Pengetahuan gizi ibu, pola asuh dan status gizi bayi di Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

(1)

PENGETAHUAN GIZI IBU, POLA ASUH

DAN STATUS GIZI BAYI DI DESA BOJONG JENGKOL,

KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

HELLYTA HASKA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

ABSTRACT

HELLYTA HASKA. Nutrition Knowledge of Mother, Childcare Practices and Nutritional Status of Infant in Rural Bojong Jengkol, Ciampea, Bogor . Supervised by LILIK KUSTIYAH and CLARA M. KUSHARTO.

The direct factors affecting infant’s nutritional status are energy and nutrients intake, and infection. Factors affecting energy and nutrients intake are nutrition knowledge of mother; childcare practices, included feeding and caring practices; and morbidity. The aim of this study was to analyze association between mother’s nutrition knowledge, feeding practices, and immunization with nutritional status of infant. Design of this study was cross sectional. Samples of this study were 60 infants aged 2-24 which were selected purposively. Samples consist of underweight and normal nutritional status (WAZ), The result showed

that mother’s nutrition knowledge was positively significant correlated with

infant’s nutritional status (r= 0.016 p<0.05). Furthermore, there were positively significant correlation between feeding practices and immunization with infant’s nutritional status( r= 0.031 p<0.05 and p< 0.01, respectively).

Keywords : nutrition knowledge, childcare, nutritional status,

ABSTRAK

Faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi bayi adalah asupan energi dan zat gizi serta infeksi. Adapun faktor yang mempengaruhi asupan energi dan zat gizi adalah pengetahuan gizi ibu, pola asuh (praktek pemberian makan dan praktek pengasuhan) dan morbiditas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi ibu, praktek pemberian makan dan imunisasi dengan status gizi bayi. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Contoh yang digunakan adalah bayi berumur 2- 24 bulan yang dipilh secara purposive dan dibedakan menjadi status gizi baik dan kurang/buruk (BB/U). Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif nyata (r= 0.016 p<0.05) antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi bayi. Selain itu, praktek pemberian makan dan imunisasi juga menunjukkan hubungan positif nyata ( r= 0.031 p<0.05 dan p< 0.01,) dengan status gizi bayi.


(3)

RINGKASAN

HELLYTA HASKA. Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Asuh dan Status Gizi Bayi di Desa Bojong Jengkol Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH dan CLARA M. KUSHARTO

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS 2010) menunjukkan bahwa prevalensi balita gizi kurang (balita yang mempunyai berat badan kurang) secara nasional adalah sebesar 17.9 persen, 4.9 persen diantaranya yang gizi buruk. Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan hasil Badan Pusat Statistik (BPS) dari 3.536.981 anak balita di Jawa Barat yang ditimbang melalui Posyandu, terdapat 10.8 persen di antaranya (380.673) berkategori gizi kurang, dan 1.01 persennya (38.769 anak) menderita gizi buruk (Heryawan 2010).Tujuan umum penelitian mengkaji pengetahuan gizi ibu, pola asuh dan status gizi bayi di Desa Bojong Jengkol Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Tujuan khusus 1).Mengkaji karakteristik contoh dan sosial ekonomi keluarga 2).Mengkaji status gizi contoh 3).Mengkaji Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu 4).Mengkaji pola asuh gizi ( praktek pemberian kolostrum, makanan/minuman prelaktal, ASI, MP ASI dan penyapihan) 5). Mengakaji pola asuh kesehatan ( pemberian imunisasi penimbangan di Posyandu dan perilaku hidup bersih dan sehat) 6). Menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi ibu, pola asuh dengan status gizi contoh 7). Menganalisis hubungan antara imunisasi dan kedatangan posyandu dengan morbiditas dan status gizi contoh

Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan pada Desember 2011- Januari 2012. Penelitian dilakukan di Desa Bojong Jengkol yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pasir Ciampea. Pemilihan Puskesmas Pasir dilakukan secara purposive atau dengan beberapa pertimbangan diantaranya bahwa Kecamatan Ciampea termasuk kedalam Kecamatan di Kabupaten Bogor yang memiliki kasus 10 gizi buruk pada tahun 2009 dan juga ditemukan 23 kasus gizi kurang. Contoh adalah bayi yang berumur 0-24 bulan yang datang ke Posyandu dan memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi meliputi: 1). Bayi umur 0–24 bulan yang mempunyai KMS dengan catatan hasil penimbangan lengkap minimal 3 bulan terakhir sampai dilaksanakannya penelitian. 2). Bayi diasuh oleh ibunya 3). Bayi lahir normal/tidak prematur. 4). Bayi dalam keadaan sehat/ tidak menderita penyakit infeksi berat (batuk rejan,gangguan paru-paru,campak,polio) saat penelitian 5). Bersedia berpatisipasi. Kriteria eksklusi adalah bayi tidak mempunyai tempat tinggal tetap sehingga sulit dihubungi dan menderita penyakit kronis. Jumlah contoh yang diambil yaitu 60 orang.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan alat bantu kuesioner dan penimbangan langsung. Data primer meliputi karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga, pola asuh gizi dan kesehatan, pola hidup bersih dan sehat dan asupan energi dan protein. Jenis data sekunder yang dikumpulkan berupa keadaan umum keragaan Posyandu di wilayah Ciampea. Data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara dengan menggunakan kuesioner.

Proses pengolahan data meliputi coding, entry, dan editing. Data yang terkumpul ditabulasi, diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Setelah dilakukan pengolahan data, data yang terkumpul kemudian dianalisis. Analisis statistik yang digunakan adalah Rank Spearman, Independen t test, Chi square.


(4)

Umur contoh secara keseluruhan berkisar antara 2-24 bulan, dan terbanyak ada pada kelompok umur 13-18 bulan (31.7%) . Sebagian besar contoh (51.7%) adalah perempuan dengan proses kelahiran normal (100%) dan proses persalinan dengan paraji (83.3%).

Lebih dari separuh ibu contoh berumur 20-40 tahun (78.3%) . Rata-rata contoh tergolong keluarga miskin, pendidikan orangtua sebagian besar SD, pekerjaan sebagai petani penggarap dan berpenghasilan rendah.

Sebagian besar ibu contoh (83.3%) memiliki pengetahuan gizi dengan kategori kurang. Setelah contoh lahir umumnya langsung diberikan madu dan air tajin (83.3%) dan tidak diberikan kolostrum. Hampir seluruh ibu contoh (96.7%) menyatakan bahwa mereka langsung memberikan madu terlebih dahulu kepada bayi mereka sebelum diberi ASI. Sebagian besar ibu (91.7%) tidak memberikan ASI secara eksklusif. Pemberian ASI dan MP ASI adalah lebih baik pada contoh dengan status gizi baik daripada status gizi kurang/buruk.

Sebanyak 85% ibu contoh memberikan imunisasi yang lengkap kepada bayi mereka. Proporsi contoh yang imunisasinya lengkap adalah lebih banyak pada kelompok contoh yang status gizinya baik (100%) daripada status gizi kurang/buruk hanya (30.8%). Contoh dengan status gizi baik setiap kali penimbangan berat badan naik (85.1%) dan contoh status gizi kurang/buruk secara keseluruhan (100%) pernah menderita penyakit infeksi/non infeksi namun tidak pernah dirawat (100%).

Berdasarkan lama sakit rata-rata perbulan diketahui bahwa terdapat 16.7% dengan angka morbiditas tinggi (> 8 hari), 56.7% dengan mobiditas sedang (4-7hari), dan 26.6% dengan morbiditas rendah (< 4hari). Hasil uji

independen t-test juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0.05) morbiditas antara contoh dengan status gizi baik dengan status gizi kurang/buruk (Lampiran 9). Pada contoh dengan status gizi baik morbiditasnya lebih baik (rata-rata jumlah hari sakit per bulan adalah < 4 hari) daripada status gizi kurang/buruk (rata-rata jumlah hari sakit per bulan adalah 5-7 hari)

Terdapat hubungan positif nyata (r= 0.016 p<0.05) antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi bayi contoh. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi ibu maka akan semakin baik pula status gizi contoh. Selain itu, terdapat hubungan positif nyata (r=0.031 p< 0.05) antara pola asuh gizi dengan status gizi contoh artinya semakin baik pola asuh gizi maka akan semakin baik pula status gizi contoh. Berdasarkan hasil uji independen t test terdapat perbedaan nyata pola asuh gizi (p<0.05) antara contoh dengan status gizi baik dengan contoh status gizi kurang/buruk. Hal ini berari bahwa pola asuh gizi pada contoh dengan status gizi baik adalah nyata lebih baik daripada contoh dengan status gizi kurang/buruk.

Hasil uji Chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara imunisasi yang diperoleh oleh contoh dengan morbiditas dan status gizi contoh. Hal ini berarti bahwa semakin baik (lengkap) imunisasi yang di dapat oleh contoh maka morbiditas contoh akan semakin rendah dan semakin baik pula status gizi contoh. Kedatangan ke Posyandu yang rutin juga menunjukkan ada hubungan yang nyata dengan morbiditas dan status gizi (p<0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa jika contoh rutin dibawa ke Posyandu maka morbiditas contoh akan semakin rendah dan status gizi contoh akan semakin baik.

Berdasarkan uji independen t test terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) kedatangan ke Posyandu dan imunisasi antara contoh status gizi baik dengan contoh status gizi kurang/buruk. Hal ini menunjukkan bahwa contoh dengan status gizi baik adalah nyata lebih rutin datang ke Posyandu dan lebih lengkap imunisasinya daripada contoh dengan status gizi kurang/buruk.


(5)

PENGETAHUAN GIZI IBU, POLA ASUH

DAN STATUS GIZI BAYI DI DESA BOJONG JENGKOL,

KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

HELLYTA HASKA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Asuh dan Status Gizi

Bayi di Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

Nama : Hellyta Haska

NRP : I14086000

Disetujui oleh:

Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si Prof. Dr.drh. Clara M Kusharto,M.Sc Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kota Solok, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 27 Oktober 1985. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Hayunas Sukandar dan Ibu Kasmawati B.Ac. Penulis menyelesaikan Taman Kanak-kanak di TK. Raudhatul Anfal pada tahun 1992. Pendidikan dasar di SD 03 Kp. Jawa Kota, Solok pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTPN 1 Kota Solok dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMAN 1 Kota Solok dan lulus pada tahun 2004. Kemudian penulis diterima di Program Diploma Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada Program Studi Agroteknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan penulis melakukan praktek kerja lapang di Pabrik Pengalengan Ikan (Sarden ABC) di Negara Bali selama 3 bulan.

Penulis mendapatkan gelar Ahli Madya pada tahun 2007 setelah menyelesaikan laporan akhir yang berjudul “ Identifikasi Prapenerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada Pengalengan Sarden (Sardinella longiceps) di PT Indocitra Jaya Samudera, Negara, Bali”. Kemudian pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di Program Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW, karena penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Asuh dan Status Gizi Bayi di Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan skripsi yang selalu memberikan semangat, saran dan arahan kepada penulis.

2. Prof. Dr.drh. Clara M Kusharto, M.Sc selaku dosen pembimbing yang memberikan saran dan arahannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi.

3. Leily Amalia, STP, MSi selaku dosen pemandu seminar dan penguji. 4. Kedua orangtua (Hayunas Sukandar dan Kasmawati B.Ac) yang

senantiasa memberi dukungan serta semangat moril dan materil. 5. Uni dan Uda (Hellya Haska, S.Hut, MSi dan Yoki Efriamor S.TP), adik

(Hilhamsyah Putra Haska, S.Hut, Haris Putra Haska S.Kom) yang selalu ada setiap kali dibutuhkan.

6. Uda (Andika Putra, SH) buat sayang, perhatian dan semangat.

7. Keluarga (Salmialis, Azmer S.Pd, Ir. Zarni Gusti, Desjulmar S.Pd, Desmice Eni Amd, dan Tarmizi A Tasir, S.Si, MM).

8. Adik-adik vilper (Destian, Mahmud, Bryan, Andri )

9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis pribadi. Amin.

Bogor, Maret 2013


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... .ix

DAFTAR GAMBAR ... .x

DAFTAR LAMPIRAN ... .xi

PENDAHULUAN ... .1

Latar Belakang ... .1

Tujuan ... .2

Kegunaan ... .2

TINJAUAN PUSTAKA ... .4

Pengetahuan Gizi Ibu ... .4

Pola Asuh Gizi ... .4

Pola Asuh Kesehatan ... .8

Pemberian Imunisasi ... .9

Perilaku hidup bersih dan sehat ... 10

Morbiditas ... 13

Status Gizi dan Kesehatan ... 13

Penilaian Status Gizi ... 14

Karakteristik Contoh ... 15

Umur contoh ... 15

Jenis kelamin ... 16

Proses kelahiran ... 16

Proses persalinan ... 16

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ... 17

Umur ibu ... 17

Pendidikan orangtua ... 17

Pekerjaan ayah ... 18

Pendapatan perkapita ... 18

Besar keluarga ... 18

KERANGKA PEMIKIRAN ... 20

METODE PENELITIAN ... 22

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

Cara dan Jumlah Pengambilan Sampel ... 22


(10)

Pengolahan dan Analisis Data ... 23

Definisi Operasional ... 27

HASIL PEMBAHASAN ... 29

Gambaran Umum Lokasi ... 29

Karakteristik Contoh dan Sosial Ekonomi Keluarga ... 30

Karakteriktik Contoh ... 30

Umur contoh ... 30

Jenis kelamin ... 31

Proses kelahiran ... 32

Proses persalinan ... 32

Karakeristik Sosial Ekonomi Keluarga ... 33

Umur ibu ... 33

Pendidikan orangtua ... 33

Pekerjaan ayah ... 34

Pendapatan perkapita ... 34

Besar keluarga ... 34

Status Gizi Contoh……… ... 35

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu……… .... 36

Pola Asuh Gizi ... 39

Praktek pemberian kolostrum ... 40

Praktek pemberian minuman/makanan prelaktal ... 40

Praktek pemberian ASI ... 41

Praktek pemberian MP-ASI ... 42

Praktek penyapihan ... 42

Asupan Energi dan Protein ... 43

Pola Asuh Kesehatan ... 44

Pemberian Imunisasi ... 44

Perilaku hidup bersih dan sehat ... 45

Morbiditas. ... 49

Hubungan Antar Variabel ………. .. 50

Hubungan pengetahuan gizi ibu dengan status gizi contoh ... 50

Hubungan pola asuh gizi dan kesehatan dengan status gizi contoh ... 50

Hubungan pemberian imunisasi dan kedatangan ke Posyandu dengan morbiditas dan status gizi contoh ... 51


(11)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

Kesimpulan ... 52

Saran……….. . 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jenis dan cara pengumpulan data ... 24 2. Cara pengkategorian variabel ... 26 3. Keragaan contoh berdasarkan karakteristik dan status gizi contoh ... 31 4. Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu

serta status gizi contoh ... 37 5. Sebaran kategori pengetahuan gizi dan kesehatan ibu serta

status gizi contoh ... 38 6. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh gizi dan status gizi contoh ... 39 7. Sebaran contoh berdasarkan angka kecukupan energi dan protein

serta status gizi contoh ... 44 8. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan dan status

gizi contoh ... 45 9. Sebaran contoh berdasarkan pola hidup bersih dan sehat dan


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Korelasi Rank Spearman karakteristik contoh dengan status gizi ... 59 2. Status gizi contoh ... 60 3. Cara menghitung status gizi dengan Z score ... 61 4. Baku berat badan menurut umur balita usia 0-24 bulan

ditimbang telentang ... 62 5. Contoh hasil recall makanan 24 jam ... 63 6. Uji Chi Square untuk menentukan hubungan antara pemberian

imunisasi, kedatangan ke posyandu dengan status gizi ... 64 7. Independen t-test imunisasi dan kedatangan posyandu antar

kelompok status gizi contoh …… ... 65 8. Independen t-test pola asuh gizi antar status gizi contoh ... 66 9. Independen t-test morbiditas antar status gizi contoh ... 67 10. Independen t-test karakteristik contoh dan sosial ekonomi keluarga

antar status gizi contoh ... 68 11. Kondisi lokasi penelitian ... 70 12. Korelasi Rank Spearman pola asuh gizi dengan

status gizi dan morbiditas ... 73 13. Angka kecukupan energi dan protein ... 74


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masa bayi dan anak adalah masa mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan penting. Masa kritis ada pada saat anak berusia 6-24 bulan, karena pada kelompok umur tersebut pertumbuhan kritis dan kegagalan tumbuh (growth failure) mulai terlihat (Amin et al 2004). Gangguan gizi dapat disebabkan oleh pola pengasuhan makan anak oleh ibu yang memberikan makanan prelaktal dan atau MP ASI terlalu dini bahkan ada yang terlalu terlambat, serta kualitas dan kuantitas yang diberikan tidak memadai.

Penyebab dari tingginya prevalensi gizi kurang secara langsung adalah adanya asupan gizi yang tidak sesuai antara yang dikonsumsi dengan yang dibutuhkan tubuh serta adanya penyakit infeksi. Asupan gizi secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola pengasuhan yang diberikan ibu terhadap anaknya, dimana pola pengasuhan ini mencakup cara ibu memberikan makan, bagaimana ibu merawat dan memelihara kesehatan dan kebersihan anaknya.

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS 2010) menunjukkan bahwa prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9 persen, 4,9 persen diantaranya yang gizi buruk. Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan hasil Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah balita di Jawa Barat 3.536.981 anak balita yang ditimbang melalui Posyandu, terdapat 10,8 persen di antaranya (380.673) berkategori gizi kurang, dan 1,01 persennya (38.769 anak) menderita gizi buruk (Heryawan 2010).

Menurut BPSBogor tahun 2010 jumlah balita (termasuk bayi) sebanyak 83.109 jiwa. Menurut data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor Mei 2010 ada 314 balita yang mengalami gizi buruk dengan kasus lama sebanyak 181 dan baru sebanyak 133. Yang tercatat per Juni 2010, ditemukan 147 balita yang mengalami gizi buruk. Selama kurun waktu enam bulan di 2010, ada sekitar 9 balita meninggal karena gizi buruk (Setyawan 2010).

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlahnya mengalami peningkatan. Pada 2009, tercatat ada 308 kasus balita ( termasuk bayi) gizi buruk di Kabupaten Bogor. Menurut Kepala bidang Binaan Kesehatan Masyarakat (Binkesmas) Dinkes Kabupaten Bogor kasus balita mengalami gizi buruk lebih banyak terjadi pada anak dari warga tidak mampu ekonominya. Di Kabupaten Bogor, angka balita penderita gizi buruk terbanyak dijumpai di


(15)

Kecamatan Citeureup sebanyak 11 balita, Kecamatan Ciampea, Tanjungsari, dan Cibungbulang masing-masing 10 balita, dan Ciomas 9 balita ( Setyawan 2010).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui pengetahuan gizi ibu, pola asuh, dan status gizi bayi di Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

Tujuan

Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pengetahuan gizi ibu, pola asuh dan status gizi contoh (bayi) di Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

Tujuan khusus :

1. Mengkaji karakteristik contoh dan sosial ekonomi keluarga. 2. Mengkaji status gizi contoh.

3. Mengkaji pengetahuan gizi dan kesehatan ibu.

4. Mengkaji pola asuh gizi (praktek pemberian kolostrum,makanan/minuman prelaktal, ASI, MP ASI dan penyapihan).

5. Mengkaji pola asuh kesehatan (pemberian imunisasi, penimbangan di Posyandu dan perilaku hidup bersih dan sehat).

6. Menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi ibu dan pola asuh gizi dengan status gizi contoh.

7. Menganalisis hubungan antara pemberian imunisasi dan kedatangan ke Posyandu dengan morbiditas dan status gizi contoh.

Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti tentang pengetahuan gizi ibu, pola asuh di Desa Bojong Jengkol. Selain itu, juga dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya ibu yang memiliki bayi untuk dijadikan sebagai masukan dalam meningkatkan derajat kesehatan khususnya status gizi dan kesehatan bayi dan penyuluhan tentang pelaksanaan program gizi dalam keluarga dan pengaruhnya terhadap status gizi dan kesehatan bayi. Bagi pihak yang terkait ( Bidan dan tenaga kesehatan)


(16)

diharapkan dapat menjadi masukan untuk peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat setempat sehingga dapat meningkatkan status gizi bayi, anak, ibu hamil dan menyusui.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengetahuan Gizi Ibu

Menurut Notoatmodjo (1997) pengetahuan ibu tentang gizi adalah apa yang diketahui ibu tentang makanan sehat, makanan sehat untuk golongan usia tertentu (misalnya anak, ibu hamil, dan ibu menyusui) dan cara ibu memilih, mengolah dan menyiapkan makanan yang benar.

Moehdji (1992) sebagaian besar kejadian gizi buruk pada anak dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang bagaimana cara mengolah bahan makanan, cara mengatur menu, dan mengatur makanan anak, tetapi pengaruh terhadap konsumsi makanan ibu rumah tangga tidak selalu linear artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu rumah tangga, belum tentu kondisi makanan menjadi baik.

Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri tetapi merupakan interaksi antara sikap dan keterampilan (Sanjur 1982). Menurut Sajogyo et al 1978 secara tidak langsung pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi status gizi anak balita, karena dengan pengetahuannya para ibu dapat mengasuh dan memenuhi kebutuhan zat gizi anak balitanya, sehingga keadaan gizinya terjamin.

Pola Asuh Gizi.

Pola asuh gizi merupakan praktek dirumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber daya lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Sedangkan menurut Zeitlin (2000) yang dikutip oleh Prahesti (2001) mengatakan bahwa salah satu aspek kunci dalam pola asuh gizi adalah praktek penyusuan dan pemberian MP-ASI. Lebih lanjut praktek penyusuan meliputi pemberian kolostrum,praktek pemberian makanan/minuman prelaktal, menyusui secara eksklusif, dan praktek penyapihan.

Praktek pemberian kolostrum

Kolostrum (susu pertama) adalah ASI yang keluar pada hari-hari pertama setelah bayi lahir (4-7 hari) berwarna kekuning-kuningan dan lebih kental karena mengandung banyak vitamin, protein, dan zat kekebalan yang penting untuk kesehatan bayi dari penyakit infeksi (Depkes RI 2005).

Hal-hal yang mempengaruhi pemberian kolostrum adalah sebagai berikut ,meskipun kolostrum sangat penting untuk meningkatkan daya tahan bayi


(18)

terhadap penyakit, namun masyarakat terutama ibu-ibu masih banyak yang tidak memberikan kolostrum kepada bayinya (Depkes RI 2000). Hal ini sebagian besar disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan manfaat kolostrum bagi bayinya. Kebanyakan ibu-ibu di pedesaan yang persalinannya ditolong oleh dukun bayi belum terlatih selalu membuang kolostrum dengan alasan bahwa ASI tersebut mengandung bibit penyakit. Biasanya kolostrum tersebut dikubur bersama plasenta bayi. Selain karena kepercayaan tersebut di beberapa daerah memang terdapat tradisi yang mengharuskan untuk membuang kolostrum. Sedangkan sedikitnya penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan gizi masyarakat semakin memperburuk keadaan ini. Praktek pemberian minuman/makanan prelaktal

Makanan prelaktal adalah makanan dan minuman yang diberikan kepada bayi sebelum ASI keluar, misal air kelapa, air tajin, madu, pisang, susu bubuk, susu sapi, air gula, dan sebagainya (Depkes RI 2000).

Kebiasaan memberikan makanan prelaktal harus dihindari karena dirasa tidak perlu dan malah bisa membahayakan bagi bayi dan ibu bayi. Bahaya pemberian makanan/minuman prelaktal (Savage 1991):

Untuk bayi:

a. Bayi tidak mau mengisap susu dari payudara karena pemberian makanan ini menghentikan rasa lapar.

b. Diare sering terjadi karena makanan ini mungkin tercemar. c. Bila yang diberikan susu sapi alergi sering terjadi.

d. Bayi bingung mengisap puting susu ibunya bila pemberian makanan lewat botol.

e. Saluran pencernaan bayi belum cukup kuat untuk mencerna makanan selain ASI.

Untuk Ibu:

a. ASI keluar lebih lama karena bayi tidak cukup mengisap.

b Bendungan dan mastitis mungkin terjadi karena payudara tidak mengeluarkan ASI.

c Ibu sulit menyusui dan cenderung berhenti menyusui.

Hal-hal yang mempengaruhi pemberian makanan/minuman prelaktal adalah sebagai berikut : Pemberian makanan/minuman prelaktal masih sering dilakukan terutama bagi bayi yang lahir di Rumah Sakit (RS) atau Rumah Sakit Bersalin (RSB). Pemberian ini didorong oleh sulitnya/sedikitnya ASI yang


(19)

dihasilkan. Jenis minuman prelaktal yang diberikan biasanya adalah susu formula. Praktek pemberian ini menjadi semakin meningkat dengan banyaknya iklan dan poster mengenai susu formula yang terpasang di RS dan RSB.

Akibat lanjut dari hal ini bahwa ibu lebih senang memberi susu formula kepada bayinya dari pada menyusui. Sedangkan bagi ibu-ibu di pedesaan yang melahirkan dengan pertolongan dukun bayi biasanya juga masih sering memberi makanan prelaktal ini dengan alasan yang tidak jauh berbeda dengan diatas, yaitu bahwa ASI sulit keluar dan sangat lama sehingga bayi terus menangis. Pengetahuan gizi ibu yang rendah semakin mendorong praktek ini. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan bayi, dan mengganggu keberhasilan menyusui (Depkes RI 2000).

Praktek pemberian ASI

Pola pemberian ASI merupakan model praktek penyusuan/pemberian ASI oleh ibu kepada bayinya pada usia 4 bulan pertama kehidupan bayi. Pola pemberian ASI dibedakan menjadi 2 macam yaitu pola eksklusif dan pola non eksklusif (Depkes RI 2005).

ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai usia 4 bulan tanpa diberi makanan pendamping ataupun makanan pengganti ASI. Sedangkan ASI non eksklusif adalah pola pemberian ASI yang ditambah dengan makanan lain baik berupa MP-ASI maupun susu formula (Depkes RI 2005).

Alasan pemberian ASI eksklusif antara lain adalah :

a. Pada periode usia bayi 0–4 bulan kebutuhan gizi bayi baik kualitas maupun kuantitas terpenuhi dari ASI saja tanpa harus diberikan makanan/minuman lainya.

b. Pemberian makanan lain akan mengganggu produksi ASI dan mengurangi kemampuan bayi untuk mengisap.

c. Zat kekebalan dalam ASI maksimal dan dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi.

Pemberian ASI pada bayi usia 1-6 bulan harus dilakukan sesering mungkin setiap kali bayi menginginkannya (on demand). Pemberian ASI minimal 8 kali sehari semalam. Jangan memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI, bahkan air putih sekalipun (CAHD 2004). ASI mengandung zat gizi yang cukup untuk kebutuhan bayi hingga usia 6 bulan (ASI ekslusif). Kekhawatiran bayi akan kurang gizi dan terganggu pertumbuhannya akibat


(20)

mendapat ASI ekslusif tidak terbukti. Selain itu, bayi yang mendapat ASI ekslusif jarang terkena penyakit saluran pencernaan seperti muntah dan diare (Kramer 2002).

Praktek pemberian MP-ASI

Makanan pendamping ASI ( MP-ASI) merupakan makanan tambahan yang diberikan pada bayi setelah bayi berusia 4-6 bulan sampai bayi berusia 24 bulan. Selain MP-ASI, ASI pun harus tetap diberikan kepada bayi, paling tidak sampai usia 24 bulan. MP-ASI merupakan makanan tambahan bagi bayi, makanan ini harus menjadi pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan bayi. Jadi MP-ASI berguna untuk menutupi kekurangan zat-zat gizi yang terkandung didalam ASI. Dengan demikian, cukup jelas bahwa peranan MP-ASI bukan sebagai pengganti ASI tetapi untuk melengkapi atau mendampingi ASI (Krisnatuti

et al 2002).

Tujuan pemberian MP-ASI

Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan bayi yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan berat badan. Gangguan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal dapat terjadi ketika kebutuhan energi dan zat gizi bayi tidak terpenuhi. Hal ini dapat disebabkan asupan makanan bayi yang hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian makanan tambahan yang kurang memenuhi syarat. Disamping itu faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan memberi pengaruh yang cukup besar (Krisnatuti et al 2002).

Praktek penyapihan

Masa penyapihan adalah proses dimana seorang bayi secara perlahan-lahan memakan makanan keluarga ataupun makanan orang dewasa sehingga secara bertahap bayi semakin kurang ketergantungannya pada ASI dan perlahan-lahan proses penyusuan akan berhenti (Savage 1991). Bayi yang sehat pada usia penyapihan akan tumbuh dan berkembang sangat pesat, sehingga perlu penjagaan khusus untuk memastikan bahwa bayi mendapat makanan yang benar (Depkes RI 1998).

