pada sat lain dapat memihak ke Blok Timur. Ini menunjukan bahwa Indonesia mempunyai pandangan sendiri dalam menghadapi masalah-masalah internasional.
2.2.3. Politik Luar Negeri Indonesia Peride Demokrasi Terpimpin 1960-1966.
Istilah “demokrasi terpimpin” untuk pertama kalinya dipakai secara resmi dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1956 ketika membuka
Konstituante. Istilah dan pengertian “demokrasi terpimpin” timbul dari keinsafan, kesadaran dan keyakinan akan keburukan-keburukan yang diakibatkan oleh paham
liberalisme. Paham liberalisme yang mendewa-dewakan kebebasan perseorangan seperti dianut dan dilaksanakan di dunia Barat mengakibatkan terpecahnya masyarakat
menjadi dua golongan ekonomi yang kepentingan hidupnya saling bertentangan, yaitu golongan manusia yang dapat menguasai alat-alat produksi sebagai hasil perlombaan
yang bebas dan golongan manusia yang tidak mempunyai kekuasaan atas alat-alat produksi karena terdesak di dalam perlombaan yang bebas itu.
Keadaan demikian tidak cocok dengan perasaan keadilan setiap orang. Berhubung dengan itu bangsa Indonesia menghendaki satu demokrasi yang tidak
didasarkan atas teori liberalisme. Bangsa Indonesia sejak kebangkitannya di zaman penjajahan dan kemudian ditegaskan dalam permulaan revolusinya menghendaki satu
demokrasi yang lain, yaitu satu demokrasi yang membawa masyarakat kepada keadaan yang memenuhi perasaan keadilan semua orang, suatu keadaan yang adil. Bentuk
pelaksanaan dari demokrasi yang demikian itu dinamakan “demokrasi terpimpin”.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :
Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara UUDS 1950
dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-
undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Situasi politik yang kacau dan semakin
buruk. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah
gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme. Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda
pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 751959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.
Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada
kepemimpinan Presiden Sukarno.
Universitas Sumatera Utara
Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai warisan masa Demokrasi ParlementerLiberal menjadi lebih
mantapstabil. Politik luar negeri dimasa demokarasi terpimpin didasarkan pada
Pidato presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedom an revolusi dan
politik luar neger i.
Dimana isi dari pidato tersebut adalah : “ Acara yang sekarang menjadi pokok pembicaraan adalah sangat penting.
Tahun yang lalu Majelis Umum yang ke-XV telah menerima sebuah pernyataan yang bersejarah mengenai kebebbasan bangsa-bangsa dan rakyat-rakyat. Pernyataan ittu
dengan hikmat menyatakan keharusan untuk selekas mengakhiri kolonialisme dalam segala bentuk dan penjelmaannya.
Tidak perlu rasanya saya uraikan dengan panjang lebar dihadapan Majelis ini betapa kolonialisme itu telah mempengaruhi kehidupan umat manusia. Berjuta-juta
perkataan telah diucapkan dalam Majelis yang mulia ini, yang menggambarkan keadaan dari rakyat-rakyat tak terhitung banyaknya yang telah beratus tahun
menanggung siksaan kolonialisme, penjajahan, dan penghisapan asing. Raktyat-rakyat itu telah melalui suatu sejarah yang penuh dengan penindasan, penghinaan, dan
penghisapan. Tetapi mereka juga telah mengalami peperangan dan perjuangan perkasa untuk kemerdekaan.
Memang, kolonialisme senantiasa menjumpai perlawanan. Semakin kuat kolonialisme dipaksakan, semakin kuat pula perlawanan terhadapnya. Perang colonial,
walaupun hanya secara kecil-kecilan dsn terbatas pada suatu daerah, tak dapat dipisahkan dari sejarah kolonialisme. Hanya disebabkan keunggulan dalam tekhnik
Universitas Sumatera Utara
dan alat-alat fisik sajalah maka kekuasaan-kekuasaan colonial dimasa lampau dapat memaksakan pertuanan mereka atas rakyat-rakyat didaerah-daerah yang sangat luas
didunia ini. Daearh-daerah colonial atau taklukan itu didirikan untuk memuaskan kehendak
Negara-kolonial tetentu. Tetapi ketika itu didirikan untuk memuaskan kehendak Negara-negara colonial tertentu. Tetapi ketika perlawanan terhadap pertuanan dan
penghisapan itu mulai tumbuh, ia menjelma dalam bentuk perlawanan nasional dan perjuangan nasional untuk kebebasan dan kemerdekaan. Seluruh rakyat daerah-daerah
yang ditaklukan itu dipersatukan oleh nasib yang sama dan kepentingan bersama untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Nasionalisme inilah, kekuatan
terhimpun inilah, yang paling ditakuti oleh kekuasaan-kekuasaan kolial. Kekuatan terhimpun inilah, didukung pula oleh cita-cita manusia akan kebebasan, martrabat,
kesamaan dan kemjauan, yang telah memenangkan kemerdekaan nasional bagi bayak daerah talukan.
Bagaimanapun juga, perjuangan untuk kemerdekaan nasional sekali-kali tidak mudah. Ia harus mengatasi segalamacam- baik bersifat politik, ekonomi maupun
militer-yang akan menghancurkan gerakan-gerakan nasional untuk kebebasan, yang akan menghancurkan kekuatan nasional yang terhimpun, ia telah dihadapkan kepada
politik kolian ‘devide et impera’ , diperhadapakan subversi atau campur tangan terang- terangan untuk mematahkan tekad dan kesatuan nasional.
Universitas Sumatera Utara
Bahkan setelah kemerdekaan tercapai, setelah perjuangan yang sengit telah dimenangkan, Negara-negara kolial masih mencoba denagn berbagai jalan, termasuk
penanda-tanganan ‘persetujuan-persetujuan’, untuk mempertahankan kepentingan- kepentingan mereka selama mungkin.
Ini memang bukan sesuatu yang sungguh baru. Banyak anggota-anggota majelis ini, terutama mereka yang telah mengalami perjuangan colonial ini, mengenal
cirri-ciri kolonialisme ini. Kebanyakan, termasuk Indonesia sendiri, masih menghadapi perjuangan melewan neo-kolonialisme dinegara mereka sendiri. Oleh karena itu kami
anggap sangat penting bahwa Majelis ini menyelidiki dengan seksama dan bijaksana masalah kolonialisme ini adalah tugas yang berat dan sulit baik diwaktu lampau
maupun diwaktu sekarang ini. Untuk menghapuskan kolnialisme dalam segala bentuk dan penjelmaannya, sebagaimana dikehendaki oleh pernyataan PBB itu.
Pernyataan ini, yang pelaksanaanya sedang kita perbincangkan sekarang merupakan kemenangan moril bagi seluruh kekuatan anti colonial. Akan tetapi,
Negara-negara colonial--sebagai keseluruhan—tidak menyokong pernyataaan ini, walaupun mereka tidak sanggup berterang-terangan menentang tuntutan kemerdekaan
bagi rakyat-rakyat dan bangsa-bangsa yang masih terjajah. Ini berarti bahwa pelaksanaan dari pernyataan ini—dari pernyataan PBB ini—harus dilakukan dengan
segala ichtiar dan moral politik yang ada pada kita. Pelaksanaan ini menghendaki usaha kita yang penuh dan bulat……
…..Tuan Ketua, jika seseorang tidak mengetahui perjuangan melawan kolonilisme , jika seseorang tidak pernah mendengar tentang perjuangan kemerdekaan
Universitas Sumatera Utara
mati-matian yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap si-penjajah. Pertama—dan saya ingin menekankan ini—kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil
suatu hadiah natal yang dianugerhkan kepada kita oleh Belanda. Kami mencapai kemerdekaan kami dalam suatu peperangan yang hebat dan kejam. Lebih dari setengah
juta bangsa kami telah jatuh korban dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia itu. Pembunuhan-pembunuhan hampir-hampir merupakan kejadian sehari-hari…..
…..Tuan Ketua, politik konfrontasi total kami ini oleh Pemerintah Belanda di cap sebagai politik paksaan. Tapi bila ditinjau dari latar belakang sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia, saya harapmenjadi jelas bagi Majelis Umum yang mulia ini, siapa yang sebenarnya yang telah menggunakan paksaan dan penindasan, yang
dimungkinkan oleh karena kekuatan militer yang lebih unggul dari tahun 1945-1949 dalam menduduki Irian Barat dengan kekuatan senjata? Siapa yang menggunakan
siasat paksaan, penindasan dan intimidasi dalam mengiriumkan kapal induk Karel Doorman ke-perairan Indonesia? Apa perlu saya teruskan?
Kami telah lebih dari cukup membuktikan maksud damai kami dari tahun 1954-1957, ketik kami dating di PBB untuk meminta bantuan. Tetapi resolusi-resolusi
kami meskipun disokong oleh sebagian yang terbesar, tidak dapat mencapai 23 mayoritas suara yang diperlukan dengan begitu kamu dibiarkan sendiri menghadapi
paksaan dan subversi kekuatan colonial. Apa yang harus kami perbuat? Tahluk saja kepada kewenangan Politik Luar Negeri Belanda? Kami tidak mau melakukan itu.
