Analisa Eksperimental Laju Keausan Plat Stainless Steel 304 Dengan Variasi Berat Beban Menggunakan Alat Uji Pin On Disk Sebagai Bahan Screw Conveyor

(1)

(2)

Lampiran 2


(3)

Lampiran 3


(4)

Lampiran 4


(5)

Lampiran 5


(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

(14)

Lampiran 6


(15)

(16)

(17)

(18)

Lampiran 8

Perhitungan Laju keausan Teori dan Laju Keausan Eksperimen Pada Beban 1 kg, 1,5 kg, 2 kg, 2,5 kg, dan 3 kg.

• Beban 1 kg

�� =����

��= 6,0 � 10−4

9,8 �� 462,89� 207 � 105 �/�2

��= 283,86 mm2

ᴪ�= �

ᴪ�=

283,86 mm2 1800 �

ᴪ�= 0,1577 mm3/s

c) Untuk luas dalam lintasan

Ap1 = π rp12

Ap1 = 3,14 (48.4 mm)2 Ap 1 = 7.355,63 mm2

d) Untuk luas luar lintasan

Ap2 = π rp22

Ap2 = 3,14 (49,19mm)2 Ap2 = 7.597,72mm2 VP = (Ap2 – Ap1). ɓ

VP = (7.597,72– 7.355,63) mm2 . (120,03 x 10-3) mm VP = 218,52 mm3

�� =

��

��=218,52 �� 3

1800 �


(19)

• Beban 1,5 kg

��= ����

��= 6,0 � 10−4

14,7 �� 462,89� 207 � 105 /2

��= 197,23 mm2

ᴪ�= ��

ᴪ�=

197,23 mm2 1800 �

ᴪ�= 0,2366 mm 3

/s

e) Untuk luas dalam lintasan

Ap1 = π rp12

Ap1 = 3,14 (48.3 mm)2 Ap 1 = 7.325,27 mm2

f) Untuk luas luar lintasan

Ap2 = π rp22

Ap2 = 3,14 (49,29mm)2 Ap2 = 7.628,64mm2 VP = (Ap2 – Ap1). ɓ

VP = (7.628,64 – 7.325,27) mm2 . (129,89 x 10-3) mm VP = 360,54 mm3

�� = �

��=360,54 �� 3

1800 �


(20)

• Beban 2 kg

��= ����

��= 6,0 � 10−4

19,6 �� 462,89� 207 � 105 �/�2

��= 567,72 mm2

ᴪ�= �

ᴪ�=

567,72 mm2 1800 �

ᴪ�= 0,3154 mm 3

/s

g) Untuk luas dalam lintasan

Ap1 = π rp12

Ap1 = 3,14 (48.2 mm)2 Ap 1 = 7.294,97 mm2

h) Untuk luas luar lintasan

Ap2 = π rp22

Ap2 = 3,14 (49,39mm)2 Ap2 = 7.659,62mm2 VP = (Ap2 – Ap1). ɓ

VP = (7.659,62 – 7.294,97) mm2 . (139,10 x 10-3) mm VP = 502,38 mm3

�� =

��

��=502,38 �� 3

1800 �


(21)

• Beban 2,5 kg

�� =����

��= 6,0 � 10−4

24,5 �� 462,89� 207 � 105 �/�2

��= 709,92 mm2

ᴪ�= �

ᴪ�=

709,92 mm2 1800 �

ᴪ�= 0,3944 mm 3

/s

i) Untuk luas dalam lintasan

Ap1 = π rp12

Ap1 = 3,14 (48.1 mm)2 Ap 1 = 7.264,73 mm2

j) Untuk luas luar lintasan

Ap2 = π rp22

Ap2 = 3,14 (49,49mm)2 Ap2 = 7.690,67mm2 VP = (Ap2 – Ap1). ɓ

VP = (7.690,67 – 7.264,73) mm2 . (148,87 x 10-3) mm VP = 644,58 mm3

�� =

��

��=644,58 �� 3


(22)

��= 0,3581 ��3 /�

• Beban 3 kg

��= ����

��= 6,0 � 10−4

29,4�� 462,89� 207 � 105 �/�2

��= 851,76 mm2

ᴪ�= �

ᴪ�=

851,76 mm2 1800 �

ᴪ�= 0,4732 mm 3

/s

k) Untuk luas dalam lintasan

Ap1 = π rp12

Ap1 = 3,14 (48 mm)2 Ap 1 = 7.234,56 mm2

l) Untuk luas luar lintasan

Ap2 = π rp22

Ap2 = 3,14 (49,59mm)2 Ap2 = 7.721,78mm2 VP = (Ap2 – Ap1). ɓ

VP = (7.721,78 – 7.234,56) mm2 . (159,23 x 10-3) mm VP = 786,42 mm3

�� =

��

��=786,42 �� 3

1800 �


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, Wendi, 2014. “Analisa Pengaruh Variasi Pembebanan Terhadap Laju Keausan dengan Bahan Alumunium dan Al-Si dengan Menggunakan Alat uji Keausan Tipe Pin On Disk”. Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan

Akbar, Rizqi, 2011, “Perancangan Pola Worm Screw Conveyor Dengan Proses Pengecoran Menggunakan Cetakan Pasir Untuk Pabrik Kelapa Sawit”.

Departement Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Medan.

Anang, Rohadi, dkk, 2013. “Analisis Keausan Baja St 40 Menggunakan Tribotester Pin On Disk dengan Variasi Kondisi Pelumas”.Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Wahid Hasyim, Semarang.

Damanik, Ucok.“Palm Oil Industrial

Engineering”

Darmanto, dkk. 2014. “Analisis Keausan Alumunium Menggunakan Tribotester Pin On Disk dengan Variasi Kondisi Pelumas”. Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Wahid Hasyim, Semarang.

Douglas, Considin. 1983. “Scientific Encyclopedia”, Australia, Van Mostran Reinold Company.

England, Gordon. “Rockwell Hardness

Test


(24)

Fahreza, Masyudi, dkk, 2015. “Rancang Bangun Screw Conveyor”. Pendidikan Teknik Otomotif, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Medan.

Hafizh, Abdul, dkk, 2009.“Alumunium Murni dan Paduannya”. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hasriani, dkk, 2014.“Gaya Gesekan”.Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Isranuri,Ikhwansyah, dkk, 2011. “Pengaruh Putaran Terhadap laju Keausan Al-Si Alloy Menggunakan Metode Pin On Disk Test". Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Khatimah, Khusnul. ”Gaya Gesek Dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan

Manusia”

(Di akses 20 Juli 2016).

Minhaeng, Cho, 2004. “Tribological studies of polyphenylene sulfide composites filles with micro/nano particles and reintforced with short fibers or carbon nano-tubes/ carbon nano-fibers”. Iowa State University.

Rapids, 2012.“Screw Conveyor Components and Design”, Ave SW.

Rahman, Abdul, 2015. “Studi Eksperimental Pengaruh Tipe Gating Tipe Sistem Terhadap Mechanical Properties dan Mikrostruktur pada Pengecoran Alumunium 356 – Sic Menggunakan Metode Stir Casting”. Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Royen, 2015.“Stainless Steel”.Ship Building Institute Of Polytechnic Surabaya. Widyastuti, 2009.“Rekayasa Proses”. Fakultas Teknik Universitas Indonesia,


(25)

Yayankhancoet.“Screw Conveyor” (Di akses 20 Juli 2016).

Zelina, Gaung. ”Macam - Macam Gaya


(26)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metoda

Perhitungan metoda penelitian pada Screw Konveyor dengan bahan stainless steel 304 menggunakan metoda pengujian komposisi, pengujian kekerasan dengan alat Brinell Tester dan metoda pengujian keausan dengan alat uji Pin On Disk.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 14 Desember 2015 pengesahan usulan oleh pengelolah program studi sampai dinyatakan selesai yang direncanakan berlangsung selama ± 3 bulan. Tempat pelaksanaan penelitian yaitu di Laboratorium Ilmu logam FisikProgram Sarjana Teknik Mesin dan di

Laboratorium Noise and Vibration Research, Fakultas Teknik Mesin,Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.3 Bahan dan Alat 3.3.1 Bahan Pengujian

1. Pelat (Stainless Steel 304)

Dalam penelitian ini, bahan penelitian yang digunakan adalah

stainless steel 304ukuranØ 100 mm x 6 mmberbentuk disc (piringan) untuk pengujian keausan dan bentuk persegi 50 mm x 80 mm untuk pengujian kekerasan (Hardness).

Pelat stainless steel 304 ini biasanya digunakan untuk conveyor yang mengangkut bahan – bahan yang harus di jaga keseterilannya, karena

stainless steel 304 tidak mudah mengalami korosi yang dapat mengotori bahan yang di angkut.


(27)

Gambar 3.1 Lembaran Plat Stainless Steel 304

Gambar 3.2 Spesimen pengujian keausan

Gambar 3.3 Spesimen pengujian kekerasan 3.3.2 Alat Pengujian

1. Las Plasma

Las plasma digunakan untuk memotong pelat lembaran yang kekerasannya sangat tinggi agar menjadi bentuk yang diinginkan.


(28)

Gambar 3.4Las Plasma

2. Gerinda

Penggunan gerinda tangan dilakukan untuk memperhalus permukaan benda yang telah dipotong melalui Las Plasma.

Gambar 3.5Gerinda Tangan 3. Mesin Bor

Mesin Bor digunakan untuk melubangi bagian tengah (centre) pelat pengujian.


(29)

Gambar 3.6Mesin Bor 4. Kunci Ring Pas

Digunakan untuk penyetelan baut dan mur pada alat uji Pin On Disk.

Gambar 3.7Kunci Pas

5. Timbangan Digital

Timbangan digital digunakan untuk menimbang pelat pengujian, alat ini digunakan saat akan dilakukan pengujian keausan.


(30)

Gambar 3.8Timbangan Digital 6. Stopwatch

Stopwatch adalah alat untuk menghitung waktu. Penggunaan alat ini digunakan untuk pengujian Pin on Disk.

Gambar 3.9 Stopwatch 7. Jangka Sorong

Jangka sorong ini digunakan pada saat penelitian Pin On Disk,


(31)

Gambar 3.10 Jangka Sorong

8. Kertas Pasir

Pemolesan menggunakan kertas pasir pada bahan pengujian. Kertas pasir sendiri mempunyai jenis berbeda permukaan kekasarannya,mulai dari 80,100,120,150,180,240,400,500,1000 dan seterusnya..

Gambar 3.11 Kertas Pasir

9. Mesin Polish (Polishing Machine)

Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus, bebas goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan sampel. Permukaan sampel yang akan diamati dibawah mikroskop harus benar-benar rata. Mesin Polish yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.2.


(32)

Spesifikasi Mesin Polish

• Merk : BUEHLER LTD

• Buatan : Illinois, USA.

• Volts : 220

• Hz : 50

• PH : 1

• Cat. No : 46 – 1583 – CCC

• Ser. No : 300 – CCC –V – 1442VD

Gambar 3.12 Mesin Polish 10.Alat Uji Kekerasan

A. Brinell Hardness Tester

Pengujian kekerasan dengan metode Brinnel bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja (identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (spesimen).Idealnya, pengujian Brinnel diperuntukan untuk material yang memiliki permukaan yang kasar dengan uji kekuatan berkisar 500-3000 kgf.Identor (Bola baja) biasanya telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida Tungsten.


(33)

Spesifiakasi Alat Uji Kekerasan Brinell :

Merk : TORSEE

Buatan : Tokyo, Japan

Type : BH – 3CF

Cap : 3000 kg

Mfg. No : 2169

Date : 1992 – 10

Gambar 3.13Brinell Hardness Tester 11. Alat Uji Keausan

A. Pin On Disk

Cara kerjanya dimana plat yang berbentuk piringan diikat pada

coupling gearbox. Struktur alat uji Pin On Diskterdiri dari satu unit motor (dynamo) yang terhubung pada gearboxdengan menggunakan

pulley dan v-beltserta tiang penyangga penggores yang tepat berada diatas coupling gearbox dapat dilihat pada Gambar 3.14.

Spesifikasi Pin On Disk:

1. Motor

Daya motor : 1 Hp


(34)

Putaran Motor : 1420 rpm Frekuensi : 50 Hz

Sabuk-V : A-32 (Mitsuboshi) Gearbox

Putaran Gearbox : 1 : 24 Diameter Puli Gearbox : 3,5” (inch) Putaran Ouput : 50 Rpm

Gambar 3.14 Alat uji Keausan (Pin On Disk)

12. Alat Uji Metallography

Alat uji metallografi yang digunakan adalah Mikroskop Optik.Alat ini digunakan untuk mengetahui mikrostruktur dari suatu material. Namun disini pengujian yang dilakukan bukan melihat struktur material tetapi digunakan untuk mengukur lebar dan kedalam jejak pin pada pengujian Keausan. Alat pengujian ini mampu memperbesar suatu objek 200 kali pembesaran, namun pada pengujian kali ini hanya menggunakan pembesaran 50 kali untuk lebar spesimen dan


(35)

100 kali pembesaran untuk kedalamannya. Mikroskop optik dapat di lihat pada Gambar 3.15.

Gambar 3.15 Mikroskop Optik 3.4 Prosedur Penelitian

1. Pengujian Komposisi

Pengujian komposisi ini merupakan hal yang harus dilakukan sebelum melakukan pengujian kekerasan dan pengujian keausan.Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan unsur – unsur kimia yang terkandung pada plat stainless steel 304.Pengujian ini dilakukan di Leboratorium Teknik Mesin Universitas Negeri Medan.

2. Pengujian Kekerasan (Hardness Test)

Pengujian Kekerasan bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material.Pengujian ini dilakukan dibeberapa titik yang di indentasi, yaitu 3 titik indentasi. Pengujian Kekerasan pada bahan plat Stainless steel304 menggunakan metode Brinnel Hardness Testdan dilakukan di Laboratorium Ilmu Logam Teknik Mesin USU.

Adapun prosedur yang dilakukan yang dilakukan pada pengujian kekerasan (hardness) adalah sebagai berikut :


(36)

2. Selanjutnya pelat dilakukan proses polishinh dengan menggunakan kertas pasir dengan variasi nomor 600, 800, dan 1000.

3. Kemudian pelat spesimen di polish dengan menggunakan mesin polish.

4. Setelah selesai di polish, kemudian pelat di uji kekerasannya dengan menyiapkan landasan spesimen.

5. Kemudian letakkan spesimen diatas landasan pada mesin Brinnel Hardness Tester.

6. Bola Baja sebagai penetrator di set pada titik yang akan diuji dengan kondisi bersinggungan (bola baja hanya menyentuh pelat).

7. Kemudian diberi bebann dengan menggunakan hande 1500 kg dan tahan selama 15 detik.

8. Setelah 15 detik, katup pembuka dibuka dengan perlahan.

9. Diameter indentasi/jejak bola diukur dengan menggunakan teropong. 10. Diameter yang diperoleh dikonversikan dengan nilai diameter dan

beban (dalam hal ini beban 1500 kg).

11. Ulangi langkah-langkah diatas untuk pengujian selanjutntya. 3. Pengujian Keausan

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui laju keausan pada pelat Stainless steel 304. Dalam pengujian ini alat yang digunakan adalah alat uji keausan dengan menggunakan standar ASTM G99-04 tipe Pin on Disk.

Pengujian ini dilakukan di Laboratoriium Noise and Vibration ResearchPogram Magister Teknik Mesin USU. Adapun prosedur yang dilakukan untuk pengujian keausan (wear test) adalah sebagai berikut :

1. Persiapkan seluruh kelengkapan seperti kunci ring pas, timbangan digital,stopwatch dan spesimen.

2. Timbang spesimen menggunakan timbangan digital dan catat nilainya. 3. Kemudian setel panjang lengan penggores dengan mengendurkan baut


(37)

4. Berikan variasi beban yang diinginkan dalam hal ini anak timbangan (kuningan) sebagai pemberat/beban yakni beban 0.5 kg, 1 kg, 1,5 kg, 2 kg, 2,5 kg dan 3 kg dengan putaran konstan 50 rpm.

5. Kemudian nyalakan listrik pada kotak panel dan atur waktu pengujian selama 15 menit tiap spesimen.

6. Setelah 15 menit pengujian, timbang dan catat hasil pengurangan akibat goresan dari pin (penggores).

7. Lakukan Percobaan pada beban 1 kg, 1,5kg, 2 kg, 2,5 kg dan 3 kg dengan langkah kerja yang sama pula.

4. Pengujian Metallografi (Metallografy Test)

Pengujian metallography ini digunakan untuk melihat mikrostruktur

yang ada dipermukaan spesimen.Namun pada kali ini alat ini hanya digunakan untuk mengukur lebar dan kedalaman indentasi saat pengujian keausan/Pin on Disk. Pengujian ini menggunakan Reflected Metallurgical Microscope dengan tipe Rax Vision No. 54591, MM-10 A, 230 V-50Hz, dan dilakukan dengan di Laboratorium Ilmu Logam Teknik Mesin USU. Adapun prosedur yang dilakukan untuk pengujian metallografi (metallography test) adalah sebagai berikut :

1. Dipersiapkan spesimen untuk mengukur kedalaman gesekan 2. Kemudian letakkan spesimen diatas meja mikroskop

3. Dengan menggunakan software metallography di komputer dapat diukur kedalaman dan lebar goresan saat pengujian pin on disk.


(38)

3.5 Diagram Alir Penelitian

4 5

6

BAB IV Studi Kepustakaan Observasi Lapangan Penyiapan spesimen

Lakukan Pengujian

Selesai

Rancang Bangun Ulang Mesin Pin On Disk

Menghitung laju Keausan Eksperimen (ΨP) dan Laju Keausan Teori (ΨT) Pengujian Komposisi, Pengujian Kekerasan,

Pengujian Pin On Disk, Pengujian Metallography

Data

Menghitung Nilai BHN

Selisih ΨT dan ΨP≤ 0,1 Analisa data

Kesimpulan Mulai


(39)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian Kompoisi

Hasil Pengujian komposisi kimia material uji yang di lakukan di Laboratorium/Workshop Teknik Mesin Universitas Negeri Medan, dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Komposisi Kimia Material Uji Komposisi

kimia

(%) Fe 67,0 C 0.0432 Si 0,345 Mn 3,35

P 0.0414 Cr 20,2 Mo 0.373

Ni 10,4 Al 0.0111 Co 0.142 Cu 0.0379

Ti 0.0097 V 0.0983 W 0.0201 Pb 0.0126

Dari Tabel diatas dapat dilihat komposisi kimia material uji, maka dengan mengetahui nilai dari komposisi kimia dapat diketahui klasifikasi material adalah stainless steel 304 Standart ST 52.0S Grade 1.0421 yang memiliki sifat tahan terhadap korosi, tahan terhadap panas, tahan terhadap suhu tinggi (Royen, 2015).

Adapun karakteristik stainless steel 304 yaitu: (Royen, 2015).

1. Tahan terhadap karat baik yang bersifat oksidatif maupun ketika terkena material yang mengandung bahan kromium.

2. Bisa dibentuk dengan lebih mudah dan mempunyai sifat las yang lebih kuat.

3. Merupakan baja yang sangat tangguh dan bisa bekerja untuk suhu yang lebih rendah.


(40)

4.2 Hasil Pengujian Kekerasan

Pengujian Kekerasan ini dilakukan untuk mengetahui angka kekerasan suatu material. Pengujian kekerasan dilakukan terhadap semua sampel pelat persegi berukuran 6 mm x 50 mm x 80 mm dengan menggunakan metode pengujian Brinnel dengan beban 1500 kg dengan waktu penahanan 15 detik. Spesimen uji kekerasan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Hasil Pengujian Kekerasan (Brinnel)

Nilai untuk mencari Brinnel Hardness Test (BHN) dari spesimen yang sudah diuji dapat menggunakan persamaaan berikut :

��� = �

�����������������

���= ��

2 (�−√(�� 2

�2) (4.1)

Dimana :

P : Beban (1500 kg)

Db: Diameter bola indentansi (10 mm) db: Diameter indentansi (mm)


(41)

Setelah dilakukan pengujian, spesimen menggunakan metode Brinnel dan dihitung menggunakan persamaan 4.1, maka diperoleh hasil pengujian kekerasan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2 Data Hasil Pengujian Kekerasan

Spesimen Titik Beban kg db (diameter indentasi) Mm Rata-rata diameter indentasi mm BHN (Pa) Stainless Steel 304 1 2

3 1500

3,0 3,0

3,0 3,0 207

Tabel 4.2 memperlihatkan hasil nilai BHN rata – rata plat stainless steel 304 sebesar 207 BHN, jika dikonversikan kedalam HRC melalui Hardness Conversion Tabel maka didapat nilai kekerasan material sebesar 15 HRC.

4.3 Hasil Pengujian Keausan

Alat yang digunakan untuk pengujian keausan ini adalah alat uji keausan dengan standar ASTM G99-04 tipe pin on disk dengan variasi pembebanan dan kecepatan konstan. Keausan yang terjadi pada pengujian ini adalah keausan abrasif (Abrasive wear).Dibawah ini ditunjukkan Gambar setelah pengujian.Dimana goresan tersebut terdapat celah atau lebar akibat goresan pin/penggores. Pada pengujian keausan ini kecepatan putarannya konstan yaitu (n = 50 rpm) dengan beban variasi 0,5 kg, 1 kg, 1,5 kg, 2 kg, 2,5 kg dan 3 kg dan lamanya waktu pengujian tiap spesimen adalah 300 detik. Dimensi pelat sendiri berdiameter 100 mm dengan tebal 6 mm. Pada pengujian keausan dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan mengukur massa benda yang telah diuji pin on disk dan berdasarkan hukum Archard tentang keausan. Pengujian ini dilakukan dengan menimbang massa pelat spesimen sebelum dilakukan pengujian pin on disk dan


(42)

setelah diuji kemudian ditimbang kembali spesimen yang telah mengalami goresan.

