Pola Sebaran Spasial Jenis Merbau (Intsia spp.) pada Hutan Primer dan Hutan Bekas Tebangan di Areal IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pola sebaran spasial suatu jenis tumbuhan merupakan salah satu karakteristik penting dalam sebuah komunitas ekologi. Analisis pola sebaran spasial jenis tertentu merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan organisme (Connel 1963, diacu dalam Ludwig & Reynolds 1988). Menurut Susanti et al. (2000) pengetahuan tentang pola sebaran spasial suatu jenis dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan strategi pengelolaan hutan produksi yang memperhatikan kelestarian aspek ekologi.

Merbau merupakan jenis kayu komersial bernilai ekonomi tinggi dan telah dikenal dengan baik dalam perdagangan kayu dunia. Jenis ini termasuk dalam famili Fabaceae yang menyebar mulai dari Sumatera sampai Papua. Karena intensitas penebangan yang cukup tinggi, maka populasinya kini hanya tersisa di Papua dan sebagian Maluku dengan jumlah yang terus menurun (Rimbawanto & Widyatmoko 2006).

Sebagian besar kayu merbau yang diperdagangkan di dunia berasal dari New Guinea, yaitu Papua New Guinea serta Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia (Newman & Lawson 2005). Tong et al. (2009) menyatakan bahwa sebanyak 84,4% produksi merbau Indonesia berasal dari Papua. Produksi kayu bulat merbau asal Papua pada tahun 2003-2005 mencapai angka 203.336,78 m3/tahun (Tokede et al. 2006)

Maraknya penebangan merbau secara besar-besaran menyebabkan timbulnya kecemasan dari berbagai pihak akan kelestarian jenis ini. Beberapa pihak mengusulkan untuk memasukkan merbau ke dalam Appendix III CITES sehingga perdagangan merbau dapat terkontrol dengan baik. IUCN sendiri sejak tahun 1998 telah memasukkan jenis Intsia bijuga dan I. acuminata ke dalam kategori rentan (vulnerable).

Berdasarkan beberapa hal di atas, maka penelitian tentang pola sebaran merbau di Papua perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan pada hutan primer dan


(2)

hutan bekas tebangan sehingga dapat diidentifikasi pola sebaran merbau pada berbagai kondisi hutan tersebut serta dapat diketahui perlakuan yang tepat dalam pengelolaan jenis ini.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi pola sebaran spasial jenis merbau pada hutan primer dan hutan bekas tebangan.

2. Mengidentifikasi kesamaan komunitas antara hutan primer dan hutan bekas tebangan.

3. Mengidentifikasi hubungan asosiasi antar jenis merbau dan jenis merbau dengan beberapa jenis dominan di areal IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri.

4. Membandingkan struktur tegakan antara hutan primer dan hutan bekas tebangan.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang ekologi merbau mengingat literatur mengenai jenis ini masih sangat terbatas. Hasil dari penelitian ini juga dapat digunakan oleh perusahaan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan strategi pengelolaan hutan yang memperhatikan aspek kelestarian ekologi.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Sebaran Spasial

Pola sebaran spasial tumbuhan dan satwa adalah salah satu karakteristik yang penting dalam suatu komunitas ekologi. Hal ini merupakan suatu hal yang mendasar dari setiap kelompok organisme dan merupakan tahap awal dalam meneliti suatu komunitas (Connel 1963, diacu dalam Ludwig & Reynolds 1988).

Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan ada tiga tipe pola sebaran dalam suatu komunitas, yaitu acak (random), mengelompok (clumped) dan seragam (uniform). Terbentuknya pola sebaran tersebut dipengaruhi oleh berbagai mekanisme. Berbagai proses interaksi baik biotik dan abiotik saling berkontribusi untuk membentuk pola sebaran tersebut. Suatu pola sebaran acak dalam populasi organisme disebabkan oleh lingkungan yang homogen dan pola perilaku non selektif. Di sisi lain, pola sebaran non-acak (mengelompok dan seragam) menunjukkan adanya suatu pembatas pada populasi yang ada. Pola mengelompok disebabkan oleh adanya individu-individu yang akan berkelompok dalam suatu habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Sebaran seragam merupakan hasil dari adanya interaksi negatif antar individu, misalkan adanya kompetisi atas makanan dan ruang tumbuh.

a b c

Gambar 1 Tiga pola dasar sebaran spasial individu dalam suatu habitat (a) acak, (b) mengelompok, (c) seragam (Ludwigs & Reynolds 1988).


(4)

Odum (1971) juga menyatakan bahwa individu dalam suatu populasi menyebar mengikuti tiga pola, yaitu acak (random), mengelompok (clumped) dan seragam (uniform). Pola sebaran random sangat jarang ditemui di alam dan hanya akan terjadi bila kondisi lingkungan seragam dan tidak ada kecenderungan terjadinya agregasi. Pola penyebaran uniform akan terjadi bila tingkat kompetisi antar individu sama atau terjadi hubungan antagonis positif yang mendukung penyebaran keruangan. Pola penyebaran clumped merupakan pola penyebaran yang paling umum. Pola ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu random clumped, uniform clumped dan aggregated clumped.

Hutchinson (1953), diacu dalam Ludwig & Reynolds (1988) mengidentifikasi berbagai faktor penyebab dalam terbentuknya suatu pola sebaran organisme antara lain:

a. Faktor vektorial, yaitu faktor gabungan antara berbagai aksi lingkungan (misalnya: angin, air, intensitas cahaya).

b. Faktor regenerasi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut beregenerasi. c. Faktor sosial, yaitu bagaimana perilaku organisme tersebut.

d. Faktor ko-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan oleh interaksi intraspesifik (misalnya: kompetisi).

e. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari kombinasi beberapa faktor di atas.

Faktor-faktor di atas secara garis besar dapat dikategorikan sebagai faktor intrinsik (misalnya: reproduksi, sosial dan ko-aktif) dan faktor ekstrinsik (vektorial). Krebs (1978) menyatakan bahwa faktor vektorial (fisik) berupa suhu udara, kelembaban, cahaya, fisik tanah dan sifat kimia air dapat membatasi distribusi suatu organisme.

Pola sebaran spasial suatu spesies dapat diidentifikasi dengan menggunakan berbagai macam indeks sebaran, antara lain dengan rasio varian dan mean, Indeks Clumping, Koefisien Green, Indeks Morisita, Standarisasi Indeks Morisita dan rasio antara kepadatan observasi dengan kepadatan harapan (Rani 2003). Iwao (1968) menyatakan bahwa Indeks Morisita (Id) adalah yang paling sering digunakan untuk mengukur pola sebaran suatu spesies karena hasil perhitungan dari indeks tersebut tidak dipengaruhi oleh perbedaan nilai rataan dan ukuran unit


(5)

sampling. Southwood (1966) dan Pielou (1969) juga menyatakan hal yang sama. Menurut Southwood, indeks Morisita dapat menunjukkan pola sebaran suatu spesies dengan sangat baik. Indeks ini bersifat independent terhadap tipe-tipe distribusi, jumlah sampel dan nilai rataannya. Oleh karena itu, menurut Pielou (1969) berapa pun ukuran contohnya, indeks Morisita akan memberikan hasil yang relatif stabil.

Standarisasi indeks Morisita merupakan perbaikan dari Indeks Morisita dengan meletakkan suatu skala absolut antara -1 hingga 1. Suatu penelitian simulasi membuktikan bahwa indeks ini merupakan metode terbaik untuk mengukur pola sebaran spasial suatu individu karena tidak bergantung terhadap kepadatan populasi dan ukuran sampel (Rani 2003).

2.2 Kesamaan Dua Komunitas

Fungsi kemiripan menghitung kesamaan dan ketidaksamaan antara dua objek yang diobservasi. Objek yang dimaksud disini adalah komunitas yang saling berbeda. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa kemiripan suatu komunitas dengan komunitas lain dapat dinyatakan dengan similarity coefficients dan distance coefficients. Similarity coefficients memiliki nilai yang bervariasi antara 0 (jika kedua komunitas benar-benar berbeda) hingga 1 (jika kedua komunitas identik). Similarity coefficients dapat ditunjukkan dengan beberapa indeks seperti indeks Dice dan Jaccards. Distance coefficients atau dissimilarity coefficients merupakan kebalikan dari similarity coefficients.

Distance coefficients dapat dihitung menggunakan tiga kelompok indeks yaitu E-group (the Euclidean distance coefficients), BC-group (Bray-Curtis dissimilarity index), dan RE-group (the relative Euclidean distance). Dari ketiga kelompok di atas, Ludwig & Reynolds (1988) merekomendasikan untuk menggunakan BC-group (Bray-Curtis dissimilarity index) dan RE-group (the relative Euclidean distance) dalam menghitung indeks ketidaksamaan karena perhitungan dengan Euclidean distance coefficients dapat memberikan hasil yang bias.

Bloom (1981) telah membandingkan keakuratan empat similarity indices (indeks Bray-Curtis, Canberrra metric, indeks Morisita yang dimodifikasi oleh


(6)

Horn dan Horn’s Information Theory Index). Indeks Bray-Curtis ternyata memberikan keakuratan yang lebih baik daripada ketiga indeks lainnyya. Horn’s Information Theory Index dan indeks Morisita yang dimodifikasi oleh Horn memberikan hasil yang overestimate sedangkan Canberra metric cenderung underestimate.

2.3 Hubungan antara Dua Spesies

Faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi pola sebaran, kelimpahan, dan interaksi suatu spesies dengan individu lain dalam komunitasnya. Asosiasi atau hubungan antara dua spesies dapat berupa hubungan positif, negatif, atau tidak ada hubungan. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan antara dua spesies adalah dengan metode presence-absence (Ludwig & Reynolds 1988).

Hubalek (1982), diacu dalam (Ludwig & Reynolds 1988) menyatakan bahwa secara umum, hubungan antara dua spesies terjadi karena:

a. Kedua spesies memilih atau menghindari habitat yang sama.

b. Kedua spesies secara umum memiliki kebutuhan biotik dan abiotik yang sama. c. Salah satu atau kedua spesies memiliki kesamaan satu sama lain baik itu

berupa suatu ketertarikan ataupun penolakan.

Asosiasi positif terjadi apabila antara kedua spesies memerlukan suatu kondisi yang sama atau adanya predator terhadap keduanya. Asosiasi negatif dapat terjadi jika keduanya memerlukan kondisi yang berbeda atau bersaing satu sama lain (Southwood 1966).

Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa secara umum, penentuan asosiasi antara dua spesies dapat dilakukan dalam 3 langkah, yaitu menguji ada tidaknya hubungan asosiasi dengan teknik presence-absence, menguji tipe hubungan (positif atau negatif) dan mengukur derajat asosiasi menggunakan indeks asosiasi. Southwood (1966) juga menyatakan hal yang serupa. Hubalek (1982), diacu dalam (Ludwig & Reynolds 1988) telah menganalisis 43 indeks asosiasi yang dapat digunakan untuk menyatakan besarnya derajat asosiasi namun hanya enam indeks yang dapat mengukur derajat asosiasi dengan baik.


(7)

Ludwig & Reynolds (1988) sendiri menyatakan bahwa terdapat tiga indeks yang paling umum digunakan dalam mengukur derajat asosiasi antara dua spesies, yaitu Indeks Ochiai, Indeks Dice dan Indeks Jaccard. Jackson et al. (1989) menyatakan bahwa dari delapan indeks yang dia teliti, Indeks Ochiai dapat menunjukan derajat asosiasi dengan baik dimana ukuran sampling unit dan frekuensi kejadian memiliki pengaruh yang minimum terhadap hasil perhitungannya.

2.4 Struktur Tegakan Hutan Alam

Struktur tegakan terdiri dari struktur tegakan vertikal, horizontal dan spasial. Struktur tegakan vertikal menggambarkan susunan tegakan berdasarkan tinggi tajuk. Struktur tegakan horizontal menyatakan distribusi pohon berdasarkan kelas diameter, sedangkan struktur spasial menunjukkan pola pengelompokan dan distribusi jenis dalam ruang tumbuh (Rusolono 2006).

Diameter pohon paling umum digunakan untuk mendeskripsikan bentuk struktur tegakan. Distribusi diameter pada hutan tidak seumur akan membentuk kurva huruf J terbalik, dengan kerapatan pohon yang tinggi pada kelas diameter rendah dan semakin berkurang pada kelas diameter yang lebih tinggi (Husch et al. 2003). Meyer (1953), diacu dalam Husch et al. (2003) menyatakan bahwa bentuk distribusi diameter hutan normal pada hutan alam akan mengikuti persamaan eksponensial negatif N = k e –aD, dimana N adalah kerapatan tegakan (pohon/Ha), a dan k adalah konstanta karakteristik distribusi diameter, serta D adalah kelas diameter.

2.5 Gambaran Umum Jenis Merbau (Intsia spp.)

2.5.1 Ciri Botanis Intsia spp.

Merbau termasuk ke dalam famili Fabaceae dan merupakan nama perdagangan untuk genus Intsia spp. Merbau juga dikenal dengan nama “kwila” di Papua New Guinea, “ipil” di Filipina, dan kayu besi di Malaysia Barat (Newman & Lawson 2005).

Tong et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat 9 spesies merbau yang menyebar di beberapa belahan dunia. Terdapat tiga spesies merbau di Indoneisa


(8)

yaitu Intsia bijuga, I. palembanica dan I. acuminata. Ketiga spesies tersebut dapat ditemukan di Papua akan tetapi hanya jenis I. bijuga dan I. palembanica yang dieksploitasi secara komersial dan diketahui dengan baik. Tong et al. (2009) juga menyatakan bahwa jenis I. bijuga adalah yang paling sering ditemukan di Indonesia.

Merbau saat dewasa memiliki tinggi 7−40 m dengan pertambahan tinggi sebesar 1,5 m per tahun. Jenis ini termasuk pada jenis yang pertumbuhannya lambat dan memasuki masa dewasa setelah berumur 75−80 tahun. Pohon dewasa memiliki banir yang lebar hingga mencapai 4 m. Batang merbau tumbuh lurus dengan tajuk yang lebar serta memiliki kemampuan self-pruning yang baik. Bunga merbau bersifat biseksual sehingga dalam satu bunga terdapat bunga jantan dan betina, mahkota bunganya berwarna merah atau terkadang merah jambu. Jenis ini berbunga sepanjang tahun walaupun memiliki musim berbunga puncak pada bulan tertentu yang berbeda pada setiap daerah. Buahnya berbentuk oblong dengan ukuran 8−23 cm x 4−8 cm. Daun merbau merupakan daun majemuk yang biasanya terdiri dari 4 anak daun dengan panjang 8−15 cm/anak daun. Daun berbentuk elips dan asimetris (Thaman et al. 2006).

Batang merbau halus berwarna agak merah jambu hingga coklat kemerahan dan sedikit keabuan. Kulit kayu sering terkelupas berupa sisik dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Kayu gubal dan kayu teras sangat mudah dibedakan karena sangat kontras. Kayu gubal berwarna putih sedangkan kayu teras berwarna coklat merah dan saat dipotong batang mengeluarkan cairan berwarna coklat kehitaman (Nugroho 2010).

2.5.2 Penyebaran dan Tempat Tumbuh Intsia spp.

Jenis ini menyebar di seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua (Heyne 1987). Menurut Rimbawanto & Widyatmoko (2006), karena tingginya intensitas perburuan merbau menyebabkan jenis ini sekarang hanya tersisa di Papua dan sebagian Maluku

Newman & Lawson (2005) menyatakan bahwa pohon merbau tumbuh di hutan hujan tropis dataran rendah dan seringkali ditemukan di daerah pesisir yang berbatasan dengan rawa, sungai dan dataran sedimentasi. Merbau tumbuh baik


(9)

pada tanah lembab yang kadang-kadang digenangi air dan dapat juga tumbuh pada tanah kering, tanah berpasir, dan tanah berbatu.

Jenis I. bijuga dapat tumbuh pada ketinggian 0−450 mdpl. Jenis merbau secara umum dapat tumbuh baik pada curah hujan tahunan 1500−2300 mm, suhu 17−330C serta pada tanah yang drainasenya baik dan pH tanah berkisar antara 6,1−7,4 (Thaman et al. 2006). Menurut Mahfudz (2010), berdasarkan eksplorasi pada 19 populasi merbau di Papua dan Maluku, populasi merbau sering ditemukan pada hutan lahan kering primer maupun sekunder pada tanah podsolik merah kuning dengan kelerengan 0−15%. Jenis I. bijuga banyak ditemukan di hutan dataran rendah sedangkan jenis I. palembanica dapat ditemukan pada ketinggian di atas 1000 mdpl. Pohon merbau di Papua secara alami berasosiasi dengan beberapa jenis Hopea spp., Palaquium sp., Maniltoa sp., Myristica spp., dan Pometia spp.

Tokede et al. (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan merbau di alam sangat bergantung pada kondisi penutupan tajuk dari jenis-jenis lainnya. Semai merbau banyak ditemukan pada areal-areal terbuka dibanding areal dengan tegakan rapat (Gambar 2). Pada hutan yang memiliki kerapatan tajuk yang rapat, regenerasi jenis ini sering terhambat. Biji sangat mudah diperoleh dan cukup banyak ditemukan di alam terutama pada habitat alaminya namun permudaan di bawah pohon induk sulit dijumpai karena biji yang jatuh sulit berkecambah akibat kulit biji yang sangat keras (Gambar 3). Perkecambahan biji banyak dijumpai di bawah pohon induk yang tumbuh di tanah berbatu karang atau pada daerah pinggiran dan muara sungai berpasir yang sering terkena banjir. Tanah yang berbatu tersebut dapat melukai biji merbau sehingga biji mudah berkecambah.


(10)

Gambar 3 Biji merbau yang berkulit keras.

Menurut penelitian Nurhasybi & Sudrajat (2009), penaburan benih merbau secara langsung di Hutan Penelitian Parung Panjang paling baik dilakukan di bawah tegakan dengan intensitas naungan 55−65% dengan melakukan pembersihan tapak terlebih dahulu serta biji dikikir dan direndam dengan air selama 30 menit. Biji yang ditabur di atas permukaan tanah tanpa dilakukan perlakuan awal terhadap biji, tanpa pembersihan tapak, dan dilakukan pada areal yang benar-benar terbuka akan memberikan persen berkecambah yang sangat rendah. Contoh biji yang telah berkecambah disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4 Biji merbau yang telah dikecambahkan dalam polibag. 2.5.3 Status Konservasi

IUCN telah memasukkan jenis I. bijuga dan I. acuminata ke dalam kategori jenis yang terancam punah kategori vulnerable (rentan) berdasarkan assessment yang disepakati tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut menghadapi resiko tinggi menuju kepunahan di habitat aslinya. Spesies merbau lainnya tidak termasuk dalam kategori ini (IUCN 2011).


(11)

Pada tahun 2004, Dephut mengeluarkan Siaran Pers No.: S.385/II/PIK-1/2004 bahwa Indonesia mengusulkan untuk memasukkan merbau ke dalam Appendix III CITES. Akan tetapi, menurut Tongs et al. (2009), hingga saat ini usulan ini masih dalam tahap kajian karena banyaknya pihak yang pro dan kontra terhadap usulan ini. Beberapa pihak yang kurang setuju dengan usulan ini meyakini bahwa populasi merbau di Papua masih melimpah serta beranggapan bahwa merbau memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat Papua.


(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di areal IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri yaitu pada hutan primer (BLOK RKT 2012), Logged Over Area (LOA) berumur 2 tahun (Blok RKT 2009), 5 tahun (Blok RKT 2006), 11 tahun (Blok RKT 1999-2000) dan 15 tahun (Blok RKT 1995-1996). Pengambilan data telah dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: phi band, GPS, kompas, suunto clinometers, tali tambang, thermometer hygrometer, peralatan untuk membuat herbarium (alkohol 70%, kertas koran, kantong plastik, label), peralatan untuk mengumpulkan contoh tanah, kamera digital, serta perangkat lunak Ms. Excel, Minitab, Map Source, Global Mapper 11 dan ArcView 3.2.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: tanah di areal hutan primer, LOA berumur 2 tahun, 5 tahun, 11 tahun dan 15 tahun, serta daun untuk bahan herbarium.

3.3 Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder antara lain:

1. Data primer adalah data yang diperoleh dari kegiatan observasi dan pengukuran langsung di lapangan yang berupa data vegetasi semua jenis pohon mulai dari tingkat tiang (berdiameter minimal 10 cm) serta data kondisi fisik lokasi pengamatan.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi literatur, dokumen perusahaan dan wawancara dengan pihak terkait tentang kondisi umum lokasi penelitian serta kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan.


(13)

3.3.2 Pengumpulan Data

Lokasi pengamatan dibagi menjadi 5 klasifikasi areal. Klasifikasi tersebut didasarkan pada pernah tidaknya dilakukan penebangan serta umur lokasi penebangan. Pembagian lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pembagian lokasi penelitian berdasarkan kegiatan penebangan dan umur lokasi penebangan

Jenis areal Lokasi Jumlah

jalur Luas (ha)

Areal hutan primer Blok RKT 2012 3 3

LOA berumur 2 tahun Blok RKT 2009 3 3

LOA berumur 5 tahun Blok RKT 2006 3 3

LOA berumur 11 tahun LOA berumur 15 tahun

Blok RKT 1999-2000 Blok RKT 1995-1996

3 3

3 3

Total 15 15

Pada masing-masing areal dilakukan pengukuran pada 3 jalur. Masing-masing jalur berukuran 20 m x 500 m yang dibagi menjadi petak-petak berukuran 20 m x 20 m, sehingga dalam satu jalur terdapat 25 petak ukur. Jalur pertama pada masing-masing areal ditentukan secara purposive sampling berdasarkan keterjangkauan dan keterwakilan kondisi fisik lingkungan. Oleh karena itu, jalur dibuat tegak lurus garis pantai dan memotong garis kontur dengan arah rintisan Utara-Selatan atau Timur-Barat. Jalur selanjutnya diletakkan secara sistematis sejajar satu sama lain dengan jarak antar jalur 500 m.

Data yang diambil dari lokasi pengamatan adalah:

1. Data vegetasi yang berupa: diameter semua jenis pohon berdiameter 10 cm yang ditemukan pada petak pengamatan dan nama jenisnya. Jika terdapat jenis yang belum dikenal, maka dilakukan pembuatan herbarium dengan cara basah. 2. Data kondisi fisik lingkungan yang terdiri dari:

a. Tinggi tempat

Tinggi tempat diukur pada titik awal jalur dan setiap 100 m dalam jalur, sehingga dalam satu jalur dilakukan pengukuran sebanyak 6 kali.

b. Kelerengan

Kelerengan diukur pada masing-masing petak pengamatan menggunakan suunto clinometers. Hasil pengukuran kelerengan diklasifikasikan ke


(14)

dalam 5 kelas kelerengan, yaitu: datar (0−8%), landai (8−15%), agak curam (15−25%), curam (26−40%), sangat curam (> 40%).

c. Arah menghadap lereng (aspek kemiringan lereng)

Arah menghadap kelerengan pada masing-masing petak pengamatan diukur menggunakan kompas dan dicatat sudut azimutnya.

d. Posisi petak pengamatan dalam bentang lahan

Masing-masing petak pengamatan diidentifikasi posisinya dalam konfigurasi bentang lahan (termasuk lembah, punggung bukit atau puncak).

e. Suhu udara

Suhu udara diukur pada setiap jalur pengamatan menggunakan thermometer hygrometer. Termometer hygrometer digantung dibawah tegakan dan dihindarkan dari paparan cahaya matahari secara langsung. Pengukuran dilakukan tiga kali, yaitu pagi, siang dan sore hari sehingga suhu rata-rata harian dihitung dengan rumus:

T = (2 T pagi + T siang + T sore)/4

Notasi T menyatakan suhu rata-rata harian sedangkan T pagi, siang, sore menyatakan pengukuran suhu saat pagi, siang, dan sore (Handoko 1995). f. Kelembaban udara relatif

Kelembapan udara relatif diukur menggunakan thermometer hygrometer bersamaan dengan pengukuran suhu udara.

g. Tekstur tanah

Tekstur tanah diukur dengan mengambil sampel tanah terganggu (disturbed soil sample) dari masing-masing petak ukur pada kedalaman 10-20 cm. Sampel tanah dari 25 petak dalam satu jalur tersebut kemudian dikompositkan menggunakan metode quartening hingga diperoleh sampel tanah ± 1 kg. Pada masing-masing jalur diperoleh satu sampel tanah komposit kemudian dianalisis teksturnya di laboratorium.

h. Penggenangan

Setiap lokasi pengukuran diamatai kondisi penggenangannya (rawa basah atau kering).


(15)

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − − + Mc n Mc Id 5 , 0 5 , 0 Ip ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − − 1 1 5 , 0 Mc Id Ip ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − − − 1 1 5 , 0 Mu Id ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + − Mu Mu Id 5 , 0 5 , 0 3.4 Metode Pengolahan Data

3.4.1 Analisis Pola Sebaran Spasial Jenis Intsia spp.

Pola sebaran spasial jenis merbau (Intsia spp.) dihitung menggunakan indeks Morisita yang telah distandarisasi (Jongjitvimol et al. 2005):

Id =

(

)

( )

∑ −∑ ∑ −∑ i i i i x x x x n

Keterangan : Id : Indeks Morisita

n : jumlah seluruh petak ukur

Xi : jumlah individu jenis tertentu pada unit contoh ke-i

Pola sebarannya ditunjukkan melalui perhitungan Mu dan Mc sebagai berikut:

Mu =

(

)

1 2 975 , 0 − + −

i

i x

x n χ

Mc =

(

)

1 2 025 , 0 − + −

i

i x

x n χ

Keterangan: Mu : Indeks Morisita untuk pola sebaran seragam

χ²0,975 : nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang

kepercayaan 97,5%

Mc : Indeks Morisita untuk pola sebaran mengelompok

χ²0,025 : nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang

kepercayaan 2,5%

Standar derajat Morisita dihitung dengan rumus:

= ; jika Id ≥ Mc >1

   

 

  =        ; jika  Mc > Id ≥ 1       

 

Ip = ; jika 1> Id > Mu


(16)

Berdasarkan nilai Ip, maka diperoleh kesimpulan pola sebarannya: Seragam : Ip < 0

Acak : Ip = 0 Mengelompok : Ip > 0 3.4.2 Kesamaan komunitas

Kesamaan komunitas antara hutan primer, Logged Over Area (LOA) berumur 2 tahun, 5 tahun, 11 tahun, dan 15 tahun dihitung menggunakan indeks kesamaan (Index of similarity) Bray-Curtis sebagai berikut:

IS =   x 100% Dimana : IS : index of similarity

W : jumlah individu yang lebih rendah atau sama dari pasangan jenis yang dibandingan pada dua komunitas

a : jumlah individu semua jenis pada komunitas A b : jumlah individu semua jenis pada komunitas B

Nilai IS berkisar antara 0% hingga 100% dimana dua komunitas yang dibandingkan akan benar-benar sama jika nilai IS 100% dan sama sekali berbeda jika nilai IS 0% (Ludwig & Reynolds 1988).

3.4.3 Analisis Hubungan Asosiasi antar Jenis Merbau (Intsia spp.) dan Asosiasi antara Merbau dengan Jenis Lain yang Sering Dijumpai dalam Petak Ukur

Pendugaan hubungan asosiasi dilakukan antar spesies Intsia spp. (Intsia bijuga dengan Intsia palembanica) dan jenis Intsia spp. dengan spesies lain yang sering dijumpai. Analisis hubungan asosiasi ini dihitung dengan metode presence-absence atau tabel kontingensi (Ludwig & Reynolds 1988). Langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut:

a. Merekapitulasi kehadiran masing-masing spesies: Spesies B

Present absent

Spesies A Present a b m = a+b

Absent c d n= c+d

r = a+c s = b+d N=a+b+c+d Gambar 5 Matriks asosiasi antara dua spesies.


(17)

Keterangan:

a = frekuensi ditemukan kedua spesies dalam unit contoh

b = frekuensi ditemukan spesies A namun tidak terdapat spesies B dalam unit contoh

c = frekuensi ditemukan spesies B namun tidak terdapat spesies A dalam unit contoh

d = frekuensi dimana tidak ditemukan kedua spesies dalam unit contoh

b. Pernyataan hipotesis. Hipotesis nol dinyatakan bahwa masing-masing spesies bersifat independen (tidak ada hubungan korelasi).

c. Perhitungan statistik

χ2

=   | |  

Nilai χ2 tabel pada derajat bebas 1 dan taraf nyata 5% adalah 3,84 sehingga:

Jika χ2 > 3,84, maka tolak Ho Jika χ2≤ 3,84, maka terima Ho d. Menganalisis pola hubungan asosiasi.

Jika a > E(a), maka hubungan asosiasinya adalah positif.

Jika a ≤ E(a), maka hubungan asosiasinya adalah negatif, dimana E(a) adalah nilai harapan munculnya kejadian a.

E(a) =

e. Perhitungan indeks asosiasi Indeks Ochiai :

OI =

√ √

Indeks Ochiai di atas bernilai 0 hingga 1, semakin mendekati 1 maka asosiasinya maksimum.

3.4.5 Penyusunan Model Struktur Tegakan

Model struktur tegakan yang digunakan adalah model eksponensial negatif yang dinyatakan oleh Meyer (1953), diacu dalam Husch et al. (2003) sebagai berikut:

N = k e –aD


(18)

k = konstanta yang menyatakan jumlah pohon pada kelas diameter pohon rendah

e = 2,7183

a = konstanta yang menyatakan kemiringan garis kurva, menunjukkan laju pengurangan jumlah pohon setiap meningkatnya kelas diameter.

D = kelas diameter pohon mulai 10 cm ke atas Bentuk linear model tersebut adalah:

Ln N = Ln k – aD

Persamaan ini identik dengan persamaan umum regresi linear sederhana yaitu Y = b0 + bi X, sehingga diperoleh:

Y = Ln N b0 = ln k


(19)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Perusahaan

PT Mamberamo Alasmandiri merupakan perusahaan PMDN yang tergabung dalam KODECO GROUP. Izin Pemanfaatan Hutan PT Mamberamo Alasmandiri didasarkan pada keputusan Menteri Kehutanan No. 1071/Kpts-II/1992 tanggal 19 November 1992 seluas 691.700 ha yang kemudian diperbarui berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 910/Kpts-IV/1999 tanggal 14 Oktober 1999 dengan luas 677.310 ha. Perubahan areal tersebut berkaitan dengan diberlakukannya Perda No.3 Th. 1993 yang berisi pelepasan areal habitat buaya seluas 83.890 ha dan hutan lindung seluas 25.000 ha, serta penambahan areal seluas 94.500 ha yang berasal dari areal enclave. 4.2 Letak dan Luas Areal IUPHHK-HA

Areal kerja IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri terletak di dalam wilayah distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta distrik Waropen Atas, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Menurut pembagian wilayah pemangkuan hutan, termasuk ke dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH)/Ranting Dinas Kehutanan Waropen Atas, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)/Cabang Dinas Kehutanan Serui, dan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Mamberamo/Cabang Dinas Kehutanan Sarmi, Dinas Kehutanan Provinsi Papua.

Batas areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri berdasarkan RKUPHHK-HA periode 2008-2017 adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Batas buatan.

Sebelah Timur : Sungai Mamberamo, Suaka Margasatwa Pegunungan Foja dan Hutan Lindung.

Sebelah Selatan : Suaka Margasatwa Pegunungan Foja, Habitat Buaya. Sebelah Barat : IUPHHK PT Semey Matoa Timber, IUPHHK PT Kayu


(20)

Sesuai Surat Keputusan Meteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 910//Kpts-IV/1999, luas areal efektif untuk produksi seluas 584.368 ha, dengan rincian areal berhutan alam primer seluas 403.592 ha, hutan alam bekas tebangan 168.781 ha dan areal berpenutupan lahan non hutan/semak belukar seluas 11.995 ha.

4.3 Kondisi Fisik

4.3.1 Topografi dan Kelerengan

Hamparan areal kerja IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri bervariasi dari datar sampai bergelombang dengan ketinggian tempat dari permukaan laut berkisar 100-648 mdpl. Kondisi kelerengan dapat diketahui pada tabel berikut: Tabel 2 Kelerengan lahan areal kerja IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri

Kelas Kelerengan LUAS

Hektar Persen

<8% (Datar) A 202.658 29,9

8-15% (Landai) B 185.784 27,4

15-25% (Agak curam) C 215.920 31,9

25-40% (Curam) D 60.106 8,9

>40% (Sangat Curam) E 12.843 1,9

Jumlah 677.310 100

Sumber: Dokumen RKUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri tahun 2008 4.3.2 Iklim, Intensitas Hujan dan DAS

Areal IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri termasuk kedalam tipe iklim A (daerah sangat basah dengan curah hujan tanpa bulan kering merata sepanjang tahun dan bervegetasi hutan hujan tropis) menurut klasifikasi iklim Schmidt & Ferguson atau tipe iklim Af menurut klasifikasi iklim Koppen. Dari data yang diperoleh dari stasiun pencatat curah hujan Camp Gesa (tahun 1994-2001) diperoleh nilai Q = 0% dengan curah hujan rata-rata adalah sebesar 285,6 mm/bulan. Tingkat minimum curah hujan terjadi pada bulan November (208,8 mm/bulan) dan maksimum pada bulan Oktober (354,1 mm/bulan).

Areal IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri berada dalam wilayah DAS Sungai Mamberamo dan DAS Sungai Gesa. Pola sungai Mamberamo dan Sungai Gesa umumnya berpola dendritik, dengan arah aliran dari selatan menuju


(21)

utara. Sungai tersebut bersifat perenial stream (mengalir sepanjang tahun), kecepatan arus tergolong lambat sampai agak cepat, serta dasar saluran mengandung lumpur.

4.3.3 Jenis Tanah

Jenis tanah di areal PT. MAM berdasarkan Peta Tanah Provinsi Irian Jaya skala 1 : 1.000.000 (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1993) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis tanah di areal kerja IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri

Jenis Tanah Kepekaan Erosi *) Luas

Kelas Kepekaan Hektar % Aluvial Tropaquents

(Gleisol hidrik) Topaquenpts (Gleisol distrik)

1 Tidak Peka

145.700 21,5

Latosol Dystropepts 2 Agak Peka 255.110 37,7

Podsolik Hapludults 4 Peka 250.870 37,0

Litosol Troporthenst 5 Sangat Peka 23.190 3,4

Regosol Tropopsammenst 6 Sangat Peka 2.440 0,4

Sumber: Dokumen RKUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri tahun 2008

Keterangan : *) Kepekaan tanah terhadapa erosi didasarkan pada ketentuan yang tersurat dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980

4.4 Kondisi Biotik

4.4.1 Flora

Jenis kayu komersial yang menjadi produk andalan PT Mamberamo Alasmandiri adalah jenis merbau (Intsia spp.). Jenis Dipterocarpaceae yang sering ditemukan di lokasi penelitian antara lain jenis Hopea dyeri, Anisoptera iriana dan Vatica rassak. Matoa (Pometia spp.) juga menjadi produk unggulan yang berasal dari suku Sapindaceae. Jenis lain yang cukup mendominasi berasal dari suku Myrtacea, Myristicaceae dan Burseraceae.

Selain jenis-jenis di atas, juga terdapat dua jenis kayu yang dilindungi yaitu kayu lawang (Cinnamomum sintoc) dan beringin (Ficus spp.). Beringin dianggap sebagai nenek moyang penduduk setempat sehingga jenis ini tidak ditebang. Sagu juga sering ditemui di sepanjang aliran sungai dan menjadi sumber makanan pokok masyarakat setempat.


(22)

4.4.2 Fauna

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, jenis-jenis satwa liar yang sering ditemukan di areal kerja PT Mamberamo Alasmandiri adalah babi hutan (Sus barbatus), buaya muara (Crocodylus porossus), buaya darat (Crocodylus novaeguineae), lau-lau atau kanguru tanah (Thylogale bruijnii). Berbagai jenis burung juga sering ditemukan di lokasi, seperti burung cenderawasih (Paradisea minor), mambruk (Goura victoria), kasuari gelambir tunggal (Casuarius unappendiculatus), kakatua koki (Cacatua galerita) dan maleo (Macrocephalon maleo).

4.5 Sistem Pengelolaan Hutan yang Diterapkan

Kegiatan logging di PT MAM mulai dilakukan pada tahun 1994 dan pernah mengalami stagnasi produksi. PT MAM membagi arealnya menjadi dua unit kelestarian yaitu Unit Gesa (Kompartemen A) dan Unit Aja (Kompartemen B). Kedua unit tersebut melakukan kegiatan pengelolaan hutan secara terpisah. Hingga saat ini kegiatan pemanenan masih dilakukan dengan teknik konvensional dan belum menetapkan teknik RIL walaupun pernah dilakukan uji coba RIL. Sistem silvikultur yang diterapkan adalah sistem TPTI. Pada hutan produksi, penebangan dilakukan pada jenis komersial berdiameter 40 cm-up, sedangkan pada HPT penebangan dilakukan pada jenis komersial berdiameter 50-up.

Berdasarkan dokumen RKUPHHK-HA PT MAM tahun 2008, Jatah Produksi Tahunan (JPT) yang diperbolehkan adalah sebesar 14.907 ha/tahun atau 224.623 m3/tahun, sedangkan rata-rata realisasi produksi adalah 15 m3/ha atau 9,2 batang/ha. Jenis kayu komersial yang diproduksi oleh PT. MAM digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu: jenis merbau, kelompok jenis meranti non merbau, kelompok rimba campuran, dan kelompok kayu indah. Kelompok jenis meranti non merbau yang sering ditemui adalah jenis matoa (Pometia spp.), mersawa (Anisoptera iriana), resak (Vatica rassak), nyatoh (Palaquium lobianium), dan pulai (Alstonia scholaris). Kelompok rimba campuran yang sering dijumpai di lapangan antara lain jenis bintangur (Calophyllum inophyllum), binuang (Octomeles sumatrana), terentang (Campnosperma brevipetiolata) dan bipa


(23)

(Pterygota horsfieldii) sedangkan untuk kelompok jenis kayu indah antara lain jenis dahu (Dracontomelon dao).

Tabel 4 Jatah Produksi Tahunan tahun RKT 2010 PT MAM

No Jenis Target Tebangan Rata-Rata

Jumlah Pohon Volume N/ha m3/ha

1 Merbau 21.590,00 76.694,96 1,51 5,38

2 Kelompok Kayu meranti

Matoa 10.739,00 14.064,25 0,75 0,99

Mersawa 5.964,00 9.170,64 0,42 0,64

Nyatoh 7.394,00 12.037,70 0,52 0,84

Resak 6.618,00 6.333,72 0,46 0,44

Meranti Lain 17.370,00 28.096,23 1,22 1,97

Total 48.085,00 69.702,54 3,37 4,89

3 Kelompok Rimba Campuran

Bintangur 2.704,00 13.052,25 0,19 0,91

Binuang 2.313,00 8.781,39 0,16 0,62

Terentang 2.634,00 6.983,96 0,18 0,49

Rimba Campuran Lain 23.871,00 54.058,11 1,67 3,79

Total 31.522,00 82.875,71 2,21 5,81

4 Kelompok Kayu Indah

Dahu 400,00 1.039,82 0,03 0,07

Kayu Indah Lain 687,00 1.951,92 0,05 0,14

Total 1.087,00 2.991,74 0,08 0,21

TOTAL 102.284,00 232.264,95 7,17 16,28

Sumber: Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua No. KEP-522.1/3821 Desember 2009, Dokumen RKT PT MAM tahun 2010

Pada Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa intensitas penebangan yang dilakukan PT MAM per hektar untuk masing-masing jenis tidaklah terlalu besar. Volume produksi yang besar disebabkan oleh luasnya areal penebangan. Jenis merbau sendiri ditebang dengan intensitas 1,51 pohon/ha. Kelompok jenis kayu meranti yang memiliki intensitas penebangan tertinggi adalah jenis matoa.


(24)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor Fisik Lingkungan

Faktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada masing-masing lokasi penelitian. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi komposisi individu yang ditemukan dalam lingkungannya. Perbedaan faktor fisik lingkungan pada kelima lokasi penelitian (Tabel 5) dapat menyebabkan pola sebaran merbau yang berbeda. Tabel 5 Kondisi fisik lingkungan pada masing-masing lokasi penelitian

Kondisi Fisik Hutan

primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun

Kelas kelerengan datar-curam datar-sangat curam datar-sangat curam datar-sangat curam datar-sangat curam

Aspek Barat-Utara Timur-Utara Barat-Utara Timur-Selatan Timur-Selatan

Posisi bentang lahan lembah-punggung bukit lembah-punggung bukit lembah-punggung bukit lembah-punggung bukit lembah-punggung bukit Tinggi tempat (mdpl)

314 ± 9,81 329 ± 26,27 75 ± 34,99 55 ± 15,25 40 ± 8,64

Suhu rata-rata harian (0C)

28,33 ± 0,58 27 ± 0,00 27,67 ± 0,58 28,75 ± 0,66 27 ± 0,90

Kelembapan relatif (%)

92,33 ± 0,58 92 ± 0,00 86,25 ± 0,43 94,33 ± 4,93 96,33 ± 0,58

Tekstur tanah

1, Pasir 12,44 ± 2,71 15,45 ± 1,63 37,62 ± 4,97 24,51 ± 12,11 23,48 ± 4,78

2, Debu 59,74 ± 5,14 55,95 ± 4,49 42,11 ± 14,39 59,28 ± 18,31 53,17 ± 6,78

3, Liat 27,82 ± 2,82 28,60 ± 3,41 20,27 ± 9,49 16,17 ± 6,23 23,35 ± 2,58

Kelas tekstur tanah lempung liat berdebu lempung liat berdebu lempung lempung berdebu lempung berdebu

Penggenangan - - - - -

Berdasarkan Tabel 5, topografi pada kelima lokasi relatif sama, yaitu datar hingga sangat curam dengan persen kelerengan terendah adalah 0% dan tertinggi 80%. Konfigurasi kelima lokasi bergelombang dengan posisi bentang lahan setiap jalur pengamatan melewati lembah dan punggung bukit. Kondisi di atas


(25)

menunjukkan bahwa pembuatan jalur pengamatan telah mewakili semua kelas kelerengan atau memotong garis kontur sesuai dengan yang diharapkan.

Tinggi tempat pada hutan primer berbeda sangat nyata (p value < 0,01) dengan LOA berumur 15 tahun, 11 tahun, dan 5 tahun, serta berbeda nyata (p value < 0,05) dengan LOA berumur 2 tahun. Hal ini disebabkan lokasi LOA berumur 2 tahun dan hutan primer relatif berdekatan sedangkan dengan lokasi lainnya berjauhan. Semakin tua umur lokasi bekas tebangan akan memiliki ketinggian tempat yang semakin rendah karena garis pantai pada areal IUPHHK-PT Mamberamo Alasmandiri memotong dari Utara-Selatan. Hasil uji t berpasangan ketinggian tempat disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji t berpasangan untuk ketinggian tempat pada kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan

primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun

Hutan primer 0,000** 0,000** 0,000** 0,043*

LOA 15 tahun 0,002** 0,001** 0,000**

LOA 11 tahun 0,048* 0,000**

LOA 5 tahun 0,000**

LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Suhu udara rata-rata harian pada kelima lokasi memiliki nilai terendah 27 ± 0,00 0C pada LOA berumur 2 tahun dan tertinggi 28,75 ± 0,66 0C pada LOA berumur 11 tahun. Semua lokasi memiliki nilai suhu harian rata-rata yang tidak berbeda nyata (Tabel 7) kecuali lokasi LOA berumur 2 tahun dan 11 tahun yang berbeda nyata (p value < 0,05).

Tabel 7 Hasil uji t berpasangan untuk suhu rata-rata harian kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan

primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun

Hutan primer 0,235ns 0,423ns 0,184ns 0,057ns

LOA 15 tahun 0,073ns 0,513ns 1,000ns

LOA 11 tahun 0,238ns 0,044*

LOA 5 tahun 0,184ns

LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)


(26)

Nilai kelembaban relatif (RH%) pada kelima lokasi bervariasi dengan nilai terendah 86,25% ± 0,43% pada LOA berumur 5 tahun dan tertinggi pada LOA berumur 15 tahun dengan 96,33% ± 0,58%. Berdasarkan Tabel 8, hutan primer memiliki nilai RH % yang tidak berbeda nyata dengan LOA 2 tahun dan LOA 11 tahun, berbeda nyata dengan LOA berumur 15 tahun dan berbeda sangat nyata dengan LOA berumur 5 tahun. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai RH% adalah kerapatan penutupan tajuk, dimana semakin rapat tajuk suatu tegakan maka akan memiliki nilai RH% yang semakin tinggi.

Tabel 8 Hasil uji t berpasangan untuk kelembaban relatif kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan

primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun

Hutan primer 0,020* 0,580ns 0,000** 0,423 ns

LOA 15 tahun 0,574ns 0,003** 0,006**

LOA 11 tahun 0,115ns 0,499 ns

LOA 5 tahun 0,002**

LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Tekstur tanah pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun berupa lempung liat berdebu, LOA berumur 5 tahun berupa lempung dimana komposisi ketiga fraksinya seimbang dan tekstur tanah pada LOA berumur 11 dan 15 tahun adalah lempung berdebu. Kandungan pasir antara LOA 2 tahun dan hutan primer relatif sama, sedangkan kandungan pasir pada LOA 5 tahun berbeda nyata dengan kedua lokasi tersebut namun tidak berbeda nyata dengan lokasi lainnya. Hutan primer dan LOA berumur 2 tahun memiliki kandungan pasir yang lebih rendah dibandingkan ketiga lokasi lainnya.

Tabel 9 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan pasir kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan

primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun

Hutan primer 0,097ns 0,239ns 0,024* 0,098 ns

LOA 15 tahun 0,842ns 0,098 ns 0,097 ns

LOA 11 tahun 0,296 ns 0,298 ns

LOA 5 tahun 0,028*

LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)


(27)

Tabel 10 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan debu kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan

primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun

Hutan primer 0,272ns 0,968ns 0,243ns 0,083 ns

LOA 15 tahun 0,456ns 0,442ns 0,639 ns

LOA 11 tahun 0,438ns 0,796 ns

LOA 5 tahun 0,293 ns

LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Tabel 11 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan liat kelima kondisi hutan

Lokasi Hutan

primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun

Hutan primer 0,023* 0,069ns 0,395 ns 0,717 ns

LOA 15 tahun 0,110ns 0,702 ns 0,161 ns

LOA 11 tahun 0,678 ns 0,131 ns

LOA 5 tahun 0,300 ns

LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Kandungan debu pada kelima lokasi (Tabel 10) tidak berbeda nyata (p value > 0,05) begitupun juga kandungan liat (Tabel 11) kecuali antara hutan primer dengan LOA 15 tahun yang berbeda nyata (p value < 0,05). Oleh karena itu, ketiga fraksi tekstur tanah yang berbeda nyata antara masing-masing lokasi hanyalah fraksi pasir. Tokede et al. (2006) menyatakan bahwa permudaan merbau akan lebih mudah tumbuh pada lokasi yang memiliki kandungan pasir tinggi. Berdasarkan kedelapan faktor di atas, faktor ketinggian tempat, kelembaban relatif dan kandungan pasir dalam tekstur tanah ternyata berbeda-beda antar lokasi penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai faktor pembatas untuk menganalisis pola sebaran, sedangkan faktor-faktor lainnya seperti topografi, posisi bentang lahan, suhu, kandungan debu dan liat relatif homogen.

Ketinggian tempat berpengaruh terhadap kandungan unsur hara tanah dan penyebaran biji. Posisi ini mengakibatkan bagian yang lebih rendah memiliki unsur hara yang lebih baik akibat aliran permukaan tanah dan aliran sungai yang membawa serta unsur-unsur hara dari hulu. Selain itu, penyebaran biji merbau yang dibantu oleh aliran sungai turut menyebabkan berkumpulnya biji merbau di areal yang altitudenya lebih rendah.


(28)

Krebs (1978) menyatakan bahwa kelembapan udara berkaitan dengan kemampuan tumbuhan untuk menahan air serta berkaitan dengan suhu udara dan penyinaran matahari. Area yang memiliki kelembapan relatif tinggi menunjukkan bahwa penutupan tajuk pada lokasi tersebut tinggi. Merbau yang merupakan jenis intoleran yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya, sehingga jenis ini dapat beregenerasi dengan baik pada areal yang memiliki kerapatan tajuk rendah atau dengan kata lain yang memiliki RH% rendah.

Tokede et al. (2006) menyatakan bahwa merbau sering dijumpai pada muara sungai yang berpasir. Tanah yang berpasir cenderung bertekstur kasar sehingga dapat melukai biji merbau yang berarti membantu terjadinya imbibisi. Oleh karena itu, merbau akan mudah tumbuh pada tanah yang mengandung fraksi pasir tinggi.

5.2 Pola Sebaran Spasial Merbau

Pola sebaran spasial merupakan tahap awal dalam melihat perilaku suatu individu dalam komunitasnya. Saat ini banyak pihak yang beradu argumen apakah merbau patut dimasukkan dalam Appendix III CITES atau tidak mengingat jenis ini merupakan target utama dalam kegiatan logging di Papua dan tidak diimbangi oleh kemampuan regenerasi merbau secara alami di alam. Bahkan sejak tahun 1998, IUCN telah memasukkan jenis I. bijuga dan I. acuminata ke dalam kategori jenis yang terancam punah kategori vulnerable. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut menghadapi resiko menuju kepunahan di habitat aslinya.

Terdapat 3 jenis merbau yang dapat ditemukan di Papua, namun dalam penelitian ini hanya ditemukan dua jenis yaitu Intsia bijuga (Colebr.) O. Ktze. dan Intsia palembanica Miq. Heyne (1987) menyatakan bahwa jenis I. palembanica lebih sering ditemui pada ketinggian di atas 1000 mdpl, sedangkan I. bijuga sering ditemui di sepanjang pantai berkarang atau berpasir. Pola sebaran spasial kedua jenis merbau ini disajikan dalam Tabel 12.

Jenis I. bijuga dan I. palembanica memiliki pola sebaran yang berbeda pada berbagai kondisi hutan. I. bijuga tumbuh mengelompok pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun, tumbuh acak pada LOA berumur 5 tahun dan membentuk pola seragam pada LOA berumur 11 tahun dan 15 tahun. Jenis I. palembanica


(29)

tumbuh seragam pada hutan primer, LOA berumur 2, 5 dan 15 tahun, namun berkelompok pada LOA berumur 11 tahun. Pola sebaran yang berbeda-beda ini disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan yang berbeda-beda pada masing-masing lokasi. Faktor fisik lingkungan yang berbeda di sini adalah ketinggian tempat, kelembaban relatif, dan kandungan pasir yang disajikan pada Gambar 6, 7 dan 8. Tabel 12 Pola sebaran spasial kedua jenis merbau pada lima kondisi hutan

No Tipe Hutan Ip Pola Sebaran

I. bijuga I. palembanica I. bijuga I. palembanica

1 Hutan primer 1 -1 Berkelompok Seragam

2 LOA 2 tahun 1 -1 Berkelompok Seragam

3 LOA 5 tahun 0 -1 Acak Seragam

4 LOA 11 tahun -1 1 Seragam Berkelompok

5 LOA 15 tahun -1 -1 Seragam Seragam

Jika pola sebaran pada hutan primer dijadikan acuan, maka hanya tegakan pada LOA berumur 2 tahun yang memiliki pola sebaran yang sama. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik yang mirip pada kedua lokasi baik ketinggian, kelerengan, suhu, RH%, maupun tekstur tanah.

Gambar 6 Ketinggian tempat pada kelima lokasi penelitian.

Gambar 7 Kelembaban relatif pada kelima lokasi penelitian.

0 50 100 150 200 250 300 350

Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahunLOA 15 tahun

Ketinggian

 

tempat

 

(mdpl)

80 85 90 95 100

Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahunLOA 15 tahun

RH

 


(30)

Gambar 8 Kandungan pasir pada kelima lokasi penelitian.

Pola yang berkelompok menunjukkan bahwa suatu area memiliki kondisi fisik yang heterogen, sehingga jenis tersebut akan tumbuh mengelompok pada lokasi yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Pola acak disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan yang homogen dan tidak terdapat persaingan antar individu atau dengan kata lain bersifat independent. Pola acak menurut Odum (1971) sangat jarang ditemui di alam. Pola sebaran yang seragam timbul akibat interaksi negatif atau persaingan antar individu sehingga jumlah maksimal individu dalam unit dibatasi oleh adanya kompetisi makanan dan ruang.

Pola sebaran spasial I. bijuga yang berkelompok pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun disebabkan oleh terbatasnya kondisi yang sesuai dengan kebutuhan hidup jenis tersebut pada lokasi ini. Kedua lokasi ini berada pada altitude yang lebih tinggi serta pada hulu Sungai Mamberamo yang mengakibatkan unsur hara tanah sering terbawa oleh aliran permukaan ke daerah yang lebih rendah sehingga kesuburan tanahnya berkurang. Kandungan pasir pada kedua area ini juga lebih rendah dibandingkan ketiga lokasi lainnya. RH pada kedua lokasi ini tidak berbeda nyata yang berarti kerapatan tajuknya pun relatif sama. Biji merbau tidak memiliki sayap dan cukup berat sehingga penyebarannya tidak akan jauh dari induknya serta hanya akan terpisah jauh dari induknya jika terbawa aliran air. Biji-biji merbau yang berada di bawah induknya sulit untuk berkecambah karena merbau bersifat intoleran sedangkan tajuk merbau dewasa cukup rapat. Akibatnya, merbau tumbuh mengelompok pada titik-titik yang mereka senangi seperti pada areal yang sedikit terbuka serta di pinggir-pinggir sungai yang berpasir dan berbatu.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun

Kandungan

 

Pasir

 


(31)

Pada LOA berumur 5 tahun I. bijuga tumbuh membentuk pola sebaran acak. Lokasi ini berada pada altitude yang lebih rendah, memiliki kandungan pasir yang paling tinggi, serta RH yang paling rendah. Kondisi ini merupakan kondisi yang disenangi oleh merbau. Akan tetapi biji merbau yang menyebar karena terbawa aliran air atau sungai akan terus mengumpul di lokasi yang lebih rendah sehingga keberadaan biji merbau yang kurang melimpah. Akibat lokasi yang mendukung untuk pertumbuhan merbau dan tanpa adanya persaingan karena kurang melimpahnya biji, maka pada lokasi ini merbau tumbuh secara acak.

Kondisi yang berbeda terjadi pada LOA berumur 11 tahun dan 15 tahun. Pada lokasi ini I. bijuga tumbuh membentuk pola sebaran seragam. Hal ini disebabkan kedua lokasi ini berada pada ketinggian tempat yang paling rendah dibandingkan dengan lokasi lainnya sehingga unsur hara dari lokasi yang lebih tinggi berkumpul di tempat ini akibat terbawa aliran permukaan. Selain membawa unsur hara, biji merbau juga terbawa oleh aliran sungai menuju bagian hilir yang mengakibatkan biji merbau akan berkumpul pada area ini. Kandungan pasir yang tinggi ikut membantu dalam proses perkecambahan biji merbau. Perpaduan kondisi ini mendorong tingginya peluang biji merbau untuk berkecambah. Hal ini mengakibatkan timbulnya persaingan ruang dan makanan sehingga akan membentuk pola sebaran yang seragam. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Ludwig & Reynold (1988) bahwa pola sebaran seragam timbul akibat interaksi negatif antar individu.

Intsia palembanica menunjukkan pola sebaran yang berbeda dengan I. bijuga. I. palembanica tumbuh membentuk pola sebaran seragam pada semua kondisi hutan kecuali pada LOA berumur 11 tahun. Jenis ini sebenarnya lebih sering dijumpai pada ketinggian tempat di atas 1000 mdpl, sedangkan kelima lokasi penelitian berada pada ketinggian tempat di bawah 300 mdpl. Sesuai dengan penyebaran biji merbau yang dibantu oleh aliran sungai, maka tentu saja biji I. palembanica akan berkumpul pada daerah-daerah yang lebih rendah. Banyaknya biji I. palembanica yang mampu berkecambah menyebabkan terjadinya persaingan antar jenis tersebut sehingga membentuk pola seragam.

Pada LOA berumur 11 tahun I. palembanica membentuk pola sebaran yang berbeda yaitu mengelompok, padahal lokasi ini memiliki kondisi fisik lingkungan


(32)

yang sama dengan LOA 15 tahun. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh posisi LOA berumur 11 tahun yang berada di tepi hilir Sungai Mamberamo sehingga keberadaaan I. palembanica akan benar-benar mengelompok di tepi sungai tersebut.

Pola sebaran merbau yang berbeda-beda pada masing-masing lokasi tersebut menunjukkan bahwa kehadiran merbau sangat bergantung terhadap kondisi tapaknya. Oleh karena itu untuk menjaga regenerasi merbau, kegiatan penebangan pada lokasi-lokasi yang lebih tinggi atau di hulu sungai terutama di sekitar lokasi penyebaran merbau sebaiknya dilakukan dengan perencanaan yang matang guna mencegah kerusakan tempat tumbuh merbau. Selain itu, regenerasi buatan jenis merbau di lokasi ini perlu dilakukan dengan lebih intensif guna menjaga keberadaannya.

5.3 Kesamaan Komunitas antara Berbagai Kondisi Hutan

Kesamaan komunitas antara hutan primer dan LOA di berbagai umur dihitung menggunakan Index of Similarity Bray-Curtis. Kesamaan komunitas menunjukkan seberapa mirip suatu lokasi dengan lokasi lain berdasarkan komposisi jenisnya. Menurut Wibowo (1995), semakin tua umur tegakan hutan bekas tebangan, maka komunitasnya akan semakin menyerupai hutan primer. Tabel 13 Indeks Kesamaan Komunitas pada berbagai kondisi hutan yang

diperbandingkan IS (%) Hutan

primer

LOA 2 tahun

LOA 5 tahun

LOA 11 tahun

LOA 15 tahun

Hutan primer 100,00 71,570 74,149 60,208 70,428

LOA 2 tahun 100,00 78,168 61,823 58,560

LOA 5 tahun 100,00 64,783 62,473

LOA 11 tahun 100,00 64,130

LOA 15 tahun 100,00

Berdasarkan indeks kesamaan komunitas yang disajikan pada Tabel 13, lokasi bekas tebangan yang paling mirip dengan hutan primer adalah LOA berumur 5 tahun (74,149%), disusul dengan LOA berumur 2 tahun (71,570%), LOA berumur 15 tahun(70,428%) dan yang paling tidak mirip adalah LOA berumur 11 tahun (60,208%). Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh teknik


(33)

kegiatan penebangan yang semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi, pada lokasi LOA yang umur tebangannya relatif berdekatan (LOA 2 tahun dan 5 tahun, serta LOA 11 tahun dan 15 tahun), LOA yang lebih tua memiliki indeks kesamaan komunitas yang lebih besar. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa komposisi jenis pada masing-masing hutan bekas tebangan secara berangsur-angsur akan menyerupai hutan primer.

5.4 Hubungan Asosiasi antar Jenis Merbau dan Asosiasi Merbau dengan Jenis Dominan Lainnya

Keberadaan suatu spesies di alam dapat saja bersifat independent terhadap kehadiran atau ketidakhadiran jenis lain, namun dapat juga terjadi interaksi antara dua atau lebih spesies (Krebs 1978). Hubungan asosiasi antara dua spesies tersebut dapat berbentuk positif atau negatif. Asosiasi positif terjadi apabila kedua spesies memerlukan suatu kondisi yang sama. Asosiasi negatif dapat terjadi jika keduanya memerlukan kondisi yang berbeda atau bersaing satu sama lain (Southwood 1966). Hubungan asosiasi individu dengan jenis lain dapat menjadi suatu penciri untuk menentukan keberadaan individu yang bersangkutan. Jika individu A berasosiasi positif dengan individu B, maka apabila ditemukan individu A dalam suatu tempat, kemungkinan besar akan ditemukan pula individu B disekitarnya. Hal ini bisa menjadi penanda untuk menemukan jenis-jenis yang relatif langka.

Tabel 14 Pola hubungan asosiasi antara Intsia bijuga dan Intsia palembanica

Kondisi Hutan a X2 Ea OI Pola hubungan asosiasi

Hutan primer 3 4,336 0,853 0,375 asosiasi positif

LOA umur 15 tahun 0 3,168 0,080 0,000 tidak berasosiasi LOA umur 11 tahun 0 0,266 0,693 0,000 tidak berasosiasi LOA umur 5 tahun 3 2,004 1,520 0,281 tidak berasosiasi LOA umur 2 tahun 2 1,806 0,800 0,258 tidak berasosiasi

Berdasarkan perhitungan dengan metode presence-absence atau matriks kontingensi, ternyata pada hutan primer jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis I. palembanica dengan indeks asosiasi sebesar 0,375. Kasus yang berbeda terjadi pada keempat area bekas tebangan dimana antara I. bijuga dan I. palembanica tidak memiliki hubungan asosiasi. Hal ini disebabkan di lokasi yang altitudenya lebih rendah, kedua jenis merbau dapat tumbuh dengan baik akibat


(34)

kondisi tapak yang lebih kaya unsur hara serta berkumpulnya biji merbau di lokasi ini. Akibatnya kedua jenis merbau bersifat saling bebas satu sama lain. Bahkan pada pada LOA berumur 11 dan 15 tahun, walaupun kedua jenis merbau tidak berasosiasi, nilai a ≤ Ea menunjukkan adanya kecenderungan persaingan satu sama lain akibat peluang tumbuh yang besar.

Selain asosiasi antara kedua jenis merbau, juga dilakukan perhitungan hubungan asosiasi dengan jenis dominan lainnya yaitu jenis yang berjumlah ≥ 20 pada masing-masing lokasi. Mahfudz (2010) menyatakan bahwa jenis Intsia spp. berasosiasi dengan jenis Hopea spp., Palaquium sp., Maniltoa sp., Myristica spp., dan Pometia spp. Menurut Thaman et al. (2006), jenis Intsia bijuga berasosiasi positif dengan jenis Pisonia grandis, Manilkara dissecta, Diospyros elleptica, Excoecaria agallocha, Cynometra, Maniltoa spp., Vavaea amicorum, Planconella grayana, Elattostachys falcata, Polyalthia amicorum, Santalum spp., Ficus spp., Neisosperma oppositifolia dan Pandanus tectoris.

Pada penelitian ini ternyata di hutan primer jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), pala hutan (Horsfieldia irya), sindur (Sindora sp.) dan resak (Vatica rassak). Indeks asosiasi tertinggi sebesar 0,463 yaitu dengan jenis Vatica rassak. Jenis I. palembanica pada lokasi ini tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lainnya.

Jenis I. bijuga pada LOA berumur 2 tahun berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum) dengan indeks asosiasi sebesar 0,435 dan dengan jenis matoa (Pometia pinnata) dengan indeks asosiasi 0,396. Jenis I. palembanica tidak berasosiasi dengan jenis lainnya pada lokasi ini.

Pada LOA berumur 5 tahun, I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), palapi (Heritiera littoralis), matoa (Pometia acuminata), jambu-jambu (Syzygium spp.) dan resak (Vatica rassak). Indeks asosiasi tertinggi sebesar 0,421 pada jenis jambu-jambu. Jenis I. palembannica tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis manapun.

LOA berumur 11, jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis Hopea dyeri dengan nilai indeks asosiasi 0,347. Sedangkan jenis I. palembanica tidak berasosiasi dengan jenis lain. Pada LOA berumur 15 tahun, baik jenis I. bijuga


(35)

maupun jenis I. palembanica tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis manapun.

Fakta di atas menunjukkan bahwa pada pada hutan primer, LOA berumur 2 dan 5 tahun, begitu banyak jenis yang berasosiasi dengan I. bijuga sehingga keberadaanya satu sama lain tidak saling bebas (dependent). Pada area yang berada pada ketinggian tempat yang lebih rendah, I. bijuga hanya berasosiasi dengan jenis Hopea dyeri sedangkan pada LOA 15 tahun tidak berasosiasi dengan jenis apapun. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah yang lebih rendah altitudenya, jenis I. bijuga bersifat independent terhadap jenis lain. Begitupun dengan jenis I. palembanica yang hanya berasosiasi dengan I. bijuga pada hutan primer.

Kondisi ini dapat menjadi penciri suatu tapak yang disukai oleh merbau atau adanya saling ketertarikan antar jenis tersebut. Dengan ditemukannya jenis-jenis yang berasosiasi positif dengan merbau pada area yang lebih tinggi ketinggian tempatnya, maka besar kemungkinan merbau juga dapat tumbuh pada area tersebut. Oleh karena itu, regenerasi buatan merbau di tempat yang lebih tinggi atau di daerah hulu sungai dapat dilakukan dengan menanam terlebih dahulu jenis-jenis yang berasosiasi positif dengan merbau. Pada lokasi yang berada pada ketinggian tempat lebih rendah, permudaan buatan jenis merbau dapat langsung dilakukan karena jenis ini tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lain. 5.5 Struktur Tegakan Horizontal

Struktur tegakan horizontal menunjukkan distribusi pohon berdasarkan kelas diameter pohon penyusun tegakan. Kegiatan pemanenan hutan tentu saja akan berdampak terhadap perubahan struktur tegakan akibat kerusakan tegakan tinggal dan diambilnya pohon-pohon pada kelas diameter tinggi. Berikut ini disajikan hasil perhitungan model struktur tegakan, dimana k menunjukkan jumlah pohon pada kelas diameter rendah dan a menyatakan laju pengurangan pohon dengan semakin meningkatnya kelas diameter. Semakin besar nilai k maka semakin tinggi kerapatan tegakan pada kelas diameter rendah, dan semakin besar nilai a maka semakin banyak pohon berkurang bila kelas diameter bertambah.


(36)

Tabel 15 Nilai konstanta k dan a pada model persamaan struktur tegakan

Kondisi Hutan Persamaan N = k e -aD R2

Hutan primer N = 345,532 e -0,062 D 89,139

LOA 15 tahun N = 541,717 e -0,074 D 93,536

LOA 11 tahun N = 311,214 e -0,068 D 88,559

LOA 5 tahun N = 297,984 e -0,065 D 90,196

LOA 2 tahun N = 270,814 e -0,059 D 88,342

Kurva struktur tegakan pada kelima kondisi hutan sama-sama membentuk huruf J terbalik (Gambar 9). Nilai k dan a pada keempat lokasi bekas tebangan juga memiliki pola yang sama yaitu akan semakin kecil dengan berkurangnya umur lokasi bekas tebangan (Tabel 15). LOA berumur 15 tahun bahkan memiliki nilai k dan a yang lebih besar daripada hutan primer yang berarti kerapatan permudaan pada lokasi ini lebih besar daripada hutan primer serta semakin cepat pohon berkurang bila kelas diameter bertambah.

Kegiatan penebangan telah membuka celah kanopi sehingga mendukung jenis-jenis intoleran untuk tumbuh dalam jumlah banyak namun kemampuan pohon untuk tumbuh ke kelas diameter yang lebih besar kurang. Kondisi yang demikian menunjukkan adanya persaingan yang tinggi antar permudaan sehinggga pada lokasi bekas tebangan tersebut perlu dilakukan kegiatan pembebasan untuk mengurangi persaingan.

Gambar 9 Model struktur tegakan kelima kondisi hutan.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 115

N/Ha

Diameter (cm)

Virgin forest LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2


(37)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

15 25 35 45 55 65 75 85 95 105

N/Ha

Diameter (cm)

Hutan primer 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

15 25 35 45 55 65 75 85 95 105

N/Ha

Diameter (cm)

LOA 15 tahun

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

15 25 35 45 55 65 75 85 95 105

N/Ha

Diameter (cm)

LOA 11 tahun

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

15 25 35 45 55 65 75 85 95 105

N/Ha

Diameter (cm)

LOA 5 tahun

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

15 25 35 45 55 65 75 85 95 105

N/Ha

Diameter (cm)

LOA 2 tahun Ulmaceae Tiliaceae

Sterculiaceae Sonneratiaceae Sapotaceae Rubiaceae Rhamnaceae Podocarpaceae Moraceae Mimosaceae Meliaceae Malvaceae Lauraceae Gnetaceae Flacourtiaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Dilleniaceae Datiscaceae Combretaceae Clusiaceae Burseraceae Bombacaceae Apocynaceae Annonaceae Anacardiaceae Sapindaceae Fabaceae Myristicaceae Myrtaceae

Dipterocarpaceae data aktual model

Gambar 10 Struktur tegakan per suku, model, dan data aktual pada kelima kondisi hutan.


(38)

Kelima gambar di atas menyajikan perbandingan kurva struktur tegakan berdasarkan data aktual, hasil model, dan struktur per suku. Grafik yang dibuat berdasarkan data aktual tidak berbeda jauh dengan grafik model struktur tegakan bahkan cenderung berhimpit. Akan tetapi kurva model cenderung berada di bawah kurva data aktual terutama pada kelas diameter rendah. Hal ini menunjukkan bahwa model yang ada cenderung underestimate pada kelas diameter tersebut.

Semakin tinggi kerapatan suatu famili pada setiap kelas diameter, maka akan semakin lebar kurvanya. Terdapat satu famili yang selalu mendominasi di semua lokasi penelitian, yaitu jenis yang berasal dari famili Dipterocarpaceae. Suku ini memiliki kerapatan tegakan yang tinggi baik pada kelas diameter rendah atau kelas diameter tinggi. Kondisi ini tentu saja sangat menguntungkan karena jenis-jenis Dipterocarpaceae memiliki nilai ekonomis tinggi. Jenis Dipterocarpaceae yang ditemukan pada lokasi penelitian antara lain mersawa (Anisoptera iriana), merawan (Hopea dyeri) dan resak (Vatica rassak). Famili lain yang juga memiliki kerapatan tinggi adalah Myrtaceae dan Myristicaceae.

Kerapatan yang tinggi pada hampir semua kelas diameter menunjukkan bahwa ketiga famili di atas mampu beregenerasi dan tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi hutan. Pada pembahasan sebelumnya juga disebutkan bahwa jenis I. bijuga memiliki hubungan asosiasi positif dengan beberapa jenis dari famili Dipterocarpacea (Vatica rassak dan Hopea dyeri), Myrtaceae (Syzygium spp.) dan Myristicaceae (Horsfieldia irya). Oleh karena itu, kerapatan yang tinggi pada jenis-jenis tersebut dapat mendorong tumbuhnya permudaan merbau di sekitarnya.

Sesuai JPT RKT tahun 2010 PT MAM, jenis merbau sendiri ditebang dengan intensitas 1,51 pohon/ha. Nilai JPT ini tidak melebihi rata-rata kerapatan tegakan merbau diameter 40 cm-up pada kelima lokasi penelitian yaitu 3,8 pohon/ha sehingga intensitas penebangan yang digunakan pada jenis tersebut relatif aman.


(39)

BAB VI

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Pola sebaran spasial kedua jenis merbau sangat bergantung pada kondisi fisik lingkungannya. Pada lokasi yang memiliki ketinggian tempat lebih rendah, kedua jenis merbau cenderung membentuk pola sebaran seragam, sedangkan pada tempat yang lebih tinggi akan mengelompok.

Lokasi bekas tebangan yang paling mirip dengan hutan primer adalah LOA berumur 5 tahun (74,149%), disusul dengan LOA berumur 2 tahun (71,57%), LOA berumur 15 tahun (70,428%) dan yang paling tidak mirip adalah LOA berumur 11 tahun (60,208%). Pada lokasi LOA yang umur tebangannnya relatif berdekatan (LOA 2 tahun dan 5 tahun, serta LOA 11 tahun dan 15 tahun), LOA yang lebih tua memiliki indeks kesamaan komunitas yang lebih besar sehingga menunjukkan adanya kecenderungan bahwa komposisi jenis pada masing-masing bekas tebangan secara berangsur-angsur akan menyerupai hutan primer.

Pada hutan primer, I. palembanica berasosiasi positif dengan I. bijuga. Jenis I. bijuga sendiri berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), pala hutan (Horsfieldia irya), sindur (Sindora sp.), resak (Vatica rassak), matoa (Pometia pinnata, P. acuminata), palapi (Heritiera littoralis), jambu-jambu (Syzygium spp.) dan merawan (Hopea dyeri) pada hutan primer, LOA berumur 2, 5 dan 11 tahun. Semakin rendah ketinggian tempat, jenis merbau tidak berasosiasi dengan jenis manapun. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah yang lebih rendah, merbau bersifat independent.

Struktur tegakan pada hutan primer dan hutan bekas tebangan sama-sama membentuk kurva berbentuk J terbalik. Akan tetapi kegiatan penebangan telah membuka celah kanopi sehingga mendukung jenis-jenis intoleran untuk tumbuh dalam jumlah banyak namun kemampuan pohon untuk tumbuh ke kelas diameter yang lebih besar kurang karena tingginya tingkat persaingan di lokasi bekas tebangan. Famili yang memiliki kerapatan tinggi pada kelima kondisi hutan ditempati oleh famili yang sama yaitu Dipterocarpaceae, Myristicaceae dan


(40)

Myrtaceae. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga famili di atas mampu beregenerasi dan tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi hutan.

5.2 Saran

Kegiatan penebangan di sekitar tempat tumbuh merbau pada hulu sungai atau lokasi yang memiliki altitude tinggi perlu direncanakan dengan baik dan diusahakan tidak menimbulkan kerusakan tempat tumbuh merbau. Permudaan buatan jenis merbau di tempat ini perlu ditingkatkan dan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menanam jenis-jenis yang berasosiasi dengan merbau. Kerapatan yang sangat tinggi pada jenis-jenis berdiameter rendah serta kurangnya kemampuan untuk tumbuh ke kelas diameter yang lebih besar pada hutan bekas tebangan menunjukkan adanya tingkat persaingan yang tinggi. Oleh karena itu kegiatan pembebasan pohon-pohon inti perlu dilakukan secara intensif guna mengurangi persaingan yang ada dan meningkatkan riap pertumbuhannya.


(41)

DI AREAL IUPHHK-HA PT MAMBERAMO ALASMANDIRI,

PROVINSI PAPUA

DWI PUJI LESTARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Bloom SA. 1981. Similarity indices in community studies: potential pitfalls. Marine Ecology Progress Series 5:125-128.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Heyne K. 1987 Tumbuhan Berguna Indonesia II. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.

Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.

[IUCN] The International Union for Conservation of Nature. 2011. The IUCN red list of threatened species. http://www.iucnredlist.org. [27 Oktober 2011]. Iwao S. 1968. A new regression method for analyzing the aggregation pattern of

animal populations. Research Population Ecology 10:1-20.

Jackson DA, Somers KM, Harvey HH. 1989. Similarity coefficients: measures of co-occurrence and association or simply measures of occurrence. The American Naturalist 133(3):436-453.

Jongjitvimol T, Boontawon K, Wandee W, Deowanish S. 2005. Nest dispersion of a stingless bee species, Trigona collina Smith, 1857 (Apidae, Meliponinae) in a mixed deciduous forest in Thailand. The Natural History Journal of Chulalongkon University 5(2):69-71.

Krebs CJ. 1978. Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper and Row Publisher.

Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology, A primer on methods and computing. New York: John Willey and Sons.

Mahfudz. 2010. Konservasi sumberdaya genetik merbau (Intsia bijuga). APFORGEN Newsletter Edisi 2. Bogor: Balitbang Kehutanan.

Newman J, Lawson S. 2005. The last frontier, illegal logging in Papua and China’s massive timber theft. http://www.telapak.org. [12 Februari 2011]. Nugroho JD. 2010. Peran mikoriza dalam regenerasi pohon merbau [Intsia bijuga

(Colebr.) O. Kuntze] asal Papua [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Nurhasybi, Sudrajat DJ. 2009. Teknik penaburan benih merbau (Intsia bijuga) secara langsung di hutan penelitian Parung Panjang Bogor. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 6(4):209-217.

Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Pielou EC. 1969. An Introduction to Mathematical Ecology. New York: Wiley Interscience.

[PT MAM] PT Mamberamo Alasmandiri. 2009. RKUPHHK dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Periode 2008 s/d 2017. Papua: PT MAM.


(43)

Rani C. 2003. Metode pengukuran dan analisis pola spasial (dispersi) organisme bentik. Jurnal Protein 19:1351-1368.

Rimbawanto A, Widyatmoko AYPBC. 2006. Keragaman genetik empat populasi Intsia bijuga berdasarkan penanda RAPD dan implikasinya bagi program konservasi genetik. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 3(3):149-154.

Rusolono T. 2006. Model pendugaan persediaan karbon tegakan agroforestri untuk pengelolaan hutan milik melalui skema perdagangan karbon [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Southwood TRE. Ecological Methods, With Particular Reference to The Study of Insect Population. London: Chapman and Hall.

Susanti AR. 2000. Pola sebaran spasial jenis meranti merah (Shorea leprosula) di hutan hujan dataran rendah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Thaman RR, Thomson LAJ, DeMeo R, Areki F, Elevitch Cr. 2006. Intsia bijuga (vesi), ver 3.1. Species profiles for Pacific Island agroforestry, Permanent Agricultural Resource (PAR). http://www.traditionaltree,org, [13 Februari 2011].

Tokede MJ, Mambai BV, Pangkali LB, Mardiyadi Z. 2006. Persediaan tegakan alam dan analisis perdagangan merbau di Papua. Papua: WWF Region Sahul.

Tong PS, Chen HK, Hewitt J, Afre A. 2009. Review of trade in merbau from major range state. http://www.traffic.org [19 Februari 2010].

Wibowo H. 1995. Studi struktur tegakan dan komposisi jenis pohon pada hutan rawa gambut PT. National Timber and Forest Product Riau [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.


(44)

DI AREAL IUPHHK-HA PT MAMBERAMO ALASMANDIRI,

PROVINSI PAPUA

DWI PUJI LESTARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(45)

DWI PUJI LESTARI. Pola Sebaran Spasial Jenis Merbau (Intsia spp.) pada

Hutan Primer dan Hutan Bekas Tebangan di Areal IUPHHK-HA PT

Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua. Dibimbing oleh TEDDY RUSOLONO dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Pola sebaran spasial merupakan salah satu karakteristik penting dalam ekologi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan hutan produksi lestari. Pada penelitian ini dipilih jenis merbau (Intsia spp.) karena jenis ini merupakan jenis yang memiliki nilai komersial tinggi dan keberadaannya semakin berkurang akibat maraknya kegiatan penebangan yang menjadikan jenis ini sebagai target utama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola sebaran spasial jenis merbau pada hutan primer dan hutan bekas tebangan, mengidentifikasi kesamaan komunitas antara hutan primer dan hutan bekas tebangan, mengidentifikasi hubungan asosiasi antar jenis merbau dan dengan beberapa jenis dominan serta membandingkan struktur tegakan antara hutan primer dan hutan bekas tebangan.

Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Juli 2011 pada lima kondisi hutan yaitu; hutan primer, LOA berumur 15 tahun, 11 tahun, 5 tahun, dan 2 tahun. Pada masing-masing areal dilakukan pengukuran pada 3 jalur, masing-masing jalur berukuran 20 x 500 m2 yang dibagi menjadi petak-petak berukuran 20 x 20 m2. Jalur pertama ditentukan secara purposive sampling berdasarkan keterjangkauan dan keterwakilan kondisi fisik lingkungan. Jalur selanjutnya diletakkan secara sistematis sejajar satu sama lain dengan jarak antar jalur 500 m. Data yang dicatat dalam jalur pengamatan adalah semua jenis pohon mulai dari tingkat tiang (berdiameter minimal 10 cm) serta kondisi fisik lokasi pengamatan.

Jenis merbau yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah Intsia bijuga

(Colebr.) O. Ktze. dan Intsia palembanica Miq. Pola sebaran spasial dihitung menggunakan Indeks Morisita yang telah distandarisasi. Pola sebaran kedua jenis merbau berbeda-beda pada masing-masing lokasi bergantung pada kondisi fisik lingkungan. Pada lokasi yang memiliki ketinggian tempat lebih tinggi, kedua jenis merbau akan cenderung membentuk pola sebaran mengelompok serta berasosiasi dengan jenis lainnya, sedangkan pada tempat yang lebih rendah akan membentuk pola seragam dan tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lain. Hal ini disebabkan oleh penyebaran biji merbau yang terbawa aliran sungai serta unsur hara yang terbawa aliran permukaan sehingga keduanya berkumpul di tempat yang lebih rendah.

Jika dilihat dari indeks kesamaan komunitas, komposisi jenis keempat LOA berangsur-angsur akan mendekati kondisi pada hutan primer. Struktur tegakan pada hutan primer dan hutan bekas tebangan juga sama-sama membentuk kurva berbentuk J terbalik. Nilai k dan a yang sangat tinggi pada LOA berumur 15 tahun dan semakin rendah dengan berkurangnya umur penebangan menunjukkan kerapatan yang sangat tinggi pada kelas diameter rendah dan terjadi persaingan yang ketat.


