Rencana Strategis BPPSDMP 2015-2019
1. Rendahnya tingkat pendidikan petani. Pendidikan petani yang rendah dapat menghambat proses pembangunan pertanian. Banyaknya
petani yang berpendidikan setingkat SD menghambat akses dan penguasaan informasi dan teknologi. Hal ini akan menyebabkan sektor
pertanian Indonesia ketinggalan dibanding negara lain dan produk yang dihasilkan juga tidak mampu bersaing dan akhirnya berdampak
pada pendapatan petani yang rendah.
2. Pola usaha tani yang dikelola masih bersifat subsisten dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Salah satu isu penting yang
terkait dengan alokasi lahan di Indonesia adalah kecilnya penguasaan lahan oleh sebagian besar petani. Petani dengan luas garapan kurang
dari 0,5 ha mencapai 54 tersebut akan sulit untuk mencapai skala usaha yang ekonomis.
3. Keterbatasan aksesibilitas petani terhadap permodalan, informasi dan teknologi. Sebagai akibat dari rendanya produktivitas, para petani
dihadapkan pada rendahnya aksesibilitas mereka terhadap kredit, informasi, teknologi dan infrastruktur. Kondisi tersebut berdampak
pada sulitnya pengembanganperluasan usaha agribisnis.
4. Rendahnya minat generasi muda untuk berusaha di bidang pertanian.
Jumlah petani muda cenderung menurun yang dindikasikan oleh usia petani yang umumnya sudah lanjut dan tidak ada minat para generasi
muda untuk terjun pada bidang pertanian. Hal ini akan mempengaruhi adopsi teknologi dan inovasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan
produksi.
5. Jumlah dan kompetensi tenaga fungsional belum memadai penyuluh, dosenguru dan widyaiswara. Jumlah penyuluh PNS yang
ada masih jauh dari kebutuhan pelayanan penyuluhan satu desa satu penyuluh. Saat ini penyuluh yang mendekati usia pensiun mencapai
49. Penurunan jumlah penyuluh akan berpengaruh pada jangkauan jumlah petani yang difasilitasi. Rendahnya insentif bagi penyuluh dan
adanya tawaran jabatan lain seiring dengan penerapan otonomi daerah menyebabkan banyak penyuluh yang beralih statusjabatan.
Terkait dengan dosen, guru dan widyaiswara, jumlah dan kualitasnya belum memadai. Secara ideal seorang guru, atau dosen atau
widyaiswara mengajarkan satu mata ajarankuliah dengan kedalaman
pengetahuan yang memadai. Selain itu, sebagian penyuluh, dosen, guru maupun widyaiswara belum tersertifikasi.
6. Belum berkembangnya kemitraan antara petani dengan pelaku usaha pertanian. Kemitraan antara petani dan pelaku usaha belum optimal
sehingga usahatani yang dijalankan belum mendapatkan hasil yang maksimal. Petani masih berorientasi pada skala usaha individual, dan
belum mengarah pada skala korporasi. Dengan kondisi ini, petani akan sulit mendapatkan jaringan yang dapat memberikan alternatif solusi
terhadap berbagai permasalahan maupun untuk pengembangan usaha.
7. Belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam pengembangan SDM Pertanian. Investasi sumber daya manusia dalam pembangunan
pertanian biasanya belum tampak hasilnya dalam waktu satu atau dua tahun. Bagi kepala daerah yang tidak begitu perhatian dengan
investasi sumber daya manusia, dengan masa kekuasaan yang hanya lima tahunan, perannya dalam pengembangan SDM tidak akan
tampak pula.
8. Lambatnya alih teknologi dan informasi. Latar belakang pendidikan
petani yang rendah mempengaruhi tingkat adopsi teknologi dan informasi. Petani dengan tingkat pendidikan rendah pada umumnya
memiliki dasar pengetahuan yang kurang memadai untuk mencerna informasi atau pengetahuan, memahami prinsip kerja alat mesin
pertanian sampai dengan menggunakannya serta kurang dapat mengakses informasi. Akibatnya, banyak teknologi baru yang belum
banyak dimanfaatkan petani. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan hilangnya peluang-peluang yang menguntungkan bagi petani.
9. Terbatasnya sarana dan prasarana. Minimal kebutuhan sarana dan
prasarana Balai Besar Pelatihan Pertanian BBPPBalai Pelatihan Pertanian BPP, SMK-PP, dan STPP tertuang dalam Peraturan Menteri
Pertanian No. 49Permentan OT.14092011, sedangkan minimal kebutuhan sarana dan prasarana BP3K tertuang dalam Peraturan
Menteri Pertanian No. 28PermentanOT.14042012. Secara umum, lembaga-lembaga tersebut belum memenuhi kebutuhan minimal
sarana dan prasananya. Dengan kondisi ini, maka proses belajar