kali lebih sering pada wanita dibandingkan pria. Perbedaan jenis kelamin ini nyata terlihat diantara orang dewasa di bawah usia enam puluh.

Inkontinensia urin umum terjadi pada pasien stroke sehingga pasien kurang dapat mengontrol kandung kemih. Hal ini disebabkan bagian otak yang mengontrol bagian perkemihan mengalami gangguan. Pada pasien paska stroke juga dapat mengalami atonik kandung kemih dengan kerusakan sensasi dalam respon terhadap pengisian kandung kemih, bahkan dapat terjadi kehilangan kontrol spingter urinarius eksternal (Aini, 2007).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urine paska serangan stroke cukup tinggi. Pada hari pertama perawatan, angka kejadiannya antara 32-79% dan menjadi 25-28% pada saat pasien keluar dari rumah sakit,


(40)

sedangkan 1 bulan setelah serangan menjadi 12-19%. Hasil penelitian yang Mehool (2001) di south london stroke register (SLSR) pada tahun 1995 didapatkan angka sekuele inkontinensia urine pada pasien stroke berkisar antara 40% pada 7-10 hari pertama, 19% pada 3 bulan pertama 15 % pada tahun pertama dan 10% pada tahun kedua. Faktor penyebab inkontinensia urine pada pasien stroke terbanyak disebabkan oleh terputusnya jalur neuromicturition yang berakibat kandung kemih mengalami peningkatan refleks (bladde hyperreflexia (Harianto 2006).

2.2 Pengaruh Bladder training terhadap Minimalisasi Inkontinensia Urin Hasil penelitian menunjukkan dari 15 orang responden kelompok intervensi sebanyak 3 orang mengalami inkontinensia dan 12 orang tidak mengalami inkontinensia. Sedangkan pada kelompok kontrol dari 15 orang responden 13 orang mengalami inkontinensia dan 2 orang tidak mengalami inkontinensia. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,00 (p<0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan bladder training bermanfaat dalam menangani inkontinensia urin pada pasien yang dipasang kateter. Hasil ini didukung oleh penelitian Fantl (1991) diperoleh sebanyak 50 % dari sampel percobaan menjadi mampu mengontrol kencing, dan 12 % menjadi total kontinen. Penelitian ini sesuai dengan pernyataan bahwa bladder training bermanfaat dalam menangani masalah inkontinensia urin (Wallace, 2004). Menurut Smeltzer (2001) bladder training pada pasien yang sedang terpasang kateter membantu pasien mengkontraksikan otot kandung kemih. Tindakan bladder training dengan mengklem kateter memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot detrusor


(41)

berkontraksi. Sedangkan pada saat klem dilepaskan otot kandung kemih untuk mengosongkan isinya. Sehingga otot detrusor dapat berkontraksi seperti normal dan pasien dapat mengeliminasi urinnya setelah keteter dilepaskan. Hasil penelitian ini didukung penelitian yang dilakukan Hariyati (2000) menggunakan uji t test diperoleh nilai p=0,012. Hal ini menunjukkan ada perbedaan bermakna terhadap pemulihan inkontinensia urin pada pasien yang bladder trainingnya terprogram dengan baik dan yang tidak terprogram dengan baik.


(42)

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab ini menguraikan hasil penelitian dalam bentuk kesimpulan dan rekomendasi atau saran.

1. Kesimpulan Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan dari 15 orang responden kelompok intervensi sebanyak 3 orang mengalami inkontinensia dan 12 orang tidak mengalami inkontinensia. Sedangkan pada kelompok kontrol dari 15 orang responden 13 orang mengalami inkontinensia dan 2 orang tidak mengalami inkontinensia. Penelitian ini menggunakan uji chi square yang menggambarkan inkontinensia pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi dan diperoleh p=0,00 (p<0,05). Responden yang termasuk dalam kelompok intervensi tidak mengalami inkontinensia setelah dilakukan bladder training. Sehingga dapat dikatakan bahwa bladder training memberikan pengaruh terhadap minimalisasi inkontinensia.

2. Rekomendasi

2.1Rekomendasi untuk Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perawat untuk melakukan bladder training pada pasien yang sedang dipasang kateter untuk meminimalkan inkontinensia urin setelah pemakaian kateter.


(43)

2.2Rekomendasi untuk Pedidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam pendidikan keperawatan untuk melakukan bladder training pada pasien yang sedang dipasang kateter untuk meminimalkan inkontinensia.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Tehnik prosedural keperawatan: Konsep dan applikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta: Salemba Medika.

Aini, F. (2007). Asuhan keperawatana pada ny. S.k dengan Stroke hemoragik di RSCM Jakarta. Diakses dari http:www.digilib.ui.ac.id pada tanggal 29 Agustus 2009

Azwar, S. (2003). Reabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Budi. (2001). Faktor risiko inkotinensia urin diakses dari

pada tanggal 28 Agustus 2009

Craven, D. D dan Zweig S. (2000). Urinary catheter management. Diakses dari

Coppolaa, L. et all. (2002). Urinary incontinence in the elderly: relation to cognitive and motor function. Diakses dari

pada tanggal 10 September 2009

Fantl, J. F. (1991). Efficacy of bladder training in older women with urinary incontinence. Diakses dari

tanggal 5 Maret 2009.

Glen, J. (2003). Restorative nursing bladder training program: recommending a strategy. Diakses dari http:www.proquest.umi.com/pqdwb pada tanggal 21 Maret 2009.


(45)

Harianto, U. K. (2006). Perbandingan efektivitas tolterodine dengan Amitriptilin pada pasien stroke akut dengan inkontinensia Urin. Diakses dari

Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari tanggal 25 Februari 2009

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Hoeman, S. P. (2002). Rehabilitation nursing. 3rd edition. St Louis. Philadelpia: Mosby

Japardi. (2000). Manifestasi neurologis gangguan miksi. Diakses dari tanggal 18 Februari 2009

Karon, S. (2005). A team approach to bladder retraining: A pilot study. Diakses dari http:www.proquest.umi.com/pqdwb pada tanggal 16 Maret 2009

Long, Barbara C. (1996). Perawatan medikal bedah (Suatu pendekatan proses keperawatan) 3. Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran Bandung.

Lutfie, Syarief Hasan. (2008). Penatalaksanaan rehabilitasi neurogenic bladder. Cermin Dunia kedokteran 165. Volume 35. No. 6

Marcell, D. (2003). Treatment option alleviate female urge incontinence. Diakses dari http:www.proquest.umi.com/pqdwb pada tanggal 16 Maret 2009


(46)

Notoadmodjo, Soekidjo. (2002). Metodologi penelitian kesehatan. Ed. Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis dan instrument penelitian keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Nursalam. (2006). Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

PDPERSI. (2001). Inkontinensia urin, lebih sering diidap wanita. Diakses dari

tanggal 4 Maret 2009

(2002). Sekitar 5,8 persen penduduk indonesia idap inkontinensia urin.

Diakses dari tanggal 4 Maret 2009

Parker, K. F. (2007). The management of urinary inkontinence. Diakses dari

Polit and Hungler. (1995). Nursing research principles and metods. Sixth Edition. Philadelpia: Lippincott.

Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan praktik. Ed. 4. Jakarta: EGC

Purnomo, B. B. (2008). Dasar dasar urologi. Ed. 2. Jakarta: CV Infomedika

Robert, M. et all. (2006). Conservative management of urinary incontinence. Diakses dari

Rochani. (2002). Penduduk indonesia idap inkontinensia urin. Diakses dari


(47)

Setiadi. (2007). Konsep dan penulisan riset keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Smeltzer, Susan C. (2001). Buku ajar keperawtan medikal bedah Brunner & Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC

Smith, J. M. (2003). Indwelling catheter management: from habit-based to evidence-based practice. Diakses dari

Suryahanto, T. (2008). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan. Jakarta: Trans Info Media.

Tarwoto dan Wartonah. (2004). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan. Ed.1. Jakarta: Salemba Medika

The Joanna Briggs Institute. (2000). Management of short term indwelling urethral catheters to prevent urinary tract infections. Diakses dari

Thomas, E. L. (2007). Male external catheter and internal catheter. Diaksesdari

pada tanggal 21

Maret 2009

Wallace, S.A. (2004). Bladder training for incontinence in adult. Diakses dari


(48)

Lampiran 1

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PESERTA PENELITIAN

Pengaruh Bladder Training Terhadap Minimalisasi Inkontinensia Urin Paska Kateterisasi di RSUP Haji Adam Malik Medan

Oleh

Fransiska A. Sinaga

Saya adalah mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran USU yang sedang melakukan penelitian sebagai salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Program Studi Ilmu Keperawatan USU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bladder training terhadap minimalisasi inkontinensia urin paska kateterisasi di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Untuk keperluan tersebut, saya mohon kesediaan saudara/i untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Saya juga mengharapakan tanggapan dan jawaban yang diberikan sesuai dengan keluhan yang saudara/i rasakan tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Saya juga menjamin kerahasian jawaban dan identitas saudara/i atas informasi yang bapak dan ibu berikan. Partisipasi saudara/i dalam penelitian ini bersifat suka rela. saudara/i bebas untuk ikut atau tidak untuk menjadi peserta dalam penelitian ini tanpa ada sanksi apapun.

Jika saudara/i bersedia, silahkan menandatangani formulir ini. Terima kasih atas partisipasi saaudara/i dalam penelitian ini.

Nama :

No. responden : Tanda tangan :


(49)

Lampiran 2

KUISIONER PENELITIAN

Kode responden

A. KUISIONER DATA DEMOGRAFI

Petunjuk pengisian

Bapak/ibu diharapkan untuk menjawab setiap pertanyaan yang tersedia dengan memberikan tanda cek (V) pada tempat yang tersedia.

1. Umur

18-40 tahun

40-60 tahun

>60 tahun

2. Jenis kelamin Laki-laki

perempuan

3. Penyakit yang diderita

B. KUISIONER INKONTINENSIA URIN

Petunjuk pengisian Bapak/ibu diharapkan :

1. Menjawab setiap pertanyaan yang tersedia dengan memberikan tanda cek (V) pada tempat yang tersedia.

2. Semua pertanyaan harus dijawab


(50)

NO. DAFTAR PERNYATAAN YA TIDAK

1.

2.

3.

4.

5.

6

7.

8.

9.

10.

Urin saya keluar sebelum saya mencapai kamar mandi

Urin saya keluar tanpa saya sadari

Urin saya keluarnya menetes

Saya merasa sulit menahan kencing

Urin saya keluar saat saya terawa, bersin, batuk

Ketika saya berkemih urin keluar dengan terputus-putus.

Saya ingin berkemih padahal baru saja saya berkemih

Saya merasa sakit saat berkemih

Saya merasa puas setelah saya selesai berkemih

Saya merasa penuh pada daerah kandung kemih

Saya merasa penuh pada daerah kandung kemih


(51)

C. FORMAT BLADDER TRAINING

Prosedur kerja dalam melakukan bladder training menurut Suharyanto (2008) yaitu:

1. Melakukan cuci tangan

2. Mengucapkan salam

3. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien

4. Menciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai ruangan.

5. Mengatur posisi pasien yang nyaman. 6. Memakai sarung tangan.

7. Klem atau ikat selang kateter (selama 1-2 jam) yang memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi, supaya meningkatkan volume urin residual.

8. Menganjurkan pasien untuk minum (200-250 cc)

9. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam. 10. Buka klem atau ikatan dan biarkan urin mengalir keluar.

11. Mengulangi langkah no 7 selama 4 kali (4 siklus). 12. Lepaskan sarung tangan dan merapikan semua peralatan.


(52)

Lampiran 4

Tabel Frekuensi Kelompok Intervensi

umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 18-40 5 33.3 33.3 33.3

40-60 6 40.0 40.0 73.3

60-70 4 26.7 26.7 100.0

Total 15 100.0 100.0

sex

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 9 60.0 60.0 60.0

Perempu

an 6 40.0 40.0 100.0

Total 15 100.0 100.0

penyakit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid stroke 10 66.7 66.7 66.7

gagal

ginjal 4 26.7 26.7 93.3

ca servik 1 6.7 6.7 100.0


(53)

Tabel Frekuensi Kelompok Kontrol

umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 18-40 5 33.3 33.3 33.3

40-60 7 46.7 46.7 80.0

60-70 3 20.0 20.0 100.0

Total 15 100.0 100.0

sex

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 7 46.7 46.7 46.7

Perempu

an 8 53.3 53.3 100.0

Total 15 100.0 100.0

penyakit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid stroke 9 60.0 60.0 60.0

gagal

ginjal 4 26.7 26.7 86.7

ca servik 2 13.3 13.3 100.0


(54)

Lampiran 5

Tabel Chi Square

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

perlakuan * hasil 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

perlakuan * hasil Crosstabulation

hasil Total inkontinensia tidak inkontinensia

Perlakuan intervensi Count 3 12 15

Expected

Count 8.0 7.0 15.0

kontrol Count 13 2 15

Expected

Count 8.0 7.0 15.0

Total Count 16 14 30

Expected

Count 16.0 14.0 30.0

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 13.393(b) 1 .000

Continuity

Correction(a) 10.848 1 .001

Likelihood Ratio 14.663 1 .000

Fisher's Exact Test .001 .000

Linear-by-Linear

Association 12.946 1 .000

N of Valid Cases 30

a Computed only for a 2x2 table


(55)

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for perlakuan

(intervensi / kontrol) .038 .005 .271

For cohort hasil =

inkontinensia .231 .082 .647

For cohort hasil = tidak

inkontinensia 6.000 1.611 22.344


(56)

Lampiran 6

CURRICULLLUM VITAE

Nama : Fransiska A. Sinaga

Tempat/Tanggal lahir : Bangun, 12 September 1986

Agama : Katolik

Alamat Rumah : Jl. Harmonika No.38 Padang Bulan, Medan Riwayat Pendidikan : 1. SD RK 7 Pematangsiantar

2. SMP CR 1 Pematangsiantar

3. SMA BUDI MULIA Pematangsiantar 4. Fakultas Keperawatan USU


(1)

yaitu:

1.

Melakukan cuci tangan

2.

Mengucapkan salam

3.

Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien

4.

Menciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai

ruangan.

5.

Mengatur posisi pasien yang nyaman.

6.

Memakai sarung tangan.

7.

Klem atau ikat selang kateter (selama 1-2 jam) yang memungkinkan kandung

kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi, supaya meningkatkan

volume urin residual.

8.

Menganjurkan pasien untuk minum (200-250 cc)

9.

Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam.

10.

Buka klem atau ikatan dan biarkan urin mengalir keluar.

11.

Mengulangi langkah no 7 selama 4 kali (4 siklus).

12.

Lepaskan sarung tangan dan merapikan semua peralatan.


(2)

Lampiran 4

Tabel Frekuensi Kelompok Intervensi

umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 18-40 5 33.3 33.3 33.3

40-60 6 40.0 40.0 73.3

60-70 4 26.7 26.7 100.0

Total 15 100.0 100.0

sex

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 9 60.0 60.0 60.0

Perempu

an 6 40.0 40.0 100.0

Total 15 100.0 100.0

penyakit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid stroke 10 66.7 66.7 66.7

gagal

ginjal 4 26.7 26.7 93.3

ca servik 1 6.7 6.7 100.0


(3)

umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 18-40 5 33.3 33.3 33.3

40-60 7 46.7 46.7 80.0

60-70 3 20.0 20.0 100.0

Total 15 100.0 100.0

sex

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 7 46.7 46.7 46.7

Perempu

an 8 53.3 53.3 100.0

Total 15 100.0 100.0

penyakit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid stroke 9 60.0 60.0 60.0

gagal

ginjal 4 26.7 26.7 86.7

ca servik 2 13.3 13.3 100.0


(4)

Lampiran 5

Tabel Chi Square

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

perlakuan * hasil 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

perlakuan * hasil Crosstabulation

hasil Total inkontinensia tidak inkontinensia

Perlakuan intervensi Count 3 12 15

Expected

Count 8.0 7.0 15.0

kontrol Count 13 2 15

Expected

Count 8.0 7.0 15.0

Total Count 16 14 30

Expected

Count 16.0 14.0 30.0

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 13.393(b) 1 .000

Continuity

Correction(a) 10.848 1 .001

Likelihood Ratio 14.663 1 .000

Fisher's Exact Test .001 .000

Linear-by-Linear

Association 12.946 1 .000

N of Valid Cases 30

a Computed only for a 2x2 table


(5)

Value Lower Upper Odds Ratio for perlakuan

(intervensi / kontrol) .038 .005 .271

For cohort hasil =

inkontinensia .231 .082 .647

For cohort hasil = tidak

inkontinensia 6.000 1.611 22.344


(6)

Lampiran 6

CURRICULLLUM VITAE

Nama

: Fransiska A. Sinaga

Tempat/Tanggal lahir

: Bangun, 12 September 1986

Agama

: Katolik

Alamat Rumah

: Jl. Harmonika No.38 Padang Bulan, Medan

Riwayat Pendidikan

: 1. SD RK 7 Pematangsiantar

2. SMP CR 1 Pematangsiantar

3. SMA BUDI MULIA Pematangsiantar

4. Fakultas Keperawatan USU