Problematika yang Dihadapi Pedagang Kaki Lima

Melihat kenyataan bahwa dunia usaha semakin sempit dan kebutuhan akan lapangan pekerjaan yang besar, maka banyak kaum migran tersebut yang memperoleh pekerjaan dalam bidang informal dengan memanfaatkan lokasi-lokasi yang kosong meskipun lokasi tersebut tidak diperuntukkan bagi pedagang informal. Faktor telah habisnya lokasi yang diijinkan, dapat menyebabkan PKL berlokasi di tempat yang tidak diijinkan atau berlokasi di suatu tempat. Selain faktor ketidaktersediaan lokasi, PKL berlokasi di tempat yang tidak diijinkan dikarenakan luasan yang disediakan oleh pemerintah tidak sesuai. Dalam berdagang PKL akan cenderung mengikuti kegiatan utamanya, sehingga faktor jenis barang yang diperdagangkan akan menjadi salah satu penyebab pemilihan lokasi kegiatan bagi PKL.

2.3.4 Problematika yang Dihadapi Pedagang Kaki Lima

Masalah Pedagang Kaki lima PKL tidak kunjung selesai di setiap daerah di Indonesia. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam pelaksanaannya. Keberadaan PKL kerap dianggap ilegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan kerapihan kota atau lebih dikenal dengan istilah 3K. Oleh karena itu PKL seringkali menjadi target utama kebijakan- kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi. Hal ini merupakan masalah yang sangat kompleks karena akan menghadapi dua sisi dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat dan menimbulkan friksi diantara keduanya. Para Pedagang Kaki Lima PKL yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak kendala yang harus di hadapi diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah dengan berbagai aturan seperti adanya Perda yang melarang keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat atau ditujukan untuk kesejahtraan rakyat atau dalam hal ini harus didasarkan pada asas oportunitas. Pedagang kaki lima dapat memicu terjadinya persaingan tidak sehat antara pengusaha yang membayar pajak resmi dengan pelaku ekonomi informal yang tidak membayar p ajak resmi walaupun mereka sering membayar ”pajak tidak resmi”, contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar dengan berbagai pertimbangan memilih melakukan kegiatan ekonominya secara informal dengan menyebarkan. Adanya kondisi tersebut tentu saja memberikan permasalahan tersendiri bagi PKL. Para PKL merasa tidak aman dan selalu was-was ketika berjualan. Banyak masyarakat yang memilih untuk menjadi PKL karena kurangnya modal kerja usaha yang mereka miliki, sehingga mereka tidak bisa membayar pajak retribusi kepada pemerintah. Selain itu, para PKL tersebut juga hanya dapat menjual barang dalam skala kecil karena minimnya modal kerja usaha yang mereka miliki. Kegitu halnya para PKL di Kecamatan Sumbersuko Kabupaten Lumajang Provinsi Jawa Timur, dimana PKL pada daerah tersebut mayoritas memiliki modal kerja usaha yang kecil, sehingga barang yang dijual juga dalam skala kecil. Selain itu, para PKL tersebut rawan terhadap penggusuran karena mereka berjualan menempati pingir-pinggir jalan tanpa membayar pajak retribusi. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa modal kerja usaha merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi para PKL dalam menjalankan usahanya. Hal ini dikarenakan dengan adanya modal usaha, maka para PKL tersebut dapat meningkatkan usaha yang mereka miliki, serta dapat membayar pajak retribusi, sehingga mereka aman dari penggusuran. Adanya keadaan tersebut, banyak dari PKL khususnya di Kecamatan Sumbersuko Kabupaten Lumajang Provinsi Jawa Timur yang melakukan kredit pada bank harian untuk dapat menyelesaikan segala problematika para PKL tersebut terutama untuk terus dapat manjalankan dan meningkatkan usaha yang telah mereka miliki tersebut.

2.4 Modal Usaha Pedagang Kaki Lima