Sembilan puluh juta rakyat Indonesia mempunyai kebanggaan nasional dan perasaan akan harga dirinya. Mereka telahmemproklamirkan kemerdekaanya pada
Universitas Sumatera Utara
tanggal 17 Agustus 1945, yang telah mereka pertahankan dalam suatu perjuangan mati-matian. Jika perang anti-kolonial itu dihentikan pada akhir tahun 1949, ini
hanyalah karena kepercayaan dan harapan kami pada waktu itu bahwa masalah dengan Belanda selanjutuya dapat diselesaikan dalam suasana kerjasama dan dengan jalan
damai. Kami telah senantiasa berharap bahwa Belanda akan menerima pelepasan sisa daerah jajahan diwilayah Indonesia sebagai suatu kemajuan dalam hubungan umat
manusia , dan tidak sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan nasional mereka. Dan sekali-kali kami tidak menduga semula bahwa masalah Irian Barat ini,
bagian dari wilayah Indonesia yang baru sedikit sekali dijelajah dan diusahakan, yang didiamin hanya oleh 700.000 orang—akan menimbulkan suatu masalah yang demikian
gawatnya, sehingga Indonesia akan menghadapi kemungkinan terpaksa mengangkat senjata lagi untuk menyempurnakan kemerdekaan kami….
… seperti telah saya terangkan pada permulaann, sengkerta ini bukan tentang persaolan apakah Indonesia akan menjadi merdeka atau tidak. ‘Semua pihak setuju
bahwa apa yang dahulu dinamakan Hindia Belanda harus menjadi satu Negara merdeka secepat mungkin’.
Ini memang menjadi dasar yang telah disetujui untuk mengakhiri perang kolomial dan pengakuan lahirnya suatu Bnagsa yang baru: Indonesia yang mencakup
seluruh daerah yang dulu disebut Hindia Belanda… ……Irian Barat, sebagai bagian dari Hindia Belanda dahulu, tentu saja adalah
wilayah Indonesia. Menamakan hak kami atas Irian Barat sebagai suatu kalim territorial memang merupakan suatu pemutar balikan fakta dan sejarah yang disengaja,
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan untuk mengeruhkan persolannya dan membenarkan pendudukan colonial yang tidak dapat dibenarkan atas wilayah Indonesia oleh Belanda…
…Bangsa Indonesia sudah jemu akan peperangan. Bangsa Indonesia masih menderita akibat-akibat dari perang colonial. Tidak adalah yang lebih kami cintai dari
pada hidup dan bekerja dalam suasana damai. Tapi jika dipaksakan kepada kami, jika kami tidak diberi kemungkinan lain daripada melanjutkan perang colonial untuk
menyemprnakan kemerdekaan kami, maka kami tidak akan mundur dari pertanggung jawaban tersebut.”
85
Sebagai seorang yang tidak menyukai imperialisme, Soekarno senantiasa mempermasalahkan kehadiran Belanda di Irian Barat. Kekuatan diplomasi seperti yang
dilakukan pada masa revolusi nasional, ternyata tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dalam menyelesaikan konflik dengan Belanda. Sehingga Soekarno
mengambil jalan melakukan strategi kekuatan bersenjata, seperti aksi massa, penerjunan sukarelawan dan penerjunan darurat di Irian Barat dengan bantuan senjata
dari Uni Soviet karena Amerika Serikat menolak untuk menjual senjata yang diperlukan. Ternyata apa yang dilakukan Soekarno itu berhasil. Amerika Serikat
melepaskan netralisasi pro Belanda, sebab khawatir terhadap kemungkinan konflik bersenjata yang ditimbulkannya. Pada tahun 1962, Amerika Serikat menekan Belanda
untuk menyelesaikan sengketa itu dengan syarat-syarat yang menguntungkan Indonesia. Sukses ini kemudian lebih banyak dilihat sebagai sukses strategi konfrontasi
Soekarno, dan bukan karena bantuan Amerika Serikat atau Uni Soviet.
85
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi jilid I, hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
Setelah hampir sampai konflik dengan Belanda, Soekarno melihat pembentukan Malaya sebagai suatu tindakan terhadap pengepungan terhadap
Indonesia. Dalam kerangka pandangan dunianya, posisi Indonesia sebagai NEFO akan
terjepit di antara musuh-musuh OLDEFO yang melindunginya, jika dilihat bahwa disebelah utara terdapat bekas jajahan Inggris yakni Malaya sampai Kalimantan Utara
dan di selatan ada Australia dan Selandia Baru. Sikap permusuhan Soekarno terhadap negara tetangga oleh sejumlah orang dianggap sebagai tujuan-tujuan ekspansionisme
Soekarno atau dia memang memerlukan suatu masalah gawat di luar untuk kepentingannya. Tetapi yang jelas, dalam usahanya menghadapi Malaya, Soekarno
mengulangi formula yang sukses, ketika berhadapan dengan Belanda pada masa revolusi nasional dan perebutan Irian Barat.
Yang dimaksudkan oleh Soekarno sebagai New Emerging Forces adalah kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit dan Old Establiseh Forces sebagai
kekuatan yang lama yang mapan
86
. Yang pertama dilukiskan sebagai terdiri dari bangsa-bangsa Asia Afrika, Amerika Latin, negara-negara sosialis dan kelompok-
kelompok progresif di negara-negara kapitalis. Dengan mengedepankan suatu pandangan revisionis mengenai masyarakat internasional, Soekarno melukiskan
Indonesia sebagai anggota kelompok kekuatan yang progresif dinamis yang militan dan ditugasi oleh sejarah untuk melawan dan menghancurkan kekuatan penindasan dan
86
Ibid, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
eksploitasi yang reaksioner
87
. Kesemuanya itu menyebabkan ia menuntut peranan yang penting dalam konstelasi internasional dan berusaha menyokong tuntutan ini melalui
kunjungan kenegaraan dan berbagai peristiwa internasional lainnya. Kecaman-kecamannya terhadap imperialisme pada umumnya merupakan pandangan
yang telah dia kemukakan sebelum Perang Pasifik berlangsung, dengan mengambil sebagian dari pandangan Karl Marx dan Lenin.
Selain itu Soekarno dalam menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah rencana neo-kolonial untuk
mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. lebih lanjut Ia menganggap bahwa pembentukan Federasi Malaysia, akan memperluas pengaruh
imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia.
Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetab Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno
mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru CONEFO sebagai
tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan
Malaysia yang dibantu oleh Inggris. Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan
terhadap belahan barat pulau Nugini Irian, dan mengizinkan langkah-langkah menuju
87
Ibid, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia
gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada
1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada
Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1Mei1963.
Selama kunjungannya ke Uni Soviet, Soekarno selalu berbicara tentang pengutukan terhadap kolonialisme Belanda dan penghormatan kepada Uni Soviet yang
tidak menyimpang dalam menjalankan tugasnya menciptakan perdamaian dunia melalui semangat koeksistensi yang penuh dengan kedamaian. Di sana pula Soekarno
membuat pernyataan bersama Indonesia-Uni Soviet, yang mana move politik Soekarno itu ternyata mendapat tanggapan dari kalangan politisi di Ibu kota, yang dianggap
bahwa pernyataan bersama itu menyimpang dari wewenang dan ketentuan Parlemen. Dan Ali Sastroanidojo sendiri sebagai Perdana Menteri pada saat itu, merasa
dilangkahi wewenangnya. Soekarno telah bertindak bukan sebagai presiden konstitusional lagi. Bisa jadi kebijakan yang diambil Soekarno itu, memperlihatkan
bahwa Indonesia telah bergeser ke kiri. Tahun-tahun terakhir sebelum kejatuhan Soekarno, Indonesia mengambil
kebijakan berdikari dalam ekonomi dan menolak setiap ketergantungan kepada imperialisme. Berdikari dalam bidang ekonomi dianggap sebagai prasyarat untuk
kemerdekaan yang sejati dalam bidang politik maupun kebudayaan. Untuk itulah tidak
Universitas Sumatera Utara
usah heran, kalau dalam suatu kesempatan Soekarno pernah mengeluarkan kata-kata yang cukup terkenal, “Go to hell with your aid”, ketika Amerika Serikat hendak
memberi bantuan, tetapi dengan mengajukan persyaratan yang dianggap Soekarno hendak mencoba mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Indonesia. Bagi
Soekarno, politik luar negeri yang bebas dan aktif harus diberi arti bahwa Indonesia mengambil peranan sebagai sebagai pemimpin untuk membawa semua kekuatan
progresif di dunia ke dalam suatu front internasional untuk kemerdekaan dan perdamaian dunia buat melawan imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk baru.
88
88
Giebels, Op. cit, 2001,hal. 282
Universitas Sumatera Utara
BAB III KONSEP DAN PELAKSANAAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA