Telah dikenal beberapa jenis pemeriksaan komersil PCT dengan sensitifitas yang berbeda-beda, seperti ILMA immunoluminometric assayLIA; sensitifitas 0,3
ngmlCairn C dkk, 2010, BRAHMS PCT-Q sensitifitasnya 0,5 ngml Muller B dkk, 2007; Schuetz P dkk, 2011, VIDAS BRAHMS PCT sensitifitas 0,09 Cairn C
dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2011, BRAHMS PCT KRYPTOR rentang 0,02-5000 ngmlMuller B dkk, 2007; Irwin AD dkk, 2011, Elecsys BRAHMS PCT rentang
0,02-100 ngml Irwin AD dkk, 2011 yang menggunakan alat berbeda-beda namun dengan metode deteksi yang sama sandwich principle. Pada pemeriksaan ini, antibody
pertama akan berikatan secara spesifik dengan katalcin dan terikat di suatu coated tube tabung yang dilapisi sedangkan antibody kedua akan berikatan dengan terminal
dari molekul calcitonin. Antibodi kedua ini akan dilabel dengan luminescent tracer dan akan berikatan dengan tabung yang sudah mengikat CCP-1 calcitonin peptide-I.
Pengukuran kadar PCT selanjutnya dilakukan dengan luminometer yang akan menerima signal dari antibody yang terikat luminescent tracer. Teknik pengukuran
yang berlapis ini disebut metode sandwich Schuetz P dkk, 2011. Dengan bervariasinya teknik maupun alat dalam pengukuran PCT maka
penting untuk mengetahui apa yang digunakan sebelum interpretasi hasil dilakukan. Penggunaan PCT-Q, dengan nilai ambang terendah 0,5 ngml, angka ini masih 10 kali
lipat dari nilai normal PCT dan cukup banyak pasien dengan infeksi ringan yang tidak terdeteksi. Demikian juga dengan PCT-ILMALIA, hasilnya tidak dapat dipercaya
jika nilai bilirubin dan trigliserida sangat tinggi. Saat ini, VIDA PCT dengan mampu mendeteksi nilai PCT terendah 0,09 ngml dan PCT KRYPTOR dan Elecsys
merupakan uji yang paling sensitive dan akurat Schuetz P dkk, 2011. Sebelum memilih alat uji perlu diperhitungkan kondisi klinis yang dihadapi
seperti :
a. Fokus Infeksi
Infeksi saluran nafas, meningitis, infeksi intra abdomen, pancreatitis, dll. Setiap fokusnya infeksi memiliki perbedaan nilai PCT yang diharapkan.
Infeksi yang sifatnya terlokalisir umunya juga menghasilkan nilai PCT yang lebih rendah Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2011.
7
Universitas Sumatera Utara
b. Immunosupresi
Infeksi bakteri pada penderita HIV akan meningkatkan kadar PCT, namun nilainya tidak akan meningkat tajam dibanding pasien dengan HIV negative
Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009. Penggunaan steroid tampaknya tidak mempengaruhi PCT Cairn C dkk, 2010.
c. Usia
Pada periode neonatus kadar PCT akan sangat tinggi. Pada anak-anak batasan kadar PCT belum jelas. Terdapat beberapa bukti bahwa kadar PCT rendah
pada usia lanjut Cairn C dkk, 2010; Schuetz P dkk, 2009. 2.3. Peran PCT dalam Diagnostik
Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan
keunggulan PCT dengan sensitivitas 85 Vs 78 dan spesifisitas 83 Vs 60. PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus
Christ Crain M dkk, 2010. Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan
bahwa dengan nilai cut off PCT 0,25 ngml maka PK berat sudah dapat disingkirkan
Christ Crain M dkk, 2006; Christ Crain M dkk, 2010; Gilbert DN dkk, 2010.
Sejak Pasteur dan Sternberg berhasil mengkultur peneumococcus dari darah pada tahun 1881dan Christian Gram berhasil mewarnainya 5 tahun kemudian, dalam
diagnosis pneumonia dibutuhkan pembuktian kuman sehingga pengobatan dapat berdasarkan kuman penyebab Gilbert DN dkk, 2010. Hingga saat ini, meskipun
fasilitas identifikasi kuman yang sudah maju, sebanyak 70 pasien yang terdiagnosis pneumonia komunitas dari radiologik tidak dijumpai kuman penyebab. Keadaan ini
selanjutnya akan mempersulit keputusan klinisi untuk memulai antibiotik. Dalam keadaan ini studi oleh Christ Crain dkk memberi batasan kadar PCT
≥0,25 ngml mengindikasikan penyebab bakteri dan dapat dimulai dengan pemberian antimikroba
Summah H dkk, 2009; Gilbert DN dkk, 2010. Gambar 2.3.1.
8
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006
Gambar 2.3.1. Manfaat Procalsitonin Pada Infeksi Saluran Nafas Bawah 2.4 PCT dalam menentukan prognostik
Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan
komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Boevic dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI Lim WS
dkk, 2009. Sebagai alat prognostik, studi oleh huang dkk melibatkan 2000 penderita
PK yang diketahui dari klinis dan radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama.
Juga dilakukan stratifikasi derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index dan CURB-65. Hasilnya didapatkan juga kadar PCT 0,1 ngml memilki angka
kematian hari ke 30 dan ke 90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada grup IV dan V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB-65
≥ 3. Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik kadar PCT lebih baik
dibandingkan dari PSI dan CURB-65 clinical scoring systemLim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007.
9
Universitas Sumatera Utara
Pada studi Masia dkk, PCT dihubungkan dengan skor PSI derajat keparahan pneumonia. Pada penderita PSI yang rendah PSI kelas I-II, PCT ternyata dapat
memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada pneumonia bakteri dibanding dengan non-bakteri. Pada penderita dengan PSI yang
tinggi PSI kelas III-IV PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding dengan diagnostic Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007; Queroll Ribelles JM dkk,
2004. Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan antara PCT dengan dengan skor prognostik seperti PSI dan CURB-65 mendorong
Kruger dkk melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama
dengan skor CRB 65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Pada studi ini
didapati kadar PCT ≤ 0,228 ngml pada awal pasien masuk memiliki resiko kematian
yang rendah akibat PK. Temuan ini hampir mendekati angka yang didapatkan oleh Christ Crains dkk
≤0,25 ngml Queroll Ribelles JM dkk, 2004. Dalam studi retrospektif mendapatkan kadar PCT 1,5 ngml pada pasien PK yang terinfeksi
Legionella sp memiliki resiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU yang cukup tinggi Schuetz P dkk, 2009.
Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, leukosit dengan PCT dalam menilai resiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang
lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang selamat, tidak dijumpai rentang range PCT yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan
derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar Schuetz P dkk, 2009.
Peran PCT sebagai prognostik pneumonia tidak hanya pada PK. Di Indonesia, Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan Lipopolysaccharide-
Binding Protein LBP sebagai prognostik pasien dengan ventilator associated pneumonia VAP yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT
lebih sensitive dibanding LBP 80-81,3 VS 60-73 dalam menentukan kematian pasien VAP, akan tetapi keduanya memilki spesifisitas yang rendah 25-30.
Disimpulkan bahwa peningkatan PCT dapat menjadi petunjuk adanya respon tubuh 10
Universitas Sumatera Utara
terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan oleh sel alveoli tipe 2 lebih menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua
biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5-96,3 dengan spesifisitas 53,2-66,7 untuk menentukkan prognostik pasien VAP Jung DY
dkk, 2008. 2.5 Skor Klinis Pasien
Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI, CURB-65,
modified ATS m-ATS dsb. Skor PSI Tabel 2.5.1 diperkenalkan pada tahun 1997 yang melibatkan 50.000 penderita pneumonia . Skor ini terdiri atas beberapa variabel
klinik yang membagi pasien menjadi 5 tingkatan berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari klas I= 0,1 – 0,4; klas II= 0,6 -0,7; klas III= 0,9 – 2,8; klas IV= 4 –
10; klas V: 27. Skor PSI menunjukkan kemampuan prediksi yang baik dengan AUC: 0,74 -0,83 dan direkomendasikan pemakaiannya oleh American Thoracic
Society ATS dan Infectious Disease Society of America IDSA. Akan tetapi, terlalu
kompleks dan banyaknya variabel yang harus dinilai membuat system skor ini tidak praktis digunakan dalam klinik sehari-hari Singanayam dkk, 2009; Mandel LA dkk,
2007. Skor CURB-65 diperkenalkan oleh British Thoracic Society BTS pada tahun
2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang dihubungkan dengan resiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori
skor kematian yang rendah dimana skor 0 = 0,7 dan skor 1 = 3,2. Skor 2 = 13 masuk kategori kematian sedang dan skor3 masuk dalam skor kematian tinggi 3 =
17, 4=41,5 dan 5 = 57. Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan prediksi yaitu dengan AUC : 0,73-0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel
yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang terbaru menyadari kompleksisitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan
CURB-65 Singanayam dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007.
11
Universitas Sumatera Utara
Baik skor PSI dan CURB-65 sama-sama memilki kelemahan yang sama, yaitu masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan
CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan performa
yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC : 0,69-0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti
pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji Singanayam A dkk, 2009; Bont J dkk, 2008.
Tabel 2.5.1.Pneumonia Severity Index PSI
Sumber : NEJM, 1997
12
Universitas Sumatera Utara
Selain petanda inflamasi, system koagulasi juga dikatakan memiliki potensi dalam menilai resiko kematian penderita PK. Aktifasi system koagulasi dan aktifitas
fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat Christ Crain M dkk, 2010. Querol-Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma D-
dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi 3.786 VS 1.609 ngml
dengan p0,00001. Selain itu, didapatkan juga hubungan linear antara D-dimer dengan skor PSI Querol-Ribelles dkk, 2004.
2.6. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10
dari penderita harus dirawat di ICU Intensive Care Unit. Pada PK yang dirawat jalan mortalitas diperkirakan 5, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas
meningkat hingga 12 dan akan semakin meningkat menjadi 22 jika pasien dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat PK
berat yang ditandai dengan adanya disfungsi organ Laterre PF dkk, 2005. Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana
lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah
leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ American
College of Chest Physician, 1992. Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician ACCP
and The Society for Critical Care Medicine SCCM Consensus Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu consensus dengan
defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome SIRS, sepsis
berat dan syok sepsis dibawah ini : - Bakteremia : ditemukan bakteri didalam darah, dibuktikan dengan biakan.
13
Universitas Sumatera Utara
- SIRS : manifestasi klinis inflamasi sistemik yang dapat merupakan respon
infeksi mis. Sepsis atau non infeksi mis luka bakar, pancreatitis, ditandai 2 atau lebih tanda sebagai berikut :
1. Temp : 38 C atau kurang dari 36
C 2. Denyut nadi 90xmenit
3. Respirasi 20xmenit atau PaCO
2
32 mmHg 4. Leukosit darah 12.000mm
3,
4000 mm
3
atau netrofil batang 10
- Sepsis : infeksi disertai dengan SIRS.
- Sepsis berat : sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi yang meliputi asidosis laktat, oliguria atau perubahan akut status mental.
- Syok sepsis : syndrome sepsis yang disertai dengan hipotensi. - Hipotensi : tek darah 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tek.darah normal
pasien - Multiple Organ Dysfunction syndrome : disfungsi lebih dari 1 organ atau lebih,
memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis. Dremsizov dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam
memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang didapat antara lain 50 dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain
itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya
PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi organ Dremsizov dkk, 2006.
14
Universitas Sumatera Utara
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL