ANALISIS DATA

A. ANALISIS DATA

Dalam analisis penelitian ini mencakup tiga hal yaitu, (1) bentuk kesantunan dan ketaksantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, (2) faktor-faktor penentu kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, dan (3) fungsi kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

1. Bentuk Kesantunan dan Ketaksantunan Tuturan Bahasa Jawa yang Digunakan Siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

Bentuk kesantunan berbahasa dalam penelitian ini merupakan bentuk tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech. Prinsip kesantunan mencakup maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kerendahaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Dalam penelitian ini, kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta ditemukan lima bentuk kesantunan. Berikut analisis kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

a. Bentuk Kesantunan Berbahasa Jawa

1) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim Kebijaksanaan

Bentuk kesantunan berbahasa Jawa yang memenuhi maksim kebijaksanaan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat dilihat pada data berikut.

(data 21) Bentuk Tuturan

: O1 : “Jah/ Jah/ iki ese.”

‘Jah/ Jah/ ini esnya.’ O2 : “Oh/ ya, makasih ya.” ‘Oh/ ya, terima kasih ya.’

Penanda Nonlingual : - Percakapan dua orang siswa di depan koperasi. - O1 memberikan es yang telah dipesan oleh O2. Maksud

: Penutur memberikan es yang telah dipesan oleh

mitra tutur.

Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Data (21) di atas diambil pada waktu istirahat. O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Pada data (21), O1 dan O2 sedang duduk setelah membeli minuman di kantin. O1 baru saja membelikan minuman untuk O2. Dalam tuturan tersebut, O1 bertutur “iki ese” ‘ini esnya’. Tampak bahwa penutur (O1) menguntungkan mitra tutur (O2) dengan membelikan minuman. Hal tersebut sejalan dengan teori kesantunan yakni dengan pemenuhan maksim kebijaksanaan yang mewajibkan setiap peserta tutur untuk meminimalkan kerugian kepada orang lain, dan meminimalkan keuntungan pada diri sendiri. Selain itu, tuturan O1 juga memenuhi skala kesantunan yakni Cost-benefit scale Data (21) di atas diambil pada waktu istirahat. O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Pada data (21), O1 dan O2 sedang duduk setelah membeli minuman di kantin. O1 baru saja membelikan minuman untuk O2. Dalam tuturan tersebut, O1 bertutur “iki ese” ‘ini esnya’. Tampak bahwa penutur (O1) menguntungkan mitra tutur (O2) dengan membelikan minuman. Hal tersebut sejalan dengan teori kesantunan yakni dengan pemenuhan maksim kebijaksanaan yang mewajibkan setiap peserta tutur untuk meminimalkan kerugian kepada orang lain, dan meminimalkan keuntungan pada diri sendiri. Selain itu, tuturan O1 juga memenuhi skala kesantunan yakni Cost-benefit scale

Adapun data lain yang masuk ke dalam kesantunan berbahasa yang memenuhi maksim kebijaksanaan dalam penelitian ini, sebagai berikut.

(data 22) Bentuk Tuturan

: O1 : “Sra! mreneo.”

‘Sra! sini.’ O2 : “Apa?” ‘Apa?’ O1 : “Kowe apa wae?” ‘kamu apa saja?’ O2 : “Padha kowe.” ‘Sama sepertimu.’

Penanda Nonlingual : - Percakapan dua orang siswa di halaman sekolah. - O1 berada di dekat penjual tempura, sedangkan

O2 sedang bermain sepak bola.

Maksud : O1 ingin membelikan tempura yang telah dipesan

oleh O2.

Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Tuturan tersebut terjadi ketika tidak ada kegiatan belajar mengajar. O1 yang mempunyai status sebagai teman satu kelas O2 bertutur “Kowe apa wae?” ‘Kamu apa saja?’ menunjukan bahwa O1 akan membelikan apa yang diinginkan oleh O2, hal ini menunjukan bahwa O1 menjalankan maksim kebijaksanaan. Selain terpenuhinya maksim kebijaksanaan, tuturan O1 “Kowe apa wae?” ‘Kamu apa saja?’ juga memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas yaitu memberikan informasi seinformatif mungkin dan tidak bertele-tele. Tuturan tersebut juga dapat digolongkan ke dalam tuturan yang santun dikarenakan tuturan tersebut memenuhi salah satu skala kesantunan yaitu Optionality scale atau skala pilihan.

2) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim Penerimaan

Bentuk kesantunan dengan pemenuhan maksim penerimaan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat dilihat sebagai berikut.

(data 23) Bentuk Tuturan

: O1 : “Sel, misel, amit, amit, kowe kono seg, aku

tak omong karo yosi.” ‘Sel, misel, permisi, kamu di situ dulu, saya mau berbicara sama yosi.’ Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi dalam ruang kelas katika

jam hampir selisai.

Maksud : Penutur akan berbicara dengan teman sebangku Misel, oleh karena itu, agar mitra tutur atau Misel mau dipinjam tempat duduknya penutur memberikan tempat duduk lain sebagai gantinya.

Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 22-2-2012

Kesantunan berbahasa dengan pemenuhan maksim penerimaan mewajibkan penutur maupun mitra tutur memaksimalkan kerugian pada diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan pada orang lain. Pada tuturan di atas, O1 berusaha membuat keuntungan tinggi kepada O2 dengan cara menawarkan kursi yang telah dia sediakan dengan maksud dan tujuan agar dapat berbicara dengan teman sebangku O2. Selain itu, tuturan O1 memenuhi tiga skala kesantunan yakni Cost- benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Tampak bahwa O2 merasa tidak dirugikan, karena O1 memberikan tempat duduk lain. Selain itu tuturan yang dituturkan oleh O1 juga

kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Melihat tuturan yang dituturkan oleh O1, secara gamblang bisa diartikan mengusir, akan tetapi dengan pemilihan diksi dan pilihan kata yang tepat, maka tuturan O1 kepada O2 tidak terkesan mengusir. Selain dua skala kesantunan di atas, terdapat tuturan P (O1) yang juga memenuhi skala Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Walaupun mereka adalah teman satu kelas, akan tetapi dari tuturan di atas terlihat O1 menjaga jarak sosialnya sehingga tuturan tersebut santun. Selain skala kesantunan tuturan P juga memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas, P bertutur dengan tidak bertele-tele dan seinformatif mungkin.

Adapun tuturan lain yang termasuk dalam kesantunan berbahasa dengan pemenuhan maksim penerimaan dapat dilihat dibawah ini.

(data 24) Bentuk Tuturan

: (O2 ngekekna dhuwit)

O1 : “Iki apa?”

‘Ini apa?’ O2 : “Aku tukoke mi karo es teh.” ‘Saya belikan mi dan es teh.’ O1 : “Oh, ya.. susuke go aku ya.” ‘Oh, ya.. Kembalinya buat saya ya.’ O2 : “Ya aja.” ‘Ya jangan.’ Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas. -Waktu tuturan ketika istirahat.

Maksud : Penutur secara tidak langsung memberikan memberikan tempat duduk lain sebagai gantinya. Status Sosial

: O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 14-3-2012

Dari tuturan di atas O1 bertutur “Iki apa?” ‘Ini apa?’. Berdasarkan tuturan tersebut secara tidak langsung O1 memaksimalkan kerugian pada diri sendiri dan meminimalkan kerugian kepada orang lain. O1 juga memenuhi skala kesantunan yakni skala Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Hal tersebut tampak jelas dari tuturan O1 yang bertanya “Iki apa?” ‘Ini apa?’ yang memberikan kebebasan O2 untuk memilih makanan yang akan dibeli. Tutruran O1 juga memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas. Maksim ini ditandai dengan tuturan O1 yang bertutur sangat informatif sehingga maknanya dapat langsung dimengerti oleh mitra tutur.

3) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim Kemurahan

Bentuk kesantunan yang ketiga adalah bentuk kesantunan berbahasa Jawa dengan pemenuhan maksim kemurahan. Maksim kemurahan mewajibkan setiap pesarta tutur memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Pengaplikasian maksim kemurahan pada tuturan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sebagai berikut.

(data 25) Bentuk Tuturan

: O1 : “Pak aku dereng angsal LKS Pak.” ‘Pak saya belum dapat LKS Pak.’ O2 : “Oh ya sesuk ya.” ‘Oh ya besok ya.’ Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di luar kelas. - Waktu tuturan ketika istirahat.

Maksud : O1 adalah Siswa memberitahukan kepada O2

(guru bahasa Jawa) bahwa O1 belum mendapatkan LKS.

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakartadan O2 adalah guru bahasa Jawa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 18-2-2012

Sesuai dengan maksim kemurahan, O1 meninggikan rasa hormat kepada O2 mengingat status sosial O2 lebih tinggi dari pada O1. Hal tersebut tampak dari O1 menggunakan ragam bahasa krama lugu. Hal tersebut bertujuan untuk menghormati MT dan membuat tuturan lebih santun. Selain memenuhi maksim kemurahan, tuturan O1 memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas. Hal tersebut tampak jelas dengan O1 bertutur “Pak aku dereng angsal LKS Pak.” ‘Pak saya belum mendapat LKS Pak.’ tuturan P (O1) dapat langsung dimengerti maksud dan tujuannya serta tidak bertele-tele. Selain prinsip kerjasama, P juga memenuhi skala pragmatik yakni skala Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. O1 dalam tuturan tersebut sangat menjaga jarak sosial terlihat dari adanya penggunaan ragam bahasa. Selain bertujuan untuk menghormati O2 yang berstatus sebagai guru SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, juga berfungsi untuk menjaga jarak sosial.

Selain data di atas pengaplikasian kesantunan berbahasa Jawa dengan pemenuhan maksim kemurahan tampak pada data berikut.

(data 26) Bentuk Tuturan

: O1 : “Sebentar, mas kemarin aku lihat kok ada

bathiknya itu gimana?” O2 : “Oh niku menonjolkan ciri khas Solo

mbak,bathik.” ‘Oh itu menonjolkan ciri khas Solo mbak,

O1 : “Oh, berarti kaligrafine didamel bathik?” ‘Oh, bararti kaligrafinya dibuat bathik?’ O2 : “Mboten, sing didamel bathik

backgroundne.” ‘Tidak, yang dibuat bathik backgrounnya.’

Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di kantin sekolah.

- Waktu tuturan ketika jam pelajaran akan tetapi siswa baru pulang mengikuti lomba kaligrafi. Maksud

:O2 menjelaskan kepada O1 yang menanyakan kenapa dalam kaligrafinya ada bathiknya. Status Sosial

: O1 adalahpenjual di kantin SMP Muhammadiyah

1 Surakartadan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 18-2-2012

Tidak jauh berbeda dengan data kesantunan berbahasa dengan pemenuhan makasim kemurahan yang mewajibkan setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat. Tuturan O2 yang mengatakan “Oh niku menonjolkan ciri khas Solo mbak, bathik.” ‘Oh itu menonjolkan ciri khas Solo mbak, bathik.’ dan “Mboten, sing didamel bathik backgroundne.” ‘Tidak, yang dibuat bathik backgrounnya.’ Dari tuturan tersebut O2 menggunakan bahasa Jawa krama yang dicampur dengan bahasa Indonesia dengan tujuan menghormati O1. Pada konteks sosial terlihat O2 derajatnya lebih rendah karena umur O2 lebih muda, sedangkan umur O1 lebih tua sehingga ada kecenderungan untuk lebih menghormati kepada O1. Seian itu, tuturan yang dituturkan oleh O2 memenuhi skala kesantunan yakni skala Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Tuturan O2 terlihat menjaga hubungan status sosial antara P dan MT, hal tersebut terlihat dari adanya penggunaan ragam bahasa krama yang berfungsi menjaga jarak sosial. Tuturan O2 bila dilihat dari prinsip kerjasama memenuhi dua maksim yakni maksim kuantitas dan maksim Tidak jauh berbeda dengan data kesantunan berbahasa dengan pemenuhan makasim kemurahan yang mewajibkan setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat. Tuturan O2 yang mengatakan “Oh niku menonjolkan ciri khas Solo mbak, bathik.” ‘Oh itu menonjolkan ciri khas Solo mbak, bathik.’ dan “Mboten, sing didamel bathik backgroundne.” ‘Tidak, yang dibuat bathik backgrounnya.’ Dari tuturan tersebut O2 menggunakan bahasa Jawa krama yang dicampur dengan bahasa Indonesia dengan tujuan menghormati O1. Pada konteks sosial terlihat O2 derajatnya lebih rendah karena umur O2 lebih muda, sedangkan umur O1 lebih tua sehingga ada kecenderungan untuk lebih menghormati kepada O1. Seian itu, tuturan yang dituturkan oleh O2 memenuhi skala kesantunan yakni skala Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Tuturan O2 terlihat menjaga hubungan status sosial antara P dan MT, hal tersebut terlihat dari adanya penggunaan ragam bahasa krama yang berfungsi menjaga jarak sosial. Tuturan O2 bila dilihat dari prinsip kerjasama memenuhi dua maksim yakni maksim kuantitas dan maksim

4) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim Kerendahhatian

Dalam penelitian ini kesantunan berbahasa Jawa dengan pemenuhan maksim Kerendahhatian tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan mayoritas siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta mempunyai rasa ego yang tinggi sehingga suatu ketika ada seseorang memuji pasti tidak akan merasa rendah hati, tetapi sebaliknya yakni merasa memang dirinya yang paling benar ataupun paling pintar. Selain dari tingkat ego yang masih tinggi, tingkat kedewasaan siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta juga berpengaruh dalam tuturannya.

5) Kesantunan berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim Kecocokan

Bentuk kesantunan berbahasa Jawa dengan pemenuhan maksim kecocokan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat dilihat pada data berikut.

(data 27) Bentuk Tuturan

: O1 : “Sing gawe gawang kae piye ta?” ‘Yang membuat gawang itu bagaimana sih?’

O2a : (Karo nyoba gawe) “ngene?” ‘(Sambil mencoba membuat) begini?’ O1 : “Ho’o ngono, aku ngono gawene ok.” ‘Iya seperti itu, aku membuatnya seperti itu.’

‘Ini Buatkan Feb.’ O1 : “Ngono aku kae ok. Aku diajari kancaku

Johar kae lho. Johar kae ya ngono ok

yonan.” ‘Dulu aku seperti itu. Aku diberitahu temanku Johar. Johar juga seperti itu.’

Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di ruang kelas.

- Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

:O1 menyetujui hasil pembuatan gawang yang dilakukan oleh O2, sekaligus membenarkan gawang yang dibuat

Status Sosial : O1, O2a, O2b adalah tman satu kelas. Waktu Terjadi

: SM/ 22-2-2012

Dari data di atas terlihat tuturan O1 yang mengatakan “Ho’o ngono, aku

ngono gawene ok.” ‘Iya seperti itu, aku membuatnya seperti itu.’ dan “Ngono aku kae ok. Aku di ajari kancaku Johar kae lho. Johar kae ya ngono ok

yonan.” ‘Dulu aku seperti itu. Aku diberitahu temanku Johar. Johar juga seperti itu.’ memenuhi maksim kecocokan. Maksim kecocokan mewajibkan setiap peserta tutur memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokan. Tuturan O1 tersebut tampak memaksimalkan kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokkan. Tuturan O1 tersebut juga memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim relevansi. Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang relevan. Selain itu, tuturan O1 juga mengandung maksim kualitas dengan mengatakan fakta-fakta untuk mendukung pernyataannya. Tuturan O1 dalam tuturan tersebut tidak memenuhi skala kesantunan manapun.