Di beberapa tempat, bayi pada usia penyapihan tidak tumbuh dengan baik, maka sering jatuh sakit dan lebih sering terkena penyakit infeksi terutama diare, dibanding waktu-waktu lain. Bayi-bayi yang kurang gizi mungkin akan menjadi lebih buruk keadaannya pada masa penyapihan. Makanan yang tidak cukup dan adanya penyakit membuat bayi tidak tumbuh dengan baik. Hal ini


(21)

dapat terlihat pada KMS terjadi kenaikan berat badan yang tidak memuaskan atau dalam keadaan yang lebih parah terjadi penurunan berat badan (Depkes RI 1998).

Hal-hal yang mempengaruhi praktek penyapihan dini

Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda pada masyarakat yang berbeda. Menurut WHO bahwa jumlah ibu-ibu di pedesaan yang mulai penyapihan lebih awal tidak sebanyak diperkotaan. Di daerah semi perkotaan, ada kecenderungan rendahnya frekuensi menyusui dan ASI dihentikan terlalu dini karena ibu kembali bekerja. Hal ini menyebabkan kebutuhan zat gizi bayi/anak kurang terpenuhi apalagi kalau pemberian MP-ASI kurang diperhatikan, sehingga anak menjadi kurus dan pertumbuhannya sangat lambat (Depkes RI 2000).

Selain karena alasan tersebut kegagalan penyusuan akibat pemberian makanan atau minuman prelaktal sebelum ASI keluar juga menjadi alasan praktek penyapihan dilakukan secara dini, disamping karena ASI tidak keluar dari sesaat sesudah melahirkan (Savage 1991).

Pola Asuh Kesehatan

Pola asuh kesehatan (PAK) batita, diukur dari bagaimana keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak yang meliputi pemberian imunisasi, kapsul vitamin A, penimbangan di Posyandu serta hygiene pribadi. Pola asuh kesehatan akan mempengaruhi pada frekuensi terjadinya penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. Penyakit infeksi pada anak balita merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang dan telah diketahui mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan anak (Martianto et al 2005).

Hastuti (2008) menyebutkan ada dua usaha yang dilakukan orangtua untuk melakukan pola asuh hidup sehat yaitu preventif dan kuratif. Upaya preventif adalah dengan membiasakan pola hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur seperti mandi, keramas rambut, gosok gigi, gunting kuku, cuci tangan sebelum makan. Upaya tersebut perlu ditanamkan sejak usia dini. Upaya kuratif yang dapat dilakukan meliputi upaya orangtua untuk memberikan pengobatan dan perawatan agar anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit infeksi dan penyakit lain yang umum terjadi pada anak.

Menurut Azwar (2000) pelayanan kesehatan yang baik harus memenuhi minimal tiga persyaratan pokok yakni sesuai dengan kebutuhan pemakaian jasa


(22)

pelayanan, terjangkau oleh pemakai jasa pelayanan serta terjamin mutu. Salah satu jenis pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Kartu Menuju Sehat (KMS) yang diperoleh dari posyandu berguna untuk memonitor berat badan anak setiap bulannya. Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah alat yang memungkinkan dilakukannya pengamatan terhadap pertumbuhan anak dengan cara sederhana yang berfungsi sebagai alat pemantauan gerak pertumbuhan (Ariesman 2009). Pemberian Imunisasi. Imunisasi adalah pemberian kuman penyakit yang telah dilemahkan atau dimatikan. Tujuannya adalah agar tubuh bayi membentuk zat kekebalan terhadap kuman tersebut (Depkes RI 2005). Imunisasi yang dianjurkan adalah Hepatitis B, BCG, Polio, DPT, campak, pneumokokus (PCV), influenza, varisela, Measles Mumps Rubella (MMR), tifoid, Hepatitis A, HPV (IDAI 2010).

Imunisasi Hepatitis B pertama kali diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan.. HB-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan. HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun optimal, interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.

Polio diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain). Polio dilakukan dengan 5 kali pengulangan yaitu pada saat baru lahir (Polio-0), usia 2 bulan (Polio 1), usia 4 bulan (Polio 2), usia 6 bulan (Polio 3), usia 18 bulan (Polio 4) dan usia 5 tahun (Polio 5). Pemberian imunisasi polio dapat dilakukan bersamaan dengan imunisasi DPT.

Imunisasi DPT yaitu imunisasi / vaksin kombinasi yang terdiri dari bakteri pertusis yang telah dimatikan, toksoid (zat yang menyerupai racun) dari difteri dan juga tetanus. Vaksin DPT diberikan untuk mencegah penyakit difteri yang bisa mematikan, penyakit pertusis yang sering disebut batuk 100 hari dan penyakit tetanus. Imunisasi DPT dapat diberikan pada usia minimal 6 minggu sampai 2 bulan. Lalu dilanjutkan pada usia 4 bulan dan 6 bulan. Setelah itu diulang kembali pada usia 18 bulan. Ada dua bentuk imunisasi DPT, yakni bentuk DPwT (whole cell pertusis atau mengandung komponen protein pertusis lengkap) dan bentuk DPaT (acelullar atau hanya mengandung sebagian protein pertusis). Pada DPaT di mana protein pertusis telah dikurangi, otomatis


(23)

kemungkinan timbul efek sampingnya juga berkurang. Namun, bukan berarti DPaT bebas demam. Hanya saja bila timbul demam tidak setinggi DPwT.

Imunisasi BCG berfungsi untuk ketahanan terhadap penyakit TB (Tuberkulosis), TB disebabkan kuman Mycrobacterium tuberculosis, dan mudah sekali menular melalui droplet, yaitu butiran air di udara yang terbawa keluar saat penderita batuk, bernapas ataupun bersin, TB berkaitan dengan keberadaan virus tubercel bacili yang hidup di dalam darah. Sehingga, agar memiliki kekebalan aktif, dimasukkan jenis basil tak berbahaya ke dalam tubuh, vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin).BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur > 3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapatkan MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu diberikan. MMR diberikan apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan. Vaksin Hepatitis A direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan. Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur > 2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.

Perilaku hidup bersih dan sehat. Kebersihan adalah faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Hal ini terlihat dari banyaknya orang yang mendapat penyakit karena tidak memperhatikan faktor kebersihan (Depkes RI 1995). Beberapa penyakit tertentu misalnya penyakit kulit bakteria dan jamur berhubungan erat dengan kebersihan perorangan (Notoatmodjo 1997).

Hygiene diri sangat penting diketahui dan dipraktekkan oleh setiap orang untuk kesehatan dirinya maupun kesehatan masyarakat. Hygiene diri adalah pengetahuannyang sifatnya individualistis, artinya sangat tergantung dari diri sendiri, yang prakteknya harus dimengerti dan dilaksanakan oleh setiap individu (Suklan 2000). Mengingat balita adalah individu pasif, maka penjagaan kesehatannya merupakan tanggung jawab individu dewasa disekitarnya, terutama oleh orangtuanya (Depkes 1995).

Ruang lingkup hygiene diri meliputi kebersihan kulit, rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan sesudah buang air besar dan air kecil. Anak harus dapat belajar menjaga kesehatan sendiri sejak dini seperti memotong kuku setiap minggu dan menjaga


(24)

kebersihannya, menggosok gigi sehari dua kali, mandi dengan sabun dua kali sehari, mencuci anggota badan sebelum tidur, menggunakan pakaian bersih dan sebagainya. Selain menjaga kebersihan diri terpenuhinya pelayanan kesehatan balita juga penting agar status kesehatan balita tetap terjaga (Depkes 1995).

Secara umum, lingkungan menentukan mudahnya terjadi penyebaran penyakit infeksi. Ciri umum kondisi lingkungan yang tidak baik adalah keadaan sesak dan pengap, sanitasi buruk, program imunisasi tidak berjalan, penyapihan terlalu dini dan fasilitas penyimpanan makanan yang tidak memadai (Thaha 1995

).

Sanitasi lingkungan biasanya erat kaitannya dengan kondisi pemukiman. Kusnoputranto (1983) mendefenisikan sanitasi lingkungan sebagai usaha-usaha pengendalian dari semua faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.

Menurut Latifah et al (2002) rumah dikatakan sehat jika memenuhi beberapa persyaratan berikut :

1. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen dan kayu atau bambu. Lantai tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacingan dan bakteri penyebab sakit perut.

2. Atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes, gelombang, seng, sirap dan nipah.

3. Dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan dibersihkan dengan mudah. Menurut Depkes (2008) penggunaan jenis dinding dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat.

4. Ventilasi udara biasanya berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang angin. Fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar di dalam rumah tetap bersih dan segar. Sebaiknya setiap ruangan mempunyai sedikitnya satu buah jendela yang bisa dibuka dan ditutup sehingga udara dapat mengalir lancar.

5. Rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat. Syarat lokalisasi bertujuan agar sumber air minum terhindar dari kotoran, sehingga perlu diperhatikan jarak sumber air minum dengan cubluk (kakus) lubang galian sampah, lubang galian untuk limbah dan sumber-sumber pengotor


(25)

lainnya. Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002) jarak sumur dengan WC minimum 10 meter.

6. Jumlah kamar mandi sebaiknya disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Jika anggota keluarga ada empat maka paling sedikit harus ada satu kamar mandi. Setiap kamar mandi biasanya dilengkapi dengan jamban atau WC.

7. Rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah. Air limbah terdiri dari kotoran manusia, air kotor dari permukaan tanah. 8. Kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga

kebersihan dan kesehatannya. Selain itu kandang ternak harus memiliki tempat pembuangan kotoran.

Sanitasi lingkungan memiliki peran cukup dominan dalam penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan anak dan proses tumbuh kembangnya. Kebersihan, baik perorangan maupun lingkungan memegang peranan penting dalam timbulnya penyakit. Akibat sanitasi yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit, seperti diare, ISPA, cacingan, tifus abdominalis, hepatitis, malaria, demam berdarah dan sebagainya.

Kebiasaan buruk membuang sampah ke sungai atau pinggiran sungai bukan tidak menimbulkan persoalan. Air sungai menjadi kotor dan rawan terjadi penyumbatan saluran yang beresiko terjadinya banjir. Namun masih banyak warga yang berpendapat bahwa mereka sudah bertahun tahun membuang sampah ke sungai, tapi tidak terjadi masalah apa-apa (Harto 2006).

Selain itu, masalah polusi udara.Polusi udara dalam ruangan mungkin menjadi masalah kesehatan yang lebih serius daripada polusi udara luar ruang, karena secara rata- rata kita menghabiskan 75% dari waktu di dalam ruangan. Bagi sebagian kelompok termasuk bayi, orang lanjut usia, orang yang baru sembuh dari sakit dan orang cacat persentase waktu yang dihabiskan di dalam ruangan bahkan mungkin lebih tinggi. Kemungkinan efek kesehatan akibat pajanan pada polutan dalam ruang yang berbahaya sangat banyak (Hunters dan Hirsch 2006).

Efek umum yang dialami oleh non perokok di suatu ruangan penuh asap rokok berkisar dari iritasi ringan pada mata dan tenggorokan hingga serangan angina (Hunters dan Hirsch 2006).


(26)

Morbiditas

Mobiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Menurut Subandriyo (1993) dalam Hidayati (2011) angka kesakitan (morbiditas) lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian kesakitan mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan seperti perumahan, air minum dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan. Sedangkan angka kematian lebih banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi kedokteran sehingga kurang mencerminkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya.

Status Gizi dan Kesehatan

Menurut Soekirman (2000) status gizi berarti keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau dua kombinasi dari ukuran–ukuran gizi tertentu. Suhardjo (1989) mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh konsumsi penyerapan dan penggunaan makanan.

Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak kearah membaik. Status kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk menjaga status gizi anak, menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta yang dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Status kesehatan ini meliputi hal pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit. Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara memperhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak apabila anak sakit. Jika anak sakit hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain (Zeitlin 2000).

Faktor yang memperngaruhi kesehatan adalah penyebab penyakit, manusia dan lingkungan. Gangguan keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut menimbulkan gangguan kesehatan yang menyebabkan penurunan derajat kesehatan seseorang. Penyebab penyakit dapat berasal dari dalam maupun luar tubuh. Daya tahan tubuh manusia akan mempengaruhi kemudahan terkena penyakit.


(27)

Penilaian Status Gizi

Status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat-zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara yaitu melalui penilaian klinis, biokimia, dan antropometri (Riyadi 1995). Menurut Supariasa (2002) penilaian status gizi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung.

1) Penilaian status gizi secara langsung

Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan secara teratur. Ada beberapa cara menilai status gizi yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan biofisik yang disebut dengan penilaian status gizi secara langsung.

Pengukuran status gizi anak berdasarkan antropometri adalah jenis pengukuran yang paling sederhana dan praktis karena mudah dilakukan dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa 2002).

Parameter yang digunakan pada penilaian status gizi dengan menggunakan antropometri adalah umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, dan lingkar dada (Supariasa 2002). Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan termasuk air, lemak, tulang, dan otot. Indeks TB/U adalah pengukuran pertumbuhan linier. Indeks BB/TB adalah indeks untuk membedakan apakah kekurangan gizi terjadi secara kronis atau akut (Supariasa 2002).

Data status gizi batita dengan pengukuran z skor, standar WHO/NCHS (World Health Organization-National Center for Health Statistics) dengan kriteria sebagai berikut : status gizi buruk jika< - 3 SD, status gizi kurang jika - 3 SD s/d <

-2 SD, status gizi baik jika -2 SD s/d +2 SD dan status gizi lebih> 2 SD (Depkes 2000)


(28)

Pemeriksaan klinis merupakan metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi.

Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit (Supariasa 2002).

Pemeriksaan secara biokimia merupakan pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urin, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi (Supariasa 2002).

Penilaian secara biofisik merupakan metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan). Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah test adaptasi gelap (Supariasa 2002).

2) Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu: survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Survei konsumsi makanan merupakan metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi dalam masyarakat, keluarga, dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan atau kekurangan zat gizi (Supariasa 2002).

Karakteristik Contoh

Umur contoh. Status gizi balita merupakan hal yang penting yang harus diketahui oleh orangtua. Perlunya perhatian lebih dalam usia tumbuh kembang balita didasarkan pada fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada usia emas (Golden Age) ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Kekurangan gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak. Padahal, perkembangan otak terjadi pada


(29)

usia balita. Fase cepat pertumbuhan otak berlangsung pada janin usia 30 minggu sampai dengan 18 bulan (Khomsan 2008).

Pertumbuhan bayi merupakan salah satu indikator yang peka terhadap kekurangan gizi. Pada masa bayi, terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat baik fisik maupun mental dibandingkan dengan tahapan umur berikutnya dan bayi merupakan segmen masyarakat yang paling rawan (Hardinsyah et al 2000).

Jenis kelamin. Berdasarkan jenis kelamin maka dapat diketahui pola asuh yang diberikan. Secara budaya perempuan dan anak-anak seringkali menerima relatif lebih sedikit makanan dibanding anak laki-laki atau mereka yang lebih tua. Kebiasaan dalam pembagian makanan secara signifikan berhubungan dengan pendidikan dan nilai-nilai atau norma di dalam keluarga dan budaya yang berlaku di masyarakat. Kebiasaan, nilai dan norma yang berhubungan dengan makanan, praktek pengasuhan dan kesehatan pada keluarga akan mempengaruhi keputusan dan praktek konsumsi serta pelayanan kesehatan bagi anak-anak mereka (Martianto et al 2008).

Proses kelahiran. Bayi cukup bulan (term infant) adalah bayi yang lahir dengan usia gestasi 37-42 minggu (259-294 hari) lengkap. Bayi kurang bulan (preterm infant) adalah bayi yang lahir dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu (<259 hari), disebut juga prematur. Bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 g tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa bayi BBLR akan mempunyai kemungkinan meninggal

neonatal 20-30 kali lebih besar dan meninggal sebelum berumur satu tahun 17 kali lebih besar dari bayi lahir dengan berat lahir normal (Hardinsyah et al 2000). Proses persalinan. Paraji atau dukun bayi adalah seorang perempuan yang diakui oleh masyarakat dalam mendampingi ibu hamil, pertolongan persalinan serta perawatan bayi baru lahir secara spiritual (Maas 2004). Paraji kebanyakan merupakan orang yang cukup dikenal di desa, dianggap sebagai orang-orang tua yang dapat dipercayai dan sangat besar pengaruhnya pada keluarga yang mereka tolong.

Masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa bila persalinan ditolong oleh bidan biayanya mahal sedangkan bila ditolong oleh paraji bisa membayar berapa saja. Penyebab lain mengapa bidan tidak dipilih dalam membantu persalinan adalah bahwa selain umurnya masih relatif muda, bidan


(30)

dipandang belum memiliki pengalaman melahirkan dan kebanyakan belum dikenal oleh masyarakat. Peranan paraji dalam proses kehamilan dan persalinan berkaitan sangat erat dengan budaya setempat dan kebiasaan setempat (Anggorodi 2009).

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Umur ibu. Saat ini masih banyak perempuan yang menikah pada usia di bawah 20 tahun. Secara fisik dan mental mereka belum siap untuk hamil dan melahirkan. Hal ini karena rahimnya belum siap menerima kehamilan dan ibu muda tersebut belum siap untuk merawat, mengasuh serta membesarkan bayinya. Bayi yang lahir dari seorang ibu muda kemungkinan lahir belum cukup bulan, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan mudah meninggal sebelum bayinya berusia satu tahun. Sebaliknya perempuan yang umurnya diatas 35 tahun akan lebih sering menghadapi kesulitan selama kehamilan dan pada saat malahirkan serta akan mempengaruhi kelangsungan hidupnya (UNICEF 2002 dalam Kartini 2008).Umur orangtua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Ibu dengan usia muda cenderung memperhatikan kepentingan sendiri daripada anak dan keluarga (Hurlock 1993).

Pendidikan orangtua. Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan (Sukandar 2007). Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila pendidikan dan pengetahuan dalam berbagai bidang gizi yang dimiliki orangtua baik, makan keadaan gizi anak juga baik (Riyadi 2006).

Semakin tinggi pendidikan formal maka akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga lebih banyak informasi yang diperoleh. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi. Latar belakang pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk konsumsi pangan sehari-hari (Engle et al 1997).

Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualiatas hidup. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik (Madanijah 2003).Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak,


(31)

karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik/cara mempraktekkan pola asuh dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana cara menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya (Soetjiningsih 1998). Pekerjaan ayah. Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Besar pendapatan yang diterima individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan (Suhardjo 1989).

Semakin baik pekerjaan seseorang maka jumlah pendapatan yang diterima semakin baik. Peningkatan pendapatan dalam rumah tangga memberikan kesempatan kepada rumah tangga untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu jumlah dan keragaman pangan yang mereka beli. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekirman (2000) yang menyatakan bahwa keluarga yang berstatus sosial ekonomi yang rendah atau miskin umumnya menghadapi masalah gizi kurang keadaannya serba terbalik dari masalah gizi lebih.

Menurut Soetjiningsih (1998) bahwa pendapatan keluarga yang baik dapat menunjang tumbuh kembang anak. Karena orang tua menyediakan semua kebutuhan anak-anaknya.

Pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita adalah total penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan lebih dominan daripada kebutuhan non pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran non pangan semakin besar, mengingat kebutuhan akan pangan sudah terpenuhi ( Husaini et al 2000).

Menurut Soekirman (2000) peningkatan pendapatan rumah tangga, belum tentu bermuara pada perbaikan gizi anggota rumah tangga yang rawan, terutama anak bayi atau balita, wanita hamil dan wanita menyusui.

Menurut Berg (1986) terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi.

Besar keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, tentunya akan semakin bervariasi aktivitas, pekerjaan dan seleranya. Sehingga jumlah


(32)

anggota keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gizi yang dipengaruhi oleh konsumsi makanan.

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata.

Menurut BKKBN (1998) jumlah anggota keluarga dapat diklasifikasikan sebagai besar keluarga dalam tiga kategori yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang ( 5-7 orang) dan besar (> 7 orang).


(33)

KERANGKA PEMIKIRAN

Status gizi secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi dan infeksi (tingkat morbiditas). Pada anak yang makan (konsumsi) tidak cukup baik, maka, daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah. Hal ini berakibat pada anak mudah terserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya menderita kurang gizi

,

sehingga berdampak pada status gizi kurang/buruk.

Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap kekurangan energi, protein dan zat gizi lain, karena menurunnya nafsu makan, dan sebagian energi serta zat gizi lain digunakan oleh penginfeksi sehingga asupan makanan menjadi berkurang. Infeksi penyakit (tingkat morbiditas) dipengaruhi oleh pola asuh kesehatan, diantaranya adalah pemberian imunisasi, pelayanan kesehatan, perawatan kesehatan, serta pola hidup bersih dan sehat . Pelayanan kesehatan adalah akses dan / atau keterjangkauan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan, imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pertolongan kesehatan, penimbangan bayi dan balita, serta penyuluhan kesehatan dan gizi. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan karena tidak mampu membayar, kurang pendidikan dan pengetahuan merupakan suatu kendala keluarga dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini akhirnya berdampak pada status gizi masyarakat terutama bayi.

Selanjutnya , pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi pola asuh gizi dan kesehatan yang diberikan. Pola asuh gizi mencakup praktek pemberian kolostrum, praktek pemberian makanan minuman prelaktal, praktek pemberian ASI, praktek pemberian MP ASI dan praktek penyapihan.Kondisi sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orangtua, jumlah anggota keluarga, dan pendapatan keluarga akan mempengaruhi penyediaan pangan dalam keluarga. Penyediaan pangan berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan lebih lanjut menentukan asupan energi dan protein. Kerangka pemikiran penelitian ini secara sistematis disajikan pada Gambar 1.


(34)

Keterangan

= Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak analisis = Variabel yang diteliti

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian : pengetahuan gizi ibu dan kaitannya dengan pola asuh gizi dan kesehatan, status gizi bayi

Status gizi bayi Sosek keluarga

1.Pedidikan orangtua 2.Pekerjaan orangtua 3.Jumlah anggota keluarga 4. Pendapatan keluarga

Asupan energi dan protein

Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu

Pola asuh gizi

1.Praktek pemberian kolostrum 2. Praktek pemberian makanan minuman prelaktal

3. Praktek pemberian ASI 4. Praktek pemberian MP ASI 5.Praktek penyapihan

Morbiditas (penyakit dan infeksi )

Pola asuh kesehatan 1.Pemberian imunisasi 2. Penimbangan di Posyandu 3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)


(35)

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study.Penelitian dilakukan di Desa Bojong Jengkol yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pasir Ciampea. Populasi dalam penelitian ini adalah bayi umur 0-24 bulan yang bertempat tinggal di Desa Bojong Jengkol.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi umur 0–24 bulan yang terdaftar di Posyandu Desa Bojong Jengkol. Pengambilan data dilakukan pada Desember- Januari 2012.

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah :

1) Bayi umur 0–24 bulan yang mempunyai KMS dengan catatan hasil penimbangan lengkap minimal 3 bulan terakhir sampai dilaksanakannya penelitian.

2) Bayi diasuh oleh ibunya

3) Bayi lahir normal/tidak prematur.

4) Bayi dalam keadaan sehat/ tidak menderita penyakit infeksi berat (batuk rejan,gangguan paru-paru, campak, polio) saat penelitian .

5) Bersedia berpatisipasi.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah bayi tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap sehingga sulit dihubungi dan menderita penyakit kronis.

Cara dan Jumlah Pengambilan Contoh

Pemilihan Puskesmas Pasir dilakukan secara purposiveatau dengan beberapa pertimbangan diantaranya bahwa Kecamatan Ciampea termasuk kedalam Kecamatan di Kabupaten Bogor yang memiliki kasus gizi buruk yang relatif tinggi dan juga banyak ditemukan kasus gizi kurang.

Pengambilan contoh yaitu dilakukan pada bayi yang datang ke Posyandu dan memenuhi kriteria inklusi. Jika contoh yang datang ke Posyandu jumlahnya melebihi dari yang diperlukan, maka contoh akan diambil secara acak sederhana (simple random sampling). Jumlah contoh yang akan diambil yaitu 60 orang contoh yang terdiri dari 47 contoh dengan status gizi baik dan 13 contoh dengan status gizi kurang/buruk.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu data primer melalui wawancara dengan menggunakan alat bantu kuesioner, sedangkan data sekunder akan dikumpulkan dari Posyandu


(36)

dan Puskesmas setempat. Data primer yang akan dikumpulkan meliputi karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga,pola asuh gizi, pola hidup bersih dan sehat, dan asupan energi dan protein. Data karakteristik contoh yang dikumpulkan meliputi nama, tanggal lahir, proses kelahiran, proses persalinan, umur, jenis kelamin, berat lahir, berat aktual, panjang, jumlah saudara. Data berat badan, panjang badan atau tinggi badan dan umur akan digunakan untuk menghitung atau menentukan status gizi

Data karakteristik sosial ekonomi keluarga yang dikumpulkan meliputi: umur ibu, tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan, besar penghasilan, besar keluarga, pengeluaran rumah tangga.

Data pola asuh gizi yang dikumpulkan meliputi : Praktek pemberian kolostrum, pemberian makanan atau minuman prelaktal, pemberian ASI, pemberian MP ASI, dan penyapihan. Data pola asuh kesehatan yang dikumpulkan meliputi : pemberian imunisasi, penimbangan Posyandu, PHBS dan morbiditas. Data pola hidup bersih dan sehat yang dikumpulkan meliputi: kebersihan diri, sarana MCK, air bersih, sampah, rumah (dinding, lantai,atap ventilasi).

Data dikumpulkan dengan wawancara langsung dengan kuesioner serta dengan form tabel jenis dan frekuensi penyakit yang sering di derita, imunisasi yang telah diberikan

Jenis data sekunder yang dikumpulkan berupa kondisi umum lokasi penelitian dan keragaan Posyandu .Data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara.Pengetahuan gizi diukur dengan menggunakan kuesioner. Pertanyaan yang diberikan untuk mengetahui pengetahuan gizi ibu contoh meliputi: praktek pemberian ASI, praktek pemberian MP ASI, kedatangan ke Posyandu, imunisasi yang diberikan. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.

Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data meliputi entry, coding, dan editing. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for windows.Analisis statistik yang digunakan adalah Rank Spearman, Independen t test, chi square.Rank Spearman untuk menguji hubungan antara pengetahuan gizi ibu dan pola asuh gizi dengan status gizi bayi. Uji t untuk uji beda antara pola asuh gizi contoh, rutinitas datang ke Posyandu, imunisasi contoh status gizi baik


(37)

dan status gizi kurang/buruk. Uji chi square untuk menguji hubungan antara imunisasi dan rutinitas kedatangan Posyandu dengan morbiditas.

Tabel.1 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Data Cara pengumpulan data

1 Karakteristik contoh

Nama, tanggal lahir, proses kelahiran,umur, jenis kelamin, berat lahir, berat aktual,panjang atau tinggi badan

Wawancara langsung dengan kuesioner, melihat KMS, pengukuran dan penimbangan langsung Karakteristik sosial ekonomi Jumlah anggota keluarga,pendidikan orang tua, pekerjaan ayah,pendapatan keluarga.

Wawancara langsung dengan kuesioner Karakteristik sosial ekonomi Jumlah anggota keluarga,pendidikan orang tua, pekerjaan ayah,pendapatan keluarga.

Wawancara langsung dengan kuesioner

2. Pola asuh gizi Praktek pemberian kolostrum,pemberian makanan atau minuman prelaktal, pemberian ASI, pemberian MP ASI, penyapihan

Wawancara langsung dengan kuesioner

3. Pola asuh kesehatan

Pemberian imunisasi, penimbangan posyandu, PHBS.

Pengamatan langsung, Wawancara dengan kuesioner dan, imunisasi yang telah diberikan,

4. Morbiditas Jenis, frekuensi, lama sakit (selama 3 bulan terakhir)

Wawancara dengan form tabel jenis dan frekuensi penyakit yang sering di derita, lama sakit 5. Pengetahuan

gizi dan kesehatan ibu

Makanan sehat, Praktek pemberian ASI, praktek pemberian MP ASI

Wawancara langsung dengan kuesioner


(38)

Pengolahan data sosial ekonomi keluarga dilakukan dengan cara:

Umur ibu. Data umur ibu dikelompokan menjadi empat kelompok menurut Papila dan Old (1986) dalam Hidayati (2011) yaitu remaja (< 20 tahun), dewasa awal (20-40 tahun), dewasa tengah (41-65 tahun) dan dewasa akhir (> 65 tahun) Pendidikan. Data pendidikan terakhir yang ditempuh oleh ibu atau ayah. Data pendidikan ibu dan ayah akan dikategorikan menjadi yaitu: Tidak sekolah, lulus SD, lulus SLTP, lulus SLTA, Perguruan tinggi.

