Metodologi Penelitian
F. Metodologi Penelitian
1. Tipe dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Deskriptif kualitatif semata-mata mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan
atau karakteristik sekelompok manusia, benda, atau peristiwa. 80 Penelitian deskriptif hanya memaparkan dan memberi gambaran atas suatu peristiwa
atau kajian semata. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan, ada empat tujuan menggunakan
penelitian deskriptif, yakni: 81
a. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada
b. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek- praktek yang berlaku
80 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal: 27
81 Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, Metode Penelitian Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 1991, hal: 25 81 Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, Metode Penelitian Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 1991, hal: 25
d. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menerapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang
Sedang penelitian kualitatif, menurut John W Creswell, adalah suatu proses penyelidikan berdasarkan tradisi penyelidikan yang jelas untuk memahami permasalahan sosial. Penelitian ini membentuk gambaran holistik, menuliskan analisa, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan
disusun dalam sebuah latar ilmiah 82 . Penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk memberikan penjelasan
(explanation), mengontrol gejala komunikasi, mengemukakan prediksi, atau untuk menguji teori apapun, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan atau pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu
gejala atau realitas komunikasi terjadi. 83 Penelitian menggunakan metode kualitatif menekankan pada pendekatan induktif atau khusus ke umum.
Penelitian ini menggunakan pisau analisis framing yang merupakan bentuk pendekatan analisis isi kualitatif. Penelitian menggunakan analisis framing berkenaan dengan penyajian pesan oleh (atau melalui) media massa di satu sisi (media frame) dan penerimaan pesan oleh individu khalayak disisi
lain (audience frame) 84 . Dalam penelitian ini, Harian Kompas (media frame)
82 John W Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, SAGE Publications, California, 1998, hal: 15
83 Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hal: 35 84 Ibid, hal: 185-186 83 Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hal: 35 84 Ibid, hal: 185-186
Variabel independen merupakan variabel sebab atau sesuatu yang mengkondisikan terjadinya perubahan dalam variabel lain. Sedangkan variabel dependen adalah variabel yang merespons perubahan dalam variabel
independen. 85 Menempatkan Kompas sebagai variabel independen berarti meyakini bahwa pemberitaan dan bingkai yang dibentuk Kompas memiliki
pengaruh terhadap pembentukan bingkai khalayak pembacanya.
2. Obyek Penelitian
Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah berita yang dimuat Harian Kompas tentang Munas Partai Golkar ke VIII pada periode bulan Oktober 2009 sebanyak 10 berita. Alasan pemilihan periode waktu bulan Oktober 2009 disebabkan karena Munas Partai Golkar VIII dilaksanakan pada tanggal 5-8 Oktober dan Kompas secara berkesinambungan memberikan sajian berita tentang perkembangan munas setiap harinya.
Sedangkan alasan pemilihan media Kompas karena Harian Kompas secara kontinyu memberikan porsi pemberitaan dan pembahasan yang cukup besar terhadap isu politik ini. Bahkan pada saat pelaksanaan munas, Kompas memberikan halaman khusus. Kompas juga dikenal memiliki ideologi moderat–hampir mirip dengan ideologi Partai Golkar–serta menjadi referensi surat kabar nomor satu di Indonesia.
85 Ulber Silalahi, Op.Cit, hal: 133
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan dua cara, yaitu:
a. Data Primer Data primer merupakan teks berita Harian Kompas yang dipilih peneliti sesuai dengan tema yang telah ditetapkan. Selain itu, data primer juga diperoleh dengan cara wawancara mendalam (depth interview) dengan pihak Kompas yang berhubungan langsung dengan berita pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII serta pembaca Kompas (audience). Dalam depth interview atau wawancara mendalam, pewawancara relatif tidak memiliki kontrol atas respon
informan, artinya informan bebas memberikan jawaban 86 .
b. Data Sekunder Data sekunder merupakan pengumpulan data yang diperoleh dengan mengutip sumber lain untuk melengkapi sumber primer. Sedangkan data sekunder dapat berupa artikel-artikel atau pemberitaan di berbagai media massa ataupun buku-buku referensi dan sebagainya.
4. Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoritis yang digunakan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan menggunakan teknik purposive sampling . Pusposive sampling atau pemilihan sampel bertujuan
86 Rachmat Kriyantono S.Sos M.Si, Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal: 98 86 Rachmat Kriyantono S.Sos M.Si, Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal: 98
Berita yang diteliti berjumlah 10 berita dari total 22 berita mengenai Munas Partai Golkar ke VIII yang dimuat pada bulan Oktober 2009. Peneliti menentukan tema utama dari ke-22 berita tersebut kemudian mengkategorikannya dalam lima sub tema. Setelah itu, tanpa bermaksud untuk membuat generalisasi, peneliti memilih 10 berita yang paling menonjol frame beritanya serta paling banyak dibaca oleh responden penelitian ini, untuk dianalisis lebih lanjut berdasarkan sub tema yang telah ditentukan.
Pihak Kompas yang dipilih adalah wartawan politik dan hukum Harian Kompas yang meliput secara langsung pelaksanaan munas dan beritanya paling banyak dimuat, yakni Sutta Dharmasaputra dan Suhartono. Sedangkan khalayak pembaca yang dipilih adalah kategori khalayak intelek yang pernah membaca Harian Kompas dalam pemberitaan Munas Partai Golkar VIII. Peneliti memilih pembaca Kompas yang memiliki pemahaman yang baik mengenai isu tersebut. Hal ini dimaksudkan agar hasil wawancara sesuai kebutuhan penelitian. Responden penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut.
87 Ulber Silalahi, Op.Cit hal: 272
Tabel 1.2 Daftar Responden Penelitian
No Nama Lengkap
Usia
Pekerjaan
1 Eko Setyawan
3 Kisbandi Virdha Kurniawan
24 Mahasiswa
4 Ertika Nanda
22 Mahasiswa
5 Rorie Asya’ari
22 Pembawa Berita/Mhswa
6 Haris Firdaus
23 Fresh graduate
7 Paramita Sari
22 Guru Jurnalistik/Mhswa
8 Joni Rusdiana
26 Mahasiswa S2
5. Teknik Analisa Data
Analisis data kualitatif digunakan bila data-data yang terkumpul dalam riset adalah data kualitatif, dan riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berpikir induktif yakni cara berpikir yang berangkat dari hal-hal yang
khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). 88 Pada dasarnya, analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif dikembangkan
dengan maksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap data, menafsirkan (interpreting) atau mentransformasikan (transforming) data ke dalam bentuk narasi yang kemudian mengarah pada temuan yang bernuansakan proposisi-proposisi ilmiah yang akhirnya sampai pada
kesimpulan. 89 Penelitian ini menggunakan teknik analisa data interaktif model Miles
dan Huberman. Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisa data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
88 Op.Cit, hal: 192 89 Pawito, Ph.D, Op.cit, hal: 101 88 Op.Cit, hal: 192 89 Pawito, Ph.D, Op.cit, hal: 101
display (penyajian data), dan conclusion drawing/verification (pengujian kesimpulan).
Gambar 1.2
Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman 91
Data Collection
Data display
Data reduction
Conclusion drawing/verifying
1. Data reduction (reduksi data) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, menfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
92 polanya. 93 Menurut Pawito, ada tiga tahap dalam reduksi data. Pertama, langkah-langkah editing, pengelompokan, dan meringkas
data. Kedua, menyusun kode-kode dan catatan mengenai berbagai aktivitas dan proses sehingga dapat ditemukan tema, kelompok dan pola data. Ketiga, menyusun rancangan konsep-konsep serta penjelasan berkenaan dengan tema, kelompok, dan pola data.
90 Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2008, hal: 246
91 Ibid, hal: 247 92 Ibid 93 Pawito, Ph.D, Op.Cit, hal: 104-105
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan semua berita politik di Harian Kompas periode bulan Oktober 2009, kemudian memilih berita yang berhubungan dengan Munas Partai Golkar. Setelah berita terkumpul, peneliti meringkas tema dan frame berita secara umum dari masing-masing berita kemudian membaginya dalam sub-sub tema. Setelah sub tema terbentuk, peneliti membuat interview guide sebagai panduan wawancara pihak media dan responden.
Untuk pihak media dan responden berita, setelah peneliti melakukan wawancara dan melakukan rekap hasilnya, peneliti mengelompokkan jawaban responden ke dalam poin-poin sub tema yang telah ditentukan. Peneliti juga memberikan kode pada jawaban atau respon yang hampir sama dari masing-masing responden.
2. Data display (penyajian data) Penyajian data melibatkan langkah-langkah mengorganisasikan data, yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan (kelompok) data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar
dilibatkan dalam satu kesatuan. 94 Penyajian data ini dapat berupa tabel, grafik, pictogram, diagram, matrik, dan sebagainya disertai dengan
narasi teks. Setelah data direduksi, peneliti menggabungkan frame berita dengan hasil wawancara dengan pihak media dan serta wawancara dengan responden (audience) melalui narasi teks. Analisa
94 Ibid, hal: 106 94 Ibid, hal: 106
3. Conclusion drawing/verification (pengujian kesimpulan) Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih
remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas. 95 Pengujian kesimpulan dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip
induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau kecenderungan dari display data yang telah dibuat. 96 Setelah masing-
masing analisis dijabarkan dalam penyajian data, selanjutnya peneliti menggabungkan kedua analisis (antara analisis frame media dan frame audience ), melihat persamaan, dan perbedaan keduanya. Setelah kesimpulan didapatkan, peneliti menguji kesimpulan ini dengan rumusan masalah yang dibuat pada awal penelitian.
Untuk mencari frame media, peneliti menggunakan pendekatan model Pan dan Kosicki. Ada empat perangkat framing pada model Pan dan Kosicki yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Kecenderungan dan kecondongan wartawan dalam memahami suatu peristiwa dapat diamati dari keempat struktur tersebut.
95 Prof. Dr. Sugiyono, Op.Cit, hal: 253 96 Pawito, Ph.D, Op.Cit
Untuk lebih jelasnya mengenai model framing dari Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki dapat dilihat dari tabel berikut: 97
Tabel 1.3 Kerangka Framing Pan dan Kosicki
Unit Yang Diamati Sintaksi
Struktur
Perangkat Framing
1. skema berita
Headline
Cara wartawan
Lead
menusun fakta Latar informasi Kutipan Sumber Pernyataan Penutup
Skrip
What (Apa) Cara wartawan
2. Kelengkapan berita
Who (Siapa) mengisahkan fakta
Where (Dimana) When (Kapan) Why (Kenapa) How (Bagaimana)
Tematik
Detail paragraf, proposisi, Cara wartawan
3. Detail
dan kalimat menulis fakta
4. Koherensi
5. Bentuk kalimat
Maksud dan hubungan
6. Kata ganti
antar kalimat Nominalisasi antar kalimat Koherensi Bentuk kalimat Kata ganti
Retoris
Leksikon/ pilihan kata Cara wartawan
Metafor Gambar/ foto/ grafis Pengandaian
97 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 256
Sintaksis, adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita: headline , lead, latar informasi, sumber, penutup dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Bentuk sintaksis yang paling populer adalah struktur piramida terbalik yang dimulai dengan judul headline, lead, episode, latar dan penutup. Dalam bentuk piramida terbalik, bagian atas lebih penting dibandingkan dengan bagian bawahnya. Headline merupakan berita yang dijadikan topik utama media, sedang Lead (teras berita) merupakan paragraf pembuka dari sebuah berita yang biasanya mengandung kepentingan lebih tinggi. Struktur ini sangat tergantung pada ideologi peneliti terhadap peristiwa.
Skrip, dalam struktur ini dilihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai oleh wartawan dalam mengemas berita. Bentuk umum dari struktur skrip adalah pola 5 W + 1 H – What (Apa), Who (Siapa), Where (Dimana), When (Kapan), Why (Kenapa), How (Bagaimana). Meskipun pola ini tidak selalu ada dalam setiap berita, kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda framing. Skrip memberi tekanan mana yang didahulukan, dan mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol.
Tematik. Bagi Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis: peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip dan pernyataan yang diungkapkan, itu digunakan untuk membuat dukungan yang logis bagi Tematik. Bagi Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis: peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip dan pernyataan yang diungkapkan, itu digunakan untuk membuat dukungan yang logis bagi
a. Detail, berhubungan dengan kontrol informasi oleh komunikator, komunikator ingin menonjolkan atau mengurangi informasi tertentu yang menguntungkan.
b. Koherensi, yaitu pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau proposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi. Bentuk kalimat, yaitu bagaimana wartawan memilih bentuk kalimat yang digunakan, apakah kalimat aktif, pasif, kalimat majemuk, dsb.
c. Kata ganti, dapat digunakan untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan imajinasi.
Retoris. Struktur retoris dari wacara berita menggambarkan pilihan gaya atau kata wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari berita. Struktur retoris dari wacara berita menunjukkan kecenderungan bahwa yang disampaikan tersebut adalah sebuah kebenaran.
Ada beberapa elemen struktur retoris yang dipakai oleh wartawan. Yang paling penting adalah leksikon, pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa. Selain lewat kata, penekanan pesan dapat berita juga dapat dilakukan dengan unsur grafis. Grafis biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Bagian-bagian yang menonjol ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut.
Penelitian ini menggunakan orientasi media frame sebagai variabel independen dan audience frame sebagai variabel dependen, maka penelitian ini meletakkan fokus penelitian pada unsur berikut:
a. Media frame sebagai variabel independen · Bagaimana bentuk frame media yang mempengaruhi persepsi
khalayak dari sebuah wacana? · Bagaimana proses pembentukan frame tersebut bekerja?
b. Audience frame sebagai variabel dependen · Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan frame individu?
· Apakah frame individu sama dengan frame media? · Bagaimana cara individu dalam mengkonstruksi atau menolak frame
media?
6. Validitas Data
Validitas data dalam penelitian kualitatif lebih menunjuk pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti. Sedang reliabilitas berkenaan dengan tingkat konsistensi
hasil dari cara pengumpulan data. 98 Salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Triangulasi Data; yakni upaya untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan persoalan
yang sama. 99 Triangulasi data yang dipakai dalam penelitian ini antara lain teks berita Munas Partai Golkar ke VIII yang telah dikonversikan
dalam bentuk narasi, transkip depth interview dengan pihak Harian Kompas, serta transkip depth interview dengan pembaca Kompas
b. Triangulasi Teori; yakni penggunaan perspektif teori yang bervariasi dalam menginterpretasi data yang sama. 100 Pada penelitian ini,
berbagai teori telah dijelaskan pada telaah pustaka untuk dipergunakan dalam menganalisis penelitian. Teori yang dipakai antara lain teori tentang partai politik, teori tentang media massa, teori tentang efek media massa terhadap audience, serta teori mengenai analisa framing sebagai bagian dari paradigma konstruktivisme.
98 Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2007, hal: 97 99 Ibid, hal: 99
100 Ibid, hal: 100
7. Kerangka Penelitian
Untuk mempermudah proses penelitian ini, diperlukan kerangka pikiran yang menjadi rambu atau batasan penelitian berdasarkan pada teori- teori yang telah disampaikan pada bahasan sebelumnya. Kerangka pikir mempermudah peneliti untuk melihat sudut-sudut pembahasan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Gambar 1.3
Kerangka Berpikir 101
Ideologi, nilai, kepercayaan
Faktor lain: penggunaan personal
media lain, intensitas,
aktivitas, dll
Munas Golkar Liputan
Audience ke VIII
untuk khalayak frame tentang Kompas
Berita
(surat kabar)
Partai Golkar
Nilai dan Ideologi, visi
Media
Kepercayaan personal misi media
frame
massa
101 Olahan Peneliti
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A. Partai Golongan Karya (Golkar)
1. Sejarah dan Perkembangan Partai Golkar
Partai Golkar didirikan pada 20 Oktober 1964 oleh golongan militer, yakni Angkatan Darat Republik Indonesia untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sangat kuat. Ketika awal berdiri, organisasi ini bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya atau disingkat dengan nama Sekber Golkar. Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional yang tidak berada pada pengaruh politik tertentu, dan terus mengalami peningkatan anggota hingga 291 organisasi. Sekber Golkar pertama kali dipimpin oleh Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono, yang kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.
Organisasi-organisasi yang bernaung dibawah Sekber Golkar kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO) yang diputuskan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas)
I pada Desember 1965 dan Rakornas II pada Nopember 1967, yakni:
1. KINO Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2. KINO Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3. KINO Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4. KINO Organisasi Profesi
5. KINO Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. KINO Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. KINO Gerakan Pembangunan Pada 4 februari 1970 Sekber Golkar memutuskan untuk menjadi salah satu
organisasi peserta Pemilu 1971 dengan mengganti namanya menjadi Golongan Karya (Golkar). Perubahan nama ini diputuskan secara formal pada Musyawarah Sekber Golkar pada 17 Juli 1971 dan dikukuhkan kembali pada Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya, 4-10 September 1973. Pada saat itu, Golkar telah menggunakan lambang pohon beringin sebagai logo organisasinya. Logo yang menjadi tanda gambar Golkar tersebut tetap dipertahankan sampai sekarang.
Pada Pemilu 1971 Golkar berhasil menjadi kuda hitam dengan memenangkan Pemilu dengan jumlah 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Golkar berhasil mengungguli partai-partai besar seperti Nahdhatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Parmusi dan Murba. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh, sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh
kursi DPR. 102 Selanjutnya dari Pemilu ke Pemilu sejak tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 GOLKAR terus menerus berhasil mengemban kepercayaan
rakyat dengan memperoleh kemenangan sebagai mayoritas tunggal. 103 Kemenangan Golkar dalam pemilu secara kontinyu ini dimungkinkan
salah satunya karena adanya peraturan monoloyalitas PNS pada masa
102 http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Golongan_Karya akses tanggal 16 Nopember 2009 pukul
103 www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04 103 www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar 104 . Peraturan monoloyalitas PNS diatur dalam Undang-Undang (UU) No.6 Tahun 1970 pada 11 Februari
1970. Kebijakan ini disusul dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 1975 tentang masa mengambang (floating mass) yang membatasi gerak partai politik
non-Golkar hanya sampai kecamatan, sementara Golkar lepas dari aturan ini. 105 Golkar pada masa orde baru dikendalikan oleh posisi Dewan Pembina
yang diketuai oleh mantan Presiden Soeharto. Ketua Dewan Pembina Golkar adalah sebuah jabatan yang semenjak Munas II Golkar 1978 di Denpasar Bali
diberikan kedudukan dan otoritas tertinggi dalam organisasi Golkar. 106 Dewan Pembina berwewenang untuk mengatur dan memutuskan kebijakan strategis
Golkar, terutama dengan tiga jalur pengaturan informalnya, yakni jalur A, jalur B, dan jalur G. Jalur A adalah jalur lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk Golkar.
Secara lebih khusus dalam hubungannya dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, ada empat wewenang yang dimiliki oleh Dewan Pembina, yaitu:
a. Wewenang membatalkan kebijaksanaan atau keputusan DPP bilamana dinilai menyimpang dari ketentuan-ketentuan organisasi
b. Wewenang membekukan sementara kepengurusan DPP bilamana mendesak dan mengancam kelangsungan hidup organisasi
c. Wewenang mengundang Munas Luar Biasa
d. Wewenang menyusun komposisi personalia Dewan Pertimbangan dan Dewan Penasihat 107
104 Op.Cit
Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 195
106 Ibid, hal: 47 107 Zulfikar Ghazali, “Golkar dalam Politik Indonesia” dalam Ibid, hal: 200
Pasca pemilu 1997–dimana Golkar menang mutlak dengan jumlah suara 74,5% suara–terjadi pergolakan besar dari mahasiswa terhadap rezim Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Puncaknya pada Mei 1998 terjadi kerusuhan besar dan Soeharto harus rela turun dari jabatan Presiden untuk yang ketujuh kalinya. Jabatan Presiden kemudian diserahkan kepada wakil presiden ketika itu, yakni BJ Habibie.
Tuntutan refomasi utamanya adalah menurunkan Soeharto dari jabatan presiden seumur hidup dan menjatuhkan semua sistem orde baru yang merugikan rakyat. Reformasi juga menuntut adanya pembaharuan undang-undang di bidang politik yang dimasa orde baru hanya menguntungkan Golkar. Akhirnya, ditetapkankanlah undang-undang baru tentang Partai Politik, Pemilihan Umum, dan Susunan dan Kedudukan ke MPR, DPR, dan DPRD.
Meskipun ada desakan yang luar biasa untuk membubarkan Golkar, namun Golkar tetap mampu bertahan dan menegaskan adanya PARADIGMA BARU Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub), 9-11 Juli 1998. Partai Golkar dalam paradigma baru, atau diringkas sebagai Golkar Baru memiliki semboyan: GOLKAR BARU, BERSATU UNTUK MAJU.
Untuk menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan baru, maka Golkar mendeklarasikan perubahan nama partainya menjadi Partai Golkar pada 7 Maret 1999. Perubahan nama ini dimaksudkan untuk melakukan reformasi terhadap tubuh Golkar dan menempatkan diri sebagai partai politik yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan partai politik lain.
Pada Pemilu 1999, perolehan suara Partai Golkar mengalami penurunan menjadi peringkat kedua setelah PDI Perjuangan dengan jumlah 23.741.758 suara atau 22,44%. Hal ini telah diprediksi sebelumnya karena masyarakat sudah antipati dengan keberadaan Partai Golkar. Namun pada Pemilu 2004 Partai Golkar kembali menjadi partai pemenang pemilu dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58%, mengungguli Partai Demokrat, PDIP, PKB, PKS dan PAN.
Kemenangan ini merupakan prestasi tersendiri bagi Partai Golkar pada masa transisi. Akbar Tandjung yang merupakan Ketua Umum Partai Golkar pada periode 1999-2004 dinilai sangat berjasa mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Partai Golkar. Akan tetapi, meski memenangkan pemilu, jumlah suara Partai Golkar sebenarnya terus mengalami penurunan prosentase. Penurunan jumlah suara Partai Golkar yang paling memrihatinkan terjadi pada Pemilu Legislatif 2009 dengan hanya mengantongi suara 14,45%.
Saat ini, Partai Golkar dipimpin oleh Ketua Umum Aburizal Bakrie (2009- 2015) yang terpilih secara aklamasi pada Munas Partai Golkar ke-VIII di Pekanbaru, Riau, 5-9 Oktober 2009. Aburizal Bakrie menang dari calon lain seperti Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dan Yuddy Chrisnandy. Sebelumnya jabatan ini dipegang oleh Muhammad Jusuf Kalla (JK) yang juga menjadi Wakil Presiden pada masa jabatan 2004-2009.
2. 108 Tujuan, Visi, Misi dan Platform Partai Golkar Tujuan Partai Golkar yaitu: Mempertahankan, mengamankan dan
Merupakan pedoman Partai Golkar Periode Kepengurusan 2004-2009. Semua data disarikan dari www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04 Merupakan pedoman Partai Golkar Periode Kepengurusan 2004-2009. Semua data disarikan dari www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
Misi Partai Golkar antara lain: Mempertegas komitmen untuk menyerap, memadukan, mengartikulasikan, dan memperjuangkan aspirasi serta kepentingan rakyat–khususnya kelompok masyarakat yang berada pada posisi marginal yang selama ini kurang mendapat perhatian dan kerap menjadi korban pembangunan– sehingga menjadi kebijakaan politik yang bersifat publik; Melakukan rekruitmen kader yang berkualitas melalui sistem prestasi dan mendapat dukungan rakyat untuk duduk dalam jabatan politik di lembaga permusyawaratan/perwakilan dan permerintahan. Jabatan politik tersebut diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat; serta Meningkatkan proses pendidikan dan komunikasi politik yang dialogos dan partisipatif, yaitu membuka diri terhadap berbagai pikiran, aspirasi dan kritik dari masyarakat.
Visi Partai Golkar, yakni:
1. Partai Golkar adalah Partai Terbuka ( Inklusif) bagi segenap golongan dan lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama, suku, bahasa, dan status sosial ekonomi.
2. Partai Golkar adalah Partai Mandiri yang merupakan organisasi kekuatan sosial politik yang yang mampu mengambil setiap keputusan politik dan 2. Partai Golkar adalah Partai Mandiri yang merupakan organisasi kekuatan sosial politik yang yang mampu mengambil setiap keputusan politik dan
3. Partai Golkar adalah Partai Demokratis. Sebagai partai yang demokratis Partai Golkar senantiasa baik secara internal maupun secara eksternal betul-betul menjadi pelopor tegaknya kehidupan politik yang demokratis dan terbuka.
4. Partai Golkar adalah Partai Moderat. Sebagai partai yang Moderat Partai Golkar senantiasa mengutamakan posisi tengah (moderat) dan tidak berorientasi ke kiri atau ke kanan secara ekstrem.
5. Partai Golkar adalah Partai yang Solid. Sebagai partai yang solid Golkar secara utuh dan kukuh senantiasa berupaya mendayagunakan segenap potensi yang dimilikinya secara sinergis.
6. Partai Golkar adalah Partai yang Mengakar. Sebagai partai yang mengakar Partai Golkar senantiasa mengupayakan agar para anggota dan kadernya tumbuh dan berkembang dari bawah berdasarkan azas prestasi, bukan berdasarkan atas kolusi dan nepotisme.
7. Partai Golkar adalah Partai yang responsif. Sebagai partai yang responsif Partai Golkar senantiasa peka dan tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat, serta konsisten untuk memperjuangkan menjadi keputusan politik yang bersifat publik dan menguntungkan seluruh rakyat tanpa membedakan latar belakang suku, etnis, agam , bahasa, aliran dan kebudayaan.
Platform Partai Golkar , antara lain:
1. Partai Golkar berpijak pada landasan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Partai Golkar baru menolak gagasan negara federal dan setuju dilakukannya pengurangan terhadap kecenderungan sentralisme dalam pengelolaan negara dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah.
2. Partai Golkar berwawasan kebangsaan. Dengan wawasan ini, maka semua potensi bangsa mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang secara optimal, sehingga kelompok minoritas sekalipun akan merasa seperti berada di rmahnya sendiri.
3. Partai Golkar adalah partai majemuk (pluralis). Partai Golkar tidak sependapat dengan pembelahan masyarakat (social fragmentation) berdasarkan sifat primordial dan sektarian. Partai Golkar mengembangkan perspektif fungsi sehingga pendekatan yang dilakukan adalah berorientasi pada program (program oriented) bukan berorientasi ideologi (ideology oriented) .
4. Partai Golkar adalah partai yang komitmen pada demokrasi. Demokrasi yang hendak dibangun adalah Demokrasi Indonesia, yaitu demokrasi yang dilandaskan pada prinsip dan nilai Pancasila.
5. Partai Golkar adalah partai yang berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai upaya mewujudkan salah satu tujuan nasional.
6. Partai Golkar adalah partai yang komitmen pada penegakan hukum, keadilan dan hak-hak asasi manusia.
7. Partai Golkar adalah partai yang senantiasa mendasarkan gerak langkahnya pada nilai-nilai etika dan moralitas berdasarkan ajaran agama.
8. Partai Golkar adalah Partai yang dalam setiap gerak langkahnya senantiasa berpijak pada wawasan pembaharuan dan pembangunan yang telah menjadi sikap dasar Partai Golkar sejak kelahirannya, bahkan menjadi salah satu butir dari nilai-nilai dasar Partai Golkar seperti tercantum dalam Ikrar Panca Bhakti Golongan Karya.
3. Paradigma Lama dan Paradigma Baru
Paradigma baru diusulkan oleh Akbar Tandjung dalam Munaslub Golkar 1998 untuk menggeser paradigma lama yang telah melekat dalam tubuh Partai Golkar. Inti dari paradigma baru adalah mengharapkan Golkar dibangun dengan nilai-nilai baru selaras dengan tuntutan reformasi, dan menjadikan dirinya sebagai partai politik yang terbuka (inklusif), mandiri (independen), demokratis, moderat, solid, mengakar dan responsif dengan melaksanakan fungsi-fungsi partai politik
secara konsisten 109 . Secara umum, perbedaan paradigma lama dan paradigma baru adalah
sebagai berikut.
Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 98
Tabel 2.1 Paradigma Lama dan Baru Partai Golkar
Paradigma Lama
Paradigma Baru
Keterangan
Dewan Pembina memiliki Institusi Dewan Pembina Dewan Pembina diganti kewenangan mutlak
dihapuskan
menjadi Dewan Penasehat yang hanya memberi saran
Pengambilan keputusan Pengambilan keputusan DPD I dan DPD II diberi bersifat top-down dengan bersifat bottom-up. Jalur hak
penuh pada melibatkan jalur ABG
pengambilan keputusan strategis dan Munas Pola rekruitmen pengurus Sistem kaderisasi merit Pemilihan
ABG dihapuskan
pimpinan dipengaruhi
kedekatan system (dedikasi, prestasi, berdasarkan suara dari DPD politis dan nepotisme
loyalitas, dan kecakapan)
Golkar tidak otonom, Golkar bersifat independen Dukungan rakyat adalah terutama dari militer dan dan mandiri
sumber utama kekuatan birokrasi
Golkar Pola
kepemimpinan Kepempinan bersifat Ketua Umum sangat sentralistik. Ketua Umum kolegial
menentukan namun tetap seperti pelaksana keputusan
beradasar mekanisme yang Ketua Dewan Pembina
demokratis Sumber: disarikan dari Akbar Tandjung, 2007.
4. Susunan Kepengurusan
Struktur Organisasi Partai Golkar terdiri dari tingkat Pusat, tingkat Provinsi, tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Kecamatan, dan Tingkat Desa/Kelurahan atau sebutan lainnya yang masing-masing berturut-turut dipimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah Provinsi (DPD tingkat I), Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota (DPD tingkat II), Pimpinan Kecamatan dan Pimpinan Desa/Kelurahan atau sebutan lain.
Berdasarkan hasil Munas Partai Golkar ke VIII, 5-8 Oktober 2009, komposisi dan personalia DPP Partai Golkar 2009-2015 adalah sebagai berikut. Ketua Dewan Pertimbangan
: Akbar Tandjung Ketua Umum
: Aburizal Bakrie Wakil Ketua Umum
: HR Agung Laksono, Theo L Sambuaga
Ketua Bidang Kaderisasi : Hafiz Zawawi Ketua Bidang Organisasi dan Daerah
: Mahyudin Ketua Bidang Hub Eksekutif dan Yudikatif
: HM Rusli Zainal Ketua Bidang Hubungan Legislatif
: Priyo Budi Santoso Ketua Bidang Informasi dan Penggalangan Opini
: Fuad Mansyur Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera
: Andi Achmad Dara Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa & Bali : Sharif Cicip Sutarjo Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Maluku Papua : Freddy Latumahina Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Kalimantan : Ahmadi Nur Supit Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Sulawesi
: Fachri Andi Laluasa Ketua Bidang Perempuan
: Ratu Atut Chosyiah Ketua Bidang Pemuda
: Yorris Raweyay Ketua Bidang Pekerja, Tani dan Nelayan
: Yamin Tawari Ketua Bidang Usaha dan Koperasi : Firman Subagyo
Ketua Bidang Keagamaan dan Kebudayaan : Hajriyanto Thohari Ketua Bidang Kemahasiswaan dan LSM
: Fadel Muhammad Ketua Bidang Kerja Sama Internasional
: Iris Indira Murti Ketua Bidang Pemikiran dan Kajian Kebijakan
: Rizal Mallarangeng Ketua Bidang Pendidikan
: Indra B. Utoyo Ketua Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup
: Ade Komaruddin Ketua Bidang Bidang Penanganan Kerawanan Sosial
: Pontjo Sutowo Ketua Bidang Hukum dan HAM
: Muladi Ketua Bidang Umum
: Rully Chairul Azwar Ketua Bidang Khusus
: Nurdin Halid
Sekjen
: Idrus Marham
Wasekjen : Harry Azhar Azis, Musfihin Dahlan, Muhidin, Ahmad Dolly Kurnia, Titiek Soeharto, Mujib Rohmat, Nurul Arifin, Ricky Rachmadi, Happy Bone Zulkarnain, Hasanuddin Mochdar, I Made Sumarjaya Linggih, Immanuel Blegur, Oktaviano dan Leo Nababan.
Bendara Umum
: Setya Novanto
Wakil Bendahara : Airlangga Hartarto,: Erwin Aksa, Hariara Tambunan, Agus G Kartasasmita, Azis Syamsuddin, Bobby
Suhardiman,
Mekeng, Tri Hanurita Sudwikatmono, Mustoko Weni, Bambang Atmanto Wiyogo, Watty Amir, Hamzah Sangaji dan Rahman Akil.
Melchias
5. Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke-VIII
Pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar telah diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Pada Periode kepengurusan 2004-2009 Munas diatur pada AD Bab XIV tentang Musyawarah dan Rapat-rapat Pasal 30 Ayat 2, yakni:
a. Musyawarah Nasional adalah pemegang kekuasaan tertinggi Partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun.
b. Musyawarah Nasional berwenang:
i. Menetapkan dan atau mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai.
ii. Menetapkan Program Umum Partai.
iii. Menilai Pertanggungjawaban Dewan Pimpinan Pusat. iv. Memilih dan menetapkan Ketua Umum.
v. Menetapkan Dewan Pimpinan Pusat. vi. Menetapkan Ketua Dewan Penasehat. vii. Menetapkan keputusan-keputusan lainnya.
Selain itu Munas juga diatur dalam ART Bab XI tentang Musyawarah dan rapat-Rapat Pasal 25, yakni:
1) Musyawarah Nasional dihadiri oleh :
a. Peserta.
b. Peninjau.
c. Undangan.
2) Peserta terdiri atas :
a. Dewan Pimpinan Pusat.
b. Unsur Dewan Pimpinan Daerah Provinsi.
c. Unsur Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota.
d. Unsur Pimpinan Pusat Organisasi Sayap.
e. Unsur Pimpinan Pusat Ormas Pendiri.
f. Unsur Pimpinan Pusat Ormas Yang Didirikan.
3) Peninjau tediri atas :
a. Dewan Penasehat Pusat.
b. Unsur Pimpinan Pusat Ormas yang menyalurkan aspirasi politiknya kepada Partai Golkar.
c. Unsur Badan, Lembaga dan Pokja Dewan Pimpinan Pusat.
4) Undangan terdiri atas:
a. Perwakilan Institusi.
b. Perorangan.
5) Jumlah Peserta, Peninjau dan Undangan ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat.
6) Pimpinan Musyawarah Nasional dipilih dari dan oleh Peserta.