Tabel 4.3 Berat Spesimen Pengujian Pin On Disk

Spesimen Load Beban (kg) Berat Awal Spesimen (gr) Berat Akhir Spesimen (gr) Berat Bram yang hilang (gr) Stainless Steel 304 1 2 3 4 5 6 0,5 1 1,5 2 2,5 3 433 431 435 441 440 429 432,5 430 433,5 439 437,5 426 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Dari Table 4.3 dapat digambarkan Grafik kehilangan massa spesimen dengan variasi beban yang dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(43)

Gambar 4.2 Grafik kehilangan massa spesimen dengan variasi beban

Dari Gambar 4.2 menunjukkan semakin berat bebanyang diberikan pada spesimen maka semakin besar pula massa spesimen yang hilang. Kehilangan massa terendah terjadi pada beban 0,5 kg dengan massa yang hilang sebesar 0,5 gram dan kehilangan massa tertinggi terjadi pada pembebanan 3 kg dengan massa yang hilang sebesar 3 gram.

Gambar 4.3Spesimen yang sudah diuji keausan

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 0,5

0,5 1 1,5 2 2,5 3

M as sa y an g hi lang ( g r)

Berat beban (kg)


(44)

Dari Gambar 4.3 terdapat jejak pada spesimen uji keausan. Jejak tersebut akibat penekanan pin yang diberi beban pada saat pengujian, sehingga pin tersebut bergesek pada permukaan spesimen. Lebar jejak tersebut dapat diukur dengan menggunakan Reflected Metallurgical Microscope dengan type Rax Vision

No.545491, MM – 10 A, 230 V-50 Hz . Kemudian dengan menggunakan alat ini diukur lebar jejaknya.Lebar jejak pelat JIS G3101 diberi variasi beban (load) dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 4.4Lebar goresan spesimen pada beban 0,5 kg


(45)

Gambar 4.6 Lebar goresan spesimen pada beban 1,5 kg

Gambar 4.7 Lebar goresan spesimen beban 2 kg


(46)

Gambar 4.9 Lebar goresan spesimen pada beban 3 kg

Lebar goresan yang dihasilkan pada raw material tidak sepenuhnya lurus, tetapi terdapat lekukan – lekukan pada goresannya. Hal ini dikarenakan adanya getaran pada pin akibat pembebanan. Untuk memudahkan perhitungan maka pengujian ini setiap spesimen dibagi 4 titik guna mengetahui berbedanya kedalaman goresan dan goresan. Untuk kedalaman goresan pada setiap pembebanan di ukur dengan alat yang sama, namun dengan skala yang berbeda, yaitu dengan skala 100 kali pembesaran dan dapat di lihat pada gambar berikut ini.


(47)

Gambar 4.11 Kedalaman goresan pada beban 1 kg

Gambar 4.12 Kedalaman goresan pada beban 1,5 kg


(48)

Gambar 4.14 Kedalaman goresan pada beban 2,5 kg

Gambar 4.15 Kedalaman goresan pada beban 3 kg

Setelah dilakukan pengukuran pada setiap titik, maka didapat nilai rata – rata lebar goresan dan kedalaman goresannya seperti pada tabel 4.4.


(49)

Tabel 4.4Lebar goresan dan Kedalaman goresan plat stainless steel 304 N

o Spes imen

Titik Load (kg) a (μm) ā (μm) ǡ (μm) b (μm) ɓ (μm) Ƃ (μm)

1 A1 1 2 3 4 0,5 594,7 0 594,2 0 594,0 0 594,2 0 594,1 2 599,09 107,09 107,35 106,97 107,10 107,1 2 134,0 4 2 A2

1 2 3 4 1 596,0 1 596,0 3 596,0 9 596,0 4 596,0 4 120,00 119,89 120,22 120,03 120,0 3

3 A3 1 2 3 4 1,5 598,0 0 598,0 1 598,0 4 598,0 2 598,0 1 129,78 129,83 130,02 129,95 129,8 9

4 A4 1 2 3 4 2 600,1 1 600,0 9 600,0 7 600,0 5 600,0 8 139,15 139,20 138,96 139,11 139,1 0

5 A5 1 2 3 4 2,5 602,1 3 602,1 5 602,1 0 602,1 2 602,1 2 148,67 149,01 148,86 148,95 148,8 7

6 A6 1 2 3 3 604,1 8 604,2 604,1 9 159,15 159,18 159,35


(50)

4 0 604,1

9 604,2

1

159,24 159,2 3

Dari Tabel 4.3 dapat digambarkan Grafik nilai lebar goresan pada tiap titik yang di ukur dengan variasi beban yang dapat dilihat pada Gambar 4.16 dan Grafik nilai kedalaman goresan pada tiap titik yang di ukur dengan variasi beban dapat dilihat pada Gambar 4.17.

Gambar 4.16 Grafik nilai lebar goresan pada tiap titik yang di ukur dengan variasi berat beban.

Dari Gambar 4.16 Menunjukkan bahwa lebar goresan pada setiap titik yang diukur pada setiap beban memiliki lebar goresan yang berbeda-beda,


(51)

semakin besar beban yang diberikan pin terhadap spesimen maka semakin besar pula lebar goresannya. Lebar goresan terkecil terjadi pada pembebanan 0,5 kg dengan lebar goresan sebesar rata-rata 594,12 μm dan lebar goresan terbesar terjadi pada pembebanan 3 kg dengan lebar rata-rata 604,19 μm. Hal ini terjadi karena semakin besar beban yang diberikan pin pada spesimen maka semakin besar gaya gesek antara pin dengan spesimen.

Gambar 4.17 Grafik nilai kedalaman goresan disetiap titik yang di ukur dengan variasi berat beban.

Dari Gambar 4.17 Menunjukkan bahwa kedalaman goresan pada setiap titik yang diukur pada setiap beban memiliki kedalaman goresan yang berbeda-beda, semakin besar beban yang diberikan pin terhadap spesimen maka semakin besar pula kedalaman goresannya. Kedalaman goresan terkecil terjadi pada


(52)

pembebanan 0,5 kg dengan kedalaman goresan sebesar rata-rata 107,12 μm dan kedalaman goresan terbesar terjadi pada pembebanan 3 kg dengan dalam rata-rata 159,23 μm. Hal ini terjadi karena semakin besar beban yang diberikan pin pada spesimen maka semakin besar gaya gesek antara pin dengan spesimen.

Berdasarkan Hukum Archard tentang keausan (wear law) bahwa untuk menentukan laju keausan terlebih dahulu dihitung panjang lintasan dan volume keausannya.Panjang lintasan dapat dihitung melalui persamaan (4.3) setelah dihitung terlebih dahulu jari-jari lintasan. Untuk ketiga jenis spesimen, jarak diameter luar pengujian dan jarak diameter dalam pengujian adalah sama. Jari-jari lintasan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4.2) seperti berikut :

�=��+ ǡ

2 (4.2)

Dimana :

r = Jari-jari lintasan ā = Lebar jejak rata-rata dp= Diameter pengujian

�=97,7mm + (594,12 x 10

−3)

2 r = 49,14mm

Setelah didapat hasil perhitungan untuk jari-jari lintasan, maka panjang lintasan dapat dihitung dengan persamaan (4.3) :

�=2����

60

(4.3)

Dimana :

L = panjang lintasan (m) n = putaran (rpm)

t = waktu keausan (s) r = jari-jari lintasan (mm)

Berdasarkan persamaan diatas, untuk ketiga spesimen mempunyai jari-jari lintasan sebesar mm, pengujian dengan kecepatan konstan 50 rpm selama 1800 detik. Maka panjang lintasannya adalah :


(53)

L =2���� 60

L =2 � 49,14 50 1800 60

L = 462.898,8 mmmm L = 462,89 m

Setelah didapat hasil perhitungan untuk panjang lintasan, maka volume keausan dapat dihitung dengan persamaan (4.4) berikut ini :

��= ����

(4.4) Dimana :

VT = Volume keausan teori (mm3) K = Koefisien keausan (6,0 x 10-4) W = Beban (N)

H = Kekerasan material (Pa, N/m2) L = Panjang lintasan (m)

Berdasarkan persamaan diatas, untuk spesimen A1 memiliki panjang lintasan sebesar 462,98 m begitu juga pada spesimen A2, A3, A4, A5 dan A6 memiliki panjang lintasan yang sama dan pembebanan penpat dari haujian keausan 0,5 kg (4,9 N) pada spesimen A1, serta kekerasan materialnya sebesar 207 x 105 N/mm2 atau 15 HRC yang didapat dari hasil pengujian kekerasan, maka berdasarkan data-data diatas, didapat hasil perhitungannya seperti berikut ini :

��= ����

�� = 6,0 � 10−4

4,9 �� 462,89 � 207 � 105 /2

VT = 65,63mm3

Setelah didapat hasil perhitungan untuk volume keausan, maka laju keausan dapat dihitung dengan persamaan (4.5) berikut ini :


(54)

ᴪ�= �

(4.5) Dimana :

ΨT = Laju Keausan teori (mm3/s) t = Waktu keausan (s)

Berdasarkan persamaan diatas, untuk spesimen A1 plat stainless steel 304 memiliki volume keausan sebesar 65,63 mm3dan selama waktu pengujian keausan selama 1800 detik. Maka berdasarkan data-data diatas, didapat hasil perhitungannya seperti berikut ini :

��= ��

� �� =

65,63 ��3

1800 � ΨT = 0,0364 mm3

/s

Didapatlah hasil perhitungan untuk laju keausan secara teori berdasarkan hukum keausan Archard. Untuk perhitungan laju keausan spesimen A2, A3, A4 A5 dan A6 akan disajikan dalam bentuk tabel, karena langkah yang yang dilakukan untuk perhitungannya sama.

Ilustrasi pengujian keausan (pin on disk) secara eksperimen dapat dilihat pada Gambar 4.18.


(55)

Gambar 4.18 Ilustrasi pengujian Keausan (wear test) (Rahman Abdul, 2015) Dimana :

d1 : diameter dalam lintasan (mm) d2 : diameter luar lintasan (mm)

Kemudian untuk menentukan laju keausan dengan eksperimen terlebih dahulu dihitung luas lintasan dan volume keausan eksperimen. Luas lintasan dapat dihitung melalui persamaan (4.7) dan (4.8) setelah terlebih dahulu dihitung jari-jari luar lintasan, sedangkan jari-jari-jari-jari dalam lintasan sudah didapat dari pengukuran langsung pada spesimen yang telah di uji pin on disk. Jari-jari luar lintasan dapat dihitung menggunakan persamaan (4.6).

rp2 = rp1 + ǡ (4.6)

Dimana :

rp1: Jari-jari dalam lintasan rp2 : Jari-jari luar lintasan rp2 = rp1 + ā

rp2 = 48,5mm + (594,12 μm x 10−3) rp2 = 49,09 mm


(56)

Setelah didapat hasil perhitungan untuk jari-jari luar lintasan, maka luas dalam lintasan dan luas luar lintasan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4.7) dan (4.8) berikut ini :

Ap1 = π rp12 (4.7)

Ap2 = π rp22 (4.8)

Dimana :

Ap1 : Luas dalam lintasan (mm2) Ap2 : Luas luar lintasan (mm2)

Berdasarkan persamaan diatas, untuk spesimen A1 yang memiliki jari-jari dalam lintasan sebesar 48,5 mm dan jari-jari luar lintasan sebesar 49,15 mm, maka didapat hasil perhitungan seperti berikut ini :

a) Untuk luas dalam lintasan Ap1 = π rp12

Ap1 = π (48.5 mm)2 Ap 1 = 7.392 mm2

b) Untuk luas luar lintasan Ap2 = π rp22

Ap2 = π (49,09mm)2 Ap2 = 7.566mm2

Setelah didapat hasil perhitungan untuk luas dalam lintasan dan luas luar lintasan, maka volume keausan eksperimen dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4.9) berikut ini :

VP = (Ap2 – Ap1). ɓ (4.9)

Dimana :

VP:Volume keausan eksperimen (mm3) ɓ : Kedalaman jejak rata-rata (μm)

Berdasarkan persamaan diatas, untuk spesimen A1 memiliki luas dalam lintasan sebesar 7.392 mm2dan luas luar lintasan sebesar 7.566 mm2serta kedalaman jejak rata-rata spesimen A1 sebesar 107,12 x 10-3 μm, maka didapat hasil perhitungannya sebagai berikut :


(57)

VP = (7.566– 7.392) mm2 . (107,12 x 10-3) mm VP = 18,63 mm3

Setelah didapat hasil perhitungan untuk volume keausan, maka laju keausan eksperimen dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4.10) berikut ini :

�� =

��

� (4.10)

Dimana :

Ψp = Laju keausan eksperimen (mm3/s) t = Waktu pengujian (s)

Berdasarkan persamaan diatas, untuk spesimen A1 memiliki volume keausan eksperimen sebesar `18,63 mm3, maka didapat hasil perhitungan untuk laju keausan eksperimen seperti berikut ini :

�� = ��

� ��=18,63 ��3

1800 �

Ψp = 0,0103��3/

Untuk mempersingkat perhitungan pada spesimen A2, A3, A4, A5 dan A6, maka perhitungan laju keausan eksperimen dan perhitungan keausan Archard disajikan dalam bentuk Tabel 4.5 berikut ini :


(58)

Spesi -men L o a d W Kg t s n rpm dPelat mm dp mm L m k.10 -4 ΨP mm3/s

ΨT mm3/s

Stainl ess Steel 304 1 2 3 4 5 6 0,5 1 1,5 2 2,5 3 1800 1800 1800 1800 1800 1800 50 50 50 50 50 50 100 100 100 100 100 100 97,7 97,7 97,7 97,7 97,7 97,7 462,8 462,8 462,8 462,8 462,8 462,8 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 0,010 3 0,121 4 0,200 3 0,279 1 0,358 1 0,436 9 0,036 4 0,157 7 0,236 6 0,315 4 0,394 4 0,473 2 Dari Table 4.5 dapat digambakan Grafik Laju keausan dengan variasi beban pada plat stainless steel 304 dapat dilihat pada Gambar 4.19.


(59)

Gambar 4.19. Grafik Laju keausan dengan variasi beban pada plat stainless steel 304

Dari Gambar 4.19 dapat dilihat bahwa semakin besar berat beban yang diberikan maka semakin besar pula laju keausannya dari beban 0.5 kg ke beban 1 kg mengalami kenaikan laju keausan sebesar 91,51 %, dari beban 1 kg ke beban 1.5 kg mengalami kenaikan laju keausan sebesar 39,39 %, dari beban 1.5 kg ke beban 2 kg mengalami kenaikan laju keausan sebesar 28,23 %, dari beban 2 kg ke beban 2.5 kg mengalami kenaikan laju keausan sebesar 22,06 % dan dari beban 2.5 kg ke beban 3 kg mengalami kenaikan laju keausan sebesar 18,03 %. Laju keausan semakin tinggi pada setiap kenaikan berat beban. Hal ini terjadi karena semakin besar beban yang diberikan pin terhadap spesimen, maka semakin besar gaya gesekan yang di alami spesimen, sehingga laju keausannya semakin tinggi.


(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah dilakukan pengujian keausan dengan metode Pin On Disk yang terlebih dahulu dilakukan pengujian komposisi menggunakan

Spectrumeter dan pengujian kekerasan dengan metode Brinell, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil uji komposisi plat stainless steel 304 nilai Fe 67 %, C 0,0432 %, Si 0,345 %, Mn 1,35 %, P 0,0414 %, S 0,0100 %, Cr 20,2 %, Mo 0,0373 %, Ni 10,4 %, Al 0,0111 %, Co 0,142 %, Cu 0,0379 %, Nb 0,0116 %, Ti 0,0097 %, V 0,0983 %, W 0,0201 %, dan Pb 0,0126 % (standart ST 52.0S Grade 1.0421).

2. Nilai kekerasan (Hardness)Stainless Steel 304sebesar 207 x 105 Pa atau 15 HRC.

3. Nilai laju keausan plat stainless steel 304 adalah 0,0103 mm3/s pada beban 0,5 kg, 0,1214 mm3/s pada beban 1 kg, 0,2003 mm3/s pada beban 1,5 kg, 0,2791 mm3/s pada beban 2 kg, 0,2358 mm3/s pada beban 2,5 kg dan 0,4369 mm3/s pada beban 3 kg. Laju keausan semakin tinggi pada setiap kenaikan berat beban.


(61)

5.2 Saran

Untuk pengembangan dalam penelitian selanjutnya, maka dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut :

1. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk melakukan pengujian lebih dari satu material, agar dapat dibandingkan laju keausan pada masing-masing jenis material dan sebaiknya disertai dengan proses Heat Treatment.

2. Motor pada alat pengujian pin on disk di Lab Noise and Vibration Researchsebaiknya diperiksa atau diganti jika perlu, karena tidak mampu diberi beban tertentu dengan putaran rendah, sehingga menjadi kendala pada saat pengujian.

3. Untuk alat pin on disk sebaiknya perlu penambahan alat digital untuk beban yang akan diuji, karena selama ini beban pada pengujian diberikan secara manual dengan anak timbangan kuningan.


(62)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gaya Gesek

Gaya gesek adalah gaya yang berarah melawan gerak benda atau arah kecenderungan benda akan bergerak. Gaya gesek muncul apabila dua buah benda bersentuhan.Benda-benda yang dimaksud disini tidak harus berbentuk padat, melainkan dapat pula berbentuk cair ataupun gas. Gaya gesek antara dua buah benda padat misalnya adalah gaya gesek statis dan kinetis, sedangkan gaya antara benda padat dan cairan serta gas adalah gaya stokes. Gaya gesek dapat merugikan atau bermanfaat. Panas pada poros yang berputar, engsel pintu yang berderit dan sepatu yang aus adalah contoh kerugian yang disebabkan oleh gaya gesek. Akan tetapi tanpa gaya gesek manusia tidak dapat berpindah tempat karena gerakan kakinya hanya akan menggelincir di lantai. Tanpa adanya gaya gesek kita tidak akan pernah bisa berjalan. Gaya gesek merupakan akumulasi interaksi mikro antar kedua permukaan yang saling bersentuhan. Permukaan yang sangat halus akan menyebabkan gesek menjadi lebih kecil nilainya dibandingkan dengan permukaan yang kasar, akan tetapi tidak lagi demikian. Kontruksi mikro ataupun nano pada permukaan benda dapat menyebabkan gesekan menjadi minimum, bahkan cairan tidak lagi dapat membasahi (Khusnul, 2009).

2.1.1 Gaya Gesekan dan Gerak Benda

Apabila ada dua benda yang berinteraksi melalui kontak atau sentuhan langsung pada permukaan, maka akan selalu timbul suatu gaya yang disebut gaya kontak. Gaya kontak ini memiliki komponen yang sejajar dengan permukaan sentuh yang secara khusus disebut gaya gesekan, sedangkan komponen lain yang tegak lurus dengan permukan sentuh disebut gaya normal. Karena arah gesekan sejajar dengan permukaan sentuh, maka akan mempengaruhi gerak suatu benda. Arah gaya gesekan ini selalu berlawanan dengan arah gerak benda sehingga bersifat menghambat gerak benda. Walaupun gaya normal arahnya tegak lurus dengan arah gerak benda, nangaruh namun gaya normal memberikan pengaruh pada


(63)

besarnya gaya gesekan. Semakin besar gaya normal, maka semakin besar pula gaya gesekan yang terjadi.

Besar gaya gesekan disamping bergantung pada gaya normal, juga sangat bergantung pada kekasaran permukaan sentuh. Semakin kasar permukaan sentuh, umumnya semakin besar gaya gesekan yang timbul. Hal ini menjelaskan mengapa terjadi perbedaan jarak yang ditempuh oleh kelereng pada saat menggelinding dikarpet dan dilantai berkeramik.

Secara sepintas kita memperoleh pesan bahwa setiap gaya gesekan akan bersifat merugikan, akan tetapi bila kita perhatikan tidak sedikit keuntungan yang akan kita peroleh dengan adanya gaya gesekan ini, misalnya gesekan antara roda dan porosnya akan mengurangi laju mobil, namun tidak mungkin mobil bisa bergerak tanpa adanya gaya gesekan antara ban mobil dengan permukaan jalan (Khusnul, 2009).

2.1.2 Asal Gaya Gesek

Jika permukaan suatu benda bergesekan dengan permukaan benda lain, masing-masing benda tersebut mengerjakan gaya gesek antara satu dengan yang lain. Gaya gesek pada benda yang bergerak selalu berlawanan arah dengan arah gerakan benda tersebut.Selain menghambat gerak benda, gesekan dapat menimbulkan aus dan kerusakan. Hal ini dapat kita amati pada mesin kendaraan, misalnya ketika kita memberi minyak pelumas pada mesin mobil agar gesekan pada komponen-komponen mesin dapat diperkecil. Jika tidak diberi minyak pelumas maka komponen mesin akan mengalami gesekan yang sangat besar sehingga komponen akan aus dan rusak (Hasriani, dkk, 2014).

2.2 Jenis – Jenis Gaya Gesek

Terdapat dua jenis gaya gesek antara dua buah benda yang padat saling bergerak lurus, yaitu gaya gesek statis dan gaya gesek kinetis, yang dibedakan antara titik-titik sentuh antara kedua permukaan yang tetap atau saling berganti. Untuk benda yang dapat menggelinding, terdapat pula jenis gaya gesek lain yang disebut gaya gesek menggelinding (rolling friction). Untuk benda yang berputar tegak lurus


(64)

pada permukaan atau berspin, terdapat pula gaya gesek spin (spin friction)

(Khusnul, 2009).

2.2.1 Gaya Gesek Statis

Gaya gesek statis adalah gesekan antara dua benda padat yang tidak bergerak relatif atau sama lainnya. Seperti contoh, gesekan statis dapat mencegah benda meluncur kebawah pada bidang miring. Koefesien gesek statis umumnya dinotasikan dengan ��, dan pada umumnya lebih besar dari koefisien gesek kinetis.

Gaya gesek statis dihasilkan dari sebuah gaya yang diaplikasikan tepat sebelum benda tersebut bergerak. Gaya gesekan maksimum antara dua permukaan sebelum gerakan terjadi adalah hasil dari koefisien gesek statis dikalikan dengan gaya normal f = �� Fn. Ketika tidak ada gerakan yang terjadi gaya gesek dapat memiliki nilai dari nol hingga gaya gesek maksimum. Setiap gaya yang lebih kecil dari gaya gesek maksimum yang berusaha untuk menggerakkan salah satu benda akan dilawan oleh gaya gesekan yang setara dengan besar gaya tersebut namun berlawanan arah. Setiap gaya gesek yang lebih besar dari gaya gesek maksimum akan menyebabkan gerakan terjadi. Setelah gerakan terjadi, gaya gesekan statis tidak lagi dapat digunakan untuk menggambarkan kinetika benda, sehingga digunakan gaya gesek kinetis.

2.2.2 Gaya Gesek Kinetis

Gaya gesek kinetis (dinamis) terjadi ketika dua benda bergerak relatif satu sama lainnya dan saling bergesekan. Koefisien gesek kinetis umumnya dinotasikan dengan �� dan pada umumnya selalu lebih kecil dari gaya gesek statis untuk material yang sama. Lantai yang licin membuat kita sulit berjalan di atasnya karena gaya gesekan yang terjadi antara kaki kita dengan lantai sangat kecil. Permasalahan ini berhubungan dengan gaya gesekan. Gaya gesek atau gaya gesekan merupakan gaya yang ditimbulkan oleh dua permukaan yang saling bersentuhan. Untuk menggerakkan balok kayu diatas lantai dibutuhkan gaya yang dapat mengatasi gaya gesekan statis. Setelah bergerak, gaya itu mempertahankan gerak benda dan digunakan untuk mengatasi gaya gesekan kinetis. Sehingga


(65)

hanya diperlukan gaya yang lebih kecil dari pada gaya yang digunakan untuk mulai menggerakkannya. Setelah bergerak, gaya gesek statis berkurang sedikit demi sedikit dan berubah menjadi gaya gesekan kinetis, sehingga gaya gesekan kinetis selalu lebih besar dari pada gaya gesekan statis maksimum (Khusnul, 2009).

2.3 Mekanika Kontak

Secara sederhana mekanika kontak (contact mechanics) mempelajari tentang kontak yang terjadi antar benda, yang merupakan bagian dari ilmu tribologi.

Mekanika kontak mempelajari tentang tegangan dan deformasi yang ditimbulkan saat dua permukaan solid saling bersentuhan satu sama lain pada satu titik atau lebih, dimana gerakan kedua benda atau lebih dibatasi oleh suatu

constraint.Kontak yang terjadi antara dua benda dapat berupa titik, garis ataupun permukaan. Jika kontak yang terjadi diteruskan dan dikenai suatu beban kontak, maka kontak yang awalnya berupa titik dapat berubah menjadi bentuk ataupun permukaan yang lain tergantung besar tegangan yang terjadi saat terjadinya kontak (Yanto, 2010).

Hampir setiap permukaan dapat dipastikan menerima beban kontak, dimana tegangan paling besar terdapat pada area titik atau permukaan tertentu.Jenis konfigurasi pembebanan pada batas elastis dinamakan Hertzian Contact.Kita mengetahui bahwa ketika dua permukaan yang terkena kontak terdapat tekanan yang terbentuk pada suatu titik maupu garis. Kita dapat melihat titik atau garis kontak pada permukaan lengkung saat kontak keduanya mempunyai gerakan memuta. Kondisi ini akan muncul seperti halnya roda bertemu dengan suatu permukaan dan bagian yang saling kontak paa roda gigi transmisi dan kontak yang terjadi pada screw conveyor dengan bahan yang di angkut.

Saat dua permukaan benda, diletakkan dan diberi beban bersama-sama dan diamati dengan skala mikron maka akan terbentuk deformasi pada kedua permukaan tersebut. Dengan pengamatan skala mikron setiap benda memiliki kekasaran permukaan, sehingga kontak aktual terjadi pada asperitiess dari kedua dan sifat materialnya, asperities akan mengalami deformasi elastis, elastis plastis,


(66)

2.3.1 Kontak Statis

Kontak statis bermula ketika beban dikenakan pada benda. Dalam skala mikro,

surface yang merupakan sekumpulan dari asperiti-asperiti akan mengalami

deformasi. Daerah kontak akan bertambah banyak seiring dengan meningkatnya jumlah asperiti yang saling kontak karena peningkatan beban. Akibat selanjutnya adalah muncul fenomena deformasi. Deformasi yang terjadi karena beban vertikal yang didefinisikan jackson et al (2005) dapat berupa elastis, elastis plastis atau

plastis (Yayankhancoet, 2013).

Gambar 2.1 Kontak dua permukaan (Yayankhancoet, 2013)

Rejin elastis mengacu pada ketiadaan defomasi plastis, yaitu ketika beban yang dikenakan pada benda dihilangkan, maka benda tersebut dapat kembali ke bentuk asal. Rejim elastis plastis ialah keadaan transisi dari elastis ke plastis. Dalam rejim ini benda terdeformasi plastis, tetapi daerah kontak masih berada pada daerah elastis serta kondisi ketiga adalah kondisi plastis (fully plastic). Kondisi ini terjadi apabila daerah kontak telah terjadi luluh sepenuhnya, yaitu nilai modulus

elastisitas suatu material sudah terlewati.Untuk mempermudah dalam

menganalisa kontak, para peneliti membangun sebuah model.Model dapat berupa formula matematis ataupun bentuk asperiti.Bentuk Asperitidapat disederhanakan dengan memodelkannya dalam bentuk bola (sphere), setangah bola (hemisphere),


(67)

dengan finite element dan juga data hasil percobaan.Fenomena beralihnya keadaan dari elastis menuju plastis pada tingkat asperiti sangat menarik untuk dikaji.Zhao et al (2000) menggunakan parameter � sebagai kedalaman penetrasi untuk kedalaman menganalisanya.

2.3.2 Kontak Dinamis

Kontak dinamis terbagi menjadi dua bagian.Bagian pertama tentang kontak luncur

(sliding contact) dan yang kedua tentang kontak bergulir (rolling contact).

1. Kontak luncur (Sliding Contacts)

Kontak ini terjadi karena adanya beban tangensial sehingga gerakan luncur bisa terjadi. Sedangkan pada kontak statis hanya ada gaya normal saja. Beberapa peneliti mengkombinasikan antara kedua beban tersebut. Kerena pada kenyataannya gerakan sliding yang merupakan awal terjadinya gesekan, bermula dari kontak statis.

2. Kontak Bergulir (Rolling Contacts)

Gerakan dalam rolling contact diklasifikasikan menjadi (Halling, 1976): 1. Bergulir bebas.

2. Bergulir dengan tujuan untuk traction.

3. Bergulir dalam alur. 4. Bergulir disekitar kurva.

Setiap gerakan yang bergulir, jenis free rolling pasti terjadi, sedangkan jenis 2, 3 dan 4 terjadi secara terpisah atau dapat juga kombinasi, tergantung pada situasinya. Kasus berputarnya roda mobil adalah melibatkan gerakan 1 dan 2. Gesekan karena rolling adalah resistansi terhadap gerakan yang berlangsung ketika sebuahpermukaan bergulir terhadap permukaan yang lain. Terminologi

gesekanrolling umumnya terbatas pada benda dengan bentuk yang mendekati sempurna dengan tingkat kekasaran permukaan yang relatif kecil. Pada material yang keras, koefisien gerak rolling antara sebuah silinder dan benda bulat atau dengan benda datar adalah bekisar antara 10-5 sampai 5x10-3.


(68)

Koefisien dari sliding friction pada kondisi benda tanpa pelumas dari 0,1 sampai lebih besar dari 1 (Bushan, 1999). Jika kontak dari dua buah benda non- conformal adalah jenis titik, keadaan rolling murni berlaku disini. Gesekan karena gerakan gulir dapat disebabkan oleh berbagai kasus, tetapi walau bagaimanapun, slipping/sliding lebih dominan sebagai penyebabnya (Robinowicz, 1995).Kekasaran adalah sebuah parameter penting dalam kontak bergulir dalam hubungannya dengan gesekan dan aus. Kesempurnaan geometri rolling dapat dikurangi dengan kekasaran sehingga microslip yang terjadi pada tingkat kekasaran saja.Deformasi plastis pada asperiti juga dapat menyebabkan hilangnya energi selama gerakan bergulir. Ditinjau dari sisi gaya gesek, permukaan yang halus mempunyai gaya gesek yang lebih kecil jika dibandingkan permukaan yang kasar. Hampir setiap kasus gesekan pada rolling contact, gaya gesek akan mengalami penurunan saat running-in.

2.4 Friction

Friction adalah gaya gesek yang timbul karena adanya kontak antara dua permukaan yang saling bersinggungan. Hal ini akan selalu timbul meskipun pada permukaan yang stationary (diam) tapi akan sangat kelihatan ketika salah satu permukaan saling bergesekan satu sama lain. Jenis dari permukaan sangat menentukan gaya gesek yang terjadi pada permukaan yang kasar akan mengalami

friction yang lebih besar dari pada permukaan yang halus.

Ketika sebuah permukaan dikatakan sebagai permukaan yang halus, maka permukaan yang tidak teratur hanya sedikit. Jika sebuah usaha membuat dua permukaan saling bergeser maka bukit-bukit pada kedua permukaan akan cenderung saling mengunci dan mengalami pergerakan yang berkawanan arah. Permukaan yang kasar akan kelihatan sangat jelas mengalami tahanan dan akan mengalami tahanan geser lebih besar dibandingkan dengan permukaan yang halus. Permukaan benda kerja yang dikerjakan dengan mesin akan mempunyai hasil permukaan yang halus. Ada bermacam-macam ukuran kehalusan tergantung dari kegunaan benda kerja yang dihaluskan. Journal pada crank shaft yang bertumpu pada bearing harus mempunyai kehalusan permukaan yang baik untuk mengurangi gesekan seminimal mungkin, sedangkan pada benda kerja dikerjakan


(69)

dengan mesin sebagaian besar mempunyai bentuk permukaan yang termasuk permukaan yang kasar.

2.5 Jenis – Jenis Friction

Ketika friction dalam bentuk gaya yang saling berlawanan, maka friction dapat dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu static, limiting, rollong dan fluid. Dari lima jenis diatas yang sering terjadi pada part kendaraan bermotor adalah sliding, rolling dan fluid friction.

2.5.1 Static Friction

Static friction merupakan friction yang mempertahankan sesuatu untuk tetap dalam keadaan stationary (diam).Ketika sebuah partikel berada dilevel permukaan, maka ini terjadi karena adanya static friction.Dengan begitu tidak ada sesuatu yang dapat selalu tetap pada posisinya.

2.5.2 Limiting Friction

Jika sebuah gaya secara bertahap bertambah ketika terjadi gesekan antara dua permukaan yang saling bergesekan maka friction juga bertambah dan membatasi pergerakan. Pada titik tertentu akan tercapai titik dimana frictiontidak dapat lagi menjaga permukaan dari sliding. Friction pada titik ini disebut sebagai limiting friction.

2.5.3 Sliding Friction

Sliding friction adalah tahanan yang timbul pada pergerakan/perputaran ketika pada dua permukaan meluncur satu sama lain. Sliding friction lebih kecil dari

limiting friction karena hanya memerlukan force yang kecil untuk mencegah

sliding dari pada waktu pertama memulai mendorong atau menggerakkan sesuatu, cobalah dengan cara mendorong sesuatu yang berat sepanjang lantai atau melewati atas dari sebuah meja. Sliding friction timbul ketika sebuah

shaftberputar pada plain bearing atau ketika sebuah bidang meluncur satu sama lain.


(70)

2.5.4 Rolling Friction

Ketika sebuah permukaan dibatasi dengan roller atau ball maka tidak terjadi slide

tetapi yang terjadi adalah saling bergerak. Friction yang terjadi antara permukaan dan ball disebut sebagai rolling friction dan ini lebih kecil dari sliding friction.Ball dan roller bearing digunakan untuk mengurangi friction, maka untuk alasan inilah ball dan roller bearing termasuk antifriction bearings.

