KESANTUNAN BERBAHASA JAWA SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA (SUATU KAJIAN PRAGMATIK)

KESANTUNAN BERBAHASA JAWA SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA (SUATU KAJIAN PRAGMATIK) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

EKO PURNOMO

C0108027

JURUSAN SASTRA DAERAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

MOTTO

Jadilah seperti karang di lautan yang kuat dihantam ombak dan kerjakanlah hal yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, karena hidup hanyalah sekali. Ingat hanya pada Allah apapun dan di manapun kita berada kepada Dia-lah tempat meminta dan memohon.

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu Sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah: 153)

PERNYATAAN

Nama

: Eko Purnomo

NIM

: C0108027

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal- hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademis berupa pencabutan skripsi dan gelar yang telah diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Juli 2012

Yang membuat pernyataan,

Eko Purnomo

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk:

1. Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu menjadi penyemangat bagiku, mengalirkan doanya untukku, dan membimbingku untuk mencapai kebahagiaan.

2. Adikku yang kusayangi Sigit Sutrisno yang selalu menghiburku.

3. Alm. Mbah Mawintana yang selalu mendoakanku untuk jadi orang yang sukses.

4. Untuk dhik Ita yang selalu menemani diwaktu suka dan duka. Waktu kita sangat berharga.

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah kepada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Proses penyusunan skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni

Rupa yang memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. Supardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan ilmunya serta kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

3. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, pembimbing akademik, dan pembimbing kedua yang telah berkenan untuk memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini, mencurahkan perhatian, memberikan bekal ilmu, memberikan nasihat kepada penulis selama studi di Jurusan Sastra Daerah, dan membimbing penulisan skripsi ini sampai selesai.

4. Drs. Sri Supiyarno, M.A., selaku Koordinat Bidang Linguistik Jurusan Sastra Daerah yang telah berkenan untuk mencurahkan perhatian dan memberikan bekal ilmu.

5. Prof. Dr. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing pertama yang telah berkenan memberikan bimbingan kepada penulis dengan penuh perhatian dan kebijaksanaannya, serta selalu membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi.

6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan bekal ilmu yang berharga.

7. Kepala dan staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun Pusat Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kemudahan dalam pelayanan kepada penulis, khususnya selama menyelesaikan skripsi ini.

8. Kakek dan Nenek di Adiwarno dan Rangkah, terima kasih atas doa dan harapannya kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini dan meraih cita-cita.

9. Dhik Ita yang selalu membantu, menemani, dan memberi dukungan untuk

terselesaikannya skripsi ini. Semoga kita bisa sukses bersama.

10. Semua anggota SMP Muhammadiyah 1 Surakarta yang sangat baik sehingga mempermudah penulis dalam memperoleh data, dan semua pihak yang telah berjasa dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik yang dapat membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juli 2012

Penulis

DAFTAR SINGKATAN DAN GAMBAR

A. Daftar Singkatan

MT

: Mitra tutur

O1

: Orang ke-1

O2

: Orang ke-2

O3

: Orang yang dibicarakan

SM

: SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

: Penutur

B. Daftar Tanda

Cetak miring

: menandai data

Cetak miring tebal

: menandai data yang dianalisis

Tanda kurung (.....)

: menandai keterangan

Tanda petik tunggal ‘.....’ : menandai makna dari satuan linggual dan terjemahan

Tanda petik “.....”

: menandai kutipan langsung

Tanda garis miring /...// : menandai keterangan jeda pembicaraan

C. Daftar Gambar

Gambar .1.

: Kerangka Pikir

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hidup bermasyarakat tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi. Dalam berkomunikasi sarana yang digunakan adalah bahasa. Menurut Harimurti Kridalaksana (2008: 24) bahasa adalah sisitem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Oleh karena itu bahasa merupakan hal yang hakiki (Aslinda dan Syafyahya, 2007: 2). Menurut Revhing Koen (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 2) hakikat bahasa bersifat (a) mengganti, (b) individual, dan (d) sebagai alat komunikasi. Dalam hal berkomunikasi bahasa mempunyai peranan yang sangat penting. Bahasa berfungsi sebagai media perantara dalam berkomunikasi antar manusia.

Komunikasi antarmanusia sangat menarik untuk dicermati ataupun untuk dijadikan bahan penelitian. Dari penelitian akan ditemukan fenomena kebahasaan yang beraneka ragam yang menghiasi kasanah kebahasaan. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti bahasa yang mengkaji bahasa secara mendalam sehingga melahirkan ilmu bahasa dan juga cabangnya. Selain sebagai media komunikasi bahasa juga berfungsi sebagai identitas masyarakat penggunanya. Misalnya Suku Jawa mempunyai bahasa Jawa, Suku Sunda memiliki bahasa Sunda dan masih banyak suku lainnya. Bahasa ibu masyarakat Jawa berupa Komunikasi antarmanusia sangat menarik untuk dicermati ataupun untuk dijadikan bahan penelitian. Dari penelitian akan ditemukan fenomena kebahasaan yang beraneka ragam yang menghiasi kasanah kebahasaan. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti bahasa yang mengkaji bahasa secara mendalam sehingga melahirkan ilmu bahasa dan juga cabangnya. Selain sebagai media komunikasi bahasa juga berfungsi sebagai identitas masyarakat penggunanya. Misalnya Suku Jawa mempunyai bahasa Jawa, Suku Sunda memiliki bahasa Sunda dan masih banyak suku lainnya. Bahasa ibu masyarakat Jawa berupa