7) Sebelum Pimpinan Musyawarah Nasional terpilih, Pimpinan Sementara
adalah Dewan Pimpinan Pusat Partai.
Munas Partai Golkar ke VIII berdasar AD dan ART partai seharusnya dilaksanakan pada bulan Desember 2009. Akan tetapi berdasar keputusan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar pada bulan Agustus, munas diajukan menjadi bulan Oktober. Pemilihan bulan Oktober, menurut JK, adalah untuk mengembalikan tradisi pelaksanaan munas pada bulan Oktober mendekati Hari Ulang Tahun (HUT) Golkar pada tanggal 20 Oktober. Selain itu, bulan Oktober dipandang sebagai waktu yang strategis karena pada bulan tersebut terdapat dua agenda penting negara, yakni penentuan ketua MPR dan DPR serta pemilihan kabinet pemerintahan SBY.
Munas Partai Golkar ke VIII ini dilaksanakan di Ballroom Hotel Labersa, Pekanbaru, Riau. Salah satu agenda penting dalam Munas ke VIII adalah Munas Partai Golkar ke VIII ini dilaksanakan di Ballroom Hotel Labersa, Pekanbaru, Riau. Salah satu agenda penting dalam Munas ke VIII adalah
Aburizal Bakrie, lahir di Jakarta, 15 November 1946. Pengalamannya antara lain Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar (2004-2009), Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian (2004-2005), Menko Kesejahteraan Rakyat (2005-2009), pemilik Bakrie Group of Companies, Ketua Umum Kepala Dinas (Kadin) Indonesia (1994-1999, 1999-2004).
Hutomo Mandala Putra atau lebih akrab dengan nama Tommy Soeharto, lahir di Jakarta 15 Juli 1962. Pengalamannya antara lain Anggota Dewan Pertimbangan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Golkar (1992-1997, 1997), Pendiri PT Humpuss (1984), Ketua Dewan Pertimbangan Pemuda Panca Marga (PPM).
Surya Paloh, lahir di Banda Aceh 16 Juli 1951. Pengalamannya antara lain sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar (2004-2009), Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) (1977-1982, 1982-1987), Pemilik Media Group (Metro TV dan Media Indonesia), Ketua Umum Forum Komunikasi Putra/I Purnawirawan Indonesia (F-KPPI), 1979.
Yuddy Chrisnandi, lahir di Bandung 29 Mei 1968. Pengalamannya antara lain Ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi DPP Golkar (2004-2009), Anggota DPR dari Partai Golkar (2004-2009), Dosen Program Pascasarjana Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia, Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Politik dan Keamanan (Polkam) (2001-2003).
Munas Partai Golkar VIII akhirnya menetapkan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum pada periode 2009-2015. Partai Golkar dibawah kepemimpinan Aburizal Bakrie akan melaksanakan empat program yang akan dijalankan secara kontinyu pada periode 2009-2015. Empat program tersebut disampaikan Aburizal
Bakrie dalam pidato politiknya pada penutupan Munas VIII 110 . Pertama, melakukan konsolidasi yang bersifat vertikal dan horizontal.
Kader serta pengurus di pusat dan daerah harus menyatu. Seluruh kader partai harus disiplin untuk mengikuti garis partai dengan menghormati kesepakatan internal partai. Kedua, melakukan kaderisasi. Kader terbaik Golkar masih banyak di seluruh Indonesia. Untuk merebut kejayaan Partai Golkar, maka kader inilah yang menjadi andalan partai. Selain kader yang sudah ada, harus dicetak kader baru. Untuk itu perlu dijalankan kaderisasi. Ketiga, melakukan kreativitas dan ketajaman ide serta gagasan. Golkar harus menjadi partai yang hidup dan dinamis. Untuk menghadapi isu strategis dan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, harus diciptakan solusi yang kreatif melalui ide-ide yang cemerlang. Keempat, memenangi pemilu 2014, pemilihan presiden 2014 dan pemilihan kepala daerah yang terlaksana hampir setiap tahun.
B. Harian Kompas
1. 111 Sejarah Harian Kompas Kompas terbit sebagai buah pertarungan politik antara kekuatan organisasi
Lihat http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/aburizal-bakrie/biografi/06.shtml , akses
tanggal 16 Nopember 2009 pukul 16.33
111 Disarikan dari Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah, Company Profile Harian Umum Kompas, 2005, tidak diterbitkan 111 Disarikan dari Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah, Company Profile Harian Umum Kompas, 2005, tidak diterbitkan
Ide awal penerbitan harian ini sebenarnya justru datang dari Jenderal Ahmad Yani, yang mengutarakan keinginannya kepada Frans Seda untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada Auwjong Peng Koen (P.K.
Ojong) (1920-1980) dan Jakob Oetama 112 . Saat itu Jacoeb Oetama adalah wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik dan P.K. Ojong adalah
pemimpin redaksi mingguan Star Weekly. Terbitan surat kabar tersebut awalnya diberi nama Bentara Rakyat sesuai dengan badan usaha yang membawahinya, yakni Yayasan Bentara Rakyat. Yayasan ini terdiri dari perwakilan elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik. Pemilihan nama Bentara Rakyat sengaja untuk menandingi keberadaan surat kabar PKI yaitu Harian Rakyat yang merupakan harian terbesar di tahun 1960-an. Dengan kemiripan identitas ini, diharapkan akan mampu memasuki segmen pasar Harian Rakyat.
Rencana penerbitan surat kabar Bentara Rakyat diajukan kepada Presiden
112 http://digilib.petra.ac.id , akses tanggal 31 Oktober 2009 pukul 12.23
RI pada saat itu, Soekarno. Kemudian Soekarno mengganti namanya dengan Kompas, alasan penggunaan nama ini karena Kompas hendak digunakan sebagai media pencari fakta dari segala penjuru. Meskipun sudah mengantongi ijin, Kompas tidak segera terbit karena Panglima Militer Jakarta saat itu, Letnan Kolonel Dachja, menyaratkan Kompas memperoleh 5000 tanda tangan pelanggannya. Kemudian, tokoh-tokoh Katolik pergi ke Pulau Flores yang mayoritas penduduknya beragama Katolik untuk mengumpulkan tanda tangan anggota partai, guru, dan anggota koperasi kopra di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur.
Akhirnya, sejak 2 Juni 1965, harian Kompas secara resmi menjadi salah satu surat kabar yang terbit secara teratur. Kemudian tepat 28 Juni 1965, Kompas terbit dengan motto "Amanat Hati Nurani Rakyat". Dalam operasionalisasinya, Kompas diawaki oleh P.K. Ojong sebagai pemimpin umum dan Jacoeb Oetama sebagai pemimpin redaksi ditambah beberapa redaksi dan wartawan dari majalah Intisari .
Format harian Kompas pertama kali masih sangat sederhana hanya dengan empat halaman. Berita utama pada saat itu berjudul "KAA II Ditunda Empat Bulan", sementara kata perkenalan Pojok Kompas di kanan bawah berbunyi, "Mari ikat hati, mulai hari ini dengan Mang Usil". Pada halaman pertama pojok kiri atas tertulis nama staf redaksi. Edisi pertama Kompas memuat 11 berita luar negeri dan 7 berita dalam negeri di halaman pertaman. Istilah tajuk rencana belum ada, tetapi di halaman 2 ada 'Lahirnya Kompas' sebagai tajuk harian ini. Di halaman 3 berisi antara lain 3 artikel yaitu berita luar negeri, ulasan mengenai Format harian Kompas pertama kali masih sangat sederhana hanya dengan empat halaman. Berita utama pada saat itu berjudul "KAA II Ditunda Empat Bulan", sementara kata perkenalan Pojok Kompas di kanan bawah berbunyi, "Mari ikat hati, mulai hari ini dengan Mang Usil". Pada halaman pertama pojok kiri atas tertulis nama staf redaksi. Edisi pertama Kompas memuat 11 berita luar negeri dan 7 berita dalam negeri di halaman pertaman. Istilah tajuk rencana belum ada, tetapi di halaman 2 ada 'Lahirnya Kompas' sebagai tajuk harian ini. Di halaman 3 berisi antara lain 3 artikel yaitu berita luar negeri, ulasan mengenai
Berselang tiga bulan terbit, Kompas dilarang terbit beserta surat kabar lain, sehari setelah peristiwa 30 September 1965. Hanya harian "Angkatan Bersendjata", "Berita Yudha", kantor berita "Antara", dan "Pemberitaan Angkatan Bersendjata" yang diizinkan terbit oleh Pelaksana Penguasa Perang Daerah (Pepelrada). Kompas diizinkan terbit kembali pada 6 Oktober 1965.
Peluang Kompas untuk berkembang semakin terbuka setelah terjadi pembersihan besar-besaran terhadap PKI dan simpatisannya yang terjadi sejak akhir 1965. Pada periode pers zaman demokrasi terpimpin diberlakukan Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1964 yang menetapkan setiap surat kabar berafiliasi dengan salah satu partai politik. Kompas sendiri berafiliasi dengan Partai Katolik.
Seiring berjalannya waktu, karena alasan visi harian Kompas yang terbuka, maka Kompas melepaskan diri dari Partai Katolik (kemudian muncul dasar humanisme transendental Kompas). Perkembangan selanjutnya adalah Kompas berhasil memiliki mesin cetak sendiri sejak 25 November 1972. Pada tahun yang sama Kompas membentuk PT Transito Asri Media, anak perusahaan yang mendistribusikan buku-buku import dan lokal pada jaringan toko buku yang dimilikinya sendiri. Pada tahun 1973 Kompas mendirikan percetakan Gramedia dan menerbitkan majalah anak-anak Bobo.
Ketika peristiwa Malari tahun 1974, terjadi pembredelan pada beberapa pers yang dinilai konfrontatif terhadap pemerintah. Pada peristiwa tersebut, harian
Kompas terhindar dari pembredelan massal tersebut karena Kompas memiliki sikap moderat. Namun pada tahun 1978, Kompas tidak dapat menghindarkan diri dari pembredelan karena berita seputar penolakan berbagai pihak terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden periode 1978-1983. Selain Kompas, enam surat kabar lain juga mengalami nasib serupa, diantaranya Sinar
Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore 113 . Setelah kasus pembredelan tersebut, Kompas berkembang menjadi koran
dengan gaya bahasa halus, melakukan kritik secara implisit atau secara tidak langsung. Akibat dari gaya baru tersebut, sejumlah kalangan menjuluki harian Kompas sebagai koran moderat. Hal tersebut justru menjadi keunggulan Kompas dibanding harian-harian lain. Ben Anderson kemudian juga menjuluki Kompas sebagai 'New Order Newspaper Par Excellence' karena meskipun dalam pengawasan yang ketat, Kompas tetap mampu bertahan dan sekaligus juga menyampaikan kritik terhadap pemerintah meskipun dengan gaya halus.
2. Visi dan Misi Harian Kompas
Visi surat kabar merupakan ujung pangkal dalam menentukan kebijakan editorial dalam menentukan peristiwa yang dianggap penting oleh surat kabar tersebut. Dan yang lebih penting lagi visi merupakan nilai dasar yang dihayati bersama oleh para wartawan yang bekerja pada suatu surat kabar.
Visi Harian Kompas adalah “Menjadi institusi yang memberikan pencerahan bagi perkembangan masyarakat Indonesia yang demokratis dan
Data dari Cornelis Lay, Involusi Politik: Esai-esai Indonesia, Program Pasca Sarjana Politik Loka dan Otonomi Daerah dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2006, hal: 154 Data dari Cornelis Lay, Involusi Politik: Esai-esai Indonesia, Program Pasca Sarjana Politik Loka dan Otonomi Daerah dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2006, hal: 154
Visi Kompas adalah manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu manusia dan kemanusiaan senantiasa diusahakan menjadi nafas pemberitaan dan komentarnya. Hal ini mendorong Kompas selalu berusaha peka terhadap nasib
manusia dan berkeyakinan 114 . Sejak lepasnya Harian Kompas dari Partai Katolik pada tahun 1973, Kompas tidak terikat pada kepentingan kelompok manapun.
Oleh sebab itu dalam pemberitaannya, Kompas bertindak untuk kepentingan bangsa dan masyarakat secara mandiri tanpa dipengaruhi oleh kelompok-
kelompok tertentu. 115 Misi Harian Kompas adalah: “Mengantisipasi dan merespon dinamika
masyarakat secara professional, sekaligus memberi arah perubahan dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi yang terpercaya.” (Redaksi Kompas Jawa Tengah. 2005).
Misi yang diemban Harian Kompas adalah mengasah nurani dan membuat cerdas. Artinya pemberitaan Kompas selalu mementingkan dimensi kemanusiaan, hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan, anti diskriminasi dan perlawanan
terhadap penindasan. 116
3. Struktur Organisasi Perusahaan
Harian Kompas sebagai organisasi pers memiliki struktur organisasi untuk
Gigih Mardana, “Analisis Framing Komunikasi Politik Elite NU di Harian Kompas dan Republika Periode November-Desember 2004”) (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2005) Skripsi di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik hal : 73
115 Ibid, hal: 74 116 Ibid, hal: 75 115 Ibid, hal: 74 116 Ibid, hal: 75
: Jacob Oetama
Wakil Pemimpin Umum : Agung Adiprasetyo, St. Sularto Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab
: Rikard Bagun
Wakil Pemimpin Redaksi : Trias Kuncahyono, Taufik Mihardja Redaktur Senior
: Ninok Leksono Redaktur Pelaksana
: Budiman Tanuredjo Wakil Redaktur Pelaksana
: Andi Suruji, James Luhulima Sekretaris Redaksi
: Retno Bintarti, M. Nasir
4. 117 Kebijakan Keredaksian Kebijakan keredaksian merupakan pedoman dalam menentukan kejadian
yang patut diangkat oleh surat kabar untuk menjadi bahan berita. Kebijakan redaksi Kompas harus sesuai dengan visi misi yang menjunjung nilai demokrasi dan kemanusiaan. Ungkapan jurnalistik yang digunakan Kompas adalah "liput dua belah pihak, dengar pihak lain jangan-jangan masih ada kemungkinan lain". Dengan ungkapan tersebut, pemberitaan yang dimuat tetap menjunjung demokrasi, kemanusiaan, dan asas praduga tak bersalah. Kompas tidak membuat kebijakan persentase volume atau isi yang akan dimuat baik politik, ekonomi dan
117 Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah, Op.Cit 117 Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah, Op.Cit
Secara kongkret, kebijakan keredaksian Kompas dijabarkan sebagai berikut :
1) Kompas merupakan media yang tidak berpihak pada suatu golongan, partai, maupun agama tertentu.
2) Tidak membenarkan mengkritik seseorang mengenai hal-hal yang bersifat pribadi.
3) Tidak membenarkan bagi wartawannya untuk mencari keuntungan pribadi.
4) Menggunakan sistem check dan recheck dalam berita.
5) Tidak memihak salah satu golongan, kelompok, ataupun pihak-pihak tertentu dalam menangani kasus-kasus pemberitaan.
6) Menghargai hal-hal yang bersifat off-the record.
7) Menghormati hak jawab dalam bentuk berita maupun surat pembaca.
8) Kompas tidak akan memuat hal-hal yang berbau SARA.
5. Rubrikasi
Rubrikasi Harian Kompas jika dilihat berdasar pembagian halamannya dapat dilihat dalam berikut.
Tabel 2.2 Rubrikasi Harian Umum Kompas
Hal Edisi Reguler
Hal
Edisi Minggu
Topik Utama Umum 2-3,5
1 Topik Utama Umum
1-2
Politik dan Hukum
3 Nusantara
4 Metropolitan Golkar 6-7
4 Halaman Khusus Munas
56 Internasional Surat Pembaca, Susunan Redaksi 8-9
Opini: Artikel, Tajuk Rencana,
12 Pendidikan dan Kebudayaan
9 Iklan
13 Lingkungan dan Kesehatan
11 Buku
14 Ilmu Pengetahuan dan
12 Persona, Surat Pembaca, Teknologi
Susunan Redaksi, Kehidupan
15 Sambungan berita hal. 1
13 TTS, Kontak Jodoh dan Kartun
14 Iklan 17-18
16 Sosok
15 Foto Pekan ini 20-21
Bisnis dan Investasi
Kehidupan 22-24
19 Iklan
17-18
19 Urban 25-27
Nusantara
20 Urban Sosialita 28-31
Metropolitan
Olahraga
21 Urban Hiburan
22 Urban Santap A-H
32 Nama dan Peristiwa
Edisi Daerah
23 Urban Desain
24-25
Kompas Anak
32 Nama dan Peristiwa Sumber: Olahan peneliti
6. Oplah, Sirkulasi, dan Profil Pembaca
Harian Kompas adalah surat kabar nasional yang memiliki oplah tertinggi di Indonesia. Bahkan pada tahun 2008 saja diperkirakan pembaca surat kabar ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh Indonesia. Secara rinci perkembangan oplah Harian Kompas dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2.3 Oplah Kompas per Lima Tahun Tahun
Jumlah Oplah
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Redaksi Kompas 118
Secara umum, penyebaran Harian Kompas di Indonesia cukup merata. Akan tetapi target pemasaran utama tetap di Pulau Jawa dan terutama Jakarta. Lihat tabel berikut.
Tabel 2.4 Sirkulasi Harian Kompas Tahun 1993
Jawa Barat
118 Data ini dikutip dari Haris Firdaus, “Konstruksi Kompas dalam dua blog” (Analisis Wacana Kritis tentang Konstruksi Harian Umum Kompas dalam Blog Kompas Inside dan Inside Kompas) (Surakarta: Universitas
Sebelas Maret, 2009) Skripsi di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik hal: 101
Jawa Tengah
Jawa Timur
Indonesia Timur
Sumber: Pusat Dokumentasi dan Redaksi Kompas 119 Sedang segmentasi pembaca Harian Kompas dapat dilihat berdasar tiga
kategori, yakni dari segi pendidikan, segi penghasilan, serta segi pekerjaannya. Simak tabel berikut.
Tabel 2.5 Segmentasi Kompas dari Segi Pendidikan Tingkat Pendidikan
Prosentase Pembaca
Pendidikan lulus SD
Pendidikan lulus SLTP
Pendidikan lulus SLTA
Pendidikan lulus D1/D2
Sarjana Muda
120 Sumber: Nielsen Media Research, 1999
Tabel 2.6
Segmentasi Kompas dari Segi Penghasilan Tingkat Penghasilan
Prosentase Pembaca
119 Ibid, hal: 102 120 Ibid, hal: 103
121 Sumber: Nielsen Media Research, 1999
Tabel 2.7 Segmentasi Kompas dari Segi Pekerjaan
Jenis Pekerjaan Prosentase Pembaca
White Collar
Blue Collar
Ibu Rumah Tangga
122 Sumber: Nielsen Media Research, 1999
Dari ketiga tabel tersebut tampak bahwa pembaca Harian Kompas sebagian besar adalah lulusan Sarjana yang memiliki intelektualitas cukup tinggi. Sedang rata-rata tertinggi penghasilan pembaca Kompas didominasi oleh pembaca yang penghasilannya tinggi, yakni diatas 1,5 juta rupiah. Sementara itu, sebagian besar pembaca Kompas merupakan pekerja kantoran dengan level yang tinggi atau eksekutif. Jadi, kesimpulannya, pembaca Harian Kompas lebih didominasi oleh kalangan menengah keatas yang memiliki pekerjaan mapan dan penghasilan yang cukup tinggi.
121 Ibid 122 Ibid, hal: 104
BAB III PARTAI GOLKAR DALAM BINGKAI MEDIA DAN KHALAYAK
Dalam bab ini peneliti mengupas bagaimana konstruksi Partai Golongan Karya (Golkar) dalam pemberitaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar
VIII pada Harian Kompas serta pendapat pembaca Kompas mengenai pemberitaan tersebut. Struktur penulisan bab ini terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama diawali deskripsi sub tema atau topik yang menjadi wacana berita di Kompas. Setelah itu, peneliti mengungkapkan pandangan Kompas mengenai pelaksanaan Munas Partai Golkar dari pemberitaan di Kompas berdasar masing- masing sub tema. Peneliti memperjelas frame Kompas dengan menampilkan hasil wawancara dengan pihak Kompas dan analisis pada dua berita. Selanjutnya, pada sub bab kedua peneliti menjabarkan bingkai tentang Partai Golkar dan pola pemberitaan pada Harian Kompas yang terbentuk oleh pembaca Kompas. Setelah menemukan frame media dan frame pembaca, pada sub bab terakhir bab ini peneliti menggabungkan dan membandingkan kedua frame tersebut.
A. Pola Pemberitaan Munas Golkar ke VIII pada Harian Kompas
Munas Partai Golkar VIII secara berkesinambungan mendapat tempat dalam pemberitaan rubrik Politik dan Hukum serta beberapa kali menempati headline Harian Kompas. Bahkan pada saat pelaksanaan munas, Kompas Munas Partai Golkar VIII secara berkesinambungan mendapat tempat dalam pemberitaan rubrik Politik dan Hukum serta beberapa kali menempati headline Harian Kompas. Bahkan pada saat pelaksanaan munas, Kompas
Rangkaian pemberitaan mengenai Munas Partai Golkar di Kompas sebenarnya sudah muncul sejak bulan Agustus 2009, diawali dengan berita mengenai salah satu tokoh Partai Golkar, Surya Paloh yang tidak mau terburu- buru untuk mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Keputusan tersebut dikarenakan Surya Paloh memilih untuk legowo dan menunggu calon lain mengajukan diri terlebih dahulu. Itulah awal pemberitaan mengenai persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar yang di ekspos Kompas.
Selanjutnya, Kompas secara rutin menyajikan perkembangan dan proses yang terjadi jelang munas. Pemberitaan berkisar pada persiapan teknis, liputan seminar serta diskusi tentang Partai Golkar, pernyataan dan aktivitas politik masing-masing calon ketua umum, hingga persaingan dan perang opini antar calon. Akan tetapi pemberitaan yang paling menonjol disajikan Kompas pada bulan Oktober. Pasalnya, suasana jelang munas pada saat itu semakin memanas, dimana masing-masing calon ketua umum juga semakin berani untuk saling menyerang di media.
Pada hari pelaksanaan munas, 5-8 Oktober 2009, Kompas sempat menampilkan wawancara eksklusif dengan empat calon ketua umum, laporan hasil rapat paripurna, kericuhan yang terjadi, serta beberapa feature menarik yang merupakan sisi lain pagelaran munas. Kompas juga melakukan jajak pendapat mengenai citra Partai Golkar dalam masyarakat. Seusai munas berakhir, Kompas Pada hari pelaksanaan munas, 5-8 Oktober 2009, Kompas sempat menampilkan wawancara eksklusif dengan empat calon ketua umum, laporan hasil rapat paripurna, kericuhan yang terjadi, serta beberapa feature menarik yang merupakan sisi lain pagelaran munas. Kompas juga melakukan jajak pendapat mengenai citra Partai Golkar dalam masyarakat. Seusai munas berakhir, Kompas
Berita mengenai Munas Partai Golkar VIII di Harian Kompas pada bulan Oktober 2009 secara keseluruhan berjumlah 22 berita. Namun, peneliti hanya melakukan analisis terhadap 10 berita untuk mempermudah merumuskan frame media. Daftar berita Munas Partai Golkar Harian Kompas pada bulan Oktober 2009 dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Daftar Berita Bulan Oktober 2009
No
Judul Berita
Tgl Terbit Hal (2009)
1 Tommy Optimis Bisa Salip Ditikungan
1 Oktober
2 Penentuan Nasib Partai
2 Oktober
3 Munas Tak Diundur
5 *Kalla Minta Tak ada Hura-hura
3 Oktober
4 Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar
5 Oktober
5 Beringin Berkembang atau Tumbang
5 Oktober
4 *Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit
6 Perebutan Pimpinan Munas
6 Oktober
7 Partai Golkar Diminta Awasi Pemerintah
6 Oktober
8 Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program
4 Miliaran
6 Oktober
9 Pengawasan Bukan Jatuhkan Pemerintah
4 *Yudhoyono Peringatkan Sikap Kalla
7 Oktober
10 Politik Uang Tercium Kuat di Munas
7 Oktober Headline
11 “Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan
7 Oktober
12 Sidang Ricuh, 4 Calon Ketua Umum Lolos
1 Verifikasi
8 Oktober
13 Repotnya Musyawarah, Repotnya Pekanbaru
8 Oktober
14 Pernyataan Presiden Disesalkan
8 Oktober
15 Selidiki Politik Uang di Munas
4 *Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara
8 Oktober
16 Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat
4 Calon
9 Oktober
17 DPP Golkar Terbentuk
4 *Aburizal: Oposisi atau Koalisi Bukan Pilihan Ideologis
9 Okober
18 Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru
9 Oktober
19 Akomodasi Lawan Politik
10 Oktober
20 Golkar Merapat ke Pemerintah
2 *PAN Masih Bisa Beroposisi
12 Oktober
21 Partai Golkar diharapkan Tetap Komit Jadi
5 Oposisi
12 Oktober
22 Aburizal Bakrie Akan Fokus Urusi Partai Golkar
15 Oktober
Dari 22 berita tersebut, peneliti menentukan lima sub tema yang merujuk pada tema utama penelitian. Lima sub tema diambil berdasarkan topik utama dari masing-masing frame berita yang ditentukan peneliti. Umumnya dalam satu berita terdapat satu topik berita, tetapi tidak jarang pula pada berita-berita tertentu terdapat dua topik dalam satu berita. Dalam kasus tersebut, peneliti mengambil topik yang paling dominan diantaranya. Lima sub tema tersebut antara lain:
a. Persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar
b. Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII b. Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII
d. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
e. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas Sedangkan 10 berita yang dipilih oleh peneliti untuk dianalisis lebih lanjut antara lain sebagai berikut.
Tabel 3.2 Daftar Berita yang Dianalisis
No
Judul Berita
Tgl Terbit Hal (2009)
1 Penentuan Nasib Partai
2 Oktober
2 Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar
5 Oktober
3 Perebutan Pimpinan Munas
4 *Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit
6 Oktober
4 Miliaran
4 Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program
6 Oktober
5 Politik Uang Tercium Kuat di Munas
7 Oktober Headline
6 “Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan
7 Oktober
4 *Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara
7 Selidiki Politik Uang di Munas
8 Oktober
8 Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat
4 Calon
9 Oktober
9 Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru
9 Oktober
10 Partai Golkar Diharapkan Tetap Komit Jadi
3 Oposisi
12 Oktober
1. Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar
Munas Partai Golkar VIII pada tahun 2009 memang terasa berbeda karena salah satu agenda penting munas yakni pemilihan ketua umum partai dilakukan dengan sistem pemilihan langsung. Pemilihan langsung ini berarti Dewan Pimpinan Pusat (DPP), masing-masing Dewan Pengurus Daerah (DPD), baik DPD tingkat I dan DPD tingkat II, memiliki hak pilih terhadap salah satu kandidat yang dinyatakan lolos seleksi menjadi calon ketua umum.
Sebelumnya, Partai Golkar menerapkan tata cara pemilihan ketua umum dengan sistem konvensi, setelah itu calon ketua umum baru dipilih kembali pada munas. Secara harfiah, konvensi dapat diartikan sebagai aturan-
aturan yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan tidak tertulis. 123 Bagi Partai Golkar, konvensi merupakan upaya membangun citra partai yakni dengan
memperbaiki mekanisme proses rekruitmen pimpinannya secara demokratis. 124 Namun kenyataannya, konvensi justru memperlihatkan adanya
kompleksitas power struggle antar faksi di tingkat elite partai. Peta faksi tidak jelas dan berubah sesuai kepentingannya, misalnya pada Munas Partai Golkar 2004 dimana pemilihan ketua umum dimenangkan kelompok pragmatis
kekuasaan. 125 Berdasarkan keputusan Panitia Pengarah (Steering Comittee) Munas
Partai Golkar VIII yang diketuai Syamsul Mu’arif, DPP Golkar, DPD I, DPD
123 B.N Marbun, SH, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hal: 297
Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 19 125 Ibid, hal: 19-20
II serta organisasi pendiri atau yang didirikan Golkar, masing-masing memiliki satu suara. Jadi kalkulasinya sebagai berikut: DPP 1 suara, DPD I 33 suara, DPD II 494 suara, dan organisasi massa (ormas) 10 suara, sehingga total jumlah suara yaitu 538 suara. Meskipun kemudian, jumlah suara DPD II hanya 492 suara karena hak suara DPD II Kepulauan Seribu dan DPD II Langkat dianulir karena terdapat surat mandat ganda.
Sistem pemilihan langsung ternyata membawa dua konsekuensi. Pertama, kader Partai Golkar bebas menyalonkan diri menjadi ketua umum partai, dengan catatan bahwa dirinya memenuhi persyaratan yang ada. Persyaratan ketua umum telah diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Kepengurusan Partai Golkar periode 2004-
2009, antara lain 126 :
a. Pernah menjadi Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar dan atau sekurang-kurangnya pernah menjadi Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi dan/atau serta pernah menjadi Pengurus Organisasi Pendiri dan yang didirikan selama 1 (satu) periode penuh dan didukung oleh minimal 30 % hak suara.
b. Aktif terus menerus menjadi anggota Partai Golkar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan tidak pernah menjadi anggota partai politik lain.
c. Pernah mengikuti pendidikan dan latihan kader.
d. Memiliki prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak tercela.
e. Memiliki kapabilitas dan akseptabilitas.
f. Tidak pernah terlibat G 30 S PKI.
g. Bersedia meluangkan waktu dan sanggup bekerjasama secara kolektif dalam Partai Golkar.
126 www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04
Awalnya ada empat orang calon yang diunggulkan dan memenuhi persyaratan tersebut, yakni Aburizal Bakrie, Ferry Mursyidan Baldan, Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Ferry Mursyidan dan Yuddy Chrisnandi tercatat pernah menjadi pengurus DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie pernah menjabat menjadi pengurus Musyawarah Kerja Gotong Royong (MKGR), sementara Surya Paloh pernah menjadi pengurus Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Akan tetapi dalam perkembangannya, kader partai yang tidak memenuhi persyaratan pun menyalonkan diri atau sekedar mewacanakan diri menyalon sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Sebut saja dua orang dari trah keluarga Cendana (sebutan untuk keluarga mantan Presiden Soeharto), Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto dan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Tutut masih tercatat sebagai anggota Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), sehingga Tutut tidak diperbolehkan menyalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Sedangkan Tommy pernah terjerat kasus hukum sebagai aktor intelektual pembunuhan berencana Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, sehingga bisa dipersoalkan dari sisi PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak tercela). Namun dalam pelaksanaan munas, Tommy dinyatakan lolos persyaratan tersebut. Dengan demikian, empat calon yang akhirnya maju, yakni Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Tommy Soeharto, kesemuanya lolos seleksi.
Kehadiran Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto dalam bursa calon Ketua Umum Partai Golkar dinilai cukup berani dan mendobrak tradisi.
Pasalnya, Partai Golkar belum pernah diketuai oleh golongan muda, khususnya kader yang berusia dibawah 50 tahun. Bahkan sebagian pimpinan Partai Golkar masih diisi oleh golongan senior, termasuk diantaranya Surya Paloh dan Aburizal Bakrie.
Konsekuensi kedua, persaingan antar calon ketua umum semakin jelas dan nyata. Hal ini mengingatkan pada kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur (Pilgub), ataupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dimana aktor politik (calon dan tim suksesnya) melakukan komunikasi politik. Menurut Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, pelaku kampanye –kandidat, penasihat, konsultan dan komunikator politik lain– berusaha mengatur kesan pemberi suara dengan mengungkapkan lambang-lambang yang akan menghimbau untuk memilih mereka. Kesan ini bisa diwujudkan dalam opini dan pernyataan di media, orasi, ataupun tindakan.
Kaitannya dalam pelaksanaan Munas Partai Golkar, karena pemilihan berdasarkan akumulasi suara dari masing-masing daerah, para calon ketua umum melakukan kampanye serta mencari dukungan ke daerah. Mereka mengklaim bahwa daerah-daerah yang mereka kunjungi mendukung pencalonan dirinya. Dukungan daerah ini diwujudkan dalam surat pernyataan dukungan ataupun pernyataan langsung kepada calon ketua umum. Klaim dukungan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada daerah lain, baik yang sudah menentukan pilihan atau belum, bahwa calon ketua umum tersebut memiliki pendukung yang banyak sehingga layak untuk dipilih.
Tidak hanya klaim dukungan, para calon ketua umum pun saling serang opini secara terbuka di media massa. Terlebih lagi Aburizal Bakrie dan Surya Paloh menggunakan stasiun televisi milik mereka, yakni TV One dan Metro TV, untuk melakukan kampanye. Bahkan TV One dan Metro TV dalam siaran live, menyiarkan prosesi pemilihan dan perhitungan suara Ketua Umum Partai Golkar di munas. Selain klaim dukungan, berbagai isu seperti politik uang, kompetensi calon, dan posisi Partai Golkar dalam pemerintahan pun menjadi wacana strategis untuk saling menyerang.
Salah satu isu sensitif yang menjadi perdebatan dalam pelaksanaan munas adalah adanya politik uang. Tidak mau dituding melakukan politik transaksional, para calon ketua umum mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda agar mendapat simpati dari pendukungnya. Aburizal Bakrie dan Surya Paloh berlomba-lomba memberi fasilitas, seperti pelesiran, menyediakan tempat penginapan, hingga memberi pesawat carteran untuk berangkat ke Pekanbaru. Aburizal Bakrie juga sempat menyelenggarakan turnamen golf “ARB Cup” pada saat jeda pelaksanaan munas. Sedangkan Tommy Soeharto mencoba menawarkan program pemberdayaan rakyat “Trikarya” dengan total nilai mencapai miliaran rupiah. Sementara Yuddy Chrisnandi tidak banyak memberikan janji, dirinya justru lebih sering mengkritik perilaku Aburizal Bakrie dan Surya Paloh di media massa. Sikap elite politik yang demikian mau tidak mau memunculkan perpecahan dalam tubuh partai.