2.5.5 Fluid Friction

Fluid juga mempunyai friction tetapi berbeda dengan jenis-jenis friction yang telah dibahas diatas. Jika dua permukaan yang saling bergesekan dibatasi dengan lapisan oli, maka friction akan sangat berkurang walaupun masih tetap ada

frictionyang terjadi. Friction tidak lagi terjadi antara permukaan yang saling bergesekan tetapi terjadi pada oli pelapis diantara dua permukaan tersebut.Fluida

dapat berupa cairan atau gas, cairan mempunya friction yang lebih besar dari pada gas.

Friction yang terjadi pada fluida disebabkan oleh molekul oli pada setiap lapisan oli saling tarik menarik satu sama lain. Oli cenderung selalu menempel pada permukaan, maka lapisan oli mempunyai kecepatan yang berbeda-beda pada setiap lapisan oli tetap yang tertutup pada permukaan yang tidak bergerak.

2.6 Keausan

Definisi paling umum dari keausan yang telah dikenal sekitar 50 tahun lebih yaitu hilangnya bahan dari suatu permukaan kebagian lain atau bergeraknya bahan pada suatu permukaan. Definisi lain tentang keausan yaitu sebagai hilangnya bagian dari permukaan yang saling berinteraksi yang terjadi sebagai hasil gerak relatif pada permukaan.

Keausan yang terjadi pada suatu material disebabkan oleh adanya beberapa mekanisme yang berbeda dan terbentuk oleh beberapa parameter yang bervariasi meliputi bahan, lingkungan, kondisi operasi dan geometri permukaan benda yang terjadi keausan.


(71)

Suatu komponen struktur dan mesin agar berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya sangat bergantung pada sifat-sifat yang dimiliki material.Material yang tersedia dan dapat digunakan oleh para engineer sangat beraneka ragam, seperti logam, polimer, keramik, gelas dan komposit. Sifat yang dimilikioleh material terkadang membatasi kinerjanya, namun jarang sekali kinerja suatu material hanya ditentukan oleh satu sifat, tetapi lebih kepada kombinasi dari beberapa sifat.Salah satu contohnya adalah ketahanan aus (wear resistance) merupakan fungsi dari beberapa sifat material (kekerasan dan kekuatan), friksi serta pelumasan.Material apapun dapat mengalami keausan disebabkan oleh mekanisme yang beragam.Pengujian keausan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan teknik, yang satunya adalah metode ogoshi dimana benda uji memperoleh beban gesek dari cincin yang berputar (revolving disk).Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar permukaan yang berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada permukaan benda uji. Keausan sendiri mempunyai dua sifat yaitu keausan normal dan keausan tidak normal. Hal-hal yang mempengaruhi keausan yaitu:

1. Pembebanan 2. Kecepatan

3. Jumlah minyak pelumas 4. Jenis minyak pelumas 5. Temperatur

6. Kekerasan permukaan 7. Kehalusan permukaan 8. Adanya benda-benda asing 9. Adanya benda kimia 2.7 Jenis – Jenis Keausan

Sebagaimana telah dijelaskan , material jenis apapun akan mengalami keausan dengan mekanisme yang beragam, yaitu keausan adhesive, keausan


(72)

2.7.1 Keausan Ashesive (Adhesive Wear)

Keausan adhesive adalah salah satu jenis keausan yang disebabkan oleh terikat atau melekat atau berpindah partikel dari suatu permukaan material yang lemah kematerial yang lebih keras serta deformasi plastis dan pada akhirnya terjadi pelepasan / pengoyakan salah satu material. Proses bermula ketika benda dengan kekerasan yang lebih tinggi menyentuh permukaan yang lemah kemudian terjadi pengikatan. Pengikatan ini terjadi secara spontan dan dapat terjadi dalam suhu yang rendah atau moderat.Adhesuve wear sering juga disebut galling, scoring, scuffing, seizure atau seiring.

2.7.2 Keausan Abrasif (Abrasive Wear)

Keausan jenis ini terjadi bila suatu partikel keras (asperity) dari material tertentu meluncur pada permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau pemotongan material yang lebih lunak.Tingkat keausan pada mekanisme ini ditentukan oleh derajat kebebasan (degree of freedom) partikel keras atau asperity tersebut. Keausan abrasif inilah yang terjadi pada screw conveyor.

Sebagai contoh partikel pasir silica akan menghasilkan keausan yang lebih tinggi ketika diikat pada suatu permukaan seperti pada kertas amplas, dibandingkan bila partikel tersebut berada didalam sistem slury. Pada kasus pertama, partikel tersebut kemungkinan akan tertarik sepanjang permukaan dan akhirnya mengakibatkan pengoyakan. Sementara pada kasus terakhir, partikel tersebut mungkin hanya berputar tanpa efek abrasi.

2.7.3 Keausan Lelah (Surface Fatigue Wear)

Keausan lelah/fatik pada permukaan pada hakikatnya bisa terjadi baik secara

abrasif atau adhesif.Tetapi keausan jenis ini terjadi akibat interaksi permukaan dimana permukaan yang mengalami beban berulang akan mengarah pada pembentukan retak-retak mikro. Retak-retak mikro tersebut pada akhirnya menyatu dan menghasilkan pengelupasan material. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya tegangan gesek.


(73)

2.7.4 Keausan Oksidasi / Korosif (Tribo Chemical wear)

Keausan kimiawi merupakan kombinasi antara proses mekanis dan proses termal yang terjadi pada permukaan benda serta lingkungan sekitarnya.

Sebagai contoh, proses oksidasi yang sering terjadi pada sistem kontak luncur (sliding contact) antar logam. Proses ini lama kelamaan akan menyebabkan perambatan retak dan juga terjadi abrasi. Peningkatan suhu dan perubahan sifat mekanis pada asperiti adalah akibat dari keausan kimiawi. Keausan jenis ini akan menyebabkan korosi pada logam.

2.7.5 Keausan Erosi (Erosion Wear)

Proses erosi disebabkan oleh gas dan cairan yang membawa partikel padatan yang membentur permukaan material. Jika sudut benturan kecil, keausan yang dihasilkan analog dengan abrasif.Namun, jika sudut benturannya membentuk sudut gaya normal (90 derajat), maka keausan yang terjadi akan mengakibatkan brittle failure pada permukan.

2.8 Definsi Screw Conveyor

Screw conveyor merupakan salah satu perlengkapan produksi pada suatu pabrik kelapa sawit. Alat ini memiliki ulir dan arah putaran searah jarum jam, dimana masing-masing ulir antara satu dengan yang lainnya mempunyai jarak yang sama dan fungsinya adalah untuk memindahkan atau mentransfer buah maupun ampas kelapa sawit.

Alat ini pada dasarnya terbuat dari pisau yang berpilin mengelilingi suatu sumbu sehingga bentuknya mirip skrup. Pisau berpilin ini disebut flight. Macam-macam flightadalah sectional flight, helicoid flight, dan special flight. Ketiga itu terbagi atas cast iron flight, ribbon flight, dan cut flight. Konveyor berflightsectiondibuat dari pisau-pisau pendek yang disatukan tiap pisau berpilin satu putaran penuh dengan cara disambung tepat pada tiap ujung sebuah pisau dengan di las sehingga akhirnya akan membentuk sebuah pilinan yang panjang.

Sebuah helicoid flight, bentuknya seperti pita panjang yang berpilin mengelilingi suatu poros. Untuk membentuk suatu conveyor, flight-flight itu


(74)

disatukan dengan cara di las tepat pada poros yang bersesuaian dengan pilinan berikutnya. Flight khususnya digunakan dimana suhu dan tingkat kerusakan tinggi adalah flight cast iron. Flight-flight ini disusun sehingga membentuk sebuah

conveyor.Untuk bahan yang lengket, digunakan ribbon flight, untuk mengaduk digunakan cut flight. Flight pengaduk ini dibuat dari flight biasa, yaitu dengan cara memotong-motong flight biasa lalu membelokkan potongannya ke berbagai arah.

Contoh dari screw conveyor dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2Jenis-jenis Screw conveyor :a. Sectional; b. Helicoid; c. Cast Iron; d. Riboon; e. Cut Flight


(75)

2.9 Jenis – Jenis Flight Conveyor 2.9.1 Standart Sectional flight Screw

Gambar 2.3Standard Sectional Flight Screw(Rapids, 2012)

Paling banyak digunakan didunia industri, biasanya untuk mengangkut atau menyalurkan bermacam-macam produk, misalnya kernel sawit, cangkang, kacang, tepung, semen, jagung dan lain-lain.

2.9.2 Ribbon Flight Screw


(76)

Digunakan untuk mengangkut atau membawa produk yang sifatnya lengket, permen atau zat yang kental, atau dimana material cenderung melekat pada pipa pembawa conveyor.

2.9.3 Cut Flight Screw

Gambar 2.5Cut Flight Screw(Rapids, 2012)

Jenis conveyor ini digunakan untuk mengangkut produk atau material yang ringan, halus, butiran ataupun material serpihan. Juga digunakan untuk mencampurkan material yang berbeda saat dibawa atau untuk menghilangkan pasir atau kotoran dari biji yang terikut terbawa saat proses pengangkutan.


(77)

Gambar 2.6Cut And Folded Flight Screw(Rapids, 2012)

Conveyor ini digunakan untuk menghasilkan sebuah gaya angkat dengan menaikkan nilai agitasi dan aerasi material ketika pencampuran.

2.9.5 Sectional Flight Screw With Paddles

Gambar 2.7Sectional Flight Screw With Paddles(Rapids, 2012)

Digunakan untuk mencampurkan material (sebagai pengaduk) selama proses pengangkutan. Adukan (screw yang terpotong) boleh saja dicocokkan atau disesuaikann (dilas tempat) atau penyesuaian jarak (baut yang dipasangkan, untuk memberikan derajat pengadukan).

2.9.6 Paddle Screw


(78)

Digunakan untuk menyempurnakan pencampuran atau pengadukan material yang berbeda.Dayungan (screw yang terpotong-potong pada gambar diatas) biasa dipasangkan (dilas di tempat) atau menyesuaikan jarak (baut yang dipasangkan), untuk membantu variasi derajat pencampuran material.

2.9.7 Short Pitch Screw

Gambar 2.9Short Pitch Screw(Rapids, 2012)

Jenis screw conveyor ini mirip dengan jenis standard sectional flight screw,

hanya saja jarak antar flight/screw berdekatan. Jenis ini umumnya digunakan untuk mengangkut material ke atas yang miring (Inclined) dan pengangkutan material dengan tampungan/corong dimana jarak antar flight lebih berdekatan dari diameter screw itu sendiri.


(79)

Gambar 2.10Interrupted Flight Screw(Rapids, 2012)

Hampir sama dengann Ribbon Screw, digunakan untuk mengangkut material atau zat yang bersifat kental dan lengket, tetapi lebih baik dianjurkan yang mempunyai konsistensi laju alir dari jenis ribbon screw.

2.9.9 Cone Screw

Gambar 2.11Cone Screw(Rapids, 2012)

Digunakan untuk memberikan laju alir massa yang baik (laju alir output sama) dari sebuah hopper yang lebih tinggi dari screw-screw dengan jarak yang berubah-ubah pada screw itu sendiri.


(80)

Gambar 2.12Shaftless Screw(Rapids, 2012)

Sama dengan jenis Ribbon Screw, tipe ini digunakan untuk mengangkut material atau zat yang bersifat lengket dan kental, dimana material cenderung lengket pada pipa. Tetapi juga digunakan untuk mengangkut material yang berserabut yang biasanya dapat menggulung disekitar screw pipa.

2.9.11 Press Screw

Gambar 2.13Press Screw(Rapids, 2012)

Press Screw umumnya dikelilingi oleh saringan diluarnya dan digunakan untuk menekan permukaan untuk menghasilkan cairan dari berbagai produk. Contoh penggunannya pada worm screw press pada mesin kempa Pabrik Kelapa Sawit.


(81)

Gambar 2.14Detain komponen screw conveyor (Yayangkhancoet, 2013) Keterangan :

1. Screw conveyor drive, motor mount, V – belt drive dan guard.

2. End plate untuk screw conveyor drive.

3. Palung dengan fitted discharge spout. 4. Trough / Palung

5. End plate untuk ball bearing.

6. Seal plate, flanged ball bearing unit dan tail shaft.

7. Screw.

8. Screw dengan bare pipe at discharge end.

9. Hanger dengan bearing dan coupling shaft.

10. Flanged cover with inlet.

11. Flanged covers with buttstrap.

1. Trough

Troughs (U) atau palung berfungsi sepenuhnya sebagai wadah/rumah yang menyertakan bahan dan disampaikan dengan bagian-bagian yang berputar (screw conveyor).


(82)

Gambar 2.15Trought(U) (Yayangkhancoet, 2013) 2. Hanger

Hanger berfungsi memberikan dukungan, mempertahankan allignment

dan bertindak sebagai permukaan bantalan.

Gambar 2.16Hanger screw (Yayangkhancoet, 2013)

3. Screw Conveyor

Screw Conveyor ini berputar dengan halus memutar materi kesamping didalam palung atau troughs( U ).


(83)

Gambar 2.17Screw conveyor (Yayangkhancoet, 2013) 4. Kopling

Kopling dan poros menghubungkan dan mengirimkan motion untuk screw conveyor berikutnya.

Gambar 2.18 Kopling screw (Yayankhancoet, 2013)

2.10 Cara Kerja Screw Conveyor

Screw conveyor ini terdiri dari baja yang memiliki bentuk spiral (pilinan seperti ulir) yang tertancap pada shaft/poros dan berputar dalam suatu saluran berbentuk U (through) tanpa menyentuhnya sehingga flight (daun screw) mendorong material ke dalam trough. Shaft/poros digerakkan oleh motor gear.

Saluran (through) berbentuk setengah lingkaran dan disangga oleh kayu atau baja. Pada akhir ulir biasanya dibuat lubang untuk penempatan as dan drive endyang kemudian dihubungkan dengan alat penggerak.Elemen screw conveyor


(84)

disebut flight (daun screw). Bentuknya spiral (lilitan seperti ulir) atau dengan modifikasi tertentu yang menempel pada poros.

Gambar 2.19 Proses kerja screw conveyor (Yayangkhancoet, 2013)

Screw conveyor memerlukan sedikit ruangan dan tidak membutuhkan mekanik serta membutuhkan biaya yang sedikit. Material bercampur saat melewati

conveyor. Pada umumnya screw conveyor dipakai untuk mengangkut bahan secara horizontal. Namun bila diinginkan dengan elevasi tertentu bisa juga dipakai dengan mengalami penurunan kapasitas 15-45% dari kapasitas horisontalnya.

2.12 Fungsi Screw Conveyor

Screw conveyor yang berfungsi untuk mentransfer material yang didalam alat terdapat continous spiral flight yang terikat dalam suatu shaft dan dimasukkan dalam pipa.

Screw conveyor digunakan untuk memindahkan material kecil seperti butiran aspal, batu bara, abu, krikil dan pasir. Tipe khusus yaitu ribbon conveyor

dimana tidak ada pusat helical fin, cocok digunakan untuk lem, cairan kental seperti molasses, tas panas dan gula. Penerapan dalam industri:

1. Industri kimia seperti titanium dioxide, carbon black, calcium carbonate, powdered lem, rubber, detergent powder and sulphur dan lain-lain.


(85)

2. Makanan seperti cake mixes, soup mixes, gravy mixes, cocoa powder, keju,

permen, susu bubuk, frozen or rowvegetables, fruits and nuts.

3. Kosmetik dan obat-obatan seperti bedak, titanium dioxide, zinc oxide, clay calcium carbonate.

2.13 Kelebihan Screw Conveyor

Adapun kelebihan dari screw conveyor adalah sebagai berikut:

a. Dapat digunakan sebagai pencampur bahan disamping fungsi utamanya sebagai pemindah bahan.

b. Dapat mengeluarkan material pada beberapa titik yang dikehendaki. Hal ini penting bagi material yang berdebu (dusty), material panas, dan material yang berbau.

2.14 Kekurangan Screw Conveyor

Adapun kekurangan screw conveyor adalah sebagai berikut:

a. Tidak dapat digunakan untuk pemindahan bahan bongkah besar ( large-lumped), mudah hancur (easily-crushed), abrasive, dan material mudah menempel (sticking materials). Beban yang berlebihan akan mengakibatkan kemacetan, merusak poros, dan screw berhenti.

b. Screw pada conveyor ini mengakibatkan adanya gesekan material terhadap screw dan through yang berakibat pada konsumsi daya yang tinggi. Oleh karena itu screw conveyor digunakan untuk kapasitas rendah sampai sedang (sampai 100 m3/jam) dan panjang biasanya 30 sampai 40 m.

2.15 Perhitungan Pada Screw Conveyor

Untuk jenis screw standard, kecepatan penuh flight konveyor dapat dihitung dengan persamaan 2.1

=

��������� ���� ���������� (

��3 ���)

��������� �������� (��3

���) ��� ���


(86)

Kapasitas screw conveyor dalam ft3/jam rpm (CEMA-screw conveyor, 1971:25) �

���=

0.7854(��2− ��2)�� 60

1728 (2.2)

Dimana:

C = Kapasitas screw conveyor dalam ft3/jam Ds = diameter screw conveyor (inchi)

Dp = diameter pipa (inchi)

P = pitch dariscrew conveyor (inchi)

K = prosentase dari pembebanan conveyor (%)

Jadi untuk menghitung daya yang dibutuhkan adalah daya total dari gesekan conveyor (HPf) dan daya untuk memindahkan material pada ukuran terrtentu (HPm) dikalikan dengan factor beban overload (Fo) dan dibagi efisiensi penggerak total (e) (CEMA-screw conveyor 1971:36):

���

=

������

100000 (2.3)

Dimana:

L = Panjang dari conveyor dalam ft

N = Kecepatanscrew conveyor(saat beroperasi) dalam rpm Fd = Faktor diameter conveyor

Fb = Faktorhanger bearing

���

=

���������

100000 (2.4)

Dimana:

C = Kapasitas screw conveyor dalam ft3/jam W = Berat jenis material dalam lbs/ft3


(87)

Fm = Faktor material yang diangkut/dibawa Fp = Faktorpaddle

��

=

(���+���)��

� (2.5)

Dimana:

Fo = Over load factor

e = Efisiensi penggerak (%)

HPm = Daya untuk memindahkan material (HP) HPf = Daya total karena gesekan conveyor (HP)

Untuk menghitung besarnya torsi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : �����, (��): 63,025 � ��

��� (���ℎ.���) (2.6)

Jumlahdefleksiscrewpipakarena beratscrewberbanding lurus denganumur pemakaian. Defleksidaripanjangsekrupstandarjarangbermasalah. Namun, jikapanjang standardScrewlebih panjang dari ukuran standar bisa digunakantanpabantalangantungan ditengah (hanger bearing), perawatan harus dilakukanuntuk mencegahdaun screw (flight screw) kontak langsung dari palung. Defleksi harus diminimumkanuntuk meningkatkanumur pemakaian

(CEMA-screw conveyor, 1971:25).

=

�������

76,8 �� (2.7)

Dimana :

D : Defleksi pada bentangan tengah screw (inchi) W : Total Berat (pound)

L : Panjang Screw (inchi)

E : Modulus elastisitas (2,9 x 107 psi untuk carbon dan

stainless)


(88)

Untuk menghitung Laju kecepatan screw (ft/mnt) dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :

��������� =�������������������

12 (2.8)

Sedangkan untuk menghitung laju keausan abrasi screw (ft/mnt) yaitu : ���������� =��������������������������� ℎ� (����������������� −4)(.9)

2.16 Pengujian Keausan (Wear Test)

Secara definisi, keausan adalah hilangnya sejumlah lapisan permukaan material karena adanya gesekan antara permukaan padatane dengan benda lain. Definisi gesekan itu sendiri adalah gaya tahan yang menahan gerakan antara permukaan solid yang bersentuhan maupun solid dengan liquid. Keausan pada dasarnya memiliki beberapa mekanisme, yaitu abrasi, erosi, adhesi, fatik dan

korosi.

Suatu komponen struktur dan mesin agar berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya sangat tergantung pada sifat-sifat yang dimiliki material. Material yang tersedia dan dapat digunakan oleh engineer sangat beraneka ragam, seperti logam, polimer, keramik, gelas, dan komposit. Sifat yang dimiliki oleh material terkadang membatasi kinerjanya.Namun demikian jarang sekali keninerja suatu material hanya ditentukan oleh satu sifat, tetapi lebih kepada kombinasi dari beberapa sifat.Salah satu contohnya adalah ketahanan aus (wear resistance) merupakan fungsi dari beberapa sifat material (kekerasan dan kekuatan), friksi serta pelumasan. Oleh sebab itu penelaahan subyek ini yang dikenal dengan nama ilmu

tribologi. Keausan dapat didefinisikan sebagai rusaknya permukaan padatan, umumnya melibatkan kehilangan material yang progesif akibat adanya gesekan

friksi antar permukaan padatan.Keausan bukan merupakan sifat dasar material, melainkan respon material terhadap sistem luar (kontak permukaan). Keausan merupakan hal yang biasa terjadi pada setiap material yang mengalami gesekan


(89)

dengan material lain. Keausan bukan merupakan sifat dasar material, melainkan respon material terhadap sistem luar (kontak permukaan).Material apapun dapat mengalami keausan disebabkan oleh mekanisme yang beragam.Pengujian keausan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan teknik, yang satunya adalah metode ogoshi dimana benda uji memperoleh beban gesek dari cincin yang berputar (revolving disk).Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar permukaan yang berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada permukaan benda uji. Besarnya jejak permukaan dari material tergesek itulah yang dijadikan dasar penentuan tingkat keausan pada material. Pengujian keausan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan teknik, yang semuanya bertujuan untuk mensimulasikan kondisi keausan aktual. Salah satunya adalah metode pin on disk dimana benda uji yang berputar sementara pin diam menekan benda uji pada disk. Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar permukaan yang berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada permukaan benda uji. Alat uji keausan tipe pin on disk dapat dilihat pada Gambar 2.20.