Pekerjaan orangtua. Data pekerjaan ibu dan ayah dikategorikan menjadi yaitu: tidak bekerja (IRT), PNS, buruh pabrik, pegawai swasta, petani pemilik, pedagang, jasa (sopir/ojek). Selain itu, pekerjaan juga dibedakan berdasarkan status pekerjaan yang dimiliki yaitu: kontrak, tetap, harian.

Pendapatan perkapita. Data pendapatan perkapita perbulan merupakan hasil dari pembagian jumlah pendapatan orangtua dan anggota keluarga lain terhadap jumlah anggota rumah tangga tiap bulannya. Hasil diperoleh kemudian diklasifikasikan berdasarkan rata-rata dan standar deviasi.

Besar keluarga. Data besar keluarga diketahu dengan menanyakan kepada contoh jumlah anggota keluarga. Data yang diperoleh kemudian dikelompokan menurut kriteria BKKBN (1998) yang diklasifikan dalam tiga kategori yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (> 7 orang)

Pengolahan data tentang pengetahuan gizi ibu, pola asuh gizi, pola asuh kesehatan dan status gizi bayi, konsumsi, morbiditas yaitu dengan cara:

Pengetahuan gizi ibu. Pengetahuan gizi diolah dari jawaban contoh pada pertanyaan dalam kuesioner dalam bentuk pertanyaan tertutup (Pratek pemberian kolostrum, makanan/minuman prelaktal, ASI, MP ASI dan penyapihan). Penilaian dengan memberikan skor 1 jika menjawab benar dan menjawab salah diberi nilai 0. Total nilai yang diperoleh diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu baik jika > 80% jawaban benar, sedang jika 60-80 % jawaban benar, dan kurang jika < 60% jawaban benar.

Pola asuh gizi. Pola asuh gizi diolah dari jawaban pada pertanyaan dalam kuesioner yang jika baik diberi nilai 1 untuk pernyataan positif dan 0 jika pernyataan negatif. Pola asuh gizi dikategorikan baik jika > 80% jawaban benar, sedang jika 60-80 % jawaban benar, dan kurang jika < 60% jawaban benar. Pola asuh kesehatan. Pola asuh kesehatan diolah dari jawaban pada pertanyaan dalam kuesioner yang jika baik diberi nilai 1 untuk pernyataan positif dan 0 jika pernyataan negatif. Pola asuh gizi dikategorikan jika > 80% jawaban


(39)

benar, sedang jika 60-80 % jawaban benar, dan kurang jika < 60% jawaban benar.

Status gizi bayi. Status gizi bayi akan ditentukan dengan berat badan menurut umur dan selanjutnya dikategorikan menjadi empat yaitu status gizi buruk jika< - 3.0 SD, status gizi kurang jika – 3.0 SD s/d <-2.0 SD, status gizi baik jika -2.0 SD s/d +2.0 SD dan status gizi lebih> 2.0 SD gizi buruk, gizi kurang(WHO NCHS 2006).

Asupan Energi dan Protein. Data diperoleh melalui recall konsumsi 2x24 jam. Klasifikasi tingkat konsumsi dibagi menjadi lima dengan cut off point masing-masing sebagai berikut (Depkes RI 1996): 1). defisit tingkat berat <70 % AKG 2). defisit tingkat sedang : 70 % - 79 % AKG 3). defisit tingkat ringan : 80 % – 89 % AKG 4). normal : 90-119% AKG 5). kelebihan ≥ 120% AKG.

Morbiditas. Data morbiditas ( rata-rata per bulan) dihitung berdasarkan kejadian sakit (selama 3 bulan terakhir dibagi 90 hari dan dikalikan dengan 30 hari). Menurut perhitungan interval kelas menurut Sugiono (2009) dalam Hidayati (2011) dikategorikan menjadi rendah apabila < 4 hari, sedang 4-7 hari dan tinggi > 7 hari. Cara pengkategorian variabel disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Cara pengkategorian variabel

No Variabel Kategori pengukuran

1 Karakteristik contoh

Umur contoh 1. 0-6 bulan

2. 7-12 bulan 3. 13-18 bulan 4. 19-24 bulan

Jenis kelamin 1. Laki-laki

2. Perempuan

Proses kelahiran 1. Normal

2. Operasi (Caesar)

Proses persalinan 1. Paraji

2. Bidan Karakteristik keluarga

Umur ibu 1. < 20 tahun

2. 20-40 tahun 3. 41-65 tahun 4. >65 tahun

Pendidikan ayah 1. Tidak sekolah

2. Lulus SD 3. Lulus SLTP 4. Lulus SLTA 5. Perguruan Tinggi

Pendidikan ibu 1. Tidak sekolah

2. Lulus SD 3. Lulus SLTP 4. Lulus SLTA 5. Perguruan Tinggi


(40)

No Variabel Kategori pengukuran Pekerjaan orangtua 1. Tidak bekerja (IRT)

2. Pegawai Negri Sipil 3. Buruh pabrik 4. Pegawai swasta 5. Petani pemilik 6. Pedagang 7. Jasa (sopir/ojek)

Pendapatan (Kap/bln) 1. Tinggi

2. Sedang 3. Kurang

Besar keluarga 1. Kecil (≤ 4 orang)

2. Sedang (5-7orang) 3. Besar ( > 7 orang)

2. Pengetahuan gizi ibu 1. Baik

2. Sedang 3. Kurang

3. Pola asuh gizi 1. Baik

2. Sedang 3. Kurang

4. Pola asuh kesehatan 1. Baik

2. Sedang 3. Kurang

5. Status gizi contoh (BB/U) 1. Gizi buruk z skor <-3.0

2. Gizi kurang z skor ≥ -3.0 s/d <-2.0 3. Gizi baik z skor ≥- 2.0 s/d z skor ≤ +2.0 4. Gizi lebih z skor ≥ 2.0

6. Asupan Energi dan Protein 1. Defisit berat <70% AKG 2. Defiisit sedang 70-79%AKG 3. Defisit ringan 80-89%AKG 4. Normal 90-119%AKG 5. Lebih ≥120%AKG

7. Morbiditas 1. Rendah < 4 hari

2. Sedang 4-7 hari 3. Tinggi ≥ 7 hari Definisi Operasional

Contoh adalah bayi yang termasuk dalam kriteria inklusi penelitian.

Karakteristik contoh adalah keadaan contoh yang diamati meliputi umur contoh, jenis kelamin, proses kelahiran dan proses persalinan.

Karakteristik keluarga adalah keadaan keluarga yang meliputi umur ibu, pendidikan dan pekerjaan orangtua , pendapatan perkapita dan besar keluarga.

Pola asuh gizi adalah praktek ibu dalam memenuhi kebutuhan energi dan gizi anak yang ditentukan berdasarkan praktek pemberian kolostrum, pemberian minuman dan/atau makanan prelaktal, pemberian ASI, pemberian MP ASI dan penyapihan.

Lanjutan Tabel 2

iabel Katego iabel Katego


(1)

energi dan protein yaitu 625 Kal dan 14.5 g. Pada subjek dengan status gizi baik terdapat 44.6% subjek dengan TKE kategori defisit tingkat sedang dan 12.8% subjek kategori normal dan tidak ada subjek dengan TKE kategori defisit tingkat berat. Pada subjek dengan status gizi kurang/buruk terdapat 61.5% subjek dengan kategori TKE defisit tingkat sedang, 7.7% subjek kategori defisit tingkat berat dan tidak ada subjek dengan kategori TKE kategori normal.

Pada subjek dengan status gizi baik terdapat 40.4% subjek dengan TKP kategori defisit tingkat sedang dan 12.8% subjek kategori normal dan tidak ada subjek dengan TKP kategori defisit tingkat berat. Pada subjek dengan status gizi kurang/buruk terdapat 46.2% subjek dengan kategori TKP defisit tingkat sedang, 7.7% subjek kategori defisit tingkat berat dan tidak ada subjek dengan TKE kategori normal.

Hasil penelitian Tumirah (2010) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara asupan energi dengan status gizi anak karena bayak faktor yang memengarui status gizi antara lain kesediaan pangan, mutu pangan, cara pengolahan, pola asuh anak.

Pola Asuh Kesehatan

Anak merupakan kelompok penduduk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Pemberian makan, status kesehatan ibu, status kesehatan saat lahir dan pelayanan kesehatan merupakan faktor penting dalam peningkatan kesehatan dan status gizi anak. Gangguan terhadap faktor-faktor ini akan diikuti pula dengan gangguan terhadap kesehatan dan gizi anak (Hastuti 2010).

Pola asuh kesehatan dalam penelitian ini meliputi praktek pemberian imunisasi, rutinitas datang ke Posyandu dan pola hidup bersih dan sehat.

Pemberian imunisasi umumnya dilakukan di Posyandu. Hal ini sejalan dengan data kunjungan ke Posyandu, yaitu pada kelompok subjek dengan status gizi baik dan kurang/buruk yang rutin datang ke Posyandu masing-masing adalah sebanyak 85.1% dan 30.8%.

Penimbangan berat badan bertujuan untuk memantau pertumbuhan anak. Subjek dengan status gizi baik setiap kali penimbangan berat badan naik (85.1%) dan contoh dengan status gizi kurang/buruk kebanyakan turun (46.2%).


(2)

Mengenai penjagaan kebersihan anggota tubuh, para ibu mengemukakan bahwa anaknya terbiasa mandi dua kali dalam sehari (100%), menggunakan sabun mandi dan handuk pengering tubuh. Hygiene diri yang dilakukan ibu dalam memberikan makan pada bayi diantaranya semua ibu menyuapi anaknya dengan sendok (100%). Namun, banyak (38.3%) ibu-ibu yang tidak mencuci tangan sebelum dan setelah beraktifitas sebelum menyuapi anak mereka. Bahan yang digunakan untuk menyajikan makanan sebagian besar terbuat dari melamin (26.7%) kaca (48.3%) dan (25%) plastik. Sumber air yang digunakan untuk air minum adalah air sumur (85%), karena belum tersedia sarana air PDAM.

Semua keluarga subjek terbiasa membuang sampah di sungai atau pinggiran jalan menuju sungai (100%). Hal ini menurut mereka dilakukan sambil pergi mandi atau mencuci pakaian ke sungai.

Kondisi rumah juga menentukan kondisi kesehatan penghuninya. Sebagian besar rumah keluarga subjek terbuat dari setengah batu (batu dan bilik dibagian dindingnya (76.7%), dan (23.3%) terbuat dari batu dengan (100%) lantai rumah semen. Atap rumah terbuat dari seng (60%) dan genteng (40%) setiap rumah sudah dilengkapi dengan ventilasi (100 %) sehingga udara dapat masuk dan keluar rumah. Salah satu polusi udara yang paling berpengaruh adalah asap rokok. Seluruh keluarga subjek (100%) ayah merupakan perokok aktif. Asap rokok yang ditimbulkan dapat merugikan tidak hanya bagi perokok namun juga bagi non perokok yang menghirup asap rokok.

Morbiditas

Berdasarkan perhitungan morbiditas (rata-rata hari sakit per bulan) terdapat 16.7% dengan angka morbiditas tinggi (>8 hari), 56.7% dengan mobiditas sedang (4—7 hari), dan 26.6% dengan morbiditas rendah (<4 hari). Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0.05) morbiditas antara contoh dengan status gizi baik (rata-rata hari sakit perbulan adalah <4 hari) dengan status gizi kurang/buruk. Pada contoh dengan status gizi baik morbiditasnya lebih baik daripada status gizi kurang/buruk (rata-rata hari sakit per bulan adalah 5—7 hari).

Hubungan antar Variabel


(3)

Hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan positif nyata (r=0.016 p<0.05) antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi subjek. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi ibu maka akan semakin baik pula status gizi subjek.

Martianto et al. (2008) Ibu dengan pendidikan dan pengetahuan yang rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi seperti Posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas. Oleh karena itu mereka memiliki resiko yang lebih tinggi untuk memiliki anak yang kurang gizi.

Madanijah (2007) menyatakan bahwa semakin rendah tingkat kehadiran partisipasi ibu di Posyandu maka akan semakin besar kemungkinan anaknya memiliki status gizi kurang baik.

Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status Gizi

Hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan positif nyata (r=0.031 p <0.05) antara pola asuh gizi dengan status gizi subjek. Hal ini berarti

semakin baik pola asuh gizi maka akan semakin baik pula status gizi subjek. Ada hubungan positif antara pola asuh yang dilakukan orang tua terhadap status gizi anaknya. Tercakup di dalam pola asuh ini adalah pola asuh makan maupun pola asuh dalam perawatan anak. Makna hubungan ini adalah : pentingnya orangtua memberikan pola asuh yang baik kepada anaknya agar asupan gizi menjadi lebih baik dan dampaknya adalah anak semakin baik status gizinya (Khomsan 2010). Sejalan dengan itu, Maas (2004) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat memengaruhi kondisi kesehatan bayi adalah makanan yang diberikan baik dari segi kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan.

Penelitian Mashitah (2005) juga menyatakan bahwa pemberian makan anak secara langsung berhubungan dengan baik buruknya status gizi anak.Berdasarkan uji independent t-test terdapat perbedaan nyata pola asuh gizi (p< 0.05) antara subjek dengan status gizi baik dengan subjek status gizi kurang/buruk. Hal ini berarti bahwa pola asuh gizi pada subjek dengan status gizi baik adalah nyata lebih baik daripada subjek dengan status gizi kurang/buruk Hubungan imunisasi dan kedatangan ke posyandu dengan morbiditas dan status gizi


(4)

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara imunisasi yang diperoleh oleh subjek dengan mobiditas dan status gizi subjek. Hal ini berarti berarti bahwa semakin baik (lengkap) imunisasi yang di dapat oleh subjek maka morbiditas subjek akan semakin rendah dan akan semakin baik pula status gizi subjek. Kedatangan ke Posyandu yang rutin juga menunjukan ada hubungan yang nyata dengan morbiditas dan status gizi (p<0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa jika subjek lebih rutin dibawa ke Posyandu maka morbiditas subjek akan semakin rendah dan status gizi subjek akan semakin baik.

Berdasakan uji independent t-test terdapat perbedaan yang nyata kedatangan ke Posyandu dan imunisasi (p<0.05) antara subjek status gizi baik dengan subjek status gizi kurang/buruk. Hal ini menunjukkan bahwa subjek dengan status gizi baik adalah nyata lebih rutin datang ke Posyandu dan lebih lengkap imunisasinya daripada contoh dengan status gizi kurang/buruk.

KESIMPULAN

Sebagian besar subjek (31.7%) berumur 13—18 bulan, berjenis kelamin perempuan (51.7%) dengan proses kelahiran normal (100%), dan proses persalinan sebagian besar (83.3%) dibantu oleh paraji. Lebih dari separuh ibu subjek berumur 20—40 tahun (78.3%). Rata-rata subjek tergolong keluarga miskin, pendidikan orangtua sebagian besar SD, pekerjaan sebagai petani penggarap dan berpenghasilan rendah. Sebagian besar ibu contoh (83.3%). memiliki pengetahuan gizi dengan kategori kurang.

Setelah bayi lahir umumnya langsung diberikan madu atau air tajin (83.3%) dan tidak diberikan kolostrum. Hampir seluruh ibu subjek (96.7%) menyatakan bahwa mereka langsung memberikan madu terlebih dahulu kepada bayi mereka sebelum diberi ASI. Sebagian besar ibu tidak memberikan ASI secara eksklusif (91.7%). Praktek pemberian ASI dan MP ASI adalah lebih baik pada subjek dengan status gizi baik daripada status gizi kurang/buruk.

Semakin baik pengetahuan gizi ibu, maka semakin baik pula status gizi bayi. Semakin baik pola asuh gizi, maka semakin rendah morbiditas dan semakin baik status gizi bayi. Selain itu, semakin lengkap imunisasi dan rutin datang ke Posyandu, maka semakin rendah morbiditas dan semakin baik status gizi bayi.

Penempatan petugas kesehatan selain memberi pelayanan kesehatan pada masyarakat juga berfungsi sebagai agen peubah maka pengetahuan dan


(5)

kemampuan berkomunikasi dari petugas kesehatan sangat diperlukan disamping kemampuan dan ketrampilan memberi pelayanan kesehatan.

Ibu sebagai pengatur keuangan hendaknya dapat mengalokasikan pendapatan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan baik karena besarnya pengeluaran untuk pangan sangat memengaruhi status gizi anak. Hendaknya ibu dapat rutin datang ke Posyandu agar jika ada masalah gizi pada bayi segera dapat diatasi. Hal ini terjadi karena di Posyandu selain dilakukan penimbangang (pemantauan berat badan), juga dilakukan pelayanan imunisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Amin AM. Sudargo Toto. Gunawan. 2004. Hubungan Pola asuh dan Asupan Gizi terhadap Status Gizi Anak Umur 6-24 Bulan di Kelurahan Megampang, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Jurnal Sains dan Kesehatan hal 483-491.Yogyakarta: UGM

Afifah DN. 2007. Faktor yang Beperan dalam Kegagalan Praktik Pemberian ASI Ekslusif (Kecamatan Tembalang, Kabupaten Semarang 2007). Jurnal hal 1-19. Jakarta.

Diana FM. 2006. Hubungan Pola ASuh dengan Status Gizi Anak Batita di

Kecamatan Kuranji, Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun 2004.

Jurnal Kesehatan Masyarakat hal 18-24. Padang: Unand.

Hastuti D, Sebho K, Lamwuran. 2010. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga dengan Pemenuhan Hak Anak di Wilayah Dampingan Plan Internasional Indonesia Program Unit Sikka, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu keluarga dan konsumen hal 154-163. Bogor: FEMA IPB.

Khomsan A. 2010. Pengaruh Pola Asuh Terhadap Status Gizi Anak. Jakarta: Lintas Café.

Latifah Eva, Hastuti Dwi, Melly Latifah. 2010. Pengaruh Pemberian ASI dan Psikososial Terhadap Perkembangan Sosial Emosi Anak pada Keluarga Ibu Bekerja dan Tidak bekerja. Jurnal Ilm. Kel & Kons hal 34-45. Bogor : IPB. Madanijah S , Triana N. 2007. Hubungan Antara Status Gizi Masa Lalu dan

Partisipasi Ibu di Posyandu dengan Kejadian Tuberkolosis pada Murid

Taman Kanak-kanak. Jurnal Gizi Pangan hal 29-41.Bogor : FEMA IPB.

Mashitah T, Soekirman dan Martianto. 2005. Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batita di Desa Mulya Harja. Jurnal hal 29-39. Bogor: Media Gizi dan Keluarga.

Martianto et al. 2008. Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak di


(6)

Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bogor : kerjasama FEMA. IPB dan PLAN Indonesia.

Maas T L .2004. Persepsi Budaya dan Dampak Kesehatannya. Jurnal Kesehatan Ibu dan Anak hal 1-6. Medan : USU.

Setyawan D. 2010. Sembilan Balita Di Kota Bogor Meninggal Karena Gizi Buruk.(http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/metropolitan/10/07/0 2/122759-sembilan-balita-meninggal-karena-gizi-buruk-di-bogor.

Sharif et al. 2008. Nutrition Education Intervention Improves Nutrition Knowledge Attitude and Practices of Primary School Children :A pilot Study. International Journal of Health Education. 119-132. Malaysia : Universty Putra Malaysia.

Tumirah, Sriani, Sherly Jeniawati. 2010. Hubungan Antara Konsumsi Makan Sumber Energi dengan Status Gizi. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes hal 223-227 .Surabaya: Poltekes Surabaya