Seperti yang dikatakan Redi Panuju, untuk mempertahankan dan menguatkan kekuasaan, orang yang memiliki kekuasaan akan melakukan asosiasi-asosiasi (pengelompokan). Banyak istilah untuk menamai kelompok ini, misalnya ruling elitee, power elitee, strategic elitee, ruling class, dan
sebagainya. 127 Demikian pula dalam internal Partai Golkar mulai tumbuh faksi-faksi yang mendukung calon tertentu. Dukungan ini ternyata terstruktur
dan terorganisir, hingga ada penyebutan “tim sukses” untuk kelompok tersebut. Misalkan saja, Aburizal Bakrie yang mendapat dukungan dari tokoh sekaliber Akbar Tandjung dan Agung Laksono, Surya Paloh yang didampingi Ariady Ahmad, Jefrey Geovani, dan Zainal Bintang, Tommy Soeharto yang mendapat dukungan Marwah Daud Ibrahim dan Justiani, dan Yuddy Chrisnandi yang mendapat simpati Indra J Piliang, Emil Tanri Abeng, dan Renny Djayusman. Tokoh-tokoh Partai Golkar ini kemudian ikut arus masuk dalam persaingan pemilihan ketua umum partai dan membentuk blok-blok tersendiri.
Untuk lebih jelasnya, persaingan ini dapat dilihat dalam teks berita yang disajikan di Harian Kompas dan pendapat Kompas sendiri mengenai persaingan tersebut.
1.1 Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar dalam Pandangan Kompas
Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 28-29
Dua berita di Kompas bertema persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar yang dianalisis peneliti diantaranya sebagai berikut.
Tabel 3.3 Berita Bertema Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum
No
Judul Berita
Tgl Terbit
1 Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program Miliaran (1)
6 Okt 2009
2 Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat Calon (2)
9 Okt 2009
Berita pertama (1) berjudul “Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program Miliaran…” yang ditulis oleh Sutta Dharmasaputra, sedangkan berita kedua (2) berjudul “Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat Calon…” ditulis oleh Suhartono. Kedua berita ini sama-sama merupakan feature news , yakni feature berita yang mendampingi berita utama. Feature ini dapat dikenali melalui bentuk kalimat judul yang lebih flexibel, yakni ditulis dengan huruf miring dan tiga titik dibelakang judul. Tiga titik dibelakang judul mengesankan bahwa kalimat tersebut belum selesai karena ada sesuatu yang akan diungkapkan lebih lanjut dalam tubuh berita. Kalimat seperti ini membuat pembaca merasa penasaran dan terdorong untuk membaca kelanjutan isi berita.
Pada berita (1), Kompas menulis judul berita dengan unsur what atau apa yang dilakukan oleh subyek, dalam hal ini apa yang diberikan atau ditawarkan subyek (calon Ketua Umum Partai Golkar) kepada pendukungnya dalam proses kampanye. Dalam penulisan judul, “apa” yang diberikan oleh subyek (uang, pesawat carteran, dan program miliaran) merupakan sesuatu Pada berita (1), Kompas menulis judul berita dengan unsur what atau apa yang dilakukan oleh subyek, dalam hal ini apa yang diberikan atau ditawarkan subyek (calon Ketua Umum Partai Golkar) kepada pendukungnya dalam proses kampanye. Dalam penulisan judul, “apa” yang diberikan oleh subyek (uang, pesawat carteran, dan program miliaran) merupakan sesuatu
Jorjoran. Barangkali itu istilah tepat untuk menggambarkan persaingan antarkandidat calon Ketua Umum Partai Golkar 2009-2014 yang berlangsung di Musyawarah Nasional VIII di Pekanbaru, Riau.
Kompas memilih menggunakan kata jorjoran dalam lead tersebut. Jorjoran berarti berlaku royal, rela mengeluarkan banyak uang untuk sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan, serta bersikap berlebihan untuk saling menyaingi. Jorjoran merupakan kata yang dianggap Kompas dapat menggambarkan perilaku boros beberapa calon ketua umum. Seperti yang diungkapkan wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra. Sutta menekankan bahwa upaya penggalangan dukungan banyak dilakukan dengan perilaku pragmatis, salah satunya dengan jorjoran uang tersebut.
“Persaingan antarkandidat terjadi sangat ketat. Masing-masing kandidat menggunakan berbagai cara untuk meraih dukungan sebanyak- banyaknya. Sayangnya, persaingan itu lebih banyak terjadi pada upaya penggalangan dukungan dengan cara-cara pragmatis ketimbang programatis.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
Unsur sintaksis berupa narasumber pada berita (1) yang dipilih Kompas adalah narasumber dari masing-masing tim sukses atau pendukung calon ketua umum. Pertama, Sugeng Suparwoto (tim sukses Surya Paloh), Akbar Tandjung (tim sukses Aburizal Bakrie), Justiani (tim sukses Tommy Soeharto), dan Tafip Syamsul Hadi (tim sukses Yuddy Chrisnandi). Hal ini merupakan perwujudan dari kebijakan keredaksian Kompas yang berusaha untuk tidak memihak salah satu pihak, sehingga harus meliput kedua belah pihak–dalam hal ini cover all sides. Kompas tidak menyebutkan gelar atau Unsur sintaksis berupa narasumber pada berita (1) yang dipilih Kompas adalah narasumber dari masing-masing tim sukses atau pendukung calon ketua umum. Pertama, Sugeng Suparwoto (tim sukses Surya Paloh), Akbar Tandjung (tim sukses Aburizal Bakrie), Justiani (tim sukses Tommy Soeharto), dan Tafip Syamsul Hadi (tim sukses Yuddy Chrisnandi). Hal ini merupakan perwujudan dari kebijakan keredaksian Kompas yang berusaha untuk tidak memihak salah satu pihak, sehingga harus meliput kedua belah pihak–dalam hal ini cover all sides. Kompas tidak menyebutkan gelar atau
Sementara latar pada berita (1), Kompas bercerita tentang usaha yang dilakukan keempat kandidat untuk menarik massa pendukungnya. Pemaparan masing-masing calon tidak didasarkan Kompas pada urutan kandidat berdasarkan huruf abjad nama depan. Kompas mengurutkan penceritaan dari kandidat yang dianggap paling banyak mengeluarkan dana dalam proses kampanye ini, yakni Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Tommy Soeharto, baru kemudian Yuddy Chrisnandi.
Dari keempat calon yang ada, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie yang paling memanjakan para pendukungnya. Informasi yang berkembang di munas, kedua orang ini yang paling berpeluang menjadi ketua umum.
Hal ini didasarkan pada pandangan Kompas bahwa persaingan antar calon ketua umum memang tidak imbang. Hanya Surya Paloh dan Aburizal Bakrie yang benar-benar berjuang untuk memenangkan kompetisi ketua umum. Seperti yang dikatakan oleh Wartawan Kompas, Suhartono.
“Persaingan yang sebenarnya hanya terjadi di Surya paloh dan Ical menjelang dan di saat pemilihan. Sebetulnya persaingan mereka seimbang, hanya bedanya Ical ditopang dengan materi yang jauh lebih besar dan dukungan perangkat kekuasaan penguasa yang berada di baliknya. Adapun Surya topangan materi juga besar, akan tetapi tidak ada perangkat kekuasaan yang ikut mendukung.” (Wawancara dengan Suhartono)
Penekanan kandidat yang paling boros pada awal berita mengesankan bahwa Kompas ingin menonjolkan kekuatan uang yang dimiliki dua orang kandidat terkuat. Suhartono mengungkapkan hal tersebut, meskipun sebenarnya masyarakat secara luas kurang simpatik terhadap Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie.
“Surya paloh dan Ical secara ekonomi dan latar belakang politik cukup baik, namun kedekatnnya dengan penguasa dalam bidang ekonomi dan politik cukup kuat, sehingga mengurangi dukungan masyarakat luas.” (Wawancara dengan Suhartono)
Sementara itu, kesederhanaan kampanye Yuddy Chrisnandi ditempatkan paling akhir. Hal ini membuat perbedaan antar kandidat tampak sangat kentara dan ironis. Pada level retoris, penonjolan terhadap kesederhanaan Yuddy juga diwujudkan Kompas dalam bentuk grafis, yakni insert yang bertuliskan kalimat ”Dari empat kandidat, hanya Yuddy Chrisnandi yang mengeluarkan biaya paling sedikit” dengan jenis dan ukuran huruf yang sangat besar pada tengah berita.
Secara keseluruhan, berita ini banyak menggunakan kata yang memiliki unsur retoris, diantaranya adalah leksikon “pelesiran”, metafora “politik dagang sapi”, dan “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”. “Pelesiran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bersenang-senang, mencari kesenangan, berjalan-jalan, bertamasya, atau pesiar. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa calon ketua umum ingin memanjakan para pendukungnya dengan aktivitas lain diluar dunia politik. Sedangkan kata “politik dagang sapi” menunjukkan bahwa ada tawar menawar suara dalam pemilihan ketua umum layaknya seperti transaksi jual- beli. Sementara metafora “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”, memberi penekanan bahwa perilaku calon ketua umum yang menggunakan kekuatan uang untuk memperoleh kekuasaan bertujuan agar dirinya tetap eksis dan bertahan dalam kompetisi politik. Seperti yang diungkapkan George Wilhelm
Frederich Hegel, bahwa kekuasaan politik yang sebenarnya adalah kekuasaan yang terorganisir dari suatu golongan untuk menindas golongan yang lain 128 .
Diakhir latar berita tersebut, Kompas memberikan sebuah kesimpulan terhadap perilaku keempat kandidat ketua umum tersebut. Karena berita ini bukan merupakan jenis berita straight news, maka wartawan bisa memasukkan opininya didalam berita, meskipun opini tersebut harus berdasarkan fakta yang ia tulis dalam berita tersebut.
Banyak yang berkata bahwa saat ini perjuangan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan logistik. Karena itu, ada pepatah Jawa yang mengatakan, kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati. Namun Golkar hendaknya mempertimbangkan unsur etik, selain logistik, kalau tidak ingin partai ini mendidik kadernya menjadi sangat pragmatis.
Kalimat tersebut memberi penegasan bahwa Kompas memilih sikap tidak sepakat dengan perilaku kandidat yang rela mengeluarkan banyak uang dalam proses kampanye pemilihan ketua umum. Penggunaan uang ditakutkan akan mendorong kader atau anggota partai memiliki orientasi lain sehingga dalam jangka panjang bisa membentuk partai ini menjadi partai pragmatis. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Sutta Dharma yang menjelaskan tentang kebijakan keredaksionalan Kompas.
“Kebijakan pemberitaan selalu ada. Namun, kebijakan itu tidak mengarahkan pada dukungan pada kandidat tertentu tapi pada kebijakan bangsa yang lebih besar, misalnya, mendorong partai semakin transparan, ada persaingan sehat, partai bersih dari KKN.” (Wawancara dengan SUtta Dharmasaputra)
Sementara untuk berita (2), judul berita menggunakan unsur what (apa) dan who (subyek). Unsur “apa” disini merupakan sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh subyek (calon ketua umum) dalam proses pemilihan
128 Ibid, hal: 33
Ketua Umum Partai Golkar, yakni kekuasaan, uang dan jaringan. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam lead berita.
Idealisme dan kegigihan berjuang saja rasanya tidak cukup untuk meraih kursi nomor satu di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.
Lead tersebut mempertegas bahwa kekuasaan, uang, dan jaringan (yang tertulis dalam judul) adalah hal yang lebih dibutuhkan calon ketua umum dibandingkan idealisme dan kegigihan sang calon (yang tertulis dalam lead ). Realita tersebut digambarkan Kompas sebagai sebuah ironi dari keseluruhan proses pemilihan ketua umum. Pasalnya, Kompas memiliki pandangan dan kriteria tersendiri untuk calon Ketua Umum Partai Golkar yang ideal, seperti yang diungkapkan Suhartono dan Sutta Dharma berikut.
“Tahu sejarah dan organisasi serta misi dan visi golkar, berjuang untuk memajukan golkar dan perekonomian bangsanya, selain memperbaiki dan meningkatkan gengsi partai golkar, punya integritas dan misi dan visi kenegaraan, memiliki kemampuan ekonomi dan punya latar belakang politik yang matang.” (Wawancara dengan Suhartono)
“Sosok yang menjadi panutan pemilih Golkar di 2014 atau bahkan panutan bangsa secara keseluruhan. Dia harus kader terbaik partai, memiliki rekam jejak yang bagus, dan visi yang jelas dalam membawa partai dan bangsa lima tahun ke depan.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
Namun kriteria tersebut tidak tampak dari masing-masing calon, karena yang menonjol dan paling menentukan adalah kekuatan dari luar diri calon ketua umum seperti kekuasaan, uang, dan jaringan.
Berita (2) memiliki beberapa perbedaan dengan berita (1). Pertama, berita (2) tidak memiliki unsur sintaksis narasumber. Berita dibuat seperti opini, namun sarat dengan data-data yang faktual. Perbedaan selanjutnya, alur berita (2) adalah kebalikan dari berita (1). Jika pada berita (1) dipaparkan Berita (2) memiliki beberapa perbedaan dengan berita (1). Pertama, berita (2) tidak memiliki unsur sintaksis narasumber. Berita dibuat seperti opini, namun sarat dengan data-data yang faktual. Perbedaan selanjutnya, alur berita (2) adalah kebalikan dari berita (1). Jika pada berita (1) dipaparkan
Sama halnya dengan berita (1), pembalikkan alur berita pada berita (2) tampak menunjukkan perbandingan yang kontras dari masing-masing calon ketua umum. Pembandingan ini, menurut Dan Nimmo, merupakan salah satu strategi untuk menunjukkan gejala ketidakberesan namun tetap menjaga obyektivitas dan etika media. Pada bagian awal berita, penceritaan Yuddy sebagai pihak yang kalah dikesankan sebagai sesuatu yang wajar karena Yuddy memang tidak memiliki modal yang memadai untuk memenangkan kompetisi. Seperti yang diungkapkan Suhartono.
“…Yuddy Chrisnandi cukup lumayan, meski secara ekonomi tidak bisa diandalkan untuk membangun partai yang kuat secara ekonomi, punya visi dan misi politik yang baik, namun masih kurang pengalaman. Masih dibutuhkan lima tahun lagi untuk matang dan dewasa secara politik.” (Wawancara dengan Suhartono)
Pandangan Kompas ini diwujudkan dalam kalimat di teks berita (2).
Seperti yang dialami sosok muda Yuddy Chrisnandi. Dia tak punya uang untuk “membeli” suara, kecuali untuk mendukung operasional kampanyenya yang kecil-kecilan. Apalagi kekuatan dan kekuasaan untuk “menekan” para pemilihnya. Ia juga tak punya jaringan ke struktur Partai Golkar untuk bisa memperluas dukungan.
Dalam kalimat tersebut, Kompas menggunakan leksikon “membeli” untuk gabungan kata “suara” dan kata “menekan” untuk gabungan kata “para pemilihnya”. Kata “membeli” dan “menekan” ditulis menggunakan tanda kutip sehingga tampak lebih menonjol. Namun, penonjolan tersebut terkesan Dalam kalimat tersebut, Kompas menggunakan leksikon “membeli” untuk gabungan kata “suara” dan kata “menekan” untuk gabungan kata “para pemilihnya”. Kata “membeli” dan “menekan” ditulis menggunakan tanda kutip sehingga tampak lebih menonjol. Namun, penonjolan tersebut terkesan
Kata “membeli” dianggap sensitif karena sesuatu yang dibeli–dalam hal ini hak suara anggota–secara ideal tidak bisa dipaksakan karena berasal dari keinginan pribadi. Jika suara dapat dibeli, maka pilihan tersebut hanya berdasarkan besarnya kompensasi (uang) yang diterima. Sementara kata “menekan” berarti melakukan tindakan agar para pemilik suara tidak memilih berdasar hati nurani tetapi karena sesuatu dari luar individu. Pada berita Kompas diatas, Yuddy Chrisnandi digambarkan tidak melakukan hal-hal tercela tersebut. Sikap Kompas yang ingin membandingkan calon ketua umum nampak jelas pada penceritaan Aburizal Bakrie sebagai pihak yang menang menjadi Ketua Umum Partai Golkar berikut.
Adapun Surya Paloh, meskipun untuk persoalan dana dan kekuatan tak ada masalah, ia tak memiliki apa yang dipunyai pesaingnya, Aburizal Bakrie yaitu segalanya. Sebut saja mulai dari jaringan, uang, hingga dukungan kekuasaan yang menyatu dan terkoordinasi.
Penekanan pada kalimat ini yaitu pada perbandingan antara Surya Paloh dan Aburizal Bakrie, dimana dikatakan bahwa Aburizal Bakrie memiliki semua kategori yang dibutuhkan untuk menjadi ketua umum. Oleh karena Aburizal memiliki segalanya, maka Aburizal Bakrie-lah yang bisa memenangkan persaingan.
Sementara dari unsur retoris, berita ini menggunakan foto yang cukup besar pada bagian atas berita. Foto tersebut menggambarkan beberapa peserta rapat yang memilih untuk tidur pada saat penghitungan suara dilakukan. Hal Sementara dari unsur retoris, berita ini menggunakan foto yang cukup besar pada bagian atas berita. Foto tersebut menggambarkan beberapa peserta rapat yang memilih untuk tidur pada saat penghitungan suara dilakukan. Hal
Sikap Kompas juga terlihat pada kalimat bagian akhir berita berikut. Munas VIII Partai Golkar berakhir semalam. Namun kesibukan belum
akan berakhir. Seorang petinggi Partai Golkar menyarankan Kompas untuk memantau transaksi bank pada Kamis siang. Apakah itu mengindikasikan adanya politik uang seperti yang tercium kuat selama Munas berlangsung? Wallahualam…
Kalimat pertanyaan pada akhir berita tersebut menunjukkan bahwa berdasar informasi orang dalam Partai Golkar, Kompas mencium adanya politik uang yang mewarnai bursa pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Namun permasalahan tersebut seakan dibiarkan Kompas menjadi sebuah misteri. Hal ini dibuktikan dengan pilihan kata “Wallahualam” yang berarti “hanya Allah yang tahu” dan tiga titik dibelakangnya. Artinya, persoalan ini dianggap Kompas sangat sulit untuk ditelusuri dan dibongkar, sehingga hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar dan siapa yang bersalah.
2. Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII
Partai Golkar tengah terpuruk karena kekalahan dua kali pemilu pada tahun 2009. Beberapa pihak menyatakan kegagalan tersebut merupakan implikasi dari multi krisis yang tengah dialami partai ini. Para pinisepuh Partai Golkar seperti mantan Menteri Keuangan JB Sumarlin, mantan Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara, hingga mantan Menteri Urusan Peranan
Wanita Sulasikin Murpratomo menyebutkan, ada beberapa alasan mengapa jumlah suara Partai Golkar terus mengalami penurunan 129 .
Pertama, pimpinan Partai Golkar tidak mampu lagi merangkul seluruh pengurus dan pendukungnya hingga ke tingkat akar rumput di pelosok desa. Padahal, pemilih Partai Golkar yang loyal justru berasal dari masyarakat di daerah pedesaan. Faisal H Basri dan Indra J Piliang dalam artikelnya yang berjudul “Sepuluh Memorandum untuk Golkar-Orde Baru” menuliskan, partai ini masih membutuhkan komunitas masyarakat di daerah untuk mengumpulkan pendukung. Pasalnya jika terjadi penolakan di tingkat pusat atau Jakarta, Partai Golkar biasanya menggunakan strategi bermain isu
kedaerahan untuk mempertahankan posisi politiknya 130 . Kedua, Partai Golkar tidak memiliki tokoh partai yang menjadi panutan seluruh kader, seperti
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat, Megawati di Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDIP), Amien Rais di Partai Amanat Nasional (PAN), atau di tubuh Partai Golkar sendiri pada era orde baru Soeharto. Ketiga, Partai Golkar kini dinilai telah kehilangan ideologinya dan tidak mampu bertahan dalam kompetisi partai politik di Indonesia.
Maka dari itu, Munas Partai Golkar VIII menjadi momentum penting yang harus dimanfaatkan partai. Agenda munas, seperti hasil evaluasi laporan pertanggungjawaban kepemimpinan Jusuf Kalla (JK) dan ketua umum partai yang terpilih akan berdampak besar untuk masa depan Partai Golkar.
129 Lihat Selengkapnya dalam Kompas, Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar, edisi 5 Oktober 2009
130 http://groups.yahoo.com/group/bubarkangolkar/message/348 akses data 16 November 2009
pukul 16.23
Pengamat politik Eep Syaefullah Fatah mengutarakan ada dua poin penting yang harus dicapai dalam pelaksanaan munas kali ini. 131 Pertama, kejelasan
rekonsiliasi dan reposisi Golkar periode 2009-2014. Kedua, pembentukan karakter Golkar, karena menurut Eep, terjadi perdebatan antara kelompok yang oportunis–yakni pihak-pihak yang hanya ingin mengambil keuntungan
untuk diri sendiri tanpa berpegang pada prinsip-prinsip tertentu 132 –dengan kelompok yang berkeinginan berjuang. Pernyataan Eep tersebut tidak salah,
pelaksanaan munas diwarnai persaingan antar kelompok. Munas tidak bisa dielakkan dari keributan antar peserta munas yang ditengarai memiliki kepentingan masing-masing. Untuk lebih jelasnya, arti penting munas dapat dilihat dalam teks berita yang disajikan di Kompas sebagai berikut.
2.1 Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII dalam Pandangan Kompas
Berita di Kompas yang bertema Arti penting Munas Partai Golkar ke
VIII diantaranya adalah sebagai berikut.
Tabel 3.4 Berita Bertema Arti Penting Munas Partai Golkar VIII
No
Judul Berita
Tgl Terbit
1 Penentuan Nasib Partai (3)
2 Oktober
2 Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar (4)
5 Oktober
Selengkapnya lihat Kompas, Golkar Harus Manfaatkan Munas untuk Kebangkitan, terbit 9 September 2009
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Cetakan kedua , Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal: 628
Berita (3) dan berita (4) sama-sama merupakan berita soft news. Persamaan lain dari dua berita ini karena keduanya merupakan rangkuman pendapat mengenai Partai Golkar dari para ahli. Jika berita (3) berisi ragam pendapat para pengamat politik pada saat pelaksanaan sebuah acara diskusi tentang Partai Golkar, maka berita (4) adalah rangkuman pendapat yang dikumpulkan Kompas dari para pinisepuh atau senior Partai Golkar.
Judul pada berita (3), “Penentuan Nasib Partai”, merupakan penegasan bahwa munas VIII memang merupakan momentum yang sangat menentukan bagi hidup mati Partai Golkar. Hal tersebut dikuatkan kembali pada penjelasan lead berita yang menggunakan unsur skrip yang cukup lengkap yakni what (apa), when (waktu), where (tempat), dan who (siapa).
Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-9 Oktober 2009 akan menjadi penentuan nasib partai itu pada masa depan. Yaitu apakah Golkar akan kembali merebut kejayaan seperti pada era Orde Baru atau semakin terpuruk.
Sintaksis narasumber yang ditulis Kompas cukup banyak, yakni Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar yang juga pendukung Aburizal Bakrie, Rully Chairul Azwar, kader Partai Golkar yang juga pendukung Yuddy Chrisnandi, Indra J Piliang, Pengamat Lingkaran Survey Kebijakan yang juga pendukung Surya Paloh, Sunarto Ciptohardjono, Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar Sultan Hamengku Buwono X, dan Yuddy Chrisnandi.
Alur berita pada berita (3) lebih banyak mengevaluasi kekurangan Partai Golkar, sehingga momentum munas harus dijadikan patokan untuk mengembalikan kejayaan partai. Perbaikan Partai Golkar ini utamanya dengan pemilihan ketua umum yang sesuai dengan kebutuhan partai.
“Permasalahannya sekarang adalah siapa calon pemimpin yang karakternya paling sesuai dengan kebutuhan Golkar?” kata Rully Chaerul Azwar.
Menurut Wartawan Kompas Suhartono, ada dua karakter calon ketua umum yang bertolak belakang dan membuat munas menjadi sangat penting untuk diberitakan.
“…Prosesi suksesi dari calon ketum golkar didukung penguasa (SBY) versus calon independen Golkar yang mewakili oposisi (rakyat).” (Wawancara dengan Suhartono)
Selanjutnya Kompas menuliskan, pemilihan Ketua Umum Partai Golkar ini terbentur oleh beberapa permasalahan internal. Pertama, terdapat tiga kelompok dominan yang ada di dalam Partai Golkar, yakni kelompok yang menginginkan berkoalisi dengan pemerintah, kelompok yang menginginkan menjadi oposan, dan kelompok muda yang memiliki idealisme tinggi. Kedua, adanya motif yang berbeda ketika memilih ketua umum partai, yakni memilih kandidat yang mampu memberi imbalan, kandidat yang kemungkinan besar menang, atau kandidat yang akan membesarkan partai.
Sikap Kompas tampak menonjol pada subjudul “Bangun Idealisme”. Dalam isi beritanya, Kompas menekankan pernyataan Sultan Hamengku Buwono (HB) X bahwa permasalahan yang tengah menimpa Partai Golkar sebenarnya karena telah hilangnya idealisme partai. Penyebabnya tidak lain karena pragmatisme politik para kader dan anggota Partai Golkar yang meresahkan. Maka, jika persoalan pragmatisme ini dapat dihapuskan, munas bisa menjadi titik tolak kejayaan Partai Golkar pada pemilu mendatang.
Anggota Dewan Penasehat Partai Golkar, Sultan Hamengku Buwono
X menilai, Golkar harus bisa membangun idealisme sesuai keberadaan roh partai. Pragmatisme yang berkembang telah melemahkan idealisme partai.
Konsolidasi internal membangun idealisme menjadi salah satu tantangan terbesar Partai Golkar yang harus bisa dipikul pengurus baru. …dst
Sementara itu, berita (4) menggambarkan bahwa pelaksanaan munas kali ini adalah pengharapan baru agar Partai Golkar bisa bangkit dari titik kritisnya. Bagian judul berita, “Musyawarah Nasional di Riau Titik Kritis Golkar”, memberi kesan bahwa Partai Golkar saat sebelum munas tengah berada pada kondisi memrihatinkan. Untuk itu, momentum nasional partai seperti munas ini menjadi penentu eksistensi partai ini di dunia politik.
Leksikon “kritis” yang digunakan Kompas mengandung arti bahwa posisi politik Partai Golkar usai pemilu presiden seperti berada diantara hidup dan mati. Analoginya, jika mampu melalui masa berat ini, Partai Golkar pasti kembali berjaya, namun jika tidak sanggup bertahan, partai tertua di Indonesia ini akan mati. Kekalahan Partai Golkar dalam pemilu presiden adalah akumulasi permasalahan internal partai. Maka dari itu, hasil dari munas diharapkan mampu membuat Partai Golkar melewati masa kritisnya.
Rendahnya perolehan suara Golongan Karya pada pemilihan umum Juli 2009 dinilai karena lemahnya kepemimpinan partai. Oleh karena itu, Munas Partai Golkar pada 5-8 Oktober 2009 di Pekanbaru Riau menjadi penting untuk melahirkan pemimpin baru yang kuat dan solid. Jika tidak, partai ini akan semakin terpuruk dalam pemilihan umum ke depan.
Unsur sintaksis narasumber yang digunakan Kompas cenderung merupakan pihak-pihak netral yang tidak memiliki kepentingan tertentu di munas. Mereka adalah JB Sumarlin (mantan Menteri Keuangan), Cosmas
Batubara (mantan Menteri Tenaga Kerja), dan Sulasikin Murpratomo (mantan Menteri Urusan Peranan Wanita).
Kompas membuat alur berita yang bersifat evaluatif, dimana narasumber yang ditampilkan Kompas pada awalnya memberikan penilaian terhadap kekurangan Partai Golkar selama ini. Akan tetapi pada bagian akhir, terutama pada subjudul pertama “Masih diperhitungkan”, Kompas berusaha menunjukkan sisi bahwa Partai Golkar sebenarnya masih punya harapan besar untuk bangkit dari keterpurukan dan seharusnya tetap harus bertahan dengan kekuatan yang dimiliki saat ini, misalnya dari sisi kualitas kader dan pengalaman partai. Lihat potongan berita berikut.
Munculnya persaingan para calon ketua Partai Golkar dari kalangan mapan dan cukup dikenal masyarakat dalam Munas mendatang, menurut Cosmas, mengindikasikan bahwa Partai Golkar masih diperhitungkan sebagai pilihan sosial politik bangsa.
Hingga saat ini, menurut Sulasikin, Golkar adalah satu-satunya partai lama yang masih bertahan utuh. “Golkar jangan sampai mengikuti partai- partai lain yang mau dipecah. Meskipun didalam partai ada konflik kepentingan, partai harus tetap utuh,” ujarnya.
Namun pada kenyataannya, Sutta Dharma dan Suhartono merasa sangat kecewa dengan tata cara dan peristiwa yang terjadi pada saat munas berlangsung. Suhartono sebenarnya mengharapkan munas berlangsung demokratis dan tidak ada intervensi dari penguasa agar harapan-harapan terhadap munas dapat tercapai. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
“Mengecewakan, karena intervensi penguasa melalui berbagai cara seperti tekanan kepada pimpinan partai golkar di daerah yang menjabat pimpinan, intervensi di panitia munas golkar, kehadiran konsultan politik Fox, yang pernah meng-arrange SBY-Boediono saat pilpres, tekanan pejabat militer, termasuk kehadiran sekretaris kabinet Sudi Silalahi di malam pemilihan ketum golkar. Kehadiran Sudi baru diketahui beberapa jam setelah pemilihan usai.” (Wawancara dengan Suhartono)
Pernyataan hampir serupa diungkapkan Sutta Dharma. Sutta berharap, Partai Golkar sebagai partai tua seharusnya bisa memanfaatkan Munas sebagai proses demokrasi yang bisa dicontoh partai lain. Namun pada pelaksanaannya, momentum tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh Partai Golkar.
“Golkar sebagai partai yang memiliki pengalaman panjang seharusnya memelopori menjadikan Munas partai sebagai puncak pelaksanaan berdemokrasi yang sesungguhnya. Munas seharusnya dimulai dari proses berdemokrasi dari tingkat ranting, cabang, daerah, wilayah, sampai ke pusat. Pembicaraan bukan dimulai dari orang tapi dimulai dari evaluasi, perumusan tantangan bangsa ke depan dan program untuk menjawab tantangan tersebut. Berdasarkan itu semua, figur pimpinan baru dipilih, bukan karena faktor perkoncoan, primordialisme, melanggengkan kekuasaan, atau uang.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
3. Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua Umum
Bukan rahasia jika Partai Golkar identik dengan politik uang. Image tersebut melekat pada Partai Golkar dan khususnya mantan Presiden Soeharto pada saat pemerintahan orde baru. Pada masa itu, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan suap menyuap adalah hal yang dianggap lumrah demi pencapaian dan pelanggengan kekuasaan. Sayangnya, politik uang atau politik transaksional masih menjadi isu sentral dalam setiap aktivitas politik Partai Golkar. Padahal Partai Golkar telah menyatakan perubahannya dalam “Paradigma Baru Partai Golkar” pada tahun 1999. Tindakan yang menyangkut uang dalam proses pencapaian kekuasaan seperti ini, disebut Firmanzah dalam buku Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi , dapat dikategorikan sebagai perilaku pragmatisme politik.
Jika ditilik dari aspek bahasa, pragmatisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: 133
1. Kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya) bergantung pada (diukur dari) penerapannya bagi kepentingan manusia
2. Paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus
3. Pandangan yang memberi penjelasan yang berguna terhadap suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat, berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis
4. Gerakan di Amerika Serikat (Bidang Filsafat) yang menentang ajaran atau teori tertentu (yang mutlak serta idealism yang bersumber pada teori yang kabur)
Dari pengertian tersebut, pragmatisme berarti keyakinan bahwa segala sesuatu yang dimaksudkan untuk kebaikan bersama bisa dicapai dengan perilaku, tindakan, dan sikap yang mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan). Dalam ranah politik, pragmatisme merupakan sesuatu tidak ideal, pasalnya pencapaian tujuan dilakukan dengan segala cara, karena terfokus pada hasil yang sesuai dengan keinginan seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian, pragmatisme adalah jalan pintas, tidak melalui prosedur berdasar etika politik yang dihormati bersama, sehingga memiliki kecenderungan untuk merusak tatanan sistem politik yang ada.
Dalam konteks Munas Partai Golkar, isu pragmatisme politik santer terdengar terutama dalam agenda pemilihan ketua umum partai. Yuddy Chrisnandi dalam beberapa kali kesempatan menyebut bahwa calon ketua umum lain sering memberi “gizi” untuk daerah yang dikunjunginya. Secara
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989
adalah uang yang dibagi-bagikan agar daerah tersebut memberikan suara kepada sang calon ketua umum. Informasi yang beredar pada pelaksanaan munas, salah satu calon ketua umum mampu memberikan Rp 500 juta hingga
1 miliar untuk satu suara. Yuddy bahkan menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap pemilik suara di munas yang sebagian besar adalah pejabat negara. Berdasar Undang Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 Pasal 12 B, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan penyelenggara negara diwajibkan untuk melaporkan
pemberian uang diatas Rp 10 juta kepada KPK 135 . Selanjutnya KPK yang memutuskan apakah uang pemberian tersebut termasuk gratifikasi atau bukan.
Namun seperti sudah diduga, politik transaksional ini tidak bisa dibuktikan dengan jelas kecuali hanya dari desas-desus pihak-pihak tertentu.
Sebenarnya secara terbuka para calon ketua umum berani menyatakan mengeluarkan banyak dana dalam proses pencalonan. Namun mereka menampik anggapan bahwa dana kampanye tersebut digunakan untuk membeli suara. Aburizal dan Surya Paloh mengatakan bahwa mereka hanya memberi santunan kepada daerah-daerah yang mereka kunjungi. Bantuan tersebut merupakan uang pembinaan agar operasional DPD bisa berjalan baik, bukan untuk membeli suara DPD yang bersangkutan.
134 Ibid, hal: 279 135 Selengkapnya lihat berita Kompas, Selidiki Politik Uang di Munas: Lebih dari Separuh
Pemilik Suara adalah Pejabat Negara, terbit 8 Oktober 2009
Disisi lain, jauh-jauh hari sebelum munas, Aburizal juga berjanji memberikan dana abadi sebesar 1 triliun untuk kas Partai Golkar jika dirinya terpilih menjadi ketua umum. Dana abadi tersebut akan digunakan untuk membangun kantor DPP baru yang lebih representatif. Janji Aburizal ini mendapat respon yang beragam dari kader partai. Sebagian pejabat Partai Golkar menganggap saat ini Partai Golkar memang masih membutuhkan orang kaya untuk membesarkan partai. Pengurus Partai Golkar tidak sedikit, sehingga butuh penyokong kokoh untuk menghidupi organisasi. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi menyatakan, Partai Golkar membutuhkan banyak uang untuk menggerakkan mesin partai di 500 daerah. Sebagai perbandingan, menurut Muladi, untuk membayar rekening listrik kantor dan gaji pegawai DPP saja membutuhkan uang Rp 300 juta per
bulan. 136 Namun sebagian lain, Yuddy diantaranya, menyatakan bahwa janji Aburizal Bakrie tersebut justru memperkuat pragmatisme politik yang telah
ada dalam internal partai. Bahkan ketika Aburizal akhirnya menang dalam pemilihan ketua umum, menurut Yuddy, hal itu menandakan idealisme dan moral Partai Golkar telah mati karena kalah dengan uang.
Kompas beberapa kali membahas politik uang dan pragmatisme politik partai ini dalam pemberitaannya. Berikut adalah gambaran isu politik uang dan pragmatisme yang dibentuk oleh Kompas.
136 Lihat selengkapnya dalam Kompas, “Aburizal Bakrie Dinilai Tepat Jadi Ketua Umum”, edisi 5 Agustus 2009
3.1 Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum dalam Pandangan Kompas
Berita di Kompas yang bertema isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar diantaranya adalah sebagai berikut.
Tabel 3.5 Berita Bertema Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar
No
Judul Berita
Tgl Terbit
1 Politik Uang Tercium Kuat di Munas (5)
7 Okt 2009
2 Selidiki Politik Uang di Munas
8 Okt 2009 *Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara (6)
Kedua berita yang dianalisis pada sub tema ini merupakan jenis berita straight news . Berita (5) yang berjudul “Politik Uang Tercium Kuat di Munas” ditulis oleh dua wartawan, Sutta Dharmasaputra dan Suhartono. Judul pada berita (5) menggunakan unsur what (apa) dan where (tempat). Unsur skrip what yang tertulis menunjukkan bahwa ada indikasi terjadinya politik uang pada pelaksanaan munas (where).
Indikasi politik uang tersebut berasal dari isu-isu yang beredar pada saat pelaksanaan munas. Penjelasannya secara lebih lengkap dapat dilihat pada paragraf lead berita berikut.
Menjelang pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, Rabu (7/10) malam ini, praktik-praktik politik uang semakin kuat tercium. Informasi yang beredar, “harga” satu suara mencapai ratusan juta rupiah.
Leksikon “harga” yang digunakan Kompas mengesankan bahwa suara pada hakikatnya tidak bisa dibeli. Harga semestinya ditujukan untuk barang yang diperjual-belikan atau memiliki nilai jual. Penggunaan tanda kutip yang diberikan Kompas menunjukkan keprihatinan Kompas pada transaksi jual beli suara dan nominal harga yang sangat tinggi. Seperti yang disampaikan Dan
Nimmo bahwa penulisan tanda kutip pada kata-kata tertentu menunjukkan keberpihakan media meskipun tersembunyi dalam koridor etika obyektivitas.
Untuk unsur sintaksis narasumber pada berita ini, Kompas cukup beragam dan lengkap sesuai prinsip cover both sides yang dikedepankan Kompas, antara lain Yuddy Chrisnandi, Marwah Daud Ibrahim (disebut sebagai tim sukses Tommy Soeharto), Ketua Sidang Paripurna Fadel Muhammad, Zainal Bintang (disebut sebagai pendukung Surya Paloh), dan Akbar Tandjung (disebut sebagai tim sukses Aburizal Bakrie). Dalam hal ini Kompas, sesuai dengan kebijakan redaksinya, berusaha menggunakan narasumber perwakilan dari masing-masing pihak yang berkepentingan.
Sikap Kompas justru terlihat dari pilihan alur dan pernyataan dari masing-masing narasumber. Pada bagian awal berita, indikasi politik uang disampaikan oleh dua calon ketua umum, yakni Yuddy Chrisnandi dan tim sukses Tommy Soeharto, Marwah Daud Ibrahim. Kedua pihak ini memberikan sinyal bahwa politik uang memang terjadi dalam proses pelaksanaan munas, utamanya dalam proses pemilihan ketua umum, dan mengklaim bahwa pihak mereka bukanlah yang melakukan hal tersebut.
Yuddy Chrisnandi, salah seorang calon ketua umum, dalam konferensi pers, Selasa, juga mengaku mendapatkan informasi yang valid soal adanya praktik politik uang itu. “Kami juga mendengar dari sumber- sumber yang layak dipercaya dan pendukung kami di DPD (Dewan Pimpinan Daerah), saat ini semakin kencang untuk memberi tawaran yang lebih besar,” kata Yuddy.
Marwah Daud Ibrahim dari tim sukses Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto juga mencium adanya praktik politik uang itu. Pihaknya pun mendapat desakan dari daerah untuk melakukan transaksi yang juga cukup besar. Namun, lanjutnya, Tommy tetap pada pendirian tidak akan terbawa arus melakukan transaksional suara.
Kompas juga menampilkan metafora yang merupakan sindiran Yuddy Chrisnandi terhadap pihak yang dirasanya melakukan politik transaksional ini.
“Saya ini elang, bukan bebek. Meskipun sendiri, tetap melayang- layang,” katanya.
Artinya, meskipun Yuddy tidak mendapatkan dukungan karena dirinya tidak memberikan materi kepada peserta munas, namun Yuddy tetap merasa percaya diri untuk berjuang seorang diri.
Setelah pernyataan tentang politik uang dari kedua calon ketua umum, Kompas tidak memuat pernyataan atau pendapat dari pihak dua kandidat yang lain, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Pernyataan dari kubu Aburizal Bakrie dan Surya Paloh ditempatkan Kompas pada sub judul kedua yakni “Optimisme Satu Putaran” di bagian akhir berita. Namun pernyataan keduanya tidak terkait dengan politik uang, mereka justru dipaparkan Kompas tengah memberikan tanggapan mengenai pemandangan umum dukungan DPD
I dan organisasi massa (ormas) kepada mereka, serta mengklaim bahwa calon yang mereka unggulkan bisa meraih kemenangan dalam satu putaran. Alur yang dibuat Kompas tersebut menegaskan bahwa Kompas memiliki pola pikir yang hampir serupa dengan Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto, yakni politik uang memang ada dan diindikasikan dilakukan oleh pihak Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kompas tampak memberikan sebuah penggambaran, sementara ada dua kandidat yang mencemaskan politik uang, dua kandidat lain yang disinyalir melakukan hal tersebut justru sibuk saling mengklaim dukungan. Keyakinan adanya politik uang juga disampaikan oleh Wartawan Kompas Suhartono berikut.
“Sudah pasti, karena sejarah dan semangat kader golkar yang biasa terjebak dalam politik uang dan pragmatisme kepentingan.” (Wawancara dengan Suhartono)
Tidak berbeda jauh dengan berita (5), pada berita (6) juga mencantumkan kata “politik uang” pada bagian judul. Bedanya, judul berita (6) yang ditulis Sutta Dharmasaputra, Syahnan Rangkuti, dan Suhartono ini dibuat seperti kalimat perintah untuk menyelidiki politik uang di munas. Kesan yang hendak dimunculkan Kompas, sudah ada bukti bahwa pada munas memang terjadi politik uang (bukan sekedar isu saja, seperti pada berita (5) diatas). Wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra juga menegaskan bahwa politik uang dalam Partai Golkar bukan hanya isu saja tetapi memang realita.
“Politik uang bukan lagi menjadi isu tapi sudah menjadi realita. Banyak kandidat menggelontorkan uang untuk mendapat dukungan. Mereka tidak berani melawan arus atau memberikan pendidikan politik pada kadernya. Panitia Munas juga tidak membuat peraturan yang ketat untuk mencegah terjadinya politik uang tapi justru menganggapnya sebagai hal yang lumrah dalam berpolitik dewasa ini. Tak pelak, Munas menjadi ajang bagi bagi uang ketimbang debat visi misi atau program brilian dan jauh ke depan.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
Kalimat perintah dalam penulisan berita di Kompas ini juga ditunjukkan pada pilihan kata “harus” yang terdapat pada kalimat lead. Komisi Pemberantasan Korupsi harus menyelidiki politik uang yang
terjadi di Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya di Pekanbaru, Riau, mengingat banyak peserta Munas merupakan pejabat Negara yang tidak boleh menerima gratifikasi.
Usulan Kompas agar KPK melakukan penyelidikan berawal dari pernyataan Yuddy Chrisnandi. Dalam tulisan Kompas, Yuddy dinyatakan sebagai pihak yang dirugikan dalam praktek politik uang di munas. Penempatan Yuddy sebagai korban memberi kesan bahwa Yuddy adalah “pahlawan” yang membuka tabir kecurangan di munas, sehingga Usulan Kompas agar KPK melakukan penyelidikan berawal dari pernyataan Yuddy Chrisnandi. Dalam tulisan Kompas, Yuddy dinyatakan sebagai pihak yang dirugikan dalam praktek politik uang di munas. Penempatan Yuddy sebagai korban memberi kesan bahwa Yuddy adalah “pahlawan” yang membuka tabir kecurangan di munas, sehingga
sebagai ”musuh” atau pihak yang jahat. 137 Unsur sintaksis narasumber yang digunakan Kompas antara lain
Yuddy Chrisnandi, Tommy Soeharto, Aburizal Bakrie, Sugeng Prawoto (disebut sebagai tim sukses Surya Paloh), dan anggota DPR dari fraksi Partai Golkar. Alur penceritaan dan penempatan narasumber pada berita (6) hampir sama dengan berita (5). Pada bagian awal, Yuddy dan Tommy memberikan pernyataannya mengenai politik uang yang terjadi pada saat munas. Yuddy, diceritakan menuntut penyelidikan oleh KPK terhadap pejabat pemerintah yang menjadi peserta munas. Sementara Tommy, menyatakan tidak mau terjebak dalam pragmatisme politik yang tidak sesuai dengan prinsip dirinya.
Berbeda dengan berita (5), pada berita (6) Kompas menampilkan pendapat dari dua pihak yang sebelumnya dikesankan sebagai pelaku politik uang, yakni Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Namun pernyataan Aburizal dan Surya Paloh yang tertulis di Kompas lebih ditekankan seperti jawaban atau pembelaan diri atas isu politik uang yang dituduhkan kepada mereka.
Aburizal Bakrie yang juga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, ketika ditanya soal politik uang hanya menyatakan bahwa setiap pengurus daerah membutuhkan dana untuk pembinaan. Aburizal yakin,
Selengkapnya Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 24-25 Selengkapnya Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 24-25
Sugeng Parwoto sebagai tim sukses Surya Paloh membantah keras adanya politik uang atau jual beli suara di munas. “Kita tidak punya kemampuan memberi uang sampai Rp 500 juta,” ujarnya.
Kedua pernyataan tersebut kemudian disanggah kembali oleh seorang fungsionaris partai Golkar yang enggan disebutkan namanya. Kerahasiaan narasumber ini, menurut wartawan Kompas Suhartono, karena Kompas selalu menjaga narasumber yang tidak bersedia disebutkan identitas dirinya. Dalam kebijakan keredaksian, Kompas menyebutnya sebagai kebijakan untuk menghargai hal-hal yang bersifat off the record. Dirinya menuturkan sangat prihatin dengan Partai Golkar yang masih menggunakan uang dalam proses politik. Dari alur tersebut, Kompas mengambil sikap untuk mendesak pihak- pihak tertentu bahwa sikap royal memberikan uang kepada daerah-daerah adalah bentuk politik yang menghancurkan partai itu sendiri.
4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
Selain tidak bisa lepas dari pengaruh uang, Partai Golkar juga dikenal sebagai partai yang keputusan politiknya penuh dengan rekayasa. Model rekayasa politik yang dikembangkan orde baru bermula dari adanya kebutuhan jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan Selain tidak bisa lepas dari pengaruh uang, Partai Golkar juga dikenal sebagai partai yang keputusan politiknya penuh dengan rekayasa. Model rekayasa politik yang dikembangkan orde baru bermula dari adanya kebutuhan jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan
Langkah-langkah politis orde baru selanjutnya yang kental dengan nuansa rekayasa, menurut Redi Panuju, pertama, menarik banyak pemilih dengan peraturan monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seluruh PNS tidak memiliki pilihan lain selain masuk dan menyalurkan aspirasi politiknya di Golkar. Kedua, kebijakan massa mengambang (floating mass) yang membuat parpol tidak memiliki kesempatan merambah tingkat pedesaan sehingga pendukungnya sangat terbatas. Golkar merupakan pengecualian, karena Golkar bisa memanfaatkan jalur ABG (ABRI, Birokrat, Golkar) yang
dapat mempermudah akses kemanapun. 139 Warisan “rekayasa” ala Soeharto ini ternyata tetap dilestarikan Partai Golkar. Meskipun telah mendeklarasikan
perubahan pasca Reformasi 1998, masyarakat masih belum bisa menghapus anggapan miring tersebut. Pasalnya, sebagian tokoh-tokoh Partai Golkar yang masih bertahan hingga saat ini merupakan loyalis Golkar pada era Soeharto.
Dalam proses pelaksanaan Munas Partai Golkar, indikasi rekayasa keputusan politik kembali tercium media. Sekali lagi, rekayasa diduga untuk memuluskan jalan calon ketua umum agar lebih mudah memenangkan kompetisi. Indikasi rekayasa sudah terendus sejak penentuan tata tertib sidang, pemilihan pimpinan sidang, aturan dan tata cara pemilihan ketua umum, hingga rekayasa kericuhan. Kericuhan dalam pelaksanaan munas ini dianggap
Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 23
Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 39-40 Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 39-40
Keributan yang terjadi pada peserta munas disebabkan karena beberapa hal. Pertama, permasalahan surat mandat ganda dari DPD II Kepualuan Seribu, Langkat, dan Halmahera Tengah. Dalam pasal 6 soal penentuan peserta munas disebutkan bahwa peserta harus membawa surat mandat dari DPD masing-masing yang diputuskan dalam Musyawarah Daerah
(Musda). 140 Surat mandat yang sah juga digunakan sebagai legitimasi hak suara milik DPD yang bersangkutan untuk keperluan voting. Kedua, kesalahan
prosedur yang terjadi ketika peserta munas mulai melakukan pemungutan suara pemilihan ketua umum. Hal ini menyebabkan banyak peserta munas tersulut emosi dan pemungutan suara diulang kembali. Kedua permasalahan ini membuat peserta munas melakukan protes dan interupsi. Para peserta saling berteriak, berebut mic, berdiri, bahkan hampir terjadi baku hantam.
Indikasi rekayasa yang terjadi pada pelaksanaan Munas Partai Golkar ternyata juga menjadi perhatian Kompas dan menempati beberapa space pemberitaannya. Untuk lebih jelasnya, indikasi rekayasa dan kericuhan pada pelaksanaan munas dalam teks berita yang disajikan di Harian Kompas dan pendapat Kompas sendiri dapat dilihat sebagai berikut.
4.1 Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas dalam Pandangan Kompas
Kompas, “Perebutan Pimpinan Munas: Munas Golkar akan Berlangsung Sengit”, edisi 6 Oktober 2009
Berita di Kompas yang bertema indikasi rekayasa dan kericuhan pada pelaksanaan munas yang dianalisis, yaitu:
Tabel 3.6 Berita Bertema Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
No
Judul Berita
Tgl Terbit
1 Perebutan Pimpinan Munas
6 Okt 2009 *Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit (7)
2 “Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan (8)
7 Okt 2009 Berita (7) yang berjudul “Perebutan Pimpinan Munas: Munas
Golkar Akan Berlangsung Sengit” ditulis oleh tiga wartawan, yakni Sutta Dharmasaputra, Suhartono, dan Syahnan Rangkuti. Berita ini adalah jenis berita straight news, sementara berita (8) berjudul “Dinamika Politik yang Bisa Mempermalukan” yang ditulis oleh Suhartono adalah feature news.
Pada berita (7), judul berita menggunakan unsur what (apa), yakni terjadinya perebutan pimpinan munas dan how (bagaimana) yakni perebutan pimpinan tersebut diperkirakan berlangsung dengan sengit. Prediksi Kompas bahwa pelaksanaan rapat dalam munas berlangsung dengan sengit juga terpapar dalam lead berita.
Rapat Paripurna I Musyawarah Nasional VIII Partai Golongan Karya yang dimulai Senin (5/20) akan berlangsung seru dan sengit. Agenda yang krusial adalah pemilihan pimpinan sidang dan pengesahan tata tertib.
Kata “sengit” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tajam, keras, sangat menyakiti hati, pedas, hebat, dahsyat, dan bengis. 141 Sehingga
leksikon “sengit” yang digunakan Kompas menunjukkan ada pihak-pihak yang bertikai dan saling menyerang dalam pelaksanaan munas. Kata sengit mengesankan bahwa pihak-pihak yang bersaing tersebut sama-sama kuat
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal: 815 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal: 815
Peserta juga sudah terbelah, khususnya antara kubu Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Tiap-tiap kandidat juga mengklaim dapat dukungan yang besar sehingga diperkirakan banyak pengurus daerah yang “bermuka dua” atau banyak yang bukan pemegang mandat atau juga ada daerah yang terpecah dan masing-masing membuat mandat sendiri.
Metafora “bermuka dua” yang berarti tidak jujur atau tidak satu pendiriannya ini ditujukan kepada pengurus daerah (DPD). Kompas memberikan penegasan bahwa kepengurusan daerah sebenarnya memiliki kepentingan ketika menjadi pendukung salah satu calon, misalnya untuk uang atau kekuasaan. Jika DPD bisa memanfaatkan keadaan dengan mendukung lebih dari satu calon, kemungkinan untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan mereka menjadi lebih besar. Seperti pengakuan dari Wartawan Kompas Suhartono yang meliput secara langsung di Pekanbaru Riau berikut.
“Pengakuan sejumlah ketua DPD Golkar yang juga merangkap bupati atau walikota. Kebetulan mereka bukan sosok yang bersih dalam memerintah sehingga gampang "ditekan" oleh aparat kejaksaan yang notabene dibawah pemerintah sehingga mereka bisa diatur untuk memilih calon yang dikehendaki oleh pemerintah. Dalam hal ini, untuk mendukung Aburizal Bakrie. Juga kehadian Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi waktu itu di salah satu ruang di acara pemilihan ketum golkar.” (Wawancara dengan Suhartono)
Prediksi adanya rekayasa dari internal peserta rapat juga dituliskan Kompas dalam proses pemilihan pimpinan sidang dan penentuan aturan Prediksi adanya rekayasa dari internal peserta rapat juga dituliskan Kompas dalam proses pemilihan pimpinan sidang dan penentuan aturan
ramai karena setiap kandidat akan berusaha memasukkan orangnya sebagai pimpinan Sidang.
Informasi yang berkembang, sudah ada upaya agar pemilik suara hanya bisa mengusulkan satu nama sehingga dari empat bakal calon yang ada bisa langsung dikerucutkan, bahkan bisa langsung ditetapkan menjadi ketua umum.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra yang melihat secara langsung pelaksanaan munas. “Dalam politik, rekayasa adalah sebuah hal yang tidak bisa dihindari
untuk mencapai sebuah tujuan. Karena itu, saya tidak dalam posisi yang anti terhadap sebuah proses rekayasa. Yang terpenting adalah tujuan dari rekayasa tersebut. Masing-masing tim sukses calon, pasti selalu menempatkan orang-orangnya untuk memuluskan pencapaian tujuan, mulai dari posisi panitia Munas, penentuan peserta Munas, Pimpinan Munas.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)
Kompas tidak menggunakan unsur sintaksis narasumber berkompeten untuk menjelaskan prediksi pelaksanaan munas, misalnya dari panitia pelaksana atau panitia pengarah munas. Narasumber yang digunakan Kompas justru fungsionaris Partai Golkar yang tidak mau disebutkan namanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa banyak hal yang disembunyikan pada pelaksanaan munas, sehingga peserta munas yang memberikan keterangan kepada media enggan untuk dipublikasikan identitasnya. Namun dilain pihak, Suhartono mengakui memang banyak menemui kendala dalam mewawancarai narasumber yang berkompeten. Pasalnya, banyak rapat yang tertutup bagi wartawan dan basecamp kubu ketua umum yang jauh dan sulit ditempuh.
Sementara, berita (8) menggunakan judul khas feature, yakni dituliskan dengan huruf miring. Dari judul tersebut, dapat menggambarkan Sementara, berita (8) menggunakan judul khas feature, yakni dituliskan dengan huruf miring. Dari judul tersebut, dapat menggambarkan
Leksikon “dinamika politik” tersebut juga dikonfrontir dalam tubuh berita tepatnya dalam pemilihan narasumber berita. Unsur sintaksis narasumber yang digunakan Kompas, pertama, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso (merupakan pendukung Aburizal Bakrie) menganggap bahwa kericuhan yang terjadi adalah sesuatu yang wajar-wajar saja terjadi dalam pelaksanaan sebuah musyawarah nasional.
“Dinamika politik itu biasa dan kita bisa menyelesaikannya. Tetapi jangan sampai mempermalukan Golkar dan terutama Pak Kalla sebagai Wapres,” ujarnya lagi
Pernyataan tersebut langsung dikonfrontir Kompas dengan jawaban Ketua Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang juga merupakan tim sukses Surya Paloh, Zainal Bintang. Pernyataan Zainal Bintang dituliskan Kompas dengan memberikan gambaran singkat tentang penyebab kericuhan.
Zainal heran, sumber masalah yang menyebabkan kericuhan dalam sidang, selain mic dan perangkat tata suara (sound system) yang ngadat sehingga terjadi rebutan antar peserta, juga karena akumulasi persaingan antar pendukung calon ketua umum yang sudah terpolarisasi.”Jadi mereka pun gampang tersulut dengan keributan kecil,” katanya lagi.
Zainal menegaskan bahwa kericuhan yang terjadi bukan proses dinamika politik yang dianggap wajar oleh Priyo Budi Santoso, karena diindikasikan Zainal menegaskan bahwa kericuhan yang terjadi bukan proses dinamika politik yang dianggap wajar oleh Priyo Budi Santoso, karena diindikasikan
Menurut Sutta Dharma, pada dasarnya Partai Golkar adalah partai yang tidak menghindari konflik namun tidak menyimpan konflik tersebut dalam jangka panjang. Kericuhan yang terjadi dalam pelaksanaan munas adalah wujud kekecewaan dan kemarahan pendukung yang tidak siap menerima kekalahan. Pasalnya, kemenangan didapatkan dengan cara yang tidak elegan dan tidak demokratis. Oleh karena itu, menurut Suhartono, seluruh perilaku elite di dalam gedung memang patut diwaspadai, misalnya dari hal yang paling kecil seperti ajakan pergi ke toilet.
“…pada saat itu, para pemilih bisa ditekan atau dipengaruhi dengan bujuk rayu atau lainnya dengan berbagai cara seperti diajak ke toilet dan disitulah dilakukan transaksi atau pembayaran tunai upah memilih calon.” (Wawancara dengan Suhartono)
Leksikon yang digunakan Kompas selanjutnya adalah gonjang-ganjing yang terdapat pada lead berita. Gonjang ganjing mengandung makna bahwa pelaksanaan munas ini penuh dengan permasalahan internal, sehingga terjadi pergolakan dan kebingungan dari internal partai sendiri. Sedangkan untuk latar berita, hampir setengah tubuh berita banyak digunakan Kompas untuk mendeskripsikan kericuhan yang terjadi di ruang rapat.
Dari pemaparan tersebut, pada awal berita, Kompas tampak menjelaskan kejadian dan pergolakan yang terjadi saat rapat berlangsung. Dua narasumber yang berbeda pendapat dimunculkan, sehingga mengesankan Kompas mengambil posisi aman dalam prinsip cover both sides. Namun disatu sisi Kompas tampak lebih memberikan perhatian bagi pernyataan Zainal Bintang yang menegaskan bahwa kericuhan yang terjadi bukan sesuatu Dari pemaparan tersebut, pada awal berita, Kompas tampak menjelaskan kejadian dan pergolakan yang terjadi saat rapat berlangsung. Dua narasumber yang berbeda pendapat dimunculkan, sehingga mengesankan Kompas mengambil posisi aman dalam prinsip cover both sides. Namun disatu sisi Kompas tampak lebih memberikan perhatian bagi pernyataan Zainal Bintang yang menegaskan bahwa kericuhan yang terjadi bukan sesuatu
5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas
Sejak Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan (PDIP) kalah dalam Pemilu 2004 dan Megawati menyatakan diri sebagai partai oposisi, peran oposisi sering dibicarakan dalam arena politik beberapa tahun kebelakang. Oposisi menurut Prof. Dr. A. Hoogerwerf disebabkan ketidakpuasan terhadap kekuasaan yang terpolarisasi pada kelompok-kelompok yang mampu
menampung tuntutan-tuntutan (artikulasi kepentingan) mereka. 142 Oposisi PDIP pada saat itu, menurut fungsionaris PDIP Tjahjo Kumolo adalah oposisi
yang efektif, mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat. 143 Oposisi ini kemudian sering disebut sebagai oposisi konstruktif.
Karena Partai Golkar juga mengalami kekalahan yang sama seperti PDIP, partai ini juga memiliki dua pilihan politis: bergabung dalam koalisi besar atau menjadi oposisi pemerintah. Wacana yang berkembang awalnya melalui pernyataan Jusuf Kalla (JK), Partai Golkar berniat menjadi oposisi. JK menganggap kekalahannya sebagai capres pada pemilu 2009 adalah penanda bahwa Partai Golkar tidak bisa lagi mendampingi pemerintahan SBY.
Peran oposisi sebenarnya masih menjadi perdebatan pelaku politik di Indonesia. Pengamat politik Indra J Piliang menyatakan, perangkat ketatanegaraan Indonesia yang menggunakan sistem kabinet presidensial
Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 31
Ibid, hal: 121 Ibid, hal: 121
Pelaksanaan munas pada tanggal 5-8 Oktober 2009 kemudian menjadi sangat politis mengingat Presiden SBY baru melantik Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 pada 20 Oktober 2009. Pihak-pihak yang menginginkan koalisi dengan pemerintah, diindikasikan berusaha mempercepat pelaksanaan munas. Tujuannya agar setelah munas, kader Partai Golkar dapat dipilih SBY sebagai menteri. Seperti diketahui, SBY masih menginginkan Partai Golkar bergabung
dalam koalisi besar Partai Demokrat hingga 2014. Menurut Redi Panuju 145 , hal ini dikarenakan SBY dengan Partai Demokrat membutuhkan sekutu
karena masih terlalu lemah untuk dapat membendung kekuatan politik eksternalnya.
Pada saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar, 12-13 Agustus 2009, Aburizal yang mendukung koalisi, berusaha memajukan tanggal pelaksanaan munas pada akhir bulan September 2009. Usul Aburizal ini ditolak, meskipun munas tetap dijadwalkan sebelum pelantikan kabinet. Bahkan pada hari-hari menjelang munas berlangsung, calon ketua umum pendukung oposisi, Yuddy Chrisnandi, masih sempat mengusulkan untuk memundurkan munas kembali pada bulan Desember. Alasannya, untuk menghormati dan ikut prihatin terhadap korban gempa Padang pada 30 September 2009 yang masih berduka.
144 Ibid, hal: 121-122 145 Ibid, hal: 47
Pilihan koalisi atau oposisi Partai Golkar juga menjadi pembicaraan politik nasional secara luas. Terlebih, dua calon kuat ketua umum partai ini secara tegas menyatakan arah politik yang berbeda. Aburizal mendukung koalisi, sementara Surya Paloh menginginkan Partai Golkar memosisikan diri menjadi oposisi. Jika Partai Golkar memilih koalisi, dianggap Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring, akan membuat parlemen menjadi tumpul. Penyebabnya, fraksi-fraksi di DPR sebagian besar merupakan koalisi besar pendukung SBY dan kader Partai Golkar Priyo Budi Santoso baru saja terpilih sebagai Wakil Ketua DPR. Namun jika Partai Golkar mendeklarasikan diri menjadi partai oposisi pemerintah, tentu ini merupakan hal baru bagi partai yang identik dengan warna kuning ini. Pasalnya, Partai Golkar selalu berada dalam lingkaran kekuasaan dan sangat asing dengan oposisi.
Terpilihnya Aburizal Bakrie menjadi titik tolak penentuan koalisi Partai Golkar bersama Partai Demokrat dalam pemerintahan. Empat kader Partai Golkar akhirnya mendapat kehormatan untuk masuk dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, diantaranya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono, Menteri Perindustrian M.S Hidayat, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar.
5.1 Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas dalam Pandangan Kompas
Berita di Kompas yang bertema Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas yang dianalisis peneliti diantaranya sebagai berikut.
Tabel 3.7 Berita Bertema Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas
No
Judul Berita
Tgl Terbit
1 Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru (9)
9 Okt 2009
2 Partai Golkar Diharapkan Tetap Komit Jadi Oposisi (10)
12 Okt 2009
Berita (9) yang berjudul “Golkar Belum Berubah Sejak Orde Baru” dan berita (10) yang berjudul “Partai Golkar Diharapkan Tetap Komit Jadi Oposisi” sama-sama merupakan jenis berita straight news. Kedua berita ini diterbitkan setelah prosesi Munas Partai Golkar VIII usai. Oleh karena itu, isi pemberitaannya menyoroti hasil dan keputusan politik terutama menyangkut posisi politis Partai Golkar dalam pemerintahan 2009-2014 yang dirumuskan pada saat munas.
Untuk berita (9), pembahasan berita secara umum ingin berfokus pada pelaksanaan Munas Partai Golkar yang masih dipenuhi dengan rekayasa politik seperti pada masa orde baru, termasuk diantaranya adalah kemenangan Aburizal Bakrie menjadi ketua umum partai ini.
Kompas menggunakan unsur sintaksis tiga narasumber yang cukup netral, yakni pengamat politik dari tiga instansi berbeda, diantaranya Arbit Sani (pengamat politik dari Universitas Indonesia), Daniel Sparingga (pengamat politik dari Universitas Airlangga), dan Lili Romli (pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Ketiganya memberikan penilaian yang hampir serupa terhadap pelaksanaan munas, bahwa banyak catatan yang harus diperbaiki partai ini untuk kehidupan politik selanjutnya.
Seperti yang diungkapkan oleh wartawan Kompas Sutta Dharmasaputra berikut. “Sayangnya, (Munas) belum menunjukkan kemajuan besar yang
banyak diharapkan banyak orang. Persaingan antar kandidat sangat ketat tapi lebih banyak diwarnai politik uang ketimbang pertarungan pemikiran politik. Pembicaraan Munas juga lebih banyak diwarnai soal pemilihan ketua umum ketimbang program partai lima tahun ke depan, atau permasalahan riel yang dihadapi bangsa ini.” (Wawancara dengan Sutta Dharmsaputra)
Menurut Sutta, Munas lebih banyak berkutat pada persoalan pemilihan ketua umum sehingga persoalan partai dalam pemerintahan atau permasalahan bangsa kurang mendapat porsi pembahasan yang besar. Padahal, pembahasan persoalan partai, seperti koalisi atau oposisi sangat berpengaruh terhadap program-program politik dalam usaha pemenangan pemilu 2014.
Dalam pemaparan Kompas, Arbit Sani menilai bahwa kemenangan Aburizal adalah kemenangan Presiden SBY, karena Aburizal dari awal sudah menyatakan akan bergabung dengan pemerintahan SBY jika dirinya terpilih menjadi ketua umum. Koalisi Partai Golkar dengan pemerintah ini, ditambahkan Lili Romli, akan memunculkan banyak konsekuensi.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lili Romli, menilai kemenangan Aburizal Bakrie akan membuat Dewan Perwakilan Rakyat tumpul karena Partai Golkar dipastikan akan berkoalisi dengan Partai Demokrat. “Sudah jelas pernyataan Ical sebelumnya bahwa dia akan membawa Partai Golkar bergabung dengan partai pemenang pemilu,” katanya.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Wartawan Kompas Suhartono. Aburizal Bakrie sejak awal memang sudah berancang-ancang menjadi partai koalisi Demokrat. Dibuktikan dengan datangnya Aburizal Bakrie ke kediaman Presiden SBY setelah munas berakhir.
“Sesaat setelah Ical terpilih, Ical langsung menemui SBY di Cikeas untuk menyatakan koalisinya dengan pemeirntah. Tentu, itu akan dilakukan oleh Ical yang sudah mendapat "restu" dari pemerintah untuk memegang Golkar. Golkar saat itu memang menantikan kadernya untuk menjadi orang pemerintah. karena, golkar terbiasa dan tidak bisa "hidup" jika tidak berkoalisi dengan pemerintah.” (Wawancara dengan Suhartono)
Leksikon tumpul digunakan Kompas diatas, menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga perwakilan dari rakyat sudah tidak bisa lagi memperjuangkan kepentingan rakyat dalam mengkritisi pemerintah. Kritik-kritik DPR terhadap pemerintah diprediksi tidak akan setajam jika ada partai besar yang berkomitmen untuk menjadi oposisi. Dalam hal ini, Kompas memberikan porsi pemberitaan yang cukup besar terhadap pernyataan Lili Romli. Hal ini dibuktikan pada penulisan berita pada bagian akhir.
Kemenangan Ical juga telah mengubah peta politik dan pemerintahan Indonesia. Kekuatan atau peran eksekutif akan lebih dominan dibandingkan dengan legislatif, seperti yang terjadi pada masa orde baru.
Dengan demikian, lanjut Lili, dikhawatirkan akan muncul demokrasi jalanan seperti yang terjadi menjelang reformasi tahun 1998.
Sementara berita (10), yang merupakan kelanjutan berita (9), pada bagian judul Kompas langsung menunjuk pada posisi politik oposisi yang diharapkan diambil Partai Golkar. Kompas tidak menggunakan unsur skrip who (siapa) pada judul maupun lead berita untuk menunjuk siapa yang mengharapkan Partai Golkar menjadi oposisi. Sehingga anjuran atau harapan tersebut seolah menjadi harapan Kompas dan harapan kebanyakan orang.
Unsur skrip who (siapa) yang mengusulkan posisi oposisi Partai Golkar ditempatkan Kompas pada tubuh berita, yakni Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring. Selain Tifatul Sembiring, Kompas memakai narasumber lain, yakni Sultan Hamengku Buwono X
(disebut sebagai mantan anggota Dewan Penasehat Partai Golkar), dan Hestu Cipto Handoyo (disebut sebagai ahli hukum tata Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta).
Anjuran itu disampaikan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring di Jakarta, Jumat (9/10) petang. Ia berpendapat, posisi tawar Golkar tetap lemah apabila memilih bergabung dengan koalisi besar pimpinan Partai Demokrat. “Karena itulah, secara pribadi saya menganjurkan Golkar tetap memegang komitmen menjadi oposisi,” katanya.
Pemilihan narasumber yang tidak menolak anjuran Tifatul Sembiring mengesankan Kompas ingin menunjukkan bahwa pernyataan Tifatul tentang posisi oposisi pemerintah adalah sesuatu yang benar dan cenderung ideal yang seharunya diambil oleh Partai Golkar. Ketidakidealan posisi Partai Golkar juga dikuatkan dengan pernyataan Hestu Cipto Handoyo yang menggunakan leksikon “lingkaran kekuasaan”.
Hestu Cipto Handoyo menilai kepemimpinan Aburizal Bakrie lima tahun kedepan akan mirip dengan gaya kepemimpinan Kalla. Golkar akan memilih masuk dalam lingkaran kekuasaan.
Leksikon kekuasaan pada gabungan kata “lingkaran kekuasaan” menunjukkan bahwa kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam lingkup pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan dikesankan menjadi sesuatu yang negatif karena di tempatkan pada sebuah lingkup (lingkaran), sehingga seakan terpisah atau dibedakan dengan pihak yang dikuasai (rakyat).
B. Melihat Bingkai Pembaca Kompas terhadap Pelaksanaan Munas Partai Golkar
Ada empat tahapan yang peneliti lakukan dalam menganalisa analisis framing ini. Tahap pertama, pengumpulan data pada level teks media berupa berita pilihan seputar Munas Partai Golkar VIII pada Harian Kompas. Tahap kedua, pengumpulan data pada sisi produksi berita yakni bagian keredaksian Harian Kompas. Tahap ketiga, pengumpulan data pada level audience atau pembaca Harian Kompas yang pernah membaca pemberitaan mengenai Munas Partai Golkar. Tahap terakhir yakni pembandingan hasil analisis teks dan pihak redaksi media massa dengan analisis hasil wawancara dengan pembaca Kompas.
Analisis teks berita dan kebijakan redaksional Kompas telah diuraikan dalam bahasan sebelumnya, sedangkan pada sub bab kedua ini peneliti mencoba melihat bingkai dan pandangan pembaca Kompas dalam mengkonstruksi realitas Munas Partai Golkar VIII. Metode yang dipakai adalah wawancara mendalam (depth interview) dengan pembaca Kompas yang pernah membaca pemberitaan Munas Partai Golkar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang peristiwa tersebut. Teknik ini digunakan sebagai alat bantu untuk mengetahui bagaimana pandangan pembaca tentang Munas Partai Golkar pada umumnya dan Partai Golkar pada khususnya setelah membaca pemberitaan di Harian Kompas.
Wawancara dilakukan peneliti berawal dari asumsi dasar framing yang salah satunya berada pada level individu. Pengguna media massa, dalam hal ini pembaca Kompas, bukan merupakan individu yang pasif dalam menerima terpaan media. Menurut Robert Entman, terdapat sekumpulan ide yang tersimpan dalam Wawancara dilakukan peneliti berawal dari asumsi dasar framing yang salah satunya berada pada level individu. Pengguna media massa, dalam hal ini pembaca Kompas, bukan merupakan individu yang pasif dalam menerima terpaan media. Menurut Robert Entman, terdapat sekumpulan ide yang tersimpan dalam
informasi yang masuk. 146 Pembaca Kompas yang diwawancarai adalah responden dari kategori
khalayak intelek yang dipilih berdasarkan pada beberapa kriteria yang ditentukan peneliti. Diantaranya adalah pernah membaca pemberitaan mengenai Munas Partai Golkar VIII di Harian Kompas pada bulan Oktober 2009 sekurang- kurangnya dua berita, serta memiliki pemahaman yang cukup baik tentang Munas Partai Golkar dan perkembangan politik bangsa secara umum. Dengan pemahaman yang baik, diharapkan responden tersebut memiliki kompetensi dan relevansi dengan permasalahan yang diangkat. Berikut adalah profil singkat masing-masing responden penelitian ini.
a) Responden I
: Eko Setiawan
Eko Setiawan berasal dari Bangka Belitung dan sedang menempuh kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS Surakarta. Bersama dengan Ansyor (responden II), Eko berlangganan Harian Kompas dan hampir membaca keseluruhan rangkaian pemberitaan mengenai Munas Partai Golkar. Selain surat kabar, laki-laki 22 tahun ini memperoleh informasi mengenai Munas Partai Golkar melalui media televisi khususnya Metro TV dan beberapa kali menyaksikan TV One. Eko
Selengkapnya lihat Dietram A. Scheufele, Framing as Theory of Media Effect, Journal of Communication, Vol. 49, Internasional Communication Assosiation, 1999, hal: 107 Selengkapnya lihat Dietram A. Scheufele, Framing as Theory of Media Effect, Journal of Communication, Vol. 49, Internasional Communication Assosiation, 1999, hal: 107
b) Responden II : Ansyor
Ansyor adalah laki-laki asli Palembang yang juga sedang melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Sama halnya dengan Eko, Ansyor yang berlangganan Harian Kompas sering menyempatkan diri membaca pemberitaan Munas Partai Golkar. Ketertarikan Ansyor terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar didorong oleh rasa penasarannya terhadap pilihan politis yang diambil partai ini. Ansyor juga sering menyaksikan pemberitaan Munas Partai Golkar di Metro TV dan TV One, meskipun Ansyor menilai pemberitaan di Metro TV pada saat munas tampak tidak obyektif. Ansyor memiliki banyak prestasi dan merupakan aktivis kampus. Dirinya mengikuti berbagai organisasi seperti HMI, HIMAKOM FISIP UNS, LPM Visi FISIP UNS, Ansyor adalah laki-laki asli Palembang yang juga sedang melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Sama halnya dengan Eko, Ansyor yang berlangganan Harian Kompas sering menyempatkan diri membaca pemberitaan Munas Partai Golkar. Ketertarikan Ansyor terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar didorong oleh rasa penasarannya terhadap pilihan politis yang diambil partai ini. Ansyor juga sering menyaksikan pemberitaan Munas Partai Golkar di Metro TV dan TV One, meskipun Ansyor menilai pemberitaan di Metro TV pada saat munas tampak tidak obyektif. Ansyor memiliki banyak prestasi dan merupakan aktivis kampus. Dirinya mengikuti berbagai organisasi seperti HMI, HIMAKOM FISIP UNS, LPM Visi FISIP UNS,
c) Responden III : Kisbandi Virdha Kurniawan Kisbandi Virdha Kurniawan berasal dari Sragen dan saat ini tinggal di Solo karena dirinya sedang menyelesaikan kuliah di Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Kisbandi tidak berlangganan Harian Kompas dan bukan pembaca Kompas yang aktif, akan tetapi dirinya beberapa kali membaca berita mengenai Munas Partai Golkar di surat kabar tersebut. Ketertarikan laki-laki berusia 24 tahun ini terhadap Munas Partai Golkar sebenarnya bermula dari banyaknya pemberitaan mengenai munas ini di TV One dan Metro TV. Selain itu, menurut Kisbandi, Partai Golkar berbeda karena memiliki tokoh-tokoh politik besar yang sama-sama memiliki kesempatan besar untuk menjadi ketua umum. Sebelum menentukan Kisbandi sebagai responden, peneliti melakukan beberapa kali diskusi dengan Kisbandi. Peneliti tertarik dengan pola pikir Kisbandi mengenai politik yang unik dan berbeda, sehingga peneliti memilihnya sebagai salah satu responden. Wawancara dengan Kisbandi berjalan dengan lancar dan menyenangkan.
d) Responden IV : Ertika Nanda
Ertika Nanda adalah gadis asli Temanggung yang kini masih menempuh kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Ertika memiliki banyak prestasi, mulai dari tingkat lokal hingga internasional, serta aktif di beberapa organisasi. Ertika yang juga merupakan Mawapres
UNS 2009 ini sebenarnya bukan pembaca aktif Kompas, namun dirinya sempat membaca berita mengenai Munas Partai Golkar dan menyaksikannya di Metro TV. Ertika mengaku tidak terlalu mengikuti perkembangan dunia politik secara menyeluruh, namun Partai Golkar adalah partai yang cukup lama dikenalnya karena faktor orang tuanya yang mengidolakan salah satu tokoh dari partai ini. Dari pengalaman dan prestasinya tersebut, peneliti meyakini Ertika memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas dan terbuka sehingga layak untuk dijadikan responden. Wawancara dengan Ertika berlangsung santai karena Ertika banyak memberikan komentar-komentar segar dalam setiap jawabannya.
e) Responden V : Rorie Asya’ri
Rorie Asya’ri bertempat tinggal di Karanganyar meskipun dirinya adalah orang Solo. Rorie masih menempuh studi di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Diusianya yang masih 22 tahun, Rorie memiliki banyak prestasi, diantaranya sebagai Putra Solo pada tahun 2007 dan Cosmopolitan Men 2009. Profesi Rorie sebagai pembawa berita di TA TV serta Master of Ceremony (MC) di berbagai acara menuntut Rorie untuk sering membaca dan melihat tayangan berita teraktual, salah satunya mengenai Munas Partai Golkar. Bagi Rorie, Munas Partai Golkar harus disimak karena Partai Golkar adalah partai besar di negeri ini. Rorie sebenarnya gemar membaca banyak macam surat kabar, namun untuk pemberitaan Munas Partai Golkar, dirinya hanya mengetahui dari Kompas Rorie Asya’ri bertempat tinggal di Karanganyar meskipun dirinya adalah orang Solo. Rorie masih menempuh studi di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Diusianya yang masih 22 tahun, Rorie memiliki banyak prestasi, diantaranya sebagai Putra Solo pada tahun 2007 dan Cosmopolitan Men 2009. Profesi Rorie sebagai pembawa berita di TA TV serta Master of Ceremony (MC) di berbagai acara menuntut Rorie untuk sering membaca dan melihat tayangan berita teraktual, salah satunya mengenai Munas Partai Golkar. Bagi Rorie, Munas Partai Golkar harus disimak karena Partai Golkar adalah partai besar di negeri ini. Rorie sebenarnya gemar membaca banyak macam surat kabar, namun untuk pemberitaan Munas Partai Golkar, dirinya hanya mengetahui dari Kompas
f) Responden VI : Haris Firdaus
Haris Firdaus berasal dan bertempat tinggal di Sukoharjo meskipun dalam kesehariannya lebih sering berada di Kota Solo. Laki-laki berusia
23 tahun ini adalah seorang fresh graduate yang kini tengah meniti kariernya sebagai wartawan di Majalah Gatra. Ketika masih menjadi mahasiswa, Haris adalah seorang aktivis pers mahasiswa yang dikenal cerdas, kritis, memiliki banyak prestasi, bahkan sempat menerbitkan sebuah buku. Lulusan cum laude ini sering menyempatkan diri untuk membaca Harian Kompas. Mengenai pemberitaan Munas Partai Golkar, Haris yang hobi menulis puisi ini memiliki banyak ketertarikan terutama dalam penayangan siaran langsung penghitungan suara pemilihan ketua umum di Metro TV dan TV One. Alasannya dalam melihat pemberitaan mengenai isu ini bagi Haris karena Munas Partai Golkar yang disiarkan langsung melalui media televisi ini terjadi kericuhan dan konfrontasi politik yang tajam. Wawancara dengan Haris sangat mengasyikkan, karena Haris adalah sosok yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang sangat luas karena kegemarannya membaca.
g) Responden VII : Paramita Sari
Paramita Sari berasal dari Yogyakarta namun berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS Surakarta. Paramita beberapa kali membaca pemberitaan Munas Partai Golkar terutama pada bulan Oktober dan Paramita Sari berasal dari Yogyakarta namun berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS Surakarta. Paramita beberapa kali membaca pemberitaan Munas Partai Golkar terutama pada bulan Oktober dan
h) Responden VIII : Joni Rusdiana
Joni Rusdiana lahir di Banjarnegara dan selama beberapa tahun terakhir Joni menetap di Kota Solo. Joni kini tengah menempuh kuliah program magister di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Joni yang kini menjadi tenaga pengajar di Universitas Boyolali adalah mantan aktivis pers mahasiswa yang sangat kritis dan cerdas. Sebenarnya Joni tidak secara khusus mencari pemberitaan Munas Partai Golkar ketika membaca Harian Kompas. Namun dirinya beberapa kali membaca berita Munas Partai Golkar karena menurutnya, munas sebuah partai adalah sesuatu yang penting untuk diketahui. Terlebih lagi, Partai Golkar adalah partai besar yang memiliki cerita sejarah yang sangat panjang. Peneliti sangat tertarik menjadikan Joni sebagai responden penelitian karena Joni adalah sosok yang sangat cerdas dan berwawasan luas. Terbukti, wawancara Joni Rusdiana lahir di Banjarnegara dan selama beberapa tahun terakhir Joni menetap di Kota Solo. Joni kini tengah menempuh kuliah program magister di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Joni yang kini menjadi tenaga pengajar di Universitas Boyolali adalah mantan aktivis pers mahasiswa yang sangat kritis dan cerdas. Sebenarnya Joni tidak secara khusus mencari pemberitaan Munas Partai Golkar ketika membaca Harian Kompas. Namun dirinya beberapa kali membaca berita Munas Partai Golkar karena menurutnya, munas sebuah partai adalah sesuatu yang penting untuk diketahui. Terlebih lagi, Partai Golkar adalah partai besar yang memiliki cerita sejarah yang sangat panjang. Peneliti sangat tertarik menjadikan Joni sebagai responden penelitian karena Joni adalah sosok yang sangat cerdas dan berwawasan luas. Terbukti, wawancara
Untuk mengetahui persepsi delapan responden penelitian tersebut mengenai Munas Partai Golkar ke VIII, peneliti mengelompokkan hasil wawancara mereka ke dalam lima sub tema yang telah ditentukan diawal.
Kompas terhadap Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar
1. Pandangan
Pembaca
Persaingan dalam perebutan Ketua Umum Partai Golkar ternyata mendapat perhatian yang besar dari pembaca Kompas. Penyebabnya, selain karena ada persaingan secara terbuka di media massa, para kandidat ketua umum adalah tokoh-tokoh politik di Indonesia yang sudah cukup lama dikenal masyarakat. Kiprah mereka dalam dunia politik tidak saja terdengar pada saat pelaksanaan munas, tapi sudah semenjak bertahun-tahun yang lalu. Berikut dipaparkan pendapat pembaca Kompas mengenai masing-masing kandidat Ketua Umum Partai Golkar.
Berdasarkan huruf abjad, kandidat pertama adalah Aburizal Bakrie atau yang kerap disapa dengan nama Ical. Ical sudah sejak lama dikenal masyarakat sebagai salah satu konglomerat atau orang paling kaya di Indonesia. Kelompok perusahaan keluarganya, Bakrie Group of Companies, terdiri dari perusahaan-perusahaan besar yang sukses dibidang usahanya masing-masing, antara lain pertambangan, telekomunikasi, media massa, real estate , dan lain sebagainya. Setelah menjadi saudagar kaya, Ical kemudian Berdasarkan huruf abjad, kandidat pertama adalah Aburizal Bakrie atau yang kerap disapa dengan nama Ical. Ical sudah sejak lama dikenal masyarakat sebagai salah satu konglomerat atau orang paling kaya di Indonesia. Kelompok perusahaan keluarganya, Bakrie Group of Companies, terdiri dari perusahaan-perusahaan besar yang sukses dibidang usahanya masing-masing, antara lain pertambangan, telekomunikasi, media massa, real estate , dan lain sebagainya. Setelah menjadi saudagar kaya, Ical kemudian
“Aburizal Bakrie memang orang yang kaya dan Golkar jadi money oriented , apa-apa seperti hanya uang dan uang. Tapi Aburizal Bakrie memang dia berpengalaman, pengalaman organisasi dia panjang, dia juga orang yang ‘punya’. Tapi harus diingat partai politik itu tidak hanya memimpin partai politik saja tapi juga memimpin banyak orang dan memimpin bangsa walaupun dalam scoop yang lebih kecil, yakni anggota Golkar.” (wawancara dengan Rorie Asyari)
Menurut Rorie, tidak hanya karena kaya, nama Aburizal Bakrie dikenal luas masyarakat sejak kasus semburan lumpur panas dari perusahaan miliknya, PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur sejak 27 Mei 2006, tidak kunjung terselesaikan. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur. 147 Bahkan hingga kini, para korban masih meminta pertanggungjawaban PT Lapindo Brantas atas kerugian yang mereka
derita. Permasalahan ini dianggap Rorie merupakan sebuah kasus berat yang erat kaitannya dengan pencalonan Aburizal Bakrie menjadi ketua umum.
“…Kalau kita mau flashback, dia tersangkut masalah Lapindo dan itu belum beres. Justru banyak pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di Lapindo. Jadi alangkah tidak pantas dan tidak layak apabila seorang ketua dipilih berdasar materi, tanpa memerhatikan kurangnya dia. Lapindo saja
147 http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo Akses tanggal 27 Pebruari 2010 pukul 19.27 WIB 147 http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo Akses tanggal 27 Pebruari 2010 pukul 19.27 WIB
Melihat permasalahan yang sedemikian pelik, menurut Rorie, mempersulit posisi Aburizal dalam bursa pencalonan ketua umum. Namun, pernyataan berbeda di katakan oleh Eko Setiawan. Menurut Eko, banyak alasan yang membuat Aburizal bisa dengan mudah memenangkan kompetisi. Salah satunya karena Aburizal telah mempersiapkan pencalonan dirinya sejak beberapa tahun silam.
“Ical cukup baik dalam membangun dukungan, mulai dari menggaet Akbar Tandjung maupun Agung Laksono. Ical memang terlihat sangat siap menghadapi munas ini sampai ke internal DPD. Yang kedua, meminjam istilah Yuddy yaitu ‘gizi’ atau apalah namanya, namun itu belum terbukti.” (wawancara dengan Eko Setiawan)
Aburizal, dalam pandangan Eko, cukup cerdas membangun jaringan pendukung dalam internal partai. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya dukungan yang mengalir, terutama dari tim suksesnya yang terdiri dari tokoh- tokoh penting Partai Golkar pada masa lalu, yakni Akbar Tandjung dan Agung Laksono. Aburizal juga dinilai Eko telah berhasil merangkul kepengurusan di daerah-daerah untuk mendukung pencalonan dirinya. Meskipun demikian, menurut Eko, Aburizal tidak bisa lepas dari isu politik uang dalam pencapaian tujuan politiknya tersebut.
Kandidat kedua adalah Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Tommy adalah anak bungsu mantan Presiden Soeharto yang pada masa orde baru kerap dijuluki dengan julukan Pangeran Cendana. Reputasi Tommy sebenarnya tidak terlalu baik di mata pembaca Kompas. Tommy adalah seorang pengusaha yang pengalaman politik di Partai Golkar sangat minim.
Terlebih lagi Tommy pernah masuk penjara karena menjadi otak pembunuhan Hakim Agung yang menangani kasus korupsinya, Syafiuddin Kartasasmita pada 26 Juli 2001. Namun, menurut Joni Rusdiana, bagaimanapun label “Keluarga Cendana” masih memiliki magnet yang cukup besar di masyarakat.
“…dia berusaha menghidupkan lagi dinasti bapaknya, karena Cendana itu kuat. Sosok Golkar, Soeharto, Cendana itu sangat kuat. Cendana saya pikir masih punya pe-de (percaya diri) yang sangat besar, meskipun juga dicaci masyarakat habis-habisan, dibongkar dengan perkara yang besar dan banyak. Tapi tetap pe-de karena seperti dinasti di Indonesia. Sepertinya dia merasa bahwa mahkota dari bapaknya itu diberikan ke dia. Trackrecord Tommy kita sudah tahu suka main wanita, suka balap, bisnis kotor.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Menurut Joni, meskipun Tommy memiliki masa lalu yang kurang terpuji, tetapi Tommy masih memiliki kesempatan dalam bursa pemilihan Ketua Umum Partai Golkar karena faktor nama besar keluarganya tersebut.
Pendapat berbeda disampaikan Ertika Nanda. Menurut Ertika, meskipun Tommy masih mengandalkan nama orangtuanya, masyarakat Indonesia sudah tidak lagi memercayai apa saja yang diwariskan oleh keluarga Soeharto. Dalam pernyataan Ertika, masyarakat sudah mulai dewasa, dapat menentukan mana yang baik dan yang tidak baik untuk masa depan politik bangsa.
“…dia bergerilya kepada tetua Golkar dan mungkin hanya mengandalkan dia sebagai putra pimpinan masa orde baru. Tapi itu ya lucu, karena dia masih berani, masyarakat kita kan sudah lebih krtitis.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Meskipun langkah politik Tommy Soeharto masih dianggap sebagian orang mendompleng nama-nama besar tokoh pada masa lalu, uniknya Tommy berusaha menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Tommy mengaku Meskipun langkah politik Tommy Soeharto masih dianggap sebagian orang mendompleng nama-nama besar tokoh pada masa lalu, uniknya Tommy berusaha menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Tommy mengaku
“…mungkin sebagian orang menganggap dia akan melakukan segala cara di munas. Tapi saya melihat dia mau memperbaiki citra dirinya yang selama ini mungkin dianggap korup.” (Wawancara dengan Ansyor)
Dalam pandangan Ansyor, pencalonan Tommy Soeharto sebagai Ketua Umum Partai Golkar sekaligus sebagai bukti kepada masyarakat bahwa Tommy Soeharto yang sekarang tidak sama dengan Tommy Soeharto yang dulu. Tommy Soeharto yang sekarang bukan merupakan sosok yang dekat dengan korupsi ataupun suap menyuap seperti yang sudah melekat pada dirinya dan keluarganya pada masa lampau.
Kandidat Ketua Umum Partai Golkar selanjutnya adalah Surya Paloh. Surya Paloh cukup dikenal pembaca Kompas sebagai seorang pengusaha media massa. Surya Paloh selalu berusaha menempatkan dirinya sebagai tokoh yang nasionalis dan sering muncul di media dengan orasi politiknya yang terkenal keras. Salah seorang pembaca Kompas yang menganggap demikian adalah Joni Rusdiana.
“…dia ingin mencitrakan dirinya nasionalis. Aku tertarik ketika Tsunami Aceh dia mengambil kebijakan medianya yang pertama terjun ke lapangan, media lain enggak. Tampaknya dia ingin jadi orang yang dianggap kacang sing ora lali karo lanjaranne. Dia memang berada di Jakarta, tapi asalnya bukan dari Jakarta, dia punya kampung halaman. Dia ingin membesarkan kampung halaman. Dia nasionalis, tapi aku kurang tahu nasionalis yang seperti apa. Soalnya dia nasionalis yang teoritis
PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara) banget. Bahasanya berapi-api tapi esensinya tidak tahu.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Joni berpendapat, Surya Paloh menggunakan dua cara untuk menunjukkan tingkatan nasionalisme dirinya. Pertama, meskipun dirinya telah sukses di ibu kota Jakarta namun Surya Paloh tetap memberikan perhatian yang besar kepada tanah kelahirannya di wilayah Paloh, Nangroe Aceh Darussalam. Kedua, Paloh sering melakukan orasi dan pidato politik yang berapi-api tentang nasionalisme bangsa, terutama di media miliknya, Metro TV dan Media Indonesia. Namun dilain pihak, terlalu seringnya Surya Paloh muncul di media, menurut Joni, justru menimbulkan kesan yang buruk terhadap Surya Paloh sendiri.
“…Penting juga, dia salah satu orang yang narsis. Metro TV itu ketika Surya Paloh meresmikan apa saja, pasti diliput.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Senada dengan Joni, Haris Firdaus juga menganggap Surya Paloh adalah tokoh politik yang terlalu sering muncul di media. Eksistensi Surya Paloh, menurut Haris, bukan karena prestasinya di dunia politik. Melainkan karena Surya Paloh memanfaatkan media massa miliknya untuk mempopulerkan diri. Metro TV pun selalu berusaha menampilkan citra positif terhadap sosok Surya Paloh. Padahal jika ditelisik lebih jauh, menurut hemat Haris, Surya Paloh sebenarnya memiliki sejarah politik yang dekat dengan orde baru.
“… dia sebenarnya terlau narsis. Surya Paloh sebenarnya pemain lama, pemain sangat senior di bidang pers dari sejak orde baru. Dia dekat sekali dengan orang-orang orde baru. Jadi saya heran bagaimana dia bisa memimpin Metro yang seolah-olah sangat reformis dan demokratis, padahal Surya Paloh punya rekam jejak yang sangat dekat dengan orde “… dia sebenarnya terlau narsis. Surya Paloh sebenarnya pemain lama, pemain sangat senior di bidang pers dari sejak orde baru. Dia dekat sekali dengan orang-orang orde baru. Jadi saya heran bagaimana dia bisa memimpin Metro yang seolah-olah sangat reformis dan demokratis, padahal Surya Paloh punya rekam jejak yang sangat dekat dengan orde
Citra Surya Paloh yang lekat dengan orde baru ini, dalam pandangan Haris, berusaha ditutup Surya Paloh dengan bentuk media massanya, Metro TV, yang selalu kritis dan reformis.
Kandidat terakhir adalah Yuddy Chrisnandi. Nama Yuddy sebelumnya tidak terlalu dikenal oleh masyarakat meskipun dirinya aktif dalam kepengurusan DPP Partai Golkar. Namun pada saat pencalonan Yuddy menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Yuddy lebih sering muncul di media massa. Yuddy dikesankan media sebagai tokoh muda yang masih menjunjung idealisme tinggi terhadap partai. Kemunculannya menjadi salah satu calon ketua umum dianggap pembaca Kompas seperti sebuah oase ditengah pragmatisme politik para calon ketua umum. Salah satu pembaca Kompas yang memiliki pendapat serupa adalah Paramita Sari.
“…Sebenarnya dia benar-benar visioner, mungkin dia ada kepentingan tapi dia adalah kandidat yang paling bersih dari keempat kandidat lain.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Paramita menggunakan kata “bersih” untuk menunjukkan bahwa dalam persaingan pemilihan Ketua Umum Partai Golkar memang ada dugaan terjadi politik uang, sedang Yuddy Chrisnandi adalah kandidat ketua umum yang dipercaya tidak melakukan hal tersebut. Sementara Kisbandi Virdha mencoba realistis bahwa Yuddy juga mengeluarkan banyak uang dalam proses pemilihan meskipun tidak ditujukan untuk membeli suara. Namun disisi lain,
Kisbandi mengakui bahwa Yuddy adalah seorang generasi muda yang memiliki idealisme tinggi untuk membesarkan partai.
“…walaupun dia menawarkan “cuma” dengan biaya 1 milyar, tapi dia punya idealisme yang tinggi untuk memperbaiki keterpurukan partai. Satu-satunya yang ditawarkan itu hanya idealismenya saja. Dia juga kritis karena dia termasuk golongan pemuda. Jadi saya rasa dia lebih kritis daripada tiga kandidat lainnya. Tapi seperti pemikiran kaum muda, dia juga hanya kritis tanpa hati-hati atau sembrono, tanpa melihat imbas setelah melakukan itu. Terlebih lagi dia juga tidak menawarkan sesuatu yang lain, dia hanya menawarkan idealisme saja.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha Kurniawan)
Sayangnya menurut Kisbandi, Yuddy hanya memanfaatkan kepercayaan masyarakat tentang generasi muda yang kritis dan idealis dalam menyikapi dinamika politik yang tengah terjadi. Yuddy, sebagai calon yang paling muda diantara calon yang lain, menjadikan doktrin tersebut sebagai kekuatan dirinya. Dalam bahasa Eko Setiawan, Yuddy memang tidak punya kekuatan lain selain idealisme tersebut.
“…Yuddy tidak punya senjata lain untuk menyerang calon lain. Yuddy tidak punya uang untuk mempengaruhi, kemudian mengajak untuk kembali pada sesuatu yang lebih ideal.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Secara terbuka sebelum munas, keempat kandidat tersebut saling menyerang dan menjatuhkan calon lain di media massa. Persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar yang diekspos besar-besaran di media massa merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat. Kampanye di media massa biasanya hanya dilakukan dalam proses pileg atau pilpres yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Namun Rorie menganggap persaingan calon Ketua Umum Partai Golkar di media merupakan sesuatu yang lumrah dan hanya merupakan rangkaian kampanye politik biasa. Seperti yang diungkapkan oleh
Norris (2000) yang dikutip Firmanzah, bahwa kampanye politik adalah suatu proses komunikasi politik, di mana parpol atau kontestan individu berusaha mengkomunikasikan ideologi maupun program kerja yang mereka
tawarkan. 148 “Biasa peperangan dalam media itu. Sebagai negara demokrasi
tentunya Indonesia seharusnya melegalkan, saling menjatuhkan melalui media itu hal yang lumrah. Karena mereka pasti ada agenda untuk menjatuhkan pesaing mereka yang pasti berimbas pada elektabilitas, atau untuk mempopulerkan diri agar terkesan lebih mampu dibandingkan yang lain.” (Wawancara dengan Rorie Asyari)
Saling serang, klaim dukungan, menuduh pihak lain yang dilakukan oleh keempat calon ketua umum dan masing-masing tim suksesnya, dalam kacamata Rorie, merupakan sesuatu yang bisa di maklumi di era keterbukaan informasi. Setiap pihak berhak menyampaikan pendapat dan gagasan, asalkan sesuai dengan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena, seperti yang diungkapkan Amien Rais, dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemerintah
menjamin kebebasan berpendapat dan persuratkabaran. 149 Namun, Ertika menuturkan, akan lain halnya jika para calon ketua
umum bukan pemilik media. Pemilihan ketua umum partai pada dasarnya tidak berdampak secara langsung bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Namun karena dua dari empat calon ketua umum adalah pemilik media berita terbesar di Indonesia, pemberitaan tentang persaingan ini menjadi agenda utama media yang bersangkutan.
148 Firmanzah, Ph.D, Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal: 267
Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 9
Ertika mencontohkan jika calon ketua umum Partai Demokrat merupakan pemilik media, terutama media televisi, maka munas dan pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat pasti juga menjadi topik pemberitaan utama. Senafas dengan Ertika, Kisbandi juga menilai kepemilikan media sangat berpengaruh terhadap citra Partai Golkar di masyarakat dan elektabilitas sang calon ketua umum.
“Jelas persaingan tidak seimbang. Dua kandidat, Ical dan Surya Paloh punya media besar skala nasional. Sebenarnya kalau dipartai lain pun kalau kandidat-kandidatnya ingin meraih posisi Ketua Umum mereka punya media, itu juga akan terlihat seperti Golkar. Terlihat “Wah” karena kandidat ketua umum Golkar punya media. Jadi dia begitu di blow up-nya sampai segitunya, kita pun kaget, kok Golkar pemilihannya sampai sebegitunya.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha Kurniawan)
Lebih jauh, Haris menyayangkan sikap media massa yang demikian. Media seharunya menjadi pihak yang netral dan independen dari intervensi apapun dari luar, termasuk dari persoalan modal. Inilah yang mendasari adanya pembedaan pimpinan dalam sebuah perusahaan media massa, yakni pemimpin redaksi dan pemimpin perusahaan. Pemisahan ini bertujuan untuk menjaga agar idealisme di ruang redaksi tidak mendapat pengaruh dari permasalahan kapital pada ruang perusahaan dan iklan. Namun dalam prakteknya, pemilahan kepentingan ini sangat sulit untuk diterapkan. Pasalnya, seperti yang diutarakan Brian McNair, bahwa isi media salah satunya ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan politik (political approach).
“…mereka mendayagunakan media massa mereka. Ini menunjukkan pada satu kondisi tertentu, media massa tidak bisa lepas dari jerat persoalan modal. Metro yang berani dan kritis, sampai pada pemilik, seperti sudah selesai persoalannya. Itu sebenarnya salah, publik tidak butuh siapa calon Golkar, dukungannya seperti apa. Golkar hanya satu partai politik saja, dan itu pemilihannya bersifat internal. Ini menunjukkan “…mereka mendayagunakan media massa mereka. Ini menunjukkan pada satu kondisi tertentu, media massa tidak bisa lepas dari jerat persoalan modal. Metro yang berani dan kritis, sampai pada pemilik, seperti sudah selesai persoalannya. Itu sebenarnya salah, publik tidak butuh siapa calon Golkar, dukungannya seperti apa. Golkar hanya satu partai politik saja, dan itu pemilihannya bersifat internal. Ini menunjukkan
Meskipun Aburizal Bakrie dan Surya Paloh merupakan pemilik media massa, dalam perspektif Haris, seharusnya mereka bisa memilahkan kepentingan pribadi dengan kepentingan media. Masyarakat Indonesia tidak memiliki hak suara terhadap pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, hak suara hanya dimiliki oleh utusan dari masing-masing Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar. Jadi, pemasangan iklan kampanye yang cukup besar di surat kabar dan pemberitaan yang berlebihan di media televisi, menurut Haris, berarti mempergunakan ruang publik dengan cara yang tidak bijaksana. Pun demikian dengan kader Partai Golkar. Dalam pandangan Haris, para kader sebenarnya tidak membutuhkan iklan atau pemberitaan yang terlalu banyak di media massa. Sebagai anggota partai yang merasakan secara langsung kepemimpinan para kandidat, mereka seharusnya sudah memiliki penilaian tersendiri terhadap masing-masing kandidat.
Menurut Haris, salah satu kriteria ketua umum Partai Golkar yang ideal adalah ketua umum yang memulai karir politiknya dari bawah, bukan sosok yang masuk ke dalam partai karena punya uang dan dukungan. Seperti yang tertulis pada poin keenam Visi Partai Golkar pada periode kepengurusan 2004-2009, yang menjelaskan bahwa Partai Golkar adalah partai yang mengakar. Artinya, partai ini berusaha agar anggota dan kadernya tumbuh dan berkembang dari bawah berdasar azas prestasi, bukan nepotisme atau kolusi. Partai Golkar sebenarnya punya banyak kader berkualitas, tapi kemudian Menurut Haris, salah satu kriteria ketua umum Partai Golkar yang ideal adalah ketua umum yang memulai karir politiknya dari bawah, bukan sosok yang masuk ke dalam partai karena punya uang dan dukungan. Seperti yang tertulis pada poin keenam Visi Partai Golkar pada periode kepengurusan 2004-2009, yang menjelaskan bahwa Partai Golkar adalah partai yang mengakar. Artinya, partai ini berusaha agar anggota dan kadernya tumbuh dan berkembang dari bawah berdasar azas prestasi, bukan nepotisme atau kolusi. Partai Golkar sebenarnya punya banyak kader berkualitas, tapi kemudian
Pendapat berbeda disampaikan Rorie. Rorie mencontohkan, pemimpin partai yang paling ideal adalah kepemimpinan model Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat. Selama enam tahun terakhir, SBY menjadi maskot Demokrat, meskipun banyak anggapan bahwa unsur ketokohan di Partai Golkar terlalu tinggi. Namun Rorie melihat, bentuk kepemimpinan ini seharusnya ditiru oleh partai lain karena hampir tidak ada gejolak dalam internal partai.
Gejolak dalam internal partai memang menjadi persoalan yang serius di Partai Golkar. Permasalahan internal seperti pertikaian dan perbedaan arah politik para kadernya seolah menjadi konsumsi orang banyak. Citra partai yang demikian tentu berpengaruh terhadap elektabilitas Partai Golkar untuk pemilu mendatang. Oleh karena itu, Ketua Umum Partai Golkar yang terpilih harus mampu memperkuat hubungan antar kader dan anggota partai. Seperti yang diutarakan oleh Eko berikut.
“Golkar harus menyolidkan internal. Karena didalam Golkar terdapat faksi-faksi tertentu, misal pendukung JK (Jusuf Kalla), pendukung Akbar, dan itu harus disolidkan untuk pemilu berikutnya, kemarin terlihat Golkar tidak solid ketika mendukung JK.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Jika partai bisa menunjukkan kesolidan internal di depan publik, menurut Eko, masyarakat akan menaruh kepercayaan yang besar. Semakna dengan Eko, Paramita juga menganggap bahwa citra partai adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Sebenarnya ada beberapa strategi yang bisa Jika partai bisa menunjukkan kesolidan internal di depan publik, menurut Eko, masyarakat akan menaruh kepercayaan yang besar. Semakna dengan Eko, Paramita juga menganggap bahwa citra partai adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Sebenarnya ada beberapa strategi yang bisa
fantasi tentang simbol-simbol yang ada. 150 Namun, menurut Paramita, citra Partai Golkar yang baru justru belum terlihat jelas dan nyata.
“Seharusnya dia harus memperlihatkan dengan jelas kepada masyarakat tentang citra Golkar sendiri karena di masa orde baru citra Golkar negatif. Yang ideal untuk posisi pimpinan Golkar kali ini dia bisa menjelaskan kepada masyarakat bahwa Golkar itu sudah berubah, dia tidak lagi menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam hal yang negatif, tapi dia berada dalam pemerintahan yang menjalankan tugasnya dengan baik.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Paramita menegaskan bahwa Partai Golkar harus bisa menghadirkan karakter partai yang baru dan menghapuskan citra orde baru dalam tubuh Partai Golkar. Pendapat senada dinyatakan oleh Joni. Namun Joni menganggap, citra Partai Golkar yang lekat dengan orde baru ini justru yang menyebabkan Partai Golkar mampu bertahan pada tingkat akar rumput.
“…Golkar itu pemain lama. Golkar itu sangat multikultur, banyak kepentingan, dia partai besar yang sangat susah untuk ditumbangkan. Menurutku Golkar itu sudah mengakar dari masyarakat, sosok-sosok Golkar, seperti Soeharto bersama menteri-menteri sampai bawah- bawahnya. Buat masyarakat kampung terutama, buat mereka, PNS kan masih menjadi prestis yang prestisius.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Joni sependapat dengan Paramita bahwa seharusnya citra buruk orde baru, salah satunya mencakup politik yang menggunakan uang, harus dihapuskan jika ingin Partai Golkar tetap mendapat dukungan dari tingkat sosial masyarakat lainnya. Namun dilain pihak, Partai Golkar tidak bisa
150 Op.Cit, hal: 249 150 Op.Cit, hal: 249
“Ketua umum Golkar syaratnya, selain bermodal kuat, karena sekarang partai kan biaya operasional partai sangat tinggi, dia juga harus punya kemampuan untuk meramu atau meracik sistem agar berjalan dengan lancar.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha)
Jadi, meskipun kebutuhan keuangan organisasi sangat tinggi, Kisbandi juga menekankan pentingnya kapabilitas dan idealisme ketua umum untuk membesarkan partai. Tidak berbeda jauh dengan Kisbandi, Ansyor menuturkan, idealisme yang tinggi seperti visi dan misi Yuddy Chrisnandi adalah kriteria yang paling dibutuhkan untuk memperbaiki paradigma baru Partai Golkar. Uang, menurut Ansyor, bukan hal mutlak yang harus dimiliki oleh seorang calon ketua umum.
“Seharusnya idealisme yang diutamakan, jadi tidak melihat calon itu berasal dari orang kaya. Kemudian mereka nanti bisa menghidupi partai, lalu calon itu telah memberi sesuatu kepada kita tetapi kita melihat bagaimana visi dan misi dia kedepan.” (Wawancara dengan Ansyor)
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar pada dasarnya disebabkan oleh kepemilikan media massa besar di Indonesia oleh dua orang kandidat sehingga proses kampanye sangat di blow up. Persaingan yang memanas tersebut dimanfaatkan keempat kandidat untuk saling menyerang dan menjatuhkan pihak lain. Berikut adalah rangkuman pendapat mengenai persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar dari masing-masing responden.
Tabel 3.8 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Persaingan Antar Calon Ketua Umum
No Nama
Pendapat
1 Eko Pesaingan karena kurang solidnya hubungan internal antar Setiawan kader partai, sehingga para calon saling menyerang di media massa. Sebenarnya Yuddy Chrisnandi adalah calon yang paling ideal dan berkompetensi, namun Yuddy terbentur masalah dana yang terbatas. Bagaimanapun DPD membutuhkan biaya untuk operasional sehingga akan memilih calon ketua umum yang kaya dan rela mengeluarkan banyak uang untuk kader dan partai
2 Ansyor Persaingan calon sangat terlihat karena pemanfaatan media milik calon ketua umum. Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar terlalu fokus pada calon yang kaya sehingga kurang memperhatikan visi dan misi serta idealisme calon ketua umum
3 Kisbandi Persaingan calon ketua umum tidak seimbang karena dua calon Virdha
merupakan pemilik media besar nasional. Pemilihan ketua umum partai sebenarnya adalah hal yang biasa, namun pemilihan Ketua Umum Partai Golkar terlihat istimewa karena di blow up media dan para calon adalah orang-orang kaya
4 Ertika Persaingan ketua umum di ekspos media karena faktor Nanda
kepemilikan media. Selain itu juga karena ada perilaku boros para calon ketua umum, misalnya carteran pesawat untuk berangkat ke tempat munas dan pelesiran. Hal tersebut mengindikasikan adanya permainan uang.
5 Rorie Persaingan di media massa sebenarnya adalah sesuatu yang Asya’ri
lumrah dan wajar karena setiap pemilihan umum pasti ada agenda untuk saling menjatuhkan pihak lain. Namun bentuk kepemimpinan di Partai Golkar tidak ideal, karena tidak ada ketokohan yang kuat seperti SBY di Partai Demokrat.
6 Haris Persaingan terlalu berlebihan karena mempergunakan ruang Firdaus
publik di media massa. Hal ini mengindikasikan idealisme ruang redaksi media massa tidak bisa terlepas dari pengaruh kepemilikan modal. Di lain pihak, Partai Golkar terlalu banyak mendapat campur tangan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan yang kemudian masuk ke dalam partai, sehingga partai ini tidak berdaya dan tidak bisa menegakkan kedaulatan.
7 Paramita Persaingan antar calon ketua umum disebabkan karena adanya Sari
kepentingan dari masing-masing calon. Salah satunya adanya perbedaan kepentingan antara pihak yang menginginkan koalisi dan pihak yang menginginkan menjadi oposan pemerintah.
8 Joni Persaingan antar calon ketua umum tidak wajar karena dalam Rusdina
satu partai seharusnya saling mendukung dan berintegrasi. Tapi mereka menggunakan konflik karena ada kepentingan masing- masing calon ketua umum diluar kepentingan partai.
2. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Arti Penting Munas
Pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII cukup mendapat perhatian media massa. Bukan saja karena adanya persaingan antar calon ketua umum, namun juga karena munas kali ini adalah momentum pertemuan seluruh pengurus daerah Partai Golkar setelah keterpurukan Partai Golkar dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2009. Para pembaca Kompas pun meyakini bahwa pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII memiliki arti yang sangat penting dan menentukan arah politik Partai Golkar pada pemilu selanjutnya. Seperti yang diutarakan oleh Joni Rusdiana berikut.
“…Pertama, munas sebuah partai itu ya penting, karena itu bagian dari demokrasi. Partai apapun, besar atau kecil. Kalau Golkar kan partai besar. Yang kecil saja diberitakan, apalagi yang besar. Berikutnya karena Golkar punya masalah, Golkar sendiri kemarin kalah. Kemudian JK (Jusuf Kalla) mendapat cacian habis-habisan. Nah, jawaban-jawaban JK dan Golkar menjadi penting. Munas juga akan menentukan apakah Golkar akan ikut pemerintahan atau tidak.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Menurut Joni, pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII memang layak untuk disimak dan diberitakan media. Sebabnya, sebagai partai politik paling tua yang masih bertahan, dinamika politik yang terjadi pada Partai Golkar cukup menentukan kondisi politik bangsa Indonesia.
Tak berbeda jauh dengan Joni, Eko Setiawan menuturkan, pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII kali ini memang memberikan keuntungan tersendiri bagi Partai Golkar karena diadakan sebelum Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara resmi menetapkan nama-nama menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.
“Munas Golkar tahun ini cukup strategis, karena diadakan persis sebelum SBY menentukan kursi kabinet. Pada saat pemilu, Golkar masih gamang ketika JK kalah, Golkar akan menjadi oposisi atau ikut dalam pemerintahan masih belum jelas. Artinya ketua umum yang terpilih akan menentukan Golkar akan kemana, ketika Ical yang terpilih, Ical akan ikut SBY, tapi kalau Surya Paloh jelas akan beroposisi.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Waktu pelaksanaan munas pada awal Oktober, dalam pandangan Eko, harus dimanfaatkan benar-benar untuk merumuskan arah politik yang dipilih Partai Golkar: koalisi atau oposisi. Pilihan arah politik partai ini harus segera diputuskan dalam munas, agar kader Partai Golkar mendapat kesempatan masuk dalam kabinet SBY atau tidak. Seperti diketahui, SBY yang masih menginginkan Partai Golkar bergabung dalam koalisi besar, juga menunggu keputusan akan kemana Partai Golkar menempatkan posisinya dalam pemerintahan.
Pendapat berbeda disampaikan Kisbandi Virdha. Dirinya menganggap munas kali ini terasa sangat penting justru karena sistem pemilihan ketua umum yang berbeda dengan pemilihan ketua umum pada Munas Partai Golkar
VII di Denpasar Bali tahun 2004 silam. “Ada sesuatu yang baru dalam pemilihan ketua umum. Dulu kan
ditentukan dengan konvensi Partai Golkar, sekarang dipilih langsung oleh DPP dan DPD nya. Nah, berarti itu kan ada peningkatan sistem walaupun masih seperti coba-coba.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha)
Kisbandi menyoroti, pergantian sistem ini adalah salah satu upaya Partai Golkar untuk membuat pembaharuan positif terhadap mekanisme partai. Selain itu, hal ini juga merupakan bukti kepada masyarakat bahwa Partai Golkar yang sekarang bisa berlaku demokratis. Senafas dengan Kisbandi, menurut Ertika Nanda, munas kali ini adalah pembuktian kepada Kisbandi menyoroti, pergantian sistem ini adalah salah satu upaya Partai Golkar untuk membuat pembaharuan positif terhadap mekanisme partai. Selain itu, hal ini juga merupakan bukti kepada masyarakat bahwa Partai Golkar yang sekarang bisa berlaku demokratis. Senafas dengan Kisbandi, menurut Ertika Nanda, munas kali ini adalah pembuktian kepada
“…pentingnya munas kemarin adalah menunjukkan eksistensi Golkar di mata publik. Dan itu dilakukan Partai Golkar dengan mem-blow up media dimana-mana. Untuk politik Golkar di pemerintahan akan lebih, mereka seperti meminta untuk dipandang lagi karena mereka lumayan dianggap penting pada saat munas. Jadi menaikkan posisi tawar.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Ertika menuturkan, segala bentuk blow up media pada saat munas justru kurang menekankan pada pentingnya pelaksanaan munas terhadap posisi politik Partai Golkar. Akan tetapi Partai Golkar terkesan ingin menonjolkan diri agar aktivitas politik yang dilakukan, diperhatikan oleh masyarakat dan menjadi sesuatu yang penting serta layak untuk diketahui.
Sementara Ansyor cenderung memiliki pendapat yang serupa dengan Eko. Menurutnya, arti penting pelaksanaan munas adalah penentuan posisi partai ini dalam pemerintahan selama lima tahun ke depan. Namun Ansyor merasa kecewa dengan keputusan munas yang memenangkan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Aburizal Bakrie dari awal telah mewacanakan diri untuk menjadi rekan koalisi Partai Demokrat jika dirinya menang. Dalam pandangan Ansyor, hal tersebut justru merugikan rakyat. Pasalnya, jika Partai Golkar berada di pihak pemerintah, tidak ada lagi yang bisa memperjuangkan nasib rakyat miskin yang kurang mendapat perhatian pemerintah. Lebih jauh Ansyor menduga, waktu pelaksanaan munas memang disengaja dilaksanakan sebelum penempatan kabinet agar pihak yang pro dengan pemerintah bisa mengusahakan kadernya untuk menjadi menteri kabinet SBY.
Senada dengan Ansyor, perbedaan pandangan dan arah politik antar kader yang mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar ini menurut Paramita justru merusak makna dari penyelenggaraan munas itu sendiri. Sepengetahuan Paramita, munas yang pada awalnya menjadi harapan baru bagi masa depan partai, dalam pelaksanaannya malah dipenuhi dengan kericuhan karena adanya blok-blok tersendiri dalam internal partai.
“…pelaksanaannya penuh dengan kekacauan, ada konflik internal karena masing-masing dari pendukung kandidat saling bentrok. Padahal, seharusnya meskipun dalam satu organisasi satu partai banyak kandidat, tidak seharusnya saling bentrok. Mereka intinya satu, tapi malah seperti ada blok-blok seperti itu.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Berbagai macam kepentingan yang ada pada saat munas, dalam pandangan Paramita, justru menjadi titik perhatian utama seluruh peserta dan media. Sedang esensi kesatuan dan kesolidan partai yang seharusnya menjadi tujuan pelaksanaan munas seakan dilupakan begitu saja. Ketidakidealan pelaksanaan munas ini menurut Rorie Asya’ri disebabkan karena dua persoalan penting.
“…Satu, ketua yang memimpin, Fadel Muhammad, kurang bisa merangkul semua, kurang tegas, kurang bisa menurunkan temperamen peserta rapat. Kepemimpinan itu salah satu yang penting dalam sebuah konvensi. Fadel kurang berhasil menjaga suasana kondusif. Kedua, peserta Golkar secara mentalitas juga harus berubah. Munas adalah acara untuk memilih pemimpin yang nantinya menahkodai kapal Golkar. Nah, misalnya mereka punya agenda sendiri-sendiri, egois, teriak sana teriak sini, tidak memberi kesempatan pada orang lain untuk berbicara, itu sudah dalam tahap yang tidak proposional.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri)
Rorie berpandangan, substansi pelaksanaan munas sebenarnya bisa diraih jika dua hal tersebut–kepemimpinan yang baik dari ketua rapat dan sinergi dari seluruh peserta rapat–dapat terjaga hingga munas berakhir. Namun Rorie berpandangan, substansi pelaksanaan munas sebenarnya bisa diraih jika dua hal tersebut–kepemimpinan yang baik dari ketua rapat dan sinergi dari seluruh peserta rapat–dapat terjaga hingga munas berakhir. Namun
“Pertama, tidak ada munas partai politik yang begitu terjadi ketegangan kemudian konfrontasi politik yang tajam. Itu artinya Golkar bukan partai politik yang solid karena beberapa partai politik cukup mengandalkan mekanisme internal untuk tidak terlalu gembar gembor.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Dalam pandangan Haris, idealnya partai politik yang tengah menghadapi persoalan besar akan melakukan konsolidasi dan koordinasi yang baik ketika ada pertemuan akbar seperti musyawarah nasional. Munas selayaknya menjadi wadah untuk memperbaiki organisasional partai sehingga tidak perlu ada ribut-ribut di media mengenai ketidakharmonisan antar peserta rapat. Partai Golkar, menurut Haris, telah gagal mencapai tujuan utama pelaksanaan munas karena perilaku peserta rapat itu sendiri.
Haris mencontohkan, jalannya pelaksanaan munas sangat kacau bahkan mengalahkan keributan dalam gedung parlemen yang terdiri dari fraksi-fraksi partai politik yang beragam. Seperti yang diungkapkan Prof. Miriam Budihardjo, bahwa partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Namun munas Partai Golkar yang seharusnya terdiri dari kader Partai Golkar yang memiliki tujuan yang serupa, tidak mampu menyamakan pandangan politik antar kadernya.
“…Saya tidak membayangkan perilaku elite politik seperti itu, teriak- teriak dan lari, kemudian banyak terjadi kekacauan. Saya tidak tahu “…Saya tidak membayangkan perilaku elite politik seperti itu, teriak- teriak dan lari, kemudian banyak terjadi kekacauan. Saya tidak tahu
Haris menegaskan, jika Partai Golkar menginginkan tercapainya kebangkitan partai pada saat munas, seharusnya para peserta tidak bersikap layaknya elite politik yang tidak mengerti etika politik yang baik. Namun, menurut Eko, sebenarnya munas tetap dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna. Jika memang tujuan munas adalah sebagai momentum perbaikan dan kebangkitan, munas idealnya harus melakukan pembahasan yang mendalam tentang dua hal penting yakni permasalahan partai dan permasalahan bangsa.
“…Pertama, Golkar punya pandangan yang menyeluruh tentang kondisi partai, tidak hanya semata-mata memilih ketua umum. Kemarin terlihat munas Golkar masih politis, memang betul dia partai politik tapi jangan mengabaikan sisi-sisi kesejahteraan masyarakat. Secara keseluruhan dia seharusnya juga membahas masalah partai, karena Golkar kalah dalam Pilpres dan Pileg, itu seharusnya menjadi evaluasi menyeluruh. Kedua, adalah tentang masalah kebangsaan. Ketiga adalah bagaimana Golkar bisa merekrut kader-kader berkualitasnya untuk masuk kepengurusan baru.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Jika munas dapat merumuskan strategi untuk menyelesaikan dua persoalan tersebut, dalam pandangan Eko, maka Munas Partai Golkar VIII telah berhasil menyelamatkan partai ini dari keterpurukan.
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa Munas Partai Golkar VIII sebenarnya merupakan momentum yang sangat krusial bagi Partai Golkar. Munas kali ini adalah wadah untuk mengevaluasi kekalahan Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa Munas Partai Golkar VIII sebenarnya merupakan momentum yang sangat krusial bagi Partai Golkar. Munas kali ini adalah wadah untuk mengevaluasi kekalahan
Tabel 3.9 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Arti Penting Pelaksanaan Munas
No Nama
Pendapat
1 Eko Partai Golkar masih ragu akan menjadi oposisi atau rekan Setiawan koalisi Partai Demokrat. Maka pelaksanaan munas sangat strategis karena dilakukan sebelum pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Jika Partai Golkar memilih koalisi, maka kadernya bisa mendapat kesempatan untuk menjadi menteri. Pada intinya munas harus memiliki pandangan menyeluruh tentang kondisi partai dan masalah kebangsaan.
2 Ansyor Pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII dari awal sudah ditujukan untuk mendukung pemerintahan SBY, dibuktikan dengan waktu penyelenggaraannya sebelum pelantikan kabinet.
3 Kisbandi Munas Partai Golkar VIII saat ini bertujuan untuk menunjukkan Virdha
kepada masyarakat bahwa partai ini juga bisa berlaku demokratis, dibuktikan dengan menerapkan sistem pemilihan ketua umum dengan pemilihan langsung dan meninggalkan sistem konvensi.
4 Ertika Munas Partai Golkar VIII ingin menunjukkan kepada Nanda
masyarakat bahwa Partai Golkar masih eksis dan aktivitasnya penting untuk diketahui khalayak. Salah satu caranya dengan melakukan blow up di media.
5 Rorie Munas sebenarnya momentum penting, tapi pelaksanaannya Asya’ri
tidak ideal. Penyebabnya, pertama, pimpinan sidang/rapat tidak tegas dalam memimpin. Kedua, peserta rapat tidak bisa saling menghormati dan menghargai sehingga terjadi kericuhan.
6 Haris Munas seharusnya dapat menyatukan anggota partai, namun Firdaus
pelaksanaan munas sangat kacau karena perilaku elite politik yang kurang beretika. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi internal Partai Golkar tidak solid, terlalu banyak kepentingan pelaksanaan munas sangat kacau karena perilaku elite politik yang kurang beretika. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi internal Partai Golkar tidak solid, terlalu banyak kepentingan
7 Paramita Terlalu banyak kepentingan antar kader Partai Golkar sehingga Sari
menyebabkan munas berlangsung ricuh dan terdapat blok-blok tersendiri antar peserta rapat.
8 Joni Munas sebuah partai itu penting karena merupakan bagian dari Rusdiana demokrasi. Terlebih Partai Golkar punya masalah, yakni kalah dalam pemilu dan Jusuf Kalla mendapat cacian habis-habisan. Masyarakat pasti menunggu bagaimana reaksi JK dan Partai Golkar. Selain itu munas kali ini juga akan menentukan apakah Golkar akan ikut pemerintahan atau tidak
3. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar
Partai Golkar tidak bisa lepas dari persoalan uang dan kapital. Hal ini disebabkan sejak masa orde baru partai ini menjadi wadah orang-orang kaya yang ingin melebarkan sayap ke dunia politik. Sampai saat inipun Partai Golkar masih dimotori oleh orang-orang kaya bahkan konglomerat negeri ini. Namun, banyak anggapan yang menyebutkan bahwa kader Partai Golkar masih mempergunakan kekuatan uang tersebut untuk meraih tujuan politisnya terutama dalam perebutan kekuasaan. Seperti yang tercium pada saat pemilihan Ketua Umum dalam Munas Partai Golkar VIII. Politik uang masih menjadi isu lama yang menarik untuk ditelusuri bagi pembaca Kompas.
Ansyor misalnya, dirinya beranggapan bahwa politik uang terutama di Partai Golkar tidak lagi menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Realita politik di Partai Golkar memang demikian, terlebih kader-kader partai yang baru pun ikut arus menjadi politisi yang pragmatis.
“Politik uang untuk hal seperti ini sudah menjadi rahasia umum. Ketika suara itu bisa dibeli, politik uang bisa saja terjadi. Saya juga sependapat adanya politik pragmatis Golkar, apalagi ketika kekuasaan yang disana itu bisa dibeli dan bisa dikontrol oleh kandidat yang memiliki “Politik uang untuk hal seperti ini sudah menjadi rahasia umum. Ketika suara itu bisa dibeli, politik uang bisa saja terjadi. Saya juga sependapat adanya politik pragmatis Golkar, apalagi ketika kekuasaan yang disana itu bisa dibeli dan bisa dikontrol oleh kandidat yang memiliki
Dalam pandangan Ansyor, orang-orang yang berkepentingan di Partai Golkar bisa menempuh segala cara untuk mencapai tujuannya. Orang-orang yang demikian, menurut Ansyor, adalah kader Partai Golkar yang memiliki dua hal penting, yakni modal kuat dan kekuatan untuk memengaruhi.
Kondisi pragmatis Partai Golkar tersebut sangat berpengaruh terhadap hubungan partai dengan masyarakat. Kepentingan masyarakat yang seharusnya diupayakan oleh partai seakan terabaikan karena adanya kepentingan lain dalam internal partai yang didukung dengan kekuatan uang.
“…Golkar sudah tidak bisa lagi menjadi corong aspirasi rakyat. Mereka orang-orangnya cenderung ke politik pragmatis. Jadi orang-orang yang duduk disana, mungkin tidak semuanya, tapi sebagian besar mengharapkan akan mendapat imbalan, akan mendapat kekuatan.” (Wawancara dengan Ansyor)
Keadaan demikian persis seperti yang diungkapkan oleh Max Weber yang memandang partai politik dalam aspek profesionalisme, bahwa partai politik adalah organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Artinya, pergerakan dalam Partai Golkar muaranya adalah kekuasaan dan keuntungan kader, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi seperti ini, politik dapat diartikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan.
Paramita menganggap, pragmatisme politik yang terjadi di Partai Golkar bukan merupakan isu semata. Banyak hal yang bisa dijadikan bukti Paramita menganggap, pragmatisme politik yang terjadi di Partai Golkar bukan merupakan isu semata. Banyak hal yang bisa dijadikan bukti
“…dibuktikan dengan keempat kandidat kalau dilihat benar-benar, visi dan misi yang paling bagus Yuddy Chrisnandi. Karena masih muda, dia punya program-program yang untuk demokrasi bagus. Tapi ketika pemilihan sama sekali tidak ada yang memilih dia, Yuddy dapat nol, yang mendapat suara hanya Ical dan Surya Paloh. Ini makin kuat mendukung bahwa mereka memang diberi imbalan walau tidak secara langsung: ini saya kasih uang dan pilihlah saya, tapi dengan cara diberi pesawat carteran, jalan-jalan, fasilitas-fasilitas, itu menurutku sudah merupakan money politics .” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Dalam pandangan Paramita, jika Partai Golkar memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki partai, seharusnya calon ketua umum yang dipilih adalah calon dari kader muda yang mengutamakan idealisme partai dan memiliki rencana program yang baik. Akan tetapi, salah satu calon ketua umum yang dianggap Paramita memiliki kompetensi tersebut, yakni Yuddy Chrisnandi, justru sama sekali tidak mendapat suara. Para peserta munas lebih memilih untuk memberikan suara kepada Aburizal Bakrie atau Surya Paloh. Paramita berpendendapat, hal inilah yang menguatkan adanya perilaku politik uang yang dilakukan oleh kedua calon tersebut.
Senafas dengan Paramita, Eko Setiawan beranggapan bahwa politik menggunakan kekuatan uang memang realitas yang tidak bisa terhindarkan. Pasalnya, kader partai di kepengurusan daerah juga lebih mementingkan kebutuhan finansial untuk menghidupi organisasi dibandingkan dengan idealisme pokok partai. Maka pengurus daerah ini akan lebih jeli dalam memilih calon mana yang paling banyak memberikan imbalan.
“…kita tidak tahu sebenarnya tapi itulah yang terjadi sekarang. Orang- orang dari DPD kan tergantung bagaimana dari DPP atau calon-calon “…kita tidak tahu sebenarnya tapi itulah yang terjadi sekarang. Orang- orang dari DPD kan tergantung bagaimana dari DPP atau calon-calon
Dalam pandangan Eko, pragmatisme dalam Partai Golkar telah mendarah daging dan turun temurun. Kader partai baru akan belajar cara-cara dan sistem partai dari kader partai yang lama. Padahal kader partai yang lama telah lebih dahulu memelajari budaya politik KKN yang diterapkan Soeharto pada masa orde baru. Budaya politik pragmatis ini, menurut Eko, akan dibawa dan dilestarikan kader Partai Golkar jika nantinya terpilih menjadi Dewan Legislatif. Jika terus seperti ini, pragmatisme politik akan menjadi sistem yang tidak bisa dihapuskan dari sistem politik di Indonesia.
Keyakinan bahwa Partai Golkar sejak dahulu sudah menggunakan cara-cara instan dalam pencapaian tujuan juga diungkapkan Joni Rusdiana. Menurut Joni, Partai Golkar sejak jaman orde baru memang telah menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan. Dan sisa-sisa pragmatisme itu masih ada sampai sekarang meskipun Partai Golkar telah mencanangkan perubahannya dalam Paradigma Baru Partai Golkar.
“Dari dulu Golkar pragmatis. Golkar itu identik dengan kekuasaan. Kalau tidak pragmatis ya namanya bukan kekuasaan, kekuasaan jadi seperti alat. Jadi yang dikejar itu kesejahteraan masyarakat Indonesia, kedaulatan Indonesia, kejayaan Indoenesia, kebudayaan Indonesia, menggunakan logika politik yang sehat, itu tidak pragmatis. Kalau Golkar jelas pragmatis saya yakin itu.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Dalam perspektif Joni, Partai Golkar belum memikirkan permasalahan kebangsaan secara keseluruhan. Kepentingan yang diutamakan partai ini adalah bagaimana Partai Golkar dan kadernya dapat merebut atau mendapat Dalam perspektif Joni, Partai Golkar belum memikirkan permasalahan kebangsaan secara keseluruhan. Kepentingan yang diutamakan partai ini adalah bagaimana Partai Golkar dan kadernya dapat merebut atau mendapat
Namun pandangan berbeda diutarakan Kisbandi Virdha. Kisbandi menilai bahwa tidak semua kader Partai Golkar pragmatis, meskipun ada kecenderungan ke arah itu. Uang tidak dimaksudkan untuk meraih kekuasaan, melainkan untuk memperkuat dan mengembangkan kepengurusan Partai Golkar secara keseluruhan.
“…sebenarnya tidak pragmatis tapi ada kecenderungan kesitu. Tidak pragmatis terlihat dari Tommy, walaupun dia juga telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit toh dia juga tidak mendapat suara satupun. Jadi, walaupun mereka butuh duit, tapi mereka tidak serendah itu.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha)
Tommy Soeharto, menurut Kisbandi, adalah salah seorang calon Ketua Umum Partai Golkar yang mengeluarkan banyak dana untuk kampanye pencalonan dirinya seperti halnya Aburizal Bakrie ataupun Surya Paloh. Namun, Tommy juga bernasib sama dengan Yuddy Chrisnandi yang tidak mendapat suara sama sekali. Dalam pandangan Kisbandi, hal ini dikarenakan peserta memang sudah menentukan pilihan ketua umumnya, bukan menunggu siapa calon yang menawarkan imbalan lebih besar.
Di lain pihak Kisbandi tidak menyalahkan apabila ada kader Partai Golkar yang mau menerima bantuan dari kandidat ketua umum. Pasalnya, uang adalah motor penggerak organisasi. Tanpa uang, kepengurusan di daerah tidak bisa menjalankan program kerja yang telah direncanakan.
“…Pendapatan partai dari APBN kan juga dijatah, tidak bisa menggantungkan dari itu saja. Dia juga butuh bensin kan? Butuh gizi, “…Pendapatan partai dari APBN kan juga dijatah, tidak bisa menggantungkan dari itu saja. Dia juga butuh bensin kan? Butuh gizi,
Dalam pandangan Kisbandi, para kandidat ketua umum sebenarnya memiliki kepentingan ketika memberikan bantuan kepada kepengurusan daerah. Namun mereka menginginkan pengurus daerah menganggap pemberian uang tersebut sebagai bantuan untuk mencukupi kebutuhan kepengurusan di daerahnya. Jadi, jika tidak ingin dianggap melakukan transaksional suara, pengurus daerah selayaknya melihat pemberian uang dari kader Partai Golkar yang berkepentingan tersebut untuk mengembangkan kepengurusan partai di daerah, bukan sebagai alat untuk menyuap mereka.
Kewajaran praktek politik uang yang disampaikan Kisbandi mendapat pemakluman dari Joni. Meskipun Joni tidak sependapat jika ada calon yang membagi-bagikan uang ketika melakukan kampanye, tapi praktek politik uang dan suap menyuap adalah hal yang sudah lumrah terjadi di Indonesia.
“Politik uang wajar. Maksudnya wajar itu biasa karena sudah membudaya seperti itu, membeli suara. Prakteknya bukan didalam partai saja, sudah ada jauh sebelum itu, misal di pemilihan presiden, dilegislatif itu biasa. Ketika itu berjalan, sangat wajar mereka melakukan itu. Wajar bukan berarti saya sepakat. Apapun politik uang saya tidak sepakat. Membayar orang untuk bersikap yang tidak sesuai dengan yang seharusnya dia ambil, buat aku itu salah. Saya tidak sepakat, karena mungkin mereka orang kaya, jadi wajar, punya uang kok.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Joni menilai jika orang-orang yang berkepentingan dalam partai politik adalah orang kaya, maka sangat wajar jika mereka menggunakan uangnya untuk melakukan suap. Namun Haris Firdaus justru merasa heran mengapa para kandidat bersusah payah melakukan praktek politik uang. Baginya, Joni menilai jika orang-orang yang berkepentingan dalam partai politik adalah orang kaya, maka sangat wajar jika mereka menggunakan uangnya untuk melakukan suap. Namun Haris Firdaus justru merasa heran mengapa para kandidat bersusah payah melakukan praktek politik uang. Baginya,
“…Saya tidak bisa membayangkan apa sebenarnya kekuatan Ketua Umum Golkar? Buat apa jabatan ketua umum Golkar? Itu justru membuat Aburizal tidak lagi menjadi menteri. Kekuatan akan jauh lebih besar kalau dia jadi menteri. Kecuali, aburizal memang menyasar menjadi calon presiden, memang saya pikir itu adalah kesimpulan logis dari kenapa dua pengusaha itu bersaing begitu kuat.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Pada pemilu 2014 mendatang Presiden SBY telah habis masa jabatannya dan tidak bisa lagi mencalonkan diri menjadi Presiden. Dalam pandangan Haris, Partai Golkar memiliki kesempatan yang besar untuk merebut kepercayaan masyarakat karena ketokohan SBY sudah tidak ada lagi. Partai Golkar dipastikan juga akan mencalonkan wakilnya untuk maju dalam bursa pemilihan Presiden serta Wakil Presiden dan kemungkinan besarnya adalah orang nomor satu di partai itu, yakni Ketua Umum Partai Golkar. Kepentingan inilah yang menurut Haris paling mungkin untuk menjawab mengapa pemilihan Ketua Umum Partai Golkar sangat penting bagi keempat kandidat.