(90)

Gambar 2.20 Alat uji keausan tipe pin on disk

Ada beberapa parameter uji dalam pengujian keausan metode pin on disk sesuai dengan standart ASTM G 99-04, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pembebanan (Load)

2. Kecepatan lintasan (Sliding Speed) 3. Jarak lintasan (Sliding Distance) 4. Suhu (Temperature)

5. Atmosfer (Atmosphere)

Keausan sendiri terbagi dalam beberapa jenis keausan, seperti keausan abrasif, adesif, korosif, keausan fatik, kimia, erosi dan lain-lain. Keausan yang terjadi pada pengujian tipe pin on disk adalah Keausan Abrasif (Abrasive wear).

Besarnya jejak permukaan dari material tergesek itulah yang dijadikan dasar penentuan tingkat keausan pada material. Semakin besar dan dalam jejak keausan maka semakin tinggi volume material yang terkelupas dari benda uji. Ilustrasi skematis dari kontak permukaan antara revolving disc dan benda uji diberikan oleh Gambar 2.21.

Gambar a Gambar b


(91)

F = gaya yang diberikan pada pin (N) R = jarak antara disk dengan pin (mm) d = diameter bola/pin (mm)

D = diameter disk (mm) W = putaran (rpm)

Volumekeausan berdasarkan ASTM G99-04 dapat ditentukan sebagai perbandingan rumus:

volume loss, mm3 = mass loss (g) x 1000 (2.10) density(g/cm3)

Memprediksi keausan yang terjadi pada permesinan cukuplah sulit. Setiap rumus pada literatur yang dapat mengitung laju keausan hanya sebatas prediksi atau pendekatan saja. Pada tahun 1950-an J. F. Archard menemukan suatu hukum yang dapat memprediksi terjadinya keausan pada material yang saling bergesekan dan dia menamai hukum itu dengan dirinya sendiri, yaitu hukum keausan Archard (Archard wearlaw).Berdasarkan hukum keausan Archard tentang hukum keausan (wearlaw)bahwa persamaan volume keausan dapat diperoleh dari

(Stachowiak):

VT=

���

� x 10

9

(2.11)

T

=

VT

� (2.12)

Dimana:

VT = Volume keausan teori (mm3)

K = Koefisien keausan (6,0 x 10-4) W= Beban (N)

H = Kekerasan material (Pa, N/m2) L= Panjang lintasan (m)

T = Laju keausan teori (mm3/s) t = Waktu keausan (s)


(92)

L =

2π.r.n.t

60 (2.13)

r = d + (ā x 10-3

) (2.14)

2 Dimana:

r = Jari-jari lintasan (mm) n = Putaran (rpm)

ā = Lebar jejak rata-rata (µm) t = Waktu keausan (s)

d = Diameter pengujian (mm)

Ilustrasi skematis spesimen hasil uji keausan dapat dilihat pada Gambar 2.22.

Gambar 2.22 Ilustrasi spesimen hasil uji keausan (Rahman Abdul, 2015) Keterangan :

d1 = Diamter dalam lintasan (mm) d2 = Diameter luar lintasan (mm)

Dari gambar diatas, untuk menghitung laju keausan secara eksperimen dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

VP = (A2 – A1).ḃ (2.15)


(93)

t

A1 = π.r12 (2.17)

A2 = π.r22

(2.18) r2 = r1 + (ā x 10-3

) (2.19)

Dimana:

P = Laju keausan eksperimen (mm3/s)

VP = Volume keausan eksperimen (mm3) A1 = Luas dalam lintasan (mm2) A2 = Luas luar lintasan (mm2)

r1 = Jari-jari dalam lintasan (mm) r2 = Jari-jari luar lintasan (mm) b = Kedalaman rata-rata (µm)

Laju keausan Wear rate digunakan untuk menghitung laju keausan per satuan waktu. Unit yang digunakan tergantung pada jenis keausanan dan sifat tribosystem yang terjadi. Laju keausan dapat dinyatakan sebagai:

1. Volume material yang dibuang per satuan waktu, per unit jarak luncur, per putaran dari komponen atau per osilasi dari tubuh (yaitu, di keausan sliding). 2. Volume rugi per unit normal gaya per satuan jarak luncur (mm3/N.m, yang kadang-kadang disebut faktor keausan).

3. Massa rugi per satuan waktu.

4. Perubahan dalam dimensi tertentu per satuan waktu.

5. Perubahan relatif dalam dimensi atau volume sehubungan dengan perubahan yang sama di lain substansi (referensi).

Material jenis apapun akan mengalami keausan dengan mekanisme yang beragam, yaitu keausan abrasi, adhesi, oksidasi, erosi dan friting. Di bawah ini diberikan penjelasan ringkas dari mekanisme-mekanisme tersebut.

2.16.1Keausan Abrasif

Terjadi bila suatu partikel keras (asperity) dari material tertentu meluncur pada permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau


(94)

pemotongan material yang lebih lunak. Tingkat keausan pada mekanisme ini ditentukan oleh derajat kebebasan (degree of freedom) partikel keras atau asperity tersebut.

Sebagain contoh partikel pasir silica akan menghasilkan keausan yang lebih tinggi ketika diikat pada suatu permukaan seperti pada kertas amplas, dibandingkan bila partikel tersebut berada didalam sistem slury. Pada kasus pertama partikel tersebut kemungkinan akan tertarik sepanjang permukaan dan dan akhirnya mengakibatkan pengoyakan. Sementara pada kasus terakhir, partikel tersebut mungkin hanya berputar tanpa efek abrasi.

Faktor yang berperan dalam kaitannyadengan ketahan material terhadap

abrasive wear antara lain: 1. Material hardness

2. Kondisi struktur mikro 3. Ukuran abrasif

4. Bentuk

Bentuk kerusakan permukaan akibat abrasive wear, antara lain: 1. Scratching

2. Scoring

3. Gouging


(95)

Gambar 2.24 Keausan metode abrasif (Rahmawan, 2009) 2.16.2 Keausan Adhesive

Terjadi bila kontak permukaan dari dua material atau lebih mengakibatkan perlekatan satu sama lainnya (adhesive) serta deformasi plastis dan pada akhirnya terjadi pelepasan/pengoyakan salah satu material seperti diperlihatkan pada Gambar 2.25.


(1)

vi

2.3.2 Keausan Adhesi ... 23

2.3.3 Keausan Oksidasi ... 24

2.3.4 Keausan Erosi ... 24

2.3.5 Keausan Friting ... 24

2.4 Pengujian Kekerasan (Hardness Test) ... 24

2.4.1 Metode Brinell ... 25

2.4.2 Metode Vickers ... 27

2.4.3 Metode Rockwell ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30

3.1 Metoda ... 30

3.2 Tempat dan Waktu ... 30

3.3 Bahan dan Alat ... 30

3.3.1 Bahan ... 30

3.3.2 Alat ... 31

3.4 Prosedur Penelitian ... 38

3.5 Diagram Alir Penelitian ... 41

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 42

4.1 Komposisi Raw Material Pelat SS540 ... 42

4.2 Hasil Pengujian Kekerasan ... 42

4.3 Hasil Pengujian Keausan ... 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58 LAMPIRAN


(2)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Jenis-Jenis Screw Conveyor ... 5

Gambar 2.2.Standard Sectional Flight Screw ... 6

Gambar 2.3.Ribbon Flight Screw ... 6

Gambar 2.4.Cut Flight Screw... 7

Gambar 2.5.Sectional Flight Screw With Paddles ... 8

Gambar 2.6.Paddle Screw ... 8

Gambar 2.7.Short Pitch Screw ... 9

Gambar 2.8.Interrupted Flight Screw ... 9

Gambar 2.9.Cone Screw ... 10

Gambar 2.10.Shaftless Screw ... 10

Gambar 2.11. Press Screw ... 11

Gambar 2.12 Detail Komponen Screw Conveyor ... 11

Gambar 2.13 Motor dan Gearbox Reducer. ... 12

Gambar 2.14 Alat uji keausan tipe pin on disk ... 19

Gambar 2.15 (a) dan (b) Ilustrasi Pengujian keausan dengan metode pin on disk ... 20

Gambar 2.16 Spesimen hasil uji keausan ... 21

Gambar 2.17 Alat uji kekerasan brinell test ... 26

Gambar 2.18 Ilustrasi Pengujian Vickers... 27

Gambar 2.19 Jenis kedalaman indentor terhadap spesimen... 28

Gambar 3.1 Pelat Bahan Pengujian. ... 30

Gambar 3.2 Las Oxygen. ... 31

Gambar 3.3Gerinda Tangan. ... 31

Gambar 3.4 Mesin Bor ... 32

Gambar 3.5 Kunci Pas... 32

Gambar 3.6 Timbangan Digital ... 33

Gambar 3.7 Stopwatch ... 33

Gambar 3.8 Jangka Sorong ... 33


(3)

viii

Gambar 3.10 Mesin Polish ... 35

Gambar 3.11 Brinell Hardness Test ... 36

Gambar 3.12 Alat Uji Keausan ... 37

Gambar 3.13 Mikroskop Optik ... 37

Gambar 4.1 Hasil Pengujian Kekerasan (Brinnel) ... 42

Gambar 4.2 Grafik db Rata-rata terhadap Nilai Kekerasan Bahan ... 44

Gambar 4.3 Spesimen yang sudah diuji keausan ... 45

Gambar 4.4 Lebar jejak pelat JIS G3101 ... 46

Gambar 4.5 Kedalaman jejak Pelat JIS G3101 (pembesaran 50 x) ... 46

Gambar 4.6 Ilustrasi pengujian keausan (wear test) ... 51


(4)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Komposisi pelat stainless steel 304 ... 42

Tabel 4.2. Data hasil pengujian kekerasan ... 43

Tabel 4.3. Berat spesimen pengujian pin on disk... 45

Tabel 4.4.lebar jejak dan kedalaman jejak spesimen pelat ... 48


(5)

x

DAFTAR NOTASI

Simbol Satuan Keterangan

C ft3/jam Kapasitas screw conveyor

Ds inchi Diameter screw conveyor

Dp inchi Diameter pipa

P kg Beban

K % Persentase pembebanan conveyor

e % Efisiensi penggerak

Db mm Diameter bola indentasi

db mm Diameter indentasi

a μm Lebar jejak gesekan

b μm Kedalaman jejak gesekan

L m Panjang lintasan

n rpm Putaran

t s Waktu keasusan

r mm Jari- jari lintasan

Vt mm3 volume keasuan teori

K 6,0 x 10-4 Koefisien keausan

� Pa, N/m2 Kekerasan material

ΨT mm3/s Laju keausan teori

d1 mm Diameter dalam lintasan

d2 mm Diameter luar lintasan rp1 mm Jari-jari dalam lintasan rp2 mm Jari-jari luar lintasan Ap1 mm2 Luas dalam lintasan

Ap2 mm2 Luas luar lintasan Vpmm2 Volume keausan eksperimen

ɓ μm Kedalaman jejak rata-rata


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Uji Komposisi kimia Lampiran 2 Gambar alat uji pin on disk Lampiran 3 Gambar saat pengujian spesimen Lampiran 4 Gambar spesimen hasil pengujian

Lampiran 5 Gambar pengukuran lebar dan kedalaman goresan Lampiran 6 Tabel komposisi kimia pelat SS 540 dan sifatnya

Lampiran 7 Keterangan perbandingan penggunaan bahan standart untuk industri Lampiran 8 Daftar karakteristik Material