Sistematika Penulisan Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.854 /Pid.B/2012/Pn.Mdn )

G. Sistematika Penulisan

Agar terdapat suatu alur pemikiran yang tertip dan teratur secara sistematis maka penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas tiga bab dengan masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut : BAB I: PENDAHULUAN Bab ini merupakan bab awal yang akan mendukung untuk memasuki bab-bab selanjutnya. Dimana bab ini akan memuat dan menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat masalah penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II: PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS Bab ini akan membahas tentang defenisi tindak pidana dan unsur – unsur tindak pidana, asas – asas dan tujuan lalu lintas dan jalan raya, peranan UU No 22 Tahun 2009 dalam Perlindungan Penumpang Akibat lalainya mengemudi dan syarat - syarat pengemudi berdasarkan undang – undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. BAB III: FAKTOR-FAKTOR KELALAIAN PENGEMUDI PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG BISA DIPIDANA Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas, baik yang datang dari dalam diri sipengemudi seperti mengantuk, menghayal, mengobrol, Universitas Sumatera Utara ugal-ugalan, serta belum terampil mengemudikan kendaraan maupun dari luar diri sipengemudi seperti faktor alam, jalan, kendaraan, pejalan kaki,dan penumpang. BAB IV: BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS KELALAIAN PENGEMUDI YANG MENIMBULKAN KECELAKAAN LALU LINTAS STUDI HUKUM PUTUSAN NO. 854PiD.B2012PN.Mdn Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang pertanggungjawaban terhadap kasus kelalaian mengemudi perkara kecelakaan lalu lintas mulai dari penjatuhan pidana dan pertanggungjawaban pidana kelalaian dalam perkara kecelakaan lalu lintas BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab akhir dimana akan dirumuskan mengenai kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap pokok permasalahan yang timbul. Kemudian dari hasil penulisan tersebut akan diakhiri dengan saran-saran. Universitas Sumatera Utara BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS A. DEFENISI TINDAK PIDANA DAN UNSUR – UNSUR TINDAK PIDANA 1.a. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perandang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut: 36 1 Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam per-undang- undangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya. 2 Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: R. Tresna dalam bukunya Azas-azas Hukum Pidana H.J van Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin, dalam bukunya Hukum Pidana. Pembentuk UU juga pernah menggunakan 36 Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002,Hal 67 – 68 bisa juga di lihat Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010 , Hal 73 Universitas Sumatera Utara istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS 1950 [baca Pasal 14 ayat 1]. 3 Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana dalam buku Hukum Pidana I. A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum Pidana I. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana. 4 Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirtaamidjaja yang berjudul Pokok-pokok Hukum Pidana. 5 Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia. 6 Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang- undang di dalam UU No. 12Drt1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak Pasal 3. 7 Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam: berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukurn Pidana. Dari istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari Strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar Universitas Sumatera Utara diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. 37 Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian dari tindak pidana strafbaar feit, menurut para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan aliran dualisme: 38 1. Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit definisi menurut hukum positif itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu “tindakan yang menurut suatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan yang dapat dihukum”. 39 Pompe mangatakan, bahwa “strafbaar feit” itu secara teoretis dpat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. 40 2. Menurut Prof. Van Hamel, telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai “suatu serangan atau anacaman terhadap hak-hak orang lain”. 41 3. H.B. Vos, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manuasia yang diancam pidana oleh Undang-Undang. 42 37 Adami Chazawi, Ibid , hal 69. 38 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan: USU-Press, 2010 , hlm. 73. 39 Op.Cit. hlm. 81. 40 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,, 1997 , hlm. 182. 41 Ibid., hlm. 182. 42 Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 81 Universitas Sumatera Utara 4. Menurut R. Tresna, Peristiwa Pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang- Undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. 43 Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para ahli tentang syarat – syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebbagai peristiwa pidana, oleh karena itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut: 44 a. Harus ada suatu perbuatan manusia. b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan. d. Peruatan itu harus berlawanan dengan hukum. e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang – undang. Jika diatas diterangkan tentang pandangan dualisme yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Ada pandangan lain yakni pandangan monisme yang tidak memisahkan antara unsur – unsur mengenai perbuatan dengan unsur – unsur mengenai diri orangnya. Beberapa pendapat para ahli yang berpandangan 43 R. Tresna, Azas – azas Hukum Pidana, Jakarta: Tiara Limited, 1959 , Hal, 27 44 R.Tresna, Ibid, Hal 28 Universitas Sumatera Utara monisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana seperti berikut: 45 1. J.E.Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertian: 46 a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian Feit yang dapat diancam pidana oleh undang – undang. b. Defenisi panjang pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum wederrechttelijk berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Jonkers, 47 45 Adami Chazawi, Ibid, Hal 75 46 Bambang Poernimo, Op, Cit Hal 91 47 Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: Bina Aksara, 1987 , Hal 136 sifat melawan hukum dipandang sebagai unsur yang tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak adanya kemampuan untuk dapat dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk dibebaskan dari pidana. Kesengajaan atau kesalahan selalu merupakan unsur dari kejahatan. Berdasarkan hal ini ternyata defenisi tindak pidana yang panjang itu terlalu luas dan selain menyebutkan mengenai peristiwa pidana juga menyebutkan tentang pribadi si pembuat. Menurut Jonkers hal ini tidaklah merupakan keberatan yang terlampau besar, karena kita selalu meninjau peristiwa pidana dalam hubungan dengan si pembuat. Universitas Sumatera Utara 2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 3. H.J.Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh di hukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan. 4. Simons dalam P.A.F. Lamintang merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oeh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum. Alasan dari simons apa sebabnya “ Strafbaar Feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena: a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh Undang – undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang – undang, dan Universitas Sumatera Utara c. Setiap Strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechmatige handeling. 48 5. Menurut Jan Remmelink, 49 6. J. Baumann dalam sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. bahwa sekilas tampak bahwa membatasi pengertian “bahaya” ini tidak perlu, karena makna istilah bahaya kiranya dapat dirasakan oleh setiap orang secara alamiah. Namun seorang juris tidak dapat menghindari keharusan untuk mencari batasan yang lebih tegas. Di sini istilah bahaya dimengerti sebagai kemungkinan nyata timbulnya kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum rechtsgoederen yang dilindungi oleh hukum. 50 1.b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pengertian unsur – unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian unsur – unsur tindak pidana sebagaimana tersebut di dalam rumusan undang – undang rumusan pasal . Pengertian unsur – unsur tindak pidana lebih luas daripada pengertian unsur – unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang – undang, yang dala bahasa Belanda disebut element van de wettelijke delictsome schrijving. 51 48 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, Hal 176 49 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama ,2003 , Hal 64 - 65 50 Sudarto, Op. Cit, Hal 42 51 Mohammad Eka Putra, Op. Cit.Hal 103 Universitas Sumatera Utara Menurut doktrin, unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, yakni :

a. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukum kalau tidak ada kesalahan” An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus not facit reum nisi mens sit rea. Kesalahan disini yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan intentionopsetdolus dan kealpaan negligence or schuld. Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 bentuk, yakni: 1 Kesengajaan sebagai maksud oogmerk 2 Kesengajaan dengan keinsafan pasti opzet als zekerheidsbewustzijn 3 Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan dolus evantualis

b. Unsur Objektif Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku yang terdiri atas :

a Perbuatan manusia, berupa: 1. Act, yakni berupa aktif atau perubahan positif 2. Omission, yakni perubahan pasif atas perubuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. b Akibat result perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan kebahagiaan. Universitas Sumatera Utara c Keadaan-keadaan circumstances Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: 1. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan 2. Keadaan setelah perbuatan dilakukan d Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan - alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sikap melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenan dengan larangan atau perintah. Bambang Poernomo menyebutkan beberapa ahli yang membagi unsur – unsur tindak pidana secara mendasar, sebagai berikut: 52 1. Menurut Van Apeldoorn, bahwa elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelalukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum onrechtmatig wederrechtelijk dan elemen subjektif yang berupa adanya seseorang pembuat dader mampu bertanggungjawab atau dapat dipersalahkan toerekeningsvatbaarheid terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu. 2. Van Bemmelen menyatakan bahwa elemen – elemen dari Strafbaar feit dapat dibedakan menjadi: a. Elementen voor de strafbaarheid van het feit, yang terletak dalam objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum 52 Bambang Poernomo, Op, Cit, Hal 103 Universitas Sumatera Utara b. Mengenai elementen woor strafbaarheid van dedader, yang terletak dalam subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan sikap batin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan. Di bawah ini unsur – unsur tindak pidana yang dimaksudkan kedalam “aliran monistis”: 53 1. Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana strafbaar feit adalah : a. Perbuatan manusia positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan. b. Diancam dengan pidana statbaar gesteld c. Melawan hukum onrechtmatig d. Dilakukan dengan kesalahan met schuld in verband staand e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab toerekeningsvatoaar person. Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana strafbaar feit. Unsur Obyektif : 1. Perbuatan orang 2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. 3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”. 53 Sudarto, Op Cit, Hal 40-42 Universitas Sumatera Utara Unsur Subyektif : a. Orang yang mampu bertanggung jawab b. Adanya kesalahan dollus atau culpa. Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 2. Van Hamel memberikan defenisi Strafbaar Feit adalah: eem wettelijk omschreven menschelijke gedraging, onrechmatig, strafwaardig en aan schuld te wijten.” Jadi unsur – unsurnya adalah: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang – undang. b. Melawan hukum. c. Dilakukan dengan kesalahan. d. Patut dipidana 3. E. Mezger, menurutnya unsur – unsur tindak pidana ialah: a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusiai aktif atau membiarkan . b. Sifat melawan hukum baik bersifat objektif maupun yang subjektif . c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang. d. Diancam dengan pidana. 4. Karni memberikan unsur – unsur tindak pidana sebagai berikut: Bahwa delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan. Universitas Sumatera Utara 5. Wirjono Prodjodikoro beliau mengemukakan definisi pendek, yakni tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Selanjutnya beberapa ahli yang dimasukkan sebagai golongan yang mempunyai pandangan dualistis tentang syarat – syarat pemidanaan adalah: 54 1. H.B.Vos Strafbaar Feit berunsurkan: a. Kelakukan manusia. b. Diancam pidana dalam undang – undang. 3. W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “ menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak laian daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang – undang”. Volgens ons positieve recht is het strafbare feit niets anders date en feit, dat in oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in omschreven . Memang beliau mengatakan, bahwa menurut teori, strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. 4. Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana : a. Perbuatan manusia b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang syarat formil c. Bersifat melawan hukum syarat materiil Syarat formil itu harus ada, karena adanya azas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHP. Syarat materiil itu harus pula ada, Karena perbuatan itu harus pula betul - betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan karena bertentangan dengan atau menghambat akan 54 Ibid, Hal 42 - 43 Universitas Sumatera Utara tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita – citakan dan kemampuan bertanggung jawab dari sipembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal – hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. 4. Batasan tindak pidana menurut Tresna bahwa : 55 Unsur-unsur tindak pidana menurut Tresna sebagai berikut : “Suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana bilamana perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam undang-undang yang bersangkuatan, sedangkan segi materiilnya, perbuatan tersebut haruslah betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu perbuatan yang tidak patut dilakukan.” Berdasarkan uraian diatas bahwa suatu tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam oleh undang-undang juga perbuatan tersebut menurut perasaan masyarakat sangatlah tidak patut dan tercela yang tidak perlu dilakukan karena jika dilakukan dapat dikenakan sanksi pidana. Untuk mengetahui bahwa suatu perbuatan dapat dipidana atau tidak dapat dilihat apakah unsur-unsurnya sudah terpenuhi atau tidak, berdasarkan batasan yang dikemukakan Tresna, bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur. 56 a. Harus ada perbuatan manusia; b. Perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum, maksudnya adalah bahwa kalau seseorang itu dituduh atau disangka melakukan suatu tindak pidana, unsur-unsur dalam pasal yang dilanggar haruslah terpenuhi semuanya, kalau salah satu dari unsurnya tidak terpenuhi 55 Tresna, Ibid, hlm 60. 56 Tresna, Ibid, hlm 58. Universitas Sumatera Utara maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dalam pasal tersebut; c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat mempertanggungjawabkan, bahwa untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang tidak cukup dilakukannya suatu tindak pidana akan tetapi haruslah pula adanya kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela. Dalam hal ini dikenal asas tiada pidana tanpa kesalahan atau geen straf zonder schuld atau unless the mind is quality; d. Perbuatan itu haruslah bertentangan dengan hukum; e. Terhadap perbuatan hukum itu haruslah tersedia ancaman hukumnya di dalam undang-undang. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan tindak pidana adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan membuktikan seseorang dapat dipidana atau tidak dengan cara menganalisis bukti-bukti yang ada jika dinyatakan bersalah maka orang tersebut harus menanggung sanksi ancaman pidananya. Unsur-unsur tindak pidana diatas barulah dikatakan sebagai peristiwa pidana apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang dinyatakan oleh R. Abdoel Djamali sebagai berikut : 57 a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang; 57 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993 , hlm 159. Universitas Sumatera Utara b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang- undang, pelakunya telah melakukan suatu kesalahan dan harus dapat mempertanggung jawabkan kesalahannya; c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan, perbuatan itu memang harus dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar suatu ketentuan hukum; d. Harus berlawanan dengan hukum, artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksud kalau tindak pidananya nyata-nyata bertentangan dengan hukum; e. Harus adanya ancaman hukuman dengan kata lain ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya Batasan-batasan diatas telah dikatakan bahwa tidak adanya persamaan pendapat tentang syarat-syarat yang menjadi suatu perbuatan manusia sebagai delik atau tindak pidana, karena dimata hukum semuanya sama maka yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi pidana. B. ASAS – ASAS DAN TUJUAN LALU LINTAS DAN JALAN RAYA Dalam Pasal 2 dan 3 Undang – undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan mengenai asas – asas dan tujuan lalu lintas dan jalan raya dengan memperhatikan: 1. Pasal 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 menyatakan Lalu lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan : 58 58 Lihat di penjelasan Pasal 2 Undang – undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara

a. Asas Transparan

Yang dimaksud asas transparan adalah keterbukaan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada masyarakat luas dalam memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur sehingga masyarakat mempunyai kesempatan berpartisipasi bagi pengembangan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

b. Asas Akuntabel

Yang dimaksud dengan asas akuntabel adalah penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat dipertanggungjawabkan.

c. Asas Berkelanjutan

Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan adalah penjaminan kualitas fungsi lingkungan melalui pengaturan persyaratan teknis laik kendaraan dan rencana umum pembangunan serta pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

d. Asas Partisipatif

Adapun yang dimaksud dengan asas partisipatif adalah pengaturan peran serta masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, penanganan kecelakaan, dan pelaporan atas peristiwa yang terkait dengan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

e. Asas Bermanfaat

Yang dimaksud dengan asas bermanfaat adalah semua kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat memberikan nilai tambah sebesar-besarnya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Universitas Sumatera Utara

f. Asas Efesien dan Efektif

Yang dimaksud dengan asas efesien dan efektif adalah pelayanan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh setiap pembina pada jenjang pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.

g. Asas Seimbang

yang dimaksud dengan asas seimbang adalah penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang harus dilaksanakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana serta pemenuhan hak dan kewajiban Pengguna Jasa dan penyelenggara.

h. Asas Terpadu

Yang dimaksud dengan asas terpadu adalah penyelenggaraan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan dengan mengutamakan keserasian dan kesaling bergantungan kewenangan dan tanggung jawab antar instansi pembina.

i. Asas Mandiri

Yang dimaksud dengan asas mandiri adalah upaya penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan melalui pengembangan dan pemberdayaan sumber daya nasional. 2. Pasal 3 Undang – undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adapun diselenggarakan Tujuan lalu lintas dan jalan raya adalah: a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk Universitas Sumatera Utara mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Asas – asas dan tujuan diatas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penegakan hukum terhadap Undang – undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Apabila asas – asas tersebut dijalankan dengan maksimal maka tujuan dari undang – undang ini akan terlaksana dengan baik. C. Peranan Undang – undang No 22 Tahun 2009 dalam Perlindungan Penumpang Akibat Lalainya Pengemudi. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. Sejak berlakunya Undang – undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maka diharapkan dapat membantu mewujudkan kepastian hukum bagi pihak – pihak yang terkait dengan penyelenggarakan jasa angkutan, Universitas Sumatera Utara baik itu pengusaha angkutan, pekerja sopir pengemudi serta penumpang. Pengemudi dalam menjalankan tugasnya mempunyai tanggung jawab untuk dapat melaksanakan kewajibannya yaitu mengangkut penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat, artinya dalam proses pemindahan tersebut dari suatu tempat ke tempat tujuan dapat berlangsung tanpa hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya, luka, sakit maupun meninggal dunia. 59 59 Ridha Rahmatan Hafis, Skripsi, Kajian Hukum Terhadap Kelalaian Pengemudi yang Mengakibatkan Korban Jiwa Dalam Lalu Lintas dan Jalan Raya, Medan: Fakultas Hukum USU , Hal 24 Pada Undang – undang No 22 tahun 2009 terdapat pengaturan – pengaturan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan maupun hal – hal lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi penumpang, hal itu diatur dalam Pasal 77 ayat 1 Undang – undang No. 22 Tahun 2009 yaitu ”Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”. Namun pada kenyataannya masih ada pengemudi yang melakukan tindakan yang dinilai dapat menimbulkan kerugian pada penumpang, baik itu kerugian materill maupun kerugian immateril, seperti kekecewaan dan ketidaknyamanan yang dirasahkan oleh penumpang, misalnya ada tindakan pengemudi yang mengemudi secara tidak wajar dalam arti menjalankan tugasnya sipengemudi dipengaruhi oleh keadaan sakit, lelah, meminum sesuatu yang dapat mempengaruhi kemampuannya mengemudikan kendaraan segala ugal – ugalan sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan dan penumpang menjadi korban. Universitas Sumatera Utara D. Syarat – syarat Pengemudi Berdasarkan Undang – Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pada Pasal 1 ayat 23 Undang – undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatakan Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. Dalam Pasal 77 ayat 1 Undang-undang No. 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur bahwa setiap orang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki surat Izin Mengemudi SIM sesuai dengan jenis kendaraan yang dikemudikan. Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas 2 dua jenis : a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perorangan; dan b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum. Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi SIM, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri. Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikut i pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum. Pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan. 60 60 Pasal 77 ayat, 3,4,5 Undang – undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pada Pasal 81 Undang – Undang No 22 Tahun 2009, untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 setiap orang harus memenuhi persyaratan Universitas Sumatera Utara usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Adapun persyaratannya sebagai berikut: 61 a. Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditentukan paling rendah sebagai berikut: 1. Usia 17 tujuh belas tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D; 2. Usia 20 dua puluh tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan 3. Usia 21 dua puluh satu tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II. b. Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: 1. Identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk; 2. Pengisian formulir permohonan; dan 3. Rumusan sidik jari. c. Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: 1. Sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan 2. Sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis. d. Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: 1. Ujian teori; 2. Ujian praktik; danatau 3. Ujian keterampilan melalui simulator. Surat izin mengemudi berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain, berlaku 5 lima tahun dan dapat diperpanjang. Surat Izin mengemudi ini berlaku diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal terdapat perjanjian 61 Pasal 81 ayat 2-5 Undang – undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara bilateral atau multilateral antar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Negara lain, Surat Izin mengemudi yang diterbitkan di Indonesia dapat berlaku pula di Negara lain dan Surat Izin mengemudi yang diterbitkan oleh Negara lain juga dapat berlaku di Indonesia. Pemegang Surat Izin Mengemudi Internasional yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia .62 Adapun Surat Izin Mengemudi ini berfungsi sebagai kompetensi mengemudi dan registrasi Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap pengemudi. Data pada pengemudi dapat digunakan untuk penyelidikan, penyidikan, dan idenfikasi keperluan forensik kepolisian . Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus. Syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 20 dua puluh tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum; b. usia 22 dua puluh dua tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan c. usia 23 dua puluh tiga tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum. 63 62 Pasal 85 Undang – undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 63 Pasal 86 Undang – undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara

E. Hasil Wawancara dengan Satlantas Medan dan Hakim yang Mengadili Perkara

Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)

0 73 91

Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Restorative Justice Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus 3969/Pid.B/2010/Pn-Medan)

4 92 92

Kendala Penyidikan Tindak Pidana Kelalaian (CULPA) pada Perkara Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan matinya Korban (Studi pada POLDASU)

2 95 81

Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.854 /Pid.B/2012/Pn.Mdn )

2 81 84

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Analisis Putusan Sanksi Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)

18 209 106

Analisis Yuridis Atas Perbuatan Notaris Yang Menimbulkan Delik-Delik Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan NO. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 60 119

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Kurir Narkotika dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Perkara Nomor 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )

3 111 106

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 81 147

Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

0 1 100