Politik Luar Negeri Indonesia Periode Demokrasi Liberal 1950-1959

- Pada periode ini, politik luar negeri yang bebas-aktif mendapatkan suatu ujian dengan terjadinya pemberontakan PKI di Madiun 1948.

2.2.2 Politik Luar Negeri Indonesia Periode Demokrasi Liberal 1950-1959

Awal tahun 1950-an, Indonesia memperlihatkan diri seperti apa yang menjadi pidato Moh. Hatta, sebagai suatu negara yang tidak memihak kepada salah satu blok yang terlibat dalam perang dingin. Walaupun Indonesia bersikap netral, bukan berarti Indonesia bekerja secara aktif untuk perdamaian dunia dan peredaan ketegangan internasional. Meskipun Indonesia sering dianggap ekslusif condong ke Barat, tetapi Indonesia menolak menyokong Amerika dalam Perang Korea. Tanggapan Indonesia itu bisa ditafsirkan sebagai adanya perasaan takut akan dominasi asing yang baru, yang diakibatkan adanya perasaan baru bebas dari kolonialisme yang bercampur-baur dengan dampak pertentangan perang dingin yang terjadi pada saat itu. Kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif pada tahun 1952 menghadapi ujian, ketika diketahui bahwa Menlu Subardjo mengadakan perjanjian bantuan militer dan ekonomi dari Amerika Serikat yang diwakili oleh Duta Besar Amerika, Merle Cochran. Akibatnya, Indonesia harus mentaati ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Keamanan Bersama Mutual Security Act, yang berarti pula penyimpangan terhadap prinsip-prinsip politik luar negeri yang bebas aktif. Suatu protes keras terjadi dan mengakibatkan jatuhnya Kabinet Sukiman. Universitas Sumatera Utara Di sini dapat diartikan bahwa politik luar negeri yang bebas dan aktif adalah Indonesia harus menghindarkan diri dari perjanjian internasional yang memungkinkan Indonesia terikat kepada salah satu blok. Bahkan secara tegas, Moh. Hatta dalam tulisannya di majalah politik, Foreign Affairs, pada tahun 1953, menolak pandangan yang mengatakan bahwa tidak adanya suatu posisi tengah dalam perang dingin. Selanjutnya Moh. Hatta menegaskan bahwa situasi geopolitik Indonesia yang tidak mengandung “keharusan untuk membuat pilihan di antara dua blok besar”. Kebijakan Indonesia yang memilih jalan tengah dalam masalah luar negeri, dianggap oleh Justus M. Van der Kroef, sebagai suatu kondisi yang diperlukan bagi pembangunan dalam negeri. Keterlibatan luar negeri dan mengikat diri secara tetap terhadap negara-negara besar, dianggap mengganggu keseimbangan kehidupan poltik dalam negeri yang tak menentu dan akan pula menghambat pembangunan Indonesia sebagai suatu bangsa yang bebas. Ketika Ali Sastroamidojo, tokoh PNI menjabat sebagai Perdana Menteri. ia menafsirkan politik luar negeri yang bebas dan aktif itu bukan berarti menghindari dari fakta tetapi juga menjalin hubungan yang berimbang di antara kedua blok. Indonesia menjalin hubungan dengan negara-negara sosialis, seperti dengan RRC pada bulan Desember 1953 dan setahun kemudian ia membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet dan beberapa negara sosialis lainnya. Lewat strategi ini, Ali Sastroamidjojo ini menunjukkan kepada dunia bahwa politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif itu, memang benar-benar bebas. Puncak daripadanya adalah dengan diadakan Konferensi Asia Afrika pada bulan April 1955 di Kota Kembang, Bandung. Di sanalah Indonesia memperlihatkan diri kepada dunia, sebagai negara Universitas Sumatera Utara bekas jajahan yang mampu menyelenggarakan suatu pertemuan internasional yang bertujuan untuk menyatakan sesuatu dalam pengaturan menyeluruh masyarakat dunia internasional. Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme,” kata Bung Karno, “telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad.” Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. “Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” 84 pekik Soekarno di depan para pendengarnya. Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan. 84 Geoge MC. Kahim, Nationalism and Revolutioan in Indonesia, Cornell University Press Ithasa, 1952, hal. 24 Universitas Sumatera Utara Dalam masa ini yang patut dicatat adalah : - Awal dari perjuangan Indonesia untuk mencapai kepentingan nasional, yaitu keutuhan wilayah dalam mempertahankan wilayah Irian Barat. - Bangsa Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada tanggal 18 April 1955 di Bandung. Ini merupakan yang pertama kali Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia-Afrika berkumpul dan menyatakan tekad bahwa mereka tidak bersedia mengikuti salah satu blok Negara-negara besar dalam menghadapi masalah-masalah dunia. Sistem Demokrasi Liberal ternyata membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi stabilitas politik. Berbagai konflik muncul ke permukaan. Misalnya konflik ideologis, konflik antar kelompok dan daerah, konflik kepentingan antarpartai politik. Hal ini mendorong Presiden Soekarno untuk mengemukakan Konsepsi Presiden pada tanggal 21 Februari 1957.Berikut ini isi Konsepsi Presiden.: a. Penerapan sistem Demokrasi Parlementer secara Barat tidak cocok dengan kepribadian Indonesia, sehingga sistem demokrasi parlementer harus diganti denganDemokrasiTerpimpin .b. Membentuk Kabinet Gotong Royong yang anggotanyasemuapartaipolitik.c. Segera dibentuk Dewan Nasional. Hal lain yang dapat dicatat dalam peride ini adalah penyelenggaraan Politik Luar Negeri Indonesia dapat dilihat dari sikap dan pemberian suara Indonesia di forum PBB, maksudnya adalah pada suatu saat Indonesia dapat memihak ke Blok Barat dan Universitas Sumatera Utara pada sat lain dapat memihak ke Blok Timur. Ini menunjukan bahwa Indonesia mempunyai pandangan sendiri dalam menghadapi masalah-masalah internasional.

2.2.3. Politik Luar Negeri Indonesia Peride Demokrasi Terpimpin 1960-1966.