pengetahuan yang memadai. Selain itu, sebagian penyuluh, dosen, guru maupun widyaiswara belum tersertifikasi.
6. Belum berkembangnya kemitraan antara petani dengan pelaku usaha pertanian. Kemitraan antara petani dan pelaku usaha belum optimal
sehingga usahatani yang dijalankan belum mendapatkan hasil yang maksimal. Petani masih berorientasi pada skala usaha individual, dan
belum mengarah pada skala korporasi. Dengan kondisi ini, petani akan sulit mendapatkan jaringan yang dapat memberikan alternatif solusi
terhadap berbagai permasalahan maupun untuk pengembangan usaha.
7. Belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam pengembangan SDM Pertanian. Investasi sumber daya manusia dalam pembangunan
pertanian biasanya belum tampak hasilnya dalam waktu satu atau dua tahun. Bagi kepala daerah yang tidak begitu perhatian dengan
investasi sumber daya manusia, dengan masa kekuasaan yang hanya lima tahunan, perannya dalam pengembangan SDM tidak akan
tampak pula.
8. Lambatnya alih teknologi dan informasi. Latar belakang pendidikan
petani yang rendah mempengaruhi tingkat adopsi teknologi dan informasi. Petani dengan tingkat pendidikan rendah pada umumnya
memiliki dasar pengetahuan yang kurang memadai untuk mencerna informasi atau pengetahuan, memahami prinsip kerja alat mesin
pertanian sampai dengan menggunakannya serta kurang dapat mengakses informasi. Akibatnya, banyak teknologi baru yang belum
banyak dimanfaatkan petani. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan hilangnya peluang-peluang yang menguntungkan bagi petani.
9. Terbatasnya sarana dan prasarana. Minimal kebutuhan sarana dan
prasarana Balai Besar Pelatihan Pertanian BBPPBalai Pelatihan Pertanian BPP, SMK-PP, dan STPP tertuang dalam Peraturan Menteri
Pertanian No. 49Permentan OT.14092011, sedangkan minimal kebutuhan sarana dan prasarana BP3K tertuang dalam Peraturan
Menteri Pertanian No. 28PermentanOT.14042012. Secara umum, lembaga-lembaga tersebut belum memenuhi kebutuhan minimal
sarana dan prasananya. Dengan kondisi ini, maka proses belajar
Rencana Strategis BPPSDMP 2015-2019
mengajar maupun transfer pengetahuan dan keterampilan lainnya tidak berjalan optimal.
10. Kurangnya kredibilitas. Kredibilitas terdiri dari beragam nilai seperti
kepercayaan yang tinggi, kepemimpinan mumpuni, karakter pribadi, kompetensi, kepedulian, dan komitmen tinggi. Kredibiltas merupakan
ukuran utama untuk menilai unggul tidaknya SDM dalam suatu persaingan. Semakin tinggi nilai unsur-unsur tersebut semakin tinggi
kredibilitas seseorang serta semakin banyak pengguna produk ataupun jasa yang dihasilkan yang merasa puas. Kredibiltas ini tidak
hanya
melekat pada
individu tetapi
juga melekat
pada lembagaindividu. kredibilitas individu akan menentukan kredibilitas
instansi tempat individu tersebut beraktivitas.
11. Rendahnya kapasitas petani dalam aspek kewirausahaanpemasaran.
Orientasi pertama sebagian besar petani masih pada bagaimana menghasilkan produk sebanyak-banyaknya. Pemahaman petani
tentang aspek pemasaran seringkali masih terbatas. Kegiatan pemasaran yang dilakukan petani baru sekedar menjual hasil
komoditas tanpa melakukan perlakuan khusus. Perlakuan tambahan seperti pemrosesan dan persiapan untuk meningkatkan nilai jual
komoditas belum banyak dilakukan. Selain itu, dalam memasarkan komoditas pertanian, petani banyak mengandalkan pedagang
pengumpul yang datang ke desa ketika musim panen, sehingga petani tidak mengetahui harga pasaran yang sesungguhnya. Kondisi ini
menyebabkan petani kehilangan kesempatan untuk memaksimalkan pendapatan dari komoditas yang dihasilkannya.
12. Lemahnya kapasitas dan belum efektifnya kinerja kelembagaan kelompok
tani. Lemahnya
kapasitas kelembagaan
petani menyebabkan posisi tawar kelompok tani rendah dan kelompok tidak
mandiri. Kelompok tani yang belum memiliki posisi tawar yang menguntungkan dalam menjalankan usahataninya akan memperoleh
pendapatan yang rendah.
13. Belum berkembangnya kelembagaan petani yang berorientasi pada aspek ekonomi petani. Sebagian besar kelembagaan petani belum
melakukan kegiatan usaha berkelompok yang berorientasi pasar.