(1)

Lampiran 6 (Lanjutan)

d. LOA berumur 5 tahun

Suku N/ha pada masing-masing Kelas Diameter Total

10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100-110

Anacardiaceae 4,33 2,00 0,33 1,67 0,67 0,33 0,33 0,33 0,00 0,00 10,00 Annonaceae 2,67 0,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,33 Apocynaceae 0,33 0,33 0,33 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,67 Burseraceae 7,00 2,00 0,67 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10,00 Clusiaceae 2,33 1,67 1,67 0,67 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7,00 Combretaceae 1,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,33 Datiscaceae 4,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,33 Dilleniaceae 3,33 0,67 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,33 Dipterocarpaceae 26,67 12,67 6,00 3,33 2,00 1,33 0,33 0,00 0,00 0,00 52,33 Fabaceae 7,00 4,33 2,33 1,67 2,33 0,33 0,67 0,33 0,00 0,33 19,33 Flacourtiaceae 14,00 4,67 2,67 1,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 23,00 Gnetaceae 5,00 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,67 Lauraceae 5,00 1,33 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7,00 Malvaceae 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,33 Meliaceae 4,33 1,00 0,33 0,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,33 Moraceae 0,00 0,00 0,33 0,00 0,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 1,00 Myristicaceae 11,67 8,00 2,67 1,00 0,67 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 24,33 Myrtaceae 16,00 6,67 2,67 1,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 26,67 Podocarpaceae 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,33 Rubiaceae 10,00 2,67 0,67 0,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 14,00 Sapindaceae 4,67 4,33 4,33 3,00 1,33 0,33 0,00 0,33 0,00 0,00 18,33 Sapotaceae 3,00 0,67 1,67 1,00 0,67 0,00 0,33 0,00 0,00 0,00 7,33 Sonneratiaceae 4,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 4,67 Sterculiaceae 10,33 3,00 0,67 0,33 0,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 15,00 Tiliaceae 6,67 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7,00 Ulmaceae 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,33 Total 155,33 57,33 28,67 17,00 10,00 3,67 1,67 1,00 0,00 0,33 275,00


(2)

58

Lampiran 6 (Lanjutan)

e. LOA berumur 2 tahun

Suku N/ha pada masing-masing Kelas Diameter Total

10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100-110

Anacardiaceae 3,33 2,00 3,67 2,67 1,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 13,33 Annonaceae 2,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,67 Apocynaceae 1,00 0,67 0,33 0,67 0,00 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 3,00 Burseraceae 5,33 1,67 1,00 0,67 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 9,00 Clusiaceae 4,33 2,33 1,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 7,67 Combretaceae 2,33 0,33 1,00 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,00 Datiscaceae 5,33 0,33 0,00 0,00 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,00 Dilleniaceae 3,00 1,00 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,67 Dipterocarpaceae 19,67 7,33 5,33 2,67 1,33 0,33 0,33 0,00 0,33 0,00 37,33 Euphorbiaceae 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,33 Fabaceae 9,67 6,67 1,67 3,33 0,67 0,67 0,67 0,00 0,00 0,00 23,33 Flacourtiaceae 9,67 5,33 3,00 1,67 1,33 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 21,67 Gnetaceae 10,33 2,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 13,00 Lauraceae 7,33 3,67 1,33 1,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 13,33 Malvaceae 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,33 Meliaceae 0,33 0,00 0,33 0,33 0,33 0,00 0,00 0,33 0,00 0,33 2,00 Moraceae 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,33 Myristicaceae 14,00 4,00 1,33 2,00 0,33 0,00 0,00 0,33 0,00 0,00 22,00 Myrtaceae 20,00 6,67 6,00 2,00 2,00 0,33 0,33 0,33 0,00 0,00 37,67 Rhamnaceae 0,00 0,33 0,33 0,33 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,67 Rubiaceae 9,33 3,33 1,00 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 14,33 Sapindaceae 3,33 3,67 2,00 2,67 2,00 0,33 0,00 0,00 0,33 0,00 14,33 Sapotaceae 2,00 3,67 1,33 0,33 0,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 8,00 Sonneratiaceae 5,33 0,67 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,67 Sterculiaceae 5,33 2,67 3,33 1,67 0,33 0,00 0,33 0,33 0,33 0,00 14,33 Tiliaceae 4,00 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,33 Total 148,33 59,67 35,33 23,00 11,67 3,00 1,67 1,33 1,00 0,33 285,33


(3)

Lampiran 7 Contoh perhitungan hasil uji t berpasangan faktor fisik lingkungan a. PASIR

Paired T-Test and CI: Virgin forest, LOA 15 Paired T for Virgin forest - LOA 15

N Mean StDev SE Mean Virgin forest 3 12,4400 2,7081 1,5635 LOA 15 3 23,4833 4,7758 2,7573 Difference 3 -11,0433 6,4462 3,7217

95% CI for mean difference: (-27,0566, 4,9699)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -2,97 P-Value = 0,097

b. DEBU

Paired T-Test and CI: V_f, LOA15 Paired T for V_f - LOA15

N Mean StDev SE Mean V_f 3 59,7433 5,1360 2,9653 LOA15 3 53,1700 6,7778 3,9131 Difference 3 6,57333 7,57912 4,37581

95% CI for mean difference: (-12,25424, 25,40091)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 1,50 P-Value = 0,272

c. LIAT

Paired T-Test and CI: VirginForest, LOA-15 Paired T for VirginForest - LOA-15

N Mean StDev SE Mean VirginForest 3 27,8167 2,8179 1,6269 LOA-15 3 23,3467 2,5772 1,4879 Difference 3 4,47000 1,18697 0,68530

95% CI for mean difference: (1,52140, 7,41860)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 6,52 P-Value = 0,023


(4)

60

d. KETINGGIAN

Paired T-Test and CI: Virgin-forest, LOA 15th Paired T for Virgin-forest - LOA 15th

N Mean StDev SE Mean Virgin-forest 18 314,167 9,811 2,313 LOA 15th 18 40,278 8,642 2,037 Difference 18 273,889 14,377 3,389

95% CI for mean difference: (266,739, 281,038)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 80,83 P-Value = 0,000

e. SUHU

Paired T-Test and CI: VF, LOA 15 th Paired T for VF - LOA 15 th

N Mean StDev SE Mean VF 3 28,3333 0,5774 0,3333 LOA 15 th 3 27,0000 0,9014 0,5204 Difference 3 1,33333 1,37689 0,79495

95% CI for mean difference: (-2,08706, 4,75372)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 1,68 P-Value = 0,235

f. RH

Paired T-Test and CI: Virgin, LOA_15 Paired T for Virgin - LOA_15

N Mean StDev SE Mean Virgin 3 92,3333 0,5774 0,3333 LOA_15 3 96,3333 0,5774 0,3333 Difference 3 -4,00000 1,00000 0,57735

95% CI for mean difference: (-6,48414, -1,51586)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -6,93 P-Value = 0,020


(5)

DWI PUJI LESTARI. Pola Sebaran Spasial Jenis Merbau (Intsia spp.) pada

Hutan Primer dan Hutan Bekas Tebangan di Areal IUPHHK-HA PT

Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua. Dibimbing oleh TEDDY RUSOLONO dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Pola sebaran spasial merupakan salah satu karakteristik penting dalam ekologi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan hutan produksi lestari. Pada penelitian ini dipilih jenis merbau (Intsia spp.) karena jenis ini merupakan jenis yang memiliki nilai komersial tinggi dan keberadaannya semakin berkurang akibat maraknya kegiatan penebangan yang menjadikan jenis ini sebagai target utama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola sebaran spasial jenis merbau pada hutan primer dan hutan bekas tebangan, mengidentifikasi kesamaan komunitas antara hutan primer dan hutan bekas tebangan, mengidentifikasi hubungan asosiasi antar jenis merbau dan dengan beberapa jenis dominan serta membandingkan struktur tegakan antara hutan primer dan hutan bekas tebangan.

Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Juli 2011 pada lima kondisi hutan yaitu; hutan primer, LOA berumur 15 tahun, 11 tahun, 5 tahun, dan 2 tahun. Pada masing-masing areal dilakukan pengukuran pada 3 jalur, masing-masing jalur berukuran 20 x 500 m2 yang dibagi menjadi petak-petak berukuran 20 x 20 m2. Jalur pertama ditentukan secara purposive sampling berdasarkan keterjangkauan dan keterwakilan kondisi fisik lingkungan. Jalur selanjutnya diletakkan secara sistematis sejajar satu sama lain dengan jarak antar jalur 500 m. Data yang dicatat dalam jalur pengamatan adalah semua jenis pohon mulai dari tingkat tiang (berdiameter minimal 10 cm) serta kondisi fisik lokasi pengamatan.

Jenis merbau yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah Intsia bijuga

(Colebr.) O. Ktze. dan Intsia palembanica Miq. Pola sebaran spasial dihitung menggunakan Indeks Morisita yang telah distandarisasi. Pola sebaran kedua jenis merbau berbeda-beda pada masing-masing lokasi bergantung pada kondisi fisik lingkungan. Pada lokasi yang memiliki ketinggian tempat lebih tinggi, kedua jenis merbau akan cenderung membentuk pola sebaran mengelompok serta berasosiasi dengan jenis lainnya, sedangkan pada tempat yang lebih rendah akan membentuk pola seragam dan tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lain. Hal ini disebabkan oleh penyebaran biji merbau yang terbawa aliran sungai serta unsur hara yang terbawa aliran permukaan sehingga keduanya berkumpul di tempat yang lebih rendah.

Jika dilihat dari indeks kesamaan komunitas, komposisi jenis keempat LOA berangsur-angsur akan mendekati kondisi pada hutan primer. Struktur tegakan pada hutan primer dan hutan bekas tebangan juga sama-sama membentuk kurva berbentuk J terbalik. Nilai k dan a yang sangat tinggi pada LOA berumur 15 tahun dan semakin rendah dengan berkurangnya umur penebangan menunjukkan kerapatan yang sangat tinggi pada kelas diameter rendah dan terjadi persaingan yang ketat.


(6)

SUMMARY

DWI PUJI LESTARI. Spatial Distribution Pattern of Merbau (Intsia spp.) in Primary Forest and Logged Over Area at IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri Area, Papua Province. Under Supervision of TEDDY RUSOLONO and AGUS PRIYONO KARTONO.

Spatial distribution pattern is one of the important characteristic in ecological communities. It can be used for consideration in decisions of managing forest. Merbau was chosen as the object of this research because it has high commercial value and threaten in nature due to intensive logging activity of this species. The purposes of this research were to identity the spatial distribution pattern of merbau in primary forest and logged over area (LOA), to identity the community similarities among primary forest and LOA, to identity the association between merbau species and between merbau to another species, and also comparing the stand structure among primary forest and LOA.

This research was located in IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri area on June-July 2011. It took place in five forest conditions, primary forest, Logged Over Area 15 years, 11 years, 5 years and 2 years. In each location would be placed three line transect, each size 20 x 500 m2 divided into 25 sampling units, with dimension of size 20 x 20 m2. The first transect location was decided by purposive sampling method considering the accessibility and the representation of environmental factors. Next transect were located systematically in line with the first transect by distance 500 m. All trees that occur in sampling units with minimum diameter 10 cm and the biophysical environmental factors are registered.

Only two spesies of merbau were found, Intsia bijuga (Colebr.) O. Ktze. and Intsia palembanica Miq. The spatial distribution pattern is counted by Standardized Morisita Index. The distribution pattern of merbau were different among location depend on the biophysical environmental factors. The higher altitude will give clumped pattern of merbau and this species will have positive association with others species. In the lower altitude, merbau will show uniform pattern and their occurrence were independent with others species. It is because the merbau’s seed spread by the river stream and the nutrition of soil were carried out by the surface run off and accumulated in the lower area.

The similarity index of community showed that stand composition in four logged over areas will grow similarly to primary forest’s stand composition. The stand structure in all forest condition showed inverse J-shaped distribution. The value of k and a in the LOA 15 years are high enough and they decrease by reducing of the logging age. It indicated that species density was high at the lower diameter class in which strict competition was occurred.