Bentuk lain dari kesantunan berbahasa Jawa dengan maksim kecocokan sebagai berikut.

(data 28) Bentuk Tuturan

: O1 : “Ndrat ayo, ndrat rono.”

‘Ndrat ayo, Ndrat kesitu’

‘Ya nanti dulu.’

Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di halaman sekolah. - Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

:O2 menyetujui permintaan O1 yang mengajak pergi ketampat yang lebih enak untuk duduk. Status Sosial

: O1, O2, adalah teman satu kelas dan memiliki

kedekatan yang cukup dekat.

Waktu Terjadi

: SM/ 14-3-2012

Kesantunan berbahasa Jawa pada data (28) di atas O2 bertututr “Ya mengko seg.” ‘Ya nanti dulu.’. Tuturan O2 mengisyaratkan O2 menyetujui permintaan O1. Hal tersebut sejalan dengan prinsip kesantunan berbahasa dengan pemenuhan maksim kecocokan. Maksim tersebut mewajibkan setiap peserta tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka. Selain memenuhi maksim kecocokan, tuturan O2 juaga memenuhi salah satu maksim dari prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur memberikan informasi seinformatif mungkin. Hal tersebut terlihat dari tuturan O1 yang menggunakan kata yang padat dan cepat dimengerti oleh O1. Tuturan O2 pada tuturan di atas tidak memenuhi skala kesantunan.

6) Kesantunan Berbahasa Jawa dengan Pemenuhan Maksim Kesimpatian

Bentuk kesantunan berbahasa Jawa dengan pemenuhan maksim kecocokan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat dilihat pada data berikut.

(data 29) Bentuk Tuturan

: (O3 sedang dianiyaya oleh O2)

O1 : “Heh, wis mesake le, aja padu!”

O2 : “Aku ora padu, ki aku gojeg.” ‘Saya tidak berkelahi, ini saya hanya bercanda.’

Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di dapan ruang kelas. - Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

:O1 simpati terhadap kondisi O3 yang sedang terlihat seperti dianiyaya oleh O2. Status Sosial

: O1 adalah kakak kelas dan O2 adalah adik

kelasnya.

Waktu Terjadi

: SM/ 13-3-2012

Pada data (29) di atas tampak bahwa O1 bersimpati dengan O3 yang sedang dianiyaya oleh O2. O1 mengecam dan menghentikan perbuatan O2 dengan menggunakan kata-kata yang kasar. Tuturan O2 tersebut melanggar skala kesantunan yakni skala Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Hal tersebut terlihat dari tuturan O1 “wis mesake le” ‘Hei, sudah kasihan, jangan berkelahi!’. Tuturan tersebut bermaksud untuk mencegah perbuatan O2. Selain skala tersebut O1 juga melanggar Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Tampak dari tuturan O1 yang bertutur “aja padu!” ‘jangan berkelahi!’, tuturan tersebut jelas merendahkan O2 yang sedang terlihat menganiyaya O3.

b. Bentuk Ketaksantunan Berbahasa Jawa

Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip dan skala kesantunan yang ada. Dalam penelitian ini bentuk ketaksantunan ditemukan ada enam pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa yang meliputi penyimpangan maksim kebijaksanaan, pentyimpangan maksim Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip dan skala kesantunan yang ada. Dalam penelitian ini bentuk ketaksantunan ditemukan ada enam pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa yang meliputi penyimpangan maksim kebijaksanaan, pentyimpangan maksim

1) Ketaksantunan Berbahasa Jawa Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan

Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa pelanggaran maksim kebijakasanaan yakni kebalikan dari maksim kebijaksanaan. Apabila maksim kebijaksanaan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain, sedangkan pelanggarannya yakni memaksimalkan kerugian orang lain atau meminimalkan keuntungan bagi orang lain. Bentuk pelanggaran maksim kebijaksanaan tampak pada data berikut.

(data 30) Bentuk Tuturan

: (O2 ngekekna dhuwit)

O1 : “Iki apa?” ‘Ini apa?’ O2 : “Aku tukoke mi karo es teh.” ‘Saya belikan mi dan es teh.’ O1 : “Oh, ya.. susuke go aku ya.” ‘Oh, ya.. Kembalinya buat saya ya.’ O2 : “Ya aja.” ‘Ya jangan.’ Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas. -Waktu tuturan ketika istirahat.

Maksud : penutur meminta kepada O1 membelikan jajanan

yang diinginkan oleh O2

Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 22-2-2012

Dari tuturan di atas O2 jelas terlihat merugikan O1 dengan memberi perintah untuk membeli makanan. Selain itu, tuturan O2 juga melanggar skala kesantunan yakni Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, dan

Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan. Tuturan O2 bila dilihat dari Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan jelas merugikan O1, selain karena membebani, kata yang digunakan oleh O2 juga kurang sopan. Apabila dilihat dari Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, kata-kata yang digunakan oleh O2 bersifat langsung sehingga menguurangi kada kesopanan. Akan tetapi, tuturan O2 memenuhi salah satu maksim prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas. Pada maksim ini, setiap peserta tutur diwajibkan memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Hal tersebut dapat dilihat dari pemakaian kata-kata yang digunakan oleh O2 langsung dapat ditangkap oleh O1.

Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa dengan pelanggaran maksim kebijaksanaan yang lain tampak pada data berikut.

(data 31) Bentuk Tuturan

: O1 : “Richardku piye? Kolarovku ndi he? Yaya

Toureku ndi he? Ndi-ndi? Kompany kuwi

ditata.” ‘Richardku bagaimana? Kolarovku mana woi? Yaya Toureku mana woi? Mana- mana? Kompany itu ditata.’

Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas. -Waktu tuturan ketika istirahat.

Maksud : P meminta kepada MT untuk mempersiapkan pemain bola buatannya agar disusun yang rapi sesuai formasi permainan bola.

Status Sosial : P adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sedangkan MT adalah teman satu kelas P. Waktu Terjadi

: SM/ 22-2-2012

Berdasarkan data (31) O1 membebankan O2 untuk melakukan apa yang diinginkan oleh P (O1). Hal tersebut tentu bertentangan dengan pirinsip kesopanan yakni maksim kebijaksanaan. Selain itu, O1 juga melanggar semua

skala kesantunan berbahasa, dari segi skala untung rugi O1 tampak jelas merugikan O2, kemudian dari segi pilihan, P (O1) tidak memberi pilihan kepada MT (O2), kemudian dari skala ketidaklangsungan tuturan P langsung memberi perintah kepada MT. Dilihat dari skala status sosial tuturan P tampak merendahkan MT. Hal tersebut terlihat dari cara P memanggil MT. P memanggil dengan sebutan He ‘woi’. Sementara dari segi peringkat hubungan sosial, walaupun hubungan sosial P dan MT dekat seharusnya P memperhatikan jarak sosialnya agar tidak terkesan merendahkan MT. Namun, dilihat dari teori prinsip kerjasama tuturan O1 memenuhi maksim kuantitas. Pada maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur untuk memberikan informasi seinformati mungkin dan tidak bersifat ambigu.

2) Ketaksantunan Berbahasa Jawa Pelanggaran Maksim Penerimaan

Ketaksantunan berbahasa Jawa dengan pelanggran maksim penerimaan adalah bentuk kebalikan dari maksim penerimaan yakni meminimalkan kerugian bagi diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Berikut data ketaksantunan berbahasa Jawa dengan pelanggran maksim penerimaan.

(data 32) Bentuk Tuturan

: O1 : “Eh, ndi aku njaluk markunine.” ‘ Eh, mana markuninya aku minta.’ O2 : “Njupuka dhewe.” ‘Ambil sendiri.’ O1 : “Jupuke.” ‘Ambilkan.’ Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas. -Waktu tuturan ketika istirahat.

Maksud : P meminta kepada MT untuk memberikan markuni milik MT dan menyuruh untuk mengambilkan. Status Sosial

: P adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

Waktu Terjadi

: SM/ 9-3-2012

Tuturan di atas tampak O1 menguntungkan dirinya sendiri. Keadaan tersebut melanggar maksim penerimaan yang mewajibkan setiap peserta tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Hal tersebut terlihat dari dari tuturan O1 “Eh, ndi aku njaluk markunine.” ‘ Eh, mana markuninya aku minta.’ dan “Jupuke.” ‘Ambilkan.’. Terlihat jelas O1 berusaha menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Selain melanggar maksim penerimaan tuturan O1 juga melanggar skala kesantunan berbahasa yakni Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan,Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur. Apabila dilihat dari skala untung-rugi MT sangat dirugikan karena P menyuruh dengan bahasa yang kurang santun. Tuturan P yang dituturkan juga langsung menohok MT dengan mengatakan “Eh, ndi aku njaluk markunine.” ‘Eh, mana markuninya aku minta.’. P secara langsung meminta tanpa disertai pemakaian bahasa yang lebih santun. Akan tetapi, tuturan O1 memenuhi maksim kuantitas dengan mengatakan yang tidak bertele-tele dan seinformatif mungkin.

Selain data di atas, data lain yang menunjukan ketaksantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat dilihat pada uraian berikut ini.

(data 33) Bentuk Tuturan

: O1 : “Eh, tekke aku njaluk.”

‘ Eh, otaknya aku minta’ O2 : “Apa seg! (karo ngekei).” ‘Apa dulu! (sambil memberi)’

-Waktu tuturan ketika istirahat.

Maksud : P meminta dengan kasar kepada MT untuk memberikan jajan MT, sebelum itu O2 memberikan pertanyaan tetapi belum dijawab, sehingga O2 memberikan jajanannya dengan meminta jawaban dari pertanyaan yang di ajukannya.

Status Sosial : P adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sedangkan MT adalah teman satu kelas P. Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Tidak jauh berbeda dengan data (32), tuturan yang diucapkan oleh O1 bersifat memaksa untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Hal tersebut melanggar maksim penerimaan. Tampak dari tuturan O1 “Eh, tekke aku njaluk.” ‘Eh, pikirannya aku minta’, tersirat bahwa O1 memaksa O2 memberikan makanannya. Selain melanggar maksim penerimaan, tuturan O2 juga melanggar semua skala kesantunan. Dilihat dari untung rugi yang ditimbukan oleh tuturan O1, O2 dirugikan dengan berkurangnya makanannya dan digunakannya kata-kata yang kasar kepadanya. Dilihat dari skala pilihan, O1 tidak memberi pilihan kepada O2, dengan cara memaksa, kemudian dilihat dari skala ketaklangsungan tuturannya, tuturan O1 secara langsung menohok O2 dengan mengatakan kata “njaluk” ‘minta’. Pemilihan kata tersebut secara jelas bertentangan dengan skala ketaklangsungan yang merujuk kepada ketaklangsungan maksud dan tujuan tuturan. Dua skala yang terakhir yakni skala keotoritasan dan skala jarak sosial, tuturan O1 merendahkan posisi O2 sebagai teman satu kelas, sedangkan dari skala jarak sosial O1 terlalu dekat sehingga jaraknyapun tidak ada.

3) Ketaksantunan Berbahasa Jawa Pelanggaran Maksim Kemurahan

Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa yang mengandung pelanggaran

(data 34) Bentuk Tuturan

: O1 : “Her, Heri bocah kok badhog thok.” ‘Her, Heri orang kok makan saja.’ O2 : “Apa? (karo mesem).”

‘Apa? (sambil tersenyum).’

Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas. -Waktu tuturan ketika istirahat.

Maksud : O1 mengejek O2 dengan mengatakn bocah kok badhog thok. O2 memberikan jajanannya dengan meminta jawaban dari pertanyaan yang di ajukannya.

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sedangkan O2 adalah teman satu kelas P. Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Tampak tuturan O1 di atas melanggar maksim kemurahan. O1 bertutur “Her, Heri bocah kok badhog thok.” ‘Her, Heri orang kok makan saja.’ Kata badhog yang berarti makan merupakan kata yang tidak santun. Berdasarkan hal tersebut terlihat O1 meminimalkan rasa hormat kepada orang lain dan memaksimalkan rasa tidak hormat. Tuturan tersebut melanggar maksim kemurahan dan melanggar dua skala kesantunan yakni skala Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Pada tuturan di atas, O1 menaruh ranking O2 rendah sekali dangan mengatakan badhog yang berarti makan tetapi sangat kasar. Skala yang kedua yaitu Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Berdasarkan tuturan di atas, jarak sosial O1 terhadap O2 sangat dekat dan bahkan terlalu dekat sehingga tuturannya menjadi tidak terbatas aturan. Akan tetapi, tuturan O1 memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim pelaksanaan yang bertutur secara langsung, tidak kabur, dan tidak ambigu.

Selain data di atas, bentuk ketaksantunan dengan pelanggaran maksim kemurahan juga dapat dilihat pada data berikut.

(data 35) Bentuk Tuturan

: O1 : “Pak tempura!!”

‘Pak tempura!!’ O2 : “Apa?” ‘Apa?’ O1 : “Kui pak, pangsit, bakso, karo sing kui.” ‘itu pak, bakso, dan yang itu.’

Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas. -Waktu tuturan ketika istirahat.

Maksud : O1 bermaksud membeli tempura dari seorang pedagang tempura yang ada di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sedangkan O2 adalah penjual tempura. Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Tuturan O1 yang ingin membeli tempura dengan cara berteriak kepada penjual tempura melanggar maksim kemurahan. Sikap berteriak bukan untuk menghormati orang lain, tetapi merendahkan orang lain. Hal tersebut berkebalikan dengan maksim kemurahan. Selain melanggar maksim kemurahan, tuturan O1 juga melanggar skala kesantunan yakni skala keotoritasan yang mengacu kepada peringkat sosial, tampak pada tuturan O1 yang berteriak “Pak tempura!!” ‘Pak tempura!!’ yang merendahkan peringkat sosial MT atau O2. Tuturan O1 di atas juga melanggar dua skala kesantunan yakni skala Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. O1 menaruh ranking O2 rendah sekali dangan bertetiak “Pak tempura!!” ‘Pak tempura!!’ dengan maksud ingin membeli tempura. Skala yang kedua yaitu Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang Tuturan O1 yang ingin membeli tempura dengan cara berteriak kepada penjual tempura melanggar maksim kemurahan. Sikap berteriak bukan untuk menghormati orang lain, tetapi merendahkan orang lain. Hal tersebut berkebalikan dengan maksim kemurahan. Selain melanggar maksim kemurahan, tuturan O1 juga melanggar skala kesantunan yakni skala keotoritasan yang mengacu kepada peringkat sosial, tampak pada tuturan O1 yang berteriak “Pak tempura!!” ‘Pak tempura!!’ yang merendahkan peringkat sosial MT atau O2. Tuturan O1 di atas juga melanggar dua skala kesantunan yakni skala Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. O1 menaruh ranking O2 rendah sekali dangan bertetiak “Pak tempura!!” ‘Pak tempura!!’ dengan maksud ingin membeli tempura. Skala yang kedua yaitu Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang

Pelanggaran Maksim Kerendahhatian

Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa yang mengandung pelanggaran maksim kerendahanhatian yakni kebalikan dari pemenuhan maksim kerendahan hati yaitu menuntut peserta pertuturan meminimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa yang mengandung pelanggaran maksim kerendahanhatian dapat dilihat pada data berikut ini.

(data 36) Bentuk Tuturan

: O1 : “Nyah, dadi gawang nyah-nyah.” ‘Nih, jadi gawang nih-nih. O2 : “Kaya ngono thok?” ‘Hanya seperti itu?’ O1 : “Aku ok elek, kandani nggone Fernandika elek ya? Kandani gawang ki ngene.” ‘Saya kok jelek, saya kasih tahu punya Fernandika jelek ya? Saya kasih tahu gawang itu seperti ini.

O2 : “Ra isa. Ho Fikri wi.” Tidakbisa. Ho Fikri wi. O1 : “Elek ya? Nggone Fernandika i ketok

nggilani.” ‘Jelek ya? Punya Fernandika i kelihatan menjijikan.’

Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas. -Waktu tuturan ketika istirahat.

Maksud : P mengatakan bahwa gawang buatannya baik, `bahkan lebih baik dari buatan Fernandika.

sedangkan MT adalah teman satu kelas P. Waktu Terjadi

: SM/ 22-2-2012

Tuturan O1 yang mengatakan “Aku ok elek” ‘Saya kok jelek’ jelas melanggar maksim kerendahatian. Dalam maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Selain maksim kerendahanhatian tuturan O1 juga melanggar skala kesantunan Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Tuturan O1 tersebut langsung merujuk bahwa buatannya lebih baik dari O2. Akan tetapi, tuturan tersebut memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas. Pada maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur bertutur seinformatif mungkin.

Selain data di atas, ketaksantunan berbahasa Jawa dengan pelanggaran maksim kerendahanhatian dapat dilihat pada data berikut.

(data 37) Bentuk Tuturan

: O1 : “We/ fisika bijine dhuwur dhewe.” ‘We/ fisika nilainya tertinggi.’ O2 : “Mesthi no, mase ok.” ‘Jelas dong, abang.’ Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas.

-Waktu tuturan ketika pembagian nilau mid semester.

Maksud : O1 memuji dirinya sendiri ketika dirinya mendapat

nilai tertinggi fisika.

Status Sosial : P adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sedangkan MT adalah teman satu kelas P. Waktu Terjadi

: SM/ 4-4-2012

Terlihat dari tuturan O2 yang mengatakan “Mesthi no, mase ok.” ‘Jelas dong, abang.’, melanggar maksim kerendahatian yang mewajibkan setiap peserta Terlihat dari tuturan O2 yang mengatakan “Mesthi no, mase ok.” ‘Jelas dong, abang.’, melanggar maksim kerendahatian yang mewajibkan setiap peserta

5) Ketaksantunan Berbahasa Pelanggaran Maksim Kecocokan

Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa pelanggaran maksim kecocokan yaitu meminimalkan kecocokan di antara mereka dan memaksimalkan ketidakcocokan diantara mereka. Bentuk ketaksantunan berbahasa Jawa pelanggaran maksim kecocokan dapat dilihat pada data berikut.

(data 38) Bentuk Tuturan

: O1 : “Yuh diwaca (karo nduding salah siji

muride), ndang diwaca.” ‘Ayo dibaca (sambil menunjuk) salah satu muridnya.’

O2 : “Gah pak, aja aku.”

‘Tidak mau pak, jangan saya’ O1 : “Kowe wae, kowe wae.” ‘Kamu saja, kamu saja.’

Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas kelas. -Waktu tuturan ketika pelajaran bahasa Jawa sedang berlangsung.

Maksud : O2 menolak dengan tegas ketika disurah

membaca.

Status Sosial : O1 adalah guru bahasa Jawa SMP Muhammadiyah

1 Surakarta, sedangkan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 21-1-2012

Terlihat jelas tuturan O2 yang mengatakan “Gah pak, aja aku.” ‘Tidak mau pak, jangan saya’ merupakan ketidakcocokan antara O1 dan O2, dengan kata lain tuturan O2 melanggar maksim kecocokan. Selain itu, tuturan O2 juga melanggar tiga skala kesantunan berbahasa. Skala yang pertama Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Hal ini terlihat dari tuturan O2 yang menolak secara langsung kepada O1 dengan mengatakan “Gah pak, aja aku.” ‘Tidak mau pak, jangan saya’. Skala kesantunan yang kedua Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Dilihat dari status sosial, O2 memperlakukan O1 lebih rendah dari status sosial yang seharusnya lebih tinggi. Skala yang terakhir Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Akan tetapi tuturan O2 memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas, yang mewajibkan setiap peserta tutur untuk berbicara seinformatif mungkin dan maksim pelaksanaan, yang mewajibkan setiap penutur berbicara tidak ambigu dan runtut.

Data lain yang menunjukan ketaksantunan berbahasa Jawa dengan pelanggaran maksim kecocokan dapat dilihat sebagai berikut.

(data 39) Bentuk Tuturan

: O1 : “Ayo munggah.”

‘Ayo naik.’ O2 : “Mengko seg, kene wae.”

‘Nanti dulu, sini aja. O1 : “Ayo to, aku urung sinau.” ‘Kamu saja, kamu saja.’

Penanda Nonlingual :- Tuturan tersebut terjadi di luar kelas kelas.

Maksud : O2 menolak ajakan O1 untuk kembali ke kelasnya

untuk belajar.

Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 9-3-2012

Tidak jauh berbeda data (38), O2 menolak ajakan untuk kembali kekelasnya yang berada di lantai atas. Tuturan tersebut berkebalikan dengan maksim kecocokan. Selain maksim kecocokan, tuturan O2 melanggar skala kesantunan yakni Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Tuturan O2 tersebut menolak secara langsung sehingga melanggar skala tersebut. Akan tetapi tuturan O2 memenuhi Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Terlihat dari tuturan O2 yang memberikan pilihan kepada O1 untuk tetap di tempat. Selain memenuhi skala pilihan, tuturan O2 juga memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas dan juga maksim pelaksanaan.

6) Ketaksantunan Berbahasa Pelanggaran Maksim Kesimpatian.

Bentuk ketaksantunan dengan pelanggaran maksim kesimpatian pada penelitian ini berupa penyimpangan maksim kesimpatian. Pada maksim kesimpatian mewajibkan setiap peserta tutur untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya, sedangkan bentuk ketaksantunannya meminimalkan rasa simpati dan memaksimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya dapat dilihat pada tuturan berikut.

(data 40) Bentuk Tuturan

: O1 : “Sokur len ditendhang len.”

‘Sukurin ditendang.’

O2

: “Sing tak tendang kowe!”

‘Yang saya tendang kamu!’ Penanda Nonlingual : - Percakapan dua orang siswa di dalam kelas. - O1 berada di sebelah O2 yang letaknya kurang

lebih satu meter dari O1. - Waktu tuturan ketika jam hampir istirahat. Maksud

: O1 mengejek O2 yang ditendang temannya. Status Sosial

: O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Dari tuturan O1 tersebut terlihat jelas bahwa tuturan O1 tidak memenuhi maksim kesimpatian. Terlihat dari tuturan O1 yang mengatakan “Sokur len ditendhang lenI.” ‘Sukurin ditendang.’, tuturan O1 yang tampak senang O2 ditendang oleh temannya merupakan pelanggaran maksim kesimpatian. Selain melanggar maksim kesimpatian, tuturan O1 juga melanggar skala kesantunan berbahasa yakni Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Sangat jelas tuturan yang diucapkan oleh O1 secara langsung menohok O2 sehingga O2 merasa tersakiti dan membalas dengan menggunakan kata-kata kasar. Akan tetapi tuturan O1 di atas memenuhi prinsip kerjasama yakni maksim kuantitas yang mewajibkan setiap peserta tutur memberikan seinformatif mungkin. Terlihat dari tuturan tersbut O2 langsung mengetahui maksud dan tujuan dari tuturan O1.

2. Faktor Penentu Kesantunan Berbahasa

Faktor-faktor penentu kesantunan berbahasa meliputi dua hal pokok, yaitu faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup lima aspek Faktor-faktor penentu kesantunan berbahasa meliputi dua hal pokok, yaitu faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup lima aspek

a. Faktor Kebahasaan

Faktor kebahasaan tersebut adalah segala unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa non verbal.

1) Pemakaian Diksi yang Tepat

Ketika penutur sedang bertutur, pemilihan kata merupakan faktor yang sangat penting yang akan membuat tuturan memiliki kadar kesantunan tinggi. Efek yang ditimbulkan tuturan yang dituturkan akan membuat mitra tutur akan merasa diposisikan ditempat yang lebih tinggi. Untuk lebih jelasnya lihat data berikut.

(data 15) Bentuk Tuturan

: O1 : “Zak, Zaki, gelem tak kongkon?” ‘Zak, Zaki, mau aku suruh? O2a : “Apa?” ‘Apa?’ O1 : “Jupuke tisu neng kono ndang.” ‘Segera ambilkan tisu di situ.’ O2a : “Jupuk dhewe.” ‘Ambil sendiri.’

‘Alah biasanya ngelap pakai kudung we.’ O2d : “Ora nganggo klambi.” ‘Tidak, pakai baju.’ Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di kantin.

- O1 berada di meja yang bersebrangan dengan O2a, sedangkan O2b dan O4c berada di sebelah kanan

- Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

: O1 memnita tolong utntuik mengambilkan tisu

yang berada di dekat O2.

Status Sosial : O1, O2a, O2b, dan O2c adalah siswa SMP

Muhammadiyah 1 Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 5-4-2012

Tuturan yang digunakan oleh O1 pada data 41 pilihan diksi yang digunakan untuk meminta tolong merupakan plihan diksi yang tepat. Dari tuturan terasebut O2 yang dimitai tolong akan merasa tidak seperti diperintah sengan cara yang langsung. Dari tuturan O1 di atas, P atau O1 menggunkan kata gelem ‘mau’ yang memberi kebebasan menolak jika keberatan, berbeda dengan data berikut.

(data 42) Bentuk Tuturan

: O1 : “Eh, teke aku njaluk.”

‘ Eh, otaknya aku minta’ O2 : “Apa seg! (karo ngekei).” ‘Apa dulu! (sambil memberi)’ Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di halaman sekolah . - O1 melihat MT yang membeli jajan kesukaannya. - Waktu tuturan ketika jam istirahat.

Maksud : O1 meminta secara paksa jajan yang dimiliki oleh

O2

Status Sosial : O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Terlihat berbeda sekali, antara tuturan O1 dengan yang sebelumnya, pada tuturan tersebut O1 menggnakan kata-kata kasar terlihat dari tuturan O1 yang mengatakan tekke (utekke) ‘otaknya’, plilihan diksi yang digunakan sangat sangat buruk dengan demikian tuturan berdampak tidak menempatkan posisi O2 tidak Terlihat berbeda sekali, antara tuturan O1 dengan yang sebelumnya, pada tuturan tersebut O1 menggnakan kata-kata kasar terlihat dari tuturan O1 yang mengatakan tekke (utekke) ‘otaknya’, plilihan diksi yang digunakan sangat sangat buruk dengan demikian tuturan berdampak tidak menempatkan posisi O2 tidak

2) Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun

Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta belum menguasai kemampuan untuk menggunakan gaya bahasa yang sopan. Hal tersebut dikarenakan tingkat penguasaan kebahasaan mereka masih rendah. Selain itu, jiwa egoisme siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta masih tinggi sehingga dalam tuturan yang mereka tuturkan, banyak mengandung tuturan yang tidak santun. Terlebih posisi pemakaian gaya bahasa yang santun memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi yang mungkin hanya bisa dijangkau oleh orang yang telah belajar tentang penggunaan majas dan dapat mempergunakan dengan baik dalam kegiatan bertutur. Sehingga dalam tuturan yang dihasilkan mampu menciptakan tuturan yang santun

3) Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik

Penggunaan struktur kalimat yang benar dan baik saat bertutur, khususnya situasi formal, atau resmi dapat mengakibatkan atau menimbulkan pemakaian bahasa menjadi santun. Namun, pada prakteknya penggunaan kalimat yang benar dan baik pada situasi informalpun dapat membuat tuturan menjadi santun. Pemakaian struktur kalimat yang baik dan benar meliputi; kelengkapan konstruksi kalimat, keefektifan kalimat, dan penggunaan bentuk kebahasaan, tentu saja penggunaan bentuk bahasa yang santun yang sesuai dengan konteks tuturan. Untuk lebih jelasnya lihat data berikut.

(data 43) Bentuk Tuturan

: O1 : “Riko, Riko, sing ndhelike jaketku

kowe?” Riko, Riko, yang menyembunyikan jaketku kamu?’

O2 : “Ngapa ndhelike jaketmu!” ‘Ngapain menyembunyikan jaketmu!’ Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di halaman sekolah . - O1 dan O2 adalah teman satu kelas. - Waktu tuturan ketika jam istirahat.

Maksud : O1 menanyakan kepada O2 apakah dia yang menyembunyikan jaket miliknya. Status Sosial

: O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 9-3-2012

O1 : Riko, Riko, sing ndhelike jaketku kowe?

S P pel

‘Riko, Riko, yang menyembunyikan jaketku kamu?’

O2 : Ngapa ndhelike jaketmu! ‘Ngapain menyembunyikan jaketmu!’

Dari tuturan O1 di atas, tuturan O1 memenuhi struktur kalimat yang benar, terlihat dari syarat-syarat sebuah kalimat, yang minimal terdiri dari subjek dan predikat. Pada data 43 kalimat yang digunakan oleh O1 berupa kalimat yang baik karena sudah mempunyai subjek dan predikat. Selain itu, tuturan O1 yang menggunakan kalimat tanya membuat terkesan tuduhan yang ditujukan oleh O1 menjadi kabur atau samar. Berbeda dengan data berikut yang tidak menggunakan kalimat secara baik dan benar.

(data 44) Bentuk Tuturan

: O1 : “Heh, PR IPS.”

‘Heh, PR IPS.’ O2 : “Apa? kene sewu!” ‘Apa? Sini seribu!’ O1 : “Apa mbayar? ra sudi.”

‘Apa, Mbayar? tidak sudi.’

Penanda Nonlingual : - Percakapan dua siswa di dalam kelas .

- O1 adalah siswa laki-laki dan O2 siswa

- Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

: O1 meminta secara paksa PR IPS O2. Status Sosial

: O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 25-2-2012

O1 : Heh, PR IPS.

‘Heh, PR IPS.’ O2

: Apa? kene sewu! ‘Apa? Sini seribu!’ O1

: Apa mbayar? ra sudi. ‘Apa, Mbayar? tidak sudi.’

Berbeda dengan data 43 O1 yang sebelumnya kelengkapan kalimat sebelumnya yang memenuhi kelengkapan struktur kalimat yang benar dan baik, tuturan O1 di atas, tidak memenuhi kelengkapan kalimat yang baik dan benar, sehingga tuturan O1 tersebut tidak santun sehingga akan menjalin komunikasi yang tidak baik. Hal tersebut terlihat dari tuturan O2 yang meminta bayaran dengan nada tinggi sebagai reaksi balasannya.

4) Aspek Intonasi

Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur dengan menggunakan intonasi keras padahal jarak mitra tutur berada jarak yang sangat dekat dengan penutur, penutur akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, kija penutur menyampaikan intonasi dengan lembut, penutur akan dinilai sebagai orang yang santun. Untuk lebih jelasnya lihat data berikut.

(data 45) Bentuk Tuturan

: O1 : “Pak aku dereng angsal LKS pak.” ‘Pak saya belum dapat LKS pak.’

Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan guru .

- Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

: O1 meminta LKS kepada MT

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan O2 adalah guru SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 8-2-2012

Tuturan di atas waktu istirahat, tempat terjadi tuturan di lobi dekat ruang guru. Terlihat tuturan O1 menggunkan intonasi yang halus untuk menghormati O2, meskipun menggunakan pilihan diksi yang kurang santun. Kurangnya kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa Jawa krama, mempengaruhi pilihan diksi dalam berbahasa, tetapi tidak mengubah maksud tuturan yang bertujuan menghormati O2, berbeda dengan data berikut ini.

(data 46) Bentuk Tuturan

: O1 : “Pak tempura!!!!”

‘Pak tempura!!!!’ O2a : Apa? ‘Apa?’ O2b : Kui pak, pangsit, bakso, karo sing kui. ‘Itu pak, pangsit, bakso, sama yang itu.’ Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan sesama siswa . - Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

: O1 ingin membeli tempura O2.

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan O2 adalah penjual tempura. Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Tuturan O1 tersebut terjadi ketika istirahat, seorang siswa datang dan dari jarak yang sangat dekat berteriak untuk membeli tempura hal tersebut t tidak sopan. Intonasi yang digunkan sangat tinggi terkesan orang marah-marah. Padahal tujuan dari O1 adalah membeli tempura. Untuk menjaga tuturan tetap santun hendaknya menggunkan intonasi yang lembut agar tuturan menjadi santun.

Dengan menggunakan intonasi yang lembut akan membuat rasa kata yang halus dan enak didengar.

5) Aspek Nada Bicara

Aspek nada dalam bertutur lisan dapat juga mempengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggmbarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Misalnya ketika seorang penutur emosinya sedang tidak stabil, maka tuturannya akan menaik dan kasar, sehingga akan terasa menohok bagi MT, untuk lebih jelasnya lihat data berikut.

(data 47) Bentuk Tuturan

: O1 : “Ndang barisa Le! ben ndang mlebu.” ‘Segeralah baris! agar segera masuk.’ O2 : “Apa kowe? (karo ngece-ngece)” ‘Apa kamu?(sambil mengejek)’ O1 : “Heh! ngajak padu kowe le!” ‘Heh! ngajak berantem kamu!’ Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan sesama siswa . - Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

: O1 ingin membeli tempura O2.

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan O2 adalah penjual tempura. Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Terlihat sangat jelas emosi O1 yang sedang meledak karena diejek oleh O2, tuturan O1 yang semula sudah emosi, sehingga tuturan O1 menjadi menaik dan kasar dan tidak enak didengar. Sehingga kontrol emosi dalam peristiwa tutur sangatlah penting untuk menjaga tuturan agar tetap santun. Karena dengan menggunakan kontrol emosi nada bicara, intonasi dan pilihan kata dapat dibuat secantun mungkin. Oleh karena itu, kontrol emosi dalam kegiatan bertutur sangat penting dibutuhkan unuk menjaga tuturan tetap santun.

a. Faktor nonkebahasaan Faktor Pranata Sosial

Seseorang pembicara tidak cukup memilih formulasi gramatikal dan pilihan kata yang tepat untuk berbicara, tetapi aspek sosio kultural juga harus menjadi pertimbangan. Misalnya, orang Jawa mengenal adanya unggah-ungguh untuk menghormati orang yang lebih tua atau yang belum akrab, lihat data berikut.

(data 48) Bentuk Tuturan

: O1 : “Pak niki pripun Pak?”

‘Pak ini bagaimana?’ O2 : “Sing angel diliwati seg wae, sing

gampang digarap seg.” ‘Yang susah diewati saja dulu, yang mudah dikerjakan dulu.’

O1 : “Oh, nggih Pak.” ‘Oh, ya Pak.’ Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan guru .

- Waktu tuturan ketika jam KBM. Maksud

: O1 bertanya O2 mengenai soal yang diberikan

oleh O2.

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan O2 adalah guru. Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Tuturan tersebut terjadi ketika proses belajar mengajar terlihat jelas bahwa tuturan O1 yang menggunakan ragam madya untuk menghormati O2 yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi, sehingga akan terjalin suatu komunikasi yang harmonis antra O1 dan O2. Walaupun tuturan O1 tidak menggunakan ragam krama tetapi karena penguasaan kebahasaan siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta masih kurang sehingga tuturan tersebut masuk dalam kategori tuturan yang santun. Berbeda dengan tuturan yang tidak memenuhi aspek

(data 49) Bentuk Tuturan

: O1 : “Kowe ki ngapa ta pak? ndang kana wae, neng kene mung ngece-ngece thok.” ‘Kamu itu ngapain sih Pak? segera kesana saja di sini hanya mengejek-ngejek saja.’

Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan guru .

- Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

: O1 mengusir O2 yang melihat O1 dan teman

temannya sedang membuat puisi.

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan O2 adalah guru. Waktu Terjadi

: SM/ 22-2-2012

Tuturan tersebut sangatlah tidak santun, karena tuturan O1 tersebut di ucapkan kepada O2 yang berstatus sosial yang lebih tinggi. sehasrusnya banyak aspek yang harus diperhatikan. oleh karena itu pranata sosial memiliki peranan penting dalam peristiwa tutur terutama untuk masyarakat Jawa. Faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa yakni faktor topik pembicaraan dan kontek situasi komunikasi merupakan faktor yang belum dikuasai oleh anak setingkat SMP terutama SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Hal tersebut dikarenakan siswa SMP belum begitu paham arti dari sebuah tuturan sehingga tuturan yang dihasilkan akan cenderung seenaknya dan semaunya.

3. Fungsi Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta

Ketika kegiatan bertutur langsung, P dan MT saling memberi dan menerina tuturan. Tuturan pada saat kegiatan bertutur tidak semata-mata hanya untuk diutarakan atau disampaikan oleh P atau MT. Akan tetapi, tuturan yang disampaikan mempunyai maksud tuturan, hal tersebut dapat dilihat dari ilmu pragmatik yang mempelajari maksud atau konteks tuturan. Dalam penelitian ini Ketika kegiatan bertutur langsung, P dan MT saling memberi dan menerina tuturan. Tuturan pada saat kegiatan bertutur tidak semata-mata hanya untuk diutarakan atau disampaikan oleh P atau MT. Akan tetapi, tuturan yang disampaikan mempunyai maksud tuturan, hal tersebut dapat dilihat dari ilmu pragmatik yang mempelajari maksud atau konteks tuturan. Dalam penelitian ini

a. Menolak Secara Tidak Langsung

Salah satu fungsi kesantunan berbahasa yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta yakni menolak secara tidak langsung. Pada fungsi ini siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta menggunakan bahasa yang santun untuk menolak permintaan atau ajakan yang diajukan, agar tidak membuat mitra tutur kecewa maka dalam menolak permintaan perlu menggunnakan kalimat yang santun untuk menolaknya. Untuk lebih jelasnya lihat data berikut ini.

(data 50) Bentuk Tuturan

: O1 : “Tuku mi Har!”

‘Tuku mi Har!’ O2 : “Ra ndhedhit mangatus.” ‘Tidak punya uang limaratus?’

Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan siswa .

- Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

: O2 menolak untuk diajak membeli mi goreng. Status Sosial

: O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 22-2-2012

Dari tuturan O2 di atas, terlihat bahasa yang digunakan untuk menolak O1 tergolong santun. Hal tersebut dikarenakan tuturan yang digunakan merupakan tuturan yang mempunyai maksud tersirat yakni menolak diajak dan harap maklum karena uangnya telah habis. Tuturan yang diucapkan juga tidak langsung menolak dengan menggunakan kata emoh atau wegah ‘tidak mau’ tetapi O2 menggunakan kalimat berita untuk menolak ajakan dari O1.

(data 51) Bentuk Tuturan

: O1 : “Ayo jajan.”

‘Ayo jajan.’ O2 : “Ngapa jajan? Kene wae.” ‘Buat apa jajan? Sini saja.’

Penanda Nonlingual : - Percakapan antara siswa dengan siswa .

- Waktu tuturan ketika waktu istirahat, tempat terjadinya tuturan berada di halaman sekolah. Maksud

: O1 menolak untuk diajak jajan dan menyarankan

untuk tetap di tempat.

Status Sosial : O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 10-3-2012

Tidak jauh berbeda dengan data 50, tuturan O2 yang bermaksud untuk menolak O1 secara halus. O2 menolak O1 dengan cara mengubah bentuk kalimat yang bersifat langsung menjadi kalimat tanya dengan mengatakan “Ngapa jajan? Kene wae.” ‘Buat apa jajan? Sini saja.’ yang mempunyai maksuid tersirat menolak dan menyarankan untuk tetap berada di tempat tersebut. Intonasi yang digunakan O2 juga merupakan intonasi yang santun sehingga tuturan yang digunakan untuk menolak merupakan tuturan yang santun.

b. Menghormati Mitra Tutur

Fungsi kesantunan yang kedua adalah untuk menghormati mitra tutur, sebagai orang yang berlatar belakang budaya Jawa menghormati orang yang lebih tua adalah suatu yang harus dilakukan. Misalnya dengan menggunakan bahasa yang santun yakni menggunkan unggah-ungguh atau tingkat bahasa. Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta juga menggunakan bahasa yang santun untuk menghormati MT yang lebih tua misalnya guru, penjual kantin, dan yang lain- lain. Pada penelitian ini, penggunaan fungsi kesantunan berbahasa untuk menghormati dapat dilihat pada data berikut.

(data 52) Bentuk Tuturan

: O1 : “Pak bakune niku napa ta Pak?” ‘Pak kata bakune artinya apa Pak?’ O2 : “Diliwati seg karo kancane dienteni.” ‘Lewati dulu sambil temannya ditunggu.’

Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas.

- Waktu tuturan ketika kegiatan belajar mengajar. Maksud

: O1 bertanya kepada O2 arti kata dari bakune. Status Sosial

: O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dan O2 adalah guru bahasa Jawa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 22-2-2012

Terlihat dari tuturan di atas, O1 berusaha menghormati mitra tutur dengan cara menggunakan bahasa ragam madya. Walaupun menggunakan ragam madya tuturan O1 pada data 52 merupakan tuturan yang santun sesuai dengan maksud dari tuturan tersebut yang bertujuan menghormati O2. Selain dari tuturan yang digunakan intonasi O1 dalam mengucapkan tuturan merupakan intonasi yang santun sehingga menambah kadar kesantunan tuturan O1.

Penggunaan kesantunan yang berfungsi menghormati mitra tutur dapat dilihat pada data di bawah ini.

(data 53) Bentuk Tuturan

: O1 : “Pak, mangke tugase nek diketik

pripun?” ‘Pak, nanti kalau tugasnya diketik bagaimana?’

O2 : “Oh ya sip.. isa ngetik ta kowe?” ‘Oh ya bagus.. kamu bisa mengetik? O1 : “Saged pak.” ‘Bisa pak.’ Penanda Nonlingual : - Tuturan tersebut terjadi di dalam kelas.

- Waktu tuturan ketika jam KBM. Maksud

: O1 adalah Siswa menanyakan kepada O2

apaboleh tugasnya diketik.

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakartadan O2 adalah guru bahasa Jawa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

Tidak jauh berbeda dengan data 52, O1 menggunakan bahasa krama utnuk menghormati mitra tutur yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi. Dari segi faktor kebahasaan tuturan yang digunakan telah memenuhi aspek penggunaan struktur kalimat yang benar dan baik, intonasi, dan nada aspek, sedangkan aspek nonkebahasaaan memenuhi aspek pranata sosial. Oleh karena itu, tuturan O1 termasuk tuturan yang dianggap santun dan mempunyai fungsi untuk menghormati MT.

c. Menguntungkan Mitra Tutur

Dalam penelitian ini fungsi yang ketiga yakni menguntungkan mitra tutur adalah benruk kesantunan yang bertujuan utnuk memberi keuntungan kepada mitra tutur. Fungsi ini ada kecenderungan pemenuhan maksim kebijaksanaan untuk lebih jelasnya lihat data berikut ini.

(data 54) Bentuk Tuturan

: O1 : “Pengen es ora? Kene tak tukoke.” ‘Mau es tidak? Sini saya belikan.’ Penanda Nonlingual : - Percakapan dua orang siswa di halaman sekolah. - Tuturan terjadi ketika waktu istirahat. Maksud

: O1 ingin membelikan es yang O2. Status Sosial

: O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Data lain yang merupakan fungsi kesanrunan berbahasa yang bertujuan untuk menguntungkan MT dapat dilihat sebagai berikut.

(data 55) Bentuk Tuturan

: O1 : “Sapa sing nduwe permen?” ‘Siapa yang punya permen?’ O2 : “Nyah, iki aku nduwe.” ‘Ini saya punya.’

- Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

: O1 meminta permen kepda semua teman

temannya.

Status Sosial : O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 9-3-2012

Tidak jauh berbeda dari data 54, tuturan O2 yang mengatakan “Nyah, iki aku nduwe.” ‘Ini saya punya.’ menggunakan pilihan kata, intonasi, dan nada bicara yang digunakan termasuk tuturan yang santun. Dari maksud yang terkandung dalam tuturan O2 menandakan bahwa O2 ingin menguntungkan O1 yakni dengan cara mau memberikan yang diminta kepada O1 padahal O2 tidak meminta secara langsung.

d. Memberi Perintah Secara Tidak Langsung

Fungsi kesantunan berbahasa yang keempat yakni fungsi memberi perintah secara tidak langsung. Fungsi ini digunakan oleh P dengan harapan MT tidak merasa keberatan dengan perintah yang diberikan oleh P. Penggunaan fungsi ini biasanya berkaitan dengan penyimpangan maksim penerimaan, untuk lebih jelasnya lihat data berikut.

(data 56) Bentuk Tuturan

: O1 : “He.. panggonku ndi cah?” ‘He.. teman tempatku mana?’ O2 : “Ngapa.. apa iki panggonmu? Ra isa.” ‘Kenapa?.. apa ini tempatmu? ’ Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di depan ruang kelas. - O1 baru kembali membeli makanan. - Waktu tuturan ketika jam istirahat.

Maksud : O1 memnita tempat duduknya yang baru saja di

tanggalkannya.

Status Sosial : O1dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 3-3-2012

Tuturan yang di tuturkan Oleh O1 yang mengatakan “He.. panggonku ndi cah?” ‘He.. teman tempatku mana?’ mempunyai maksud dan tujuan O1 memerintahkan O2 untuk pindah dari tempat yang duduki. Dari tuturan di atas tuturan O1 menggunakan bahasa yang santun untuk meminta tempatnya. Hal tersebut terlihat dari tuturan O1 yang merubah tuturan untuk meredam ketaksantunan maka O1 mengubah kalimat dari kalimat perintah menjadi tuturan dengan kalimat tanya. Efek yang ditimbulkan dari pemakaian perubahan kalimat tersebut adalah tuturan berubah menjadi tuturan yang tidak langsung sehingga terasa lebih halus. Data lain yang merupakan fungsi kesantunan untuk memeberi perintah yang halus dapat dilihat pada data berikut.

(data 57) Bentuk Tuturan

: O1 : “Fir/Fira/ jare tuku permen?” ‘Fir.. Fira/ katanya beli permen?’ Penanda Nonlingual : - Percakapan antar siswa di depan ruang kelas. - Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud

: O1 memnita O1 meminta permen kepada O2. Status Sosial

: O1 dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta.

Waktu Terjadi

: SM/ 9-3-2012

Tidak jauh berbeda dengan data sebelumnya, tuturan yang dituturkan oleh O1 tersebut spintas melanggar maksim penerimaan. Akan tetapi nada bicara, pilihan kata yang diucapkan oleh O1 tersebut merupakan bahasa yang santun. Terlihat dari pemenuhan skala ketaklangsungan dari tuturan yang disampaikan oleh O1. Skala ketaklangsungan terihat dari tuturan O1 yang menanyakan kepada temannya kalau temannya itu membeli permen, padahal maksud dari tuturan O1 tersebut adalah meminta permen dari O2. Tuturan O1 tersebut nada, intonasi, dan diksi merupakan bentuk tuturan yang sopan. Sehingga tuturan yang melanggar