Dalam komunikasi antara penutur dan mitra tutur akan sama-sama melakukan proses penerjemahan pesan tuturan baik dari penutur maupun mitra tutur. Menurut Leech untuk membantu penerjemahan pesan sebuah tutran diperlukan adanya tingkat pengalaman yang sama agar pesan yang disampaikan oleh penutur maupun mitra tutur dapat diterima dengan baik (Leech, 1993: 20). Untuk menjalin hubungan yang baik perlu menjaga perkataan, seperti yang dikatakan pepatah Jawa yang berbunyi ajining dhiri dumunung ana ing lathi yang artinya harga diri seseorang tergantung pada ucapannya. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan sopan atau tidaknya ucapan kita. Kejadian semacam ini dipelajari dalam cabang ilmu bahasa yang disebut pragmatik.

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari maksud dari sebuah tuturan. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006: 3). Selain itu, Kunjana Rahardi (2005: 49) berpendapat bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatar belakangi bahasa itu. Jadi, pragmatik mempelajari maksud dari tuturan yang terikat konteks.

Konteks adalah siapa yang menuturkan, mengatakan kepada siapa, tempat dan waktu yang diujarkan di dalam suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai sesuatu yang terlibat di dalam tindakan menuturkan kalimat (Kaswanti Purwo, 1990: 5). Selain itu, konteks merupakan pengalaman yang sama yang dimiliki Konteks adalah siapa yang menuturkan, mengatakan kepada siapa, tempat dan waktu yang diujarkan di dalam suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai sesuatu yang terlibat di dalam tindakan menuturkan kalimat (Kaswanti Purwo, 1990: 5). Selain itu, konteks merupakan pengalaman yang sama yang dimiliki

Dalam pragmatik dikenal dengan adanya Prinsip Kerja Sama yang dikemukakan oleh Grice (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 44) dan juga Leech pada tahun 1983 dalam bukunya yang diterjemahkan oleh M. D. D. Oka mengemukakan Prinsip Kesantunan (PS) yang melengkapi PK (Prinsip Kerja Sama) Grice. Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta memakai bahasa Jawa sebagai alat komunikasi yang utama untuk berkomunikasi dengan sesama teman- temannya, contohnya pada tuturan berikut.

(data 1) O1

: “Sapa sing wis tau weruh wit kambil?” ‘Siapa yang sudah pernah melihat pohon kelapa?’ O2

: “Aku Pak.” ‘Saya Pak.’ O1

: “Neng ndi?” ‘Di mana?’ O2

: “Neng Grand Mall pak.” ‘Di Grand Mall Pak.’

(SM/21-01-2012)

Tuturan tersebut berlangsung pada situasai yang resmi di dalam kelas 7G saat proses belajar mengajar pda tanggal 21 Januari 2012. O1 pada tuturan tersebut adalah guru SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Tuturan yang dituturkan oleh O2 Yang mengatakan “Aku Pak” ‘Saya Pak’ bila dilihat dari prinsip kerjasama yang dikemukakan oleh Grice, tuturan tersebut sudah baik karena telah memenuhi maksim kualitas. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan Tuturan tersebut berlangsung pada situasai yang resmi di dalam kelas 7G saat proses belajar mengajar pda tanggal 21 Januari 2012. O1 pada tuturan tersebut adalah guru SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Tuturan yang dituturkan oleh O2 Yang mengatakan “Aku Pak” ‘Saya Pak’ bila dilihat dari prinsip kerjasama yang dikemukakan oleh Grice, tuturan tersebut sudah baik karena telah memenuhi maksim kualitas. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan

Peneliti lain yang telah melakukan penelitian mengenai kesantunan bahasa antara lain:

1. Asim Gunarwan (1994) (dalam pelba 7: 1994: 814) dengan judul “Kesantunan Negatif di kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta”. Penelitian tersebut bertujuan; (a) Menyebarluaskan aliran fungsionalisme di dalam linguistik kepada mahasiswa-mahasiswa yang berminat; (b) Mencari bukti apakah memang ada kesejajaran, seperti yang tersirat di dalam teori Brown dan Levison (1978), di antara Ke(tak)langsungan dan kesantunan; (c) Membuktikan setidak-tidaknya mencari petunjuk, apakah dwibahasawan itu bikultural ataukah hanya monokultural.

2. Harun Joko Prayitno (2011) dengan judul “Kesantunan Sosiopragmatik Studi Pemakaian Tindak Direktif di Kalangan Andik SD Berbudaya Jawa”. Dalam penelitian tersebut memaparkan realisasi kesantunan direktif andik (anak didik) SD berlatar belakang budaya Jawa, dan strategi 2. Harun Joko Prayitno (2011) dengan judul “Kesantunan Sosiopragmatik Studi Pemakaian Tindak Direktif di Kalangan Andik SD Berbudaya Jawa”. Dalam penelitian tersebut memaparkan realisasi kesantunan direktif andik (anak didik) SD berlatar belakang budaya Jawa, dan strategi

3. Nurul Masfufah (2010) dengan judul “Kesantunan Bentuk Tuturan Direktif di Lingkungan SMA N 1 Surakarta (Kajian Sosiopragmatik). Dalam penelitian tersebut mengkaji bentuk kesantunan dan ketaksantunan, prinsip dan strategi kesantunan bentuk tuturan direktif yang digunakan dilingkungan SMA N 1 Surakarta, urutan atau peringkat berbahasa menurut persepsi siswa, dan faktor yang mementukan kesantunan berbahasa.

4. Dyah Ayu Nur Ismayawati (2009) dengan judul “Kesantunan berbahasa Jawa oleh Keturunan Arab di Pasar Benteng Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik). Mengkaji tentang wujud, faktor penentu, dan fungsi kesantunan berbahasa Jawa pedagang Arab di Pasar Beteng Surakarta.

5. Wiji Nurkayati (2010) dengan judul “Kesantunan Berbahasa Jawa Kuli Panggul di Pasar Legi Surakarta ((suatu kajian Pragmatik)” dalam penelitian tersebut mengkaji tentang wujud kesantunan berbahasa Jawa para kuli panggul di pasar legi Surakarta, prinsip kerjasama yang dilakukan, dan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa.

Berdasarkan penelitian yang sudah pernah dilakukan maka penelitian tentang kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta belum pernah dilakukan dan masih perlu dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil judul Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah

1 Surakarta (Suatu Kajian Pragamtik). Adapun alasannya adalah:

1. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang ada di Surakarta yang mayoritas siswanya menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi yang utama.

2. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, merupakan SMP Muhammadiayah terbaik di Solo, sehingga dimungkinkan kesantunan berbahasa yang digunakan oleh siswanya memiliki tingkat kesantunan yang tinggi.

3. Penelitian kesantunan berbahasa belum pernah dilakukan terutama dalam

ranah pendidikan terutama di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

B. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah pada kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, dalam analisis akan dikaji bentuk kesantunan suatu ujaran yang dipandang dari segi kaidah sosial, fungsi prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan yang digunakan dalam sebuah ujaran dan faktor penentu kesantunan dari ujaran yang digunakan siswa untuk berkomunikasi.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, penelitian ini mengajukan tiga masalah, yaitu:

a. Bagaimanakah bentuk kesantunan dan ketaksantunan tuturan bahasa Jawa

yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta?

b. Apakah faktor penentu kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta? b. Apakah faktor penentu kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta?

D. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian haruslah jelas mengingat penelitian harus mempunyai tujuan tertentu dengan sasaran yang terarah. Perumusan tujuan haruslah disesuaikan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan bentuk kesantunan dan ketaksantunan tuturan bahasa

Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

b. Mendeskripsikan faktor penentu kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

c. Menjelaskan fungsi kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi dua macam yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya teori linguistik khususnya teori pragmatik Jawa.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat:

1. Memberi informasi tentang kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

2. Memberikan sumbangan terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa Jawa.

3. Sebagai tambahan materi pengajaran bahasa terutama kesantunan berbahasa di sekolah-sekolah.

4. Digunakan sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya.

F. Sistematika Penulisan

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, pembahasan dalam penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, dalam pendahuluan meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian pustaka, dalam kajian teori meliputi pengertian pragmatik, tindak tutur, prinsip kerjasama, prinsip kesantunan, skala kesantunan, faktor penentu kesantunan, juga SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, dan kerangka pikir.

Bab III Metode Penelitian, dalam metode penelitian meliputi jenis penelitian, lokasi, data dan sumber data, populasi dan sampel, alat penelitian, metode penyediaan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis.

Ban IV Analisis Data dan pembahasan meliputi deskripsi bentuk kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan Oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, penjelasan mengenai faktor penentu keantunan yang digunakan oleh siswa SMP

Muhammadiyah 1 Surakarta, dan fungsi kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhmmadiyah 1 Surakarta. Pembahasan merupakan sebuah diskusi mengenai hasil analisis data yang memaparkan adanya perbedaan antra teori yang digunakan dengan aplikasi di lapanagn yang mecakup topik-topik yang ada pada rumusan masalah.

Bab V Penutup, dalam penutup berisi simpulan, dan saran.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pragmatik

Kridalaksana (2008: 198) mendefinisikan pragmatik sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi dan aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran. Parker mendefinisikan pragmatik sebagai berikut, Pragmatics is distinct for study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate dapat diartikan "pragmatik berbeda dengan pengajaran tata bahasa. Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi" (dalam Rahardi 2005: 49).

Menurut definisi di atas, segi penggunaan bahasa menjadi utama dalam pragmatik, bagaimana penggunaan bahasa dalam tuturan dan dalam konteks bagaimana tuturan itu digunakan. Yang dimaksud dengan konteks adalah siapa yang menuturkan, mengatakan pada siapa, tempat dan waktu yang diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai sesuatu yang terlibat di dalam tindakan menuturkan kalimat (Kaswanti Purwo, 1990: 5).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu berkaitan dengan bagaimana satuan bahasa itu digunakan dalam komunikasi.

Pragmatik pada dasarnya menyelidiki bagaimana makna di balik tuturan yang terikat pada konteks yang melingkupinya di luar bahasa, sehingga dasar dari pemahaman terhadap pragmatik adalah hubungan antara bahasa dengan konteks.

B. Tindak Tutur

Tindak tutur atau speech act menurut Kridalaksana (2008: 191) adalah pengujaran kalimat untuk menyatakan agar sesuatu maksud dari pembicaraan diketahui pendengar. Menurut Searle di dalam bukunya Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 21) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.

a. Tindak Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh tindak lokusi adalah kalimat berikut:

(data 2) O1

: “Ayo jajan.”

‘Ayo beli jajan.’

‘Jajan apa?’ (SM/2-03-2012)

Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diindentifikasi, karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tidak memperhitungkan konteks tuturannya.

b. Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau mengintormasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Sebagai contoh pada kalimat berikut:

(data 3) O1

: “Eh, kowe ngelak ora?”

‘Eh, kamu haus tidak?’

O2

: “Ora.”

‘Tidak.’ (SM/21-02-2012)

Waktu terjadinya tuturkan di atas ketika jam istirahat kedua kurang lebih jam setengah dua belas siang dan udara sedang sangat panas. Tuturan tersebut bukan hanya menginformasikan bahwa O1 kehausan tetapi mempunyai maksud lain yaitu mengajak untuk membeli es atau air minum. Tindak ilokusi sangat sulit diidentifikasi karena harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tuturnya.

c. Tindak Perlokusi

Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan

Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja. Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut:

(data 4) O1

: “Ayo melu futsal tantangan lho!”

‘Mari ikut futsal tanding lho!’

O2

: “Mangkato dhitku entek.”

‘Berangkat saja angku habis.’ (SM/21-01-2012)

Data (4) terliahat jelas bentuk ilokusi dari tuturan O2 diatas adalah untuk meminta maaf karena tidak dapat ikut, dan perlokusinva adalah agar orang yang mengajaknya harap maklum. Tindak perlokusi juga sulit dideteksi, karena harus melibatkan konteks tuturnya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturnya dari seorang penutur memungkinkan sekali mengandung lokusi saja, dan perlokusi saja. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan mengandung kedua atau ketiganya sekaligus.

C. Prinsip Kerjasama

Prinsip kerjasama adalah persetujuan tersirat di antara penutur bahasa untuk mengikuti seperangkat konversi yang sama dalam bertutur. Prinsip kerjasama dikemukakan oleh Grice (1975) dalam Wijana dan Rohmadi (2009: 44). Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur harus memetuhi 4 maksim peercakapan, yakni maksim kauntitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

a. Maksim Kuantitas

Maksim ini mewajibkan seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi yang sebenarnya yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dikatakan melanggar maksim kuantitas.

(data 5) O1

: “Yen bocah-bocah 7A iku pada manut-manut ora ana sing nakal ya ta?” ‘Kalau anak-anak 7A itu, semua baik-baik tidak ada yang nakal ya kan?’ O2

: “Salok pak, kuwi ngarep dhewe.” ‘Sebagian Pak, itu yang paling depan.’

(SM/21-01-2012)

Tuturan di atas terjadi ketika pelajaran bahasa Jawa pada kelas 7A, O1 adalah guru bahasa Jawa sedangkan O2 salah satu murid yang memberikan informasi yang sesuai dibutuhkan oleh O1, dengan demikian O2 telah memenuhi Maksim Kuantitas.

b. Maksim Kualitas

Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Dalam bertutur fakta-fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.

(data 6) O1

: “Sapa sing wis tau weruh wit kambil?” ‘Siapa yang sudah pernah melihat pohon kelapa?’ O2

: “Aku Pak.” ‘Saya Pak.’ O1

: “Neng ndi?” ‘Di mana?’ O2

: “Neng Grand Mall pak.”

(SM/21-01-2012)

Tuturan di atas terjadi di dalam kelas 7G tanggal 21 januari 2012, tuturan O2 memberikan informasi bahwa dia pernah melihat pohon kelapa di Grand Mall, walupun hanya berbentuk replika pohon kelapa.

c. Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.

(data 7) O1

: “Anak gajah apa?” ‘Anak gajah apa?’ O2

: “Bledug.” ‘Bledug.’ O1

: “Anak kebo?” ‘Anak kebo?’ O2

: “Belo.” ‘Belo.’

(SM/21-01-2012)

Tuturan tersebut terjadi pada tanggal 21 Januari 2012 di kelas 7G, O1 adalah guru bahasa Jawa, O2 semua siswa 7G. Tututran O2 terlihat jelas bahwa memenuhi maksim relevansi, karena memberikan informasi yang relevan.

d. Maksim Pelaksanaan

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan serta runtut. Selain itu, seorang penutur juga harus menafsirkan kata-kata yang digunakan lawan bicaranya secara taksa (ambigu) berdasarkan konteksnya.

O1 : “Fikri iku cah ksatria.” ‘Fikri itu anak Ksatria.’ O2

: “Oh, pantes maine apik.” ‘Oh, pantas mainnya bagus.’

(SM/15-02-2012)

Dari tuturan di atas kata ksatria bukan berarti seorang ksatria pemberani melainkan salah satu nama sebuah sekolah sepak bola yang ada di Solo.

D. Prinsip Kesantunan

Sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan ini menurut Wijana dan Rohmadi (2009: 54) berhubungan dengan dua peserta percakapan yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Menurut Wijana dan Rohmadi prinsip kesantunan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan, makasim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian.

1. Maksim Kebijaksanaan

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif. Menggariskan peserta tutur untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

(data 9) O1

: “Pengen es ra? Tak tukoke ya?” ‘Mau es tidak? Saya belikan ya?’

(SM/3-03-2012)

Tuturan tersebut sangat jelas terlihat dengan adanya penawaran kepada mitra tutur

2. Maksim Penerimaan

Maksim ini diutarakan dengan komisif dan impositif. Mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

(data 10) O1

: “Ying, maying, aku tukoke es teh karo kwaci mengko tak kei.”

‘Ying, maying, saya belikan es teh dan kwaci nanti saya kasih.

O2 : “Ndi dhuwite.” ‘Mana uangnya.’ (SM/23-01-2012)

Tuturan O1 di atas kurang sopan hal ini dikarenakan O1 ingin meraih untung sebanyak-banyaknya, namun dengan memberi imbalan yakni dengan memberi sebagian dari jajannya masih bisa dianggap santun.

3. Maksim Kemurahan

Maksim Kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat aserti. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat pun harus sopan. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat. Maksim kemurahan ini terlihat pada wacana berikut.

(data 11) O1

: “Her, Heri bocah kok badhog thok.” ‘Her, Heri orang kok makan saja.’ O2

: “Apa?” (karo mesem). ‘Apa? (sambil tersenyum).’

(SM/3-03-2012)

Tuturan O1 pada rekan tuturnya O2 memaksimalkan rasa tidak hormat terlihat dari kata badhog ‘makan yang berarti kasar’, namun kedekatan antra O1 dan O2 sangat dekat sehingga O2 tidak tersinggung.

4. Maksim Kerendahhatian

Maksim kerendahan hati diungkapkan dengan kalaimat ekspresif dan asertif. Bedanya, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Sementara maksim kemurahan berpusat pada orang lain. Maksim ini menuntut peserta pertuturan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

(data 12) O1

: “We/ fisika bijine dhuwur dhewe.” ‘We/ fisika nilainya tertinggi.’ O2

: “Mesthi no, mase ok.” ‘Jelas dong, abang.’

(SM/27-04-2012)

Tuturan di atas yang dikemukakan oleh O2 yang memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri sehingga tuturan O2 dianggap tidak sopan.

5. Maksim Kecocokan

Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka.

(data 13) O1

: “Ayo mulih.” ‘Mari pulang.’ O2

: “Yakin mulih? Ora sida dolan?” ‘Yakin pulang? Tidak jadi main?

Tuturan O2 menunjukan ketidaksetujuan nemun dengan cara yang halus sehingga tercipta kesantunan berbahasa.

6. Maksim Kesimpatian

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapat kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan atau musibah, penurut layak turut berduka atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda simpati.

(data 14) O1

: “Sukur len, ditendang len.” ‘Sukur len, ditendang len.’ O2

: “Sing tak tendang kowe, nganti boroke padha metu.”

‘Yang saya tendang kamu, sampai boroknya pada keluar.’

O1 : “Apa!” ‘Apa!’

(SM/22-02-2012)

Tuturan O1 yang tidak menyatakan belasungkawa atau kasihan sehingga melanggar maksim kesimpatian sehingga O2 merasa tersinggung kemudian marah.

E. Skala Kesantunan Leech

Di dalam skala kesantunan Leech (1993: 194) setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech.

a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari segi mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri si mitra tutur, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa apabila tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan menjadi semakin santunlah pemakaian tuturan imepratif itu.

c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak

d. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

e. Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial antara di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

G. Faktor Penentu Kesantunan dan Ketaksantunan Berbahasa

Menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47) faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak. Berdasarkan identitifikasi terhadap bentuk kesantunan dan Menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47) faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak. Berdasarkan identitifikasi terhadap bentuk kesantunan dan

a. Faktor Kebahasaan

Faktor kebahasaan tersebut adalah segala unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal.

1. Pemakaian Diksi yang Tepat

Pemakaian diksi atau pilihan kata yang tepat saat bertutur dapat mengakibatkan tuturan menjadi santun. Ketika penutur sedang bertutur, kata-kata yang digunakan dipilih sesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan, dan sebagainya. Kebenaran suatu tuturan tidak hanya ditentukan oleh keteraturan bagian- bagiannya sebagai satuan pembentuk tuturan, tetapi juga ditentukan oleh bentuk dan pilihan kata atau diksi yang mengisi bagian-bagian itu, dengan demikian kesalahan dimungkinkan juga oleh adanya pemakaian bentuk dan pilihan kata yang tidak benar atau tidak tepat.

Menurut Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 48) pemakaian diksi yang berkadar santun tinggi memiliki beberapa agrumentasi di antaranya; nilai rasa kata Menurut Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 48) pemakaian diksi yang berkadar santun tinggi memiliki beberapa agrumentasi di antaranya; nilai rasa kata

2. Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun

Menurut Hardjoprawiro (dalam Masfufah, 2010: 48) Berbahasa itu tidak hanya sekedar dapat memahami ucapannya sebab kalu berbahasa asal mengerti atau dipahami saja, tidak ada seninya. Dalam berbahasa juga diperlukan suatu gaya bahasa karena gaya bahasa dapat juga menimbulkan pemakaian bahasa yang santun. Seperti yang dikatakan Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 48) gaya bahasa tersebut merupakan optimalisasi pemakaian bahasa dengan cara-cara tertentu untuk mengefektifkan komunikasi.

Pemakaian gaya bahasa untuk mencapai komunikasi yang santun tidaklah mudah. Memang dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai gaya bahasa. jika seseorang mahir menggayakan bahasa dengan berbagai jenis majas, seperti peronifikasi, metafora, perumpamaan, litotes, eufemisme, dan sebagainya ternyata dapat meredam tuturan yang sebenaranya cukup keras. Dengan pemakaian gaya bahasa yang santun, penutur telah menunjukan sebagai orang yang bijaksana menyampaikan pesan atau maksud kepada mitra tutur. Gaya ini juga merupakan salah satu cara untuk memperkecil kesenjangan antara “apa yang dipikirkan” dengan “apa yang dituturkan”, tetapi dengan memenfaatkannya secara baik dan tepat.

3. Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik

Pemakaian Struktur kalimat yang benar dan baik pada saat bertutur, khususnya pada situasi formal atau resmi dapat mengakibatkan atau menimbulakan pemakaian bahasa menjadi santun. Pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik ini meliputi; kelengkapan konstruksi kalimat, keefektifan kalimat, dan penggunaan bentuk kebahasaan, tentu saja penggunaan bentuk bahasa yang santun yang sesuai dengan konteks tuturan.

4. Aspek Intonasi

Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur dengan menggunakan intonasi keras padahal jarak mitra tutur berada jarak yang sangat dekat dengan penutur, penutur akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, kija penutur menyampaikan intonasi dengan lembut, penutur akan dinilai sebagai orang yang santun. Namun, intonasi kadang-kadang dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat. Misalnya lembutnya intonasi orang Jawa berbeda dengan orang Batak ataupun orang Bugis.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “lemah lembut” didefinisikan sebagai ‘baik hati, tidak pemarah, peramah’. Adapun “lembut” itu sendiri diartikan sebagai ‘halus dan enak didengar, tidak kasar; tidak keras atau tidak nyaring (tentang suara, bunyi); baik hati (halus bahasanya), tidak bengis, tidak pemarah, lembut hati’. Dalam praktiknya deskripsi ini tercermin pada bagaimana seseorang mengekspresikan tututran dalam pengaturan intonasi. Karena intonasi mengandung unsur nada (tone), tekanan (stress), dan tempo (duration), maka Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “lemah lembut” didefinisikan sebagai ‘baik hati, tidak pemarah, peramah’. Adapun “lembut” itu sendiri diartikan sebagai ‘halus dan enak didengar, tidak kasar; tidak keras atau tidak nyaring (tentang suara, bunyi); baik hati (halus bahasanya), tidak bengis, tidak pemarah, lembut hati’. Dalam praktiknya deskripsi ini tercermin pada bagaimana seseorang mengekspresikan tututran dalam pengaturan intonasi. Karena intonasi mengandung unsur nada (tone), tekanan (stress), dan tempo (duration), maka

5. Aspek Nada Bicara

Aspek nada dalam bertutur lisan dapat juga mempengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggmbarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Jika suasana hati sedang senang, nada bicara penutur menaik dengan ceria sehingga terasa menyenangkan. Sebaliknya jika suasana hati sedang sedih, nada bicara penutur menurun dengan datar sehingga terasa tidak menyenagkan atau menyedihkan. Jika sedang marah atau emosinya tinggi, nada bicara penutur akan menaik dengan keras dan kasar sehingga terasa menakutkan. Nada bicara tersebut tidak dapat disembunyikan dari tuturan.

Dengan kata lain, nada bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati si penutur. Namun, bagi penutur yang selalu ingin bertutur secara santun, dapat mengendalikan diri agar suasana yang negatif tidak terbawa dalam bertutur dengan mitra tuturnya.

b. Faktor Nonkebahasaan

Pada saat berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor kebahasaan. Namun, penutur juga melibatkan faktor-fakor nonkebahasaan yang akan menentukan kesantunan bertutur. Berikut penjelasan secara singkat ketiga

1. Topik Pembicaraan

Suwandi berpendapat bahawa topik pembicaraan adalah pokok masalah yang diungkapkan ketika terjadinya komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Pada dasarnya topik dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu (a) topik yang bersifat formal (misalnya; kedinasan, keilmuan, dan kependidikan) dan (b) topik yang bersifat informal (misalnya; masalah kekeluargaan, persahabatan). Topik (a) biasanya diungkapkan dengan bahasa baku, sedangkan topik (b) diungkapkan dengan bahasa nonbaku dan santai (dalam Masfufah, 2010: 51).

Sementara menurut Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 52), topik pembicaraan dalam suatu komunikasi sering mendorong seseorang untuk berbahasa secara santun atau tidak santun. Misalnya, topik pembicaraan yang dapat mengancam posisi si penutur dapat memuncalkan tuturan yang tidak santun. Hal ini memang bersifat kodrati karena setiap orang atau penutur ingin martabat dirinya tidak dilanggar oleh orang lain. Bahkan, penutur yang salah sekalipun, jika merasa dipermalukan di dihadapan orang lain pasti dia akan membela diri dengan mengucapkan tuturan yang tidak santun.

2. Konteks Situasi Komunikasi

Pranowo (dalam Masfufuah, 2010: 52) mengatakan faktor nonkebahasaan yang berupa konteks situasi ini adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, dan kondisi psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. Komunikasi antarpenutur dapat terjadi di berbagai tempat (misalnya; di kelas, di Pranowo (dalam Masfufuah, 2010: 52) mengatakan faktor nonkebahasaan yang berupa konteks situasi ini adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, dan kondisi psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. Komunikasi antarpenutur dapat terjadi di berbagai tempat (misalnya; di kelas, di

Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Pengguna bahasa atau penutur harus memperhatikan konteks tersebut agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan dapat menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, penutur senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa (Masfufah, 2010: 52).

3. Pranata Sosial

Anan berpendapat, tujuan lain komunikasi adalah untuk menjalin hubungan sosial (social relationship) antara pembicara dan lawan bicara. Dalam menjalin hubungan sosial ini tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks. Kompleksitas ini disebabkan tidak hanya oleh faktor-faktor linguistik (linguistic factors) yang harus dipertimbangkan oleh pembicara dan lawan bicara, tetapi faktor-faktor nonlinguistik (non-linguistic factors) juga memegang peranan penting (dalam Masfufah, 2010: 53). Seseorang pembicara tidak cukup memilih formulasi gramatikal dan pilihan kata yang tepat untuk berbicara, tetapi aspek sosio kultural juga harus menjadi pertimbangan.

Pranata sosial budaya masyarakat sebagai penentu kesantunan berbahasa dari aspek nonkebahasaan memang perlu diperhatikan bagi penutur. Misalnya, aturan anak kecil atau anak muda yang harus selalu hormat kepada orang yang lebih tua, berbicara tidak boleh sambil makan, perempuan tertawa terbahak-bahak, tidak boleh bercanda ria di tempat orang yang sedang berduka, dan sebagainya.

Berdasarkan dari teori kesantunan dan faktor penentu kesantunan, dalam penelitian ini fungsi kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dapat diklasifikasikan menjadi empat fungsi kesantunan. Keempat fungsi kesantunan tersebut meliputi (1) menolak secara tidak langsung, (2) menghormati MT, (3) menguntungkan MT, dan (4) memberi perintah secara tidak langsung.

H. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

SMP Muhammadiyah 1 Surakarta berada di Jl. Flores No.1, Kampung Baru Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta Telp.(0271) 636273.

a. Sejarah Berdirinya SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

Pada tanggal 1 Agustus 1952 dengan syarat keputusan Muhammadiyah bagian pengajaran cabang Surakarta No: E–1/I –01/1978 SLTP Muhammadiyah I Surakarta secara resmi berdiri dengan berstatus swasta penuh dan berlokasi sebagian di komplek perguruan Simpon dan sebagian di Kemlayan, dengan kepala sekolah Bapak Hadi Sumarno. Di komplek perguruan Simpon pada waktu itu ditempati tiga sekolah yakni SMP Muhammadiyah 1 dan SMP Muhammadiyah 3 masuk pagi, serta SPG Muhammadiyah 1 masuk sore.

Di tahun 1995, SMP Muhammadiyah mendapatkan status yakni swasta berbantuan dengan kepala sekolah Bapak Kirmadi Hendrosisiwarno dimutasikan ke SMA Muhammadiyah 1 Surakarta, maka yang menjabat sebagai kepala sekolah adalah Bapak Hardiyanto. Selanjutnya pada bulan Agustus 1965 berstatus swasta bersubsidi penuh No. SK 5440/B.S/B.1 dengan Bapak Kepala Sekolah

dimutasikan ke SMP Negeri 4 Surakarta, maka ditunjuk menjabat kepala sekolah yang baru yakni Bapak Soekirno, BA. Tahun 1960 Bapak H. Abdul Azis Markumi, BA ditunjuk sebagai kepala sekolah difinitif dengan SK: E.6313.IISP/Sep/68. Bapak Soekiryo, BA ditunjuk sebagai kepala sekolah SMP Muhammadiyah 3 Surakarta. Kemudian pada tahun 1972 Pimpinan Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Kebudayaan Kodya Surakarta mengambil keputusan memadatkan SMP Muhammadiyah 1 dan 3 Surakarta dipadatkan menjadi satu dengan nama SMP Muhammadiyah 1 bersubsidi di Surakarta, selanjutnya SMP Muhammadiyah 3 dengan status perbantuan diberikan kepada SMP Muhammadiyah yang berlokasi di pasar Kliwon Surakarta (dulu SMP Wustho). Sedang Bapak Soekirno pindah tugas di SPG Muhammadiyah 1 Surakarta. Mulai saat itu SMP Muhammadiyah 1 mulai berkembang baik dan melangkah dengan kelengkapan sarana dan prasarana maupun mutu dan kualitasnya.

Dalam akreditasi sekolah yang dilaksanakan oleh pemerintah pada tanggal

27 Maret 1985, SMP Muhammadiyah mendapatkan status disamakan dengan SK No. 359 / 103 / H. 1985. tahun 1990 mengajukan akreditasi yang kedua dan dapat mempertahankan status disamakan dengan SK No. 4055 / 103 / 1990 pada tahun 1996 mengajukan akreditasi dengan hasil disamakan serta tahun 2005 terakreditasi dengan nilai A (amat baik).

Kepala sekolah SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, yaitu Bapak Abdul Azis, BA, meninggal dunia pada tanggal 28 Sepetmber 1988, kemudian digantikan oleh Bapak Marsudi, BA pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1996

Dikdasmen PDM kota Surakarta. Pada tanggal 7 November 1998 jabatan kepala sekolah diserahkan kepada Bapak Drs. Mokh Akhsan. Tanggal 10 Januari 2001 beliau mendapat SK definitive Depdikbud. Untuk menjadi kepala sekolah selama

1 periode yaitu 4 tahun. Pada tanggal 1 Agustus 2005 dengan SK dari Majelis terjadi rotasi kepala sekolah yang mana Bapak Drs. Mokh Akhsan dipindah tugaskan ke SMP Muhammadiyah 4 Surakarta, sedangkan untuk SMP Muhammadiyah 1 diserahkan kepada Bapak Drs. H. M. Joko Riyanto, SH.MM sebelumnya menjabat Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 7 Surakarta dan mulai tahun 2005 sampai sekarang beliau masih menjabat sebagai kepala sekolah di SMP Muhammadiyah 1

b. Visi SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

Sekolah yang terkenal dengan The Favourite school SMP Muhammadiyah

1 Simpon Surakarta mempunyai visi "ILMU YANG AMALIAH, DAN AMAL YANG ILMIAH" yang mengandung arti Ilmu yang dapat diamalkan baik secara akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya dapat diamalkan secara keilmuan atau dapat diterima secara agama dan ilmiah keilmuan.

c. Misi SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

"DAKWAH ISLAMIAH DENGAN MEWUJUDKAN SOSOK PELAJAR MUSLIM YANG BERAKHLAK MULIA, CERDAS, PERCAYA DIRI, BERGUNA BAGI NUSA, BANGSA, DAN AGAMA", dari misi yang di tulis didepan intinya mengandung arti bahwa setiap peserta didik diharapkan mampu mengaplikasikan pelajaran yang diperoleh ke dalam kehidupan sehari-hari, dan "DAKWAH ISLAMIAH DENGAN MEWUJUDKAN SOSOK PELAJAR MUSLIM YANG BERAKHLAK MULIA, CERDAS, PERCAYA DIRI, BERGUNA BAGI NUSA, BANGSA, DAN AGAMA", dari misi yang di tulis didepan intinya mengandung arti bahwa setiap peserta didik diharapkan mampu mengaplikasikan pelajaran yang diperoleh ke dalam kehidupan sehari-hari, dan

H. Kerangka Pikir