Kecerdasan Adversitas

2. Kecerdasan Adversitas

a. Pengertian Kecerdasan Adversitas

Individu dalam menjalani kehidupannya pastilah memiliki harapan- harapan pada setiap hal dalam kehidupannya. Harapan-harapan tersebut yang dapat membuat individu tetap bertahan meski sedang menghadapi suatu permasalahan yang berat sekalipun, harapan positif tentang segala hal dalam kehidupannya memberi semangat untuk tetap bertahan bahkan bangkit dari permasalahan (Albrecht, 1992).

Manakala menghadapi permasalahan individu membutuhkan suatu kemampuan dalam dirinya, salah satu kemampuan yang perlu dimiliki yaitu kecerdasan adversitas. Menurut Stoltz (2005), secara teori kecerdasan adversitas adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. Kecerdasan adversitas meliputi dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, konsep tersebut telah diuji cobakan pada ribuan individu dari perusahaan-perusahaan di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas dapat menentukan siapa yang akan berhasil melampui harapan-harapan atas kinerja dan potensi-potensi yang ada. Kecerdasan adversitas dapat dipahami melalui tiga pengertian, yaitu:

1) Kecerdasan adversitas adalah suatu kerangka baru dalam memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Melalui riset-riset yang telah dilakukan kecerdasan dalam menghadapi rintangan menawarkan suatu pengetahuan baru dan praktis dalam merumuskan apa saja yang diperlukan dalam meraih keberhasilan.

2) Kecerdasan adversitas mempunyai pengukur untuk mengetahui respon individu terhadap kesulitan. Melalui kecerdasan dalam menghadapi rintangan pola-pola tersebut untuk pertama kalinya dapat diukur, dipahami dan diubah.

3) Kecerdasan adversitas merupakan serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan yang akan mengakibatkan perbaikan efektivitas pribadi dan profesional individu secara keseluruhan.

Pada diri setiap individu terdapat suatu keadaan yang terus menerus akan mempengaruhi bagaimana seseorang dalam berperilaku dan bertindak. Bila seseorang merespon sesuatu secara positif, maka hasilnyapun akan positif pula, demikian sebaliknya apabila seseorang merespon suatu tekanan atau keadaan

secara negatif maka otomatis akan melibatkan dirinya pada keadaan yang negatif pula. Elfiky (2009) memperjelas bahwa seseorang yang memiliki rasa percaya diri dan menghargai dirinya secara positif cenderung memberikan reaksi yang positif terhadap rintangan dan keadaan yang dihadapi. Sebaliknya perasaan rendah diri dan merasa diri kurang berharga menyebabkan seseorang cenderung bersikap pesimis terhadap peristiwa yang dialaminya.

Weihenmeyer dan Stoltz (2008) mengemukakan kecerdasan adversitas yang dimiliki seseorang akan meningkatkan kemampuan dalam mengenali kesulitan hidup dan membantu menghadapi kenyataan yang sebenarnya Kecerdasan adversitas mempunyai dua konotasi, yaitu menunjukkan suatu cara menghadapi tekanan, dan menunjukan suatu cara untuk mengatasi kondisi yang menyakitkan, mengancam, atau menantang ketika respon yang otomatis atau rutin tidak dapat digunakan. Adversitas memberikan efek pada kekuatan psikis (perasaan tentang konsep diri dan kehidupan), reaksi emosi, tingkat depresi atau kecemasan atau perasaan yang positif atau negatif. Adversitas secara sosial memberikan pengaruh pada fungsi seperti keberadaan didalam lingkungan dan sosialisasi serta hubungan interpersonal.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan kecerdasan adversitas adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. Melalui kemampuan berpikir, mengelola, dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola-pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.

b. Tingkatan Kecerdasan Adversitas

Menurut Stoltz (2005), kecerdasan adversitas bukan masalah hitam dan putih, tinggi atau rendah namun merupakan suatu masalah derajat. Individu yang memiliki kecerdasan dalam menghadapi rintangan tinggi akan memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menikmati manfaat-manfaat kecerdasan Menurut Stoltz (2005), kecerdasan adversitas bukan masalah hitam dan putih, tinggi atau rendah namun merupakan suatu masalah derajat. Individu yang memiliki kecerdasan dalam menghadapi rintangan tinggi akan memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menikmati manfaat-manfaat kecerdasan

1) Quitters Quitters adalah orang-orang yang berhenti dan tidak ada keinginan untuk mendaki. Individu jenis ini tidak memiliki energi untuk mencapai kebutuhan aktualisasi diri. Mereka memilih menghindar dari tantangan- tantangan yang nantinya akan dihadapi ketika mereka mendaki, mereka merasa cukup dengan semua yang sudah diperoleh dan berharap (dengan mengambil sikap ini) tidak akan mendapat tantangan-tantangan kehidupan daripada apabila mereka mendaki.

2) Campers Istilah campers sendiri adalah orang-orang yang berkemah. Maksud dari istilah ini adalah mengarah pada individu-individu yang telah berusaha melakukan pendakian (berusaha mencapai tujuan-tujuan aktualisasi diri), namun kemudian berhenti (ketika mencapai pada tingkat tertentu) dan merasa telah cukup sukses sehingga ia berhenti dalam mendaki.

3) Climbers Climbers berarti pendaki. Menurut kecerdasan adversitas, climbers adalah sebutan untuk individu yang seumur hidup membaktikan diri untuk pendakian. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib baik atau buruk, ia terus mendaki

Uraian tingkatan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkatan kecerdasan adversitas membedakan antara para Quiters, Campers, dan Climbers. Tingkatan kecerdasan adversity memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana setiap individu mempunyai perbedaan kemampuan dan kemauan dalam menjalani proses kehidupan menuju kesuksesan.

c. Dimensi Kecerdasan Adversitas

Stoltz (2000), mengemukakan bahwa kecerdasan adversitas terbagi atas empat dimensi, yaitu :

1) Control / kendali (C) Control atau kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan permasalahan yang dihadapi. Individu yang mempunyai skor tinggi pada dimensi ini akan menganggap bahwa akan selalu ada jalan dalam menyelesikan kesulitan dan berani dalam menghadapi masalah, sedangkan individu yang mempunyai skor rendah akan merasa bahwa apa yang dihadapinya berada diluar jangkauannya dan merasa tidak berdaya.

2) Origin and Ownership / Asal-usul dan Pengakuan (O 2 )

Origin dan ownership adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memecahkan suatu permasalahan. Origin atau asal-usul ada kaitannya dengan rasa bersalah. Individu yang adversity-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Individu tersebut melihat dirinya sendiri sebagai satu- satunya penyebab kesulitan tersebut. Dimensi ownership mencerminkan Origin dan ownership adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memecahkan suatu permasalahan. Origin atau asal-usul ada kaitannya dengan rasa bersalah. Individu yang adversity-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Individu tersebut melihat dirinya sendiri sebagai satu- satunya penyebab kesulitan tersebut. Dimensi ownership mencerminkan

3) Reach / Jangkauan (R) Reach ini mempertanyakan apakah masalah akan mempengaruhi perilaku dan kehidupan seseorang. Respon dengan kecerdasan adversitas yang rendah akan merembet ke segi-segi lain dari kehidupan individu. Sebaliknya tinggi skor Reach, maka individu semakin mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan peristiwa yang terjadi.

4) Endurance / Daya Tahan (E) Endurance adalah dimensi terakhir pada kecerdasan adversitas. Aspek ini mempertanyakan hal yang berkaitan dengan lamanya kesulitan yang dialami dan hal-hal yang menjadi penyebabnya. Semakin rendah skor Endurance individu semakin besar kemungkinan individu menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama.

Weihenmayer dan Stoltz (2008) mengemukakan individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

1) Kemauan. Pada tingkatan apapun kemauan terdiri dari satu bagian ketetapan hati, satu bagian dari keinginan, satu bagian ketegasan dan satu bagian usaha. Kemauan memerlukan dan terdiri atas semua unsur ini. Secara keseluruhan kemauan membuktikan satu kekuatan yang sangat hebat yang bisa mengatasi 1) Kemauan. Pada tingkatan apapun kemauan terdiri dari satu bagian ketetapan hati, satu bagian dari keinginan, satu bagian ketegasan dan satu bagian usaha. Kemauan memerlukan dan terdiri atas semua unsur ini. Secara keseluruhan kemauan membuktikan satu kekuatan yang sangat hebat yang bisa mengatasi

2) Kekuatan. Salah satu cara untuk mengubah kesulitan menjadi keuntungan adalah kekuatan. Kekuatan dalam kecerdasan adversitas dikaitkan dengan kemampuan untuk memahami, menghubungkan, dan mempertahankan hubungan dengan orang lain. Kekuatan juga mencakup kreativitas, pandangan, kemampuan kognitif, spiritual dan kemampuan fisik.

3) Bakat. Bakat adalah keahlian yang secara alami dimiliki seseorang. Bakat merupakan kemampuan bawaan yang perlu dikembangkan dan dipelajari. Bakat yang dimiliki menjadi pendukung kekuatan individu untuk menyelesaikan berbagai kesulitan

Berdasarkan uraian di atas aspek-aspek kecerdasan adversitas antara lain aspek control, origin dan ownership, reach, endurance, kemauan, kekuatan, bakat. Aspek dalam kecerdasan adversitas mempunyai tujuan untuk mengetahui seberapa jauh permasalahan mempengaruhi proses usaha dan perilaku seseorang serta sejauh mana seseorang bisa bertahan dan menemukan jalan keluar bagi permasalahan yang dialami.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Adversitas

Kecerdasan adversitas dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti diungkapkan Stoltz (2005) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan adversitas, yaitu: Kecerdasan adversitas dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti diungkapkan Stoltz (2005) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan adversitas, yaitu:

b. Faktor proses belajar Faktor ini sangat berpengaruh pada kecerdasan individu dalam mengatasi setiap kesulitan yang muncul. Proses belajar dipengaruhi bobot kepentingan dan kesulitan tersebut. Kreativitas akan membantu terciptanya suatu jalan keluar atau cara-cara untuk menyelesaikan setiap kesulitan yang muncul.

c. Faktor keyakinan dalam diri Faktor ini dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan yang dimunculkan individu. Sikap optimis dapat dikategorikan kedalam faktor keyakinan dalam diri individu. Individu yang memiliki sikap optimis akan memiliki keyakinan bahwa dirinya akan berhasil, memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari kegagalan dan dapat menerima kegagalan yang terjadi dalam dirinya.

Martin (2008) menambahkan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan adversitas, yaitu:

a. Fisik Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau a. Fisik Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan seseorang adalah anatomi saraf emosinya atau

b. Psikis Adversitas selalu dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat disimpulkan dan diperkuat dalam diri individu tidak ditentukan sejak lahir.

Menurut penelitian Dweck, (Martin, 2008), respon seseorang terhadap kesulitan dibentuk melalui pengaruh dari lingkungannya seperti orangtua, teman sebaya, guru, dan orang-orang yang mempunyai peran penting dalam hidupnya. Jika seseorang terus mengembangkan daya juangnya maka orang tersebut akan mencapai puncak kesuksesan dan berhasil disegala bidang kehidupan. Sementara orang yang tidak bisa mengembangkan daya juang dengan baik maka tidak dapat bertahan dalam kehidupannya atau gagal mencapai sukses

Covey (2000) menyatakan fisik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi cara berpikir pada individu untuk mengatasi masalah. Keadaan fisik mengenai kondisi kesehatan dapat mempengaruhi bagaimana individu mengembangkan pola pikirnya. Bila individu sakit atau mempunyai penyakit yang berlarut-larut akan mengganggu cara berpikirnya. Selain faktor fisik, faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang. Tingkat pendidikan rendah cenderung membuat individu tergantung dan berada di bawah kekuasaan yang lebih tinggi, sebaliknya individu yang pendidikannya tinggi Covey (2000) menyatakan fisik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi cara berpikir pada individu untuk mengatasi masalah. Keadaan fisik mengenai kondisi kesehatan dapat mempengaruhi bagaimana individu mengembangkan pola pikirnya. Bila individu sakit atau mempunyai penyakit yang berlarut-larut akan mengganggu cara berpikirnya. Selain faktor fisik, faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang. Tingkat pendidikan rendah cenderung membuat individu tergantung dan berada di bawah kekuasaan yang lebih tinggi, sebaliknya individu yang pendidikannya tinggi

Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor dalam kecerdasan adversitas adalah faktor lingkungan, proses belajar, keyakinan dalam diri, faktor fisik, psikis, dan faktor pendidikan.