Idealnya, meskipun banyak kepentingan dan maksud tersembunyi, namun persaingan antar calon ketua umum seyogyanya dilakukan dengan perencanaan dan sikap politik yang mengutamakan etika. Terlebih lagi Partai Golkar adalah partai lama, yang sudah memahami perilaku politik yang baik dan bermoral. Namun, menurut Rorie Asya’ri, jika ada oknum yang sengaja melakukan kecurangan, pihak lain sangat mudah terpancing untuk melakukan Idealnya, meskipun banyak kepentingan dan maksud tersembunyi, namun persaingan antar calon ketua umum seyogyanya dilakukan dengan perencanaan dan sikap politik yang mengutamakan etika. Terlebih lagi Partai Golkar adalah partai lama, yang sudah memahami perilaku politik yang baik dan bermoral. Namun, menurut Rorie Asya’ri, jika ada oknum yang sengaja melakukan kecurangan, pihak lain sangat mudah terpancing untuk melakukan
“…pada dasarnya aku tidak setuju, suara kok bisa dibeli, hati nurani kok bisa dibeli. Memang terdengar kabar kalau Aburizal Bakrie bagi-bagi uang, kemudian kubu Aburizal menuduh Surya Paloh melakukan hal yang sama. Tapi bagaimana kalau pesaing kita melakukan politik uang dan ada signal bahwa mereka akan menang karena salah satunya adalah politik uang yang mereka lakukan, apakah kita juga harus meniru politik uang itu? Biarkan mereka yang bermain politik uang, kita yang bersih, biar rakyat yang berbicara dan pasti akan ketahuan lama-lama kedoknya.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri)
Dua calon ketua umum yang paling santer terdengar melakukan politik uang adalah Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Selain karena politik uangnya, kedua calon ini juga yang paling diunggulkan untuk memenangkan persaingan karena pengalaman dan pengabdiannya terhadap Partai Golkar. Rorie memahami jika kedua calon ini berlomba-lomba mengeluarkan banyak uang untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Pasalnya, jika salah satu tidak melakukan hal tersebut, pengurus daerah tentu akan menjatuhkan pilihannya kepada calon lain yang paling kuat.
Rorie menuturkan, seharusnya para kandidat tidak tergoda untuk melakukan transaksional suara. Masyarakat umum dan media massa sebagai pengamat politik, menurut Rorie, sudah pintar dan dewasa dalam menyikapi dinamika politik. Elite politik yang bersih akan mendapat perhatian dan dukungan, sementara kemenangan elite politik yang melakukan kecurangan akan diingat sebagai elite yang berperilaku buruk. Tidak hanya bersih dari politik uang, masyarakat akan memberikan apresiasi kepada kandidat ketua Rorie menuturkan, seharusnya para kandidat tidak tergoda untuk melakukan transaksional suara. Masyarakat umum dan media massa sebagai pengamat politik, menurut Rorie, sudah pintar dan dewasa dalam menyikapi dinamika politik. Elite politik yang bersih akan mendapat perhatian dan dukungan, sementara kemenangan elite politik yang melakukan kecurangan akan diingat sebagai elite yang berperilaku buruk. Tidak hanya bersih dari politik uang, masyarakat akan memberikan apresiasi kepada kandidat ketua
“Meskipun uang bisa menjadi pendukung, tapi lebih kepada kapasitas dia yang qualified bukan uangnya. Uang iya, tapi ketika melihat kapasitas orang itu bagus, orang akan melihat kapasitasnya dan mengesampingkan uang yang dimiliki.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Namun senada dengan Rorie, Ertika juga menyadari bahwa politik uang yang dilakukan oleh salah satu calon akan memancing calon lain untuk melakukan hal serupa. Dalam pandangan Rorie, hal tersebut bukan karena kandidat ketua umum tidak memiliki idealisme, tetapi realita yang terjadi dilapangan memaksa mereka untuk mengesampingkan idealisme dan pada akhirnya akan bersikap pragmatis.
“Kita harus melihat kondisi negara kita, kita tidak bisa men-judge satu bagian dimana bagian itu merupakan bagian dari keseluruhan negara ini, sudah seperti mendarah daging. Memang kita bisa idealis bahwa politik uang itu tidak baik dan harus ditinggalkan. Tapi ketika tidak mempergunakan cara itu, dia tidak akan terpilih, konsekuensinya seperti itu. Dan idealisme kadang tidak bisa bertahan ketika berhadapan dengan realita. Kita bisa bilang macam-macam tentang Partai Golkar tapi tidak terlepas juga dengan kondisi negara kita yang dibawa pada saat masa orde baru. Maksudnya pada saat pemerintahan Soeharto, dia melestarikan bagaimana caranya KKN dan partai dia adalah Golkar. Kalau Golkar kemudian sekarang seperti itu, ya biasa saja, sudah warisan masa lalu.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa isu politik uang dan pragmatisme politik yang terjadi pada Munas Partai Golkar VIII sudah menjadi rahasia umum karena partai ini sejak jaman orde baru tidak bisa melepaskan diri dari budaya KKN dan pragmatisme. Namun, harus disadari pula bahwa dalam tubuh partai memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit, sehingga pengurus daerah tidak menolak pemberian uang yang Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa isu politik uang dan pragmatisme politik yang terjadi pada Munas Partai Golkar VIII sudah menjadi rahasia umum karena partai ini sejak jaman orde baru tidak bisa melepaskan diri dari budaya KKN dan pragmatisme. Namun, harus disadari pula bahwa dalam tubuh partai memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit, sehingga pengurus daerah tidak menolak pemberian uang yang
Tabel 3.10 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Isu Politik Uang dan Pragmatisme Politik
No Nama
Pendapat
1 Eko Politik uang terjadi karena kepengurusan di DPD membutuhkan Setiawan finansial sehingga mereka memilih calon ketua umum yang bisa memberikan uang. Hal tersebut merupakan pembelajaran yang buruk tapi proses demokrasi Indonesia masih seperti itu.
2 Ansyor Politik uang sudah menjadi rahasia umum. Kekuasaan bisa dibeli dan dikontrol oleh kandidat yang punya modal dan pengaruh yang besar. Mereka bisa melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya. Hal ini membuat Partai Golkar tidak bisa lagi menjadi corong aspirasi rakyat karena sebagian besar kadernya mengharapkan imbalan dan mendapatkan kekuatan.
3 Kisbandi Politik uang itu sah-sah saja karena operasional dan kader partai Virdha
memang butuh uang. Pihak yang memberikan uang adalah pihak yang berkepentingan, seperti calon ketua umum dan tim suksesnya. Tapi politik uang sifatnya hanya menawarkan, bukan untuk jual beli suara. Jadi walaupun kader partai membutuhkan uang tapi mereka tidak serendah itu.
4 Ertika Di munas terlihat sekali siapa yang punya uang, dialah yang Nanda
menang. Uang merupakan pendukung, namun seharusnya memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas. Calon yang melakukan politik uang misalnya Tommy dan Aburizal. Merupakan hukum alam jika pada saat kampanye mengeluarkan uang, maka saat terpilih berusaha untuk mengembalikan uang itu. Akan tetapi kita tidak bisa menghakimi kondisi yang demikian, karena Partai Golkar tidak terlepas dari budaya KKN yang dibawa oleh Soeharto dan orde baru. Realitanya, Golkar masih menggunakan politik uang.
5 Rorie Tidak setuju dengan politik uang, suara dan hati nurani Asya’ri
sebenarnya tidak bisa dibeli. Memang ada informasi Aburizal Bakrie dan Surya Paloh membagi-bagikan uang. Jadi, bagaimana jika pesaing kita melakukan politik uang dan kemungkinan dia akan menang? Seharunya kita tidak meniru sebenarnya tidak bisa dibeli. Memang ada informasi Aburizal Bakrie dan Surya Paloh membagi-bagikan uang. Jadi, bagaimana jika pesaing kita melakukan politik uang dan kemungkinan dia akan menang? Seharunya kita tidak meniru
6 Haris Naïf jika tidak percaya ada politik uang, tapi memang tidak bisa Firdaus
dibuktikan. Politik uang di semua partai politik pasti ada, terlebih di Partai Golkar. Kemenangan Aburizal Bakrie cukup mengagetkan karena tidak kuat secara politik tapi kuat secara finansial. Sebenarnya apa kekuatan jabatan Ketua Umum sampai menggunakan politik uang? Kemungkinannya, Ketua Umum Partai Golkar akan diajukan menjadi Capres 2014.
7 Paramita Masih ada politik pragmatis di Partai Golkar dibutikan dengan Sari
Yuddy Chrisnandi yang tidak mendapat suara padahal visi dan misi dia yang paling bagus. Sehingga ada dugaan kuat Aburizal dan Surya Paloh memberi imbalan uang walaupun tidak secara langsung meminta untuk memilih mereka, tapi dengan memberikan fasilitas kepada para pemilih.
8 Joni Sudah jelas bahwa Partai Golkar itu pragmatis. Praktek politik Rusdiana uang yang mereka lakukan sebenarnya sangat wajar. Artinya, dalam pemilu sebelumnya pun praktek seperti ini sudah biasa terjadi. Karena calon ketua umum Partai Golkar adalah orang- orang kaya jadi sangat wajar jika bisa melakukan hal tersebut.
4. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
Partai Golkar memang identik dengan berbagai bentuk rekayasa. Keputusan dan kebijakan politik di Partai Golkar banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok yang berusaha mewujudkan keinginannya tersebut. Tidak hanya melalui lobi-lobi dengan pihak yang memiliki wewenang, tetapi pada saat Munas Partai Golkar VIII berhembus isu bahwa kericuhan yang terjadi adalah sebuah rekayasa. Pasalnya kericuhan terjadi karena oleh hal-hal kecil yang tidak berhubungan langsung dengan ideologi partai. Para pembaca Kompas juga mencium kejanggalan dalam kericuhan pada saat pelaksanaan Munas Partai Golkar ini. Penggambarannya dapat dilihat pada pendapat yang diutarakan Ansyor berikut.
“Ricuh itu karena hal-hal sepele yang memperlihatkan bahwa mereka bersaing untuk menyuarakan pendapat mereka di munas dan sangat terlihat sekali antara kubu Aburizal dan Surya Paloh bersaing sekali untuk memenangi munas. Saya kira (kericuhan) itu juga di setting karena sudah biasa seperti itu, sebelumnya mereka mengadakan pertemuan dulu dengan pendukung Aburizal, begitu juga dengan Surya Paloh. Mereka berkoordinasi dulu sebelum munas.” (Wawancara dengan Ansyor)
Menurut Ansyor, pihak yang paling kentara berseteru dan membuat munas ricuh adalah kubu Aburizal Bakrie dan kubu Surya Paloh. Masing- masing pendukung dari kedua kandidat ketua umum tersebut saling beradu pendapat sehingga terjadi perebutan mic (peralatan tata suara) dan meminta interupsi berulang kali. Bahkan lebih jauh Ansyor menduga telah terjadi konspirasi antara tim sukses dari kandidat dengan pengurus daerah yang mendukungnya sebelum munas berlangsung.
Senafas dengan Ansyor, Paramita juga menganggap bahwa kericuhan yang terjadi adalah akibat adanya blok-blok dari kandidat ketua umum. Seperti yang diungkapkan Redi Panuju, bahwa dalam perebutan kekuasaan akan terbentuk blok-blok tertentu yang memiliki banyak sebutan seperti ruling elitee, power elitee, strategic elitee, atau ruling class. Namun Paramita tidak melihat perselisihan antar kubu sebagai sebuah rekayasa yang telah direncanakan sejak jauh hari sebelum munas. Paramita menganggap kericuhan lebih disebabkan karena suasana yang kian memanas di dalam ruang sidang.
“Kalau kericuhan itu karena massa dari masing-masing kandidat membela kandidatnya masing-masing. Dan apapun itu yang menyangkut kedua orang calon terkuat akan menjadi konflik, hanya hal-hal kecil itu saja bisa menjadi konflik.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Dalam pandangan Paramita, segala sesuatu yang menyinggung pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pasti dipermasalahkan oleh para Dalam pandangan Paramita, segala sesuatu yang menyinggung pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pasti dipermasalahkan oleh para
Kericuhan ini, menurut Eko Setiawan, memang disebabkan karena adanya gesekan kepentingan yang sangat tajam antar kandidat Ketua Umum Partai Golkar, terutama dua kandidat yang paling diunggulkan, yakni Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Namun muara kericuhan sebenarnya bukan jumlah total suara dan persaingan pribadi antar kedua kandidat. Dalam hemat Eko, dua kepentingan yang menyebabkan munas berlangsung ricuh adalah karena Partai Golkar adalah partai besar yang memiliki pendukung sangat beragam atau plural serta adanya pilihan Partai Golkar untuk masuk ke dalam lingkaran pemerintahan atau tidak.
“Kericuhan merupakan proses yang sulit dihindarkan, pertama karena Golkar adalah partai besar. Kedua karena munas posisinya strategis yakni sebelum SBY menentukan kabinet, ini menentukan Golkar akan masuk kabinet atau keluar pemerintahan. Kalau kemarin ada kerusuhan, memang tidak terhindarkan, gesekannya sangat kental. Tidak hanya di dalam tetapi diluar ruanganpun juga begitu.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Pilihan posisi politik berkoalisi dengan pemerintah atau oposisi, menurut Eko, yang menyebabkan suasana munas semakin memanas. Terlebih lagi, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh memiliki pandangan yang saling berseberangan. Aburizal Bakrie menginginkan berkoalisi, sementara Surya Paloh mengharapkan Partai Golkar lepas dari pemerintahan. Akibatnya hal-hal kecil yang berawal dari gesekan antar pendukung dicurigai merupakan Pilihan posisi politik berkoalisi dengan pemerintah atau oposisi, menurut Eko, yang menyebabkan suasana munas semakin memanas. Terlebih lagi, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh memiliki pandangan yang saling berseberangan. Aburizal Bakrie menginginkan berkoalisi, sementara Surya Paloh mengharapkan Partai Golkar lepas dari pemerintahan. Akibatnya hal-hal kecil yang berawal dari gesekan antar pendukung dicurigai merupakan
Haris Firdaus juga memiliki pendapat yang serupa dengan Paramita dan Eko. Menurut Haris, kericuhan pada dasarnya memang disebabkan karena cara pandang peserta munas yang sudah berbeda. Pasalnya, masing-masing peserta munas telah menentukan pilihan terhadap Ketua Umum Partai Golkar yang baru sehingga frame berpikirnya hanya berpusat pada kemenangan calon yang dijagokannya.
“Kericuhan itu karena perbedaan pendapat, yang dikhawatirkan muaranya sebenarnya ke pemilihan ketua umum, misalnya yang paling sering itu pengakuan atau pengesahan delegasi, dari provinsi atau kabupaten, yang berhak mendapatkan suara. Menurut saya relatif kecil persoalan satu suara atau dua suara. Cuma ada beberapa pihak yang kemudian konspiratif: ini sedang penjegalan, kecurangan, dan sebagainya.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Meskipun banyak pihak menganggap kericuhan hanya sebuah rekayasa, tapi secara bijaksana Joni Rusdiana menganggap bahwa kericuhan yang terjadi pada saat munas sebenarnya bertujuan untuk membesarkan partai. Rekayasa, dalam pandangan Joni, sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dan merupakan hal yang biasa terjadi dalam dunia politik. Pokok utama dari sebuah rekayasa atau konspirasi, dalam pandangan Joni, adalah apa tujuan dibalik rekayasa tersebut.
“Kalau politik itu biasa terjadi setting-settingan, dalam wacana publik sering terjadi setting-settingan, itu memang untuk membesarkan partai, strategi. Tapi saya tidak tahu disengaja atau tidak. Kepentingannya secara teoritis itu bagian dari strategi propaganda. Mewacanakan bahwa Golkar itu bukan partai yang patrialkal, tapi reformis. Semua orang, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap bahwa Golkar itu berpenyakit, feodal, “Kalau politik itu biasa terjadi setting-settingan, dalam wacana publik sering terjadi setting-settingan, itu memang untuk membesarkan partai, strategi. Tapi saya tidak tahu disengaja atau tidak. Kepentingannya secara teoritis itu bagian dari strategi propaganda. Mewacanakan bahwa Golkar itu bukan partai yang patrialkal, tapi reformis. Semua orang, mayoritas masyarakat Indonesia menganggap bahwa Golkar itu berpenyakit, feodal,
Menurut Joni, kericuhan yang terjadi pada saat munas adalah usaha untuk menciptakan citra bahwa Partai Golkar adalah partai yang bisa menjunjung tinggi asas demokrasi. Dalam sistem demokrasi, menurut Amien Rais ada empat macam kebebasan, yakni kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama. Maka, selayaknya seluruh peserta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengeluarkan pendapat dan interupsi, sehingga diharapkan keputusan politik tidak hanya didasarkan pada pemimpin rapat saja. Dengan demikian, peserta rapat boleh beradu argumen serta pendapat peserta tidak bisa dibatasi asalkan sesuai dengan tata tertib rapat paripurna. Meskipun, konsekuensinya adalah rapat berlangsung ricuh, banyak pihak yang protes dan tidak puas terhadap keputusan yang diambil.
Anggapan bahwa kericuhan adalah representasi demokrasi yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar juga disampaikan oleh Kisbandi Virdha. Karena pada dasarnya, seperti yang dinugkapkan Alfian, demokrasi memang memberikan peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan. Menurut Kisbandi, proses demokrasi itu terjadi secara alami sehingga tidak mungkin direkayasa.
“Masalah kericuhan itu kan masalah teknis. Wajar, dimana-mana tidak mungkin tertib sekali, pasti ada kerikil-kerikil kecil. Cuma tidak signifikan dampaknya untuk pemilihan atau acara lain yang dominan. Menurut saya tidak mungkin juga itu disetting karena itu masalah-masalah kecil yang dibesar-besarkan, seperti rebutan mic, itu wajarlah di alam demokrasi seperti ini.” (Wawancara dengan Kisbandi Virdha)
Sama halnya dengan bentuk demokrasi Indonesia yang memperbolehkan rakyat menyampaikan ide, gagasan, keberatan, dan kritiknya terhadap pemerintah yang berkuasa, dalam pandangan Kisbandi, protes-protes kecil pada saat munas bisa dimaklumi sebagai kebebasan menyampaikan pendapat. Sayangnya, para peserta munas seakan tidak menganggap hal tersebut sebagai sebuah proses berdemokrasi. Persoalan kecil justru dibesar- besarkan dan dipermasalahakan sehingga menghambat jalannya rapat.
Sependapat dengan Kisbandi, Rorie Asya’ri menganggap perilaku yang demikian justru menunjukkan bahwa kader Partai Golkar tidak profesional. Persoalan kecil seperti peralatan tata suara yang tiba-tiba mati dalam perspektif Rorie merupakan kesalahan teknis, sehingga tidak selayaknya dihubungkan dengan usaha menyabotase atau mengacaukan pihak lain yang sedang menyampaikan ide dan gagasan. Namun demikian, menurut Rorie, ada penyebab yang membuat kericuhan ini dibesar-besarkan dan dibahas secara khusus di media.
“…Nah, kenapa sampai sebegitunya mereka mengangkat itu sebagai suatu kasus karena temperatur, tekanan, atmosfer dan suasana yang tidak mendukung lagi, sudah memanas. Jadi masing-masing pendukung ingin memenangkan yang mereka dukung, itu menyebabkan mereka gampang emosi.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri)
Rorie beranggapan, jika tidak ada persaingan antar calon ketua umum yang sangat tinggi, maka kesalahan teknis yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik tanpa keributan. Namun karena masing-masing peserta sudah memiliki pandangan yang berseberangan, maka satu sama lain ketika ada kesempatan akan berusaha untuk menjatuhkan pihak lain.
Sementara Ertika Nanda berusaha menempatkan dirinya sebagai pihak yang netral. Seperti yang dikatakan Eep Syaefullah, bahwa seharusnya ada pendamaian paradoks yang inhern dalam demokrasi, yaitu antara kebebasan dan konflik di satu sisi dengan keteraturan, stabilitas dan konsensus disisi lain. Maka menurut Ertika, meskipun dinamika politik bisa dikatakan sebagai proses demokrasi, tapi tidak seharusnya segala bentuk perpecahan diatas namakan proses berdemokrasi. Karena demokrasi yang sesungguhnya harus mampu menyatukan perbedaan untuk menghindari perpecahan.
“Ada banyak faktor dalam pencapaian kekuasaan, apapun bisa terjadi, bisa direncanakan, bisa dibuat, negara kita memang seperti itu. Sebenarnya kalau pelaksanaan demokrasi, tidak seharusnya memberi kesempatan dan tidak selayaknya dipergunakan sebagai tameng untuk melakukan kericuhan. Seolah-olah ketika itu terjadi kemudian mengatakan inilah proses demokrasi, itu karena orang-orang kita tidak dewasa. Entah sudah direncanakan atau karena terjadi ketidakadilan, tetapi masyarakat kita sangat tidak dewasa.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Kaitannya dengan pelaksanaan munas, Ertika menganggap kader partai yang menyebutkan bahwa kericuhan pada saat munas adalah bentuk demokrasi dalam Partai Golkar merupakan sikap yang tidak bijaksana. Ertika beranggapan, sistem demokrasi seolah menjadi alasan atau pembenaran bahwa kericuhan merupakan sesuatu yang harus dimaklumi oleh masyarakat. Secara dewasa, dalam persepsi Ertika, perbedaan yang terjadi dalam tubuh partai seharusnya diselesaikan secara baik sesuai dengan peraturan rapat yang bersangkutan. Jika demokrasi diselesaikan dengan cara ribut-ribut, maka menurut Ertika, Indonesia tidak akan maju dan dewasa.
Senada dengan pernyataan Ertika, menurut Haris, persoalan yang dihadapi Partai Golkar justru bukan masalah rekayasa atau tidak, akan tetapi Senada dengan pernyataan Ertika, menurut Haris, persoalan yang dihadapi Partai Golkar justru bukan masalah rekayasa atau tidak, akan tetapi
“…sebenarnya bukan rekayasa, tapi saya tidak membayangkan terjadi dalam partai politik karena partai politik adalah sebuah kelompok yang solid kemudian punya ideologi dominan. Perbenturan kepentingannya sangat nyata dan sangat pragmatis. Dalam sebuah parpol tidak wajar, itu menandai bahwa dalam internal partai politik tidak solid. Oke, itu mungkin bentuk demokrasi, tapi yang penting dalam partai kan kesolidan, kesamaan pandangan. Saya tidak terbayangkan itu terjadi dalam sebuah parpol, kepentingannya sangat besar.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Sekali lagi Haris menganggap bahwa kericuhan menjelaskan bahwa Partai Golkar tidak sehat secara internal. Terlalu banyak kepentingan pribadi dan tidak adanya tokoh dominan sehingga tidak ada yang bisa menyatukan berbagai macam kepentingan tersebut ke dalam satu kepentingan partai. Padahal, menurut Prof. Miriam Budihardjo, partai politik terbentuk karena ada orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Jadi, menurut Haris, proses demokrasi memang diperlukan untuk berdialektika, namun hal tersebut membuat Partai Golkar justru lupa bahwa yang terpenting dalam sebuah partai adalah kesatuan dan kesamaan pandangan.
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa indikasi rekayasa dan kericuhan memang tercium kuat. Rekayasa terjadinya kericuhan dan keputusan-keputusan politik memang wajar terjadi karena banyaknya kepentingan dari masing-masing kubu kandidat ketua umum. Ada yang beranggapan bahwa kericuhan merupakan sesuatu yang lumrah dalam proses berdemokrasi. Namun sebagian lain menganggap bahwa Partai Golkar terlalu Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa indikasi rekayasa dan kericuhan memang tercium kuat. Rekayasa terjadinya kericuhan dan keputusan-keputusan politik memang wajar terjadi karena banyaknya kepentingan dari masing-masing kubu kandidat ketua umum. Ada yang beranggapan bahwa kericuhan merupakan sesuatu yang lumrah dalam proses berdemokrasi. Namun sebagian lain menganggap bahwa Partai Golkar terlalu
Tabel 3.11 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada pelaksanaan Munas
No Nama
Pendapat
1 Eko Kericuhan tidak bisa dihindari karena Partai Golkar adalah Setiawan partai besar dan posisi munas strategis yakni sebelum SBY menentukan kabinet sehingga menentukan Partai Golkar akan koalisi atau oposisi. Gesekan kepentingan sangat kental, sehingga hal-hal kecil dicurigai, misalnya untuk menyabotase, tujuannya untuk menggembosi salah satu calon.
2 Ansyor Kericuhan disebabkan hal-hal sepele yang menunjukkan persaingan antara kubu Aburizal dan Surya Paloh untuk memenangkan munas. Kericuhan itu memang di setting karena sebelum munas ada pertemuan atau koordinasi dalam kubu terlebih dahulu.
3 Kisbandi Kericuhan itu hanya masalah teknis, pasti ada kerikil kecil tidak Virdha
mungkin tertib sekali sehingga tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap pemilihan ketua umum. Masalah yang ada di munas adalah masalah kecil yang dibesar-besarkan sehingga tidak mungkin di setting.
4 Ertika Dalam pencapaian kekuasaan, apapun bisa terjadi, direncanakan Nanda
dan dibuat. Seharusnya sistem demokrasi tidak digunakan sebagai tameng untuk melakukan kericuhan. Meskipun hal tersebut direncanakan atau memang terjadi ketidakadilan, namun hal ini menunjukkan masyarakat Indonesia tidak dewasa.
5 Rorie Tuduhan bahwa hal-hal kecil pada saat munas adalah usaha Asya’ri
untuk menyabotase atau mengacaukan pihak lain merupakan hal yang tidak profesional. Kericuhan diangkat sebagai sebuah kasus karena tekanan dan suasana munas sudah memanas sehingga menyebabkan para peserta mudah tersulut emosi.
6 Haris Kericuhan disebabkan karena perbedaan pendapat yang Firdaus
muaranya ke pemilihan umum. Persoalannya sebenarnya relatif kecil namun ada pihak yang mengkonfrontasi bahwa hal tersebut adalah penjegalan atau kecurangan pihak lain. Yang tampak bukan masalah rekayasa, tapi dalam internal partai muaranya ke pemilihan umum. Persoalannya sebenarnya relatif kecil namun ada pihak yang mengkonfrontasi bahwa hal tersebut adalah penjegalan atau kecurangan pihak lain. Yang tampak bukan masalah rekayasa, tapi dalam internal partai
7 Paramita Kericuhan itu karena masing-masing pendukung membela Sari
kandidatnya masing-masing. Apapun yang menyangkut para kandidat akan menjadi konflik. Para kandidat bersaing karena bermain kepentingan, memperebutkan posisi menjadi oposan atau koalisi. Dua calon terkuat, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh memilih arah politik yang berbeda, sehingga persaingan ini semakin di blow up media.
8 Joni Dalam politik, setting kericuhan atau rekayasa adalah hal yang Rusdiana biasa. Tujuannya adalah membesarkan partai dengan mewacanakan diri atau propaganda bahwa Partai Golkar bisa berlaku reformis tidak patrialkal. Partai Golkar sudah terkenal berpenyakit dan feodal, dan sekarang dimunculkan Partai Golkar yang baru.
5. Pandangan Pembaca Kompas terhadap Posisi Politis Partai Golkar Pasca Munas
Pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII pada tahun 2009 menjadi sangat strategis karena tepat dua minggu sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid
2 pada 20 Oktober 2009. Pilihan posisi politik Partai Golkar menentukan apakah kader Partai Golkar akan dimasukkan SBY ke dalam kabinet atau tidak. Sebelumnya Partai Golkar melalui Jusuf Kalla sudah mengambil ancang-ancang untuk menjadi oposisi. Namun karena dua pesaing kuat kandidat Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh berbeda arah politik, munas yang direncanakan berlangsung bulan Desember maju menjadi awal Oktober. Bahkan ketika Rapat Pimpinan Nasional
(Rapimnas) Partai Golkar, Aburizal Bakrie pernah mengusulkan munas diajukan kembali pada akhir September.
Menurut pembaca Kompas, waktu pelaksanaan munas memang dibuat agar berlangsung sebelum SBY menetapkan nama-nama menteri. Tujuannya agar kader yang menginginkan berkoalisi dengan Partai Demokrat lebih leluasa dan memiliki kesempatan untuk dimasukkan ke dalam kabinet. Seperti yang diutarakan Ertika Nanda berikut ini.
“…Pelaksanaan sebelum pemilihan kabinet juga supaya personil Partai Golkar dipilih di kabinet. Jelas munas itu menunjukkan eksistensi dan orang-orang yang telah mendukung ketua yang sudah jadi mungkin diajukan menjadi menteri.” (Wawancara dengan Ertika Nanda)
Menurut Ertika, persaingan ideologi mengenai arah politik calon ketua umum sebenarnya sudah dimulai jauh hari sebelum munas. Bahkan waktu pelaksanaan munas menjadi sangat penting untuk diatur sedemikian rupa agar tujuan mereka tercapai. Perbedaan arah politik Partai Golkar, menurut Eko Setiawan, juga membuat seluruh kader partai bimbang untuk meyakini pendapat tokoh mana. Seperti diketahui, JK dan Surya Paloh berharap Partai Golkar lepas dari pemerintah. Sementara Aburizal Bakrie dan Akbar Tandjung menginginkan tetap berada dalam lingkaran kekuasaan. Keempatnya merupakan tokoh yang sangat disegani oleh seluruh kader Partai Golkar.
“ … Sebenarnya Partai Golkar sudah bimbang. Surya Paloh diluar pemerintahan, ical didalam pemerintahan. Kalau Golkar berada dalam pemerintahan, tentu Golkar akan eksis, terutama karena dia dekat dengan pemerintan dan kekuasaan, serta kader Golkar bisa mengakses link pemerintah. Dengan pola-pola tertentu pasti partai Golkar akan berkembang. Beda ketika Golkar ada diluar pemerintah, mereka akan sulit mengaplikasikan program partai dan rakyat jelas akan melihat program pemerintah daripada program partai.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Eko melihat, posisi koalisi memiliki banyak keuntungan. Keuntungan tersebut dapat dimanfaatkan Partai Golkar untuk mengembangkan partai selama periode lima tahun mendatang. Dengan banyak terlibatnya Partai Golkar dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, partai ini akan dipandang lebih banyak oleh rakyat. Secara otomatis, hal ini akan mengembalikan kepercayaan publik lagi terhadap Partai Golkar. Namun jika Partai Golkar memilih beroposisi, partai ini akan kesulitan untuk mengaplikasikan program- programnya di masyarakat. Senada dengan Eko, Paramita Sari menilai posisi koalisi sebenarnya banyak keunggulan dikarenakan pemerintahan SBY selama ini bersifat sentralistik.
“Jelas koalisi nanti akan diuntungkan karena terlihat sekali di pemerintahan 2009-2014 ini sangat sentralistik. Pemenangnya kan Demokrat secara telak, pendukungnya SBY juga terlalu banyak. Disana akan mudah bermain kepentingan karena kalau ikut yang kalah itu pasti akan jadi berat jalannya.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Koalisi memungkinkan Partai Golkar untuk ikut ambil bagian dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Sementara jika pilihan Partai Golkar adalah menjadi oposisi, menurut Paramita, kemungkinan karena Partai Golkar ingin mengambil hati masyarakat kecil yang selama ini kurang mendapat perhatian pemerintah.
Namun, senada dengan Eko, Joni Rusdiana menganggap posisi oposisi masih sangat rentan dengan kegagalan. Jika Eko beranggapan bahwa posisi oposisi akan membuat rakyat tidak memerhatikan program partai, Joni justru melihat ada kebingungan mengenai program apa yang akan dijalankan partai selama lima tahun mendatang. Terlebih lagi, Partai Golkar adalah partai massa Namun, senada dengan Eko, Joni Rusdiana menganggap posisi oposisi masih sangat rentan dengan kegagalan. Jika Eko beranggapan bahwa posisi oposisi akan membuat rakyat tidak memerhatikan program partai, Joni justru melihat ada kebingungan mengenai program apa yang akan dijalankan partai selama lima tahun mendatang. Terlebih lagi, Partai Golkar adalah partai massa
“…Menjadi oposisi itu hal yang membingungkan bagi Golkar karena hal yang baru. Oposan itu pekerjaannya apa sih? Kalau loyalitas itu loyalitas orang-orang kampung yang tidak militan, jadi loyalitas karena faktor psikologis. Cuma kasus saja kalau dia punya pandangan, persepsi yang baik: dulu ada Golkar saya kenyang, tapi sekarang? Saya kelaparan, harga mahal. Dengan kondisi sekarang ada PKS yang orang-orangnya militan, PAN juga sebagian militan. Kemudian PDIP yang saya tahu juga membuat gerakan-gerakan seperti PKS, membuat kajian-kajian, membuat klik-klik di masyarakat.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Menurut Joni, posisi oposisi akan membuat perubahan yang besar dalam tubuh Partai Golkar. Selain itu, posisi ini kurang cocok diterapkan di Indonesia yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Namun jika pilihan posisi politik Partai Golkar adalah berkoalisi dengan pemerintah yang berkuasa, dalam pandangan Eko, juga tidak memberikan jaminan bahwa partai ini akan lebih berkembang daripada sebelumnya. Paling tidak, menurut Eko, Partai Golkar tetap eksis dan diperhatikan masyarakat Indonesia.
“Partai Golkar eksis iya, tapi kalau berkembang kita lihat dulu nanti karena mau tidak mau Partai Golkar masih berada dibawah SBY dan Demokrat, dan itu sangat berpengaruh. Ical dan kawan-kawan di Partai Golkar harus pintar-pintar memainkan posisinya di pemerintahan.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Dalam pandangan Eko, posisi koalisi yang diambil Partai Golkar harus dimanfaatkan benar-benar oleh Aburizal Bakrie sebagai ketua umum. Jika Dalam pandangan Eko, posisi koalisi yang diambil Partai Golkar harus dimanfaatkan benar-benar oleh Aburizal Bakrie sebagai ketua umum. Jika
“ Selama berkuasa, Golkar memang selalu berada di pihak pemerintah. Dan yang saya sesalkan saat ini Golkar yang diketuai oleh Aburizal masih pro terhadap pemerintah. Aburizal Bakrie harusnya beroposisi terhadap pemerintah karena memang itulah posisi yang berpihak kepada rakyat. Kalau Golkar berpihak kepada pemerintah, maka siapa lagi yang akan mengontrol pemerintah? Rakyat pasti akan kecewa terhadap Golkar dan bisa saja diramalkan pada pemilu 2014 nanti Golkar mengalami kekalahan.” (Wawancara dengan Ansyor)
Dalam pandangan Ansyor, meskipun banyak resiko yang harus dihadapi jika memilih oposisi, tetapi dengan posisi tersebut lebih banyak masyarakat yang menggunakan Partai Golkar sebagai wadah penyalur aspirasinya. Selain itu, Partai Golkar bisa menempatkan diri sebagai pengawas program pemerintah, sehingga apabila ada penyelewengan yang merugikan rakyat, Partai Golkar bisa memperjuangkan keadilan untuk masyarakat. Pilihan posisi berkoalisi dengan Partai Demokrat, menurut Ansyor, justru membuat Partai Golkar kembali kehilangan pamor pada Pemilu 2014. Senada dengan Ansyor, Kisbandi Virdha menganggap posisi oposisi adalah posisi paling ideal yang seharusnya diambil Partai Golkar. Pasalnya, menurut Kisbandi, tujuan koalisi hanya untuk mendapatkan kursi menteri saja.
Namun demikian, menurut Rorie Asya’ri, posisi Partai Golkar saat ini justru menguntungkan bagi internal partai, tetapi jika partai ini tidak segera melakukan pembenahan internal, pada pemilu 2014 partai ini tetap akan kalah.
“Untuk 2014, kalau pergantian ketua umum hanya sebagai formalitas, sebagai rutinitas lima tahunan, besok 2014 akan keteteran, kecuali kalau pemerintah SBY ini bener-bener jatuh, sampai ada revolusi besar-besaran akibat Century, Golkar dapat peluang. Nah, ini keuntungan si licik ‘abu- abu’, karena dia tidak berada di kutub yang jelas.” (Wawancara dengan Rorie Asya’ri)
Berbeda dengan Rorie, menurut Paramita Sari, popularitas dan kekuatan Partai Golkar saat ini justru semakin menurun. Namun Paramita mengamini pendapat Rorie bahwa penyebab melemahnya Partai Golkar adalah permasalahan kesolidan program dan kadernya.
“Partai Golkar yang sekarang semakin melemah, dahulu orang kecil ketika ditanya tentang partai, pasti yang teringat Golkar. Simbol-simbol Golkar di masyarakat pada waktu itu sangat banyak, oleh karena itu Partai Golkar yang sekarang semakin melemah, tidak sampai ke akar rumput. Dia malah seperti ditinggalkan oleh basis pendukungnya yang dulu-dulu.” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Partai Golkar setelah masa reformasi, dalam persepsi Paramita, tidak lagi dekat dengan pendukungnya di daerah. Padahal basis pendukung paling kuat partai ini justru berada di daerah. Terlebih lagi kondisi internal partai penuh dengan konflik, sehingga kepercayaan masyarakat bahwa Partai Golkar dapat memperjuangkan kepentingan mereka semakin surut. Paramita menganggap, lemahnya Partai Golkar juga dikuatkan dengan persaingan antar calon ketua umum pada pelaksanaan munas.
“…terpilihnya Ical ini merupakan awal dari keterpurukan Golkar. Karena pemilihan itu sudah dimulai dengan konflik dulu dalam internalnya. Jadi, yang tidak setuju dengan terpilihnya Ical pasti akan “…terpilihnya Ical ini merupakan awal dari keterpurukan Golkar. Karena pemilihan itu sudah dimulai dengan konflik dulu dalam internalnya. Jadi, yang tidak setuju dengan terpilihnya Ical pasti akan
Persaingan antar calon ketua umum, menurut Paramita, tidak hanya berhenti pada saat pelaksanaan munas saja. Pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil munas dan kemenangan Aburizal Bakrie diindikasikan akan membuat perpecahan dalam hubungan internal. Maka pada masa mendatang, menurut Eko, Partai Golkar harus benar-benar menjaga dan memperhatikan kesolidan internal partai.
“ Golkar kedepan harus pandai-pandai untuk menjaga internal, karena bibit-bibit (perpecahan) itu sudah ada, seperti kemarin Aburizal memasukkan Rizal Malarangeng di DPP. Saya kira itu sudah melangkahi kawan-kawan yang telah berproses terlebih dahulu.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Senada dengan Rorie, Paramita menganggap ketidaksolidan dan persoalan konflik internal inilah yang akan menghambat jalan Partai Golkar pada pemilu 2014.
“ Ketika Pemilu 2014, iya kalau sudah bersatu lagi, bagaimana kalau ternyata ada masalah internal lagi? Bagaimana nanti soal siapa yang dicalonkan Golkar untuk menjadi misalnya cawapres atau menyalon jadi capres? Kalau mereka tidak menyatu untuk kepentingan ini mereka akan pecah, itu merupakan keterpurukan. Dengan pemberitaan-pemberitaan kekacauan ini, berarti juga menjadi image negatif di masyarakat juga, kan ?” (Wawancara dengan Paramita Sari)
Masyarakat umum, dalam pandangan Paramita, lebih memerhatikan perilaku negatif elite politik dibandingkan dengan prestasinya. Citra Partai Golkar di masyarakat pada saat pelaksanaan munas, menurut Paramita, sangat buruk karena pertikaian antar kubu kandidat ketua umum. Apalagi, dalam persepsi Haris Firdaus, Aburizal Bakrie terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Aburizal Bakrie, selama beberapa tahun terakhir memiliki citra yang Masyarakat umum, dalam pandangan Paramita, lebih memerhatikan perilaku negatif elite politik dibandingkan dengan prestasinya. Citra Partai Golkar di masyarakat pada saat pelaksanaan munas, menurut Paramita, sangat buruk karena pertikaian antar kubu kandidat ketua umum. Apalagi, dalam persepsi Haris Firdaus, Aburizal Bakrie terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Aburizal Bakrie, selama beberapa tahun terakhir memiliki citra yang
“Kemenangan Aburizal ini berdampak buruk, membuat Golkar semakin tidak dominan, tidak popular, paling tidak dengan orang-orang yang getol dengan persoalan Lapindo. Itu senjata yang bisa dimanfaatkan pada persoalan politik tertentu. Aburizal komitmennya terhadap SBY juga bisa dikatakan sekutu. Pengaruh munas buruk, itu blunder Golkar yang memilih Aburizal. Terbukti, sekarang Golkar tidak kedengaran suaranya ketimbang dulu.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Namun, menurut Haris, pemilihan pemimpin Partai Golkar memang berada pada situasi yang sulit. Pada dasarnya, masa depan Partai Golkar ditentukan oleh siapa yang memimpin partai pada masa krisis saat ini. Padahal Partai Golkar tidak memiliki tokoh yang dominan yang mampu menyatukan seluruh kepentingan partai yang beragam. Sementara empat tokoh politik yang menjadi calon ketua umum Partai Golkar tidak ada yang benar-benar kuat. Haris mencontohkan Aburizal Bakrie dan Yuddy Chrisnandi.
“ Mungkin secara ideal, Golkar itu sehat kalau tidak ada money politics dan tidak dipimpin oleh Aburizal, yang kemudian dipimpin oleh kader dari bawah.Tapi kalau Golkar dipimpin oleh Yuddy Chrisnandi Golkar juga akan kalah, karena dia tidak punya dukungan. Jadi menurut saya Golkar seperti itu, orang tidak lagi melihat partai tapi orang masih melihat tokoh. Kecuali, mungkin terjadi perubahan peta politik karena SBY tidak bisa lagi (menjabat presiden), orang akan mencari tokoh baru dan tidak tahu apakah tokoh Golkar bisa mengisi.” (Wawancara dengan Haris Firdaus)
Dalam pandangan Haris, Partai Golkar harus segera melakukan pembenahan yang menyeluruh terhadap partai, sehingga partai ini tidak hanya mengandalkan lengsernya Presiden SBY. Karena partai lain pun kini sedang menyusun strategi untuk pemenangan pemilu Presiden 2014. Untuk itu, Joni, Dalam pandangan Haris, Partai Golkar harus segera melakukan pembenahan yang menyeluruh terhadap partai, sehingga partai ini tidak hanya mengandalkan lengsernya Presiden SBY. Karena partai lain pun kini sedang menyusun strategi untuk pemenangan pemilu Presiden 2014. Untuk itu, Joni,
“…kalau Golkar tidak membuat strategi politik yang masih sama dengan yang lama, susah. Sementara partai lain membuat strategi yang baru yang lebih dekat dengan masyarakat, yang setiap sebelum pemilu sampai pemilu berikutnya dia akan bergerak karena dia membuat komunitas yang setiap saat harus dikelola. Dan Golkar seperti hangat- hangat tahi ayam, bekerja ketika menjelang pemilu, itu sudah kuno buat saya, sangat pragmatis. PDIP meskipun pragmatis, tapi dia menggunakan cara-cara yang modern, dengan konstan dia bergerak, berusaha menjadi pelayan masyarakat.” (Wawancara dengan Joni Rusdiana)
Dari pemaparan tersebut, pembaca Kompas menilai bahwa posisi politis Partai Golkar pasca Munas Partai Golkar VIII memang sulit diprediksi. Pilihan koalisi yang diambil Partai Golkar dipandang sebagai posisi yang kurang menguntungkan bagi rakyat miskin dan dewan legislatif. Selain itu, dilain pihak, pada saat pelaksanaan munas, citra Partai Golkar justru semakin memburuk dikarenakan kericuhan dan perpecahan dalam internal partai. Kurang kuat dan solidnya partai ini membuat banyak pembaca Kompas meragukan eksistensi Partai Golkar pada pemilu 2014. Berikut adalah rangkuman pendapat mengenai indikasi rekayasa dan kericuhan pada pelaksanaan Munas Partai Golkar VIII dari masing-masing responden.
Tabel 3.12 Rangkuman Pendapat Pembaca Kompas tentang Posisi Politis Partai Golkar
No Nama
Pendapat
1 Eko Partai Golkar sebenarnya masih bimbang, Surya Paloh memilih Setiawan oposisi, Aburizal memilih koalisi. Jika Partai Golkar berkoalisi, partai ini akan eksis karena dekat dengan pemerintah dan kekuasaa. Namun jika beroposisi, akan sulit mengaplikasikan program partai karena rakyat lebih memperhatikan program pemerintah. Dibawah Aburizal, Partai Golkar belum tentu berkembang karena masih dibawah bayang-bayang SBY dan sudah terdapat bibit-bibit perpecahan karena dirinya 1 Eko Partai Golkar sebenarnya masih bimbang, Surya Paloh memilih Setiawan oposisi, Aburizal memilih koalisi. Jika Partai Golkar berkoalisi, partai ini akan eksis karena dekat dengan pemerintah dan kekuasaa. Namun jika beroposisi, akan sulit mengaplikasikan program partai karena rakyat lebih memperhatikan program pemerintah. Dibawah Aburizal, Partai Golkar belum tentu berkembang karena masih dibawah bayang-bayang SBY dan sudah terdapat bibit-bibit perpecahan karena dirinya
2 Ansyor Partai Golkar selalu berada di pihak penguasa sejak dulu sampai kepemimpinan Aburizal sekarang. Seharusnya Partai Golkar memilih oposisi, karena posisi tersebut lebih memungkinkan partai ini untuk membela rakyat dan mengontrol pemerintah. Hal ini membuat rakyat kecewa dan Partai Golkar diramalkan akan kembali kalah pada pemilu 2014.
3 Kisbandi Posisi paling ideal bagi Partai Golkar adalah oposisi agar Virdha
parlemen tidak dikuasai oleh pihak koalisi. Pasalnya tujuan untuk berkoalisi hanya didasarkan agar Partai Golkar mendapat kursi di kabinet.
4 Ertika Koalisi Partai Golkar dengan Partai Demokrat agar partai ini Nanda
tetap eksis dalam kancah politik di Indonesia. Salah satu caranya dengan berusaha memasukkan kadernya sebagai menteri di pemerintah SBY.
5 Rorie Pada pemilu 2014 Partai Golkar punya peluang jika Asya’ri
pemerintahan SBY dan Partai Demokrat jatuh
6 Haris Di Partai Golkar, ideologi tergantung siapa tokohnya. Jika Firdaus
dipimpin Aburizal, Partai Golkar tidak sehat karena ada politik uang dan bukan kader dari bawah. Namun jika dipimpin Yuddy, Partai Golkar juga akan kalah karena tidak punya dukungan. Kemenangan Aburizal merupakan blunder dan berdampak buruk, yakni membuat Partai Golkar tidak dominan, tidak popular, khususnya untuk korban Lapindo.
7 Paramita Koalisi akan menguntungkan Partai Golkar karena Sari
pemerintahan saat ini bersifat sentralistik, sehingga mudah bermain kepentingan. Namun Partai Golkar yang sekarang semakin melemah, tidak sampai akar rumput, dan ditinggalkan oleh pendukungnya. Terpilihnya Aburizal juga merupakan awal dari keterpurukan Partai Golkar karena di awal pemilihan sudah ada konflik dalam internal. Jadi yang tidak satu kubu dengan Aburizal pasti akan membelot dan tidak mendukung Partai Golkar sepenuh hati. Untuk 2014, posisinya kurang menguntungkan karena berbagai macam pemberitaan kekacauan membuat image negatif tentang Partai Golkar di masyarakat.
8 Joni Posisi dan program oposisi cukup membingungkan bagi Partai Rusdiana Golkar karena merupakan sesuatu yang baru. Akan sulit diterapkan di Partai Golkar karena loyalitas pendukung Partai Golkar dalah loyalitas orang kampung karena faktor psikologis bukan karena militansi kader. Jika Partai Golkar masih mengharapkan menang dalam pemilu 2014, maka partai ini harus membuat strategi baru karena partai lain sudah melakukan strategi pendekatan dengan masyarakat dari sekarang. Apalagi, kecenderungan pemilih pemula adalah memilih partai-partai yang relatif baru.
C. Membandingkan Frame Kompas dan Frame Pembaca Kompas
Pada dua sub bab diatas telah dianalisis frame Kompas dan frame pembaca Kompas dalam pemberitaan Munas Partai Golkar VIII. Dari dua bentuk frame tersebut, pada dasarnya terdapat keterkaitan ataupun juga ketidakterkaitan antar frame. Maka pada sub bab ketiga ini, peneliti membuat perbandingan antar frame berdasarkan masing-masing sub tema yang telah ditentukan. Dalam penelitian deskriptif, menurut Jalaluddin Rakhmat, salah satu tujuannya adalah melakukan
perbandingan atau evaluasi. 151 Tujuan pembandingan ini adalah untuk mengetahui apa saja persepsi media yang dipahami sama oleh pembaca serta apa saja persepsi
pembaca yang tidak terkait pada pandangan media tersebut. Perbandingan antar frame dapat dilihat pada lima sub tema yang dijabarkan berikut.
1. Persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar
Persaingan antar calon Ketua Umum Partai Golkar mendapat tempat khusus bagi Harian Kompas. Pemberitaan mengenai komentar, opini, atau kegiatan masing-masing calon ketua umum lebih sering ditampilkan Kompas selama tiga bulan rangkaian pemberitaan Munas Partai Golkar. Di satu sisi, pemberitaan mengenai persaingan ini menandakan bahwa pada realitanya, antar calon ketua umum berjuang sekuat tenaga untuk memperebutkan kursi
151 Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, Metode Penelitian Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 1991, hal: 25
Ketua Umum Partai Golkar. Namun disisi lain, pembaca Kompas menilai Kompas terlalu larut dalam hiruk pikuk tersebut.
“Masih terlihat Kompas hanya mengekspos ketua umum Golkar saja, program, visi dan misi mereka secara menyeluruh tidak diekspos lebih dalam.” (Wawancara dengan Eko Setiawan)
Bahkan lebih jauh, walaupun Kompas berusaha menjaga kenetralannya, beberapa pembaca Kompas menilai Kompas memiliki kecenderungan untuk memberikan ruang pemberitaan yang lebih besar terhadap salah satu kandidat ketua umum, yakni Aburizal Bakrie. Namun terlepas dari persepsi pembaca Kompas tersebut, berdasarkan analisis teks dan hasil wawancara dengan pihak media, ada beberapa pandangan tersendiri dari Kompas terhadap persaingan pemilihan Ketua Umum Partai Golkar VIII.
Diantaranya, persaingan antar kandidat ketua umum sangat kentara terutama antara kandidat yang kaya dengan kandidat yang “miskin”. Kandidat yang kaya, dalam hal ini Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh dukungan, sementara kandidat yang tidak mengeluarkan banyak uang dalam proses kampanye, yaitu Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto, lebih banyak mengkritisi kandidat yang kaya. Pengeluaran dana kampanye yang berlebihan oleh kandidat kaya dinilai tidak wajar dan sangat boros. Melihat hal tersebut, semakin tampak bahwa persaingan perebutan ketua umum yang sesungguhnya hanya diantara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.
Pandangan Kompas tersebut pada dasarnya tidak terlalu jauh dengan perspektif yang ditangkap oleh pembaca Kompas. Pembaca Kompas Pandangan Kompas tersebut pada dasarnya tidak terlalu jauh dengan perspektif yang ditangkap oleh pembaca Kompas. Pembaca Kompas
Ada dua pandangan yang bertolak belakang mengenai terjadinya persaingan yang begitu nyata pada keempat calon ketua umum ini. Pandangan pertama, pembaca Kompas yang melihat bahwa persaingan antar calon adalah sesuatu yang wajar. Alasannya karena Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi. Di alam demokrasi, perbedaan, perang argument, kampanye dan persaingan adalah sesuatu yang dilegalkan asalkan tetap berada pada etika politik yang baik. Sementara pandangan yang kedua adalah pembaca Kompas yang melihat bahwa persaingan antar calon ketua umum yang sangat tajam ini tidak wajar. Penyebabnya, keempat calon ketua umum berada pada satu payung partai, sehingga perbedaan yang begitu tajam justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Secara umum, Ketua Umum Partai Golkar yang ideal menurut Kompas adalah mengetahui sejarah dan organisasi serta misi dan visi golkar, mau berjuang memajukan Partai Golkar dan perekonomian bangsa, bisa memperbaiki dan meningkatkan gengsi partai, punya integritas, misi dan visi kenegaraan, memiliki kemampuan ekonomi dan punya latar belakang politik yang matang. Namun menurut Kompas, pada realitanya hanya ada tiga syarat agar bisa terpilih menjadi Ketua Umum, yakni memiliki kekuasaan, uang, dan jaringan yang terorganisir. Pandangan pembaca Kompas juga sama dengan Kompas, bahwa ketua umum yang menjadi pemenang adalah calon ketua umum yang kaya dan yang rela mengeluarkan uang.
2. Arti penting Munas Partai Golkar ke VIII
Munas bagi partai politik pasti memiliki urgensi yang sangat krusial untuk masa depan partai. Terlebih lagi bagi partai besar seperti Partai Golkar yang baru mengalami dua kali kekalahan memalukan pada Pemilu 2009 silam. Kompas menyimpulkan ada beberapa permasalahan pokok yang sedang melanda Partai Golkar, yakni idealisme partai yang telah hilang dan pragmatisme politik kadernya. Maka dari itu, Kompas memandang bahwa Munas Partai Golkar tahun 2009 merupakan momentum yang menentukan hidup mati partai. Artinya, jika momentum ini digunakan sebaik-baiknya, maka Partai Golkar bisa kembali berjaya pada Pemilu 2014, dan sebaliknya, jika momentum ini gagal menjadi tonggak kebangkitan, suara Partai Golkar akan menurun bahkan mungkin hilang sama sekali. Kompas melihat, partai ini Munas bagi partai politik pasti memiliki urgensi yang sangat krusial untuk masa depan partai. Terlebih lagi bagi partai besar seperti Partai Golkar yang baru mengalami dua kali kekalahan memalukan pada Pemilu 2009 silam. Kompas menyimpulkan ada beberapa permasalahan pokok yang sedang melanda Partai Golkar, yakni idealisme partai yang telah hilang dan pragmatisme politik kadernya. Maka dari itu, Kompas memandang bahwa Munas Partai Golkar tahun 2009 merupakan momentum yang menentukan hidup mati partai. Artinya, jika momentum ini digunakan sebaik-baiknya, maka Partai Golkar bisa kembali berjaya pada Pemilu 2014, dan sebaliknya, jika momentum ini gagal menjadi tonggak kebangkitan, suara Partai Golkar akan menurun bahkan mungkin hilang sama sekali. Kompas melihat, partai ini
Bagi Kompas, banyak agenda penting yang harus dicapai di munas, yakni pembahasan persoalan partai dan permasalahan bangsa. Agenda yang juga penting bagi internal partai adalah penentuan siapa yang terpilih menjadi ketua umum partai. Permasalahannya, ada dua pihak yang bertentangan dari calon ketua umum, yakni pihak yang pro dengan pemerintah, yaitu Aburizal Bakrie, dan pihak yang independen (oposisi), yaitu Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Tommy Soeharto. Namun realitanya, pelaksanaan munas ternyata penuh dengan ketidakidealan, sehingga munas bisa dikatakan tidak berhasil mencapai tujuannya.
Pun demikian dengan pandangan pembaca Kompas. Mereka menganggap bahwa Munas Partai Golkar adalah momentum yang penting bagi Partai Golkar karena partai ini adalah partai besar yang kalah dalam pemilu 2009. Selain itu, munas patut menjadi perhatian karena dua hal penting: Pertama, munas sengaja dilaksanakan sebelum pelantikan kabinet agar lebih leluasa menetapkan pilihan posisi koalisi terhadap pemerintah. Kedua, perubahan mekanisme baru yang dipakai dalam pemilihan ketua umum dari sistem konvensi menjadi pemilihan umum langsung. Kaitannya dengan poin kedua, tujuan Partai Golkar adalah pembuktian diri kepada masyarakat bahwa Partai Golkar yang sekarang bisa berlaku demokratis serta masih eksis di kancah politik di Indonesia. Namun demikian, menurut Pun demikian dengan pandangan pembaca Kompas. Mereka menganggap bahwa Munas Partai Golkar adalah momentum yang penting bagi Partai Golkar karena partai ini adalah partai besar yang kalah dalam pemilu 2009. Selain itu, munas patut menjadi perhatian karena dua hal penting: Pertama, munas sengaja dilaksanakan sebelum pelantikan kabinet agar lebih leluasa menetapkan pilihan posisi koalisi terhadap pemerintah. Kedua, perubahan mekanisme baru yang dipakai dalam pemilihan ketua umum dari sistem konvensi menjadi pemilihan umum langsung. Kaitannya dengan poin kedua, tujuan Partai Golkar adalah pembuktian diri kepada masyarakat bahwa Partai Golkar yang sekarang bisa berlaku demokratis serta masih eksis di kancah politik di Indonesia. Namun demikian, menurut
3. Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum
Isu politik uang menjadi isu sensitif yang sering diberitakan oleh Kompas. Pada hakikatnya, Kompas percaya bahwa politik uang memang benar terjadi dalam proses pemilihan ketua umum Partai Golkar. Dasar yang dipakai Kompas adalah informasi yang santer terdengar dan observasi langsung pada saat peliputan munas. Bagi Kompas, fakta nominal harga satu suara sangat tinggi dan mengejutkan. Namun, tidak semua calon dan tim suksesnya yang menjadi pelaku politik uang. Kompas menempatkan pembuka tabir kecurangan terjadinya politik uang adalah dua calon ketua umum sendiri yakni Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto. Yuddy dan Tommy adalah dua calon ketua umum yang dianggap bersih dari politik uang. Bahkan Yuddy menjadi inisiator membawa kasus politik uang dan penerimaan uang suap ini untuk ditindaklanjuti oleh KPK. Sementara itu, pelaku politik uang, menurut Kompas, adalah pihak Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.
Perilaku politik uang dan suap menyuap dikatakan Kompas merupakan bentuk pragmatisme politik Partai Golkar. Kompas percaya bahwa Partai Golkar sejak dahulu adalah partai dengan kader yang pragmatis. Hal tersebut masih dilestarikan hingga saat ini. Sehingga, praktek politik uang yang terjadi sekarang akan kembali menghancurkan partai ini sendiri.
Pembaca Kompas pun menganggap bahwa pragmatisme politik Partai Golkar memang sudah ada sejak jaman orde baru. Namun, bagi mereka, pragmatisme politik yang terwujud dalam praktek politik uang sudah menjadi rahasia umum di Indonesia. Bahkan, lebih jauh dikatakan bahwa politik uang wajar terjadi karena para calon ketua umum adalah orang-orang kaya sehingga bisa mempergunakan kekayaannya untuk memenangkan kompetisi. Catatan yang juga penting adalah bahwa kepengurusan daerah tidak akan menolak adanya politik uang dari para calon. Pasalnya, DPD juga membutuhkan uang untuk kelangsungan kehidupan organisasi partai di daerah masing-masing sehingga mereka tidak mudah menolak pemberian uang.
Salah satu hal yang dijadikan bukti terjadinya politik uang yakni karena Yuddy Chrisnandi tidak mendapat suara sama sekali. Padahal jika dicermati, Yuddy adalah tokoh muda yang idealismenya masih kuat dan punya visi misi yang baik. Dalam pandangan pembaca Kompas, hal ini justru menyiratkan pertanyaan apa sebenarnya pentingnya jabatan Ketua Umum Partai Golkar hingga para calon rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Namun demikian, meskipun politik uang merupakan perbuatan yang salah, keadaan dan kondisi politik di Indonesia memaksa para calon ketua umum untuk melakukannya. Sistem politik di Indonesia telah membudayakan adanya politik suap menyuap sehingga masih sulit untuk dilepaskan.
4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas
Ricuh menjadi sesuatu yang lumrah di alam demokrasi. Kebebasan berpendapat dan kebebasan memilih seakan menjadi tameng untuk memberi kelegalan dalam setiap aksi kericuhan. Pun demikian dengan kericuhan yang terjadi pada penyelenggaraan Munas Partai Golkar VIII. Menurut Kompas, pihak-pihak yang berseteru memenangkan pemilihan ketua umum memiliki kekuatan yang sama besar, tertutama karena adanya dukungan blok-blok yang besar. Blok-blok tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda sehingga akumulasi kepentingan justru menimbulkan kericuhan di munas. Selain kepentingan dari masing-masing blok calon ketua umum, DPD juga memiliki kepentingan internal yakni memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dan organisasinya di daerah. Maka mereka mudah dipengaruhi dan ditekan dengan uang, khususnya oleh pihak Aburizal Bakrie. Kericuhan yang bermula dari hal-hal kecil ini, bagi Kompas, tidak bisa terhindarkan dari sebuah proses di partai politik. Namun hal ini bukan merupakan dinamika politik yang wajar dalam wujud demokrasi di Indonesia.
Rekayasa tidak hanya pada aksi kericuhan yang terjadi, namun sudah ada sejak proses pemilihan pimpinan sidang dan aturan pemilihan ketua umum. Proses-proses tersebut dibuat sedemikian rupa agar menguntungkan salah satu pihak, yakni Aburizal Bakrie atau Surya Paloh. Indikasi rekayasa semakin menguat karena banyak hal yang ditutup-tutupi dan tersembunyi dalam munas.
Pembaca Kompas juga menangkap persepsi yang sama dengan pandangan yang disajikan Kompas. Kericuhan yang terjadi karena hal-hal Pembaca Kompas juga menangkap persepsi yang sama dengan pandangan yang disajikan Kompas. Kericuhan yang terjadi karena hal-hal
5. Posisi Politik Partai Golkar Pasca Munas
Usai perhelatan munas rampung, banyak evaluasi yang diberitakan Kompas mengenai hasil munas dan pilihan posisi politik partai ini dalam pemerintahan SBY. Bagi Kompas, pelaksanaan munas dan terpilihnya Aburizal Bakrie banyak diwarnai oleh rekayasa dan kecurangan. Kemenangan Aburizal Bakrie layaknya kemenangan SBY karena sebagian besar partai politik menjadi anggota koalisi Partai Demokrat. Konsekuensinya DPR akan tumpul. Padahal, posisi ideal Partai Golkar adalah oposisi, hal ini ditujukan untuk menjaga agar lembaga eksekutif tidak dominan dan otoriter.
Sementara pembaca Kompas melihat dari awal Partai Golkar memang menginginkan koalisi dengan Partai Demokrat untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan. Posisi ini sangat disesalkan karena tidak akan ada lagi yang akan berpihak kepada rakyat kecil. Namun sebenarnya Partai Golkar sendiri Sementara pembaca Kompas melihat dari awal Partai Golkar memang menginginkan koalisi dengan Partai Demokrat untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan. Posisi ini sangat disesalkan karena tidak akan ada lagi yang akan berpihak kepada rakyat kecil. Namun sebenarnya Partai Golkar sendiri
Tabel 3.13 Perbandingan Media Frame dan Audience Frame
Sub tema Media Frame Audience Frame
1. Persaingan Antar
- Persaingan tidak imbang dan
a. Persaingan sangat kontras
Calon Ketua
kontras antara calon yang
karena ada jorjoran uang dari
Umum Partai
kaya dengan calon yang
calon ketua umum yang kaya
Golkar
miskin
b. Persaingan tidak imbang
- Persaingan
yang
karena dua calon ketua umum
sesungguhnya
hanyalah
adalah pemilik media nasional
diantara Aburizal Bakrie dan
c. Masing-masing calon ketua
Surya Paloh
umum memiliki faksi-faksi
- Ketua Umum Partai Golkar
atau kubu yang terstruktur
d. Persaingan antar calon ketua
sejarah partai, punya visi
umum wajar terjadi karena
misi dan integritas, latar
asas
demokrasi Indonesia
memberikan kebebasan
politik yang mapan. Namun
berpendapat
realitanya, syarat menjadi
e. Persaingan antar calon ketua
ketua umum Partai Golkar
umum tidak wajar karena
harus memiliki tiga hal:
terjadi didalam satu payung
partai politik yang seharusnya
jaringan
solid f. Kandidat
yang bisa memenangkan
persaingan adalah calon yang kaya dan rela mengeluarkan
banyak
uang
2. Arti Penting
- Munas Partai Golkar 2009
a. Munas Partai Golkar penting
Munas Partai
adalah
momentum
karena Partai Golkar adalah
Golkar ke VIII
penentuan hidup mati partai.
partai besar yang mengalami
Jika munas sukses, Partai
kekalahan dalam pemilu 2009
b. Munas berusaha untuk
Berjaya, namun jika gagal,
menghasilkan keputusan
koalisi, maka
akan tumbang
pelaksanaannya dibuat
- Momentum
kebangkitan
sebelum pelantikan kabinet
Partai Golkar ditentukan
c. Munas penting karena
dengan siapa ketua umum
perubahan mekanisme atau
yang akhirnya terpilih
cara pemilihan ketua umum.
- Ada
beberapa
d. Munas sebagai bukti
permasalahan penting yang
eksistensi Partai Golkar di
harus diselesaikan di munas,
depan masyarakat
yakni adanya dua pihak
e. Perbedaan arah politik e. Perbedaan arah politik
kandidat ketua umum
bertentangan, yaitu calon
membuat esensi munas tidak
yang pro pemerintah dengan
tercapai karena penuh
calon independen (oposisi),
kekacauan dan konflik internal
matinya idealisme partai dan pragmatisme kader yang meresahkan.
- Sebagai partai besar dan berpengalaman lama, Partai Golkar
masih
punya
kesempatan besar
untuk
bangkit dari keterpurukan - Realita pelaksanaan munas ternyata
3. Isu Politik Uang
- Politik uang memang terjadi
a. Pragmatisme politik dan
dan Pragmatisme
politik uang adalah sebuah
dalam Pemilihan
ketua umum, berdasarkan
rahasia umum, sudah ada
Ketua Umum
sejak orde baru dan wajar
terdengar saat munas
terjadi karena para kandidat
- Nominal harga satu suara
adalah orang kaya
b. Yuddy merupakan tokoh
mengejutkan
muda yang idealis namun
tidak mendapat suara sama
Tommy Soeharto bersih dari
sekali, hal ini merupakan salah
politik uang, bahkan Yuddy
satu bukti terjadinya politik
lah yang membuka tabir
uang
kecurangan politik uang di
c. Politik uang bisa dimaklumi
munas
karena DPD butuh uang untuk
- Aburizal Bakrie dan Surya
menjalankan organisasional
Paloh dikesankan sebagai
partai di daerah
pelaku politik uang
d. Politik uang mengherankan
karena tujuan dari jabatan
menghancurkan
Partai
ketua umum tidak jelas.
Golkar sendiri
e. Politik uang adalah sesuatu
yang salah, tetapi keadaan memaksa
mereka untuk melakukannya. Sistem politik di Indonesia telah membudaya sehingga
sulit untuk dilepaskan
4. Indikasi
- Kekuatan antar kandidat,
a. Kericuhan dikarenakan hal-hal
Rekayasa dan
Aburizal Bakrie dan Surya
sepele sehingga diindikasikan
Kericuhan pada
terjadi karena adanya rekayasa
Pelaksanaan
sehingga terjadi persaingan
b. Kericuhan disebabkan adanya
Munas
yang sengit dan saling
faksi atau blok antar kandidat
menjatuhkan
yang semakin memanas
- Rekayasa pada pelaksanaan
c. Kericuhan adalah proses
demokrasi yang tidak
banyaknya
kepentingan
direkayasa, namun peserta
peserta munas
menunjukkan
- DPD punya kepentingan
ketidakdewasaan dan
internal sehingga mereka
Sehausnya demokrasi tidak
selalu menjadi tameng untuk selalu menjadi tameng untuk
Aburizal Bakrie
d. Kericuhan menandakan bahwa
- Banyak hal yang ditutup-
Partai Golkar tidak solid dan
terlalu banyak kepentingan
dalam munas
pribadi
- Kericuhan mempermalukan Partai
Golkar,
bukan
merupakan dinamika politik yang wajar dalam demokrasi karena sengaja dilakukan untuk tujuan tertentu
5. Posisi Politik
a. Pelaksanaan munas dan
- Partai Golkar dari awal
Partai Golkar
terpilihnya Aburizal Bakrie
menginginkan posisi koalisi
Pasca Munas
sebagai ketua umum banyak
- Partai Golkar masih
diwarnai rekayasa
bimbang, jika memilih koalisi
b. Kemenangan
Aburizal
akan tetap berada dibawah
Bakrie adalah kemenangan
bayang-bayang Partai
SBY, konsekuensinya DPR
Demokrat, namun jika oposisi,
akan tumpul karena sebagian
masih bingung dengan bentuk
program kerjanya
mendukung pemerintah
- Koalisi dan oposisi masing-
c. Posisi ideal Partai Golkar
masing memiliki kelebihan
dan kekurangan
- Posisi koalisi Aburizal
eksekutif tidak dominan
Bakrie disesalkan karena tidak ada lagi yang akan berpihak pada rakyat kecil sehingga idealnya Partai Golkar berada di posisi oposisi
- Partai Golkar pada Pemilu 2014 diprediksi akan kembali kalah
Sumber : Olahan peneliti
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN